Materi
Kolonialisme berasal dari kata “colonus” yang memiliki arti menguasai.
( upaya sebuah negara untuk mengembangkan kekuasaannya di luar wilayah
kekuasaan negara tersebut )
tujuan mencapai dominasi kekuatan dalam bidang ekonomi, sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan politik. (merupakan wilayah-wilayah yang memiliki
kekayaan bahan mentah yang dibutuhkan oleh negara yang melakukan
kolonialisme.)
Imperialisme berasal dari kata “imperium” dalam bahasa Latin, yang berarti kekuasaan
tertinggi, kedaulatan, atau sekadar kekuasaan
dengan tujuan memperluas akses politik dan ekonomi, kekuasaan dan kontrol,
dan seringkali dilakukan dengan menggunakan kekuatan militer.
Akibatnya, bangsa Portugis pun berhasil diusir oleh Kesultanan Demak di bawah
kepemimpinan Fatahillah. Fatahillah kemudian mengganti nama Sunda Kelapa
menjadi Jayakarta, yang berarti kemenangan yang gemilang.
Sekalipun Sultan Iskandar Muda tidak berhasil mengusir bangsa Portugis, dari
Malaka, perlawanan rakyat Aceh terus berlanjut sampai Malaka jatuh ke tangan
VOC pada tahun 1641.
Sultan Agung pun mulai menyerang VOC pada tahun 1628, tapi serangan
pertama ini gagal dan mengakibatkan sekitar 1.000 prajurit Mataram gugur.
Serangan kedua yang dilakukan pada bulan Agustus–Oktober 1629 pun
mengalami kegagalan karena Kesultanan Mataram kalah persenjataan,
kekurangan persediaan makanan (karena lumbung-lumbung persediaan
makanan yang ada di Tegal, Cirebon, dan Karawang dimusnahkan VOC),
jarak yang terlalu jauh, dan wabah penyakit yang menyerang pasukan
Mataram.
Gerakan sosial ini adalah bentuk protes dan perlawanan atas peraturan
Belanda yang tidak adil, serta rasa tidak puas atas kondisi sosial-ekonomi
yang kurang memberikan tempat bagi kehidupan para pelaku dan pendukung
gerakan sosial ini. Gerakan sosial ini muncul di kalangan petani yang
merasakan ketidakadilan karena praktik penjualan atau pemberian hadiah
tanah oleh Pemerintah Belanda kepada perseorangan atau swasta, yang
kemudian menjadi tuan tanah.
Tanah inilah yang kemudian menjadi tanah partikelir (swasta). Para tuan
tanah tersebut merasa memiliki hak untuk menindas penduduk yang ada di
tanah partikelir mereka. Penduduk di tanah tersebut diharuskan menyerahkan
hasil garapan mereka dan memeras tenaga mereka selayaknya budak.
Gerakan Mesianisme
Seni sastra pada masa perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme juga
memiliki peranan yang sangat penting. Karya-karya sastra yang lahir pada masa
itu menyuarakan ketidakadilan yang dialami oleh para pribumi karena
kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan oleh bangsa Belanda ke luar
Hindia Belanda, termasuk ke negara Belanda sendiri.
Eduard Douwes Dekker merupakan nama pena dari Multatuli, seorang Belanda
yang peduli pada nasib kaum pribumi. Nama Multatuli sendiri diambil dari bahasa
Latin yang berarti “banyak yang sudah aku derita”. Kepedulian Douwes Dekker
ini kemudian dituangkan dalam novelnya yang berjudul Max Havelaar (1860).
Novel inilah yang kemudian menjadi inspirasi pergerakan nasional Indonesia
serta mendorong sastrawan-sastrawan Indonesia menuangkan pemikiran
mereka mengenai penjajahan Belanda, khususnya angkatan Pujangga Baru
(1933–1942).
Medan Prijaji ini dipimpin oleh Tirto Adhi Suryo. Saat bekerja di Medan Prijaji,
Mas Marco bertemu dengan Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker, yang
kemudian menjadi bagian dari Indische Partij.
Novel ini berkisah mengenai para pendiri dan guru “sekolah liar” yang tak pernah
putus asa walau hidup serba kekurangan dan tak pernah mengenal takut
sekalipun diawasi dan diancam ditangkap pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Sekolah liar pada masa penjajahan Belanda adalah sekolah-sekolah swasta
yang didirikan oleh para tokoh pendidikan Indonesia untuk memajukan
pendidikan bagi masyarakat pribumi.
Aspek Pendidikan
Head berarti sekolah memfasilitasi para siswanya untuk mampu berpikir rasional,
heart berarti sekolah memfasilitasi para siswanya menjadi pribadi dengan
karakter yang mulia, dan
hand berarti sekolah memfasilitasi para siswanya agar dapat memiliki
keterampilan yang nyata sesuai dengan bakat yang dikaruniakan Tuhan kepada
masing-masing orang.
Taman Siswa
Taman Siswa didirikan pada tanggal 3 Juli 1922 oleh Ki Hajar Dewantara di
Yogyakarta. Taman Siswa menjadi salah satu organisasi pergerakan yang
bergerak di bidang pendidikan pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Ki Hajar Dewantara menerapkan tiga konsep pengajaran di Taman Siswa, yaitu
ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani.
Ing ngarso sung tulodo memiliki arti bahwa para guru memiliki tanggung jawab
dalam memberikan pendidikan dan harus mampu memberi contoh sikap dan
perilaku yang baik, agar dapat menjadi teladan bagi para siswanya.
Ing madya mangun karsa memiliki arti bahwa guru harus mampu memberikan
motivasi yang baik pada para siswanya dan memberikan bimbingan yang terus-
menerus supaya para siswanya mampu berkembang sesuai dengan bakat dan
minat mereka.
Sementara Tut wuri handayani memiliki arti bahwa guru wajib membimbing para
siswanya agar dapat menggali sendiri pengetahuannya dan menemukan makna
dari pengetahuan yang mereka peroleh, agar pengetahuan mereka dapat
berguna bagi kehidupan mereka.