Anda di halaman 1dari 8

Kolonisasi dan

Perlawanan Bangsa Indonesia

Materi
Kolonialisme berasal dari kata “colonus” yang memiliki arti menguasai.
( upaya sebuah negara untuk mengembangkan kekuasaannya di luar wilayah
kekuasaan negara tersebut )
tujuan mencapai dominasi kekuatan dalam bidang ekonomi, sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan politik. (merupakan wilayah-wilayah yang memiliki
kekayaan bahan mentah yang dibutuhkan oleh negara yang melakukan
kolonialisme.)

Imperialisme berasal dari kata “imperium” dalam bahasa Latin, yang berarti kekuasaan
tertinggi, kedaulatan, atau sekadar kekuasaan
dengan tujuan memperluas akses politik dan ekonomi, kekuasaan dan kontrol,
dan seringkali dilakukan dengan menggunakan kekuatan militer.

Perbedaan kolonialisme dan imperialisme terletak pada tujuannya.


Kolonialisme berfokus pada penguasaan suatu wilayah dengan sumber daya
alam tertentu untuk dibawa ke negeri asal penjajah.
Sementara imperialisme berfokus dalam penguasaan politik dan pemerintahan
negara yang lain untuk memiliki pengaruh terhadap negara tersebut.

Bangsa Eropa datang ke Nusantara pada abad ke-16.


Awalnya bertujuan untuk berdagang rempah-rempah. Namun, lama-kelamaan tujuan
bergeser menjadi penerapan kolonialisme dan imperialisme.
Pada abad ke-19, masyarakat Indonesia berupaya keras untuk melakukan perlawanan.
Tujuan utamanya untuk mengusir penjajahan dari Nusantara. Namun sifat perlawanan dari
para raja atau sultan dan rakyat terhadap VOC masih sangat lokal.
Ada empat aspek utama yang terjadi di Indonesia setelah sistem kolonialisme dan
imperialisme, antara lain :
 Ekonomi dan politik,
 Sosial dan Budaya,
 Seni dan Sastra, serta
 Pendidikan. Berikut penjelasannya:

Aspek Ekonomi dan Politik


Kolonialisme dan imperialisme di Indonesia terjadi akibat ekspansi bangsa Eropa untuk
mencari sumber daya baru.
Bangsa Indonesia pada masa kolonialisme dan imperialisme dirugikan dalam bidang
ekonomi dan politik. Oleh karena itu, bangsa Indonesia melakukan perlawanan terhadap
Portugis, VOC, dan pemerintahan Hindia Belanda. Beberapa perlawanan berupa perang
akibat ekonomi dan politik ini, di antaranya:

Perlawanan Terhadap Portugis


Ada beberapa peristiwa besar yang terjadi akibat upaya bangsa Indonesia melawan
penjajahan bangsa Portugis, antara lain:

1. Perlawanan Kesultanan Ternate

Kebijakan monopoli perdagangan bangsa Portugis membuat Sultan Hairun


memimpin perlawanan rakyat Ternate terhadap mereka. Sayangnya, Sultan
Hairun berhasil ditangkap dan dihukum mati oleh bangsa Portugis pada tahun
1570. Meski demikian, perlawanan Kesultanan Ternate tidak berhenti di situ.
Perjuangan Sultan Hairun kemudian dilanjutkan oleh Sultan Baabulah.

Di bawah kepemimpinan Sultan Baabulan inilah Kesultanan Ternate berhasil


mengusir bangsa Portugis dari Maluku pada tahun 1575. Bangsa Portugis yang
terusir dari Maluku ini kemudian menyingkir ke Pulai Timor dan berkuasa di
Timor Timur hingga menjelang akhir abad ke-20.

2. Perlawanan Kesultanan Demak

Selain di Ternate, bangsa Portugis juga melakukan praktik monopoli


perdagangan mereka di Malaka. Kesultanan Demak yang khawatir bangsa
Portugis juga akan mengekspansi pulau Jawa dan merasa perlu menunjukkan
solidaritas mereka terhadap Kesultanan Malaka dan para saudagar yang ada di
Malaka, akhirnya memutuskan untuk menyerang bangsa Portugis.

Di bawah pimpinan Sultan Trenggono, Kesultanan Demak menyerang Sunda


Kelapa pada tahun 1526 dan berhasil menguasai wilayah tersebut. Setahun
kemudian, pada tahun 1527, bangsa Portugis yang saat itu tidak menyadari
kalau Sunda Kelapa sudah dikuasai oleh Kesultanan Demak, datang untuk
membangun benteng di sana.

Akibatnya, bangsa Portugis pun berhasil diusir oleh Kesultanan Demak di bawah
kepemimpinan Fatahillah. Fatahillah kemudian mengganti nama Sunda Kelapa
menjadi Jayakarta, yang berarti kemenangan yang gemilang.

3. Perlawanan Kesultanan Aceh

Perlawanan Kesultanan Aceh terhadap bangsa Portugis dimulai pada tahun


1514–1540 di bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah. Pada masa itu
Kesultanan Aceh berhasil mengusir bangsa Portugis dari wilayah Aceh.
Perlawanan Kesultanan Aceh terhadap bangsa Portugis kemudian dilanjutkan
oleh Sultan Alaudin Riayat Syah Al-Qahar pada tahun 1538–1571 dengan
bantuan Turki.

Sultan Alaudin Riayat Syah, yang menjadi penggantinya, juga menyerang


bangsa Portugis di Malaka pada tahun 1573 dan 1575. Sultan Iskandar Muda
pun pernah menyerang bangsa Portugis di Malaka pada tahun 1615 dan 1629.

Sekalipun Sultan Iskandar Muda tidak berhasil mengusir bangsa Portugis, dari
Malaka, perlawanan rakyat Aceh terus berlanjut sampai Malaka jatuh ke tangan
VOC pada tahun 1641.

Perlawanan Terhadap VOC


Ada beberapa peristiwa penting yang terjadi sebagai upaya bangsa Indonesia
melawan penjajahan VOC, antara lain:

a. Perlawanan Kesultanan Mataram

Awalnya, hubungan Kesultanan Mataram dengan VOC berjalan dengan baik,


sampai-sampai Kesultanan Mataram mengizinkan VOC mendirikan benteng
sebagai kantor perwakilan dagang di wilayah Jepara. Namun, lama-kelamaan
Sultan Agung menyadari kalau keberadaan VOC membahayakan
pemerintahannya.

Sultan Agung pun mulai menyerang VOC pada tahun 1628, tapi serangan
pertama ini gagal dan mengakibatkan sekitar 1.000 prajurit Mataram gugur.
Serangan kedua yang dilakukan pada bulan Agustus–Oktober 1629 pun
mengalami kegagalan karena Kesultanan Mataram kalah persenjataan,
kekurangan persediaan makanan (karena lumbung-lumbung persediaan
makanan yang ada di Tegal, Cirebon, dan Karawang dimusnahkan VOC),
jarak yang terlalu jauh, dan wabah penyakit yang menyerang pasukan
Mataram.

b. Perlawanan Kesultanan Gowa

Perlawanan Kesultanan Gowa dimulai dengan pelucutan dan perampasan


armada VOC di Maluku, di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin. Perang
Makassar pun pecah karena pelucutan dan perampasan armada tersebut.
Perang Makassar berlangsung selama tiga tahun, dari tahun 1666–1669.
Dalam Perang Makassar, VOC bersekutu dengan Arung Palaka, Raja Bone,
yang saat itu berseteru dengan Kerajaan Gowa.

c. Perlawanan Kesultanan Banten

Perlawanan Kesultanan Banten dimulai karena persaingan dagang dengan


VOC dan gangguan VOC terhadap politik Kerajaan Banten. Sultan Ageng
Tirtayasa pada akhirnya melawan VOC dengan bekerja sama dengan
pedagang-pedagang asing lainnya, seperti pedagang Inggris.

Sultan Ageng kemudian menyerang kapal-kapal VOC yang ada di perairan


Banten serta wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Batavia, seperti
peperangan di daerah Angke dan Tangerang pada tahun 1658–1659.

Perlawanan Terhadap Pemerintahan Hindia Belanda


Awalnya, masa pemerintahan Hindia Belanda tidak lagi menerapkan praktik
kolonialisme ala VOC, namun hal tersebut tak membuat praktik dagang dan
kerja rodi berakhir. Saat Belanda kembali berkuasa, penindasan pun terjadi
lagi di Indonesia, berikut penjelasannya:

Sumber daya alam yang melimpah menjadi penyebab kolonialisme dan


Imperialisme di Indonesia

 Perlawanan Rakyat Maluku

Perlawanan rakyat Maluku dilakukan karena mereka tidak mau orang


Belanda kembali ke wilayah mereka. Saat Thomas Stamford Raffles
berkuasa di Hindia Belanda, beberapa aturan VOC seperti praktik
monopoli dagang dan kerja rodi tidak diterapkan.

Namun, saat Belanda kembali berkuasa pada tahun 1817, aturan-aturan


yang menindas seperti praktik monopoli perdagangan cengkih dan kerja
rodi kembali diterapkan. J.R van den Berg, Residen Saparua yang baru
pada saat itu, juga dianggap tidak peka pada keluhan rakyat. Belanda
juga memaksa para pemuda Maluku untuk menjadi tentara yang
ditugaskan ke Jawa.

 Perlawanan Rakyat Palembang

Perlawanan rakyat Palembang yang dipimpin oleh Sultan Baharuddin


terjadi karena Belanda berusaha menguasai Palembang yang memiliki
letak strategis dan kaya akan barang (Kepulauan Bangka Belitung).

Sultan Baharuddin kemudian memimpin penyerangan ke benteng-


benteng pertahanan Belanda. Saat pergantian kekuasaan dari Belanda ke
Inggris terjadi pada tahun 1811 karena Perjanjian Tuntang, Inggris
memusatkan sebagian besar perhatiannya ke pulau Jawa.
Sultan Baharuddin pun memanfaatkan kondisi ini dengan menyerang
Belanda di Palembang. Sultan Baharuddin juga menentang keberadaan
Inggris di wilayah kekuasaannya. Inggris yang tidak menyukai perlawanan
dari Sultan Baharuddin pun menyerang Palembang pada tahun 1812.
Mereka menjarah isi istana dan melantik Ahmad Najamuddin, adik Sultan
Baharuddin, menjadi Sultan.

 Perlawanan Rakyat Sumatera Utara

Perlawanan rakyat Tapanuli di bawah kepemimpinan Raja


Sisingamangaraja XII terjadi karena Belanda ingin menjajah Tapanuli
dengan membentuk Pax Neerlandica (ambisi Belanda menguasai seluruh
Nusantara). Keinginan Belanda inilah yang menyebabkan terjadinya
Perang Tapanuli pada tahun 1870–1907.

Aspek Sosial dan Budaya


Perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme dan imperialisme juga
dilakukan dalam bentuk gerakan sosial-budaya. Beberapa gerakan tersebut
adalah sebagai berikut:

 Gerakan Sosial di atas Tanah Partikelir

Gerakan sosial ini adalah bentuk protes dan perlawanan atas peraturan
Belanda yang tidak adil, serta rasa tidak puas atas kondisi sosial-ekonomi
yang kurang memberikan tempat bagi kehidupan para pelaku dan pendukung
gerakan sosial ini. Gerakan sosial ini muncul di kalangan petani yang
merasakan ketidakadilan karena praktik penjualan atau pemberian hadiah
tanah oleh Pemerintah Belanda kepada perseorangan atau swasta, yang
kemudian menjadi tuan tanah.

Tanah inilah yang kemudian menjadi tanah partikelir (swasta). Para tuan
tanah tersebut merasa memiliki hak untuk menindas penduduk yang ada di
tanah partikelir mereka. Penduduk di tanah tersebut diharuskan menyerahkan
hasil garapan mereka dan memeras tenaga mereka selayaknya budak.

 Gerakan Mesianisme

Gerakan mesianisme merupakan gerakan yang berasal dari harapan akan


datangnya ratu adil atau imam mahdi sebagai juru selamat rakyat. Dalam
gerakan ini biasanya terdapat seorang pimpinan yang dianggap sebagai juru
selamat, pimpinan agama, atau bahkan nabi. Gerakan ini bersandar pada
dasar-dasar kekuatan gaib sang pemimpin dan menghadapkan munculnya
era baru dan datangnya zaman keemasan yang meniadakan penderitaan
rakyat dan hilangnya konflik serta ketidakadilan.

Beberapa contoh dari gerakan mesianisme adalah Kasan Mukmin (1903),


Gerakan Darmojo (1907), dan dukun yang mengaku keturunan Sultan
Hamengku Buwono V dan akan bertindak sebagai ratu adil dan calon sultan
Yogyakarta (1918).
Aspek Seni dan Sastra

Seni sastra pada masa perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme juga
memiliki peranan yang sangat penting. Karya-karya sastra yang lahir pada masa
itu menyuarakan ketidakadilan yang dialami oleh para pribumi karena
kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan oleh bangsa Belanda ke luar
Hindia Belanda, termasuk ke negara Belanda sendiri.

Karya-karya sastra pada masa itu juga membangkitkan semangat kemerdekaan


bagi para pembacanya. Beberapa sastrawan pada masa itu dan karya sastra
mereka adalah sebagai berikut:

 Eduard Douwes Dekker: Max Havelaar

Eduard Douwes Dekker merupakan nama pena dari Multatuli, seorang Belanda
yang peduli pada nasib kaum pribumi. Nama Multatuli sendiri diambil dari bahasa
Latin yang berarti “banyak yang sudah aku derita”. Kepedulian Douwes Dekker
ini kemudian dituangkan dalam novelnya yang berjudul Max Havelaar (1860).
Novel inilah yang kemudian menjadi inspirasi pergerakan nasional Indonesia
serta mendorong sastrawan-sastrawan Indonesia menuangkan pemikiran
mereka mengenai penjajahan Belanda, khususnya angkatan Pujangga Baru
(1933–1942).

 Mas Marco Kartodikromo: Student Hidjo dan Rasa Merdeka

Mas Marco merupakan keturunan priyayi rendahan di Cepu, Blora, Jawa


Tengah. Mas Marco bergabung dengan Medan Prijaji yang menjadi surat kabar
yang menyuarakan pemikiran pribumi terpelajar.

Medan Prijaji ini dipimpin oleh Tirto Adhi Suryo. Saat bekerja di Medan Prijaji,
Mas Marco bertemu dengan Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker, yang
kemudian menjadi bagian dari Indische Partij.

Lewat tulisan-tulisannya, Mas Marco mengajak kaum terdidik Indonesia pada


masa itu untuk membangun kesadaran politik masyarakat pribumi. Kesadaran
politik ini dianggap penting untuk menggerakkan masyarakat pribumi untuk
bergerak melawan pemerintahan kolonial dalam kesetaraan dan solidaritas.

Tulisan-tulisannya inilah yang kemudian membuat Mas Marco ditangkap dan


dibuang oleh pemerintah kolonial ke Boven-Digoel, Papua, pada tahun 1926.
Mas Marco kemudian meninggal di sana pada tahun 1932 karena malaria.

 Soewarsih Djojopoespito: Manusia Bebas

Soewarsih merupakan pengarang perempuan yang menulis novel “Manusia


Bebas” pada tahun 1940. Novel tersebut diterbitkan dalam bahasa Belanda
dengan judul “Buiten het Gareel” yang berarti “Di Luar Kekang”.

Novel ini berkisah mengenai para pendiri dan guru “sekolah liar” yang tak pernah
putus asa walau hidup serba kekurangan dan tak pernah mengenal takut
sekalipun diawasi dan diancam ditangkap pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Sekolah liar pada masa penjajahan Belanda adalah sekolah-sekolah swasta
yang didirikan oleh para tokoh pendidikan Indonesia untuk memajukan
pendidikan bagi masyarakat pribumi.

Aspek Pendidikan

Perjuangan para pahlawan Indonesia dalam bidang pendidikan merupakan salah


satu perjuangan paling penting dalam melawan kolonialisme dan imperialisme
Belanda. Para tokoh pendidikan di masa penjajahan Belanda membangun
sekolah-sekolah swasta untuk memajukan pola pikir dan menumbuhkan
semangat nasionalisme masyarakat pribumi.

Sekolah-sekolah swasta ini kemudian dianggap sebagai “sekolah liar” oleh


pemerintah kolonial Hindia Belanda karena dianggap mengancam kedaulatan
dan kekuasaan mereka di Indonesia. Dua di antara sekolah swasta yang
dibangun pada masa itu adalah sebagai berikut:

 Indisch Nederlandse School Kayu Tanam

Indisch Nederlandse School Kayu Tanam didirikan di Kayu Tanam, Padang,


pada tanggal 31 Oktober 1926 oleh Mohammad Syafei, tokoh pendidikan
nasional yang pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Indonesia ketiga dalam Kabinet Sjahrir II. Sekolah ini kemudian melahirkan
beberapa nama besar dalam sejarah politik dan seni nasional, seperti Ali Akbar
Navis, Mochtar Lubis, dan Tarmizi Taher.

Mohammad Syafei sangat menekankan pentingnya pendidikan bagi bangsa


Indonesia karena melalui pendidikan, bangsa Indonesia dapat mengembangkan
rasa nasionalisme. Visi pendidikan Mohammad Syafei adalah head, heart, dan
hand.

Head berarti sekolah memfasilitasi para siswanya untuk mampu berpikir rasional,
heart berarti sekolah memfasilitasi para siswanya menjadi pribadi dengan
karakter yang mulia, dan
hand berarti sekolah memfasilitasi para siswanya agar dapat memiliki
keterampilan yang nyata sesuai dengan bakat yang dikaruniakan Tuhan kepada
masing-masing orang.

 Taman Siswa

Taman Siswa didirikan pada tanggal 3 Juli 1922 oleh Ki Hajar Dewantara di
Yogyakarta. Taman Siswa menjadi salah satu organisasi pergerakan yang
bergerak di bidang pendidikan pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Ki Hajar Dewantara menerapkan tiga konsep pengajaran di Taman Siswa, yaitu
ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani.
Ing ngarso sung tulodo memiliki arti bahwa para guru memiliki tanggung jawab
dalam memberikan pendidikan dan harus mampu memberi contoh sikap dan
perilaku yang baik, agar dapat menjadi teladan bagi para siswanya.

Ing madya mangun karsa memiliki arti bahwa guru harus mampu memberikan
motivasi yang baik pada para siswanya dan memberikan bimbingan yang terus-
menerus supaya para siswanya mampu berkembang sesuai dengan bakat dan
minat mereka.

Sementara Tut wuri handayani memiliki arti bahwa guru wajib membimbing para
siswanya agar dapat menggali sendiri pengetahuannya dan menemukan makna
dari pengetahuan yang mereka peroleh, agar pengetahuan mereka dapat
berguna bagi kehidupan mereka.

Anda mungkin juga menyukai