Berikut penjelasannya:
Keinginan untuk mengembalikan tanah Islam yang telah terampas oleh musuh serta
mengembalikan kemulian kerajaan Islam di Malaka menjadi faktor politik Demak menyerang
Malaka.
Adapun secara ekonomi faktor pendorongnya adalah keinginan Demak untuk menguasai
Selat Malaka merupakan jalur perdagangan internasional.
Pada masa pemerintahan Raden Patah, Kesultanan Demak sudah mengadakan perlawanan
terhadap Portugis yang menduduki Malaka.
Raden Patah mengirim pasukannya di bawah pimpinan Pati Unus putranya yang menjadi
Bupati Jepara untuk menyerang Portugis di Malaka.
Ekspedisi pertama Pati Unus untuk menyerang Portugis terjadi pada tahun 1512. Namun,
serangan besar-besaran tersebut gagal mengusir Portugis dari Malaka.
Sementara itu, keberanian Pati Unus dalam memimpin penyerangan ke Malaka yang dikuasai
Portugis menyebabkan dirinya mendapat julukan Pangeran Sabrang Lor.
Takhta Kesultanan Demak kemudian diteruskan oleh tokoh yang bergelar Sultan Trenggana
yang merupakan putra lain dari Raden Patah.
Dalam rangka memperluas ekspansinya ke daerah barat, Sultan Trenggono mengirim
Fatahillah yang didampingi Maulana Hasanuddin putra Sunan Gunung Jati untuk
menggagalkan rencana kerja sama antara Portugis dan Pajajaran.
Pada tahun 1527, Fatahillah-Maulana Hasanuddin menyerang kedudukan Portugis di Sunda
Kelapa. Serangan tersebut berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa.
Selanjutnya pada 22 Juni 1527 nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta atau Jakarta
yang berarti kemenangan yang sempurna.
Fatahillah diangkat oleh Sultan Trenggana sebagai wakil Sultan Demak yang memerintah di
Jayakarta, pasangan Maulana Hasanuddin memerintah di Banten.
Portugis menganggap perkembangan Aceh sebagai ancaman. Oleh karena itu, Portugis
berupaya menghancurkannya.
Pada 1523, Portugis melakukan serangan ke Aceh yang dipimpin oleh Henrigues dan di tahun
1524 dipimpin oleh de Sauza.
Namun, semua serangan berhasil dipatahkan. Portugis tidak menyerah dan terus berusaha
mencari cara untuk melemahkan kedudukan Aceh. Sehingga, kapal-kapal Portugis terus
mengganggu kapal-kapal dagang Aceh.
Tindakan semena-mena Portugis menimbulkan perlawanan pihak Aceh. Sebagai persiapan
untuk menyerang Portugis, Sultan Alaudin Riayat Syah (1537-1568) mulai mempersenjatai
kapal-kapal dagangnya dengan meriam dan prajurit terlatih, membeli persenjataan dari
Calicut (India) dan Jepara, menyewa tentara bayaran, dan mendatangkan ahli-ahli perang dari
Turki pada tahun 1567.
Setelah semua persiapan selesai, Aceh melakukan serangan terhadap Portugis di Malaka,
yang bersekutu dengan Johor. Namun Portugis berhasil selamat dan melakukan serangan
balik pada 1569. Serangan balik tersebut dapat dipatahkan pasukan Aceh.
Sultan Iskandar Muda (1607-1636) tercatat sebagai penguasa terbesar Kesultanan Aceh. Di
bawah kepemimpinannya, Aceh melakukan serangan terhadap kedudukan Portugis sebanyak
dua kali.
Serangan pertama terjadi pada tahun 1615, sedangkan serangan kedua terjadi tahun 1629.
Pada serangan kedua, armada laut Aceh mengalami kekalahan besar di Pelabuhan Malaka.
Akibat monopoli perdagangan rempah-rempah oleh Portugis, rakyat Ternate hidup sengsara.
Akibatnya, rakyat Ternate dipimpin oleh Dajalo pada tahun 1533 melakukan perlawanan
terhadap Portugis.
Pada awalnya, rakyat Ternate meraih kemajuan besar, namun kemudian berbalik terdesak
setelah Portugis mendapat bantuan pasukan dari Malaka.
Kemudian penyerangan kembali terjadi karena Portugis sering melakukan pemerasan. Kali
ini perlawanan dipimpin oleh Sultan Khairun atau Hairun.
Melalui tipu muslihat, orang Portugis berhasil membunuh Sultan Khairun dalam suatu
perundingan.
Meskipun demikian, perlawanan rakyat Ternate terus berlanjut di bawah pimpinan Sultan
Baabullah penerus takhta Ternate pada tanggal 28 Desember 1577. Sultan Baabullah berhasil
mengusir Portugis dari negerinya.
Peperangan pertama antara VOC dan Kerajaan Makassar dipicu oleh Peristiwa Enkhuizen.
Peristiwa itu diawali ketika Kerajaan Makassar menolak permintaan monopoli oleh VOC.
Akibatnya, VOC menawan beberapa bangsawan Makassar di Kapal Enkhuizen. Walaupun
kemudian para bang sawan tersebut dilepaskan.
Mulai saat itu bibit permusuhan muncul di kalangan bangsawan dan rakyat Makassar.
Buktinya pada tanggal 10 Desember 1616 ketika kapal VOC De Eendracht merapat di
Pelabuhan Somba Opu, awak kapalnya dibunuh oleh orang-orang Makassar.
Konflik sempat mereda, tetapi akhirnya membesar di kala Makassar dipimpin oleh Sultan
Hasanuddin.
Perang besar VOC melawan Kerajaan Makassar dikenal sebagai "Perang Makassar" yang
berlangsung pada kurun waktu 1660-1669.
Sultan Hasanuddin memimpin pasukan Makassar dengan daya juang yang tinggi. Bahkan
orang orang VOC menyebutnya De Haantjes van Het Oosten atau "Ayam Jantan dari
Timur".
VOC dengan dibantu Aru Palaka petinggi Kerajaan Bone dan beberapa petinggi Kerajaan
Makassar yang berkhianat, akhirnya berhasil mengalahkan pasukan Sultan Hasanuddin.
Akibat kekalahan tersebut, Sultan Hasanuddin harus menandatangani Perjanjian Bongaya
pada tahun 1667.