Anda di halaman 1dari 20

1.

Perlawanan Mataram Terhadap VOC

Tujuan pembentukan VOC adalah untuk menguasai dan memonopoli perdagangan


rempah-rempah di Asia, terutama Indonesia. Tidak sedikit rakyat yang melakukan
pemberontakan terhadap VOC, termasuk pemberontakan yang dipimpin Raja Mataram,
Sultan Agung, pada 1628 dan 1629.

Pemberontakan rakyat Mataram

Sultan Agung adalah raja ketiga Mataram yang berkuasa untuk periode 1613-1645.
Salah satu cita-cita yang dimiliki Sultan Agung adalah menyatukan Pulau Jawa di bawah
kekuasaan Mataram dan mengusir kekuasaan asing dari Nusantara, seperti VOC.

Apalagi, VOC juga terus berusaha memonopoli perdagangan di Jawa yang


membuat para pedagang pribumi mulai mengalami kemunduran. Oleh karena itu, Sultan
Agung sangat menentang eksistensi VOC di Nusantara, terutama di Jawa. Konflik pertama
antara Mataram dan VOC terjadi pada 8 November 1618, ketika Gubernur Jenderal VOC, Jan
Pieterzoon Coen memerintahkan anggotanya, Vander Marct menyerang Jepara. Penyerangan
ini membuat Mataram mengalami kerugian yang sangat besar. Hubungan keduanya pun
semakin memburuk setelah Sultan Agung melarang menjual beras kepada pihak VOC. Sejak
itu, orang-orang Belanda mulai membenci Sultan Agung. Setelah itu, muncul tuduhan bahwa
VOC telah merampok kapal-kapal orang Jawa.

1
Kejadian ini lantas membuat Sultan Agung mempersiapkan penyerangan terhadap
VOC yang bermarkas di Batavia. Awalnya, VOC bermarkas di Ambon. Namun, setelah
berhasil merebut Jayakarta yang kemudian namanya diganti menjadi Batavia, VOC
memutuskan memindahkan markas mereka ke sana pada 1619. Sultan Agung menyerang
VOC sebanyak dua kali.

A. Serangan Pertama

Serangan pertama Sultan Agung terhadap VOC dilaksanakan tanggal 22


Agustus 1628. Dalam serangan itu, pasukan Mataram dipimpin oleh Tumenggung
Bahureksa. Tumenggung Bahureksa memimpin sekitar 10.000 prajurit Mataram yang
langsung menyerang VOC dengan dahysat. Namun, VOC langsung menembakkan
meriam-meriamnya tiada henti yang memporak-porandakan prajurit Mataram.
Pasukan Mataram pun satu per satu mulai gugur. Dengan demikian, serangan pertama
yang dilakukan pasukan Mataram terhadap VOC mengalami kegagalan. Tidak kurang
dari 1.000 prajurit Mataram tewas dalam pertempuran.

B. Serangan Kedua

Setelah gagal di serangan pertama, Sultan Agung melancarkan serangan kedua


yang dipimpin oleh Kiai Adipati Juminah, K.A. Puger, dan K.A. Purabaya pada 1629.
Persiapan prajurit Mataram pada serangan kedua ini terbilang jauh lebih matang
dengan kekuatan yang lebih besar. Total ada 14.000 prajurit Mataram dikerahkan
untuk menyerang VOC. Mereka mendirikan lumbung-lumbung padi di daerah Tegal
dan Cirebon sebagai perbekalan selama bertempur. Akan tetapi, rupanya VOC
mengetahui hal tersebut sehingga lumbung-lumbung tersebut dibakar oleh VOC.
Akibatnya, pasukan Mataram tidak memiliki persediaan makanan apa pun.
Kesimpulannya, Mataram kembali mengalami kegagalan dalam serangan keduanya
terhadap VOC. Setelah Sultan Agung wafat pada 1645, Mataram pun jatuh ke tangan
VOC.

2
2. Perlawanan Sultan Hasanuddin

Pada 1653 - 1670, kebebasan berdagang di laut lepas tetap menjadi garis
kebijakan Gowa di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin. Hal ini mendapat tantangan dari
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). VOC merupakan persekutuan dagang asal
Belanda yang memiliki monopoli untuk akvitas perdagangan di Asia. Pada akhirnya kondisi
ini menimbulkan konflik dan perseteruan yang mencapai puncaknya saat Sultan Hasanuddin
menyerang posisi Balanda di Buton. Sultan Hasanuddin mengawali perlawanan dengan VOC
pada 1660. Di bawah komando Sultan Hasanuddin, pasukan Kerajaan Gowa yang terkenal
dengan ketangguhan armada lautnya mulai mengumpulkan kekuatan bersama kerajaan-
kerajaan kecil lainnya untuk menentang dan melawan VOC. VOC tidak tinggal diam, VOC
juga menjalin kerja sama dengan Kerajaan Bone yang sebelumnya memiliki hubungan yang
kurang baik dengan Kerajaan Gowa. Kondisi ini dimanfaatkan VOC untuk menghimpun
kekuatan guna menghancurkan Kerajaan Gowa.

Namun, armada militer Kerajaan Gowa Masih terlalu tangguh untuk menghancurkan
VOC dan para sekutunya. Pada 1663, pemimpin Kerajaan Bone bernama Arung Palakka
melarikan diri ke Batavia untuk menghindari kejaran tentara Gowa. Di pusat pemerintahan
Hindia-Belanda, dia berlindung sekaligus meminta bantuan VOC untuk menghancukan
Kerajaan Gowa. Setelah 3 tahun berselang, tepatnya 24 November 1966, terjadi pergerakan
besar-besaran yang dilakukan pasukan VOC di bawah pimpinan Laksamana Cornelis

3
Janszoon Speelman. Armada laut VOC itu meninggalkan pelabuhan Batavia menuju ke
Sombaopu (ibukota Gowa). Pada 19 Desember 1666, armada VOC sampai di Sombaopu,
ibukota sekaligus pelabuhan Kerajaan Gowa. Awalnya Speelman bermaksud menggertak
Sultan Hasanuddin. Namun karena, Sultan Hasanuddin tak gentar, Speelman segera
menyerukan tuntutan agar Kerajaan Gowa membayar segala kerugian. Kerugian yang
dimaksud berhubungan dengan pembunuhan orang-orang Belanda oleh Makassar.

Karena peringatan VOC tidak diindahkan, Speelman mulai mengadakan tembakan


meriam terhadap kedudukan dan pertahanan orang-orang Gowa. Tembakan-tembakan
meriam kapal-kapal VOC dibalas juga dengan dentuman-dentuman meriam yang gencar
dilancarkan pihak Gowa. Maka, terjadilah tembakan-tembakan duel meriam antara armada
kapal-kapal VOC dengan benteng pertahanan Kerajaan Gowa. Pertempuran hebat terus
terjadi, armada VOC dibantu pasukan Kerajaan Bone yang berada di bawah komando Arung
Palakka. Akhirnya tidak kuat menahan gempuran VOC dan pasukan Kerajaan Bone, Sultan
Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Dengan
perjanjian itu, Sultan Hasanuddin harus mengakui monopoli VOC yang selama ini
ditentangnya. Selain itu, dia juga harus mengakui Arung Palakka menjadi Raja Bone.
Wilayah Kerajaan Gowa pun dipersempit. Baca juga: Ini Penyebab Atap Bandara Sultan
Hasanuddin Keluarkan Asap Tebal

A. Sultan Hasanuddin Mendapat Julukan Ayam jantan dari Timur

Akan tetapi, semua itu tidak memadamkan semangat juang Sultan Hasanuddin
beserta pasukannya. Perlawanan-perlawanan masih terjadi pasca perjanjian, namun
sayangnya tidak membuahkan hasil yang maksimal. Sehingga, VOC masih
mendominasi di wilayah Sulawesi Selatan. Walau tidak dapat mengusir bangsa barat,
hingga akhir hayatnya Sultan Hasanuddin masih bersikukuh tidak mau bekerja sama
dengan Belanda. Kegigihan tersebut dibawa sampai wafat pada 12 Juni 1670 di
Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Selama perlawanan, Sultan Hasanuddin diberi
julukan De Haantjes van Het Oosten yang berarti Ayam Jantan dari Timur. Julukan
itu diberikan karena semangat dan keberaniannya dalam menentang monopoli yang
dilakukan VOC.

4
B. Sultan Hasanuddin Sebagai Pahlawan Nasional

Melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973 tanggal 16


November 1973, Sultan Hasanuddin dianugerahi penghargaan sebagai Pahlawan
Nasional. Namanya juga disematkan menjadi nama universitas negeri (Universitas
Hasanuddin) dan nama bandara, yaitu Sultan Hasanuddin Internasional Airport.

5
C.Perang Pattimura di Maluku

A. Penyebab Perang Pattimura

Sekitar abad 16-17 M, bangsa-bangsa Eropa seperti Inggris, Belanda, Spanyol


dan Portugis yang datang ke Maluku memang sudah mencoba memperebutkan
kekuasaan dagang di wilayah tersebut. Maluku sempat berada di bawah kekuasaan
Inggris hingga pada awal abad 19, kawasan Maluku kembali berada dibawah
kekuasaan Belanda. Hal ini terjadi setelah Inggris menandatangani perjanjian traktat
London dengan menyerahkan wilayah kekuasaan Indonesia kepada Belanda. Dalam
buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (1981) karya M.C Ricklefs, disebutkan
beberapa alasan munculnya perlawanan masyarakat Maluku terhadap Belanda pada
1817.

Salah satuya adalah tindakan sewenang-wenang dari Residen Saparua, Van


den Berg yang membawa kesengsaraan bagi rakyat Maluku karena kerja paksa yang
sebelumnya dihapus pemerintah Inggris justru kembali diberlakukan. Rakyat Maluku
juga diwajibkan untuk menyediakan perahu (orambai) guna memenuhi keperluan
administrasi dan militer Belanda tanpa diberi bayaran. Selain di Saparua, rakyat
Maluku di tempat lain juga diharuskan untuk menyerahkan ikan asin, kopi, dan hasil
laut lainnya kepada Belanda. Belanda juga melakukan monopoli perdagangan
rempah-rempah melalui pelayaran Hongi di Maluku.

6
B. Kronologi Perang Pattimura

Pada Mei 1817, rakyat Maluku mulai membuat beberapa pertemuan untuk
membahas strategi dan konsep perlawanan terhadap Belanda. Dalam pertemuan 14
Mei 1817, rakyat Maluku mengangkat sosok Thomas Matulessy yang merupakan
bekas tentara Korps Ambon sebagai pemimpin pergerakan dengan sebutan Kapiten
Pattimura. Setelah dilantik, Pattimura kemudian memilih beberapa orang untuk
membantunya berjuang melawan Belanda yaitu Anthoni Rhebok, Philips Latimahina,
Lucas Selano, Arong Lisapafy, Melchior Kesaulya dan Sarassa Sanaki, Christina
Martha Tiahahu, dan Paulus Tiahahu.

Pada 15 Mei 1817, operasi penyerangan pos-pos dan benteng Belanda di


Saparua dimulai oleh Kapiten Pattimura bersama Philips Latumahina, Lucas Selano
dan pasukannya. Operasi yang dikenal dengan Perang Saparua tersebut berhasil
merebut benteng Duurstede dan menewaskan kepala residen Saparua bernama Van
den Berg beserta pasukannya. Pada tanggal 20 Mei 1817 diadakan rapat raksasa di
Haria untuk mengadakan pernyataan kebulatan tekad melanjutkan perjuangan
melawan Belanda yang dikenal dengan nama Proklamasi Portho Hari.

Di waktu yang sama, Belanda juga melancarkan serangan balik dengan


mengerahkan 300 pasukan dari Ambon yang dipimpin oleh Mayor Beetjes untuk
merebut kembali benteng Duurstede yang kemudian disebut dengan ekspedisi Beetjes.
Upaya Mayor Beetjes tersebut nyatanya dapat digagalkan oleh Kapiten Pattimura dan
pasukannya. Kemenangan dalam pertempuran lain juga didapatkan oleh Pattimura di
sekitar pulau Seram, Hatawano, Hitu, Haruku, Waisisil dan Larike. Pada tanggal 4
Juli 1817 sebuah armada kuat Belanda yang dipimpin Overste de Groot berangkat
menuju Saparua dengan tugas menjalankan vandalisme.

Wilayah Hatawano dibumihanguskan dan Belanda memulai berbagai siasat


termasuk berunding, serang mendadak, aksi vandalisme, dan adu domba yang
dijalankan silih berganti. Belanda juga melancarkan politik pengkhianatan terhadap
Kapiten Pattimura dan para pembantunya. Pada tanggal 11 November 1817 dengan
didampingi beberapa orang pengkhianat, Letnan Pietersen berhasil menyergap
Kapiten Pattimura dan Philips Latumahina saat berada di Siri Sori. Dilansir dari buku

7
Kapitan Pattimura (1985) karya I.O Nanulaitta, disebutkan bahwa Kapiten Pattimura
dikhianati oleh raja Booi dari Saparua. Ia membocorkan informasi tentang strategi
Perang Pattimura dan rakyat Maluku sehingga Belanda dengan mudah mampu
merebut kembali Saparua.

Pada tanggal 16 Desember 1817, para tokoh pejuang yang ditangkap oleh
Belanda yaitu Kapitan Pattimura, Anthony Rhebok, Philip Latumahina, dan Said
Parintah pun harus berakhir di tiang gantungan di depan Benteng Nieuw Victoria,
Kota Ambon. Hal inilah yang menjadi akhir dari Perang Pattimura, sekaligus sebagai
pengorbanan terakhir Kapiten Pattimura bagi bangsa dan negaranya.

C. Dampak Perang Pattimura

Salah satu dampak perjuangan yang dilakukan dalam Perang Pattimura adalah
direbutnya Benteng Duurstede oleh rakyat Maluku. Selain itu, Perang Pattimura juga
telah berhasil menyatukan dan mengobarkan semangat perjuangan rakyat Maluku
terhadap penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Walau begitu
pasca Perang Pattimura berakhir maka kedudukan Belanda di Maluku semakin kuat
dan semakin bersikap sewenang-wenang, sehingga rakyat semakin sengsara.
Sementara dari peristiwa bersejarah ini, untuk mengenang jasa Kapitan Pattimura
kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah Republik Indonesia.
Kapitan Pattimura telah bersikap gagah berani menuntut keadilan dan berusaha
membawa kembali kemakmuran ke tangan rakyat Maluku hingga akhir hayatnya.

8
D.Perang Sisinga Mangaraja

A. Latar Belakang Perang Batak

Perang Batak merupakan bagian dari perlawanan suku Batak di bawah


kepemimpinan Sisingamangaraja XII terhadap penjajahan Belanda di Sumatera Utara
yang terjadi karena sejumlah alasan. Pertama, penjajahan ekonomi Belanda yang
ekstensif di wilayah tersebut menciptakan ketidakpuasan suku Batak karena sumber
daya alam mereka dieksploitasi, sedangkan keuntungan mengalir ke Belanda. Hal ini
menciptakan konflik atas hak kepemilikan sumber daya alam. Selain itu, penindasan
politik dan sosial yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, seperti
pemberlakuan sistem tanam paksa juga memicu perlawanan. Kedua, kepemimpinan
Raja Sisingamangaraja XII memainkan peran penting dalam menggerakkan suku
Batak untuk bersatu dalam perlawanan.

Pada masa itu, Raja Sisingamangaraja XII juga menentang keras usaha
misionaris Belanda dalam menyebarkan agama Kristen di wilayah, Batak sehingga ia
mengambil langkah tegas untuk mengusir para misionaris. Karena aksi Sisingamaraja
tersebut, para misionaris meminta perlindungan dari pemerintah kolonial Belanda.

9
Pada 6 Februari 1878, pasukan Belanda datang ke Pearaja dan bergabung dengan para
misionaris Belanda.

Sisingamaraja melihat kedatangan pasukan tentara Belanda ini sebagai


provokasi, sehingga ia mengumumkan perang pada 16 Februari 1878 dengan
melakukan serangan terhadap pos-pos Belanda di Bahal Batu. Terakhir, latar belakang
perlawanan ini juga terkait dengan aspirasi lebih besar untuk mencapai kemerdekaan
nasional Indonesia. Dalam hal ini, perlawanan suku Batak adalah bagian penting dari
gerakan nasional yang bertujuan mengakhiri penjajahan Belanda.

B. Puncak Perang Batak Melawan Belanda

Puncak Perang Batak melawan Belanda terjadi pada 1878 ketika Raja
Sisingamangaraja XII memimpin pasukan Batak dalam serangan besar-besaran
terhadap pos-pos militer Belanda di Tarutung dan Sipoholon. Raja Sisingamangaraja
XII menerapkan sejumlah strategi perang yang cermat selama Perang Batak melawan
penjajah Belanda. Salah satu taktik utama yang diterapkan adalah gerilya, di mana
pasukannya menghindari pertempuran terbuka dan memanfaatkan medan hutan dan
pegunungan yang sulit di wilayah Batak. Mereka juga sering melancarkan serangan
mendadak, memanfaatkan pengetahuan mendalam tentang medan, dan menghindari
pasukan Belanda dengan cara ini.

Selain itu, Sisingamangaraja XII dan pasukannya mengandalkan senjata-


senjata tradisional seperti tombak, busur, parang, dan sumpit yang kadang-kadang
dilumuri racun, sehingga menjadikan mereka sangat terampil dalam pertempuran
jarak dekat. Mereka juga memanfaatkan dukungan dari suku-suku lain di Sumatera
Utara, termasuk Mandailing dan Aceh yang memberikan bantuan militer serta sumber
daya. Perlawanan mereka berlangsung cukup lama, meskipun dihadapkan berbagai
kesulitan, seperti kondisi alam yang keras dan penyakit malaria. Terakhir,
Sisingamangaraja XII juga berusaha mendapatkan bantuan dari luar, termasuk
meminta dukungan dari pihak Aceh untuk meningkatkan kemampuan perang mereka.

C. Akhir Perang Batak

Walaupun strategi Perang Batak menggunakan senjata tradisional dan gerilya


cukup menyulitkan bagi Belanda, penjajah juga mengadopsi taktik yang efektif untuk
mengalahkan Raja Sisingamangaraja XII. Pada Agustus 1889, Sisingamangaraja

10
melancarkan serangan yang berhasil merebut wilayah Lobu Talu dan mengakibatkan
tewasnya beberapa prajurit Belanda. Namun, pendudukan wilayah ini tidak
berlangsung lama karena Belanda segera mengirimkan bantuan dari Padang. Hal ini
menyebabkan Belanda berhasil merebut kembali wilayah Lobu Talu dari tangan
Sisingamangaraja. Perlawanan Sisingamangaraja dalam Perang Batak pun mulai
melemah setelah Belanda berhasil menguasai wilayah Huta Paung pada September
1889. Setelah pendudukan tersebut, Belanda gencar mengejar Sisingamangaraja dan
pasukannya. Akhirnya karena semakin terdesak, Sisingamangaraja meminta bantuan
dari Aceh untuk memperkuat kekuatan perang mereka.

Dengan dukungan pasukan dari Aceh, Sisingamangaraja dan pasukannya


melanjutkan perlawanan di wilayah Tapanuli dengan menyerang kota tua. Sayangnya,
serangan tersebut tidak berhasil mencapai hasil yang diinginkan karena pasukan
Belanda di bawah komando J. A. Visser, berhasil mengatasi perlawanan rakyat
Tapanuli. Tidak sampai di situ, karena pada 1904, pasukan Belanda di bawah
pimpinan Van Daalen dari Aceh Tengah melanjutkan pergerakan ke Tapanuli Utara,
sedangkan pasukan tambahan dikerahkan ke Medan.

Pada 1907, pasukan Marsose di bawah pimpinan Kapten Hans Christoffel


berhasil menangkap Boru Sagala, istri Sisingamangaraja, beserta dua anaknya.
Sementara itu, Sisingamangaraja dan para pengikutnya berhasil melarikan diri ke
hutan Simsim. Pihak Belanda yang merasa sudah menang pun gencar mencari
keberadaan Sisingamangaraja XII. Mereka ingin memaksa Sisingamangaraja XII
beserta pasukannya untuk menyerah. Akan tetapi, Sisingamangaraja XII menolak
tawaran untuk menyerah. Dalam pertempuran pada 17 Juni 1907, Sisingamangaraja
XII ditemukan tewas bersama dengan putrinya Lopian dan dua putranya, Sutan
Nagari dan Patuan Anggi. Gugurnya Sisingamangaraja XII menandai berakhirnya
Perang Batak dan menjadi kemenangan bagi pihak Belanda yang saat itu dipimpin
oleh Kapten Christoffel.

11
E. Perang Saparua di Ambon

A. Penyebab Parang Saparua

Perang Saparua dilatarbelakangi oleh banyak faktor, sebagai berikut.

 Semakin diperketatnya kebijakan monopoli perdagangan, Pelayaran Hongi, dan kerja


paksa, sehingga rakyat semakin menderita.
 Pemerintah kolonial berencana menghapus sekolah-sekolah desa dan
memberhentikan guru untuk menghemat anggaran.
 Rakyat dipaksa menyediakan garam, ikan asin, dan kopi bagi kapal-kapal perang
Belanda yang berlabuh di Ambon.
 Adanya paksaan bagi para pemuda untuk menjadi serdadu Belanda di luar Maluku.
 Adanya permasalahan dalam peredaran uang kertas yang semakin mempersulit
kehidupan rakyat.
 Adanya sikap arogan dan sewenang-wenang dari Residen Saparua, Van den Berg.

B. Tokoh Perang Saparua

Akibat tindakan sewenang-wenang yang dilakukan Belanda, rakyat Maluku


semakin terdorong untuk melancarkan perlawanan. Para tokoh dan pemuda Maluku
kemudian mengadakan serangkaian pertemuan rahasia. Misalnya pertemuan di Pulau

12
Haruku dan di Pulau Saparua pada 14 Mei 1817. Dalam pertemuan tersebut, mereka
sepakat untuk melawan dan Pattimura dipercaya sebagai pemimpin perlawanan.
Selain itu, terdapat tokoh-tokoh lain yang berjasa besar dalam Perang Saparua, yaitu
Anthonie Rhebok, Thomas Pattiwael, Lucas Latumahina, Said Perintah, Ulupaha, dan
Christina Martha Tiahahu.

C. Jalannya Perang Saparua

Perlawanan dimulai dengan menghancurkan kapal-kapal Belanda di


pelabuhan. Setekah itu, para pejuang Maluku menuju Benteng Duurstede di Pulau
Saparua. Dalam pertempuran yang terjadi pada 15 Mei 1817 itu, Residen Van den
Berg, yang memimpin pasukan Belanda, tewas dan Benteng Duurstede berhasil
direbut pejuang Maluku. Belanda kemudian mendatangkan 300 pasukan dari Ambon
yang dipimpin oleh Mayor Beetjes. Akan tetapi, bantuan itu kembali dilumpuhkan
oleh para pejuang yang dipimpin oleh Pattimura. Bahkan Mayor Beetjes tewas dalam
pertempuran. Kemenangan ini semakin meningkatkan semangat para pejuang dan
perlawanan semakin meluas di Maluku. Di Saparua, perang terus berlanjut hingga
Agustus 1817 dan Belanda terus mendatangkan bantuan. Salah satunya bantuan
sekitar 1.500 pasukan dari Ternate dan Tidore. Dengan adanya bantuan itu, Pattimura
mulai terkepung sehingga harus mengganti strategi. Benteng Duurstede kembali ke
tangan Belanda. Strategi perang yang digunakan oleh Pattimura dan Christina Martha
Tiahahu di Maluku adalah strategi perang gerilya.

D. Akhir Perang Saparua

Setelah berbulan-bulan terlibat pertempuran, Belanda berusaha menyelesaikan


menyelesaikan perang dalam waktu dekat. Bahkan Belanda akan memberikan hadiah
sebesar 1.000 gulden kepada pihak yang berhasil menangkap Pattimura. Akibat
pengkhianatan yang dilakukan seorang warga, Belanda mengetahui persembunyian
Pattimura dan berhasil menangkapnya beserta para pejuang lainnya pada November
1817. Pattimura akhirnya dijatuhi hukuman mati pada Desember 1817 di Benteng
Victoria, Ambon. Peristiwa ini menandai berakhirnya Perang Saparua.

13
6. Perang Jagaraya

A. Kronologi Perang jagaraya

Setelah Perang Buleleng selesai, I Gusti Ngurah Made Karangasem, I Gusti


Ketut Jelantik, pimpinan pasukan dan para prajurit memindahkan Kerajaan Buleleng
ke Desa Jagaraga. Pilihan pemindahan Kerajaan Buleleng ke Desa Jagaraga, karena
desa tersebut memiliki beberapa kelebihan.

 Medannya berbukit, banyak jurang untuk melaksanakan serangan


mendadak.
 Jalan penghubung hanya ada satu, yakni melalui Desa Sangsit,
sehingga musuh mudah diintai.
 Jarak Jagaraga Pabean relatif pendek, sehingga mudah mengetahui
pergerakan Belanda.
 Istri dari I Gusti Ketut Jelantik berasal dari Desa Jagaraga memiliki
naluri perang

Selama di Jagaraga, I Gusti Ketut Jelantik, I Gusti Ngurah Made Karangasem


(Raja Buleleng), dengan dibantu oleh Jro Jempiring sudah menyusun strategi perang
dalam kurun waktu 1846-1848.

 Menyusun benteng pertahan di sekitar Jagaraga.

14
 Melatih teknik berperang untuk prajurit-prajurit Buleleng dan
Jagaraga.
 Membangkitkan semangat warga Jagaraga untuk berperang dan
menggunakan rumah mereka sebagai lokasi penyimpanan logistik
perang.
 Meminta dukungan kepada raja-raja di Bali, seperti Raja Karangasem,
Raja Gianyar, Raja Klungkung, Raja Mengwi, dan Raja Jembrana
beserta dengan persenjataannya.
 Strategi perang yang digunakan adalah Supit Surang Makara
Wyuhana, yaitu strategi perang yang digunakan oleh Prabu Yudhistira
dalam cerita Bharata Yudha.
 Dibelakang tembok benteng menjadi pusat markas dan komando I
Gusti Ketut Jelantik berdiri Pura Dalem Segara Madu Jagaraga.

Belanda tidak pernah merasalan kenyaman dan keamanan selama menguasai


Buleleng. Karena, I Gusti Ketut Jelantik selalu membuat huru-hara di sekitar Buleleng
dan Pabean. Mereka merampok kapal-kapal Belanda di Pelabuhan Pabean,
memboikot penjualan bahan makanan kepada serdadu Belanda, dan melanggar semua
perjanjian yang disepakati pada perang Buleleng.

B. Perang Jagaraya Pertama

Pada tanggal 8 Juni 1848, Belanda melakukan penyerbuan melalui Pelabuhan


Sangsit dengan kekuatan 22 kapal perang yang dilengkapi meriam. Dalam aksi ini,
sebanyak 250 serdadu Belanda tewas. Hal ini menandai, kekalahan Belanda pada
Perang Jagaraga pertama. Dalam aksi ini, sebanyak 250 serdadu Belanda tewas. Hal
ini menandai, kekalahan Belanda.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemenangan I Gusti Ketut Jelantik, Raja Buleleng,


dan Jro Jempiring dalan Perang Jagaraga pertama, yaitu:

 Adanya jiwa patriotisme prajurit Jagaraga bersama sekutunya yang sangat


tinggi.
 Mentaati perintah perang I Gusti Ketut Jelantik, Raja Buleleng, dan Jro
Jempiring Melakukan serangan terpadu dengan tangguh dan kuat.

15
 Dapat menggunakan senjata bus (bedil bus), berupa meriam tradisional yang
diletakkan di benteng utama.
 Siasat perang berjalan sesuai rencana, dimana dapat menggiring pasukan
Belanda masuk perangkap ke benteng Supit Surang (Makara Wyuhana).
Belanda menganggap remeh prajurit Jagaraga serta sekutunya.
 Belanda tidak mengenal medan pertempuran Jagaraga. Belanda tidak mampu
melakukan konsolidasi karena situasi politik, baik di Indonesia maupun Eropa

C. Perang Jagaraya Kedua

Setelah kemenangan Perang Jagaraga pertama, I Gusti Ketut Jelantik


menyadari bahwa Belanda akan melakukan serangan balasan. Untuk itu, I Gusti
Ketut Jelantik dan Jro Jempiring selalu membakar semangat patriotirme para prajurit
dan melakukan latihan perang bersama prajurit dan sekutu-sekutunya. Upaya lain
adalah meningkatkan logistik dan peralatan perang dan selalu waspada jika terjadi
serangan musuh yang sifatnya mendadak. Sementara di Batavia, pada April 1849,
Pemerintah Belanda melakukan melakukan persiapan kedua untuk menggempur
prajurit Jagaraga. Pemimpin Perang Jagaraga kedua Pemerintah Hindia Belanda
adalah Jenderal Michiels dan Letkol CA de Brauw dengan kekuatan 60 kapal dan
senjata moderen lengkap. Sebelum perang, mereka mengirim pasukan khusus untuk
mempelajari sistem strategi perang yang digunakan I Gusti Ketut Jelantik.

Jenderal Michiels juga mencari petunjuk jalan untuk melakukan gerakan


memutar ke belakang lambung sebelah barat benteng pertahanan utama Jagaraga.
Strategi yang tidak pernah disadari oleh I Gusti Ketut Jelantik, Raja Buleleng, dan Jro
Jempiring. Pada tanggal 14 April 1849, armada Belanda sudah mendarat di Pelabuhan
Pabean dan Pelabuhan Sangsit untuk melakukan serangan dari dua arah. Mengetahui
kedatangan Belanda, I Gusti Ketut Jelantik bersama pasukannya menuju Pelabuhan
Pabean untuk melakukan perdamaian dengan Belanda.

Namun utusan Jenderal Michiels menolak permintaan I Gusti Ketut Jelantik.


Karena, pihak Belanda mengetahui itu siasat dan taktik I Gusti Ketut Jelantik untuk
mengulur waktu agar dapat berkonsolidasi dan meminta bantuan pasukan kepada raja-
raja Bali. Saat, I Gusti Ketut Jelantik bersama Raja Buleleng serta pasukannya pulang

16
menuju Desa Jagaraga, ternyata benteng-benteng Jagaraga sudah diserang habis-
habisan oleh Belanda di bawah pimpinan Letkol CA de Brauw.

I Gusti Ketut Jelantik dengan Raja Buleleng lari ke Karangasem bermaksud


meminta bantuan pasukan Raja Karangasem, namun di tengah perjalanan mereka
diserang secara mendadak dan gugur. Pertempuran Jagaraga dipimpin Jro Jempiring
yang dibantu sejumlah prajurit, yaitu pimpinan prajurit Jembrana (Pan Kelab),
pimpinan prajurit Mengwi Gusti Nyoman Munggu, pimpinan prajurit gabungan
Gianyar dan Klungkung dipimpin Cokorda Rai Puri Satria. Jro Jempiring sudah
menginstruksikan perang Puputan dengan mengendus dua buah keris. Dalam
pertempuran itu, tidak ada satupun pasukan Jagaraga yang mundur atau melarikan
diri. Hasil pertempuran ini, semua pasukan Jagaraga gugur dan Bentang Jagaraga
jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 19 April 1849. Sejak saat itu, Belanda berhasil
menguasai Bali Utara

17
7. Perang Banjar

A. Penyebab Perang Banjar

Kedatangan Belanda yang ikut campur dalam urusan Kesultanan Banjar


menimbulkan banyak permasalahan. Kondisi ini kemudian memuncak dengan adanya
perlawanan dari Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah II dalam Perang
Banjar. Apabila dirangkum, maka penyebab terjadinya Perang Banjar antara lain:

 Rakyat menjadi sasaran eksploitasi dari Belanda dan Kesultanan Banjar


 Munculnya konflik perebutan tahta Kesultanan Banjar akibat intervensi
Belanda Sikap
 sewenang-wenang dari Tamjidillah yang ditunjuk Belanda sebagai Sultan
Banjar

B. Kronologi Perang Banjar

Sebagai penerus kerajaan Daha yang sebelumnya bercorak Hindu, pengaruh


Islam masuk ke Kesultanan Banjar pada sekitar akhir abad 15 berkat peran dari
Kerajaan Demak. Kesultanan Banjar memiliki wilayah kekuasaan di sekitar
Kalimantan Selatan dan sebagian Kalimantan Tengah. Dalam buku Islamisasi dan
Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia (2012) karya Daliman, disebutkan bahwa

18
pelabuhan-pelabuhan dagang Kesultanan Banjar pada abad 15 M selalu ramai dengan
kapal-kapal dagang internasional. Kesultanan Banjar juga memiliki hasil sumber daya
alam seperti emas, intan, lada, rotan dan damar yang melimpah. Hal inilah yang
kemudian mendorong Belanda untuk mulai merencanakan strategi agar dapat
menguasai Kesultanan Banjar.

Dilansir dari buku Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004 (1981) karya M.C
Ricklefs, Belanda dan Kesultanan Banjar mulai melakukan interaksi pada sekitar
tahun 1840-an. Setelah itu, Belanda mulai dengan strategi melakukan campur tangan
di beberapa wilayah Kesultanan Banjar dan memadamkan sengketa-sengketa yang
ada. Sebagai imbalan, Belanda mendapatkan hak khusus untuk mencampuri urusan
dalam negeri Kesultanan Banjar. Kondisi tersebut berlangsung lama hingga akhirnya
perlawanan rakyat Banjar dimulai saat Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah II
sebagai Sultan Banjar pada tahun 1859. Padahal, waktu itu sosok yang seharusnya
naik tahta menjadi Sultan Banjar adalah Pangeran Hidayatullah II.

Namanya juga tertulis dalam surat wasiat yang ditulis oleh Sultan Adam agar
menjadi penerus takhta. Pada tanggal 28 April 1859, Pangeran Antasari dan Pangeran
Hidayatullah II kemudian memimpin perlawanan terhadap Belanda. Pangeran
Antasari memimpin penyerangan terhadap benteng Belanda dan tambang batu bara di
wilayah Pengaron. Dalam serangan tersebut tentara Belanda dapat dilumpuhkan dan
pasukan Pangeran Antasari dapat menguasai tambang batu bara di Pengaron. Setelah
itu, muncul beberapa pertempuran di tempat lain seperti Pertempuran Benteng
Tabanio di Agustus 1859, Pertempuran Benteng Gunung Lawak pada September
1859, Pertempuran Munggu Tayur pada Desember 1859, dan Pertempuran Amawang
pada Maret 1860.

Dalam buku Pegustian dan Temanggung : Akar Sosial, Politik, Etnis dan
Dinasti, Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906 (2014)
karya Helius Sjamsudin, disebutkan bahwa Belanda membalas serangan Pangeran
Antasari dengan menawan keluarga Pangeran Hidayatullah II. Belanda kemudian
meminta Pangeran Hidayatullah II untuk keluar dari persembunyiannya. Pangeran
Hidayatullah II yang keluar dari persembunyiannya untuk menyelamatkan
keluarganya justru ditangkap Belanda dan diasingkan menuju ke Cianjur.

19
Hal itu tak membuat menghentikan Pangeran Antasari perlawanan. Ia terus
melakukan perlawanan di daerah-daerah di Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah. Pangeran Antasari juga mendirikan tujuh unit benteng di Teweh untuk
memperkuat pertahanan rakyat. Perang Banjar mulai meredup ketika Pangeran
Antasari mulai melemah karena terserang penyakit paru-paru dan cacar.
Perjuangannya terus dilakukan hingga Pangeran Antasari wafat pada 11 Oktober
1862. Gusti Mat Seman, Gusti Acil, Gusti Muhammad Arsyad, dan Antung
Durrahman melanjutkan perjuangan di Perang Banjar hingga titik darah penghabisan.
Perang Banjar berakhir pada tahun 1905 dengan kemenangan berada di pihak Belanda
yang berhasil menghapus Kesultanan Banjar.

C. Dampak Perang Banjar

Dampak Perang Banjar adalah terjadi penyatuan gerakan rakyat di bawah


pimpinan Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah II. Meski sudah melakukan
perlawanan denga gigih dan pantang menyerah, pada akhirnya Belanda bisa
mengatasi keadaan. Akibat kemenangan Belanda pada perang tersebut, Kesultanan
Banjar kemudian dihapuskan. Keputusan ini diambil Belanda demi menghindari
konflik lebih lanjut dan menghindari meletusnya perlawanan rakyat Kalimantan
Selatan. Belanda juga menghapuskan pemerintahan-pemerintahan bawahan dari
Kesultanan Banjar sehingga tidak ada penerus kerajaan. Pihak belanda kemudian
menerapkan aturan-aturan baru di bawah Residentie Zuider en Ooster Afdeelingvan
Borneo (Keresidenan Bagian Selatan dan Timur Pulau Borneo). Berbagai sumber
daya di Kalimantan kemudian dikuasai dan dimonopoli oleh Belanda yang
mengakibatkan rakyat menderita. Eksploitasi besar-besaran kemudian terjadi karena
Belanda mengambil sumber daya alam secara paksa berupa rempah-rempah,
perkebunan, dan tambang batu bara.

20

Anda mungkin juga menyukai