Sultan Agung adalah raja ketiga Mataram yang berkuasa untuk periode 1613-1645.
Salah satu cita-cita yang dimiliki Sultan Agung adalah menyatukan Pulau Jawa di bawah
kekuasaan Mataram dan mengusir kekuasaan asing dari Nusantara, seperti VOC.
1
Kejadian ini lantas membuat Sultan Agung mempersiapkan penyerangan terhadap
VOC yang bermarkas di Batavia. Awalnya, VOC bermarkas di Ambon. Namun, setelah
berhasil merebut Jayakarta yang kemudian namanya diganti menjadi Batavia, VOC
memutuskan memindahkan markas mereka ke sana pada 1619. Sultan Agung menyerang
VOC sebanyak dua kali.
A. Serangan Pertama
B. Serangan Kedua
2
2. Perlawanan Sultan Hasanuddin
Pada 1653 - 1670, kebebasan berdagang di laut lepas tetap menjadi garis
kebijakan Gowa di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin. Hal ini mendapat tantangan dari
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). VOC merupakan persekutuan dagang asal
Belanda yang memiliki monopoli untuk akvitas perdagangan di Asia. Pada akhirnya kondisi
ini menimbulkan konflik dan perseteruan yang mencapai puncaknya saat Sultan Hasanuddin
menyerang posisi Balanda di Buton. Sultan Hasanuddin mengawali perlawanan dengan VOC
pada 1660. Di bawah komando Sultan Hasanuddin, pasukan Kerajaan Gowa yang terkenal
dengan ketangguhan armada lautnya mulai mengumpulkan kekuatan bersama kerajaan-
kerajaan kecil lainnya untuk menentang dan melawan VOC. VOC tidak tinggal diam, VOC
juga menjalin kerja sama dengan Kerajaan Bone yang sebelumnya memiliki hubungan yang
kurang baik dengan Kerajaan Gowa. Kondisi ini dimanfaatkan VOC untuk menghimpun
kekuatan guna menghancurkan Kerajaan Gowa.
Namun, armada militer Kerajaan Gowa Masih terlalu tangguh untuk menghancurkan
VOC dan para sekutunya. Pada 1663, pemimpin Kerajaan Bone bernama Arung Palakka
melarikan diri ke Batavia untuk menghindari kejaran tentara Gowa. Di pusat pemerintahan
Hindia-Belanda, dia berlindung sekaligus meminta bantuan VOC untuk menghancukan
Kerajaan Gowa. Setelah 3 tahun berselang, tepatnya 24 November 1966, terjadi pergerakan
besar-besaran yang dilakukan pasukan VOC di bawah pimpinan Laksamana Cornelis
3
Janszoon Speelman. Armada laut VOC itu meninggalkan pelabuhan Batavia menuju ke
Sombaopu (ibukota Gowa). Pada 19 Desember 1666, armada VOC sampai di Sombaopu,
ibukota sekaligus pelabuhan Kerajaan Gowa. Awalnya Speelman bermaksud menggertak
Sultan Hasanuddin. Namun karena, Sultan Hasanuddin tak gentar, Speelman segera
menyerukan tuntutan agar Kerajaan Gowa membayar segala kerugian. Kerugian yang
dimaksud berhubungan dengan pembunuhan orang-orang Belanda oleh Makassar.
Akan tetapi, semua itu tidak memadamkan semangat juang Sultan Hasanuddin
beserta pasukannya. Perlawanan-perlawanan masih terjadi pasca perjanjian, namun
sayangnya tidak membuahkan hasil yang maksimal. Sehingga, VOC masih
mendominasi di wilayah Sulawesi Selatan. Walau tidak dapat mengusir bangsa barat,
hingga akhir hayatnya Sultan Hasanuddin masih bersikukuh tidak mau bekerja sama
dengan Belanda. Kegigihan tersebut dibawa sampai wafat pada 12 Juni 1670 di
Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Selama perlawanan, Sultan Hasanuddin diberi
julukan De Haantjes van Het Oosten yang berarti Ayam Jantan dari Timur. Julukan
itu diberikan karena semangat dan keberaniannya dalam menentang monopoli yang
dilakukan VOC.
4
B. Sultan Hasanuddin Sebagai Pahlawan Nasional
5
C.Perang Pattimura di Maluku
6
B. Kronologi Perang Pattimura
Pada Mei 1817, rakyat Maluku mulai membuat beberapa pertemuan untuk
membahas strategi dan konsep perlawanan terhadap Belanda. Dalam pertemuan 14
Mei 1817, rakyat Maluku mengangkat sosok Thomas Matulessy yang merupakan
bekas tentara Korps Ambon sebagai pemimpin pergerakan dengan sebutan Kapiten
Pattimura. Setelah dilantik, Pattimura kemudian memilih beberapa orang untuk
membantunya berjuang melawan Belanda yaitu Anthoni Rhebok, Philips Latimahina,
Lucas Selano, Arong Lisapafy, Melchior Kesaulya dan Sarassa Sanaki, Christina
Martha Tiahahu, dan Paulus Tiahahu.
7
Kapitan Pattimura (1985) karya I.O Nanulaitta, disebutkan bahwa Kapiten Pattimura
dikhianati oleh raja Booi dari Saparua. Ia membocorkan informasi tentang strategi
Perang Pattimura dan rakyat Maluku sehingga Belanda dengan mudah mampu
merebut kembali Saparua.
Pada tanggal 16 Desember 1817, para tokoh pejuang yang ditangkap oleh
Belanda yaitu Kapitan Pattimura, Anthony Rhebok, Philip Latumahina, dan Said
Parintah pun harus berakhir di tiang gantungan di depan Benteng Nieuw Victoria,
Kota Ambon. Hal inilah yang menjadi akhir dari Perang Pattimura, sekaligus sebagai
pengorbanan terakhir Kapiten Pattimura bagi bangsa dan negaranya.
Salah satu dampak perjuangan yang dilakukan dalam Perang Pattimura adalah
direbutnya Benteng Duurstede oleh rakyat Maluku. Selain itu, Perang Pattimura juga
telah berhasil menyatukan dan mengobarkan semangat perjuangan rakyat Maluku
terhadap penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Walau begitu
pasca Perang Pattimura berakhir maka kedudukan Belanda di Maluku semakin kuat
dan semakin bersikap sewenang-wenang, sehingga rakyat semakin sengsara.
Sementara dari peristiwa bersejarah ini, untuk mengenang jasa Kapitan Pattimura
kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah Republik Indonesia.
Kapitan Pattimura telah bersikap gagah berani menuntut keadilan dan berusaha
membawa kembali kemakmuran ke tangan rakyat Maluku hingga akhir hayatnya.
8
D.Perang Sisinga Mangaraja
Pada masa itu, Raja Sisingamangaraja XII juga menentang keras usaha
misionaris Belanda dalam menyebarkan agama Kristen di wilayah, Batak sehingga ia
mengambil langkah tegas untuk mengusir para misionaris. Karena aksi Sisingamaraja
tersebut, para misionaris meminta perlindungan dari pemerintah kolonial Belanda.
9
Pada 6 Februari 1878, pasukan Belanda datang ke Pearaja dan bergabung dengan para
misionaris Belanda.
Puncak Perang Batak melawan Belanda terjadi pada 1878 ketika Raja
Sisingamangaraja XII memimpin pasukan Batak dalam serangan besar-besaran
terhadap pos-pos militer Belanda di Tarutung dan Sipoholon. Raja Sisingamangaraja
XII menerapkan sejumlah strategi perang yang cermat selama Perang Batak melawan
penjajah Belanda. Salah satu taktik utama yang diterapkan adalah gerilya, di mana
pasukannya menghindari pertempuran terbuka dan memanfaatkan medan hutan dan
pegunungan yang sulit di wilayah Batak. Mereka juga sering melancarkan serangan
mendadak, memanfaatkan pengetahuan mendalam tentang medan, dan menghindari
pasukan Belanda dengan cara ini.
10
melancarkan serangan yang berhasil merebut wilayah Lobu Talu dan mengakibatkan
tewasnya beberapa prajurit Belanda. Namun, pendudukan wilayah ini tidak
berlangsung lama karena Belanda segera mengirimkan bantuan dari Padang. Hal ini
menyebabkan Belanda berhasil merebut kembali wilayah Lobu Talu dari tangan
Sisingamangaraja. Perlawanan Sisingamangaraja dalam Perang Batak pun mulai
melemah setelah Belanda berhasil menguasai wilayah Huta Paung pada September
1889. Setelah pendudukan tersebut, Belanda gencar mengejar Sisingamangaraja dan
pasukannya. Akhirnya karena semakin terdesak, Sisingamangaraja meminta bantuan
dari Aceh untuk memperkuat kekuatan perang mereka.
11
E. Perang Saparua di Ambon
12
Haruku dan di Pulau Saparua pada 14 Mei 1817. Dalam pertemuan tersebut, mereka
sepakat untuk melawan dan Pattimura dipercaya sebagai pemimpin perlawanan.
Selain itu, terdapat tokoh-tokoh lain yang berjasa besar dalam Perang Saparua, yaitu
Anthonie Rhebok, Thomas Pattiwael, Lucas Latumahina, Said Perintah, Ulupaha, dan
Christina Martha Tiahahu.
13
6. Perang Jagaraya
14
Melatih teknik berperang untuk prajurit-prajurit Buleleng dan
Jagaraga.
Membangkitkan semangat warga Jagaraga untuk berperang dan
menggunakan rumah mereka sebagai lokasi penyimpanan logistik
perang.
Meminta dukungan kepada raja-raja di Bali, seperti Raja Karangasem,
Raja Gianyar, Raja Klungkung, Raja Mengwi, dan Raja Jembrana
beserta dengan persenjataannya.
Strategi perang yang digunakan adalah Supit Surang Makara
Wyuhana, yaitu strategi perang yang digunakan oleh Prabu Yudhistira
dalam cerita Bharata Yudha.
Dibelakang tembok benteng menjadi pusat markas dan komando I
Gusti Ketut Jelantik berdiri Pura Dalem Segara Madu Jagaraga.
15
Dapat menggunakan senjata bus (bedil bus), berupa meriam tradisional yang
diletakkan di benteng utama.
Siasat perang berjalan sesuai rencana, dimana dapat menggiring pasukan
Belanda masuk perangkap ke benteng Supit Surang (Makara Wyuhana).
Belanda menganggap remeh prajurit Jagaraga serta sekutunya.
Belanda tidak mengenal medan pertempuran Jagaraga. Belanda tidak mampu
melakukan konsolidasi karena situasi politik, baik di Indonesia maupun Eropa
16
menuju Desa Jagaraga, ternyata benteng-benteng Jagaraga sudah diserang habis-
habisan oleh Belanda di bawah pimpinan Letkol CA de Brauw.
17
7. Perang Banjar
18
pelabuhan-pelabuhan dagang Kesultanan Banjar pada abad 15 M selalu ramai dengan
kapal-kapal dagang internasional. Kesultanan Banjar juga memiliki hasil sumber daya
alam seperti emas, intan, lada, rotan dan damar yang melimpah. Hal inilah yang
kemudian mendorong Belanda untuk mulai merencanakan strategi agar dapat
menguasai Kesultanan Banjar.
Dilansir dari buku Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004 (1981) karya M.C
Ricklefs, Belanda dan Kesultanan Banjar mulai melakukan interaksi pada sekitar
tahun 1840-an. Setelah itu, Belanda mulai dengan strategi melakukan campur tangan
di beberapa wilayah Kesultanan Banjar dan memadamkan sengketa-sengketa yang
ada. Sebagai imbalan, Belanda mendapatkan hak khusus untuk mencampuri urusan
dalam negeri Kesultanan Banjar. Kondisi tersebut berlangsung lama hingga akhirnya
perlawanan rakyat Banjar dimulai saat Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah II
sebagai Sultan Banjar pada tahun 1859. Padahal, waktu itu sosok yang seharusnya
naik tahta menjadi Sultan Banjar adalah Pangeran Hidayatullah II.
Namanya juga tertulis dalam surat wasiat yang ditulis oleh Sultan Adam agar
menjadi penerus takhta. Pada tanggal 28 April 1859, Pangeran Antasari dan Pangeran
Hidayatullah II kemudian memimpin perlawanan terhadap Belanda. Pangeran
Antasari memimpin penyerangan terhadap benteng Belanda dan tambang batu bara di
wilayah Pengaron. Dalam serangan tersebut tentara Belanda dapat dilumpuhkan dan
pasukan Pangeran Antasari dapat menguasai tambang batu bara di Pengaron. Setelah
itu, muncul beberapa pertempuran di tempat lain seperti Pertempuran Benteng
Tabanio di Agustus 1859, Pertempuran Benteng Gunung Lawak pada September
1859, Pertempuran Munggu Tayur pada Desember 1859, dan Pertempuran Amawang
pada Maret 1860.
Dalam buku Pegustian dan Temanggung : Akar Sosial, Politik, Etnis dan
Dinasti, Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906 (2014)
karya Helius Sjamsudin, disebutkan bahwa Belanda membalas serangan Pangeran
Antasari dengan menawan keluarga Pangeran Hidayatullah II. Belanda kemudian
meminta Pangeran Hidayatullah II untuk keluar dari persembunyiannya. Pangeran
Hidayatullah II yang keluar dari persembunyiannya untuk menyelamatkan
keluarganya justru ditangkap Belanda dan diasingkan menuju ke Cianjur.
19
Hal itu tak membuat menghentikan Pangeran Antasari perlawanan. Ia terus
melakukan perlawanan di daerah-daerah di Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah. Pangeran Antasari juga mendirikan tujuh unit benteng di Teweh untuk
memperkuat pertahanan rakyat. Perang Banjar mulai meredup ketika Pangeran
Antasari mulai melemah karena terserang penyakit paru-paru dan cacar.
Perjuangannya terus dilakukan hingga Pangeran Antasari wafat pada 11 Oktober
1862. Gusti Mat Seman, Gusti Acil, Gusti Muhammad Arsyad, dan Antung
Durrahman melanjutkan perjuangan di Perang Banjar hingga titik darah penghabisan.
Perang Banjar berakhir pada tahun 1905 dengan kemenangan berada di pihak Belanda
yang berhasil menghapus Kesultanan Banjar.
20