PERLAAWANAN BANGSA INDONESIA TERHADAP KOLONIALISME DAN IMPERIALISME
1. Aceh Melawan Portugis
Setelah persiapan dilakukan, kemudian Aceh segera melancarkan serangan terhadap Portugis di Malaka. Portugis pun mengerahkan semua kekuatannya sehingga serangan Aceh tersebut dapat digagalkan. Pada tahun 1569 Portugis menyerang Aceh, tetapi dapat digagalkan oleh pasukan Aceh. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639) semangat untuk mempertahankan tanah air dan mengusir penjajahan asing terus meningkat. Sultan Iskandar Muda berusaha memperkuat pasukannya, seperti Angkatan Laut diperkuat dengan kapal yang lebih besar yang dapat menampung 600-800 prajurit dan pasukan kavaleri dilengkapi dengan kuda-kuda dari Persia. Selain itu, Aceh juga menyiapkan pasukan gajah dan milisi infanteri. Setelah mempersiapkan pasukan, Iskandar Muda pada tahun 1629 melancarkan serangan ke Malaka. Untuk menghadapi serangan tersebut , Portugis harus mengarahkan semua kekuatan. Namun, serangan Aceh tersebut tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka.
2. Maluku Melawan Portugis
Perlawanan dilanjutkan oleh Sultan Baabullah (putra Sultan Hairun). Seluruh rakyat berhasil disatukan untuk melawan Portugis. Akhirnya pada tahun 1575 Portugis dapat didesak dan berhasil diusir dari Ternate. Portugis kemudian melarikan diri dan menetap di Ambon sampai tahun 1605. Pada tahun 1605 Portugis dapat diusir VOC dari Ambon dan kemudian menetap di Timor Timur. Pada tahun 1680 VOC memaksakan perjanjian baru dengan Tidore. Kerajaan Tidore semula sebagai sekutu VOC turun statusnya menjadi vasal. Sebagai penguasa yang baru diangkat Putra Alam sebagai Sultan Tidore (menurut tradisi kerajaan Tidore seharusnya yang berhak sebagai Sultan adalah Pangeran Nuku). Penempatan Kerajaan Tidore sebagai daerah kekuasaan VOC menimbulkan protes dari Pangeran Nuku. Di bawah Pangeran Nuku, rakyat Maluku melawan kekuatan kompeni Belanda (tentara VOC). Perlawanan Sultan Nuku tersebut mendapat dukungan dari rakyat Papua yang dipimpin oleh Raja Ampat dan orang-orang Gamrange dari Halmahera. Sultan Nuku diangkat oleh pengikutnya sebagai sultan dengan gelar Tuan Sultan Amir Muhammad Syafiudin Syah. Sultan Nuku juga berhasil meyakinkan Sultan Aharal dan Pangeran Ibrahim untuk melawan VOC, bahkan Inggris juga memberi dukungan. Dalam perlawanan tersebut, VOC kewalahan dan tidak mampu membendung Sultan Nuku. Sultan Nuku berhasil mengembalikan pemerintahan yang berdaulat di Tidore sampai beliau meninggal.
3. Sultan Agung Melawan VOC
Dengan kekalahan tersebut, Sultan Agung segera mempersiapkan serangan yang kedua. Sultan Agung meningkatkan jumlah kapal dan senjata, serta membangun lumbung-lumbung beras untuk persediaan bahan makanan di Tegal dan di Cirebon. Pada tahun 1629 pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Singaranu, Kiai Dipati Jumilah, dan Dipati Purbaya berangkat menuju Batavia. Namun, persiapan yang dilakukan oleh pasukan Mataram diketahui oleh VOC. VOC mengirim kapal-kapal perang untuk menghancurkan lumbung-lumbung beras. Karena persenjataan VOC lebih lengkap, serangan kedua Sultan Agung pun mengalami kegagalan. Walaupun perlawanan Sultan Agung terhadap VOC mengalami kegagalan, semangat dan cita-cita untuk melawan dominasi asing di Nusantara terus tertanam pada jiwa Sultan Agung dan para pengikutnya. Namun, semangat dan cita-cita untuk melawan dominasi asing tersebut tidak diwarisi oleh raja-raja pengganti Sultan Agung. Mataram menjadi semakin lemah dan berhasil dikendalikan oleh VOC setelah Sultan Agung meninggal pada tahun 1645. Pengganti Sultan Agung adalah Sunan Amangkurat I (1646-1677).
4. Banten Melawan VOC
Untuk menghadapi serangan Banten, VOC memperkuat kota Batavia dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan seperti benteng Noorwijk. Dengan benteng-benteng tersebut diharapkan VOC mampu bertahan dari serangan dari luar dan mengusir penyerangnya. Sementara itu Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan membangun saluran irigasi untuk kepentingan pertahanan. Saluran irigasi tersebut selain untuk meningkatkan produksi pertanian juga untuk memudahkan transpotasi dalam perang. Pada masa pemerintahan Sultan Ageng banyak dibangun saluran air atau irigasi. Oleh karena itu, Sultan Ageng mendapat gelar Sultan Ageng Tirtayasa (tirta berarti air). Sultan Haji menyetujui perjanjian tersebut, dan pada tahun 1681 VOC berhasil merebut kesultanan Banten, Istana Surosowan berhasil dikuasai VOC dan Sultan Haji kemudian menjadi Sultan Banten yang berkedudukan di Istana Surosuwan. Kemudian Sultan Ageng membangun istana baru yang berpusat di Tirtayasa. Sultan Ageng berusaha merebut kembali Kesultanan Banten dan pada tahun 1682 pasukan Sultan Ageng berhasil mengepung Istana Surosowan. Dalam perebutan tersebut, Sultan Haji terdesak dan minta bantuan kepada VOC. Sultan Ageng terdesak dan meloloskan diri bersama Pangeran Arya Purbaya ke hutan lebak. Sultan Ageng dan Putranya terus melakukan serangan dengan bergerilya. Namun setelah melalui tipu muslihat, pada tahun 1683 Sultan Ageng berhasil ditangkap dan ditawan di Batavia hingga meninggal pada tahun 1692. Perlu diketahui bahwa semangat juang Sultan Ageng dan pengikutnya tidak pernah padam. Sultan Ageng mengajarkan untuk selalu menjaga kedaulatan negara dan selalu mempertahankan tanah air dari dominasi asing.
5. Goa Melawan VOC
Sultan Hasanuddin ingin menghentikan VOC dan seluruh kekuatan dipersiapkan untuk mengahadapi VOC yang ingin memaksakan monopoli perdagangan di Goa. Demikian juga sebaliknya, VOC mempersiapkan untuk menundukkan Goa. VOC mulai melancaran politik devide et impera, misalnya dengan menjalin hubungan dengan seorang Pangeran Bugis dari Bone yang bernama Aru Palaka. Selanjutnya Gubernur Jenderal Maetsuyker (pimpinan VOC) memutuskan untuk menyerang Goa dan pada tanggal 7 Juli 1667 terjadilah Perang Goa. Pasukan VOC dipimpin oleh Cornelis Janszoon Spelman dan diperkuat oleh pengikut Aru Palaka serta ditambah orang-orang Ambon yang dipimpin Jonker van Manipa. Beberapa serangan VOC tersebut dapat ditahan oleh pasukan Hasanuddin, tetapi dengan pasukan gabungan dan senjata yang lebih lengkap, VOC berhasil mendesak pasukan Hasanuddin. Benteng pertahanan yang ada di Barombang dapat diduduki oleh pasukan Aru Palaka dan hal itu menandai kemenangan pihak VOC atas Kerajaan Goa. Sultan Hasanuddin dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 Nopember 1667. Sultan Hasanuddin tidak mau melaksanakan isi Perjanjian Bongaya karena isi perjanjian tersebut bertentangan dengan hati nurani dan semboyan masyarakat Goa atau Makassar. Sultan Hasanuddin pada tahun 1668 mencoba melawan VOC, tetapi dapat dipadamkan oleh VOC. Akhirnya dengan sangat terpaksa Sultan Hasanuddin melaksanakan isi Perjanjian Bongaya. Bahkan, benteng pertahanan rakyat Goa diserahkan kepada VOC dan oleh Spelman diberi nama Benteng Rotterdam.
6. Riau Melawan VOC
Untuk melawan VOC, Sultan Siak dan para panglima serta penasihat mengatur siasat baru dan disepakati bahwa VOC harus dilawan dengan tipu daya. Dalam siasat tersebut, sultan diminta untuk berpura-pura berdamai dengan cara memberikan hadiah kepada Belanda. Siasat tersebut dikenal dengan nam siasat hadiah sultan. VOC pun setuju dengan ajakan damai tersebut dan perundingan dilakukan di Loji di Pulau Guntung. Ketika perundingan baru dimulai Sultan Siak dipaksa untuk tunduk kepada VOC. Namun, sultan segera memberi kode kepada anak buahnya dan segera menyergap dan membunuh orang-orang Belanda. Loji dibakar dan rombongan Sultan Siak kembali ke Siak dengan kemenangan, meskipun belum mengeyahkan VOC dari Malaka. Siasat baru tersebut tidak terlepas dari jasa Raja Indra Pahlawan. Karena jasanya tersebut, Raja Indra Pahlawan diangkat sebagai Panglima Besar Kesultanan Siak dengan gelar Panglima Perang Raja Datuk Lima Puluh.
7. Pangeran Mangkubumi dan Mas Said Melawan VOC
Raden Mas Said yang diikuti oleh R. Sutawijaya dan Suradiwangsa keluar kota untuk menyusun kekuatan. Raden Mas Said diangkat pengikutnya sebagai raja baru dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Senopati Sudibyaning Prang. Sampai sekarang sebutan Raden Mas Said dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Perlawanan yang dilakukan Raden Mas Said ternyata cukup kuat karena mendapat dukungan dari masyarakat dan hak itu merupakan ancaman bagi eksistensi Paku Buwana II. Oleh karena itu, pada tahun 1745 Paku Buwana II mengumumkan bahwa siapa yang dapat memadamkan perlawanan Mas Said akan mendapat hadiah sebidang tanah di Sukowati (di wilayah Sragen sekarang). Adanya berita sayembara tersebut sampai ke Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi ingin mencoba komitmen dan kejujuran Paku Buwana II. Pangeran Mangkubumi adalah adik dari Paku Buwana II. Pangeran Mangkubumi berhasil memadamkan perlawanan Mas Said, tetapi ternyata Paku Buwana II tidak menepati janjinya. Oleh karena bujukan dari Patih Pringgalaya, Paku Buwana II tidak memberikan tanah Sukowati kepada Pangeran Mangkubumi. Hal tersebut memicu terjadinya pertentangan antara Paku Buwana II yang didukung Patih Pringgalaya dan Pangeran Mangkubumi. Pada waktu terjadi konflik tersebut, tiba-tiba dalam pertemuan terbuka di istana, Gubernur Jenderal Van Imhoff mengeluarkan kata-kata yang menghina dan menuduh Pangeran Mangkubumi bermabisi mencari kekuasaan. Hal tersebut membuat Pangeran Mangkubumi sangat kecewa terhadap pejabat VOC yang secara langsung telah mencampuri urusan pemerintahan kerajaan, kemudian Pangeran Mangkubumi meninggalkan Istana untuk melawan VOC. Pangeran Mangkubumi dan pengikutnya pergi ke Sukowati menemui Mas Said. Akhirnya Pengeran Mangkubumi dan Mas Said sepakat untuk bersatu melawan VOC. Agar persekutuan keduanya kukuh, Raden Mas Said dijadikan menantu dan membagi wilayah perjuangan. Raden Mas Said bergerak di bagian timur, daerah surakarta ke selatan terus ke Madiun, Ponorogo dengan Sukowati sebagai pusatnya. Adapun Mangkubumi berkonsentrasi di bagian barat Surakarta terus ke barat dengan pusatnya di hutan Beringin dan desa Pacetokan, dekat Pleret (termasuk daerah Yogyakarta sekarang). Setelah persiapan dilakukan, kemudian segera melancarkan serangan terhadap Portugis.
Portugis pun mengerahkan semua kekuatannya sehingga
serangan tersebut dapat digagalkan. Pada tahun 1569 Portugis menyerang, tetapi dapat digagalkan oleh pasukannya.
Pada masa pemerintahan Sultan tersebut (1607-1639) semangat
untuk mempertahankan tanah air dan mengusir penjajahan asing terus meningkat. Sultan tersebut berusaha memperkuat pasukannya, seperti Angkatan Laut diperkuat dengan kapal yang lebih besar yang dapat menampung
600-800 prajurit dan pasukan kavaleri dilengkapi dengan kuda-
kuda dari Persia. Selain itu, juga menyiapkan pasukan gajah dan milisi infanteri.
Setelah mempersiapkan pasukan, pada tahun 1629 melancarkan
serangan ke daerah tersebut. Untuk menghadapi serangan tersebut, Portugis harus mengarahkan semua kekuatan. Namun, serangan tersebut tidak berhasil mengusir Portugis.
Perlawanan dilanjutkan oleh seorang Sultan. Seluruh
rakyat berhasil disatukan untuk melawan Portugis.
Akhirnya pada tahun 1575 Portugis dapat didesak dan
berhasil diusir dari tempat tersebut. Portugis kemudian melarikan diri dan menetap di sana sampai tahun 1605. Pada tahun 1605 Portugis dapat diusir VOC dan kemudian menetap di tempat itu.
Pada tahun 1680 VOC memaksakan perjanjian baru.
Kerajaan tersebut semula sebagai sekutu VOC turun statusnya menjadi vasal.
Sebagai penguasa yang baru diangkat Putra Alam sebagai
Sultan. Penempatan Kerajaan itu sebagai daerah kekuasaan VOC menimbulkan protes dari Pangeran.
Di bawah Pangeran, rakyat tersebut melawan kekuatan
kompeni Belanda.
Perlawanan Sultan tersebut mendapat dukungan dari
rakyat Papua yang dipimpin oleh seorang dan orang-orangnya.
Sultan itu diangkat oleh pengikutnya sebagai sultan
dengan gelar Tuan. Sultan itu juga berhasil meyakinkan Sultan- sultan yang lain untuk melawan VOC, bahkan Inggris juga memberi dukungan.
Dalam perlawanan tersebut, VOC kewalahan dan tidak
mampu membendung Sultan tersebut.
Sultan tersebut berhasil mengembalikan pemerintahan
yang berdaulat sampai beliau meninggal.
Dengan kekalahan tersebut, Sultan segera mempersiapkan
serangan yang kedua. Sultan meningkatkan jumlah kapal dan senjata, serta membangun lumbung-lumbung beras untuk persediaan bahan makanan di tmpat- tempat itu.
Pada tahun 1629 pasukan itu di bawah pimpinan seorang
tokoh, berangkat menuju Batavia. Namun, persiapan yang dilakukan oleh pasukan wilayah tersebut diketahui oleh VOC.
VOC mengirim kapal-kapal perang untuk menghancurkan
lumbung-lumbung beras. Karena persenjataan VOC lebih lengkap, serangan kedua Sultan tersebut pun mengalami kegagalan. Walaupun perlawanan Sultan tersebut terhadap VOC mengalami kegagalan, semangat dan cita-cita untuk melawan dominasi asing di Nusantara terus tertanam pada jiwa Sultan dan para pengikutnya.
Namun, semangat dan cita-cita untuk melawan dominasi
asing tersebut tidak diwarisi oleh raja-raja pengganti Sultan. Daerah tersebut menjadi semakin lemah dan berhasil dikendalikan oleh VOC
setelah Sultan meninggal pada tahun 1645. Pengganti
Sultan I (1646-1677). Untuk menghadapi serangan daerah tersebut, VOC memperkuat kota Batavia dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan.
Dengan benteng-benteng tersebut diharapkan VOC mampu
bertahan dari serangan dari luar dan mengusir penyerangnya.
Sementara itu Sultan memerintahkan membangun saluran
irigasi untuk kepentingan pertahanan. Saluran irigasi tersebut selain untuk meningkatkan produksi pertanian juga untuk memudahkan transpotasi dalam perang. Pada masa pemerintahan Sultan banyak dibangun saluran air atau irigasi. Oleh karena itu, Sultan tersebut mendapat gelar (tirta berarti air).
Sultan Haji menyetujui perjanjian tersebut, dan pada tahun
1681 VOC berhasil merebut kesultanan,
Istana berhasil dikuasai VOC dan Sultan kemudian menjadi
Sultan daerah itu yang berkedudukan di Istana. Kemudian Sultan membangun istana baru yang berpusat di tempat itu. Sultan berusaha merebut kembali Kesultanan dan pada tahun 1682 pasukan Sultan berhasil mengepung Istana.
Dalam perebutan tersebut, Sultan terdesak dan minta
bantuan kepada VOC.
Sultan terdesak dan meloloskan diri bersama Pangeran ke
hutan lebak. Sultan dan Putranya terus melakukan serangan dengan bergerilya. Namun setelah melalui tipu muslihat, pada tahun 1683 Sultan berhasil ditangkap dan ditawan di Batavia hingga meninggal pada tahun 1692.
Sultan ingin menghentikan VOC dan seluruh kekuatan
dipersiapkan untuk mengahadapi VOC yang ingin memaksakan monopoli perdagangan di sana.
Demikian juga sebaliknya, VOC mempersiapkan untuk
menundukkan. VOC mulai melancaran politik devide et impera, misalnya dengan menjalin hubungan dengan seorang Pangeran. Selanjutnya Gubernur Jenderal (pimpinan VOC) memutuskan untuk menyerang dan pada tanggal 7 Juli 1667 terjadilah Perang .
Pasukan VOC dipimpin oleh tokoh dan diperkuat oleh pengikut
serta ditambah orang-orang yang dipimpin.
Beberapa serangan VOC tersebut dapat ditahan oleh pasukan
sultan, tetapi dengan pasukan gabungan dan senjata yang lebih lengkap, VOC berhasil mendesak pasukan.
Benteng pertahanan yang ada di sana dapat diduduki oleh
pasukan dan hal itu menandai kemenangan pihak VOC atas Kerajaan Sultan dipaksa untuk menandatangani Perjanjian pada tanggal 18 Nopember 1667.
Sultan tidak mau melaksanakan isi Perjanjian karena isi perjanjian
tersebut bertentangan dengan hati nurani dan semboyan masyarakat.
Sultan n pada tahun 1668 mencoba melawan VOC, tetapi dapat
dipadamkan oleh VOC. Akhirnya dengan sangat terpaksa Sultan melaksanakan isi Perjanjian. Bahkan, benteng pertahanan rakyat diserahkan kepada VOC Untuk melawan VOC, Sultan dan para panglima serta penasihat mengatur siasat baru dan disepakati bahwa VOC harus dilawan dengan tipu daya.
Dalam siasat tersebut, sultan diminta untuk berpura-pura
berdamai dengan cara memberikan hadiah kepada Belanda. Siasat tersebut dikenal dengan nam siasat hadiah sultan.
VOC pun setuju dengan ajakan damai tersebut dan
perundingan dilakukan. Ketika perundingan baru dimulai Sultan dipaksa untuk tunduk kepada VOC. Namun, sultan segera memberi kode kepada anak buahnya dan segera menyergap dan membunuh orang-orang Belanda.
Loji dibakar dan rombongan Sultan kembali ke tempat itu
dengan kemenangan, meskipun belum mengeyahkan VOC.
Siasat baru tersebut tidak terlepas dari jasa Raja. Karena
jasanya tersebut, Raja diangkat sebagai Panglima Besar Kesultanan. Raden diangkat pengikutnya sebagai raja baru dengan gelar Pangeran. Sampai sekarang sebutan Raden dikenal dengan Pangeran.
Perlawanan yang dilakukan Raden ternyata cukup kuat karena
mendapat dukungan dari masyarakat dan hak itu merupakan ancaman bagi eksistensi.
Oleh karena itu, pada tahun 1745 mengumumkan bahwa siapa
yang dapat memadamkan perlawanan akan mendapat hadiah sebidang tanah. Adanya berita sayembara tersebut sampai ke Pangeran. Pangeran ingin mencoba komitmen dan kejujuran tokoh.
Pangeran berhasil memadamkan perlawanan, tetapi ternyata
tidak menepati janjinya. Oleh karena bujukan dari Patih, pangeran tidak memberikan tanah kepada Pangeran.
Hal tersebut memicu terjadinya pertentangan antara Paku yang
didukung Patih dan Pangeran.
Pada waktu terjadi konflik tersebut, tiba-tiba dalam pertemuan
terbuka di istana, Gubernur Jenderal mengeluarkan kata-kata yang menghina dan menuduh Pangeran bermabisi mencari kekuasaan. Hal tersebut membuat Pangeran sangat kecewa terhadap pejabat VOC yang secara langsung telah mencampuri urusan pemerintahan kerajaan,
kemudian Pangeran meninggalkan Istana untuk melawan VOC.
Pangeran dan pengikutnya pergi ke tempat tersebut menemui pangeran.
Akhirnya Pengeran tersebut sepakat untuk bersatu melawan