Anda di halaman 1dari 21

PERLAWANAN BANGSA INDONESIA TERHADAP

KOLONIALISME DAN IMPERIALISME


Mata Pelajaran Sejarah Indonesia
Tahun Ajaran 2020/2021

Gede Eka Krisna


XI MIPA 3
04
Perang Melawan Portugis dan Kongsi Dagang VOC

1. Aceh Melawan Portugis

Jatuhnya Malaka pada tahun 1511 oleh Portugis membawa keuntungan bagi Aceh.
Banyak para pedagang Islam yang pindah ke Aceh, hal tersebut mendorong Aceh berkembang
menjadi bandar dan pusat perdagangan. Perkembangan Aceh tersebut oleh Portugis dianggap
sebagai ancaman sehingga pada tahun 1523 Portugis di bawah pimpinan Henriques dan pada
tahun 1524 di bawah pimpinan De Sauza melancarkan serangan ke Aceh.

Namun, serangan tersebut mengalami kegagalan dan Portugis selalu berusaha


mengganggu kapal-kapal dagang Aceh. Apa yang dilakukan Portugis tersebut telah merampas
kedaulatan Aceh yang ingin bebas dan berdaulat berdagang dengan siapa saja serta
mengadakan hubungan dengan bangsa mana pun atas dasar persamaan.

Tindakan-tindakan kapal Portugis tersebut telah mendorong munculnya perlawanan rakyat


Aceh. Untuk mengadakan perlawanan, Aceh melakukan langkah-langkah berikut. a.
Melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan, meriam, dan prajurit.

b. Mendatangkan bantuan persenjataan, sejuniah tentara, dan beberapa ahli dari Turki pada
tahun 1567. Mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut, India dan Jepara.

Setelah persiapan dilakukan, kemudian Aceh segera melancarkan serangan terhadap


Portugis di Malaka. Portugis pun mengerahkan semua kekuatannya sehingga serangan Aceh
tersebut dapat digagalkan. Pada tahun 1569 Portugis menyerang Aceh, tetapi dapat digagalkan
oleh pasukan Aceh.

Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639) semangat untuk


mempertahankan tanah air dan mengusir penjajahan asing terus meningkat. Sultan Iskandar
Muda berusaha memperkuat pasukannya, seperti Angkatan Laut diperkuat dengan kapal yang
lebih besar yang dapat menampung 600-800 prajurit dan pasukan kavaleri dilengkapi dengan
kuda-kuda dari Persia. Selain itu, Aceh juga menyiapkan pasukan gajah dan milisi infantri.
Setelah mempersiapkan pasukan, Iskandar Muda pada tahun 1629 melancarkan serangan ke
Malaka. Untuk menghadapi serangan tersebut, Portugis harus mengerahkan semua kekuatan.
Namun, serangan Aceh tersebut tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka.
2. Maluku Melawan Portugis dan VOC

Pada tahun 1521 Portugis berhasil memasuki Kepulauan Maluku dan memusatkan
aktivitasnya di Temate. Spanyol juga memasuki Kepulauan Maluku dan memusatkan
kedudukannya di Tidore sehingga terjadilah persaingan antara keduanya. Persaingan semakin
tajam setelah Portugis menjalin persekutuan dengan Ternate dan Spanyol menjalin persekutuan
dengan Tidore. Pada tahun 1529 terjadi perang antara Tidore dan Portugis. Portugis memperoleh
kemenangan karena mendapat dukungan dari Ternate dan Bacan. Adapun penyebabnya adalah
kapal-kapal Portugis menembaki jung-jung dari Banda yang akan membeli cengkih ke Tidore.

Untuk menyelesaikan persaingan antara Portugis dan Spanyol dilakukan Perjanjian


Saragosa pada tahun 1534. Dengan perjanjian tersebut kedudukan Portugis di Maluku semakin
kuat dalam melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah. Kedudukan Portugis tersebut
mengganggu kedaulatan kerajaan-kerajaan yang ada di Maluku hingga pada tahun 1565
muncul perlawanan rakyat Ternate yang dipimpin oleh Sultan Khaerun/Hairun. Portugis
kewalahan menghadapi serangan Sultan Hairun sehingga Portugis menawarkan perundingan
kepada Sultan Hairun. Perundingan tersebut dilaksanakan di Benteng Sao Paolo pada tahun
1570. Namun ternyata perundingan tersebut hanyalah tipu muslihat, ketika sedang berunding
Sultan Hairun ditangkap dan dibunuh.
Perlawanan dilanjutkan oleh Sultan Baabullah (putra Sultan Hairun). Seluruh rakyat
berhasil disatukan untuk melawan Portugis. Akhirnya pada tahun 1575 Portugis dapat didesak
dan berhasil diusir dari Ternate, Portugis kemudian melarikan diri dan menetap di Ambon
sampai tahun 1605. Pada tahun 1605 Portugis dapat diusir VOC dari Ambon dan kemudian
menetap di Timor Timur.

Pada tahun 1680 VOC memaksakan perjanjian baru dengan Tidore. Kerajaan Tidore
semula sebagai sekutu VOC turun statusnya menjadi vasal. Sebagai penguasa yang baru
diangkat Putra Alam sebagai Sultan Tidore (menurut tradisi Kerajaan Tidore seharusnya yang
berhak sebagai sultan adalah Pangeran Nuku). Penempatan Kerajaan Tidore sebagai daerah
kekuasaan VOC menimbulkan protes dari Pangeran Nuku. Di bawah Pangeran Nuku, rakyat
Maluku melawan kekuatan kompeni Belanda (tentara VOC).

Perlawanan Sultan Nuku tersebut mendapat dukungan dari rakyat Papua yang dipimpin
oleh Raja Ampat dan orang-orang Gamrange dari Halmahera. Sultan Nuku diangkat oleh
pengikutnya sebagai sultan dengan gelar Tuan Sultan Amir Muhammad Syafiudin Syah. Sultan
Nuku juga berhasil meyakinkan Sultan Aharal dan Pangeran Ibrahim untuk melawan VOC,
bahkan Inggris juga memberi dukungan. Dalam perlawanan tersebut, VOC kewalahan dan
tidak mampu membendung Sultan Nuku. Sultan Nuku berhasil mengembalikan pemerintahan
yang berdaulat di Tidore sampai beliau meninggal.

3. Sultan Agung Melawan VOC

Kerajaan Mataram mencapai zaman keemasan pada masa pemerintahan Sultan Agung.
Sultan Agung sangat menentang keberadaan VOC di Jawa, VOC yang terus memaksakan
kenendaknya untuk melakukan monopoli perdagangan, telah membuat pedagang pribumi
mengalami kemunduran dan rakyat menderita Oleh karena itu. Sultan Agung merencanakan
serangan ke Batavia. Adapun alasan Sultan Agung menyerang Batavia adalah sebagai berikut.

a. Tindakan monopoli perdagangan yang dilakukan VOC.

b. VOC sering menghalang-halangi kapal-kapal dagang Mataram yang akan berdagang ke


Malaka.

c. VOC menolak untuk mengakui kedaulatan Mataram.

d. Keberadaan VOC di Batavia telah memberikan ancaman serius bagi masa depan Pulau

Jawa.

Pada tanggal 22 Agustus 1628 pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung


Baureksa menyerang Batavia. Pasukan Mataram berusaha untuk membangun pos pertahanan,
tetapi VOC berusaha menghalangi sehingga pertempuran tidak dapat dihindari. Pada saat itu
gubernur jenderal VOC adalah J.P. Coen, Pasukan Mataram berusaha mengepung Batavia dari
berbagai penjuru, tetapi kekuatan tentara VOC dengan senjatanya yang unggul dapat memukul
mundur kekuatan pasukan Mataram. Dalam pertempuran tersebut Tumenggung Baureksa
gugur dan serangan Sultan Agung pada tahun 1628 belum berhasil.

Dengan kekalahan tersebut, Sultan Agung segera mempersiapkan serangan yang kedua.
Sultan Agung meningkatkan jumlah kapal dan senjata, serta membangun lumbung- lumbung
beras untuk persediaan bahan makanan di Tegal dan di Cirebon. Pada tahun 1629 pasukan
Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Singaranu, Kiai Dipati Jumilah, dan Dipati Purbaya
berangkat menuju Batavia. Namun, persiapan yang dilakukan oleh pasukan Mataram diketahui
oleh VOC. VOC mengirim kapal-kapal perang untuk menghancurkan lumbung- lumbung
beras. Oleh karena persenjataan VOC lebih lengkap, serangan kedua Sultan Agung pun
mengalami kegagalan.

Dengan keberhasilan VOC tersebut, membuat VOC semakin berambisi untuk terus
memaksakan monopoli dan memperluas pengaruhnya ke daerah yang lain. Namun di balik hal
tersebut, VOC selalu khawatir dengan kekuatan pasukan Mataram. Pasukan VOC selalu
berjaga-jaga mengawasi segala gerak-gerik pasukan Mataram. Sebagai contohnya adalah pada
waktu pasukan Sultan Agung dikirim ke Palembang untuk membantu raja Palembang dalam
melawan VOC, di tengah perjalanan langsung diserang oleh VOC.

Walaupun perlawanan Sultan Agung terhadap VOC mengalami kegagalan, semangat dan
cita-cita untuk melawan dominasi asing di Nusantara terus tertanam pada jiwa Sultan Agung
dan para pengikutnya. Namun, semangat dan cita-cita untuk melawan dominasi asing tersebut
tidak diwarisi oleh raja-raja pengganti Sultan Agung. Mataram menjadi semakin lemah dan
berhasil dikendalikan VOC setelah Sultan Agung meninggal pada tahun 1645. Pengganti
Sultan Agung adalah Sunan Amangkurat I (1646-1677).

4. Banten Melawan VOC

Sebagai bandar perdagangan internasional posisi Banten sangat strategis. Oleh karena itu,
VOC ingin menguasai Banten, tetapi tidak pernah berhasil. Pada tahun 1619 VOC membangun
bandar perdagangan di Batavia sehingga terjadi persaingan antara Banten dan VOC dalam
memperebutkan posisi sebagai bandar perdagangan internasional. Hal tersebut mendorong
rakyat Banten sering melakukan serangan terhadap VOC.

Pada tahun 1651 Pangeran Surya naik tahta di Kesultanan Banten. Pangeran Surya adalah
cucu Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Karim, anak dari Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad
yang meninggal pada tahun 1650. Pangeran Surya bergelar Sultan Abu al-Fath Abdulfatah dan
lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Ageng Tirtayasa berusaha
memulihkan posisi Banten sebagai bandar perdagangan internasional dan sekaligus menandingi
perkembangan bandar perdagangan VOC di Batavia.
Beberapa hal yang dilakukan Sultan Ageng seperti dengan mengundang para pedagang
Inggris. Prancis, Denmark, dan Portugis. Seiain itu, Sultan Ageng juga mengembangkan
hubungan dagang dengan negara Asia, seperti Persia, Benggala, Siam, Tonkin, dan Cina.
Untuk melemahkan peran Banten sebagai bandar perdagangan, VOC sering melakukan
blokade. Jung-jung kapal Cina dan kapal-kapal dagang dari Maluku dilarang meneruskan
perjalanan ke Banten. Menanggapi hal tersebut, Sultan Ageng mengirim beberapa pasukan
untuk mengganggu kapal-kapal dagang VOC dan membuat gangguan di Batavia. Selain itu,
rakyat Banten juga melakukan pengrusakan terhadap beberapa kebun tanaman tebu milik VOC.

Untuk menghadapi serangan Banten, VOC memperkuat kota Batavia dengan mendirikan
benteng-benteng pertahanan seperti benteng Noorwijk. Dengan benteng-benteng tersebut
diharapkan VOC mampu bertahan dari serangan dari luar dan mengusir penyerangnya.
Sementara itu, Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan membangun saluran irigasi untuk
kepentingan pertahanan. Saluran irigasi tersebut selain untuk meningkatkan produksi pertanian
juga untuk memudahkan transportasi dalam perang. Pada masa permerintahan Sultan Ageng
banyak dibangun saluran air atau irigasi. Oleh karena itu, Sultan Ageng mendapat gelar Sultan
Ageng Tirtayasa (tirta berarti air).

Pada tahun 1671 Sultan Ageng mengangkat putra mahkota Abdulnazar Abdulkahar sebagai
raja pembantu. Putra mahkota tersebut lebih dikenal sebagai Sultan Haji. Sebagai raja pembantu,
Sultan Haji bertanggung jawab dalam urusan dalam negeri, sedangkan Sultan Ageng bertanggung
jawab atas urusan luar negeri dengan dibantu oleh putra yang lainnya yang bernama Pangeran
Arya Purbaya. Adanya pemisahan urusan tersebut diketahui oleh perwakilan VOC di Banten (W.
Caeff). Selanjuinya, W. Caeff mendekati dan menghasut Sultan Haji agar urusan pemerintahan di
Banten tidak dipisah-pisah dan jangan sampai kekuasaan jatuh kepada Pangeran

Arya Purbaya. Karena adanya hasutan, Sultan Haji mencungai ayah dan saudaranya. Sultan
Haji kemudian bersekongkol dengan VOC untuk merebut tahta Kesultanan Banten. Dalam
persekongkolan tersebut VOC bersedia membantu Sultan Haji, tetapi dengan beberapa syarat.

Berikut syarat-syarat yang diberikan VOC kepada Sultan Haji.

a. Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC.

b. Monopoli lada di Banten dipegang oleh VOC dan harus menyingkirkan para pedagang Persia,
India, dan Cina.
c. Banten harus membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji.

d. Pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan segera ditarik kembali.

Sultan Haji menyetujui perjanjian tersebut, dan pada tahun 1681 VOC berhasil merebut
Kesultanan Banten. Istana Surosowan berhasil dikuasai VOC dan Sultan Haji kemudian menjadi
Sultan Banten yang berkedudukan di Istana Surosowan. Sultan Ageng kemudian membangun
istana baru yang berpusat di Tirtayasa. Sultan Ageng berusaha merebut kembali Kesultanan
Banten dan pada tahun 1682 pasukan Sultan Ageng berhasil mengepung Istana Surosowan.
Dalam perebutan tersebut Sultan Haji terdesak dan minta bantuan kepada VOC. Sultan Ageng
terdesak dan meloloskan diri bersama Pangeran Arya Purbaya ke hutan Lebak. Sultan Ageng dan
putranya terus melakukan serangan dengan bergerilya. Namun setelah melalui tipu muslihat, pada
tahun 1683 Sultan Ageng berhasil ditangkap dan ditawan di Batavia hingga meninggal pada tahun
1692. Perlu diketahui bahwa semangat juang Sultan Ageng dan pengikutnya tidak pernah padam.
Sultan Ageng mengajarkan untuk selalu menjaga kedaulatan negara dan selalu mempertahankan
tanah air dari dominasi asing.

5. Goa Melawan VOC

Pusat pemerintahan Kerajaan Goa di Somba Opu dan sekaligus menjadi pelabuhan. Goa anti
terhadap tindakan monopoli perdagangan dan ingin hidup merdeka dan bersahabat kepada siapa
saja tanpa hak istimewa. Masyarakat Goa berpegang pada prinsip hidup "tanahku terbuka bagi
semua, Tuhan menciptakan tanah dan laut, tanah dijadikannya untuk semua manusia, dan laut
adalah milik bersama". Dengan prinsip keterbukaan itu, Goa cepat berkembang.

Dalam jalur perdagangan internasional, Pelabuhan Somba Opu memiliki posisi yang
strategis. Pelabuhan tersebut berperan sebagai bandar perdagangan tempat persinggahan kapal-
kapal dagang dari timur ke barat atau sebaliknya. Dengan posisi yang strategis dan melihat
perannya, VOC berusaha untuk menguasai Pelabuhan Somba Opu dan menerapkan monopoli
perdagangan. Untuk mewujudkan keinginannya VOC harus menundukkan Kerajaan Goa. Pada
tahun 1634 VOC melakukan blokade terhadap Pelabuhan Somba Opu, tetapi gagal. Hal tersebut
karena perahu-perahu Makassar yang berukuran kecil lebih lincah dan mudah bergerak di antara
pulau-pulau yang ada. Kemudian, kapal-kapal VOC merusak dan menangkap kapal-kapal pribumi
maupun kapal asing yang lainnya.

Sultan Hasanuddin ingin menghentikan VOC dan seluruh kekuatan dipersiapkan untuk
menghadapi VOC yang ingin memaksakan monopoli perdagangan di Goa. Demikian juga
sebaliknya, VOC mempersiapkan untuk menundukkan Goa. VOC mulai melancarkan politik
devide et impera, misalnya dengan menjalin hubungan dengan seorang pangeran Bugis dari Bone
yang bernama Aru Palaka. Selanjutnya, Gubernur Jenderal Maetsuyker (pimpinan VOC)
memutuskan untuk menyerang Goa dan pada tanggal 7 Juli 1667 terjadilah Perang Goa.

Pasukan VOC dipimpin oleh Comelis Janszoon Spelman dan diperkuat oleh pengikut Aru
Palaka serta ditambah orang-orang Ambon yang dipimpin oleh Jonker van Manipa. Beberapa
serangan VOC tersebut dapat ditahan oleh pasukan Hasanuddin, tetapi dengan pasukan gabungan

dan senjata yang lebih lengkap, VOC berhasil mendesak pasukan Hasanuddin. Benteng pertahanan
yang ada di Barombang dapat diduduki oleh pasukan Aru Palaka dan hal itu menandai kemenangan
pihak VOC atas Kerajaan Goa. Sultan Hasanuddin dipaksa untuk menandatangani Perjanjian
Bongaya pada tanggal 18 November 1667.
Berikut isi Perjanjian Bongaya.
a. Goa harus mengakui hak monopoli VOC.
b. Semua orang Barat, kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah Goa.
c. Goa harus membayar biaya perang.
Sultan Hasanuddin tidak mau melaksanakan isi Perjanjian Bongaya karena isi perjanjian
tersebut bertentangan dengan hati nurani dan semboyan masyarakat Goa atau Makassar. Sultan
Hasanuddin pada tahun 1668 mencoba melawan VOC, tetapi dapat dipadamkan oleh VOC.
Akhirnya dengan sangat terpaksa Sultan Hasanuddin melaksanakan isi Perjanijan Bongaya.
Bahkan, benteng pertahanan rakyat Goa diserahkan kepada VOC dan oleh Spelman diberi nama
Benteng Rotterdam.

6. Riau Melawan VOC

VOC terus melakukan monopoli perdagangan dan ingin menguasai daerah-daerah yang
ada di Nusantara. VOC pun mulai mengincar Kepulauan Riau. Dengan politik memecah belah,
VOC mulai berhasil menanamkan pengaruhnya di Riau, Kerajaan-kerajaan kecil seperti Siak,
Indragiri, Rokan, dan Kampar terdesak oleh VOC, Oleh karena itu, kemudian beberapa kerajaan
mulai melancarkan perlawanan terhadap VOC.

Contoh perlawanan tersebut adalah perlawanan yang dilakukan oleh Kerajaan Siak Sri
Indrapura. Raja Kerajaan Siak yang bemama Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1744)
memimpin rakyat untuk melawan VOC. Setelah Raja Siak Sultan Abdul Jalil berhasil merebut
Johor, kemudian membuat benteng pertahanan di Pulau Bintan. Dari Pulau Bintan, pasukan Sultan
Abdul Jalil mengirim pasukan di bawah komando Raja Lela Muda untuk menyerang Malaka. Dalam
pertempuran tersebut Raja Lela Muda selalu mengikutsertakan putranya yang bernama Raja Indra
Pahlawan. Oleh karena itu, Raja Indra Pahlawan sudah memiliki kepandaian berperang sejak muda.
Dalam diri Raja Indra Pahlawan sudah tertanam sifat cinta tanah air dan bela negara.

Untuk melawan VOC, Sultan Siak dan para panglima serta penasihat mengatur siasat baru
dan disepakati bahwa VOC harus dilawan dengan tipu daya. Dalam siasat tersebut, sultan diminta
untuk berpura-pura berdamai dengan cara memberikan hadiah kepada Belanda. Siasat tersebut
dikenal dengan nama "siasat hadiah sultan". VOC pun setuju dengan ajakan damai tersebut dan
perundingan dilakukan di Loji di Pulau Guntung. Ketika perundingan baru dimulai Sultan Siak
dipaksa untuk tunduk kepada VOC. Namun, sultan segera memberi kode kepada anak buahnya
dan segera menyergap dan membunuh orang-orang Belanda. Loji dibakar dan rombongan Sultan
Siak kembali ke Siak dengan kemenangan, meskipun belum mengenyahkan VoC dari Malaka.
Siasat baru tersebut tidak terlepas dari jasa Raja Indra Pahlawan. Oleh karena jasanya tersebut,
Raja Indra Pahlawan diangkat sebagai Panglima Besar Kesultanan Siak dengan gelar "Panglima
Perang Raja Indra Pahlawan Datuk Lima Puluh".

7. Pangeran Mangkubumi dan Mas Said Melawan VOC

Perlawanan terhadap VOC terjadi kembali di Jawa. Pada perlawanan ini dipimpin oleh
Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Pada materi sebelumnya sudah disinggung bahwa
beberapa raja Mataram setelah Sultan Agung merupakan raja yang lemah dan bersahabat dengan
penjajah. Pada saat pemerintahan Paku Buwono II terjadi persahabatan dengan VOC. VOC semakin
berani menekan dan melakukan intervensi terhadap pemerintahan Paku Buwono II. Wilayah
pengaruh Kerajaan Mataram semakin berkurang dan persahabatan antara VOC dan Paku Buwono

II menimbulkan kekecewaan para bangsawan kerajaan, apalagi setelah VOC melakukan


intervensi dalam urusan pemerintahan kerajaan. Hal tersebutlah yang kemudian menyebabkan
munculnya perlawanan-perlawanan seperti yang dilakukan oleh Raden Mas Said.
Raden Mas Said adalah putra dari Raden Mas Riya yang bergelar Adipati Arya
Mangkunegara dengan Raden Ayu Wulan, putri dari adipati Blitar. Raden Mas Said pada usia 14
tahun sudah diangkat sebagai gendek keraton (pegawai rendahan di istana) dan diberi gelar
R.M.Ng. Suryokusumo. Raden Mas Said merasa sudah berpengalaman dan kemudian
mengajukan permohonan untuk mendapatkan kenaikan pangkat. Namun hal itu justru mendapat
cercaan dan hinaan dari keluarga kepatihan, bahkan dikaitkan dengan tuduhan ikut membantu
pemberontakan orang-orang Cina yang sedang berlangsung. Hal itu membuat Raden Mas Said
merasa sakit hati dan muncul niat untuk melakukan perlawanan terhadap VOC yang telah
membuat kacau kerajaan karena banyak kaum bangsawan yang bersekutu dengan VOC.

Raden Mas Said yang diikuti oleh R. Sutawijaya dan Suradiwangsa keluar kota untuk
menyusun kekuatan. Raden Mas Said diangkat pengikutnya sebagal raja baru dengan gelar
Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Senopati Sudibyaning Prang. Sampai sekarang
sebutan Mas Said dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Perlawanan yang dilakukan Raden
Mas Said temyata cukup kuat karena mendapat dukungan dari masyarakat dan hal itu merupakan
ancaman bagi eksistensi Paku Buwono II. Oleh karena itu, pada tahun 1745 Paku Buwono II
mengumumkan bahwa siapa yang dapat memadamkan perlawanan Mas Said akan mendapat
hadiah sebidang tanah di Sukowati (di wilayah Sragen sekarang).

Adanya berita sayembara tersebut sampai ke Pangeran Mangkubumi. Pangeran


Mangkubumi ingin mencoba komitmen dan kejujuran Paku Buwono II. Pangeran Mangkubumi
adalah adik dari Paku Buwono II. Pangeran Mangkubumi berhasil memadamkan perlawanan Mas
Said, tetapi ternyata Paku Buwono II tidak menepati janjinya. Oleh karena bujukan dari Patih
Pringgalaya, Paku Buwono II tidak memberikan tanah Sukowati kepada Pangeran Mangkubumi.
Hal tersebut memicu terjadinya pertentangan antara Paku Buwono II yang didukung Patih
Pringgalaya dan Pangeran Mangkubumi.

Pada waktu terjadi konflik tersebut, tiba-tiba dalam pertemuan terbuka di istana, Gubernur
Jenderal Van Imhoff mengeluarkan kata-kata yang menghina dan menuduh Pangeran
Mangkubumi berambisi mencari kekuasaan. Hal tersebut membuat Pangeran Mangkubumi sangat
kecewa terhadap pejabat VOC yang secara langsung telah mencampuri urusan pemerintahan
kerajaan, kemudian Pangeran Mangkubumi meninggalkan istana untuk melawan VOC. Pangeran
Mangkubumi dan pengikutnya pergi ke Sukowati menemui Mas Said, Akhirnya Pangeran
Mangkubumi dan Mas Said sepakat untuk bersatu melawan VOC. Agar persekutuan keduanya
kukuh, Raden Mas Said dijadikan menantu dan membagi wilayah perjuangan. Raden Mas Said
bergerak di bagian timur, daerah Surakarta ke selatan terus ke Madiun, Ponorogo dengan
Sukowati sebagai pusatnya. Adapun Mangkubumi berkonsentrasi di bagian barat Surakarta terus
ke barat dengan pusatnya di hutan Beringin dan desa Pacetokan, dekat Pleret (termasuk daerah
Yogyakarta sekarang).

Dalam suasana perang pada tahun 1749 ada berita bahwa Paku Buwono II sedang sakit
keras. Dalam keadaan sakit tersebut, Paku Buwono |l terpaksa harus menandatangani perjanjian
dengan VOC. Perjanjian tersebut ditandatangani pada tanggal 11 Desember 1749 antara Paku
Buwono II dan wakil VOC, Gubernur Baron van Hohendorff.

Isi perjanjian tersebut antara lain sebagai berikut.

a. Susuhunan Paku Buwono II menyerahkan Kerajaan Mataram, baik secara de facto maupun secara
de jure kepada VOC.

b. Hanya keturunan Paku Buwono II yang berhak naik takhta dan akan dinobatkan oleh VOC
menjadi raja Mataram dengan tanah Mataram sebagai pinjaman dari VOC.

c. Putra mahkota akan segera dinobatkan.

Sembilan hari setelah perjanjian ditandatangani, Paku Buwono Il wafat. Pada tanggal 15
Desember 1749 Baron van Hohendorff mengumumkan pengangkatan putra mahkola sebagai
Susuhunan Paku Buwono III. Isi perjanjian tersebut sangat menyakitkan hati para punggawa dan
rakyat. Perjanjian tersebut merupakan tragedi karena Kerajaan Mataram yang pernah berjaya harus
menyerahkan kedaulatan atas seluruh wilayah kerajaan kepada pihak asing. Hal tersebut membuat
Pangeran Mangkubumi dan Mas Said kecewa serta semakin meningkatkan perlawanan terhadap
VOC.

Perlawanan yang dilakukan Pangeran Mangkubumi berakhir setelah tercapai Perjanjian Giyanti
pada tanggal 13 Februari 1755. Adapun isi pokok Perjanjian Giyanti yaitu Mataram dibagi menjadi
dua. Wilayah bagian barat (daerah Yogyakarta) diberikan kepada Pangeran Mangkubumi dan berkuasa
sebagai sultan dengan sebutan Sri Sultan Hamengku Buwono I, sedangkan untuk bagian timur (daerah
Surakarta) tetap diperintah oleh Paku Buwono IIl. Dengan sebutan Kasunanan Surakarta. Perjanjian
Giyanti tersebut sering dinamakan dengan "Palihan Negari". Dalam praktiknya Perjanjian Giyanti
hanya berhasil menghentikan peperangan secara militer. Peperangan dalam bentuk lain tidak dapat
dipadamkan seperti perlawanan budaya yang tecermin dalam budaya Jawa yang berkembang di
Yogyakarta dan Surakarta dalam konsep dan kepercayaan "Dewa-Raja". Perlawanan budaya dengan
konsep dan kepercayaan "Dewa-Raja" terus berkembang sampai Indonesia merdeka.

Perlawanan yang dilakukan oleh Mas Said berakhir setelah tercapai Perjanjian Salatiga pada
tanggal 17 Maret 1757. Isi Perjanjian Salatiga antara lain Mas Said diangkat sebagai penguasa di
sebagian wilayah Surakarta dengan gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.

B. Perang Melawan Penjajahan Kolonial Belanda

1. Perlawanan Pattimura

Perjuangan melawan pemerintah kolonial Belanda juga terjadi di Maluku. Perjuangan


rakyat Maluku dalam melawan pemerintah kolonial Belanda di bawah pimpinan Pattimura.
Adapun latar belakang perlawanan rakyat Maluku tersebut antara lain sebagai berikut. a.
Pemerintah kolonial memberlakukan kembali penyerahan wajib dan kerja wajib.

b. Pemerintah kolonial menurunkan tarif hasil bumi yang wajib diserahkan, sedangkan
pembayarannya tersendat-sendat.

c. Pemerintah kolonial memberlakukan uang kertas, sedangkan rakyat Maluku telah terbiasa
dengan uang logam.

d. Pemerintah kolonial menggerakkan pemuda Maluku untuk menjadi prajurit Belanda.

Perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda diawali dengan tindakan Kapitan


Pattimura yang mengajukan daftar keluhan kepada Residen Van den Bergh. Dalam daftar keluhan
tersebut berisi tindakan semena-mena pemerintah kolonial Belanda yang menyengsarakan rakyat.
Keluhan tersebut tidak ditanggapi Belanda sehingga rakyat Maluku di bawah pimpinan Kapitan
Pattimura menyerbu dan merebut benteng Duurstede di Saparua. Dalam pertempuran tersebut, Residen
Van den Bergh terbunuh. Perlawanan kemudian meluas ke Ambon, Seram, dan tempat lainnya.
Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Untuk mengatasi keadaan tersebut, Belanda
mengerahkan segenap kekuatannya untuk melawan rakyat Maluku. Akhirnya pada awal Agustus
1817, benteng Duurstede dapat direbut kembali oleh Belanda. Namun, perlawanan rakyat Maluku
tetap berlanjut dengan cara bergerilya.

Perlawanan rakyat Maluku berakhir dengan menyerahnya Kapitan Pattimura dengan teman-
temannya kepada Residen Liman Pietersen. Setelah Kapitan Pattimura dan teman- temannya diadili
di Ambon, pada tanggal 16 Desember 1817 dihukum mati di depan benteng Nieuw Victoria. Mereka
gugur sebagai pahlawan dalam membela rakyat yang tertindas.

2. Perang Padri

Perang Padri terjadi pada tahun 1821-1837 di Minangkabau, Sumatra Barat. Sebenarnya
Perang Padri merupakan perlawanan kaum padri terhadap dominasi pemerintahan Belanda di
Sumatra Barat. Terjadinya perang bermula dari adanya pertentangan antara kaum padri dan kaum
adat dalam masalah praktik keagamaan. Pertentangan tersebut dimanfaatkan sebagai pintu masuk
bagi Belanda untuk campur tangan dalam urusan Minangkabau. Dalam melaksanakan pemurnian
praktik ajaran Islam, kaum padri menentang praktik berbagai adat dan kebiasaan kaum adat yang
dilarang dalam ajaran Islam. Kaum adat yang mendapat dukungan dari beberapa pejabat kerajaan
menolak gerakan kaum padri.

Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1821 mengangkat James du Puy sebagai residen di
Minangkabau. Selanjutnya, pada tanggal 10 Februari 1821, James du Puy mengadakan perjanjian
persahabatan dengan tokoh adat (Tuanku Suruaso) dan 14 penghulu Minangkabau. Berdasarkan
perjanjian tersebut, ada beberapa daerah kemudian diduduki oleh Belanda. Pada tanggal 18
Februari 1821 Belanda yang telah diberi kemudahan oleh kaum adat berhasil menduduki
Simawang. Tindakan Belanda tersebut ditentang keras oleh kaum padri sehingga meletuslah
Perang Padri pada tahun 1821. Perang Padri dapat dibagi dalam tiga fase berikut.

a. Fase Pertama (1821-1825)

Pada fase ini kaum padri menyerang pos-pos dan pencegatan terhadap patroli-patroli
Belanda. Serangan kaum padri meluas di seluruh tanah Minangkabau. Pada tahun 1823 pasukan
padri berhasil mengalahkan tentara Belanda di Kapau. Kesatuan kaum padri yang terkenal berpusat
di Bonjol dengan pemimpinnya Peto Syarif (Tuanku Imam Bonjol). Tuanku Imam Bonjol sangat
gigih melawan kekejaman dan keserakahan Belanda di Minangkabau. Belanda merasa kewalahan
dan mengadakan perundingan damai pada tanggal 26 Januari 1824 antara Belanda dan kaum padri
di wilayah Alahan Panjang. Perundingan tersebut dikenal dengan Perjanjian Masang. Tuanku Imam
Bonjol tidak keberatan dengan perjanjian tersebut, tetapi Belanda justru memanfaatkan dengan
menduduki daerah-daerah lain. Tindakan Belanda tersebut menimbulkan amarah kaum padri
Alahan Panjang dan menyatakan pembatalan kesepakatan dalam Perjanjian Masang. Tuanku Imam
Bonjol menggelorakan kembali semangat untuk melawan Belanda.

b. Fase Kedua (1825- 1830)

Pada fase ini ditandatangani Perjanjian Padang pada tanggal 15 November 1825. Berikut
isi Perjanjian Padang.

1) Belanda mengakui kekuasaan pemimpin padri di Batusangkar, Suruaso, Padang Guguk


Sigandang, Agam, Bukittinggi dan menjamin pelaksanaan sistem agama di daerahnya.

2) Kedua belah pihak akan melindungi para pedagang dan orang-orang yang sedang melakukan
perjalanan.

3) Kedua belah pihak tidak akan saling menyerang.

4) Secara bertahap Belanda akan melarang praktik adu ayam.

c. Fase Ketiga (1830-1837/1838)

Pada fase ini sebagai upaya gencatan senjata pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan
Plakat Panjang. Plakat Panjang adalah pemyataan atau janji yang isinya tidak akan ada lagi
peperangan antara Belanda dan kaum padri. Setelah pengumuman Plakat Panjang. Belanda mulai
menawarkan perdamaian kepada para pemimpin padri. Ada beberapa tokoh yang memenuhi ajakan
Belanda untuk berdamai. Ada juga para pejuang yang terus melanjutkan perlawanan.

Pada tahun 1834 Belanda memusatkan kekuatannya untuk menyerang pasukan Imam
Bonjol. Belanda mencoba mendekati Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai. Tuanku Imam
Bonjol bersedia berdamai, tetapi dengan persyaratan antara lain jika tercapai tidak diduduki
Belanda. Belanda tidak memberi jawaban justru semakin ketat mengepung perdamalan, Imam
Bonjol minta agar rakyat Bonjol dibebaskan dari bentuk kerja paksa dan pertahanan di Bonjol.
Sampai tahun 1836 benteng Bonjol dapat dipertahankan pasukan padri. Pada tanggal 16
Agustus 1837 benteng Bonjol berhasil dikepung dan dilumpuhkan, tetapi Tuanku Imam Bonjol
dapat meloloskan diri. Residen Francis menyerukan Imam Bonjol untuk berunding. Pada
tanggal 28 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol menerima tawaran damai, tetapi temyata ajakan
berunding tersebut hanya tipu muslihat, Tuanku Imam Bonjol ditangkap dan dibawa ke Batavia.

3. Perang Diponegoro (1825-1830)

Perjuangan dalam melawan pemerintahan Belanda juga dilakukan di Jawa, seperti yang
dilakukan oleh Pangeran Diponegoro.

Sebab umum terjadinya Perang Diponegoro adalah sebagai berikut.

a. Rakyat dibelit berbagai bentuk pajak dan pungutan.

b. Pihak keraton Yogyakarta tidak berdaya menghadapi campur tangan politik pemerintah
kolonial.

c. Pihak keraton hidup mewah dan tidak memedulikan penderitaan rakyat.

Adapun sebab khusus terjadinya Perang Diponegoro adalah sebagai berikut.

a. Pangeran Diponegoro tersingkir dari elite kekuasaan karena menolak berkompromi dengan
pemerintah kolonial. Pangeran Diponegoro memilih mengasingkan diri ke Tegalrejo.

b. Pemerintah kolonial melakukan provokasi dengan membuat jalan yang menerobos makam
leluhur Pangeran Diponegoro.

Hal tersebut yang membuat Pangeran Diponegoro marah dan menganggapnya sebagai suatu
penghinaan. Untuk memperkuat kekuatannya, Pangeran Diponegoro mem- bangun pusat pertahanan
di Selarong. Dukungan kepada Pangeran Diponegoro datang dari mana-mana sehingga pasukan
Diponegoro semakin kuat. Dukungan datang dari Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasya
Prawirodirjo, dan Kiai Mojo. Untuk menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro, Belanda
mendatangkan pasukan dari Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Jenderal
Marcus de Kock.
Pangeran Diponegoro memimpin pasukannya dengan perang gerilya. Untuk mengatasi perlawanan
Diponegoro tersebut, Gubernur Jenderal Van der Capellen menugaskan Jenderal Marcus de Kock
untuk menjalankan strategi benteng stelsel, yaitu mendirikan benteng di setiap tempat yang
dikuasainya. Antara benteng yang satu dan benteng lainnya dihubungkan dengan jalan untuk
memudahkan komunikasi dan pergerakan pasukan. Taktik benteng stelsel ini bertujuan mempersempit
ruang gerak pasukan Diponegoro. Pasukan Diponegoro semakin bertambah lemah terlebih lagi pada
tahun 1829 Kiai Mojo dan Sentot Alibasya Prawirodirjo memisahkan diri. Lemahnya kedudukan
Diponegoro tersebut menyebabkan ia menerima tawaran berunding dengan Belanda di Magelang.

Dalam perundingan tersebut, pihak Belanda diwakili oleh Jenderal De Kock. Perundingan
tersebut gagal mencapai sepakat, kemudian Belanda menangkap Pangeran Diponegoro dan dibawa
ke Batavia, yang selanjutnya dipindahkan ke Manado, lalu dipindahkan lagi ke Makassar dan
meninggal di benteng Rotterdam pada tanggal 8 Januari 1855.

Perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun tersebut membawa dampak antara lain
sebagai berikut.

a. Kekuasaan wilayah Yogyakarta dan Surakarta berkurang.

b. Belanda mendapatkan beberapa wilayah Yogyakarta dan Surakarta.

c. Banyak menguras kas Belanda

4. Perang Bali Tahun 1848-1908 (Perjuangan Rakyat Bali Melawan Pemerintahan Kolonial
Belanda)

Antara pemerintah kolonial Belanda dan para penguasa di Bali bersengketa mengenal nak fawan

karang. Hak tawan karang adalah hak raja Bali menyita kapal yang kandas di Wilayah peralirannya,
Sebelumnya, antara pemerintah kolonial Belanda dan penguasa Ball sepakat Danwa para penguasa
Bali tidak akan menggunakan hak tawan karang apabila pemerintah kolonial membayar setiap kapal
Belanda vang kandas di perairan Bali. Namun pemerintah Kolonial melanggar kesepakatan, hal
tersebut yang menyebabkan para penguasa Bali kembali memberlakukan hak tawan karang.

Pemerintah kolonial memprotes klaim raja Buleleng atas kapal Belanda yang kandas di
wilayah perairannya, Raja Buleleng tidak menghiraukan protes tersebut sehingga menyebabkan
terjadinya Perang Jagaraga (yang dimulai dua tahun kemudian). Kerajaan Buleleng pada tahun 1844
berhasil menawan kapal dagang Belanda di Prancak daerah Jrembrana (saat itu berada di bawah
kekuasaan Kerajaan Buleleng). Dengan peristiwa tersebut dijadikan alasan oleh Belanda untuk
menyerang Pulau Bali (tahun 1848).

Dalam pertempuran pertama, Belanda mengalami kegagalan, baru pada pertempuran kedua
(dipimpin Mayor Jenderal A.V. Michiels) Belanda berhasil merebut benteng pertahanan Kerajaan
Buleleng di Jagaraga. Namun, raja Buleleng dan patihnya dapat meloloskan diri ke Karangasem.
Setelah Belanda menguasai Buleleng, Belanda berambisi menaklukkan kerajaan-kerajaan lainnya di
Bali.

Pada tahun 1894 terjadi Puputan Kusamba, Belanda dipimpin oleh Mayor Jenderal A.V.
Michiels. Dalam pertempuran ini Michiels menderita luka-luka akibat tembakan dari pasukan
Klungkung. Namun akhirnya, Kusamba (sebagai benteng pertahanan terakhir di daerah selatan)
jatuh ke tangan Belanda.

Pada tahun 1894 terjadi Puputan Kusamba, Belanda dipimpin oleh Mayor Jenderal A.V.
Michiels. Dalam pertempuran ini Michiels menderita Juka-luka akibat tembakan dari pasukan
Klungkung. Namun akhirnya, Kusamba (sebagai benteng pertahanan terakhir di daerah selatan)
jatuh ke tangan Belanda.

Pada tahun 1906 terjadi Puputan Badung. Peristiwa ini diawali dengan terdamparnya sebuah
kapal di Pantai Sanur. Belanda menuntut ganti rugi kepada raja Badung (Ida Cokorde Ngurah Gede
Pamecutan). Oleh karena raja menolak, terjadilah pertempuran antara Kerajaan Badung dan pasukan
Belanda.

Dalam Puputan Badung ini dilakukan dengan cara yang unik, yaitu laki-laki, perempuan, dan
anak-anak berpakaian serbaputih dan membawa keris atau tombak menyerbu tentara Belanda yang
bersenjata lengkap. Tanpa rasa takut mereka menyerbu, akhirnya semua gugur. Setelah Belanda
dapat menundukkan Badung, kemudian pada tahun 1986 Belanda menaklukkan Kerajaan Tabanan.
Dalam.peristiwa tersebut Belanda mendapat perlawanan, tetapi Kerajaan Tabanan tidak dapat
bertahan dan takluk kepada Belanda. Pertempuran tersebut dinamakan dengan Balikana Wongaya.
Pada tahun 1908 Kerajaan Klungkung juga mengadakan perlawanan terhadap Belanda.
Dalam peristiwa tersebut raja dan seluruh kerabat kerajaan gugur. Dengan dikuasainya Kerajaan
Klungkung, pemerintah kolonial Belanda berhasil menguasai Pulau Bali.

5. Perang Banjar

Di Kalimantan juga terjadi perjuangan melawan pemerintahan kolonial Belanda. Berikut


perjuangan rakyat Banjarmasin dalam melawan pemerintah kolonial Belanda.

Belanda mulai masuk ke wilayah Banjarmasin pada masa pemerintahan Sultan Adam.
Pada tahun 1850 terjadi permusuhan di antara keluarga kerajaan. Dengan keadaan tersebut
dimanfaatkan oleh Belanda. Belanda ikut campur tangan dalam kehidupan politik kerajaan dengan
cara mengadu domba antarkeluarga sultan.

Di Kerajaan Banjarmasin ada tiga kelompok yang saling berebut kekuasaan, yaitu sebagai

berikut.

a. Kelompok Pangeran Tamjidillah (Cucu Sultan Adam)

Kelompok ini adalah kelompok yang sangat dibenci oleh rakyat karena tingkah lakunya yang kurang
baik. Pangeran Tamjidillah memiliki hubungan yang erat dengan Belanda. Belanda mengangkat
Pangeran Tamjidillah sebagai sultan pada tahun 1852.

b. Kelompok Pangeran Prabu Anom (Cucu Sultan Adam)

Kelompok ini adalah kelompok yang juga tidak disenangi rakyat karena tindakannya yang
sewenang-wenang.

c. Kelompok Pangeran Hidayatullah (Cucu Sultan Adam) Kelompok ini adalah kelompok yang
disenangi rakyat dan dicalonkan menjadi pengganti Sultan Adam.

Setelah Sultan Adam meninggal pada tahun 1857, di kerajaan terjadi perebutan kekuasaan.
Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai sultan Kerajaan Banjarmasin. Namun,
pengangkatan Pangeran Tamjidillah tersebut tidak disukai rakyat. Adapun Pangeran Prabu Anom
(saingan Tamjidillah) diasingkan ke Jawa oleh Belanda.
Pada waktu terjadi kekacauan tersebut, meletuslah Perang Banjarmasin (1859) yang
digerakkan oleh Pangeran Antasari. Pangeran Antasari adalah putra Sultan Muhammad yang anti-
Belanda. Dalam Perang Banjarmasin tersebut Belanda berusaha menarik perhatian rakyat dengan
menurunkan Pangeran Tamjidillah dan mengangkat Pangeran Hidayatullah sebagai sultan, tetapi
Pangeran Hidayatullah menolak. Pada tahun 1860 Belanda menjadikan seluruh Kerajaan
Banjarmasin menjadi wilayah kekuasaannya.

Pangeran Hidayatullah memihak Pangeran Antasari, tetapi pada tahun 1862 Pangeran
Hidayatullah ditawan Belanda dan dibuang ke Cianjur. Selanjutnya, perang diteruskan oleh
Pangeran Antasari yang diangkat menjadi sultan oleh rakyat. Setelah menjadi sultan, perang
berkobar kembali. Namun, Pangeran Antasari terkena penyakit cacar. Setelah sakit beberapa hari,
Pangeran Antasari meninggal pada tahun 1862.

6. Perang Aceh (1873-1904)

Sebab umum terjadinya Perang Aceh antara lain sebagai berikut.

a. Belanda ingin memantapkan pelaksanaan Pax Netherlandica.

b. Aceh merupakan tempat yang strategis setelah dibukanya Terusan Suez.

c. Semakin berkembangnya imperialisme modern.

d. Politik ekspansi Belanda akibat Traktat Sumatra (tahun 1871) yang berisi Inggris mengizinkan
Belanda menguasai seluruh Pulau Sumatra termasuk Aceh.

Sebab khusus terjadinya Perang Aceh adalah adanya tuntutan Belanda agar Aceh tidak
berhubungan dengan pedagang lain selain Belanda.
Pada perang tahun 1873 Belanda berhasil dikalahkan, bahkan Jenderal Kohler terbunuh,
kemudian Belanda mengirimkan pasukan lagi di bawah pimpinan Jenderal Van Swieten untuk
menyerang Aceh dan berhasil menduduki Kotaraja.

Untuk menyelidiki tata negara Aceh, Belanda mengirimkan Dr. Snouck Hurgronje dan
berhasil menyelesaikan penelitiannya yang diberi judul De Atjehers (The Acehnese). Dengan
hasil penelitian tersebut dapat diketahui kelemahan rakyat Aceh. Snouck Hurgronje mengusulkan
kepada Belanda agar mengirim Jenderal Van Heutz untuk mengadakan serangan umum di Aceh.
Serangan umum tersebut dikenal dengan serangan Sapurata dari pasukan Marechaussee
(Marsose) yang anggotanya terdiri dari orang Indonesia yang sudah dilatih oleh Belanda dan
perwira Belanda yang mahir berbahasa Indonesia.

Dalam serangan tersebut, Aceh berhasil dikuasai dan kemudian Belanda membuat Plakat
Pendek yang isinya adalah Kerajaan Aceh mengakul daerahnya sebagai bagian dari kekuasaan
Belanda, Kerajaan Aceh berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan pemerintah asing, dan
Kerajaan Aceh berjanji akan menaati perintah yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Kedudukan Aceh semakin terdesak sejak tahun 1898. Teuku Umar gugur dalam pertempuran
di Meulaboh, sultan Aceh ditawan, Panglima Polim menyerah, dan Cut Nyak Dhien tertangkap.

7. Perlawanan Rakyat Batak

Pusat Kerajaan Batak terletak di Bakkara (sebelah barat daya Danau Toba) dengan raja
terakhir Kerajaan Batak bernama Sisingamangaraja XII.

Berikut alasan terjadinya perlawanan masyarakat Batak terhadap Belanda.

a. Raja Sisingamangaraja XII tidak bersedia wilayah kerajaannya semakin diperkecil oleh
Belanda. Raja Sisingamangaraja XII tidak dapat menerima kota Natal, Mandailing, Angkola,
dan Sipirok di Tapanuli Selatan dikuasai Belanda.

b. Belanda ingin mewujudkan Pax Netherlandica. Untuk mewujudkan Pax Netherlandica


Belanda menguasai daerah Tapanuli Utara sebagai lanjutan atas pendudukannya di Tapanuli
Selatan dan Sumatra Timur. Belanda menempatkan pasukannya di Taruntung dengan alasan
untuk melindungi para penyebar agama Kristen yang bergabung dalam Rhijnsnhezending.
Tokoh penyebarnya bernama Nomensen (orang Jerman).
Untuk menghadapi Belanda tersebut, Sisingamangaraja XII pada tahun 1878 menyerang
kedudukan Belanda di daerah Tapanuli Utara. Peperangan berlangsung kira-kira selama tujuh tahun.
Belanda mengerahkan pasukan untuk menguasai Bakkara sebagai pusat kekuasaan Sisingamangaraja
XII, kemudian terjadi pertempuran sengit di daerah Pakpak Dairi, sebelah barat Danau Toba. Pasukan
Van Daalen yang beroperasi di Aceh melanjutkan gerakannya ke Tapanuli Utara pada tahun 1904,
sedangkan di Medan didatangkan pasukan lain melalui Kabanjahe dan Sidikalang.

Akhir dari Perang Batak, pasukan Marsose di bawah pimpinan Kapten Christoffle berhasil
menangkap keluarga Sisingamangaraja XII. Sisingamangaraja XII beserta pengikutnya melarikan
diri ke hutan Simsim. Dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907, Sisingamangaraja XII gugur
bersama seorang putrinya yang bernama Lapian dan dua orang putranya yang bernama Patuan
Nagari dan Patuan Anggi serta sejumlah pengikutnya.

Jenazah Sisingamangaraja XII dibawa ke Taruntung dan dimakamkan di depan tangsi militer
Belanda, kemudian pada tahun 1953 makam Sisingamangaraja XII dipindahkan ke Soposurung di
Balige.

Anda mungkin juga menyukai