Anda di halaman 1dari 19

BAB 2

“PERANG MELAWAN KOLONIALISME”

(INDIKATOR A)

A. Mengevaluasi Perang Melawan Keserakahan Kongsi Dagang


(abad ke 16 sampai 18)

Nama : Tiara Nur Aulia S


Kelas : XI MIPA 1
No :32
1. Aceh Versus Portugis dan VOC

Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, justru membawa hikmah bagi Aceh.
Banyak para pedagang Islam yang menyingkir dari Malaka menuju ke Aceh. Dengan demikian
perdagangan di Aceh semakin ramai. Hal ini telah mendorong Aceh berkembang menjadi bandar dan pusat
perdagangan. Perkembangan Aceh yang begitu pesat ini dipandang oleh Portugis sebagai ancaman, oleh
karena itu, Portugis berkehendak untuk menghancurkan Aceh. Pada tahun 1523 Portugis melancarkan
serangan ke Aceh di bawah pimpinan Henrigues, dan menyusul pada tahun 1524 dipimpin oleh de Sauza.
Beberapa serangan Portugis ini mengalami kegagalan.
Portugis terus mencari cara untuk melemahkan posisi Aceh sebagai pusat perdagangan. Kapal-kapal
Portugis selalu mengganggu kapal-kapal dagang Aceh di manapun berada. Misalnya, pada saat kapal-kapal
dagang Aceh sedang berlayar di Laut Merah pada tahun 1524/1525 diburu oleh kapal kapal Portugis untuk
ditangkap. Sudah barang tentu tindakan Portugis telah merampas kedaulatan Aceh yang ingin bebas dan
berdaulat berdagang dengan siapa saja, mengadakan hubungan dengan bangsa manapun atas dasar
persamaan. Oleh karena itu, tindakan kapal-kapal Potugis telah mendorong munculnya perlawanan rakyat
Aceh. Sebagai persiapan Aceh melakukan langkah-langkah antara lain:

1. Melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan, meriam dan prajurit


2. Mendatangkan bantuan persenjataan, sejumlah tentara dan beberapa ahli dari Turki
pada tahun 1567.
3. Mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut dan Jepara.

Setelah berbagai bantuan berdatangan, Aceh segera melancarkan serangan terhadap Portugis di
Malaka. Portugis harus bertahan mati-matian di Formosa/ Benteng. Portugis harus mengerahkan semua
kekuatannya sehingga serangan Aceh ini dapat digagalkan. Sebagai tindakan balasan pada tahun 1569
Portugis balik menyerang Aceh, tetapi serangan Portugis di Aceh ini juga dapat digagalkan oleh pasukan
Aceh.
Sementara itu, Portugis mempunyai rencana terhadap Aceh sebagai berikut :

1. Menghancurkan Aceh dengan jalan mengepungnya selama 3 tahun.


2. Setiap kapal yang berlayar di selat Malaka akan disergap dan dihancurkan.

Rakyat Aceh dan para pemimpinnya selalu ingin memerangi kekuatan dan dominasi asing, oleh karena itu,
jiwa dan semangat juang untuk mengusir Portugis dari Malaka tidak pernah padam. Pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639), semangat juang mempertahankan tanah air dan
mengusir penjajahan asing semakin meningkat. Iskandar Muda adalah raja yang gagah berani dan bercita-
cita untuk mengenyahkan penjajahan asing, termasuk mengusir Portugis dari Malaka. Iskandar Muda
berusaha untuk melipatgandakan kekuatan pasukannya. Angkatan lautnya diperkuat dengan kapal-kapal
besar yang dapat mengangkut 600-800 prajurit. Pasukan kavaleri dilengkapi dengan kuda-kuda dari Persia,
bahkan Aceh juga menyiapkan pasukan gajah dan milisi infanteri. Sementara itu untuk mengamankan
wilayahnya yang semakin luas meliputi Sumatera Timur dan Sumatera Barat, ditempatkan para pengawas
di jalur-jalur perdagangan.
Para pengawas itu ditempatkan di pelabuhan-pelabuhan penting seperti di Pariaman. Para pengawas itu
umumnya terdiri para panglima perang. Setelah mempersiapkan pasukannya, pada tahun 1629 Iskandar
Muda melancarkan serangan ke Malaka. Menghadapi serangan kali ini Portugis sempat kewalahan.
Portugis harus mengerahkan semua kekuatan tentara dan persenjataan untuk menghadapi pasukan Iskandar
Muda. Namun, serangan Aceh kali ini juga tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka. Hubungan Aceh
dan Portugis semakin memburuk. Bentrokan-bentrokan antara kedua belah pihak masih sering terjadi,
tetapi Portugis tetap tidak berhasil menguasai Aceh dan begitu juga Aceh tidak berhasil mengusir Portugis
dari Malaka. Yang berhasil mengusir Portugis dari Malaka adalah VOC pada tahun 1641.
Ilustrasi diatas menunjukkan adanya sebuah perlawanan bangsa Indonesia terhadap kezaliman
kolonialisme Belanda.

Gambar disamping melukiskan kapal-kapal dagang dari Papua dan Halmahera yang dijadikan kapal
armada laut untuk memperkuat pasukan Pangeran Nuku dari Tidore untuk melawan kekejaman
kompeni Belanda. Politik devide et impera diterapkan oleh Belanda, tetapi Nuku bergeming. Dengan
dukungan dari Papua, Halmahera, dan Inggris pasukan Nuku semakin berjaya.

Tokoh – Tokoh Perlawanan :


1 . Kakiali.                                          5 . Sultan Nuku
2 . Teluka Besi                                    6 . Patra Alam
3 . Saidi                                               7 . Kapten Pattimura
4 . Sultan Jamaludin

Sultan Nuku Muhamad Amiruddin adalah putra kedua Sultan Jamaluddin (1757–1779) dari kerajaan


Tidore. Dilahirkan pada tahun 1738, nama kecilnya adalah Kaicil Syaifuddin.

Pada zaman pemerintahan Nuku (1797 – 1805), Kesultanan Tidore mempunyai wilayah kerajaan yang
luas yang meliputi Pulau Tidore, Halmahera Tengah, pantai Barat dan bagian Utara Irian Barat
serta Seram Timur. Sejarah mencatat bahwa hampir 25 tahun, Nuku bergumul dengan peperangan
untuk mempertahankan tanah airnya dan membela kebenaran.

Dari satu daerah, Nuku berpindah ke daerah lain, dari perairan yang satu menerobos ke perairan yang
lain, berdiplomasi dengan Belanda maupun dengan Inggris, mengatur strategi dan taktik serta terjun
ke medan perang. Semuanya dilakukan hanya dengan tekad dan tujuan yaitu membebaskan rakyat
dari cengkeraman penjajah dan hidup damai dalam alam yang bebas merdeka. Cita-citanya
membebaskan seluruh kepulauan Maluku terutama Maluku Utara (Maloko Kie Raha) dari penjajah
bangsa asing. 

Sebagaimana di seluruh wilayah jajahannya di Indonesia, Belanda senantiasa turut campur dalam
penentuan siapa yang berhak bertahta dalam sebuah kerajaan di Nusantara. Sosok yang bisa diajak
bekerja sama biasanya akan ditunjuk sebagai penguasa dan sosok yang dianggap berbahaya, sekalipun
pewaris sah tahta, akan disingkirkan. Begitu juga di kesultanan Tidore, dimana Sultan Jamaluddin
adalah penguasa kesultanan Tidore. Karena dianggap berbahaya bagi kedudukan Belanda, Sultan
Jamaluddin ditangkap dan diasingkan ke Batavia pada tahun 1779.

Berdasarkan tradisi kerajaan Tidore, pengangkatan raja baru harus berdasarkan silsilah (sesuai garis
keturunan). Yang berhak menjadi Sultan Tidore waktu itu adalah Nuku, melanjutkan tahta Sultan
Jamaluddin, ayahandanya. Namun Belanda tidak menghendaki Nuku naik tahta. Perlawanan Nuku
Muhammad Amiruddin diawali ketika ia dan adiknya Kamaluddin menentang pengangkatan Kaicil
Gay Jira oleh Belanda sebagai Sultan Tidore. Secara nyata Belanda menginjak-injak tradisi kesultanan
Tidore, terlebih lagi setelah Belanda menurunkan Sultan Kaicil Gay Jira dan menunjuk putra Kaicil,
Patra Alam, sebagai sultan Tidore yang baru.

Sebagai bentuk perlawanan, Nuku Muhammad Amiruddin pun menggalang kekuatan untuk melawan
kompeni Belanda. Ia membangun armada Kora-kora di daerah sekitar Pulau Seram dan Irian Jaya
dengan mendirikan basis pertahanan di Seram Timur pada tahun 1781. Mereka membangun benteng-
benteng di pesisir pantai, menyebar ranjau di lautan, dan memasang meriam tempur. [2] Belanda
kembali menunjukkan kesewenang-wenangannya dalam penentuan pemegang tahta kesultanan Tidore
sekaligus menerapkan politik adu dombanya dengan mengangkat adik kandung Nuku Muhammad
Amiruddin, Kamaluddin, Sebagai Sultan Tidore setelah menurunkan Sultan Patra Alam. Pada tahun
1787, pasukan Belanda menyerbu Seram timur untuk melumpuhkan perlawanan Nuku. Basis
pertahanan Nuku di Seram Timur berhasil direbut. Nuku Muhammad Amiruddin pun mengalihkan
basis pertahanan pasukannya di Pulau Gorong dan menjalin hubungan baik dengan pasukan Inggris
atas dasar hubungan timbal balik yang sangat menguntungkan kedua belah pihak [3].

Sebagai seorang keturunan Raja Tidore, ia menjadi seorang pejuang yang tidak bisa diajak kompromi
dan pengaruhnya yang kuat di wilayah Maluku. Hingga usia senja, semangat dan perjuangannya tidak
berhenti. Sultan Nuku sulit ditaklukan, ia bertempur melawan Belanda di darat maupun di laut. Untuk
menghadapi Belanda, Sultan Nuku meniru siasat devide et impera yang sering digunakan oleh
Belanda. Sultan Nuku menghasut orang-orang Inggris agar mengusir orang-orang Belanda, yang
setelah berhasil segera digempurnya. Pasukan Nuku semakin kuat setelah mendapat berbagai
perlengkapan perang dari Inggris dan memenangkan banyak pertempuran melawan Belanda [4].

Menderita banyak kekalahan di berbagai medan peperangan, VOC mengajukan tawaran berunding
dengan Nuku Muhammad Amiruddin dan menawarkan kekuasaan kepadanya jika bersedia berunding
dengan Sultan Kamaluddin. Nuku menolak secara tegas siasat Belanda dan semakin menggiatkan
serangan pasukannya terhadap pasukan Belanda yang dibantu pasukan kesultanan Tidore yag setia
terhadap Sultan Kamaluddin. Pada tahun 1796, pasukan Nuku berhasil merebut dan menguasai Pulau
Banda. Setahun kemudian, mereka mampu merebut Tidore dan membuat Sultan Kamaluddin
melarikan diri ke Ternate. Sepeninggal Sultan Kamaluddin, rakyat Tidore secara bulat menunjuk
Nuku Muhammad Amiruddin menjadi sultan Tidore. Sultan Nuku terus menggempur kekuatan
Belanda di Ternate hingga tahun 1801 Ternate dapat dibebaskan dari cengkraman Belanda. Ia
meninggal dalam usia 67 tahun pada tahun 1805.

Di antara raja-raja Kerajaan Aceh yang melakukan perlawanan adalah:


1. Sultan Ali Mughayat Syah (1514–1528). Berhasil membebaskan Aceh dari upaya
penguasaan bangsa Portugis
2. Sultan Alaudin Riayat Syah (1537–1568). Berani menentang dan mengusir Portugis
yang bersekutu dengan Johor.
3. Sultan Iskandar Muda (1607–1636). Raja Kerajaan Aceh yang terkenal sangat gigih
melawan Portugis adalah Iskandar Muda. Pada tahun 1615 dan 1629, Iskandar Muda
melakukan serangan terhadap Portugis di Malaka.

Beberapa perlawanan terhadap kezaliman dan dominasi asing yang menjajah bumi Nusantara ini
terjadi di berbagai daerah. Kekuatan penjajahan itu Pelah merendahkan martabat bangsa dan
membuat penderitaan rakyat, sehingga perlawanan itu terjadi di berbagai daerah. Berikut ini
akan kita pelajari tentang  perlawanan Aceh untuk melawan keserakahan VOC.

Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, justru membawa hikmah bagi Aceh.
Banyak para pedagang Islam yang menyingkir dari Malaka menuju ke Aceh. Dengan demikian
perdagangan di Aceh semakin ramai.

Perkembangan Aceh yang begitu pesat ini dipandang oleh Portugis sebagai ancaman, oleh karena
itu, Portugis berkehendak untuk menghancurkan Aceh. Pada tahun 1523 Portugis melancarkan
serangan ke Aceh di bawah pimpinan Henrigues, dan menyusul pada tahun 1524 dipimpin oleh
de Sauza.

Portugis terus mencari cara untuk melemahkan posisi Aceh sebagai pusat perdagangan. Kapal-
kapal Portugis selalu mengganggu kapal-kapal dagang Aceh di manapun berada. Tindakan kapal-
kapal Potugis telah mendorong munculnya perlawanan rakyat Aceh. Sebagai persiapan Aceh
melakukan langkah-langkah antara lain :
1. Melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan, Meriam dan prajurit.
2. Mendatangkan bantuan persenjataan, sejumlah tentara dan beberapa ahli dari Turki
pada tahun 1567.
3. Mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut dan Jepara.

Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639). berusaha untuk melipatgandakan
kekuatan pasukannya. Angkatan lautnya diperkuat dengan kapal-kapal besar. Pada tahun 1629
Iskandar Muda melancarkan serangan ke Malaka. Namun, serangan Aceh kali ini juga tidak
berhasil mengusir Portugis dari Malaka. Hubungan Aceh dan Portugis semakin memburuk.

Portugis tetap tidak berhasil menguasai Aceh dan begitu juga Aceh tidak berhasil mengusir
Portugis dari Malaka. Yang berhasil mengusir Portugis dari Malaka adalah VOC pada tahun 1641.
Tujuan VOC mengusir Portugis dari Malaka adalah :
1. Belanda ingin menguasai Malaka dari aspek politik dan ekonomi
2. Belanda ingin memperluas akses seluas-luasnya bagi pengusaha-pengusaha asing untuk
melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia
3. Belanda ingin membebaskan pulau-pulau yang potensial SDA dari negara-negara lain
termasuk Portugis
Seperti yang telah diketahui bahwa bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Indonesia adalah
bangsa Portugis. Kedatangan bangsa Portugis ke Indonesia sangatlah ditentang keras oleh penguasa
dan rakyat Indonesia pada waktu itu, terutama masyarakat Malaka dan juga masyarakat Aceh. Bahkan
pada waktu, Sultan Aceh menganggap bahwa Portugis merupakan saingan dalam berpolitik, ekonomi
dan atau bahkan dalam hal penyebaran agama. Anggapan Sultan Aceh terhadap bangsa Portugis
tersebut didasarkan pada informasi yang telah ia dapatkan dari Sultan di Malaka, yang telah dijajah
sebelumnya. 

Perlawanan rakyat Aceh terhadap bangsa Portugis mencapai puncaknya pada waktu Aceh dipimpin
oleh kesultanan Aceh, Sultan Iskandar Muda (1607- 1636). Ada berbagai cara yang telah dilakukan
oleh Kesultanan Aceh tersebut untuk melumpuhkan kekuatan bangsa Portugis, salah satunya yaitu
dengan cara memblokade perdagangan. Pemblokadean perdagangan yang dimaksud adalah dengan
cara melarang rakyat Aceh untuk menjual lada dan timah kepada Bangsa Portugis. 

Dengan cara yang telah kesultanan Aceh, Sultan Iskandar Muda, lakukan ternyata membuahkan hasil
yang mana kekuatan bangsa Portugis bisa dilumpuhkan. Namun hasil tersebut tidaklah begitu
sempurna. Hal tersebut dikarenakan, penguasa- penguasa kecil Malaka secara sembunyi- sembunyi
menjual lada dan timah mereka ke bangsa Portugis. Adapun alasan kenapa penguasa- penguasa kecil
Malaka menjual dagangannya ke Portugis yaitu karena mereka membutuhkan uang. 
Kesultanan Aceh, Sultan Iskandar Muda, merasa taktik pemblokadean perdagangan di wilayahnya
sebagai cara untuk melumpuhkan Portugis ternyata tidaklah sempurna hasilnya. Maka Sultan Iskandar
Muda pun menyerang kedudukan Portugis yang pada saat itu masih berpusat di Malaka pada tahun
1629. Sultan Iskandar Muda tersebut kemudian mengerahkan seluruh kekuatan tentara Aceh untuk
mengalahkan Portugis. Namun sayangnya, usaha yang di lakukan oleh kesultanan Aceh tersebut
mengalami kegagalan, bahkan pasukan tentara yang telah dikerahkan oleh Sultan Iskandar Muda
dapat dipukul mundur oleh pasukan Portugis. 

Dari uraian penjelasan di atas dapat diketahui dan disimpulkan bahwa ada dua sebab mengenai
mengapa rakyat Aceh melakukan perlawanan kepada Portugis. Adapun sebab pertama yaitu Portugis
oleh rakyat Aceh dianggap sebagai saingan mereka khususnya di dalam perihal perdagangan di
kawasan sekitar Selat Malaka. Alasan selanjutnya yaitu
Portugis ingin menyebarkan agama Katholik di wilayah Aceh. Ingin menyebarkan agama Katholik di
wilayah Aceh sangat tidak bisa diterima oleh masyarakat Aceh. Hal tersebut dikarenakan Aceh
merupakan sebuah kerajaan Islam. Dan Alasan terakhir yaitu rakyat Aceh ingin sekali mematahkan
kekuatan Portugis di daerah Asia Tenggara. 

Adapun raja- raja Aceh yang memimpin masyarakat untuk melakukan perlawanan kepada Portugis
yaitu Sultan Ali Mughayat Syah , Sultan Alaudin Riayat Syah, dan tak lupa pula sultan Iskandar
Muda. Raja- Raja tersebutlah yang memberikan semangat juang kepada rakyatnya, agar tidak di jajah
atau dikuasai oleh pihak luar, termasuk Portugis.

Usaha VOC untuk berdagang dan menguasai pelabuhan-pelabuhan penting di Aceh tidak berhasil,
karena Sultan Iskandar Muda cukup tegas. Ia selalu mempersulit orang-orang barat untuk berdagang
di wilayahnya.

Ketika itu Inggris dan Belanda minta ijin untuk berdagang di wilayah Aceh. Sultan Iskandar Muda
menegaskan bahwa ia hanya akan memberi ijin kepada salah satu di antara keduanya dengan syarat
ijin diberikan kepada yang memberi keuntungan kepada Kerajaan Aceh.

Karena merasa kesulitan mendapatkan ijin berdagang, maka para pedagang Inggris dan Belanda
mencoba melaksanakan perdagangan Inggris dan Belanda mencoba melaksanakan perdagangan gelap
atau penyelundupan. Usaha itupun tidak berhasil, karena armada Aceh selalu siaga menjaga setiap
pelabuhan di wilayahnya.

Pada akhir pemerintahan Sultan Iskandar uda, Aceh mulai surut. Hal itu akibat kekalahan Perlawanan
Aceh terhadap Portugis di Malaka. Oleh karena itu, Aceh membutuhkan banyak beaya untuk
membangun armadanya kembali. Maka dengan sangat terpaksa, Aceh memberi ijin kepada VOC
untuk berdagang di wilayahnya.

Dalam pelaksanaannya, VOC tetap mengalami kesulitan. Pada tahun 1641 VOC merebut Malaka dari
tangan Portugis. Sejak itu VOC berperan penting di Selat Malaka. Akibatnya peranan Aceh di selat
tersebut makin berkurang.

Dampak baiknya yaitu dengan menjual hasil tanamannnya kepada para pedagang. Tapi ternyata hal
itu menjadi penyebab bagi bangsa lain iri dengan datang dan menetap di Indonesia yang bertujuan
untuk menguasai kekayaan negara Indonesia. Negara-negara itu adalah negara penjajah dari bangsa
barat.
Bangsa barat saat itu mempunyai misi 3G (Gold, Gospel dan Glory) sehingga apapun yang mereka
temui di dalam perjalanannya, mereka anggap itu milik mereka. Dengan prinsip seperti itu, hal itu
membawa dampak yang baik dan buruk terhadap mereka sendiri maupun tanah yang seolah-olah
mereka temukan. Kebiasaan itu membawa dampak baik bagi bangsa barat terutama dalam pemasukan
kas negaranya, dan juga negara mereka semakin berjaya dengan menguasai banyak pulau. Tetapi,
buruknya yaitu bagi tanah yang menjadi jajahannya. Sungguh tragis, karena dengan serakah mereka
merampasa kekayaan alam maupun manusia di tanah jajahan itu.Tanah yang menjadi jajahan itu
antara lain, negara-negara di Asia Tenggara. Seperti Indonesia.
Indonesia merupakan ladang yang empuk bagi bangsa barat seperti Spanyol, Portugis maupun
Belanda. Mereka bumi hanguskan serta ambil intisari dari Indonesia tanpa pandang bulu. Sungguh
malang nasib bangsa Indonesia waktu itu. Hal itu tidak terjadi sebentar saja, namun bertahun-tahun
sampai negara penjajah tersebut menikmati hasil dari tanah jajahannya.
Namun, rakyat yang mendiami tanah jajahan itu tidak tinggal diam, mereka melakukan banyak
perlawanan Disana-sini demi mempertahankan negaranya dari bangsa barat yang serakah, tamak dan
sombong. Sehingga mereka mendapatkan kemenangan meski itu mereka lakukan tidak dengan
mudah. Butuh jiwa raga yang rela berkorban dan mau mati demi mempertahankann daerah yang ia
bela.

Aceh Versus Portugis dan VOC


Latar belakang
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, justru membawa hikmah bagi Aceh.
Banyak para pedagang Islam yang menyingkir dari Malaka menuju ke Aceh. Dengan demikian
perdagangan di Aceh semakin ramai. Hal ini telah mendorong Aceh berkembang menjadi bandar dan
pusat perdagangan. Perkembangan Aceh yang begitu pesat ini dipandang oleh Portugis sebagai
ancaman, oleh karena itu, Portugis berkehendak untuk menghancurkan Aceh. Pada tahun 1523
Portugis melancarkan serangan ke Aceh di bawah pimpinan Henrigues, dan menyusul pada tahun
1524 dipimpin oleh de Sauza. Beberapa serangan Portugis ini mengalami kegagalan. Portugis terus
mencari cara untuk melemahkan posisi Aceh sebagai pusat perdagangan. Kapal-kapal Portugis selalu
mengganggu kapal-kapal dagang Aceh di manapun berada. Misalnya, pada saat kapal-kapal dagang
Aceh sedang berlayar di Laut Merah pada tahun 1524/1525 diburu oleh kapal-kapal Portugis untuk
ditangkap.
Sebab Kegagalan

1. Kurangnya strategi yang tepat untuk mengusir Portugis sehingga berulang kali melakukan
perlawanan tetapi hasilnya gagal.

2. Perlawanan yang masih bersifat kedaerahan.

3. Nilai-nilai Perjuangan

4. Telah timbul rasa sadar untuk berjuang demi tanah air

5. Mampu membina hubungan dengan kerajaan dalam negeri maupun luar negeri.
Pada awal abad 19, di Sumatra masih terdapat banyak kerajaan tradisional seperti Aceh, Palembang,
Siak, Kampar, dan Jambi. Aceh merupakan salah satu kerajaan besar yang penting di Sumatera. pada
waktu itu, Aceh mempunyai peranan penting karena terletak di ujung utara Sumatra yang merupakan
jalur lalu lintas perdagangan laut dan satu-satunya kerajaan yang berdaulat penuh atas wilayahnya.
Hal tersebut ditandai dengan adanya traktat London tahun 1824 yang ditandatangani oleh Inggris dan
Belanda (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:63-65).
            Aceh terletak di jalur lalulintas perdagangan laut yang sangat ramai. Hal tersebut memberi
manfaat bagi kerajaan Aceh sendiri, antara lain bertambahnya pemasukan upeti dari para pedagang
yang melintasi perairan yang dikuasai kerajaan Aceh. Dibukanya Terusan Suez juga membuat Aceh
semakin ramai sebagai jalur lalulintas perdagangan dunia. Letak strategis Aceh tersebut tidak hanya
memberi dampak positif tetapi juga memberi dampak negatif bagi Aceh. Banyak kerajaan-kerajaan
dan kekuasaan diluar Aceh yang berusaha merebut Aceh, diantaranya adalah Belanda.
            Pada awal abad 19 pemerintah Hindia Belanda mulai melebarkan sayap kekuasaannya diluar
pulau Jawa, termasuk wilayah Sumatra. Hal tersebut untuk melindungi wilayah jajahan Belanda
supaya tidak direbut oleh Inggris yang pada saat itu menguasai Semenanjung Malaya. Pada tahun
1930-an Belanda berhasil menguasai daerah Sibolga dan Tapanuli yang maíz menjadi daerah
kekuasaan Aceh..Selain itu pada tanggal 1 februari 1858 sultan Siak diikat perjanjian oleh pemerintah
Hindia Belanda. Menurut Wikipedia, bahwa akibat perjanjian yang ditandatangani oleh Sultan Ismail
dengan pihak Hindia Belanda membuat daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang jatuh kepada pihak
Belanda. Padahal daerah-daerah tersebut sejak Sultan Iskandar Muda, berada  di bawah kekuasaan
Aceh(http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Aceh).
            Dengan dikuasainya Siak oleh Belanda, menunjukkan bahwa Belanda sudah tidak konsisten
dengan isi traktat London 1924. Hal tersebut benar-benar membuat Aceh marah dan tidak tinggal
diam. Akhirnya Aceh pun menyusun rencana dalam menghadapi pihak Belanda, pemerintah Hindia
Belanda juga mempersiapkan diri guna menyerang Aceh. Akhirnya pada tanggal 26 maret 1873
Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan melakukan serangan di daratan Aceh.

            Perang Aceh dilatar belakangi oleh beberapa sebab, diantaranya yaitu :
a)      Belanda meduduki daerah Siak
            Sultan Ismail dari Siak (1827-1867) merupakan penguasa yang tidak pernah berhasil menjadi
penguasa di negerinya yang penuh gejolak. Setelah lepas dari kendali ayahnya pada tahun 1840, ia
berhadapan berhadapan dengan pemberontakan yang dilancarkan oleh iparnya sendiri. Kemudian
pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan oleh Tengku Putra, yang sejak itu juga memerintah Siak
sebagai Raja muda. Sultan Ismail berselisih dengan saudaranya sendiri yakni Tengku Putra untuk
memperoleh kekuasaan di Siak. Sultan Ismail meminta bantuan dari pihak Belnda untuk mengalahkan
saudaranya. Tetapi sebelum memberi bantuan kepada Sultan Ismail, Belanda lebih dahulu mengikat
Ismail dengan sebuah perjanjian. Nieuwenhuyzen, Residen Riau dikirim ke Siak untuk mengatasi
masalah Sultan Ismail dan Tengku Putra. Nieuwenhuyzen membuat perjanjian persahabatan dengan
Sultan Ismail jika nantinya bantuan yang diberika Belanda berhasil mengalahkan musuh Sultan Ismail
maka Siak harus tunduk dibawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Sultan Ismail menyetujui isi
perjanjian yang diajukan oleh Residen Riau teresbut. Belanda pun mulai melancarkan serangannya
terhadap Tengku Putra, akhirnya Tengku Putra pun melarikan diri dari Siak karena tidak mampu
melawan serangan dari pihak Belanda (Reid,2005:26-29).
Sesudah Tengku Putra melarikan diri dari Siak, Sultan Ismail naik tahta menjadi pemimpin di
Siak. Tetapi berdasarkan perjanjian yang sudah disepakati antara Sultan Ismail dan Pemerintah Hindia
Belanda maka Siak harus tunduk kepada Pemerintah kolonial, padahal daerah Siak sejak
pemerintahan Sultan Iskandar Muda berada dibawah kekuasaan Aceh. terjadinya perang Aceh.
Karena hal tersebut bertentangan dengan hegemoni Aceh maka untuk mencegah penetrasi lebih lanjut
banyak kapal perang Aceh yang dikerahkan di pantai timur Sumatera, tetapi akhirnya wilayah  Deli,
Serdang, dan Asahan tetap jatuh ke tangan Belanda (Kartodirjo,1987:386). Hal tersebut juga menjadi
salah satu faktor tejadinya perang Aceh.
b)      Dibukanya Terusa Suez oleh Ferdinand de Lesseps, menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat
penting untuk lalu lintas perdagangan.
            Dibukanya Terusan Suez pada awal abad 19 membuat Aceh mempunyai kedudukan strategis
karena terletak dalam urat nadi perkapalan internasional. Belanda memandang situasi tersebut sangat
gawat karena memasuki masa dimana imperialisme dan kapitalisme mulai memuncak dan negara-
negara barat mulai berlomba mencari daerah jajahan baru (Kartodirjo,1987:386). Lalu lintas Selat
Malaka juga semakin ramai sesudah dibukanya Terusan Suez dan Aceh merupakan pintu gerbang
utama untuk menuju Selat Malaka (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:242). Hal tersebut juga
melatarbelakangi ekspansi Belanda terhadap Aceh.
c)      Ditandatanganinya perjanjian Sumatera antara Inggris dan Belanda pada 1871 yang melanggar isi
Traktat London 1824.
            Kebijakan Inggris terhadap Aceh mengalami perubahan pada tahun 1860-an dan tidak lagi
memberi kedaulatan penuh bagi Aceh. Ketika persaingan diantara keluatan-kekuatan Eropa untuk
mendapatkan daerah jajahan meningkat, maka London memutuskan lebih baik Belanda yang
menguasai Aceh dari pada negara yang lebih kuat seperti Perancis dan Amerika yang akan
menguasainya. Hasilnya adalah ditandatanganinya perjanjian Sumatera pada 1871 yang memberikan
kebebasan bagi Belanda untuk melakukan ekspansi diseluruh wilayah Sumatera termasuk Aceh atas
persetujuan Inggris dan sebagai gantinya Belanda menyerahkan pantai emas Afrika kepada Inggris.
Perjanjian tersebut juga mengumumkan bahwa Belanda ingin menguasai Aceh (Ricklefs,1991:219).
Hal tersebut juga memicu terjadinya perlawanan dari Aceh pada pihak Belanda.
d)     Akibat perjanjian Sumatera, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika,
kerajaan Italia, kesultanan Usmaniah Singapura dan Turki Ustmani.
            Melihat negaranya yang terancam oleh penetrasi Belanda, Aceh mulai mengadakan hubungan
dengan negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Italia, Singapura, dan Dinasti Turki Ustmani
untuk meminta bantuan. Pada bulan januari 1873 Sultan Aceh mengirimkan seorang utusan ke Turki
untuk meminta bantuan apabila Belanda menyerang Aceh dengan kekerasan. Kemudian sebuah
utusan yang dipimpin oleh Teuku Panglima Muhammad Tibang dikirim kepada Residen Hindia
Belanda di Riau untuk menyampaikan pesan Sultan bahwa Belanda sebaiknya menangguhkan
kunjungan untuk menghadap Sultan Aceh sampai Sultan mengadakan hubungan dengan Turki.
Utusan Aceh tersebut dalam perjalanan pulang diantar oleh kapal perang Murnix milik Hindia
Belanda dan singgah di Singapura. Kesmpatan tersebut digunakan oleh utusan-utusan Aceh untuk
menemui Konsul Italia, dan konsul Amerika Serikat yang pada saat itu berada di Singapura. Melalui
konsulnya yang ada di Singapura, pemerintah Hindia Belanda mengetahui bahwa konsul-konsul
Amerika dan Italia akan berusaha supaya pemerintahannya masing-masing bersedia membantu Aceh.
Hal tersebut mbuat khawatir pihak Belanda, apalagi muncul desas-desus bahwa bantuan Amerika
Serikat pada Aceh akan datang pada awal maret 1873 (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:242-
243). Walaupun kenyataanya pihak Amerika dan Italia tidak memberi bantuan apapun bagi Aceh,
tetapi Belanda sudah bersiap diri untuk menyerang Aceh. Hubungan diplomatik yang terjalin antara
Aceh dengan beberapa negara yang tersebut diatas juga dijadikan alasan oleh Belanda
untukmenyerang Aceh, sebab menurut pihak Belanda Aceh mempunyai maksud untuk meminta
bantuan dari Amerika Serikat, Turki, Italia maupun Singapura sehubungan dengan serangan yang
akan dilancarkan oleh pemerintah Hindia Belanda kepada Aceh.
C. Jalannya Perang Aceh Dari Tahun 1873 Sampai Tahun 1904
            Pemerintahan Belanda pada tanggal 18 februari 1873 memerintahkan Gubernur jendral di
Batavia untuk mengirimkan untuk mengirimkan kapal dan pasukan yang kuat ke Aceh. Kemudian
dikirimlah komisaris Hindia Belanda untuk Aceh yaitu F.N Nieuwenhuysen yang berangkat ke Aceh
dengan menggunakan dua kapal perang lengkap dengan pasukannya. Nieuwenhuysen berangkat pada
tanggal 7 Maret 1873, tidak lama kemudian datang juru bicara Belanda yang bernama Said Tahir
menghadap Sultan Mahmud Syah untuk menyampaikan surat dari Komisaris Nieuwenhuysen. Surat
teresbut berisi permintaan kepada Sultan Aceh untuk mengakui kedaulatan Hindia Belanda atas
negaranya. Sultan Mahmud syah menolak isi surat tersebut dan tidak bersedia menerima perintah dari
komisaris Hindia Belanda tersebut. Surat-surat selanjutnya dari komisaris Hindia Belanda juga ditak
diberi jawaban serta ditolak oleh Sultan Aceh, sehingga pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda mulai
menyerang Aceh (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:243).
1)      Perang periode pertama tahun 1873-1874
            Aceh sudah mempersiapkan diri dalam menghadapi serangan yang akan dilaksanakan oleh
Belanda. Sepanjang pantai Aceh besar dibangun benteng-benteng untuk memperkuat wilayah.
Demikian juga untuk tempat-tempat yang penting seperti istana raja, masjid raya Baiturrachman, dan
Gunongan juga diperkuat. Terdapat sekitar 3000 laskar pejuang Aceh yang bersiaga disepanjang
pantai dan 4000 opasukan lain yang menjaga istana Sultan. Walaupun Belanda sudah mendapat
laporan tentang persiapan Aceh yang kuat untuk menghadapi agresi militer dari Belanda, tetapi pihak
Belanda masih menganggap remeh Aceh dan berpikir Aceh pasti dapt dengan mudah ditakhlukkan
oleh Belanda.
            Pada tanggal 5 April 1873, tampaklah suatu kesatuan penyerbu Belanda yang kuat dan
dipimpin oleh Mayor Jendral J.H.R. Kohler. Pada penyerangan Belanda yang pertama ini, Belanda
berhasil menyerang dan mengepung Masjid Raya Baiturrachman  serta menembakkan peluru api ke
arah masjid tersebut, sehingga Msjid tersebut terbakar dan berhasil diduduki oleh pihak Belanda.
Tetapi setelah Belanda berhasil menduduki Masjid tersebut, panglima perangnya yakni Jendral Kohler
tewas, akibat ditembak oleh pasukan Aceh. Kekuatan pasukan Aceh semakin lama bertambah besar.
Orang-orang Aceh yang sudah lama bersikap anti Belanda dan mengetahui negerinya akan diserang
oleh Belanda, membuat masyarakat Aceh mengobarkan semangat juang untuk mempertahankan
negerinya dari serangan Belanda. Peran ulama dan uleebang dalam perang Aceh juga sangat besar.
Masyarakat Aceh sebagian besar adalah pemeluk agama islam yang kuat sehingga begitu ulama
menyerukan kepada umat untuk perang fisabilillah (perang sabil) maka rakyat aceh dengan serentak
akan menyerahkan jiwa dan raganya untuk berjuang di jalan Tuhan dan demi mempertahankan
negerinya dari serangan Belanda. Pemimpin perang periode pertama dari pihak Aceh adalah Panglima
Polem Cut Banta, Panglima Sagi XXII Mukim, Dan Teuku Imam Luengbata. Setelah berhasil
menduduki Masjid Raya Baiturachman, Belanda kini memusatkan penyerangan pada Istana Sultan.
Serangan Belanda atas istana Sultan ternyata mengalami kegagalan dan atas persetujuan pemerintah
Hindia Belanda di Batavia akhirya pasukan Belanda meninggalkan Aceh pada 29 April 1873.
Pada tanggal 9 Desember 1873, kapal perang Belanda kembali mendarat di pantai Aceh.
Dalam penyerangan ini, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Jendral  J. Van Swieten. Tugas utama
dari Swieten adalah untuk menyerang dan merebut istana serta mengadakan perjanjian dengan Sultan
Aceh. Sesudah Belanda meninggalkan Aceh pada April 1873, masjid raya Baiturrachman kembali
diduduki oleh pasukan Aceh. Dalam ekspedisi kedua ini, Belanda membawa 8000 prajurit untuk
menyerang Sultan Mahmud Syah dan merebut istananya (Wiharyanto,2006:161). Akhirnya
pertempuran terjadi di kawasan istana sultan dan sekitar masid raya. Setelah lebih dari dua minggu
berhasil bertahan, akhirnya laskar Aceh pun terdesak dan istana jatuh ketangan Belanda. sultan
beserta keluarga dan pengikutnya hijrah ke Leunbata pada tanggal 24 januari 1874 untuk
menyelamatkan diri. Bersama panglima Polim dan pengikut yang lain, Sultan mendirikan markas
pertahanan di Leunbata. Tetapi ditengah perjuangan Sultan meninggal dunia akibat terkena wabah
kolera. Kini kepemimpinan Aceh diserahkan kepada putra mahkota yang masih muda yakni
Muhammad Daud Syah dan dibantu oleh Dewan Mangkubumi yakni Tuanku Hasyim. Pada tanggal
31 januari 1874 Van Swieten memproklamirkan bahwa Belanda telah menguasai Aceh besar. Tetapi
rakyat Aceh tidak gentar dengan seruan Belanda tersebut dan masih merasa merdeka walaupun
ibukota Aceh direbut oleh Belanda. Bagi rakyat Aceh sultan masih berdaulat bahkan dengan
dikuasainya Aceh besar oleh Belanda, semakin besar pula semangat laskar Aceh dalam merebut
kembali Aceh besar (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:248-249).
2)      Perang periode kedua tahun 1874-1880
Jenderal Pel yang menggantikan Van Swieten pada bulan April 1874 mulai membangun pos-
pos pertahanan di Kutaraja. Pada tahun 1877, pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Van Der
Heyden. Van Der Heyden mulai melakukan ofensif dengan mengirim ekspedisi untuk menakhlukkan
Mukim XXII. Panglima Polim terpaksa mengundurkan diri ke daerah lain. Daerah daerah lain dalam
Aceh besar akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Suasana yang dianggap sudah damai dan kesulitan
keuangan keuangan mendorong peguasa Kolonial Hindia Belanda menerapkan sistem pemerintahan
sipil. Ternyata langkah yang diambil oleh pemerintah Hindia Belanda itu salah. Paska
diberlakukannya pemerintahan sipil, perlawana dari rakyat semakin besar sehingga Belanda kembali
menerapkan sistem pemerintahan militer (Kartodirjo,1987:388).
Pada tahun 1877 Habib Abdurrahman kembali dari Turki. Dia berhasil mengadakan perundingan
dengan Teuku Cik Di Tiro dan Imam Leungkata di Pidi untuk membicarakan soal strategi perang.
Penyerangan Habib Abdurrahman terutama untuk memperlemah pos-pos Belanda yang melingkar
antara Krueng, Raba, Lambaroh Uleekarang dan Klieng. Para pejuang juga berusaha membatasi ruang
gerak pasukan Belanda dengan menghentikan konvoi pasukan Belanda. Memasuki tahun 1878
kegiatan llaskar Aceh semakin luas. Pertempuran antara pasukan Habib Abdurrahman dengan
pasukan Belandadi Blang Ue, Peuka Badak dan Bukit Sirun. Sementara itu, Teuku Cik Di Tiro masih
tetap melakukan perlawanan di daerah Pidi. Di Aceh barat perlawanan terhadap Belnda dipimpin oleh
Teuku Umar. Ia dibantu oleh istrinya, Cut Nyak Dien yang juga aktif dalam medan pertempuran.
Perlawanan Teuku Umar membuat Belanda kesulitan, sehingga Belanda dengan sekuat tenaga
berusaha menakhlukkannya (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:251-253).
3)      Perang periode Ketiga tahun 1880-1896
Memasuki tahun 1880 situasi di Aceh semakin buruk bagi Belanda. Perlawanan rakyat Aceh
semakin menghebat dan terjadi diseluruh lapisan msyarakat. Kaum bangsawan seperti Ulebalang
langsung memimpin perjuangan di medan pertempuran dan ulama mengobarkan semangat juang di
kalangan rakyat Aceh dengan mendengungkan perang Sabil dan mengkhotbahkan kisah-kisah
peperangan seperti hikayat perang sabil, dan syair Aceh. Pemerintah Hindia Belanda mulai menyadari
kesulutan menakhlukkan aceh. Pada awal tahun 1880 biaya yang dikeluarkan sudah mencapai 115
juta gulden dan pada akhir tahun 1884 mencapai 150 juta gulden. Karena pejuang-pejuang Aceh
selalu berhasil memasukkan perbekalannya melalui pantai utara, maka pada bulan Agustus 1881
pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk menjalankan blokade ketat. Tindakan yang diambil
antara lain :

1. Seluruh pantai utara Aceh dari Ulee Lhene sampai ujung Diemant tertutup baik untuk ekspor-
impor maupun untuk penangkapan ikan.
2. Pelabuhan yang terbuka namun dengan pengawasan ketat ialah Ulee Lheue, Sigli, Samalanga,
dan Lhok Seumawe.
3. Armada belanda diperkuat dengan dua armada lagi.

Bagi Aceh blokade tersebut tidak terlalu mengkhawatirkan karena penyelundupan perbekalan dan
senjata masih dijalankan dengan segala cara (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:254-259).
Pada tahun 1884 Belanda mulai menerapkan sistem konsentrasi (konsentrasi stelsel). Daerah yang
dikuasai Belanda dimakmurkan agar orang-orang Aceh yang melakukan perlawanan meletakkan
senjatanya dan kembali ke daerah yang aman dan makmur ciptaan Belanda (Wiharyanto,2006:162).
Kotaraja sebagai pusat pemerintahan dibangun benteng-benteng dan jalan. Di bagian luar benteng,
hutan dan semak belukar ditebang, sehingga ada tanah selebar 1 km sebagai pengamanan terhadap
penyelundupan pasukan Aceh. Dalam perkembangannya, sistem konsentrasi ini mengalami kegagalan
karena strategi konsentrasi ternyata memberi peluang bagi para pejuang Aceh untuk menggalakkan
perang gerilya. Strategi pemerintahan Belanda dalam perang Aceh ini selalu berubah setiap kali
berganti pemimpin. Gubernur Deykerhoff (1890) berusaha mendekati kaum bangsawan dan para
pedagang, karena mereka yang menyumbangkan dana terbesar untuk jalannya perang Aceh. Siasat
tersebut ternyata berhasil untuk mendorong Teuku Umar untuk tunduk kepada pihak Belanda. Ia dan
pasukannya membantu Belanda dalam ”mempasifikasikan” Aceh besardengan menundukkan mukim
XXII, XXV, XXVI. Dengan demikian Teuku Umar mendapat kepercayaanyang besar dari Belanda.
Hal itu digunakan Teuku Umar untuk kembali ke pihak aceh dengan peralatan perang yang cukup
lengkap (1896). Dengan kembalinya Teuku Umar, daerah Aceh besar mulai bergolak lagi. Oleh
karena itu Belanda mendatangkan kembali ekspedisi untuk menundukkan kembali seluruh Aceh besar
(Kartodirjo,1987:389)
4)      Perang periode keempat tahun 1896-1904
Belanda sudah melaksanakan perang dengan berbagai strategi dari pemimoin perang yang
berbeda pula. Tetapi pertahanan Aceh mesih sulit dihancurkan bahkan semangat juang masyarakat
Aceh semakin membara. Oleh karena itu Belanda berusaha menyelidiki rahasia dari kekuatan besar
Aceh terutama yang menyangkut kehidupan sosial budayanya. Dr. Snouck Hurgrunje yang faham
tentang agama islam dan pernah bergaul dengan orang-orang Aceh yang naik haji, oleh pemerintah
Hindia Belanda dipandang sebagai orang yang tepat untuk diberi tugas memecahkan kesulitan-
kesulitan yang dihadapi Belanda dalam menakhlukkan Aceh (Poesponegoro dan
Notosusanto,1993:256-257).
Sejak tahun 1890 Snouck Hurgronje mempelajari masyarakat Aceh. Ia juga pernah bermukim
secara rahasia di Mekkah, dapat menguasai bahasa Arab serta sejara dan ajaran-ajaran islam. Pada
tahun 1889 menjabat Penasihat Pemerintahan Agung Hindia Belanda untuk urusan Arab dan
pribumi. Snouck Hurgronje juga yang merintis politik devide et impera di kalangan umat Islam dan
juga politik menjinakkan watak Islam. Hurgronje memberikan nasihat kepada pemerintah Hindia
Belanda selama perang Aceh supaya memecah belah persatuan antara kaum Ulebalang dan kaum
ulama. Mereka harus didisolir satu sama lain. Bersamaan dengan dengan usaha memecah belah itu,
kaum Ulebalang secara militerharus didesak. Apabila ada dari kaum tersebut yang memberontak
maka harus dihancurkan dan kaum Ulebalang yang lemah harus dirangkul. Demikian pula dengan
kaum ulama, harus dilakukan penidasan militer tanpa ampun, sambil menyalurkan ajaran-ajaran islam
hanya pada bidang ubudiyah saja.ajran-ajaran islam tentang peperangan dan kenegaraan harus
dimatikan (Hasymy,1993:122-123).
Snouck Hurgronje juga memberi saran kepada pemerintah Hindia Belanda supaya
menggempur semua pemimpin aceh yang mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Untuk menjaga
keamanan Aceh Besar di setiap segi ditempatkan pasukan mobil. Ekspedisi di Aceh Besar dipimpin
oleh Van Der Heyden dibantu oleh Van Heutz. Ofensif yang dilakukannya memaksa pemimpin Aceh
untuk lari ke Pidie, antara lain Panglima Polim, Teuku Umar, dan pengikutnya. Strtegi ofensif itu
diteruskan waktu Van Heutz diangkat sebagai gubernur Aceh. Strategi itu sesuai dengan apa yang
disarankan Snouck Hurgronje dan bertahun-tahun mereka perjuangkan.
Waktu diadakan operasi Pidie, didaerah pantai Timur muncul gerakan Teuku Tapa, seorang
dari Gayo yang bertindak sebagai orang keramat dan berhasil menarik pengikut besar-besaran.
Dicanangkannya pula perang sabil. Pada bulan juni 1898 diadakan rapat para pemimpin perang
dimana Teuku Umar dipilih menjadi pemimpinnya. Operasi Van Heutz memaksa pihak Aceh lebih
bersikap defensif dengan menghindari konfrontasi (Kartodirjo,1987:389-390). Pada waktu menyerang
Belanda di Meulaboh (1889) Teuku Umar gugur.
Sultan Muhammad Daud Syah sangat sulit untuk ditakhlukkan oleh Belanda. Oleh karena itu,
Belanda menggunakan taktik baru yaitu dengan menculik istri Sultan. Dengan memberi tekanan-
tekanan keras kepada Sultan, akhirnya Sultan Muhammad Dawud menyerah kepada Belanda tahun
1903 (Wiharyanto,2006:163). Cara yang sama juga dilakukan Belanda untuk menangkap Panglima
Polim. Isteri, ibu dan anak-anak panglima Polim diculik oleh Belanda, kemudian Belanda menekan
Panglima Polim terus-menerus. Akhirnya karena keadaan sudah mendesak maka panglima Polim
dengan sisa pasukannya yang berjumlah 150 orang terpaksa menyerah kepada Belanda pada tanggal 6
september 1903 (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:260).
Laskar Aceh semakin terdesak terus, Meurado, Samalangan, Pensangan, Batu merah dan Batu
illiejatuh ke tangan Belanda. Beberapa rentetan peristiwa mulai dari gugurnya para pemimpin perang
sampai menerahnya para penglima dan Sultan Aceh kepada pihak Belanda perlahan-lahan membuat
pertahanan laskar Aceh lemah bahkan benar-benar sulit untuk bangkit dan kuat seperti dahulu.
Kesempatan tersebut digunakan pemerintah Hindia Belanda untuk menenmkan kekuasaan di seluruh
wilayah Aceh . Peristiwa menyerahnya para pemimpin perang dan Sultan Aceh serta melemahnya
kekuatan laskar Aceh sekaligus menandakan berakhirnya perang Aceh.
Setelah perang Aceh berakhir, maka kerajaan Aceh didikat oleh pemerintah Hindia Belanda
dengan jalan menandatangani pelakat pendek, suatu perjanjian yang berisi tentang beberapa hal
yakni :

1. Tiap-tiap swapraja harus mengakui kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.


2. Raja tidak boleh berhubungan dengan pemerintah asing lain.
3. Perintah pemerintah Belanda harus dijalankan (Wiharyanto,2006:163-164).

 Dampak perang Aceh bagi Belanda

a. Waktu perang Aceh yang sangat lama yakni sekitar tahun 1873-1904 sangat menguras kas keuangan
Belanda dan juga menimbulkan jatuhnya banyak korban dari pihak Belanda. Bahkan panglima perang
Belanda untuk perang Aceh yang pertama yakni Kohler juga gugur dalam penyerangan.
b. Belanda dapat mengetahui kelemahan dari pertahanan rakyat Aceh. Yakni lewat penyelidikan yang
dilakukan oleh Dr. Snouck Hurgronje. Akhirnya dapat diketahui bahwa peran ulama dan bangsawan
sangat penting bagi persatuan rakyat Aceh.
c.Walaupun Belanda harus berjuang bertahun-tahun dalam melakukan penyerangan guna menakhlukkan
Aceh, namun pada akhirnya Aceh berhasil dikuasai oleh Belanda.
A. Simpulan
            Perang Aceh merupakan perang yang berlangsung antara kerajaan Aceh dan Belanda. Perang
tersebut berlangsung kurang lebih sekitar tahun 1873 -1904. Semangat juang rakyat Aceh yang tidak
pernah surut membuat pihak Belanda kesulitan untuk menakhlukkan Aceh. Apalagi dengan semangat
perang sabil yang semakin membuat rakyat Aceh semangat dalam menyerang Belanda. berbagai
strategi perang telah digunakan Belanda untuk melemahkan rakyat Aceh, tetapi usaha tersebut selalu
mengalami kegagalan. Sampai pada akhirnya Belanda meminta nasihat dari seorang pengamat
masyarakat aceh yakni Snouck Hurgronje untuk menyelidiki kelemahan rakyat Aceh. Dengan adanya
bantuan dari snouck Hurgronje, akhirnyA Pemerintah Hindia Belanda dapat melaksanakan siasat licik
untuk menakhlukkan Aceh dan hal tersebut ternyata berhasil dan pada tahun 1903 sultan Muhammad
Daud Syah menyerah kepada Belanda.
            Walaupun akhirnya Belanda berhasil menguasai Aceh dan mengikat Sultan Aceh dengan
perjanjian, tetapi perlawanan-perlawanan dari rakyat Aceh kepada pihak belanda masih terus
berlangsung selama awal abad 20.

Anda mungkin juga menyukai