Anda di halaman 1dari 15

1.

Pieter Both (1610-1614)

Pieter Both (lahir di Amersfoort, 1568 - meninggal di Mauritius, 1615 pada umur 47 tahun) adalah
wakil VOC pertama di Hindia dan bisa pula dikatakan Gubernur-Jenderal pertama Hindia-Belanda. Ia
memerintah antara tahun 1610 1614.

MONOPOLI PERDAGANGAN
Selesai penugasannya sebagai perwira laut utama di Hindia Belanda (1599-1601), Pieter Both ditunjuk
sebagai 'penguasa tertinggi' pada November 1609 dengan tugas utama untuk menciptakan monopoli
perdagangan antara pulau pulau di Hindia Belanda hanya dengan Kerajaan Belanda, dan tidak dengan
negara lain, terutama Inggris. Dan Pieter Both memulainya dengan mendirikan pos perdagangan di
Banten dan Jakarta (1610). Pieter Both memegang jabatan sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda
dari 19-December-1610 hingga 6-November-1614. Dan dia berhasil mengadakan perjanjian
perdagangan dengan Pulau Maluku, menaklukan Pulau Timor dan mengusir Spanyol dari Pulau Tidore.
Sesudah digantikan oleh Gubernur Jenderal Gerard Reynst, Pieter Both bertolak kembali ke Belanda
dengan 4 kapal, tetapi malangnya dia tenggelam di perairan Mauritius bersama 2 kapalnya.

2.Gerard Reynst (1614-1615)

Van Gerard Reynst (kadang disebut Gerrit Reynst) lahir di Amsterdam Belanda, tanggal lahir dan
tahunnya tidak diketahui. Pada tahun 1599, Reynst merupakan seorang saudagar dan pemilik kapal, dia
juga merupakan pendiri (medeoprichter) dan komisaris dari perusahaan dagang Nieuwe of Brabantsche
Compagnie, Perusahaan ini pada tahun 1601 beraliansi dengan perusahaan lain membentuk persatuan
dagang Amsterdam (Verenigde Compagnie van Amsterdam), dan pada tahun 1602 membentuk
Persatuan Dagang Hindia Timur (Verenigde Oostindische Compagnie VOC). Berdasarkan keputusan
dari para koleganya yang juga pemegang saham VOC (de Heren XVII), Reynst diangkat menjadi
Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 20 Februari 1613. Pada tanggal 2 Juni 1613 berangkat

dengan armada yang terdiri dari 9 kapal dan dikomandani oleh Steven van der Haghen, yang kemudian
menjadi anggota Raad van Indie (Dewan Hindia). Perjalanan yang ditempuh hingga mencapai pantai
Banten cukup lama lebih dari 1 tahun. Pada tanggal 6 November 1614 Reynst mengambil alih kekuasaan
VOC di Hindia Belanda dari Pieter Both, pada saat yang sama juga Reynst mengirimkan armadanya ke
Laut Merah untuk negosiasi dagang dengan Bangsa Arab.
Salah satu tugas yang diterima Reynst adalah mengangkat pendeta dan guru untuk bangsa Belanda
yang tinggal di Banten, dan juga mencari tempat yang cocok untuk kegiatan tersebut. Penunjukkan
pendeta dan guru saat itu memang diperlukan karena sebagian besar bangsa Belanda yang tinggal di
Banten banyak yang menganggur dan tidak punya ketrampilan, hal ini disebabkan kurangnya kontrol dari
pusat. Reynst banyak menghabiskan waktunya di Maluku dan tinggal di kapal. Peristiwa penting yang
terjadi saat pemerintahan Reynst adalah pendudukan Pulau Ai di Kepulauan Banda untuk mengusir
Inggris dan mengontrol monopoli pala di pulau itu.
Reynst berangkat ke Pulau Ai dengan kekuatan sebanyak 900 orang tentara, jumlahnya dua kali lipat dari
laki-laki yang ada di pulau itu. Pertempuran terjadi sepanjang malam, akhirnya Inggris melarikan diri dari
pulau itu dengan sebelumnya melakukan bumi hangus terhadap ladang-ladang pala di seluruh pulau.
Besoknya tentara Reynst mendapat serangan hebat dari para penduduk Banda dengan menggunakan
meriam, 200 tentara VOC tewas akibat serangan ini. Walaupun mendapat serangan hebat, Reynst
akhirnya bisa menaklukan Pulau Ai hingga pulau Seram. Tahun 1615 dia kembali ke Banten, pada tahun
yang sama Reynst membuat persetujuan dagang dengan Pangeran Indragiri, Riau.
Gubernur Jenderal Gerard Reynst adalah orang pertama yang mengusulkan perbudakan di tanah Hindia
Belanda, tahun 1615 dia mengirimkan sejumlah besar orang Maluku, Ambon dan Banda untuk dikirim ke
Banten dan Jayakarta. Alasannya adalah pekerjaan yang dilakukan oleh para budak lebih cepat dan
ongkosnya sangat murah bila dibandingkan dengan para tentara dan pelaut VOC. Salah satu pekerjaan
para budak ini adalah memperbaiki Factorij (Gudang merangkap Kantor) Nassau dan membangun
Gudang Mauritius di Jayakarta dengan batu coral, untuk memperkuat VOC dari serangan Inggris dan
juga menyimpan rempah-rempah sebelum dikirim ke Negeri Belanda
Saat Gerard Reynst meninggalkan Banten menuju Jayakarta, beliau terkena serangan disentri dan
meninggal dunia tanggal 7 Desember 1615 di dalam Factorij Nassau, Jayakarta, Reynst dimakamkan di
Portugese Buitenkerk Gereja Portugis di luar benteng (tidak jelas disebutkan apakah yang dimaksud
Gereja Portugis itu adalah gereja Sion sekarang karena gereja ini baru berdiri tahun 1693, atau Gereja
Portugis yang ada di dalam benteng yang sampai abad 19 masih berdiri). Penggantinya adalah
Laurens Reael.

3. Laurens Reael (1614-1619)

Laurens Reael

Laurens Reael lahir tanggal 22 Oktober 1583 di Amsterdam, Belanda. Dari sejak kecil, beliau mendapat

pendidikan yang sangat baik. Pada tahun 1608 Reael menjadi sarjana di bidang hukum dari Universitas
Leiden.
Perjalanan karir Laurens Reael ini termasuk cemerlang. Pada bulan Mei 1611, Reael menjadi komandan
armada yang terdiri dari 4 kapal untuk melakukan ekspedisi ke Nusantara. Sesampainya di Banten,
beliau langsung ditunjuk oleh Gubernur Jenderal Pieter Both menjadi anggota Dewan Hindia (Raad van
Indi) tahun 1612. Pada tanggal 3 Agustus 1613 dia ditunjuk sebagai wakil gubernur untuk wilayah
Maluku, Ambon dan Banda. Pada awal tahun 1615 menjadi gubernur wilayah kepulauan Maluku. Setelah
kematian Gubernur Jenderal Gerard Reynst pada tanggal 7 Desember 1615, Reael ditunjuk menjadi
Gubernur Jenderal oleh Dewan Hindia, untuk mengisi kekosongan kekuasaan VOC di Nusantara. Pada
tanggal 19 Juni 1616, Laurens Reael memilih tinggal di Ternate sebagai tempat kerjanya, dan untuk
menfokuskan pekerjaannya sebagai gubernur jenderal, dia minta kenaikan budget secara drastis sebagai
gaji para pegawai VOC di Hindia Belanda. Permintaan ini menyebabkan para petinggi VOC dalam Heren
XVII meminta Reael untuk mengundurkan diri pada tanggal 31 Oktober 1617 (sumber lain menjelaskan
bahwa Reael yang meminta pengunduran diri). Masalah perbedaan gaji ini hanya salah satu point yang
membuat Reael mengundurkan diri. Penyebab utamanya adalah perbedaan pandangan yang tajam
antara Reael dengan para petinggi VOC di Negeri Belanda terhadap warga pribumi Nusantara. Reael
sebenarnya menginginkan bahwa fokus utama VOC saat itu adalah melawan intervensi Inggris yang
akan menguasai perdagangan di Maluku. Selain itu beliau adalah pejabat pertama yang mengkritik
kebijakan petinggi VOC terhadap para penduduk asli Maluku dengan menerbitkan aturan hongi tochten*.
Dia dan teman karibnya Steven van der Haghen berpendapat bahwa tujuan VOC berada di Nusantara
adalah untuk menjalankan misi dagang dan diplomatik yang tidak disertai kekerasan dan kekejaman
terhadap penduduk pribumi. Protes ini akhirnya memang tidak ditanggapi oleh Heren XVII, apalagi
setelah datang penggantinya Jan Pieterszoon Coen.
Selama pemerintahan Laurens Reael, VOC lebih banyak melakukan peperangan dengan pihak asing
seperti bertempur dengan koloni Spanyol di teluk Manila tahun 1617, mencegah mendaratnya Inggris di
Banten dan Maluku, sempat bentrok dengan pasukan Mataram di Jepara. Pada tanggal 21 Maret 1619
Laurens Reael menyerahkan jabatannya kepada Jan Pieterszoon Coen, dan kemudian pulang ke
Belanda dan tidak kembali lagi ke Nusantara hingga akhir hayatnya.
Setiap pejabat VOC yang kembali ke negaranya harus membuat laporan pekerjaannya dan diserahkan
kepada petinggi VOC di Den Haag. Laurens Reael membuat laporan selama pemerintahannya di Hindia
Belanda pada bulan Januari 1620. Dalam laporannya dia menjelaskan tentang perhatiannya pada
peperangan di Maluku termasuk juga kekejaman yang diluar batas yang dilakukan oleh bangsa Belanda
di Maluku dianggap dia sebagai tindakan yang tidak bisa diterima oleh bangsa beradab.
Walaupun banyak perbedaan pendapat dengan Heren XVII, Reael diberi juga penghargaan oleh mereka
berupa gouden medaille met inscriptie. Karena walau bagaimanapun Reaels tetap memberikan
keuntungan bagi VOC. Reaels akhirnya banyak menghabiskan waktunya di bidang seni sastra (beliau
menjadi anggota Muiderkring perkumpulan penggemar sastra di abad 17). Pada tanggal 9 Juni 1625,
beliau diangkat menjadi ketua kamar dagang Amsterdam. Hingga akhir hayatnya beliau tetap menjadi
administratur VOC walaupun sering absen karena kegiatannya yang mewakili kerajaan Belanda di luar
negeri. Dari tahun 1625 1627 Reael menjadi admiral untuk armada angkatan laut kerajaan Belanda.
Tahun 1626 melakukan misi diplomatik ke Inggris mewakili Belanda untuk bertemu raja Inggris Charles I.
Tahun 1627 saat menjalankan misi kenegaraan di Denmark, beliau mengalami kecelakaan saat akan
kembali ke Belanda, kapalnya tenggelam di lepas pantai Jutland Denmark, beliau selamat dan sempat
menjalankan pengobatan di Wina Austria. Tahun 1630 beliau menjadi anggota Dewan Kerajaan di
Amsterdam. Laurens Reael meninggal dunia karena sakit pada tanggal 21 Oktober 1637 di Amsterdam

*HONGI TOCHTEN, yaitu tindakan penghukuman VOC atas penduduk Maluku, termasuk Banda, dimana
VOC melakukan pembakaran dan pemusnahan atas tanaman rempah-rempah disitu, serta melakukan
teror terhadap penduduk di wilayah tersebut untuk membikin stabil harga rempah-rempah di pasaran
Amsterdam, jangan sampai merosot disebabkan oleh overpruduksi di Indonesia Timur. Demi
keuntungan yang melimpah-ruah VOC tidak segan-segan untuk melakukan tindakan kekerasan,
melakukan pembunuhan, penindasan dan melancarkan perang. Belum lagi penggunaan orang
Indonesia, untuk dipekerjakan sebagai budak-budak di pelbagai perkebunan pala, cengkeh, merica dll.
Begitu menyoloknya tindakan biadab yang dilakukan oleh VOC, sampai-sampai salah seorang gubernur
VOC di Maluku, bernama Laurens Reael, karena tidak tahan melihat kebiadaban tindakan VOC terhadap

rakyat Maluku, beberapa bulan saja sessudah diangkat menjadi pejabat, segera minta keluar. Ia
melakukan kecaman keras terhadap pemerintah Belanda. Mantan gubernur Laurens Reael adalah
pejabat tinggi Belanda pertama yang menentang praktek jahat VOC. Praktek-praktek VOC menurut Rick
van de Broeke, salah seorang keturunan dari kekuasaan VOC dulu, merupakan lembaran hitam dalam
sejarah Belanda. Menurut mantan gubernur Laurens Reael dalam suratnya kepada direksi VOC di
Holland ketika itu, tindakan-tindakan VOC yang melakukan perampokan, penyiksaan dan pembunuhan
terhadap orang-orang Indonesia, telah membikin orang-orang Belanda terkenal di seluruh Hindia
(Indonesia) sebagai bangsa yang paling kejam di seluruh dunia.

4.Pieter de Carpentier (1623 - 1627)

Pieter de Carpentier

Pieter de Carpentier lahirdi Antwerpen Belgia pada tahun 1588. Tidak lama setelah orang tuanya pindah
dari bagian selatan Belanda. Pieter belajar di Leiden dan setelah lulus dia bergabung dengan VOC dan
mendapatkan pangkat saudagar tinggi (opperkoopman). Pada tanggal 23 Januari 1616 pergi menuju
Hindia (Indonesia) dengan menumpang kapal Trouw. Di Hindia Pieter cepat akrab dengan Gubernur
Jenderal Coen dan menjadi orang kepercayaannya. Pada tahun 1619, dia menjadi ketua Dewan Hindia
dan direktur jenderal VOC. Pada tahun 1620, Pieter menjadi anggota Dewan Pertahanan (Raad van
Defensie). Pieter juga membantu menyerang benteng Jayakarta dengan mengerahkan enam belas
kapal, yang akhirnya Jayakarta bisa direbut dan dirubah namanya menjadi Batavia.
Tanggal 8 September 1622 dia ditunjuk oleh Heeren XVII untuk menjadi Gubernur Jenderal dan pada
tanggal 1 Februari 1623 dia mengambil alih pimpinan VOC di Hindia dari Jan Pietersz. Coen. Semasa
pemerintahannya, dia melanjutkan program yang sudah dibuat oleh Coen, yaitu memperluas wilayah
Batavia dan menguatkan posisi VOC di benua Asia. Perbedaannya hanyalah tindak-tanduknya lebih
bijaksana dibandingkan Coen.
Pembantaian Ambon
Peristiwa penting yang terjadi pada saat pemerintahan Pieter adalah terjadinya peristiwa Pembantaian
Ambon, peristiwa ini sangat jarang dijelaskan di bangku sekolah di Indonesia, karena yang bertikai
bukan antara penjajah dengan bangsa Indonesia, melainkan pertikaian antar bangsa asing. Pembantaian
Ambon (Ambonse Moord) dilatar belakangi perseteruan antar Kelompok Dagang Hindia Timur yaitu
Inggris dan Belanda di Maluku. VOC sudah menetapkan pusat perdagangannya di Pulau Ambon,
Kepulauan Maluku sejak tahun 1609, setelah sebelumnya mengusir bangsa Portugis. Sementara British
East India Company membuat stasiun transit dekat Cambello (Kambelo dalam bahasa Indonesia) P.
Seram pada tahun 1615
Pada tahun 1619 Inggris dan Belanda menandatangani Pakta Pertahanan yang mengijinkan Inggris
membeli sepertiga rempah-rempah di Maluku, sementara dua pertiga dibeli oleh Belanda. Tetapi, di
lapangan Belanda sendiri tidak begitu menghargai perjanjian ini dan konflik pun terus berlanjut. Apalagi di
saat bersamaan Inggris bisa memukul mundur Belanda di Jayakarta dan sempat menawan pejabat tinggi
VOC di sana.
Kemudian, bangsa Belanda di Ambon menyangka bahwa Inggris telah melakukan penyerangan kepada
bangsa mereka dan membunuh Gubernur Jenderal. Kemudian Belanda menyerang dan mengepung
kantor dan gudang milik East Indian Company pada tahun 1623. Dibawah perintah Gubernur Maluku saat
itu van Speult, mereka menyiksa 10 orang pejabat Inggris yang terjebak di kantor dan sembilan orang
asistennya yang merupakan bangsa Jepang. Mereka disiksa dengan cara di bakar dan ditenggelamkan,
sebagian lagi menggunakan bubuk mesiu yang ditaburkan di kaki dan lengannya, kemudian diledakkan

sehingga hancur seluruh tangan dan kakinya. Beberapa yang mencoba melarikan diri dari pembantaian
ini akhirnya ditangkap dan dibunuh. Penyiksaan ini dilakukan di benteng Victoria.
Penyiksaan ini menjadi kasus nasional di Inggris. Untuk membalas perlakuan Belanda, Inggris sempat
menangkap kapal-kapal Belanda saat melewati selat Inggris, yang berlayar dari Maluku ke Negeri
Belanda. Setelah Pembantaian Ambon ini, Inggris berkurang minatnya untuk menguasai Hindia Timur
(Indonesia), dan perjanjian tahun 1619 dibatalkan. Kemudian Inggris memfokuskan kedudukannya di
benua Asia, persisnya di Semenanjung Hindustan (India dan sekitarnya). Sebagai catatan Inggris pernah
mencoba menyerang kembali Ambon sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 1796 dan 1810. Tetapi
penyerangan tersebut dikalahkan oleh Belanda.
Peristiwa lain di Maluku adalah pemberlakuan kembali Hongi Tochten Stelsel pada tahun 1625, yang
sebelumnya sempat dibekukan oleh Gubernur Jenderal Laurens Reael. Isi dari Hongi Tochten Stelsel ini
meliputi penghancuran dan pembakaran kebun-kebun cengkeh rakyat, tanam paksa dan kerja paksa.
Kebijakan ini menimbulkan pemberontakan rakyat Maluku di Hararuku sehingga timbul perang besar
yang dikenal dengan perang Alaka (1625-1637).
Kebijakan de Carpentier lainnya adalah, untuk mengatur kehidupan para penduduk di Batavia, dia
mendirikan sekolah dan balaikota, mendirikan lembaga kepolisian berikut perangkat hukumnya,
mendirikan rumah anak yatim piatu dan juga gereja. Untuk semua fasilitas tersebut dia membuat aturan
perpajakan bagi penduduknya dengan alasan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan hukum.
Pada tanggal 30 September 1627, de Carpentier menyerahkan jabatannya kepada Jan Pietersz. Coen.
Pada tahun 1628, dia kembali ke Negeri Belanda dan menjadi admiral dari armada angkatan laut
Belanda. Dia menolak ditawari posisi Gubernur Jenderal yang kedua kalinya di Hindia dan memilih
menjadi petinggi VOC dan menjadi bagian dari Heeren XVII. Pada tahun 1629 dan 1632 ia dikirim ke
Inggris sebagai duta VOC untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di Hindia Timur. Pieter de
Carpentier meninggal dunia pada tanggal 5 September 1659 di Amsterdam.

5. Hendrik Brouwer (1632 1636)

Dalam sejarah, Hendrik Brouwer (kadang ditulis juga Henderik Brouwer) lebih dikenal sebagi
penjelajah maritim sea explorer, dibandingkan sebagai Gubernur Jenderal, karena
penemuan jalur baru yang lebih cepat ke Hindia Belanda. Juga ekspedisinya ke Amerika
Selatan.
Tanggal dan tempat kelahiran Hendrik tidak diketahui pasti, yang jelas dia lahir pada tahun
1581. Pada tahun 1606, dia berlayar menuju Hindia, tetapi tidak lama berada disana, Hendrik
kembali ke Belanda. Pada tanggal 16 April 1610, dengan jabatan sebagai komandan armada
yang terdiri dari tiga kapal. Hendrik kembali berlayar ke Hindia. Pelayaran kali ini merupakan
pelayaran yang bersejarah bagi dunia maritim saat itu (bahkan hingga sekarang). Setelah
sempat beristirahat di Tanjung Harapan, pada awal tahun 1611 Hendrik mencoba jalur baru
menuju Hindia Belanda dan tidak mengikuti jalur Portugis yang selama ini dilakukan oleh
Armada Belanda. Sebagai informasi, yang dimaksud jalur Portugis adalah, setelah melewati
Tanjung Harapan kapal berlayar menuju Mauritius (sebuah pulau di sebelah timur
Madagaskar), lalu ke pantai Srilangka dan kemudian menuju Asia Tenggara. Sementara jalur
baru yang dimaksud adalah setelah melewati Tanjung Harapan, Hendrik terus berlayar kurang
lebih tiga ribu mil ke timur, dan sebelum gugusan karang di Kepulauan Beacon (Barat
Australia)1, kapal bergerak ke utara menuju P. Jawa. Rute baru ini mempersingkat waktu
perjalanan dari yang biasanya satu tahun menjadi hanya sekitar 6 bulan.

Jalur laut yang baru sejak tahun 1613 ditetapkan sebagai jalur Brouwer dan dikenal dengan
istilah Roaring Forties 2, sejak saat itu seluruh armada Belanda menggunakan jalur ini hingga
terusan Suez dibuka pada tahun 1869. Bahkan Portugis mengakui jalur ini merupakan jalur
tercepat ke Eropa, dan semenjak tahun 1617, Portugis menetapkan Roaring Forties sebagai
jalur dagang mereka.
Hendrik Brouwer tidak lama berada di Hindia, beberapa sumber menyebutkan bahwa Brouwer
tidak begitu cocok dengan Gubernur Jenderal VOC saat itu, Pieter Both. Kemudian pada tahun
1613 Brouwer ditugaskan mengisi posisi sebagai Kepala Perdagangan di Hirado Jepang,
menggantikan Jacques Specx. Brouwer juga tidak lama menduduki posisi tersebut. Selama di
Jepang, Brouwer berhasil melakukan kontak dagang hingga ke pusat pemerintahan Jepang
saat itu, Edo (sekarang bernama Tokyo). Pada tahun 1613, dilakukan kontak dagang antara
VOC di Jepang dengan Siam (Thailand). Pada tahun yang sama juga Brouwer dipanggil pulang
ke Belanda untuk menduduki posisi sebagai pimpinan (Bewindhebber) di Heeren XVII. Bouwer
menduduki posisi ini selama lima belas tahun. Dan posisi Kepala Dagang di Jepang diisi
kembali oleh Jacques Specx pada tahun 1614.
Pada tahun 1632, Brouwer ditugaskan ke London untuk menyelesaikan perselisihan antara VOC
dengan British East Indian Company yang semakin memburuk, terutama semenjak terjadinya
peristiwa pembantaian Ambon pada tahun 1623. Masih pada tahun yang sama, tepatnya
tanggal 18 April 1632, dia menumpang kapal Zutphen menuju Hindia untuk menerima posisi
sebagai Gubernur Jenderal, dikarenakan saat itu Pieter de Carpentier menolak untuk
dicalonkan kembali, dan Jacques Specx dipanggil pulang, karena jabatannya sebagai Gubernur
Jenderal tidak diakui oleh Heeren XVII.
Selama menjabat menjadi Gubernur Jenderal, terjadi beberapa peristiwa di Nusantara,
diantaranya. Terjadi bentrokan antara tentara VOC dengan tentara Banten, yang didukung
oleh legiun Mataram. Kemudian untuk melemahkan kekuatan Mataram dilakukan pemboikotan
dan blokade jalur darat dan laut, tetapi gagal. Karena Mataram sudah memperkuat posisinya
di hampir seluruh Jawa.
Untuk gambaran ringkas bagaimana situasi Jawa saat itu, pada tahun 1631 Mataram berhasil
menaklukkan Sumedang Jawa Barat, kemudian pada tahun 1633, di saat VOC sedang
bertempur melawan Kesultanan Banten. Mataram mulai memperkuat pengaruhnya di timur
Jawa dengan menyerang kerajaan Hindu terakhir di Jawa, Blambangan. Raja Blambangan
sempat meminta tolong kepada Brouwer untuk membantu mereka, tetapi ditolak karena VOC
pun sedang berperang melawan Banten. Perang Blambangan berakhir dengan kemenangan
Mataram pada tahun 1637.
Peristiwa penting lainnya adalah, ditangkapnya Kakiali di Hitu Ambon pada tahun 1634,
dengan tuduhan menjual rempah-rempah ke kerajaan Gowa. Kakiali adalah pahlawan Hitu
yang nantinya melakukan pemberontakan besar pada tahun 1640-an, beliau merupakan
seorang Muslim dan pernah belajar agama Islam di Gresik Jawa Timur. Pada tahun 1635,
Brouwer melakukan perjanjian dagang dengan Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, juga pada
tahun yang sama meresmikan kantor resmi VOC di Ayyutthaya (Thailand).
Pada tanggal 1 Januari 1636, Brouwer menyerahkan jabatannya kepada penggantinya Antonio
van Diemen, pada tanggal 5 Januari 1636 Brouwer dengan menumpang kapal Amsterdam

pulang ke Belanda. Dia menolak untuk menduduki kembali posisi Bewindhebber. Pada tahun
1642, Brouwer ditunjuk sebagai komandan armada Belanda untuk melakukan ekspedisi ke
Hindia Barat (Benua Amerika) dan mendirikan cabang perusahaan VOC di sana, dengan nama
West Indische Compagnie. Pilihan Brouwer saat itu antara Chili atau Peru yang waktu itu
sudah diduduki oleh Spanyol. Pada tahun 1643, melalui rute Tanjung Horn dan selat Le Maire
di selatan Chili, Brouwer menuju pulau Chiloe (Barat Chili) yang merupakan pulau terbesar
kedua di Chili (Pulau terbesarnya adalah Tierra del Fuego) dan dibantu dengan Suku Indian
Araucan, Brouwer berhasil mengambil alih kota Valdivia dari tangan Spanyol. Brouwer
meninggal dunia pada tanggal 7 Agustus 1643 dan dimakamkan di Valdivia.
Keterangan Tambahan
1) Di Kepulauan Beacon ini, pada tanggal 4 Juni 1629 tenggelam kapal VOC Batavia, yang
pada saat itu merupakan pelayaran perdananya dari Batavia menuju Amsterdam. Kapal ini
kemudian diangkat oleh pemerintah Australia pada tahun 1970. Dan pada tahun 1995 dibuat
replikanya persis seperti aslinya. Pada tanggal 25 September 1999, dilakukan pelayaran dari
Amsterdam menuju Sydney (tempat reruntuhan kapal Batavia yang asli disimpan), dan
kembali lagi ke Lelystad, Belanda untuk berlabuh dan hingga sekarang masih bisa dikunjungi.
2) Menurut situs Wikipedia, Roaring Forties adalah nama yang diberikan oleh pelaut untuk
wilayah antara 40o - 50o lintang selatan, disebut demikian karena merupakan tempat yang
berangin kencang dan kuat yang bertiup dari arah barat. Disebabkan tidak banyak daratan
yang menyebabkan laju angin melambat, maka angin ini cenderung lebih kuat di belahan
bumi selatan, terutama di selatan Samudera Hindia hingga Wellington, Selandia baru.
Kekuatan angin ini kemungkinan besar yang diketahui oleh Hendrik Brouwer saat berlayar
menuju Hindia pada tahun 1610.

6.Cornelis van der Lijn (1645 1650)

Cornelis van der Lijn

Cornelis Janszoon van der Lijn (begitu nama lengkapnya) lahir di Alkmaar, Belanda
sekitar tahun 1608. Dia pergi meninggalkan Belanda pada tahun 1627 sebagai asisten
saudagar di kapal Wapen van Hoorn dengan tujuan Hindia. Pada bulan April 1630, van
der Lijn menikah dengan wanita kelahiran Belanda, Levina Polet. Dari tahun 1632
hingga 18 Januari 1636 van der Lijn adalah kepala akuntan di Batavia. Pada tahun
1639 (menurut Valentijn 1637) dia diangkat menjadi Konsul luar biasa untuk Hindia,
setahun kemudian van der Lijn menjadi presiden dari Schepenrechtbank, dan dilantik
menjadi konsul penuh di Raad van Indi pada tahun berikutnya. Pada tahun 1642
(menurut Valentijn 1640) dia menjabat sebagai Direktur Jenderal.
Gubernur Jenderal saat itu, Antonio van Diemen, sudah sakit-sakitan dan merasa tidak
mampu memimpin VOC lagi maka pada tanggal 12 April 1645 (seminggu sebelum
wafat), dia menunjuk Cornelis van der Lijn yang saat itu menjabat anggota Raad van
Indi untuk menggantikan posisinya. Penunjukkan ini tidak melalui persetujuan dari
Heeren XVII, dimana sejak tahun 1617 setiap pergantian Gubernur Jenderal harus

berdasarkan mandat yang diberikan oleh Heeren XVII, bukan pejabat lain. Sehingga
saat pergantian ini dilaporkan ke Belanda, para bos VOC ini kaget dan mula-mula
menolak penunjukkan tersebut. Tetapi mengingat jasa yang diberikan oleh Van
Diemen saat itu sangat besar bagi VOC, akhirnya Heeren XVII-pun memberi
persetujuannya. Dan pada tanggal 10 Oktober 1646, Cornelis van der Lijn resmi
diangkat menjadi Gubernur Jenderal.
Kepemimpinan van der Lijn berbeda jauh dengan van Diemen. Pengaruhnya di VOC
tidak sebesar saat van Diemen menjadi Gubernur Jenderal, tetapi walaupun begitu
ada beberapa prestasi yang bisa dicapai selama kepemimpinannya. Yang dilakukannya
pertama adalah memperkuat posisi VOC di Semenanjung Malaya dengan mendirikan
pos di Perak. Van der Lijn juga dengan jeli melihat adanya peluang menguasai Jawa
saat mengetahui bahwa pemimpin Mataram meninggal dunia (Sultan Agung) pada
tahun 1646 dan digantikan oleh Amangkurat I. Mengetahui bahwa pemimpin Mataram
yang baru ini tidak sekeras Sultan Agung, maka pada tanggal 24 September 1646, dia
mengajak Mataram berdamai dan diberi imbalan bahwa Mataram berhak berdagang di
semua pelabuhan VOC kecuali Ambon, Ternate dan Banda. Juga dengan membawa
surat pas dari VOC, Mataram diperbolehkan berdagang ke Malaka atau daerah yang
lebih jauh di utara Hindia.
Kemudian untuk menjaga kestabilan VOC di pulau Jawa, van der Lijn membuat
perjanjian perdamaian dengan Banten. Untuk memperkuat posisi VOC di Maluku, van
der Lijn merebut Solor dari Portugis dan menduduki Hitu sepenuhnya setelah dapat
membunuh Kakiali, pemimpin Hitu saat itu.
Diantara prestasi yang sudah disebut di atas, van der Lijn juga memiliki kekurangan.
Selama kepemimpinannya, tingkat korupsi-kolusi-nepotisme sangat tinggi, terutama
kedekatannya dengan Direktur Jenderal Caron. Akibat dari KKN ini pelayanan publik di
Batavia merosot dikarenakan dana habis dikorupsi. Pada tanggal 7 Oktober 1650, para
pemimpin VOC di Belanda meminta dengan hormat supaya van der Lijn mengundurkan
diri, dan digantikan oleh Carel Reyniersz. Pada tahun 1651 van der Lijn kembali ke
negaranya dengan menumpang kapal Prinses Royaal. Di Belanda, sambutan terhadap
dirinya sangat dingin dan hanya diberi jabatan sebagai komandan armada kapal
dagang VOC. Cornelis van der Lijn kemudian menghabiskan masa hidupnya di Alkmaar
dan pada tanggal 24 Desember 1668 dia diangkat menjadi walikota di kota itu.
Cornelis van der Lijn meninggal pada tanggal 27 Juli 1679 di kota Alkmaar.

7. Johannes van den Bosch (1830-1833)

Johannes graaf van den Bosch (lahir di Herwijnen, Lingewaal, 1 Februari 1780 meninggal
di Den Haag, 28 Januari 1844 pada umur 63 tahun) adalah Gubernur-Jenderal HindiaBelanda yang ke-43. Ia memerintah antara tahun 1830 1834. Pada masa pemerintahannya

Tanam Paksa (Cultuurstelsel) mulai direalisasi, setelah sebelumnya hanya merupakan konsep
kajian yang dibuat untuk menambah kas pemerintah kolonial maupun negara
induk Belanda yang kehabisan dana karena peperangan di Eropa maupun daerah koloni
(terutama di Jawa dan Pulau Sumatera).

BIOGRAFI
Van den Bosch dilahirkan di Herwijnen, Provinsi Gelderland, Belanda. Kapal yang
membawanya tiba di Pulau Jawa tahun 1797, sebagai seorang letnan; tetapi pangkatnya cepat
dinaikkan menjadi kolonel. Pada tahun 1810 sempat dipulangkan ke Belanda karena perbedaan
pendapat dengan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Setelah kepulangannya ke
Belanda pada bulan November 1813, Van den Bosch beragitasi untuk kembalinya Wangsa
Oranje. Dia diangkat kembali sebagai kolonel di ketentaraan dan menjadi Panglima Maastricht.
Di Belanda karier militernya membuatnya terlibat sebagai komandan di Maastricht dengan
pangkat sebagai mayor jenderal. Di luar kegiatan karier, Van den Bosch banyak membantu
menyadarkan warga Belanda akan kemiskinan akut di wilayah koloni. Pada tahun 1827, dia
diangkat menjadi jenderal komisaris dan dikembalikan ke Batavia (kini Jakarta), hingga akhirnya
menjadi Gubernur Jenderal pada tahun 1830. Van den Bosch kembali ke Belanda sesudah lima
tahun. Dia pensiun secara sukarela pada tahun 1839.

8. Herman Willem Deandels (1808-1811)

Mr. Herman Willem Daendels (lahir di Hattem, 21 Oktober 1762 meninggal di Ghana, 2
Mei 1818 pada umur 55 tahun), adalah seorang politikus Belanda yang merupakan GubernurJenderal Hindia-Belanda yang ke-36. Ia memerintah antara tahun 1808 1811. Masa
itu Belanda sedang dikuasai oleh Perancis.

Massa Dewasa
Pada tahun 1780 dan 1787 ia ikut para kumpulan pemberontak di Belanda dan kemudian melarikan diri
ke Perancis. Di sana ia menyaksikan dari dekat Revolusi Perancis dan lalu menggabungkan diri dengan
pasukan Batavia yang republikan. Akhirnya ia mencapai pangkat Jenderal dan pada tahun 1795 ia
masuk Belanda dan masuk tentara Republik Batavia dengan pangkat Letnan-Jenderal. Sebagai kepala
kaum Unitaris, ia ikut mengurusi disusunnya Undang-Undang Dasar Belanda yang pertama. Bahkan ia
mengintervensi secara militer selama dua kali. Tetapi invasi orang Inggris dan Rusia di provinsi NoordHolland berakibat buruk baginya. Ia dianggap kurang tanggap dan diserang oleh berbagai pihak.
Akhirnya ia kecewa dan mengundurkan diri dari tentara pada tahun 1800. Ia memutuskan pindah
ke Heerde, Gelderland.

Karier

Pada tahun 1806 ia dipanggil oleh Raja Belanda, Raja Louis (Koning Lodewijk) untuk berbakti kembali di
tentara Belanda. Ia ditugasi untuk mempertahankan provinsi Friesland danGroningen dari
serangan Prusia. Lalu setelah sukses, pada tanggal 28 Januari 1807 atas saran Kaisar Napoleon
Bonaparte, ia dikirim ke Hindia-Belanda sebagai Gubernur-Jenderal.

Deandels di Hindia-Belanda
Maka setelah perjalanan yang panjang melalui Pulau Kanari, Daendels tiba di Batavia pada tanggal 5
Januari 1808 dan menggantikan Gubernur-Jenderal Albertus Wiese. Daendels diserahi tugas terutama
untuk melindungi pulau Jawa dari serangan tentara Inggris. Jawa adalah satu-satunya daerah koloni
Belanda-Perancis yang belum jatuh ke tangan Inggris setelah Isle de France dan Mauritius pada
tahun 1807. Namun demikian beberapa kali armada Inggris telah muncul di perairan utara laut Jawa
bahkan di dekat Batavia. Pada tahun 1800, armada Inggris telah memblokade Batavia dan
menghancurkan galangan kapal Belanda di Pulau Onrust sehingga tidak berfungsi lagi. Pada tahun 1806,
armada kecil Inggris di bawah laksamana Pellew muncul di Gresik. Setelah blokade singkat, pimpinan
militer Belanda, Von Franquemont memutuskan untuk tidak mau menyerah kepada Pellew. Ultimatum
Pellew untuk mendarat di Surabaya tidak terwujud, tetapi sebelum meninggalkan Jawa Pellew menuntut
Belanda agar membongkar semua pertahanan meriam di Gresik dan dikabulkan. Ketika mendengar hal
ini, Daendels menyadari bahwa kekuatan Perancis-Belanda yang ada di Jawa tidak akan mampu
menghadapi kekuatan armada Inggris. Maka iapun melaksanakan tugasnya dengan segera. Tentara
Belanda diisinya dengan orang-orang pribumi, ia membangun rumah sakit-rumah sakit dan tangsitangsi militer baru. DiSurabaya ia membangun sebuah pabrik senjata, di Semarang ia membangun pabrik
meriam dan di Batavia ia membangun sekolah militer. Kastil di Batavia dihancurkannya dan diganti
dengan benteng di Meester Cornelis (kini Jatinegara). Di Surabaya dibangunnya Benteng Lodewijk.
Proyek utamanya, yaitu Jalan Raya Pos, sebenarnya dibangunnya juga karena manfaat militernya, yaitu
untuk mengusahakan tentara-tentaranya bergerak dengan cepat.
Terhadap raja-raja di Jawa, ia bertindak keras, tetapi kurang strategis sehingga mereka menyimpan
dendam kepadanya. Di mata Daendels, semua raja pribumi harus mengakui raja Belanda sebagai
junjungannya dan minta perlindungan kepadanya. Bertolak dari konsep ini, Daendels mengubah jabatan
pejabat Belanda di kraton Solo dan kraton Yogya dari residen menjadi minister. Minister tidak lagi
bertindak sebagai pejabat Belanda melainkan sebagai wakil raja Belanda dan juga wakilnya di kraton
Jawa. Oleh karena itu Daendels membuat peraturan tentang perlakuan raja-raja Jawa kepada para
Minister di kratonnya. Jika di zaman VOC para residen Belanda diperlakukan sama seperti para
penguasa daerah yang menghadap raja-raja Jawa, dengan duduk di lantai dan mempersembahkan sirih
sebagai tanda hormat kepada raja Jawa, Minister tidak layak lagi diperlakukan seperti itu. Minister berhak
duduk sejajar dengan raja, memakai payung seperti raja, tidak perlu membuka topi atau
mempersembahkan sirih kepada raja, dan harus disambut oleh raja dengan berdiri dari tahtanya ketika
Minister datang di kraton. Ketika bertemu di tengah jalan dengan raja, Minister tidak perlu turun dari
kereta tetapi cukup membuka jendela kereta dan boleh berpapasan dengan kereta raja. Meskipun
di Surakarta Sunan Paku Buwono IV menerima ketentuan ini, di Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono
II tidak mau menerimanya. Daendels harus menggunakan tekanan agar Sultan Yogya bersedia
melaksanakan aturan itu.Tetapi dalam hati kedua raja itu tetap tidak terima terhadap perlakuan Daendels
ini. Jadi ketika orang-orang Inggris datang, maka mereka bersama-sama dengan para raja
"mengkhianati" orang Belanda.

Berbeda dengan apa yang dipercaya orang selama ini, Daendels selama masa pemerintahannya
memang memerintahkan pembangunan jalan di Jawa tetapi tidak dilakukan dari Anyerhingga Panarukan.
Jalan antara Anyer dan Batavia sudah ada ketika Daendels tiba. Oleh karena itu menurut
het Plakaatboek van Nederlandsch Indie jilid 14, Daendels mulai membangun jalan dari Buitenzorg
menuju Cisarua dan seterusnya sampai ke Sumedang.Pembangunan dimulai bulan Mei 1808. Di
Sumedang, proyek pembangunan jalan ini terbentur pada kondisi alam yang sulit karena terdiri atas
batuan cadas, akibatnya para pekerja menolak melakukan proyek tersebut dan akhirnya pembangunan
jalan macet. Akhirnya Pangeran Kornel turun tangan dan langsung menghadap Daendels untuk meminta
pengertian atas penolakan para pekerja. Ketika mengetahui hal ini, Daendels memerintahkan komandan
pasukan zeni Brigadir Jenderal von Lutzow untuk mengatasinya. Berkat tembakan artileri, bukit padas
berhasil diratakan dan pembangunan diteruskan hingga Karangsambung. Sampai Karangsambung,
proyek pembangunan itu dilakukan dengan kerja upah. Para bupati pribumi diperintahkan menyiapkan
tenaga kerja dalam jumlah tertentu dan masing-masing setiap hari dibayar 10 sen per orang dan
ditambah dengan beras serta jatah garam setiap minggu.
Setibanya di Karangsambung pada bulan Juni 1808, dana tiga puluh ribu gulden yang disediakan
Daendels untuk membayar tenaga kerja ini habis dan di luar dugaannya, tidak ada lagi dana untuk
membiayai proyek pembangunan jalan tersebut. Ketika Daendels berkunjung ke Semarang pada
pertengahan Juli 1808, ia mengundang semua bupati di pantai utara Jawa. Dalam pertemuan itu
Daendels menyampaikan bahwa proyek pembangunan jalan harus diteruskan karena kepentingan
mensejahterakan rakyat (H.W. Daendels, Staat van Nederlandsch Indische Bezittingen onder bestuur
van Gouverneur Generaal en Marschalk H.W. Daendels 1808-1811, 's Gravenhage, 1814). Para bupati
diperintahkan menyediakan tenaga kerja dengan konsekuensi para pekerja ini dibebaskan dari kewajiban
kerja bagi para bupati tetapi mencurahkan tenaganya untuk membangun jalan. Sementara itu para bupati
harus menyediakan kebutuhan pangan bagi mereka. Semua proyek ini akan diawasi oleh para prefect
yang merupakan kepala daerah pengganti residen VOC. Dari hasil kesepakatan itu, proyek
pembangunan jalan diteruskan dari Karangsambung ke Cirebon. Pada bulan Agustus 1808 jalan telah
sampai di Pekalongan. Sebenarnya jalan yang menghubungkan Pekalonganhingga Surabaya telah ada,
karena pada tahun 1806 Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolaas Engelhard telah menggunakannya
untuk membawa pasukan Madura dalam rangka menumpas pemberontakan Bagus Rangin di Cirebon
(Indische Tijdschrift, 1850). Jadi Daendels hanya melebarkannya. Tetapi ia memang memerintahkan
pembukaan jalan dari Surabaya sampai Panarukan sebagai pelabuhan ekspor paling ujung di Jawa
Timur saat itu.
Kontroversi terjadi tentang pembangunan jalan ini. Pada masa Daendels banyak pejabat Belanda yang
dalam hatinya tidak menyukai Perancis tetapi tetap setia kepada dinasti Oranje yang melarikan diri ke
Inggris. Namun mereka tidak bisa berbuat banyak karena penentangan terhadap Daendels berarti
pemecatan dan penahanan dirinya. Hal itu menerima beberapa orang pejabat seperti Prediger (Residen
Manado), Nicolaas Engelhard (Gubernur Pantai Timur Laut Jawa) dan Nederburgh (bekas pimpinan
Hooge Regeering). Mereka yang dipecat ini kemudian kembali ke Eropa dan melalui informasi yang
dikirim dari para pejabat lain yang diam-diam menentang Daendels (seperti Peter Engelhard Minister
Yogya, F. Waterloo Prefect Cirebon, F. Rothenbuhler, Gubernur Ujung Timur Jawa), mereka menulis
keburukan Daendels. Di antara tulisan mereka terdapat proyek pembangunan jalan raya yang dilakukan
dengan kerja rodi dan meminta banyak korban jiwa. Sebenarnya mereka sendiri tidak berada di Jawa
ketika proyek pembangunan jalan ini dibuat. Ini terbukti dari penyebutan pembangunan jalan antara

Anyer dan Panarukan, padahal Daendels membuatnya dimulai dari Buitenzorg. Sayang sekali arsip-arsip
mereka lebih banyak ditemukan dan disimpan di arsip Belanda, sementara data-data yang dilaporkan
oleh Daendels atau para pejabat yang setia kepadanya (seperti J.A. van Braam, Minister Surakarta) tidak
ditemukan kecuali tersimpan di Perancis karena Daendels melaporkan semua pelaksanaan tugasnya
kepada Napoleon setelah penghapusan Kerajaan Belanda pada tahun 1810. Sejarawan Indonesia yang
banyak mengandalkan informasi dari arsip Belanda ikut berbuat kesalahan dengan menerima kenyataan
pembangunan jalan antara Anyer-Panarukan melalui kerja rodi.
Kontroversi lain yang menyangkut pembangunan jalan ini adalah tidak pernah disebutkannya manfaat
yang diperoleh dari jalan tersebut oleh para sejarawan dan lawan-lawan Daendels. Setelah proyek
pembuatan jalan itu selesai, hasil produk kopi dari pedalaman Priangan semakin banyak yang diangkut
ke pelabuhan Cirebon dan Indramayu padahal sebelumnya tidak terjadi dan produk itu membusuk di
gudang-gudang kopi Sumedang, Limbangan, Cisarua dan Sukabumi. Begitu juga dengan adanya jalan
ini, jarak antara Surabaya-Batavia yang sebelumnya ditempuh 40 hari bisa disingkat menjadi 7 hari. Ini
sangat bermanfaat bagi pengiriman surat yang oleh Daendels kemudian dikelola dalam dinas pos.
Di sisi lain dikatakan bahwa Daendels mebuat birokrasi menjadi lebih efisien dan mengurangi korupsi.
Tetapi ia sendiri dituduh korupsi dan memperkaya diri sendiri. Akhirnya ia dipanggil pulang
oleh Perancis dan kekuasaan harus diserahkan kepada Jan Willem Janssens, seperti diputuskan
oleh Napoleon Bonaparte.Pemanggilan pulang ini dipertimbangkan oleh Napoleon sendiri. Dalam rangka
penyerbuan ke Rusia, Napoleon memerlukan seorang jenderal yang handal dan pilihannya jatuh kepada
Daendels. Dalam korps tentara kebanggaan Perancis (Grande Armee), ada kesatuan Legiun Asing
(Legion Estranger) yang terdiri atas kesatuan bantuan dari raja-raja sekutu Perancis. Di antaranya adalah
pasukan dari Duke of Wurtemberg yang terdiri atas tiga divisi (kira-kira 30 ribu tentara). Tentara
Wurtemberg ini sangat terkenal sebagai pasukan yang berani, pandai bertempur tetapi sulit dikontrol
karena latar belakang mereka sebagai tentara bayaran pada masa sebelum penaklukan oleh Perancis.
Napoleon mempercayakan kesatuan ini kepada Daendels dan dianugerahi pangkat Kolonel Jenderal.
Ketika tiba di Paris dari perjalanannya di Batavia, Daendels disambut sendiri oleh Napoleon di
istana Tuiliries dengan permadani merah. Di sana ia diberi instruksi untuk memimpin kesatuan
Wurtemberg dan terlibat dalam penyerbuan ke Rusia pada tanggal 22 Juni 1812.

Kembali Ke Eropa
Sekembali Daendels di Eropa, Daendels kembali bertugas di tentara Perancis. Dia juga ikut tentara
Napoleon berperang ke Rusia. Setelah Napoleon dikalahkan di Waterloo dan Belandamerdeka kembali,
Daendels menawarkan dirinya kepada Raja Willem I, tetapi Raja Belanda ini tidak terlalu suka terhadap
mantan Patriot dan tokoh revolusioner ini. Tetapi biar bagaimanapun juga, pada tahun 1815 ia ditawari
pekerjaan menjadi Gubernur-Jenderal di Ghana. Ia meninggal dunia di sana akibat malaria pada
tanggal 8 Mei 1818.

9. Thomas Stamford Bingley Raffles (1811-1816)

Sir Thomas Stamford Bingley Raffles (lahir di Jamaica, 6 Juli 1781 meninggal di London, Inggris, 5
Juli 1826 pada umur 44 tahun) adalah Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda yang terbesar. Ia adalah
seorang warganegara Inggris. Ia dikatakan juga pendiri kota dan negara kota Singapura. Ia salah
seorangInggris yang paling dikenal sebagai yang menciptakan kerajaan terbesar di dunia.

Latar Belakang Keluarga


Tak banyak diketahui tentang orangtua Raffles. Ayahnya, Kapten Benjamin Raffles, terlibat dalam
perdagangan budak di Kepulauan Karibia, dan meninggal mendadak ketika Thomas baru berusia 15
tahun, sehingga keluarganya terperangkap utang. Ia langsung mulai bekerja sebagai
seorang pegawai di London untuk Perusahaan Hindia Timur Britania, perusahaan dagang setengahpemerintah yang berperan banyak dalam penaklukan Inggris di luar negeri. Pada 1805 ia dikirim ke pulau
yang kini dikenal sebagai Penang, di negara Malaysia, yang saat itu dinamai Pulau Pangeran Wales.
Itulah awal-mula hubungannya dengan Asia Tenggara.

Raffles di Hindia-Belanda
Raffles diangkat sebagai Letnan Gubernur Jawa pada tahun 1811 dan dipromosikan sebagai
Gubernur Sumatera tidak lama kemudian, ketika Inggrismengambil alih jajahan-jajahan Belanda ketika
Belanda diduduki oleh Napoleon Bonaparte dari Perancis. Ketika menjabat sebagai penguasa HindiaBelanda, Raffles mengusahakan banyak hal: beliau mengintroduksi otonomi terbatas, menghentikan
perdagangan budak, mereformasi sistem pertanahan pemerintah kolonial Belanda, menyelidiki flora dan
fauna Indonesia, meneliti peninggalan-peninggalan kuno seperti Candi Borobudur danCandi
Prambanan, Sastra Jawa serta banyak hal lainnya. Ia belajar sendiri bahasa Melayu dan meneliti
dokumen-dokumen sejarah Melayu yang mengilhami pencariannya akan Borobudur. Hasil penelitiannya
di pulau Jawa ia tuliskan pada sebuah buku berjudulkan History of Java, yang menceritakan
mengenai sejarah pulau Jawa. Dalam melakukan penelitiannya, Raffles dibantu oleh asistennya
yaitu James Crawfurd dan Kolonel Colin Mackenzie.
Istri Raffles, Olivia Marianne, wafat pada tanggal 26 November 1814 di Buitenzorg dan dimakamkan
di Batavia, tepatnya di tempat yang sekarang menjadi Museum Prasasti. Di Kebun Raya Bogor dibangun
monumen peringatan untuk mengenang kematian sang isteri.
Kebijakan-kebijakan Raffles di bidang tertentu adalah:

Bidang birokrasi dan pemerintahan


Langkah-langkah Raffles pada bidang pemerintahan adalah:

Membagi Pulau Jawa menjadi 16 keresidenan (sistem keresidenan ini berlangsung sampai
tahun 1964)

Mengubah sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi sistem
pemerintahan kolonial yang bercorak Barat

Bupati-bupati atau penguasa-penguasa pribumi dilepaskan kedudukannya yang mereka peroleh


secara turun-temurun

Sistem juri ditetapkan dalam pengadilan

Bidang ekonomi dan keuangan


Petani diberikan kebebasan untuk menanam tanaman ekspor, sedang pemerintah hanya berkewajiban
membuat pasar untuk merangsang petani menanam tanaman ekspor yang paling menguntungkan.
Penghapusan pajak hasil bumi (contingenten) dan sistem penyerahan wajib (verplichte leverantie) yang
sudah diterapkan sejak zaman VOC. Menetapkan sistem sewa tanah (landrent) yang berdasarkan
anggapan pemerintah kolonial. Pemungutan pajak secara perorangan.

Bidang hukum
Sistem peradilan yang diterapkan Raffles lebih baik daripada yang dilaksanakan oleh Daendels. Karena
Daendels berorientasi pada warna kulit (ras), Raffles lebih berorientasi pada besar kecilnya kesalahan.
Badan-badan penegak hukum pada masa Raffles sebagai berikut:

Court of Justice, terdapat pada setiap residen

Court of Request, terdapat pada setiap divisi

Police of Magistrate

Bidang sosial
Penghapusan kerja rodi (kerja paksa) dan penghapusan perbudakan, tetapi dalam praktiknya ia
melanggar undang-undangnya sendiri dengan melakukan kegiatan sejenis perbudakan.
Peniadaan pynbank (disakiti), yaitu hukuman yang sangat kejam dengan melawan harimau.

Bidang Ilmu Pengetahuan

Ditulisnya buku berjudul History of Java di London pada tahun 1817 dan dibagi dua jilid

Ditulisnya buku berjudul History of the East Indian Archipelago di Eidenburg pada tahun 1820 dan
dibagi tiga jilid

Raffles juga aktif mendukung Bataviaach Genootschap, sebuah perkumpulan kebudayaan dan ilmu
pengetahuan

Ditemukannya bunga Rafflesia Arnoldi

Dirintisnya Kebun Raya Bogor

Memindahkan Prasasti Airlangga ke Calcutta, India sehingga diberi nama Prasasti Calcutta

Dari kebijakan ini, salah satu pembaruan kecil yang diperkenalkannya di wilayah kolonial Belanda adalah
mengubah sistem mengemudi dari sebelah kanan ke sebelah kiri, yang berlaku hingga saat ini.

Kembali dari Hindia-Belanda


Pada tahun 1815 Raffles kembali ke Inggris setelah Jawa dikembalikan ke Belanda setelah Perang
Napoleon selesai. Pada 1817 ia menulis dan menerbitkan buku History of Java, yang melukiskan sejarah
pulau itu sejak zaman kuno.

Tetapi pada tahun 1818 ia kembali ke Sumatera dan pada tanggal 29 Januari 1819 ia mendirikan sebuah
pos perdagangan bebas di ujung selatan Semenanjung Malaka, yang di kemudian hari menjadi negara
kota Singapura. Ini merupakan langkah yang berani, berlawanan dengan kebijakan Britania untuk tidak
menyinggung Belanda di wilayah yang diakui berada di bawah pengaruh Belanda. Dalam enam minggu,
beberapa ratus pedagang bermunculan untuk mengambil keuntungan dari kebijakan bebas pajak, dan
Raffles kemudian mendapatkan persetujuan dari London.
Raffles menetapkan tanggal 6 Februari tahun 1819 sebagai hari jadi Singapura modern. Kekuasaan atas
pulau itu pun kemudian dialihkan kepada Perusahaan Hindia Timur Britania. Akhirnya pada tahun 1823,
Raffles selamanya kembali ke Inggris dan kota Singapura telah siap untuk berkembang
menjadi pelabuhan terbesar di dunia. Kota ini terus berkembang sebagai pusat perdagangan dengan
pajak rendah.

Raffles di Inggris
Di Inggris Raffles juga merupakan pendiri dan ketua pertama Zoological Society of London. Raffles
dijadikan seorang bangsawan pada tahun1817.
Ia meninggal sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-45, pada 5 Juli 1826, karena apoplexy atau stroke.
Karena pendiriannya yang menentang perbudakan, keluarganya tidak diizinkan mengebumikannya di
halaman gereja setempat (St. Mary's, Hendon). Larangan ini dikeluarkan pendeta gereja itu, yang
keluarganya memetik keuntungan dari perdagangan budak. Ketika gereja itu diperluas pada 1920-an,
kuburannya dimasukkan ke dalam bagian bangunannya.

Rafflesia di Singapura
Di Singapura, nama Raffles banyak dipakai: Raffles Junior College, Raffles Institution, Raffles Girls'
School, Raffles Girls' Primary School, Raffles Hotel, Stamford Road, Stamford House,Raffles City, stasiun
MRT Raffles Place, kelas Raffles di pesawat Singapore Airlines dan Museum Penelitian
Keanekaragaman Hayati Raffles.

Rafflesia
Nama Raffles juga dipakai sebagai nama suatu genus dari
sekelompok tumbuhan parasit obligat, Rafflesia, untuk menghormati jasa-jasanya. Salah satu jenisnya
memiliki bunga sejati terbesar di dunia, yaitu padma raksasa atau Rafflesia arnoldi yang menjadi salah
satu dari bunga nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai