Anda di halaman 1dari 9

TOKOH-TOKOH VOC BELANDA

NAMA : IKRAM AKBAR

Nis : 22-2063-129

KELAS : XI TKJ 1

UPT SMKN 2 BARRU


2023-2024
1. PIETER BOTH

Pieter Both (lahir di Amersfoort, 1568 - meninggal di Mauritius, 1615 pada umur 47
tahun) adalah wakil VOC pertama di Hindia dan bisa pula dikatakan Gubernur-
Jenderal pertama Hindia Belanda. Tugas utama pieter both adalah menemukan tempat yang cocok
untuk pertemuan kapal-kapal milik armada Belanda sekaligus sebagai tempat pusat pemerintahan Ia
memerintah antara tahun 1610 – 1614.
Pieter Both awalnya betugas sebagai sebagai perwira angkatan laut utama di Hindia
Belanda sejak tahun 1599. Masa tugasnya berakhir pada tahun 1601.
Pada tanggal 27 November 1609, sebuah resolusi Staten-Generaal telah menetapkan Pieter Both
sebagai pemimpin tertinggi bagi seluruh perdagangan Perusahaan Hindia Timur
Belanda di Asia sekaligus mendirikan pemerintahannya yang disebut Pemerintah Agung. Pimpinan
tertingginya diberi gelar gubernur jenderal. Tugas utama yang diberikan padanya adalah menciptakan
monopoli perdagangan antara pulau-pulau di Hindia Belanda. Monopoli ini hanya dengan Kerajaan
Belanda dan tidak dengan negara lain, terutama Inggris.
Pieter Both memegang jabatan sebagai Gubernur Jenderal Perusahaan Hindia Timur
Belanda dengan status sebagai yang pertama kali menjabatinya. Awalnya, lokasi perdagangan yang
ditetapkannya sebagai pusat perdagangan bagi Perusahaan Hindia Timur Belanda berada di Pulau
Ambon, Maluku. Masa jabatan Pieter Both dimulai sejak tanggal 19 Desember 1610 hingga 6
November 1614.] Pieter Both memulainya dengan mendirikan pos perdagangan di Banten dan
Jakarta (1610). Dan dia berhasil mengadakan perjanjian perdagangan dengan Pulau Maluku,
menaklukan Pulau Timor dan mengusir Spanyol dari Pulau Tidore.
Sesudah digantikan oleh Gubernur Jenderal Gerard Reynst, Pieter Both bertolak kembali ke Belanda
dengan 4 kapal, tetapi malangnya dia tenggelam di perairan Mauritius bersama 2 kapalnya.
2. JAN PIETERSZOON COEN

Jan Pieterszoon Coen adalah Gubernur Jenderal wilayah kongsi Vereenigde


Oostindische Compagnie (VOC atau Kompeni) yang keempat dan keenam. Pada masa jabatan
pertama ia memerintah pada tahun 1619 – 1623 dan untuk masa jabatan yang kedua berlangsung
pada tahun 1627 – 1629.
J. P. Coen lahir di Hoorn, Noord Holland kemungkinan pada penghujung tahun 1586.
Catatan gereja menunjukkan bahwa ia dibaptis pada tanggal 8 Januari 1587 dengan nama ayah
Pieter Janszoon van Twisk namun tidak menyebutkan tanggal lahirnya. Tidak diketahui pula
bagaiamana ia memperoleh nama belakang "Coen". Pada tahun 1607, ketika ia memulai tugasnya di
VOC ia terdaftar sebagai J. Pn. Coen. Pada usia 13 tahun, ia bermagang di Roma di kantor seorang
pedagang bernama Joost de Visscher (Justus Pescatore dalam bahasa Italia). Di Roma, Coen
memperoleh pendidikan dalam perdagangan, pembukuan, serta beberapa bahasa-bahasa Eropa.
Pada tahun 1607, ia kembali ke Hoorn dan mendaftar untuk bekerja di VOC.[2] Pada
tanggal 22 Desember pada tahun yang sama, ia berangkat ke Hindia Timur di bawah armada Pieter
Willemszoon Verhoeff. Pada tahun 1609, Verhoeff dibunuh di Banda setelah terlibat perselisihan
dengan penguasa lokal. Coen yang bekerja sebagai juru tulis berhasil menyelamatkan diri. [3] Ia
kemudian menceritakan perjalanannya ke Banda kepada para petinggi VOC dan pada tanggal 12 Mei
1612, ia kembali ke Hindia Timur dengan memimpin armadanya sendiri dan mendarat di Banten pada
tanggal 9 Februari 1613.[2] Pada tanggal 18 April 1618, ia diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC
meskipun pengangkatan tersebut baru disahkan di tahun 1619.
Kejadian tersebut, membuat karier J. P. Coen relatif melaju dengan cepat.[4] Pada usia 31
tahun, tepatnya tanggal 18 April 1618, ia diangkat menjadi Gubernur Jenderal. Akan tetapi baru
pada 21 Mei 1619 ia resmi memangku jabatan tersebut dari Gubernur Jenderal sebelumnya, Laurens
Reael. Setelah menjadi Gubernur Jenderal, ia tidak tahan terhadap perlakuan orang Banten dan
orang Inggris kepadanya di sana, maka ia pun memindahkan kantor Kompeni ke pelabuhan Sunda
Kelapa di Jayakarta, di mana ia mulai membangun angkatan pertahanan sendiri untuk VOC. Pada
tanggal 30 Mei 1619 akhirnya Coen menaklukkan Jayakarta dan namanya diubah
menjadi Batavia (Batavieren).
Awalnya ia mau mengubah nama kota ini menjadi Nieuw Hoorn seperti kota kelahirannya, tetapi usul
itu ditolak pimpinan VOC di Belanda. Nama Batavia diberikan untuk menghormati Suku Batavi yang
dianggap sebagai leluhur bangsa Belanda dan digunakan sampai tahun 1942. Penduduk Batavia
memberi julukan Mur Jangkung pada J. P. Coen, tetapi tidak jelas apa yang menyebabkan ia diberi
julukan tersebut. Secara fisik, ia memang bertubuh kurus dengan tinggi di atas rata-rata. Pendapat
lain menyebutkan bahwa julukan tersebut berasal dari karya sastra jawa pra-kolonial berjudul Moer
Djang Koeng di mana orang pribumi melafalkannya sebagai Mur Jangkung.[5]
Beberapa persoalan yang harus dihadapi oleh J. P. Coen pasca resmi menjabat sebagai Gubernur
Jenderal diantaranya yaitu protes keras Maluku yang monopoli VOC, menaiknya harga lada di
Banten akibat ulah Inggris dan Cina, perlawanan dari laskar pendukung Mataram Islam, dan konflik
dengan Kesultanan Banten di Jayakarta yang melibatkan Inggris.[4]
Sementara itu orang-orang Inggris tidak diam, mereka marah atas perlakuan orang Belanda terhadap
orang Inggris di Maluku. Sebagai dendam mereka merebut sebuah kapal Belanda De Swarte
Leeuw yang berisi penuh dengan muatan. Maka setelah itu pertempuran antara kedua kubu pun
dimulai. J. P. Coen sebagai pemimpin Belanda, bisa memenangkan pertempuran melawan orang
Inggris. Setelah menang melawan Inggris, ia merusak Jayakarta dan membangun benteng Belanda
di kota itu. Di atas puing-puing kota Jayakarta ia membangun kota baru yang dinamakannya
menjadi Batavia. Kemudian pada tahun 1623, ia menyerahkan kekuasaan kepada Pieter de
Carpentier dan ia sendiri pulang ke Belanda. Oleh pimpinan Kompeni (VOC) ia disuruh kembali ke
Hindia Belanda dan menjadi Gubernur-Jenderal kembali. Maka ia pun datang pada tahun 1627. Pada
masa jabatannya kedua ia terutama berperang melawan Kesultanan Banten dan Mataram. Mataram
di bawah kekuasaan Sultan Agung menyerang Batavia dua kali, yaitu pada tahun 1628 dan 1629.
Kedua-duanya gagal, tetapi Coen tewas secara mendadak pada tanggal 21 September 1629, empat
hari setelah istrinya, Eva Ment, melahirkan seorang putri yang juga meninggal.
J. P. Coen dikenang sebagai pendiri Hindia Belanda di Belanda. Namanya banyak dipakai sebagai
nama-nama jalan dan bahkan di Amsterdam ada sebuah gedung yang dinamai dengan namanya
(Coengebouw).
Di Batavia sendiri, Jan Pieterszoon Coen dikenal sebagai seorang religius namun berperilaku kejam.
Ia dikenal karena tercatat menggunakan cara-cara yang biadab dalam memperluas jaringan
perdagangan Perusahaan Hindia Timur Belanda di wilayah Asia. Namun cara-cara biadab yang
dilakukannya selalu memperoleh pembenaran.
Jadi, peranan Jan pieterszoon dalam upaya memperkuat VOC di jayakarta dalam bidang politik
yakni memperbaiki semua kinerja dan taktik Gubernur VOC dalam memperluas kekuasaan dan
berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia

3. Herman Willem Daendels

Herman Willem Daendels (21 Oktober 1762 – 2 Mei 1818), adalah seorang politikus dan
jenderal Belanda yang menjadi Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke-36. Ia memerintah antara
tahun 1808 – 1811. Masa itu Belanda sedang dikuasai oleh Prancis. Tugas utama Herman Willem
Daendels adalah mempertahankan tanah jawa agar tidak jatuh ketangan inggris. Di samping itu, ia
juga bertugas memperkuat pertahan dan memperbaiki administrasi pemerintah nusantara, terutama
jawa. Pada tahun 1806, ia dipanggil oleh Raja Belanda, Raja Louis (Koning Lodewijk) untuk berbakti
kembali di tentara Belanda. Ia ditugasi untuk mempertahankan provinsi Friesland dan Groningen dari
serangan Prusia. Lalu setelah sukses, pada tanggal 28 Januari 1807 atas saran Kaisar Napoleon
Bonaparte, ia dikirim ke Hindia Belanda sebagai Gubernur-Jenderal. Daendels tiba di Batavia pada 5
Januari 1808 menggantikan Gubernur-Jenderal Albertus Wiese. Daendels mengemban tugas yang
diberikan oleh Raja Louis dari Hollandia untuk melakukan reformasi pemerintahan yang korup
peninggalan VOC. Ia juga diberi pangkat militer tertinggi sebagai marsekal Hollandia —yang
diberikan setahun sebelumnya— pada 28 Januari 1807 untuk mempertahankan Pulau Jawa dari
serangan Inggris. Pangkat ini mulai berlaku ketika ia tiba di Jawa. Pengangkatan Daendels sebagai
Marsekal Hollandia memunculkan rasa tidak senang dari Napoleon. Ia menganggap bahwa bangsa
Belanda bukanllah bangsa yang bisa berperang dan tidak layak memiliki perwira dengan pangkat
setinggi itu. Pada akhirnya ia menegur adiknya, Louis Bonaparte, yang pada saat itu menjadi Raja
Hollandia. Pemerintahan Daendels di Jawa sangat berbau militeristik. Hal ini dapat dilihat dari
caranya berpakaian. Tidak seperti gubernur jenderal sebelumnya pada masa VOC yang
menggenakan pakaian elite kerajaan, seragam yang ia pakai adalah seragam marsekal. Selain itu,
pemerintahan yang ia dirikan memiliki penjenjangan terstruktur yang terpusat mirip dengan struktur
komando pasukan Napoleon. Ia juga membagi Jawa menjadi sembilan daerah administrasi yang
masing-masing terdiri dari distrik yang berada di bawah kekuasaan seorang bupati. [1]
Ong Hok Ham berpendapat mengenai gaya pemerintahan militeristik Daendels:
"Memuliakan militerisasi pemerintahan penjajahan dengan memberikan semua pejabat, baik yang
keturunan Eropa maupun Jawa, sebuah pangkat militer. Mungkin ia berharap bahwa ini akan
membuahkan disiplin yang lebih tinggi!"
Sejak saat itu dimulailah tradisi di antara para pejabat administratif penjajahan Belanda, yang pasca
1816 disebut sebagai Pangreh Praja (Binnenlands Bestuur) dan para priyayi pasca Perang
Jawa mengenakan seragam bergaya militer sebagai tanda status pegawai negeri sipil. Sebuah
praktik yang masih dilakukan hingga sekarang. Salah satu tindakan yang diambil oleh Daendels
adalah reformasi total administrasi. Daendels mengangkat semua bupati Jawa menjadi pejabat
pemerintah Belanda dengan alasan agar terhindar dari beban pemerasan dan perlakuan menghina
dari pejabat Eropa. Perubahan status ini menimbulkan konsekuensi yaitu kehilangan prestise dan
kebebasan bertindak terhadap rakyat mereka.[2] Daendels mengkritik sistem peradilan Batavia yang
ia anggap tidak bisa menangani banyak kasus yang masuk dan penyalahgunaan kekuasaan
peradilan yang makin lama makin tak tertahankan. Akibatnya ia melakukan perombakan terhadap
sistem peradilan. Ia melakukan pemisahan pengadilan menjadi dua kelompok, pengadilan untuk
orang Jawa dan pengadilan untuk orang Eropa, Cina, dan Arab. Untuk pengadilan pertama akan
menggunakan peradilan menurut hukum dan adat istiadat Jawa. Sedangkan untuk kelompok kedua
menurut peraturan perundang-undangan Hindia Belanda. Perubahan ini menimbulkan kekacauan
yurisdiksi di antara pengadilan-pengadilan yang berbeda. Hukum dan adat istiadat penduduk asli
mungkin masih bisa diterima atau ditolak oleh pengadilan. Daendels tahu bahwa Batavia tidak akan
pernah bisa dipakai sebagai pusat utama pertahanan Pulau Jawa. Istana tuanya, dengan tembok-
tembok yang rapuh dapat dihancurkan dari laut. Iklimnya bisa membunuh serdadu garnisun bahkan
sebelum musuh menyentuh pantai. Instruksi kepada Daendels memberinya hak untuk memindahkan
pusat kota ke daerah yang lebih sehat dan Gubernur Jenderal pendahulunya, Van Overstraten, telah
membuat rencana untuk memindahkan kedudukan pemerintahan ke pedalaman Jawa Tengah,
tempat kekuatan gabungan Belanda dan raja-raja Jawa dapat melawan kekuatan yang berjumlah
lebih besar dalam jangka waktu yang lebih lama. Daendels berpikir untuk memindahkan kota
ke Surabaya namun ia urung melakukan rencana tersebut karena kesulitan memindahkan seluruh
permukiman Batavia, gudang-gudangnya, dan kapal-kapal dengan barang dagangan yang
berharga.[2] Ia memutuskan untuk memindahkan perumahan tersebut ke pedalaman yang kala itu
disebut dengan Weltevreden, yang sebelumnya merupakan salah satu lahan milik Chastelein. Bahan
bangunan disediakan dengan menghancurkan sejumlah rumah dan kastil kuno Coen. Di selatan
Weltevreden, satu perkampungan berbenteng dibangun dengan tujuan sebagai pusat pertahanan
utama jika Britania menyerbu. Selain melakukan reformasi pemerintahan dengan gaya pemerintahan
yang militeristik, Daendels juga menjadi pencetus pembangunan Jalan Raya Pos yang membentang
dari barat hingga timur Pulau Jawa. Pembangunan jalan ini dilakukan dengan melihat kondisi Pulau
Jawa pada saat itu yang sedang diblokade oleh Inggris di bawah pimpinan Laksamana Muda Sir
Edward Pellew. Blokade yang dilakukan sepanjang pesisir utara Jawa ini mengakibatkan tidak satu
pun kapal yang berlayar di pesisir utara Jawa bebas dari pengawasan armada kapal Inggris.
Daendels tak kehabisan akal, ia menggunakan bubuk mesiu untuk membuka jalur yang melintasi
Pegunungan Priangan melalui Puncak (Megamendung), Bandung, dan Cianjur. Sekembali Daendels
di Eropa, Daendels kembali bertugas di tentara Prancis. Dia juga ikut tentara Napoleon berperang
ke Rusia. Setelah Napoleon dikalahkan di Waterloo dan Belanda merdeka kembali.
4. Thomas Stamford Raffles

Sir Thomas Stamford Bingley Raffles FRS (6 Juli 1781 – 5 Juli 1826)[1][2] adalah seorang
negarawan Britania, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1811–1816), dan Letnan Gubernur Jenderal
Bengkulu (1818–1824); yang sangat terkenal dikarenakan mampu membawa
pendirian Malaysia dan Singapura yang lebih maju dan modern.
Raffles sangat terlibat dalam perebutan pulau Jawa di Indonesia dari Belanda selama Perang
Napoleon, dan menjalankan operasi sehari-hari di Singapura. Ia juga menulis The History of
Java (1817). Thomas Stamford Raffles merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Di antara
saudaranya, hanya dirinya yang berjenis kelamin laki-laki. Ayahnya bernama Benjamin Raffles dan
ibunya bernama Ann Raffles. Ketika Stamford berusia 19 tahun pada tahun 1800, ia memiliki empat
adik perempuan, yaitu Harriot Raffles (16 tahun), Leonora Raffles (15 tahun), Mary Anne Raffles (11
tahun) dan Ann Raffles (7 tahun). Pada tahun yang sama, ayahnya pensiun dari pekerjaan
sebagai pedagang di Hindia Barat. Karena hal ini, keluarganya mengalami kesulitan keuangan.[4]
Stamford langsung mulai bekerja sebagai seorang juru tulis di London untuk melunasi utang
keluarganya. Ia bekerja untuk Perusahaan Hindia Timur Britania. Perusahaan ini merupakan
perusahaan dagang semi-pemerintah yang banyak berperan di dalam penaklukan-penaklukan yang
dilakukan oleh Inggris di negara lain. Pada 1805 ia dikirim ke pulau yang kini dikenal sebagai Penang,
di negara Malaysia, yang saat itu masih bernama Pulau Pangeran Wales. Itulah awal-mula
hubungannya dengan Asia Tenggara. Raffles diangkat sebagai Letnan Gubernur Jawa pada
tahun 1811 ketika Inggris menguasai Pulau Jawa.[5] Pengangkatannya dilakukan oleh Gubernur
Jenderal Hindia Belanda saat itu yakni Lord Minto. Raffles memperoleh jabatan ini atas jasanya
dalam penguasaan seluruh wilayah Hindia Belanda oleh Inggris yang sebelumnya dikuasai oleh
Belanda.[6] Tidak lama kemudian, Raffless dipromosikan sebagai Gubernur Sumatra, ketika Kerajaan
Belanda diduduki oleh Napoleon Bonaparte dari Prancis.
Sewaktu Raffles menjabat sebagai penguasa Hindia Belanda, ia telah mengusahakan banyak hal,
yang mana antara lain adalah sebagai berikut: dia mengintroduksi otonomi terbatas, menghentikan
perdagangan budak, mereformasi sistem pertanahan pemerintah kolonial Belanda, menyelidiki flora
dan fauna Indonesia, meneliti peninggalan-peninggalan kuno seperti Candi Borobudur dan Candi
Prambanan, Sastra Jawa serta banyak hal lainnya. Tidak hanya itu, demi meneliti dokumen-dokumen
sejarah Melayu yang mengilhami pencarian Raffles akan Candi Borobudur, ia pun kemudian belajar
sendiri Bahasa Melayu. Mendeskripsikan berbagai jenis hewan di Nusantara seperti monyet
kra, siamang, pelanduk kancil, beruang madu, lutung kelabu, tupai tanah, dan simpai. Hasil
penelitiannya di pulau Jawa dituliskannya pada sebuah buku berjudul: History of Java, yang
menceritakan mengenai sejarah pulau Jawa. Dalam melakukan penelitiannya, Raffles dibantu oleh
dua orang asistennya yaitu: John Crawfurd dan Kolonel Colin Mackenzie.
Istri Raffles, Olivia Mariamne, wafat pada tanggal 26 November 1814 di Buitenzorg dan dimakamkan
di Batavia, tepatnya di tempat yang sekarang menjadi Museum Prasasti[7]. Di Kebun Raya
Bogor dibangun monumen peringatan untuk mengenang kematian sang istri.
Pada tahun 1815 Raffles kembali ke Inggris setelah Jawa dikembalikan ke Belanda setelah Perang
Napoleon selesai. Pada 1817 ia menulis dan menerbitkan buku History of Java, yang melukiskan
sejarah pulau itu sejak zaman kuno.
Tetapi pada tahun 1818 ia kembali ke Sumatra dan pada tanggal 29 Januari 1819 ia mendirikan
sebuah pos perdagangan bebas di ujung selatan Semenanjung Malaka, yang di kemudian hari
menjadi negara kota Singapura. Ini merupakan langkah yang berani, berlawanan dengan kebijakan
Britania untuk tidak menyinggung Belanda di wilayah yang diakui berada di bawah pengaruh
Belanda. Dalam enam minggu, beberapa ratus pedagang bermunculan untuk mengambil keuntungan
dari kebijakan bebas pajak, dan Raffles kemudian mendapatkan persetujuan dari London.
Raffles menetapkan tanggal 6 Februari tahun 1819 sebagai hari jadi Singapura modern. Kekuasaan
atas pulau itu pun kemudian dialihkan kepada Perusahaan Hindia Timur Britania. Akhirnya pada
tahun 1823, Raffles selamanya kembali ke Inggris dan kota Singapura telah siap untuk berkembang
menjadi pelabuhan terbesar di dunia. Kota ini terus berkembang sebagai pusat perdagangan dengan
pajak rendah. Di Inggris Raffles juga merupakan pendiri dan ketua pertama Zoological Society of
London. Raffles dijadikan seorang Bangsawan pada tahun 1817.
Ia meninggal sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-45, pada 5 Juli 1826, karena apopleksi atau
stroke. Karena pendiriannya yang menentang perbudakan, keluarganya tidak diizinkan
mengebumikannya di halaman gereja setempat (St. Mary's, Hendon). Larangan ini dikeluarkan
pendeta gereja itu, yang keluarganya memetik keuntungan dari perdagangan budak. Ketika gereja itu
diperluas pada 1920-an, kuburannya dimasukkan ke dalam bagian bangunannya.
Di Singapura, nama Raffles banyak dipakai: Raffles Junior College, Raffles Institution, Raffles Girls'
School, Raffles Girls' Primary School, Raffles Hotel, Stamford Road, Stamford House, Raffles City,
stasiun MRT Raffles Place, kelas Raffles di pesawat Singapore Airlines dan Museum Penelitian
Keanekaragaman Hayati Raffles.

5. Johannes Van Den Bosch


Johannes graaf van den Bosch (2 Februari 1780 – 28 Januari 1844) adalah seorang perwira dan
politikus Belanda. Ia adalah Gubernur-Jenderal Hindia Belanda ke-43 yang memerintah pada 1830–
1834. Ia pernah menjabat sebagai komandan KNIL, Menteri Urusan Koloni, dan Menteri Negara.[1]
Pada masa pemerintahan Van den Bosch sebagai Gubernur-Jenderal, kebijakan tanam paksa
(cultuurstelsel) mulai direalisasi. Sebelumnya, kebijakan ini hanya sebuah konsep kajian yang dibuat
untuk menambah kas pemerintah kolonial maupun negara induk Belanda yang kehabisan dana
karena peperangan di Eropa maupun daerah koloni (terutama di Jawa dan Sumatra). Johannes van
den bosch dikenal sebagai tokoh yang menggagas sistem tanam paksa atau cultuurstelsel.
Van den Bosch dilahirkan di Herwijnen, Provinsi Gelderland, Belanda. Kapal yang membawanya tiba
di Pulau Jawa tahun 1797, sebagai seorang letnan; tetapi pangkatnya cepat dinaikkan
menjadi kolonel. Pada tahun 1810 sempat dipulangkan ke Belanda karena perbedaan pendapat
dengan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Setelah kepulangannya ke Belanda pada
bulan November 1813, Van den Bosch beragitasi untuk kembalinya Wangsa Oranje. Dia diangkat
kembali sebagai kolonel di ketentaraan dan menjadi Panglima Maastricht. Di Belanda karier
militernya membuatnya terlibat sebagai komandan di Maastricht dengan pangkat sebagai mayor
jenderal. Di luar kegiatan karier, Van den Bosch banyak membantu menyadarkan warga Belanda
akan kemiskinan akut di wilayah koloni. Pada tahun 1827, dia diangkat menjadi jenderal komisaris
dan dikembalikan ke Batavia (kini Jakarta), hingga akhirnya menjadi Gubernur Jenderal pada
tahun 1830. Van den Bosch kembali ke Belanda sesudah lima tahun. Dia pensiun secara sukarela
pada tahun 1839.

Anda mungkin juga menyukai