Anda di halaman 1dari 8

Kolonialisme dan Imperialisme Bangsa-Bangsa Barat di Indonesia

Kedatangan bangsa-bangsa Eropa di Indonesia pada abad XVI tidak lepas dari kekayaan alam Indonesia
yang menjadi daya tarik. Sejak lama kekayaan alam Indonesia menjadi incaran bangsa-bangsa lain. Terbukti,
sejak abad XV bangsa-bangsa Eropa berlomba-lomba menjelajahi samudra guna menemukan Kepulauan
Indonesia. Setelah berhasil mencapai Kepulauan Indonesia, bangsa-bangsa Eropa silih berganti menancapkan
kekuasaannya di Indonesia. Perkembangan penjajahan bangsa-bangsa Eropa di Indonesia sebagai berikut.

1. Periode Kekuasaan VOC di Indonesia (1602–1799)


Pembentukan VOC tidak lepas dari campur tangan pemerintah Belanda. Pada 1602 Belanda sedang
berperang melawan Spanyol dan Portugis. Organisasi-organisasi yang sudah berdiri sebelumnya
(voorcompagnieen) tidak mampu memainkan peranan dalam perjuangan melawan Spanyol dan Portugis.
Menurut pemerintah Belanda, kongsi-kongsi dagang yang bersatu akan menjadi senjata ampuh dalam
bidang militer dan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah Belanda berusaha meyakinkan agar kongsi-
kongsi dagang Belanda melebur menjadi satu organisasi.
Prints Maurits sebagai wali negara Belanda dalam
Staten Generaal (parlemen) pun menyarankan agar
antarkongsi dagang Belanda bekerja sama membentuk
perusahaan dagang yang lebih besar. Atas saran
Prints Maurits tersebut, pada 20 Maret 1602 Kerajaan
Belanda membentuk sebuah organisasi perdagangan
bernama Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) atau
Persekutuan Dagang Hindia Timur.
Tujuan utama pembentukan VOC adalah menghindari
persaingan di antara para pedagang Belanda. Selain itu,
VOC dibentuk dengan tujuan berikut.
a. Membantu keuangan pemerintah Belanda.
b. Menyaingi pedagang-pedagang dari bangsa lain. Ilustrasi kapal-kapal VOC berlayar di perairan Kepulauan
Indonesia
c. Memperkuat posisi sehingga dapat melaksanakan Sumber: Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 4: Kolonisasi dan
monopoli perdagangan. Perlawanan, Ichtiar Baru van Hoeve, 2012
d. Menjalankan pemerintahan sebagai wakil pemerintah
Belanda di Hindia Timur (Indonesia).
PemerintahBelanda membentuk VOC untuk mengurusi masalah perdagangan Belanda di Indonesia.
Meskipun demikian, dalam perkembangannya VOC juga bertindak seperti sebuah negara. Hal ini tidak lepas
dari hak oktroi yang dimiliki VOC. Hak oktroi ini merupakan wewenang yang diberikan oleh pemerintah
Belanda bagi VOC untuk menjalankan tugasnya. Hak oktroi yang dimiliki oleh VOC sebagai berikut.
a. Hak untuk mencetak uang.
b. Hak untuk memelihara angkatan perang.
c. Hak untuk memerintah daerah yang diduduki.
d. Hak untuk melakukan perjanjian dengan raja-raja.
e. Hak untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Berbekal hak oktroi, VOC tidak hanya berperan sebagai perusahaan perdagangan, tetapi juga memiliki
peran dalam bidang militer dan politik. VOC berhasil mengembangkan angkatan lautnya. Keberhasilan
tersebut terbukti ketika Angkatan Laut VOC mampu menggeser kekuasaan Portugis di Ambon pada 1605.
VOC berhasil merebut benteng pertahanan Portugis di Maluku dan mengganti namanya menjadi benteng
Victoria.
VOC mengalami kemajuan pesat dalam waktu singkat. Di Indonesia bagian timur, VOC memusatkan
kedudukannya di Ambon. Pada 1605 VOC membantu Sultan Baabullah mengusir Portugis dari Maluku.
Keberhasilan VOC mengusir Portugis membuka jalan bagi VOC untuk menerapkan monopoli perdagangan
di Maluku. Untuk merealisasikan niatnya tersebut, VOC menerapkan beberapa kebijakan berikut.
a. Hongi tochten (pelayaran hongi), yaitu pelayaran pantai yang dilengkapi angkatan perang untuk
mengawasi para pedagang Maluku agar tidak menjual rempah-rempah kepada pedagang lain dan
jika melanggar akan mendapat hukuman berat.
b. Ekstirpasi, yaitu menebang tanaman rempah-rempah penduduk agar produksi rempah-rempah tidak
berlebihan.
c. Contingenten, yaitu kewajiban rakyat membayar pajak dalam bentuk hasil bumi.
Berbagai keberhasilan yang diraih VOC menyebabkan Heeren Zeventien kewalahan dalam mengurus
keorganisasian VOC. Akhirnya, Heeren Zeventien memutuskan membentuk kelembagaan baru yang
bertugas mengurusi VOC. Pada 1610 Heeren Zeventien menunjuk seorang gubernur jenderal yang bertugas
mengendalikan kekuasaan di wilayah kekuasaan VOC. Gubernur jenderal pertama VOC adalah Pieter Both.
Pada masa kepemimpinannya, Pieter Both berusaha menata kelembagaan VOC. Tindakan Pieter Both
selama menjadi gubernur jenderal VOC sebagai berikut.
a. Membangun pos perdagangan di Banten dan Maluku.
b. Memasuki wilayah Jayakarta dan menjalin hubungan baik dengan penguasa Jayakarta, Pangeran
Wijayakrama.
c. Membeli tanah seluas 50×50 vadem (1 vadem = 182 cm) di Jayakarta. Tanah ini menjadi cikal bakal
Kota Batavia.
d. Mengadakan perjanjian dan berusaha memengaruhi penguasa di Maluku.
Selain mengangkat gubernur jenderal, Heeren Zeventien membentuk sebuah
dewan bernama Raad van Indie (Dewan Hindia). Raad van Indie memiliki tugas
memberi saran dan masukan bagi gubernur jenderal. Raad van Indie juga
bertugas mengawasi gubernur jenderal dalam menjalankan kekuasaannya.
Masa jabatan Pieter Both sebagai gubernur jenderal pertama VOC
tidak berlangsung lama. Meskipun Pieter Both menjalankan tugas dengan
baik, pada akhirnya Heeren Zeventien mengganti kedudukan Pieter Both.
Pada 1614 kedudukan Pieter Both digantikan oleh Gerard Reynst yang
juga memerintah dalam waktu singkat. Selanjutnya, pada 1615 gubernur
jenderal VOC dijabat oleh Laurents Reael. Pada masa kepemimpinan
Gubernur Jenderal Laurents Reael VOC berhasil membangun gedung
Mauritius di tepi Sungai Ciliwung.
Gubernur Jenderal Laurents Reael memimpin VOC hingga 1619 dan
digantikan oleh Jan Pieterszoon Coen. J.P. Coen dianggap sebagai peletak
dasar kolonialisme VOC di Indonesia. Dalam menjalankan pemerintahan,
Gubernur Jenderal J.P. Coen memiliki tugas sangat berat, yaitu merebut Jayakarta
dari kekuasaan Banten. Untuk melaksanakan tugas ini, J.P. Coen Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen
mengerahkan delapan belas kapal perang untuk menyerang Jayakarta. Sumber: Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 4:
Pada 30 Mei 1619 pasukan ini berhasil menguasai Jayakarta dan Kolonisasi dan Perlawanan, Ichtiar Baru
van Hoeve, 2012
membakar isi Kota Jayakarta. Selanjutnya, J.P. Coen membangun kota
baru yang diberi nama Batavia di atas puing-puing Kota Jayakarta. Sejak saat itu, Batavia menjadi pusat
kekuasaan VOC.
Dalam perkembangannya, VOC berhasil menguasai pusat perdagangan penting di Indonesia seperti
Malaka, Ambon, Kepulauan Banda, dan Padang. VOC juga menguasai perdagangan di pedalaman dan
pesisir Jawa. Bahkan, VOC sering mencampuri urusan politik kerajaan-kerajaan lokal. Oleh karena itu,
masa kekuasaan VOC sering disebut sebagai akar kolonialisme Barat di Indonesia.
Pada 1795 VOC mulai mengalami kemunduran karena terjadi kemerosotan keuntungan perdagangan.
VOC pun harus berutang kepada pemerintah Belanda. Selain itu, banyak pegawai VOC tidak cakap dan
melakukan tindak korupsi. VOC juga terlalu sering terlibat perang sehingga menghabiskan banyak
anggaran.
Permasalahan yang juga menyebabkan kemunduran VOC adalah luasnya wilayah kekuasaan. Saat itu
VOC berhasil menguasai hampir seluruh wilayah Indonesia. Selain menguasai Indonesia, VOC berhasil
menguasai jalur perdagangan yang membentang dari Amsterdam, Tanjung Harapan, India, hingga Papua.
Luasnya wilayah kekuasaan VOC menyulitkan para petinggi VOC melakukan pengawasan.
Pada 27 Maret 1749 parlemen Belanda mengeluarkan undang-undang yang menetapkan Raja Willem IV
sebagai pemimpin tertinggi VOC. Dengan ketetapan ini, Heeren Zeventien harus mempertanggungjawabkan
kinerjanya kepada raja. Raja juga berkedudukan sebagai panglima tertinggi tentara VOC. Struktur organisasi
seperti ini menyebabkan pengurus VOC lebih dekat dengan raja daripada pemegang saham. Akibatnya,
kepentingan pemegang saham terabaikan. Berbagai kondisi tersebut, menyebabkan saham VOC dan
daerah kekuasaan VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda. Tindakan ini dilakukan untuk menutup
utang-utang VOC terhadap pemerintah Belanda. Akhirnya pada 31 Desember 1799 pemerintah Belanda
resmi membubarkan VOC.

2. Masa Pemerintahan Republik Bataaf (1800–1811)


Pembubaran Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) pada 31 Desember 1799 oleh Kerajaan
Belanda tidak serta-merta mengakhiri praktik kolonialisme dan imperialisme di Indonesia. Revolusi Prancis
yang berlangsung pada abad XVIII turut memengaruhi situasi politik dan pemerintahan Belanda. Pengaruh
Revolusi Prancis di Belanda mulai terlihat pada 1795 saat Prancis berhasil menguasai Belanda. Sejak saat
itu muncul kelompok yang disebut kaum patriot menghendaki adanya perubahan dalam pemerintahan
Kerajaan Belanda. Mereka menginginkan Belanda menjadi negara kesatuan.
Kondisi tersebut menyebabkan Raja Willem V melarikan diri ke Inggris. Prancis membentuk
pemerintahan baru di Belanda dengan membentuk Republik Bataaf. Republik Bataaf dipimpin oleh Louis
Napoleon, adik Napoleon Bonaparte. Perkembangan politik di negeri Belanda ini memengaruhi kondisi
politik di Hindia Belanda. Akhirnya, pemerintahan di Hindia Belanda berada di bawah Republik Bataaf.
Masa pemerintahan Republik Bataaf di Hindia Belanda sebagai berikut.
a. Pemerintahan Daendels
Herman Willem Daendels merupakan gubernur jenderal pertama
Belanda di Hindia Belanda (Indonesia). Daendels ditunjuk oleh Louis
Napoleon sebagai gubernur jenderal pada 1808. Daendels merupakan
salah satu patriot yang terpengaruh semangat Revolusi Prancis. Semangat
tersebut diaplikasikan Gubernur Jenderal Daendels dalam menjalankan
kekuasaan di Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Daendels berusaha
menghapuskan praktik feodalisme untuk menciptakan masyarakat yang
dinamis. Kebijakan-kebijakan Gubernur Jenderal Daendels selama di
Hindia Belanda mencakup bidang-bidang berikut.
1) Bidang Politik dan Pemerintahan
Jiwa revolusioner yang dimiliki Gubernur Jenderal Daendels
diterapkan dalam menentukan kebijakan bidang politik dan
pemerintahan. Ia mengganti sistem pemerintahan lama dengan sistem
pemerintahan baru melalui kebijakan-kebijakan berikut.
Gubernur Jenderal Herman Willem
a) Membentuk sekretariat negara untuk membereskan masalah Daendels
administrasi. Sumber: S e j a r a h I n d o n e s i a 4 : Z a m a n
Kedatangan Kolonial Bangsa-
b) Memindahkan pusat pemerintahan dari Batavia ke Weltevreden Bangsa Barat, Bina Sumber Daya
(Menteng). MIPA, 2013
c) Membentuk kantor pengadilan di Batavia dan Surabaya.
d) Mengganti raja-raja yang dianggap menghalangi kepentingan Belanda dan mengangkat
raja-raja sesuai keinginan Belanda.
e) Merombak sistem feodal dan menggantinya dengan sistem pemerintahan Eropa modern.
Tindakan Gubernur Jenderal Daendels dalam merombak sistem feodal antara lain membatasi
kekuasaan raja-raja lokal, mengangkat bupati sebagai pegawai pemerintah, serta menghapus
Kerajaan Banten dan Cirebon.
f) Mengangkat penguasa daerah sebagai pegawai pemerintah kolonial.
g) Membagi Pulau Jawa menjadi 23 keresidenan (residentie). Setiap keresidenan dibagi menjadi
beberapa kabupaten (regentschap).
h) Merombak Provinsi Jawa, pantai timur laut menjadi lima prefektur (wilayah yang memiliki
otoritas).
2) Bidang Pertahanan dan Keamanan
Gubernur Jenderal Daendels bertugas mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris.
Untuk melaksanakan tugas tersebut, Gubernur Jenderal Daendels menerapkan beberapa
kebijakan berikut.
a) Memperbanyak jumlah pasukan.
b) Membangun benteng-benteng pertahanan baru.
c) Membangun kembali armada pertahanan di Surabaya dan Batavia.
d) Membangun pelabuhan militer (pangkalan Angkatan Laut) di Ujung Kulon, Merak, dan
Surabaya.
e) Membangun jalan raya dari Anyer–Panarukan sepanjang 1.000 km yang dikenal dengan
nama Groote Post-weg atau Jalan Raya Pos Daendels.
f) Memengaruhi Mangkunegara II untuk membentuk Legiun Mangkunegara.
3) Bidang Ekonomi
Kebijakan Gubernur Jenderal Daendels dalam bidang ekonomi bertujuan memperbaiki
keuangan pemerintah Belanda akibat kerugian VOC. Oleh karena itu, Gubernur Jenderal Daendels
menerapkan kebijakan yang dapat mendatangkan keuntungan besar bagi pemerintah Belanda.
Kebijakan tersebut sebagai berikut.
a) Mengeluarkan uang kertas.
b) Melakukan pemungutan pajak-pajak swasta.
c) Menerapkan penyerahan wajib berupa hasil bumi.
d) Membentuk Dewan Pengawas Keuangan (DPK).
e) Menjual tanah-tanah kepada pihak swasta atau partikelir (Tionghoa dan Arab).
4) Bidang Peradilan
Gubernur Jenderal Daendels berusaha melakukan perbaikan di bidang peradilan. Kebijakan
ini dilakukan untuk memperlancar jalannya pemerintahan dan mengatur ketertiban dalam
kehidupan bermasyarakat. Kebijakan Gubernur Jenderal Daendels dalam bidang peradilan
sebagai berikut.
a) Membagi tiga jenis peradilan, yaitu peradilan untuk orang-orang Belanda dan Eropa, peradilan
untuk orang-orang Timur Asing, serta peradilan untuk orang-orang pribumi. Peradilan untuk
pribumi dibentuk di setiap prefektur di Jawa seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya.
b) Membuat peraturan pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi diberlakukan untuk
semua golongan, termasuk orang-orang Eropa dan orang-orang Timur Asing.
Masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels hanya berlangsung kira-kira tiga tahun.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Daendels sering memaksakan kehendaknya kepada
penduduk lokal ataupun rekan-rekan sebangsanya. Ia juga tidak segan memberikan hukuman
berat kepada pegawai dan pejabat Belanda yang korupsi. Kesalahan terbesar Daendels saat
memerintah di Indonesia adalah menjual tanah kepada pihak swasta dan hasil penjualan tanah
tersebut digunakan Daendels untuk memperkaya diri sendiri. Akibatnya, Daendels ditarik dari
jabatannya.
b. Pemerintahan Janssens
Louis Napoleon menunjuk Jan Willem Janssens untuk menggantikan posisi
Daendels sebagai gubernur jenderal. Janssens adalah seorang politikus Belanda
yang sebelumnya menjabat sebagai gubernur jenderal di Tanjung Harapan
(1802–1806). Pada 1806 ia kehilangan jabatan karena wilayah kekuasaannya
jatuh ke tangan Inggris. Oleh karena itu, Janssens ditugaskan menggantikan
posisi Daendels sebagai gubernur jenderal di wilayah Indonesia.
Janssens mulai memerintah di Indonesia sejak Mei 1811. Ia berusaha
memperbaiki keadaan wilayah yang ditinggalkan Daendels. Tugas utama
Janssens adalah melanjutkan upaya mempertahankan Pulau Jawa dari
serangan Inggris. Akan tetapi, Janssens tidak memiliki kecakapan seperti
yang diharapkan pemerintah Belanda. Akibatnya, serangan pasukan
Inggris di Batavia pada 4 Agustus 1811 tidak dapat ditahan oleh pasukan
Janssens. Akhirnya, pada 26 Agustus 1811 Batavia berhasil dikuasai Inggris.
Setelah Batavia dikuasai oleh Inggris, Janssens dan pasukannya
mundur hingga ke Semarang. Di Semarang Janssens berharap bantuan dari
Legiun Mangkunegara untuk memukul mundur pasukan Inggris. Akan tetapi,
pasukan Inggris lebih kuat dan berhasil mengalahkan Janssens Gubernur Jenderal Jan Willem Janssens
beserta pasukannya. Kekalahan Janssens atas Inggris terjadi di Sumber: S e j a r a h I n d o n e s i a 4 : Z a m a n
Kedatangan Kolonial Bangsa-Bangsa
Tuntang, Salatiga. Akhirnya, pada 18 September 1811 Belanda dipaksa
Barat, Bina Sumber Daya MIPA, 2013
menandatangani Kapitulasi Tuntang. Melalui perjanjian ini, Belanda
mengakui kekalahan kepada Inggris. Kapitulasi Tuntang berisi ketentuan sebagai berikut.
1) Pulau Jawa dan daerah sekitarnya yang dikuasai Belanda diserahkan kepada Inggris.
2) Semua tentara Belanda menjadi tawanan Inggris.
3) Orang-orang Belanda dapat dipekerjakan dalam pemerintahan Inggris.

3. Periode Pendudukan Inggris (1811–1816)


Penandatanganan Kapitulasi Tuntang menandai berakhirnya periode pemerintahan
Republik Bataaf di Indonesia. Selanjutnya, wilayah Indonesia berada di bawah
kekuasaan Inggris. Masa kekuasaan Inggris ini disebut sebagai masa peralihan
(interregnum). Pembentukan pemerintahan di Indonesia dilakukan oleh Gubernur
Jenderal East India Company (EIC) di Kalkuta, India, Lord Minto. Selanjutnya,
Lord Minto menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai letnan gubernur di
Indonesia. Dalam menjalankan tugasnya, Raffles dibantu oleh sebuah badan
penasihat yang disebut dengan Advisory Council.
Raffles merupakan seorang tokoh yang menganut pemikiran liberal.
Oleh karena itu, ia berusaha mereformasi keadaan Indonesia yang kompleks.
Bentuk reformasi yang dilakukan Raffles antara lain pembaruan di bidang
ketatanegaraan, penghapusan ikatan feodal dalam masyarakat Jawa, penerapan
sistem sewa tanah (landrent), dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Pola pemerintahan pun turut mengalami perubahan. Dalam sistem
pemerintahan yang diterapkan Raffles, perubahan dimulai dari rakyat hingga
ke tingkat bupati. Raffles menetapkan semua kepala pemerintahan di tingkat
lokal menjadi pejabat pemerintah. Oleh karena itu, golongan elite lokal kehilangan
peran sebagai penarik pajak di kalangan rakyat dan kehilangan hak atas Thomas Stamford Raffles
tanah. Adapun pengawasan tanah dan penarikan pajak pada masa itu berada Sumber: Sejarah Indonesia 4: Zaman
di bawah koordinasi pemerintah Inggris. Untuk mempermudah pengawasan Kedatangan Kolonial Bangsa-
Bangsa Barat, Bina Sumber Daya
pemerintahan di tingkat daerah, Raffles membagi Pulau Jawa menjadi enam MIPA, 2013
belas keresidenan. Tiap keresidenan dikepalai seorang residen.
Di bidang ekonomi Raffles menerapkan sistem landrent (sewa tanah), memberi kebebasan kepada
penduduk menanam tanaman yang laku di pasar internasional, melakukan monopoli garam, dan menjual
tanah kepada pihak swasta. Selain itu, Raffles menghapus kebijakan penyerahan wajib dan kerja paksa.
Kebijakan ini diambil agar rakyat memiliki kebebasan untuk berusaha.
Pemerintahan Raffles membawa dampak positif bagi masyarakat Indonesia karena kontribusinya
dalam dunia keilmuan dan kebudayaan. Ia berperan besar dalam penggalian situs Hindu–Buddha seperti
candi Prambanan dan Borobudur. Pada masa itu Raffles memerintahkan penggalian situs-situs tersebut.
Selain itu, kecintaan Raffles terhadap budaya Jawa menghasilkan karya tulis yang sangat fenomenal
berjudul The History of Java. Warisan pemerintahan Raffles yang masih dirasakan hingga saat sebagai
berikut.
a. Istri Raffles yang bernama Olivia Marianne merintis Kebun Raya Bogor.
b. Raffles berperan aktif dalam perkumpulan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya Bataviaasch
Genootschap di Harmoni, Jakarta.
c. Menemukan tanaman endemik Indonesia, yaitu Rafflesia arnoldi.
d. Mengangkat kembali Sultan Sepuh sebagai Sultan Yogyakarta.
Pemerintahan Inggris di Indonesia tidak berlangsung lama. Pada 1814 Belanda dan Inggris
menandatangani Konvensi London yang mengatur pengembalian wilayah jajahan Inggris ke Belanda.
Dalam perjanjian tersebut pihak Belanda diwakili oleh C.T. Elout, Baron van der Capellen, dan A.A. Buyskes,
sedangkan pihak Inggris diwakili oleh John Vendall. Meskipun demikian, penyerahan wilayah kekuasaan
Inggris, terutama di Indonesia kepada Belanda baru terealisasi pada 1816.

4. Periode Pemerintahan Kolonial Belanda (1816–1942)


Setelah mendapat penyerahan kekuasaan dari Inggris pada 1816,
Belanda kembali menancapkan kekuasaannya di Indonesia. Selama kurun
waktu 1816–1830 kebijakan yang diterapkan pemerintah kolonial
Belanda adalah pelaksanaan sewa tanah. Sistem ini merupakan
kelanjutan dari kebijakan landrent yang diterapkan Raffles pada
masa pendudukan Inggris di Indonesia. Sejauh itu, Belanda belum
menemukan formulasi kebijakan untuk mengatasi masalah keuangan.
Dalam perkembangannya, komisaris jenderal dibubarkan dan
pemerintahan dijalankan oleh Gubernur Jenderal van der Capellen
yang mulai memerintah pada 16 Januari 1819. Pada masa itu
pemerintah kolonial Belanda mengalami kesulitan akibat perang
kemerdekaan Belgia dan berbagai perlawanan rakyat Indonesia, salah
satunya Perang Diponegoro.
Berbagai kondisi tersebut makin memperburuk perekonomian Gubernur Jenderal van der Capellen
negeri Belanda. Bahkan, kas negeri Belanda mengalami defisit. Untuk Sumber: Sejarah Indonesia 4: Zaman Kedatangan
Kolonial Bangsa-Bangsa Barat, Bina
menyelamatkan kas Belanda, golongan konservatif Belanda yang Sumber Daya MIPA, 2013
diwakili Johannes van den Bosch mengusulkan ide cultuurstelsel
(tanam paksa). Ide ini mendapat persetujuan dari Raja Willem I.
Menurut van den Bosch, daerah koloni merupakan tempat yang tepat
untuk meraup keuntungan yang dapat digunakan untuk membangun negeri
induknya. Dalam perkembangannya, van den Bosch ditunjuk sebagai
gubernur jenderal untuk menjalankan kebijakan tanam paksa. Gubernur
Jenderal Johannes van den Bosch memusatkan kebijakan tanam paksa
pada peningkatan produksi tanaman yang laku di pasar internasional.
Tujuan sistem tanam paksa adalah mendapatkan komoditas-
komoditas yang laku di pasaran dunia. Untuk mendukung pelaksanaan
sistem ini, lahan yang dipakai adalah lahan milik orang-orang pribumi.
Sementara itu, tenaga kerja yang digunakan adalah orang-orang desa
di Pulau Jawa yang dibujuk, bahkan dipaksa oleh para penguasa lokal.
a. Ketentuan Tanam Paksa
Sistem tanam paksa merupakan penggabungan antara sistem
penyerahan wajib dan sistem pajak tanah. Pelaksanaan sistem tanam
paksa menekankan pada kewajiban rakyat untuk membayar pajak dalam
bentuk penyerahan hasil bumi (innatuna). Tanaman yang wajib
Gubernur Jenderal van den Bosch
ditanam dan diserahkan rakyat kepada pemerintah yaitu kopi, Sumber: S e j a r a h I n d o n e s i a 4 : Z a m a n
tebu, tembakau, teh, dan nila. Sistem tanam paksa dilaksanakan Kedatangan Kolonial Bangsa-Bangsa
Barat, Bina Sumber Daya MIPA, 2013
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Staatsblad
Nomor 22 Tahun 1834. Ketentuan tanam paksa sebagai berikut.
1) Tanah yang diserahkan kepada pemerintah bebas pajak.
2) Pekerjaan menanam tidak boleh melebihi waktu menanam padi.
3) Hasil tanaman wajib harus diserahkan kepada pemerintah Belanda.
4) Kegagalan panen karena bencana alam ditanggung oleh pemerintah Belanda.
5) Penggarapan tanah untuk tanaman wajib diawasi oleh pegawai pribumi atau pegawai Belanda.
1
6) Setiap petani menyediakan dari luas tanahnya untuk ditanami tanaman sesuai ketetapan
5
Belanda.
7) Kewajiban menanam tanaman wajib dapat diganti dengan penyerahan tenaga untuk bekerja
di pabrik milik Belanda.
b. Pelaksanaan Tanam Paksa
Ketentuan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial dalam sistem tanam paksa tampak mudah
dan menguntungkan, baik bagi pemerintah maupun rakyat. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya
sistem tanam paksa mengalami banyak penyimpangan. Pemerintah Belanda juga memberikan
cultuurprocenten (persenan) bagi penguasa pribumi yang mampu menyetorkan hasil lebih banyak
dari ketentuan. Akibatnya, para penguasa pribumi berusaha meningkatkan setoran dengan melakukan
penekanan kepada petani dalam penyerahan hasil panen. Sistem tanam paksa memberikan
keuntungan melimpah bagi pemerintah kolonial Belanda. Keuntungan sistem ini berhasil mengatasi
defisit keuangan yang terjadi di negeri Belanda. Keadaan ini terbukti ketika pada 1832–1867 jumlah
keuntungan yang diperoleh pemerintah Belanda mencapai angka 967 juta gulden, jumlah yang cukup
besar pada masa itu. Di sisi lain, sistem tanam paksa menyebabkan penderitaan rakyat Indonesia
karena berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Dalam praktiknya, pelaksanaan sistem tanam paksa tidak berjalan sesuai ketentuan Staatsblad.
Ketidaksesuaian tersebut menimbulkan beberapa penyimpangan sebagai berikut.
1) Perjanjian mengenai tanam paksa seharusnya dilakukan dengan sukarela. Dalam pelaksanaannya,
perjanjian tersebut dilakukan secara paksa. Pemerintah kolonial memanfaatkan pejabat-pejabat
lokal untuk memaksa rakyat menyerahkan tanah mereka.
1
2) Dalam perjanjian disebutkan tanah yang digunakan untuk cultuurstelsel adalah luas tanah.
5
1
Dalam praktiknya, dijumpai lebih dari tanah digunakan untuk menanam tanaman wajib.
5
3) Waktu bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah kolonial Belanda jauh melebihi
waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 66 hari dalam setahun, tetapi dalam
pelaksanaannya 200 sampai 225 hari dalam setahun.
4) Kelebihan hasil panen tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk
dijual kepada pihak Belanda dengan harga sangat murah.
5) Tanaman wajib yang ditentukan oleh pemerintah Belanda harus didahulukan. Selanjutnya, petani
diperbolehkan menanam tanaman mereka sendiri. Terkadang waktu untuk menanam tanaman
petani sendiri tinggal sedikit sehingga hasilnya kurang maksimal.
6) Kegagalan panen tetap menjadi tanggung jawab para pemilik tanah.
c. Penghapusan Tanam Paksa
Pada 1840 pelaksanaan cultuurstelsel menghadapi berbagai masalah. Tanda-tanda penderitaan
di kalangan rakyat Indonesia mulai tampak, khususnya di daerah-daerah penanaman tebu. Pada
1846–1849 wabahwabah penyakit mulai menjangkit. Sementara itu, kelaparan semakin meluas di
Jawa Tengah kira-kira pada 1850. Di tengah kondisi demikian, pemerintah kolonial Belanda justru
menetapkan kenaikan pajak tanah dan pajak-pajak lainnya secara drastis. Akibatnya, rakyat menjadi
makin menderita.
Penderitaan rakyat Indonesia menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, terutama golongan
humanis Belanda. Golongan humanis yang menyampaikan kritik terhadap pemerintah Belanda antara
lain Douwes Dekker (Multatuli) dan Baron van Hoevel. Melalui tulisan berjudul Max Havelaar, Douwes
Dekker menyampaikan kecamannya terhadap pemerintah kolonial Belanda atas penderitaan rakyat
Jawa akibat pelaksanaan sistem tanam paksa.
Berkat kritikan yang dilontarkan oleh Douwes Dekker, tanam paksa perlahan-lahan dihapuskan.
Penghapusan terhadap jenis-jenis tanaman dilakukan secara bertahap sebagai berikut.
1) Tanaman lada dihapuskan pada 1862.
2) Tanaman teh dihapuskan pada 1865.
3) Tanaman tembakau dihapuskan pada 1866.
4) Tanaman tebu dihapuskan pada 1870.
5) Tanaman kopi di Priangan dihapuskan pada 1917.
Pada 1870 sistem tanam paksa dihapus dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria 1870.
Undang-Undang Agraria yang dikeluarkan pada 1870 juga menandai penerapan sistem liberal atau
biasa disebut politik pintu terbuka (open door policy).

Anda mungkin juga menyukai