Anda di halaman 1dari 28

Kelompok 6:

• Christophorus Maximillian D.P. (08)


• Marcellina K. W. (20)
• Silvester Septian Geraldo (27)
• Veronica Angelline R. N. (30)
adalah sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada
tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, keturunan
Rasulullah dari Imam Ali ar-Ridha di daerah muara Sungai
Kapuas yang termasuk kawasan yang diserahkan Sultan Banten
kepada VOC Belanda. Ia melakukan dua pernikahan politik di
Kalimantan, pertama dengan putri dari Kerajaan Mempawah dan
kedua dengan putri dari Kesultanan Banjar (Ratu Syarif Abdul
Rahman, putri dari Sultan Tamjidillah I, sehingga ia dianugerahi
gelar Pangeran). Setelah mereka mendapatkan tempat di
Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadriyah dan
mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari
Belanda pada tahun 1779.
Peta Kerajaan Pontianak
Kesultanan ini didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie,
seorang putra ulama keturunan Arab Hadramaut dari Kerajaan
Mempawah, pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185
H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan
Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar
untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada
tahun 1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi
Sultan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan
berdirinya Masjid Jami Pontianak (kini bernama Masjid Sultan
Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang
terletak di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur,
Kota Pontianak.
Pada tahun 1778, kolonialis Belanda dari Batavia memasuki Pontianak dengan
dipimpin oleh Willem Ardinpalm. Belanda saat itu menempati daerah di
seberang istana kesultanan yang kini dikenal dengan daerah Tanah Seribu atau
Verkendepaal. Palm kemudian digantikan oleh Wolter Markus Stuart yang
bertindak sebagai Resident van Borneo’s Wester Afdeling I (1779-1784)
dengan kedudukan di Pontianak. Semula, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie
menolak tawaran kerjasama dengan negeri asing dari Eropa itu. Namun setelah
utusan itu datang untuk kedua kalinya, Syarif menerima Belanda sebagai rekan
persemakmuran dengan tangan terbuka.

Pada tanggal 5 Juli 1779, Belanda membuat perjanjian dengan Sultan


mengenai penduduk Tanah Seribu agar dapat dijadikan daerah kegiatan bangsa
Belanda yang kemudian menjadi kedudukan pemerintahan Resident het Hoofd
Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah Keresidenan Borneo Barat) dan
Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak (Asisten Residen
Kepala Daerah Kabupaten Pontianak). Area ini selanjutnya menjadi Controleur
het Hoofd Onderafdeeling van Pontianak atau Hoofd Plaatselijk Bestuur van
Pontianak.
Pada tahun 1808, Sultan Syarif Abdurrahman wafat. Dia dimakamkan di Batu
Layang, Pontianak. Selanjutnya, Syarif Kasim Alkadrie (1808-1819) naik tahta
menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya. Di bawah kekuasaan Sultan
Syarif Kasim, Kesultanan Pontianak semakin mempererat kerjasama dengan
Kerajaan Belanda dan kemudian Kerajaan Inggris sejak tahun 1811.

Setelah Sultan Syarif Kasim wafat pada 25 Februari 1819, Syarif Usman
Alkadrie (1819-1855) naik tahta sebagai Sultan Pontianak. Pada masa
kekuasaan Sultan Syarif Usman, banyak kebijakan bermanfaat yang
dikeluarkan olehnya, termasuk dengan meneruskan proyek pembangunan
Masjid Jami’ pada 1821 dan perluasan Istana Kadriyah pada tahun 1855. Pada
April 1855, Sultan Syarif Usman meletakkan jabatannya sebagai sultan dan
kemudian wafat pada 1860.
Anak tertua Sultan Syarif Usman, Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872),
kemudian dinobatkan sebagai Sultan Pontianak pada 12 April 1855. Dan
ketika Sultan Syarif Hamid wafat pada 1872, putra tertuanya, Syarif Yusuf
Alkadrie (1872-1895) naik tahta sebagai beberapa bulan setelah ayahanya
wafat. Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling
sedikit mencampuri urusan pemerintahan. Dia lebih aktif dalam bidang
keagamaan, sekaligus merangkap sebagai penyebar agama Islam.

Pemerintahan Sultan Syarif Yusuf berakhir pada 15 Maret 1895. Dia


digantikan oleh putranya, Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944) yang
dinobatkan sebagai Sultan Pontianak pada 6 Agustus 1895. Pada masa ini,
hubungan kerjasama Kesultanan Pontianak dengan Belanda semakin erat dan
kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad merupakan masa
pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat
berperan dalam mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi di
Pontianak. Dalam bidang sosial dan kebudayaan, dia adalah sultan Melayu di
Kalimantan Barat yang pertama kali berpakaian kebesaran Eropa di samping
pakaian Melayu, Teluk Belanga, sebagai pakaian resmi. Dia juga orang yang
menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu, ia juga
mendorong masuknya modal swasta Eropa dan Cina, serta mendukung bangsa
Melayu dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta
industri minyak kelapa di Pontianak. Sementara dalam aspek politik, Sultan
memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi-organisasi politik, baik
yang dilakukan oleh kerabat kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat.
Perdagangan merupakan kegiatan yang menopang kehidupan ekonomi di
Kerajaan Pontianak. Kegiatan perdagangan berkembang pesat karena letak
Pontianak yang berada di persimpangan 3 sungai. Pontianak juga membuka
pelabuhan sebagai tempat interaksi dengan pedagang luar.

Komoditas utamanya antara lain :


Garam, berlian, emas, lilin, rotan, tengkawang, karet, tepung sagu, gambir,
pinang, sarang burung, kopra, lada, dan kelapa.

Pontianak memiliki hubungan dagang yang luas. Selain dengan VOC,


pedagang Pontianak melakukan hubungan dagang dengan pedagang dari
berbagai daerah. Kerajaan Pontianak kemudian menerapkan pajak bagi
pedagang dari luar daerah yang berdagang di Pontianak. Tidak sedikit dari
para pendatang yang kemudian bermukim di Pontianak. Mereka mendirikan
perkampungan untuk bermukim sehingga nama-nama perkampungan lebih
menunjukkan ciri ras dan etnis.
Raja – raja yang memerintah Kerajaan Pontianak:
1. Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie (1 September 1778 – 28 Februari 1808)
2. Sultan Syarif Kasim Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie (28
Februari 1808 – 25 Februari 1819)
3. Sultan Syarif Usman Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie (25
Februari 1819 – 12 April 1855)
4. Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Usman Alkadrie (12 April 1855
– 22 Agustus 1872)
5. Sultan Syarif Yusuf Alkadrie bin Sultan Syarif Hamid Alkadrie (22 Agustus
1872 – 15 Maret 1895)
6. Sultan Syarif Muhammad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie (15 Maret
1895 – 24 Juni 1944) mencapai puncak kejayaan
7. Interregnum (24 Juni 1944 – 29 Oktober 1945)
8. Mayjen KNIL Sultan Hamid II (Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif
Muhammad Alkadrie) (29 Oktober 1945 – 30 Maret 1978)
9. Interregnum (30 Maret 1978 – 15 Januari 2004)
10. Sultan Syarif Abubakar Alkadrie bin Syarif Mahmud Alkadrie bin Sultan Syarif
Muhammad Alkadrie (15 Januari 2004 – 31 Maret 2017)
Kesultanan ini berlangsung selama hampir dua abad, yaitu sejak tahun
1771 hingga tahun 1950. Selama kesultanan ini masih eksis terdapat
delapan sultan yang pernah berkuasa. Ketika kesultanan ini berakhir
pada tahun 1950, yaitu seiring dengan bergabungnya banyak daerah
dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka sistem
pemerintahan juga berubah menjadi pemerintahan Kota
Pontianak.Pada tahun 1943-1945, pejuang-pejuang di Kalimantan
Barat ikut berjuang melawan kolonialisme Jepang di Indonesia,
sebagaimana yang dilakukan pejuang-pejuang di Jawa dan Sumatera.
Puncaknya, pada tanggal 16 Oktober 1943 terjadi pertemuan rahasia
di Gedung Medan Sepakat Pontianak yang dihadiri oleh tokoh-tokoh
masyarakat dari berabagai golongan. Mereka bersepakat untuk
merebut kekuasaan dari pemerintah kolonial Jepang dan mendirikan
Negeri Rakyat Kalimantan Barat dengan lengkap 18 menterinya.
Masyarakat Pontianak dikelompokkan secara sosial berdasarkan
identitas kesukuan, agama, dan ras. Pengelompokan berdasarkan
suku, yaitu: pertama, komunitas suku Dayak yang tinggal di
daerah pedalaman. Komunitas ini dikenal tertutup, lebih
mengutamakan kesamaan dan kesatuan sosio-kultural. Kedua,
komunitas Melayu, Bugis, dan Arab, yang dikenal sebagai
penganut Islam terbesar di daerah ini yang lebih menekankan
aspek sosio-historis sebagai kelas penguasa. Ketiga, imigran Cina
yang tinggal di daerah pesisir, yang dikenal sebagai satu
kesatuan sosio-ekonomi.
1. Tradisi Saprahan (Makan Dalam Kebersamaan)
Kata Saprahan sudah asing terdengar di telinga masyarakat
Kalbar, padahal kata ini adalah sebuah jamuan makan yang
melibatkan banyak orang yang duduk di dalam satu barisan,
saling berhadapan dalam duduk satu kebersamaan. Masa kini,
tradisi tersebut telah berganti menjadi sebuah trend baru
“prasmanan”, dimana sulit untuk mempertemukan sekelompok
orang atau masyarakat dalam satu majelis, saling berbagi rasa
tanpa syak swangka, saling berhadapan sembari menikmati
hidangan makanan di hadapannya.
2. Pantun
3. Mantra
4. Syair
5. Jepin Lembut
adalah sebuah kesultanan wilayahnya saat ini termasuk ke
dalam provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Wilayah Banjar yang
lebih luas terbentang dari Tanjung Sambar sampai Tanjung Aru.
Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan
ke beberapa tempat dan terkahir di Martapura. Ketika beribukota di
Martapura disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.
Wilayah terluas kerajaan ini pada masa kejayaannya disebut
empire/kekaisaran Banjar membawahi beberapa negeri yang
berbentuk kesultanan, kerajaan, kerajamudaan, kepengeranan,
keadipatian dan daerah-daerah kecil yang dipimpin kepala-
kepala suku Dayak.
Ketika ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini
disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan
penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang
beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota
kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.
Menurut Hikayat Sang Bima, wangsa yang menurunkan raja-raja Banjar
adalah Sang Dewa bersaudara dengan wangsa yang menurunkan
raja-raja Bima (Sang Bima), raja-raja Bali (Sang Kuala), raja-
raja Dompu (Darmawangsa), raja-raja Gowa (Sang Rajuna) yang
merupakan lima bersaudara putera-putera dari Maharaja Pandu
Dewata.
Sesuai Tutur Candi (Hikayat Banjar versi II), di Kalimantan telah berdiri
suatu pemerintahan dari dinasti kerajaan (keraton) yang terus menerus
berlanjut hingga daerah ini digabungkan ke dalam Hindia
Belanda pada 11 Juni1860, yaitu :
1. Keraton awal disebut Kerajaan Kuripan
2. Keraton I disebut Kerajaan Negara Dipa
3. Keraton II disebut Kerajaan Negara Daha
4. Keraton III disebut Kesultanan Banjar
5. Keraton IV disebut Kerajaan Martapura/Kayu Tangi
6. Keraton V disebut Pagustian
• Maharaja Sukarama, Raja Negara Daha telah berwasiat agar
penggantinya adalah cucunya Raden Samudera, anak dari putrinya
Puteri Galuh Intan Sari. Ayah dari Raden Samudera adalah Raden
Manteri Jaya, putra dari Raden Begawan, saudara Maharaja
Sukarama. Wasiat tersebut menyebabkan Raden Samudera
terancam keselamatannya karena para putra Maharaja Sukarama
juga berambisi sebagai raja yaitu Pangeran Bagalung, Pangeran
Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung.
• Dibantu oleh Arya Taranggana, Pangeran Samudra melarikan diri
dengan sampan ke hilir sungai Barito. Sepeninggal Sukarama,
Pangeran Mangkubumi menjadi Raja Negara Daha, selanjutnya
digantikan Pangeran Tumenggung yang juga putra Sukarama.
Pangeran Samudra yang menyamar menjadi nelayan di daerah
Balandean dan Kuin, ditampung oleh Patih Masih di rumahnya. Oleh
Patih Masih bersama Patih Muhur, Patih Balitung diangkat menjadi
raja yang berkedudukan di Bandarmasih.
• Pangeran Tumenggung melakukan penyerangan ke
Bandarmasih. Pangeran Samudra dibantu Kerajaan
Demak dengan kekuatan 40.000 prajurit dengan armada
sebanyak 1.000 perahu yang masing-masing memuat 400
prajurit mampu menahan serangan tersebut. Akhirnya Pangeran
Tumenggung bersedia menyerahkan kekuasaan Kerajaan
Negara Daha kepada Pangeran Samudra. Kerajaan Negara
Daha kemudian dilebur menjadi Kesultanan Banjar yang
beristana di Bandarmasih. Sedangkan Pangeran Tumenggung
diberi wilayah di Batang Alai.
• Pangeran Samudra menjadi raja pertama Kerajaan Banjar
dengan gelar Sultan Suriansyah. Ia pun menjadi raja pertama
yang masuk islam dibimbing oleh Khatib Dayan.
Kalimantan Selatan memiliki perairan yang strategis sebagai lalu lintas
perdagangan. Perdagangan di Banjarmasin pada permulaan abad ke-17 M di
monopoli golongan Tionghoa. Kuatnya penarikan lada dari mereka untuk
perdagangan ke Tiongkok mengakibatkan penanaman lada di Banjarmasin
menjadi pesat sekali. Perahu-perahu Tiongkok datang ke Banjarmasin membawa
barang-barangnya berupa barang pecah belah dan pulang kembali membawa
lada. Pada masa puncak kemakmurannya di permulaan abad ke-18 M, hasil
rata-rata tiap tahunya mencapai 12 buah perahu Tiongkok yang datang ke
Banjarmasin.

Dalam perdagangan lada merupakan komoditi eksport terbesar dalam kerajaan


Banjar. Perkembangan perdagangan ini menyebabkan terjadinya perubahan-
perubahan politik pemerintahan. Para penguasa sebagai the rulling
class berusaha menguasai tanah yang lebih luas dalam bentuk tanah apanage,
yaitu tanah yang hasilnya dipungut oleh keluarga raja, dan dijadikan wilayah
penguasaan penanaman lada. Besarnya perdagangan lada menyebabkan
melimpahnya kekayaan bagi golongan politikus dan pedagang, karena mereka
memiliki kekuasaan penuh yang tidak dimiliki oleh rakyat awam.
Raja – raja yang memerintah Kerajaan Banjar:
1. Sultan Suriansyah (1520-1546)
2. Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah (1546-1570)
3. Sultan Sultan Hidayatullah I bin Rahmatullah (1570-1595)
4. Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah I (1595-1641) mencapai
puncak kejayaan
5. Sultan Inayatullah bin Sultan Mustain Billah (1641-1646)
6. Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah (1646-1660)
7. Sultan Ri'ayatullah bin Sultan Mustain Billah (1660- 1663)
8. Sultan Amrullah Bagus Kasuma bin Sultan Saidullah (1663-1679)
9. Sultan Agung/Pangeran Suria Nata (ke-2) bin Sultan Inayatullah
(1679-1700)
10. dan seterusnya hingga sultan ke-23
1. Raja : bergelar Sultan/Panambahan/Ratu/Susuhunan
2. Putra Mahkota : bergelar Ratu Anum/Pangeran Ratu/Sultan Muda
3. Perdana Menteri : disebut Perdana Mantri/Mangkubumi/Wazir, di
bawah Mangkubumi : Mantri Panganan, Mantri Pangiwa, Mantri
Bumi dan 40 orang Mantri Sikap, setiap Mantri Sikap memiliki 40
orang pengawal.
4. Lalawangan : kepala distrik, kedudukannya sama seperti pada
masa Hindia Belanda.
5. Sarawasa, Sarabumi dan Sarabraja : Kepala Urusan keraton
6. Mandung dan Raksayuda : Kepala Balai Longsari dan Bangsal
dan Benteng
7. Mamagarsari : Pengapit raja duduk di Situluhur
8. Parimala : Kepala urusan dagang dan pekan (pasar). Dibantu
Singataka dan Singapati.
9. Sarageni dan Saradipa : Kuasa dalam urusan senjata (tombak,
ganjur), duhung, tameng, badik, parang, badil, meriam dll.
10. Puspawana : Kuasa dalam urusan tanaman, hutan, perikanan,
ternak, dan berburu
11. Pamarakan dan Rasajiwa : Pengurus umum tentang keperluan
pedalaman/istana
12. Kadang Aji : Ketua Balai petani dan Perumahan. Nanang sebagai
Pembantu
13. Wargasari : Pengurus besar tentang persediaan bahan makanan
dan lumbung padi, kesejahteraan
14. Anggarmarta : Juru Bandar, Kepala urusan pelabuhan
15. Astaprana : Juru tabuh-tabuhan, kesenian dan kesusasteraan.
16. Kaum Mangkumbara : Kepala urusan upacara
17. Wiramartas : Mantri Dagang, berkuasa mengadakan hubungan
dagang dengan luar negeri, dengan persetujuan Sultan.
18. Bujangga : Kepala urusan bangunan rumah, agama dan rumah
ibadah
19. Singabana : Kepala ketenteraman umum.
Jabatan-jabatan pada masa Panembahan Kacil (Sultan Mustain Billah), terdiri :
1. Mangkubumi
2. Mantri Pangiwa dan Mantri Panganan
3. Mantri Jaksa
4. Tuan Panghulu
5. Tuan Khalifah
6. Khatib
7. Para Dipati
8. Para Pryai

Masalah-masalah agama Islam dibicarakan dalam rapat/musyawarah oleh Penghulu yang


memimpin pembicaraan, dengan anggota terdiri dari : Mangkubumi, Dipati, Jaksa, Khalifah dan
Penghulu.
Masalah-masalah hukum sekuler dibicarakan oleh Jaksa yang memimpin pembicaraan dengan
anggota terdiri dari Raja, Mangkubumi, Dipati dan Jaksa.
Masalah tata urusan kerajaan merupakan pembicaraan antara raja, Mangkubumi dan Dipati.
Dalam hierarki struktur negara, di bawah Mangkubumi adalah Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan
dalam suatu sidang negara adalah Raja, Mangkubumi, Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan kalau
Raja berjalan, diikuti Mangkubumi, kemudian Panghulu dan selanjutnya Jaksa. Kewenangan
Panghulu lebih tinggi dari Jaksa, karena Panghulu mengurusi masalah keagamaan, sedangkan Jaksa
mengurusi masalah keduniaan.
Para Dipati, terdiri dari para saudara raja, menemani dan membantu raja, tetapi mereka adalah
kedua setelah Mangkubumi.
Dalam rentetan peristiwa sejarah, kita dapatkan bahwa masyarakat
Banjar dimulai dari percampuran antara kebudayaan Melayu dengan
kebudayaan Bukit dan Maanyan sebagai inti, kemudian membentuk
kerajaan Tanjung Pura dengan agama Budha. Percampuran
kebudayaan antara kebudayan pertama dengan kebudayaan Jawa
dimana kebudayaan Maanyan, Bukit dan Melayu menjadi inti, yang
kemudian membentuk kerajaan Negara Dipa dengan agama Budha.
Selanjutnya adalah perpaduan dengan kebudayaan Jawa yang
membentuk negara Daha dengan agama Hindu. Kemudian lanjutan dari
kerajaan Negara Daha dalam membentuk kerajaan Banjar Islam dan
perpaduan suku Ngaju, Maanyan dan Bukit. Dari perpaduan yang
terakhir inilah akhirnya melahirkan kebudayaan yang ada dalam
kerajaan Banjar.
1. Candi AGUNG AMUNTAI
2. Masjid Sultan Suriansyah
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai