Anda di halaman 1dari 31

MODUL PEMBELAJARAN SEJARAH INDONESIA

MATERI : PERLAWANAN RAKYAT MENENTANG KOLONIALISME


OLEH : RENDHI RINALDI, S.PD

Latar Belakang Perlawanan Rakyat Makassar Terhadap VOC


Perlawanan rakyat Makassar terhadap VOC terjadi pada tahun 1654-1655 yang dipimpin
oleh Sultan Hasanuddin. Pada pertengahan abad ke-17, Kerajaan Makassar menjadi
pesaing berat bagi VOC terutama dalam bidang pelayaran dan perdagangan di wilayah
Indonesia Timur. Persaingan dagang tersebut terasa semakin berat untuk VOC, sehingga
VOC merancang siasat dengan berpura-pura ingin membangun hubungan baik dan
saling menguntungkan dengan Kerajaan Makassar. Upaya VOC yang sepertinya terlihat
baik ini disambut baik oleh Raja Gowa dan kemudian VOC diberikan izin untuk berdagang
secara bebas.

Setelah mendapatkan kesempatan berdagang dan mendapatkan pengaruh di Makassar,


VOC mulai mengajukan tuntutan kepada Sultan Hasanuddin. Tuntutan VOC terhadap
Makassar ditentang oleh Sultan Hasanudin dalam bentuk perlawanan dan penolakan
semua bentuk isi tuntutan yang diajukan oleh VOC yang sangat ingin menguasai
perdagangan di daerah Indonesia Timur. Oleh karena itu, VOC selalu berusaha mencari
jalan untuk menghancurkan Makassar sehingga terjadilah beberapa kali pertempuran
antara rakyat Makassar melawan VOC.

Sebab Umum dan Khusus


Berikut ini terdapat beberapa sebab umum dan khusus VOC ingin menguasai Makassar,
terdiri atas:

1. Belanda menganggap Makasar sebagai pelabuhan


2. Belanda mengadakan blokade ekonomi terhadap
3. Sultan Hasanuddin menolak monopoli perdagangan Belanda di

Jalannya Pertempuran Makassar


Perang Makasar (1666-1668) sebenarnya dipicu oleh perang dagang antara Kerajaan
Makasar yang menjadikan pelabuhannya bebas dikunjungi oleh kapal-kapal dari Eropa
ataupun dari Asia dan Nusantara, dengan pihak VOC yang ingin memaksakan monopoli.
Pelabuhan Makasar dianggap menyaingi perniagaan VOC. Keinginan VOC untuk
mengontrol jalur perniagaan laut, ditolak oleh Sultan Hasanuddin.

Dalam kebudayaan bahari yang dimiliki oleh orang Makasar, mereka memiliki filosofi
bahwa secara umum laut adalah milik bersama, siapapun boleh
melayarinya. Permintaan VOC agar Sultan menerima monopoli perdagangan di
Makasar ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Bahkan Sultan mengatakan:

“Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan, telah membagi-bagi daratan di antara umat
manusia. Tetapi mengaruniakan laut untuk semuanya. Tak pernah kedengaran larangan
buat siapapun untuk mengarungi lautan.”

Jawaban ini meneguhkan semangat orang-orang Makasar untuk melawan tindakan yang
memaksakan kehendak, padahal sudah sejak lama, perniagaan laut di Asia Tenggara ini
berjalan dengan sistem pasar bebas. Pihak penguasa hanya mengontrol keamanan laut
dan pelabuhan dengan menarik cukai atas bermacam mata dagangan. Bahkan para
penguasa juga menjadi kaya karena menjadi juragan atau pemilik kapal-kapal dagang.
Namun sejak kekalahan dalam Perang Makasar banyak bangsawan, saudagar, dan
pelaut Makasar yang meninggalkan kampung halamannya pergi merantau ke seluruh
kepulauan Nusantara.

Sementara itu sebagaian besar bangsawan Bugis di Wajo yang menjadi sekutu Kerajaan
Gowa-Tallo juga melakukan pengungsian setelah ibukota kerajaan di Tosora
dihancurkan oleh VOC. Peperangan yang terjadi kemudian pada pertengahan abad ke
18 antara Kerajaan Bone melawan Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Wajo juga
makin menambah besar jumlah penduduk yang mengungsi.

Namun para pengungsi Makasar dan Bugis generasi awal telah beradaptasi dengan baik
di lingkungan barunya. Kebanyakan orang Bugis kemudian menetap di wilayah
kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya, sementara orang Makasar di Jawa dan
Madura. Sedangkan dalam jumlah kecil mereka menyebar hampir di seluruh wilayah
kepulauan Indonesia.

Dalam proses awal adaptasi, Andaya melihat bahwa para pengungsi Makasar awalnya
mengalami kegagalan karena sifat mereka terus memusuhi VOC, sehingga di Jawa
Timur, Karaeng Galengsung dan pengikutnya, mendukung pemberontakan Trunojoyo
melawan Mataram dan VOC, yang pada akhirnya mengalami kekalahan pada tahun
1679. Hal yang sama juga terjadi di Banten ketika Karaeng Bontomarannu tiba di Banten
dengan 800 orang pengikutnya dan mendapatkan tempat tinggal dari SultanB anten,
sampai kemudiaan ditinggalkan akibat perang antara VOC dan Banten tahun 1680.

Sebaliknya menurut Andaya, para pengungsi dari Bugis tidak memposisikan sebagai
musuh VOC dengan tidak mendukung perlawanan penguasa setempat terhadap VOC.
Sehingga orang-orang Bugis ini relatif tidak dicurigai oleh VOC. Para bangsawan Bugis
dan pengikutnya yang berada di tanah Semenanjung Malaya justru diminta bantuan oleh
Sultan Johor, Abd al-Jalil untuk melawan saingannya, Raja Kecik, yang ingin merebut
tahta dengan bantuan Orang Laut.
Setelah musuhnya berhasil dikalahkan, Sultan memberikan daerah kepulauan Riau
sebagai tempat tinggal orang-orang Bugis. Pada abad ke-18, para bangsawan Bugis ini
kemudian membentuk kerajaan yang otonom di kepulauan Riau.

Pertempuran antara rakyat Makassar dengan VOC terjadi. Pertempuran pertama terjadi
pada tahun 1633. Pada tahun 1654 diawali dengan perilaku VOC yang berusaha
menghalang-halangi pedagang yang akan masuk maupun keluar Pelabuhan Makassar
mengalami kegagalan. Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666-1667, pasukan kompeni
dibantu olehpasukan Raja Bone (Aru Palaka) dan pasukan Kapten Yonker dari Ambon.

Angakatan laut VOC, yang dipimpin oleh Spleeman. Pasukan Arung Palakka mendarat
din Bonthain dan berhasil mendorog suku Bugis agar melakukan pemberontakan
terhadap Sultan Hasanudin. Penyerbuan ke Makassar dipertahankan oleh Sultan
Hasanudin. Sultan Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk menandatangani perjanjian
perdamaian di Desa Bongaya pada tahun 1667.
Faktor penyebab kegagalan rakyat Makassar adalah keberhasilan politik adu domba
Belanda terhadap Sultan Hasanudin dengan Arung Palakka. Membantu Trunojoyo dan
rakyat Banten setiap melakukan perlawanan terhadap VOC.

Dengan disahkannya perjanjian Bongaya, maka Rakyat Gowa merasa sangat dirugikan
oleh karena itu perang pun kembali berkecamuk. Pertempuran hebat itu membuat
Belanda cemas, sehingga menambah bala bantuan dari batavia. Dalam pertempuran
dahsyat pada bulan Juni 1669 yang cukup banyak menelan korban di kedua belah pihak,
akhirnya Belanda berhasil merebut benteng pertahanan yang paling kuat di Somba Opu.
Benteng Somba Opu diduduki Belanda sejak 12 Juni 1669 dan kemudian dihancurkan,
setelah pasukan Gowa mempertahankannya dengan gagah berani.

Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang
dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa
pengaruh terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda
terutama setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa
yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran.

Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam
perjanjian itu, nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-
negeri yang ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Arung Palakka menaklukkan
hampir seluruh daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak
orang Bugis yang pindah di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam
secara penuh di Indonesia.

Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari


segi penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan
gowa makin lama makin tidak terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan
pengikut Aru Palaka dan Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat
politik menjadi kosong dan sepi.
Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari Makassar (Yang berada
dalam masa peralihan) ke Kalegowa dan Maccini Sombala tidak dapat dalam waktu yang
cepat memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas dalam negeri. Namun demikian
Sultan Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela
tanah air dari cengkraman penjajah.

Akibat lain dari perjanjian ini adalah semua hubungan dengan orang-orang Makassar di
daerah ini harus diputuskan. Bagi VOC, orang-orang Makassar merupakan para
pengacau dan penyulut kekacauan karena hubungan Sumbawa dan Makassar yang
telah berjalan lama. Pada 1695, orang-orang Makassar melakukan pelarian dalam jumlah
besar ke daerah Manggarai. Bahkan, perpindahan orang-orang Makassar itu telah
berlangsung sejak 1669, setelah Kerajaan Gowa ditaklukkan VOC dan
ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada 1667.

Tokoh Pertempuran Makassar

Sultan Hasanuddin merupakan Raja yang memerintah Kerajaan Makassar pada tahun
1645-1670. Beliau juga merupakan pemimpin dalam pertempuran besar antara rakyat
Makassar dengan VOC.

Dampak Perlawanan Rakyat Makassar


Perlawanan rakyat Makassar akhirnya mengalami kegagalan. Salah satu faktor
penyebab kegagalan rakyat Makassar adalah keberhasilan politik adu domba Belanda
terhadap Sultan Hasanudin dengan Aru Palaka yang merupakan Raja Kerajaan Bone.

Pada akhir peperangan, Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani perjanjian


Bongaya pada tahun 1667 yang isinya sangat merugikan pihak Makassar.
Isi Perjanjian Bongaya
Berikut dibawah ini isi dari perjanjian bongaya, yaitu sebagai berikut:

1. VOC menguasai monopoli perdagangan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi


Tenggara
2. Makasar harus melepas seluruh daerah bawahannya, seperti Sopeng, Luwu,
Wajo, dan Bone
3. Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone
4. Makassar harus menyerahkan seluruh benteng-bentengnya
5. Kerajaan Makasar deperkecil, hanya meliputi Gowa
6. Semua Bangsa Asing di usir dari Makasar, kecuali VOC
7. Makasar harus membayar biaya perang

Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan rakyat Makassar terhadap


Belanda tetap diteruskan oleh putra Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba.

Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makassar, Belanda mengerahkan pasukannya


secara besar-besaran dan pada akhirnya Belanda berhasil menghancurkan Makassar
dan menguasai wilayah kerajaan tersebut sepenuhnya.
Perang Padri
Sejarah Perang Padri

Perang Padri ini tidak beda jauh dengan perang saudara. Maksudnya perang saudara
antar sesama penduduk Sumatera Barat. Diawali dengan timbulnya perbedaan pendapat
antara sekelompok ahli agama islam yang disebut dengan Kaum Padri dengan Kaum
Adat di wilayah Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kaum Padri menilai bahwa
kebiasaan Kaum Adat yang berlawanan dengan syariat islam. Kebiasaan yang
berlawanan seperti judi, sabung ayam, penggunaan obat terlarang, konsumsi miras dan
penggunaan hukum matriarkat untuk pembagian warisan. Padahal sebelumnya Kaum
Adat sudah menyatakan diri memeluk islam dan berkata akan meninggalkan kebiasaan
yang berlawanan dengan syariat islam. Tingkah Kaum Adat ini membuat Kaum Padri
marah sehingga meletuslah perang saudara di tahun 1803. Perang saudara antar
sesama Mandailing dan Minang. Pemimpin Kaum Padri adalah Harimau Nan Salapan
sementara Kaum Adat dipimpin Sultan Arifin Muningsyah.

Tapi pada tahun 1833, Perang Padri berubah dari perang saudara menjadi perang
melawan penjajah. Awal mulanya karena Kaum Adat yang terdesak malah memohon
bantuan pada Belanda di tahun 1821. Sayangnya, keterlibatan Belanda membuat
keadaan semakin kacau dan ruwet. Belanda malah terlalu mencampuri Kaum Adat.
Daripada menghadapi dua musuh yang sama yaitu Kaum Padri dan Belanda, Kaum Adat
mulai melawan Belanda dan bergabung dengan Kaum Padri. Akhirnya etnis Minang dan
Mandailing bersatu untuk mengalahkan penjajah bersama-sama.

Perang Padri adalah peperangan melawan penjajah yang mengorbankan banyak hal.
Mulai waktu yang cukup lama, harta benda dan banyak jiwa. Hasil akhir dari peperangan
ini akhirnya dimenangkan oleh Belanda. Dampak lainnya seperti runtuhnya Kerajaan
Pagaruyung, menurunnya ekonomi masyarakat Minang dan membuat orang-orang
berpindah dari area konflik.

Sebab Terjadinya Sejarah Perang Padri

Latar belakang Perang Padri sebenarnya diawali oleh keinginan Kaum Padri yang ingin
memperbaiki moral masyarakat Minangkabau. Haji Sumanik, Haji Miskin dan Haji
Piobang waktu itu pulang dari Mekkah dan ingin memperbaiki syariat islam masyarakat
Minangkabau. Datanglah Tuanku Nan Renceh yang memiliki keinginan yang sama
dengan tiga haji itu dan mendukungnya. Niat mulia mereka menarik banyak orang.
Termasuk tokoh dan ulama Minangkabau yang bernama Harimau Nan Salapan. Sejarah
islam di Indonesia juga berperan penting di Sumatera Barat.
Harimau Nan Salapan dan Tuanku Lintau datang ke istana Pagaruyung untuk bertemu
Sultan Arifin Muningsyah dan Kaum Adat untuk menjauhi kebiasaan yang berlawan
dengan syariat Islam. Perundingan dilakukan tetapi Kaum Adat dan Kaum Padri sulit
mencapai kesepakatan. Bersamaan dengan itu, beberapa nagari di bawah Kerajaan
Pagaruyung mulai kacau. Hingga pada tahun 1815, Tuanku Pasaman memimpin Kaum
Padri menyerang Koto Tangah yang termasuk wilayah Kerajaan Pagaruyung. Sultan
Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibu kota. Dalam catatannya, Thomas
Stamford Raffles yang mengunjungi Kerajaan Pagaruyung tahun 1818 hanya melihat
puing-puing Istana Pagaruyung yang hangus.

Strategi-Strategi yang Digunakan Kaum Adat dan Belanda


Strategi Kaum Adat dan Kerajaan Pagaruyung : Meminta Bantuan Belanda

Kaum Adat mulai kewalahan menghadapi Kaum Padri. Kaum Padri terus melaju
menyerang Kaum Adat. Kekalahan demi kekalahan diderita Kaum Adat. Sultan Arifin
Muningsyah pun entah dimana. Semuanya memburuk bagi Kaum Adat. Mereka pun
berunding untuk menyelesaikan masalah ini. Hingga akhirnya didapat sebuah solusi yaitu
meminta bantuan Belanda.

Sultan Tangkal Alam Bagagar memimpin Kaum Adat untuk berunding dengan Belanda.
Meskipun aslinya Sultan Tangkal Alam Bagagar tidak berhak mengatasnamakan
Kerajaan Pagaruyung, tapi mereka tetap memaksa juga untuk menandatangani
perjanjian. Karena perjanjian ini, Belanda menganggap Kerajaan Pagaruyung menyerah
ke Pemerintah Hindia Belanda. Waktu itu Padang di pimpin oleh Residen James du Puy.
Atas saran residen, Sultan Tangkal Alam Bagagar diangkat oleh Belanda menjadi Regent
Tanah Datar. Kesempatan aliansi ini terlalu sayang untuk dilewatkan karena Belanda
juga sangat tertarik pada Minangkabau karena cocok ditanami kopi. Kopi merupakan
salah satu komoditas perdagangan penting bagi Belanda di Eropa.

Belanda yang diundang Kaum Adat untuk mencampuri urusan Sumatera Barat pun mulai
beraksi. Mereka menyerang daerah Sulit Air dan Simawang yang dipimpin oleh Kapten
Dienema dan Kapten Goffinet. Lalu Letkol Raaff membantu dua kapten itu dan berhasil
mengusir Kaum Padri keluar Pagaruyung. Lalu Belanda membangun benteng Fort Van
Der Capellen di daerah Batusangkar.

Strategi Kaum Padri : Regroup dan Gerilya

Setelah kalah dari Belanda, Kaum Padri mulai menyusun dan mengevaluasi kembali
kekuatannya di Lintau. Kaum Padri menghalau serangan Raaff di Tanjung Alam dan
Luhak Agam. Lalu di Baso, Kaum Padri berhasil membuat Kapten Goffinet terluka parah
hingga meninggal. Dipimpin Tuanku Nan Renceh, Kaum Padri berhasil menekan terus
hingga Belanda kembali ke Batusangkar. Perang Padri adalah salah satu contoh Perang
gerilya Indonesia.
Aliansi Belanda dan Kaum Adat tidak dilindungi dewi fortuna. Pada April 1823, Belanda
menambah kekuatannya. Raaff menyerang Lintau lagi tapi pertahanan Kaum Padri
terlalu gigih untuk Belanda. Sehingga Belanda terpaksa pulang lagi ke Batu Sangkar.
Atas permintaan Belanda, Sultan Arifin Muningsyah pulang lagi ke Pagaruyung. Pada
tahun 1844 Raaff meninggal karena demam dan Sultan Arifin wafat pada tahun 1825.
Tahun 1825, Belanda yang dimpimpin Laemlin berhasil menduduki Biaro, Kapau,
Ampang Gadang dan Koto Tuo. Tapi akhirnya Laemlin akhirnya meninggal di Padang
karena luka-luka perang yang parah.

Strategi Belanda : Gencatan Senjata

Belanda menempuh cara lain yaitu dengan berunding. Karena sudah pusing menghadapi
Kaum Padri yang merepotkan dan kuat. Selain itu juga sudah mengeluarkan dana yang
sangat banyak untuk menghadapi perang di Eropa dan melawan Diponegoro. Dengan
nama Perjanjian Masang, Belanda mengajak Tuanku Imam Bonjol untuk melakukan
gencatan senjata.

Selama masa gencatan senjata, kubu Padri mulai bekerja. Tuanku Imam Bonjol
memulihkan pasukan dan merangkul Kaum Adat. Akhirnya, lahirlah konsensus bersama
yang berusaha menegakkan ajaran Islam dan Al-Quran di tanah Minangkabau. Bahasa
Padangnya bernama “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.”

Strategi Belanda : Menguasai Titik Vital

Belanda mulai berperang lagi setelah gencatan senjata yang dipimpin oleh Letkol Elout.
Kali ini Belanda lebih siap daripada sebelumnya. Karena semua sudah dipersenjatai
kembali, Diponegoro telah dikalahkan dan dana sudah cair. Belanda melanggar
perjanjian dan mulai menyerang Lintau dan Pandai Sikek. Wilayah ini menghasilkan
senjata api dan mesiu. Lalu membangun Fort de Kock di Bukittinggi. Setelah itu
menaklukkan Luhak Tanah Datar pada tahun 1831.

Letkol Elout mendapat bantuan dari Sentot Prawirodirjo. Sentot merupakan panglima
Diponegoro yang kelihatannya membelot dan memihak pada Hindia Belanda. Tapi
tingkah Sentot di Lintau terlihat mencurigakan. Ternyata Sentot aslinya malah membantu
Kaum Padri. Akhirnya Sentot malah dibuang di Bengkulu lalu meninggal di sana.

Belanda lalu menyerang lagi dan kini dibantu oleh Letkol Vermeulen. Jumlah infantri yang
datang cukup besar. Mereka menyerang Luhak Limo Puluah, Luhak Agam dan Kamang.
Kaum Padri mulai kalah dan hancur. Hingga Kaum Padri harus mundur ke daerah Bonjol.
Beberapa Kaum Padri juga mencoba menyerang pertahanan Belanda di Padang
Mantinggi dan membuat Belanda kewalahan.

Strategi Kaum Padri dan Kaum Adat : Bersatu Kita Teguh

Kesadaran Kaum Adat dan Kaum Padri untuk bersatu sebenarnya sudah sadar dari dulu.
Mereka sama-sama sepakat bahwa semua semakin memburuk untuk Minangkabau
sejak Belanda ikut campur. Pada tahun 1833, muncullah kompromi di antara dua kaum
ini. Tiba-tiba, di tanggal 11 Januari 1833, ada serangan mendadak kubu-kubu pertahanan
Belanda. Kecurigaan orang Belanda mengarah ke Sultan Tangkal Alam Bagagar.
Belanda lalu menangkapnya atas tuduhan pengkhianatan. Tentu saja Sultan Tangkal
menyangkal. Tapi petinggi tetap membuangnya ke Batavia.

Di titik ini inilah Belanda sadar bahwa kini Kaum Padri dan Kaum Adat sudah bersatu.
Setelah penangkan Sultan Tangkal Alam Bagagar, Belanda membuat pengumuman
yang bernama Plakat Panjang. Pengumuman ini menyatakan bahwa Belanda tidak
berniat untuk menguasai Minangkabau, tapi hanya untuk berdagang. Pribumi tidak harus
membayar pajak dan tetap di bawah pimpinan penghulu.

Strategi Belanda : Penyerangan Bonjol

Sejarah Perang Padri yang begitu lama ini membuat para petinggi Belanda sebal dan
memutuskan solusi akhir untuk menyerang Benteng Bonjol. Tapi serangan pada tahun
1833 gagal karena taktik gerilya Kaum Padri. Belanda tidak menyerah. Semua
pembangunan infrastruktur kini juga diarahkan ke Bonjol pada tahun 1834. Pada tahun
1835, serangan lebih besar diarahkan ke Bonjol. Semua sumber daya, infantri dan alat
berat hanya memiliki satu tujuan. Yaitu kejatuhan Benteng Bonjol. Benteng Bonjol
dikepung hingga jatuh pada tanggal 16 Agustus 1837. Tapi Tuanku Imam Bonjol berhasil
selamat dari kepungan ini.

Takdir Akhir Tuanku Imam Bonjol

Aliansi Kaum Padri dan Kaum Adat sudah melemah dan lelah. Sambil terus berlari dan
bersembunyi, Tuanku Imam Bonjol terus berusaha mengkonsolidasi pasukan Sumatera
Barat. Memang wajar karena mereka terus-menerus berperang hingga mencapat batas.
Hingga akhirnya, Tuanku Imam Bonjol menyerahkan di ke Belanda. Beliau ditangkap dan
dibuang ke berbagai tempat. Mulai dari Cianjur, Ambon dan Minahasa. Akhirnya beliau
meninggal di tempat pengasingannya.

Akhir Perang Padri


Akhir yang buruk untuk semua etnis Minangkabau. Tuanku Imam Bonjol berhasil
ditangkap dan Belanda berhasil menguasai Benteng Bonjol pada tahun 1837. Perang
masih terus berlanjut hingga pertahanan terakhir Kaum Padri, di Rokan Hulu, dikalahkan
oleh Belanda pada tahun 28 Desember 1838. Tuanku Tambusai yang waktu itu
memimpin Rokan Hulu terpaksa mundur dan pindah ke Negeri Sembilan yang terletak di
Semenanjung Malaya. Semua perlawanan rakyat Minangkabau berhasil ditumpas oleh
Belanda. Padangse Bovenlanden di bawah kendali Hindia Belanda dan Kerajaan
Pagaruyung akhirnya menjadi bagian Pax Netherlandica

Demikian informasi tentang sejarah Perang Padri. Mulai dari latar belakang, penyebab,
proses terjadi dan akhir ceritanya. Semoga informasi ini bisa menambah wawasan
sejarah pembaca sekaligus menghormati perjuangan leluhur kita khususnya masyarakat
Sumatera Barat dalam melawan kolonialisme.
Latar Belakang Perlawanan Rakyat Mataram Terhadap VOC

Sultan Agung adalah raja yang paling terkenal dari Kerajaan Mataram. Pada masa
pemerintahan Sultan Agung, Mataram mencapai zaman keemasan. Cita-cita Sultan
Agung antara lain:

 Mempersatukan seluruh tanah Jawa.


 Mengusir kekuasaan asing dari bumi Nusantara.

Terkait dengan cita-citanya ini maka Sultan Agung sangat menentang keberadaan
kekuatan VOC di Jawa. Apalagi tindakan VOC yang terus memaksakan kehendak untuk
melakukan monopoli perdagangan membuat para pedagang Pribumi mengalami
kemunduran. Kebijakan monopoli itu juga dapat membawa penderitaan rakyat. Oleh
karena itu, Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia.

Ada beberapa alasan mengapa Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia, yakni:

1. Tindakan monopoli yang dilakukan VOC,


2. VOC sering menghalang-halangi kapal-kapal dagang Mataram yang akan
berdagang ke Malaka,
3. VOC menolak untuk mengakui kedaulatan Mataram, dan
4. keberadaan VOC di Batavia telah memberikan ancaman serius bagi masa depan
Pulau Jawa.

Pada tahun 1628 telah dipersiapkan pasukan dengan segenap persenjataan dan
perbekalan. Pada waktu itu yang menjadi gubernur jenderal VOC adalah J.P. Coen.
Sebagai pimpinan pasukan Mataram adalah Tumenggung Baureksa. Tepat pada tanggal
22 Agustus 1628, pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa
menyerang Batavia. Pasukan Mataram berusaha membangun pos pertahanan, tetapi
kompeni VOC berusaha menghalang-halangi, sehingga pertempuran antara kedua pihak
tidak dapat dihindarkan.

Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan itu pasukan Mataram yang lain


berdatangan seperti pasukan di bawah Sura Agul-Agul yang dibantu oleh Kiai Dipati
Mandurareja dan Upa Santa. Datang pula laskar orang-orang Sunda di bawah pimpinan
Dipati Ukur. Pasukan Mataram berusaha mengepung Batavia dari berbagai tempat.
Terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Mataram melawan tentara VOC di
berbagai tempat.

Jalannya Perlawanan Mataram Terhadap VOC


Berikut ini terdapat beberapa jalannya perlawanan mataram terhadap voc, yaitu sebagai
berikut:

1. Proses Serangan Pertama Mataram Terhadap VOC (1628)


Konflik kepentingan antara ketiga belah pihak yaitu Mataram, VOC, serta Benten akan
menimbulkan perang yang akan terjadi di Batavia. Sejak tahun 1620 telah disebut-sebut
adanya maksud Mataram untuk menyerang Batavia, Mataram pernah diberitakan
mengumpulkan 100.000 prajurit, untuk menyerang Batavia, namun pasukan ini batal
menjalankan misinya karena ada kepentingan kerajaan yang lebih mendesak. Pada 1626
Sultan kembali diberitakan mengumpulkan pasukan sebanyak 900.000 yang akan
dipersiapkan untuk menyerang orang kafir (VOC) di Batavia, namun misi ini juga gagal
karena pasukan mataram harus memadamkan pemberontakan Pati (1627).

Pada April 1628 Mataram melakukan serangan pertamanya ke Batavia. Kyai Rangga
dikirim ke Batavia dengan 14 perahu yang memuat beras, Kyai Rangga ini datang untuk
meminta bantuan VOC untuk Mataram yang ingin menyerang Banten, tapi hal ini ditolak
pihak VOC. 22 agustus 1628, 50 kapal mendarat di Batavia, dengan perlengkapan yang
sangat komplit. 2 hari kemudian muncul 7 perahu meminta izin perjalanan ke Malaka,
VOC telah menangkap sinyal serangan yang akan terjadi menyikapi hal itu VOC
berusaha tidak mempertemukan kapal yang baru datang dengan yang terakhir datang,
karena dikawatirkan terjadi pertukaran senjata antar kapal, namun usaha itu gagal.
Keesokan harinya 20 buah kapal Mataram menyerang pasar dan benteng Batavia,
banyak korban yang jatuh. Namun VOC justru tak bergeming karena VOC sudah
mensiasati ini agar VOC dapat dengan mudah mengusir pasukan Mataram karena tidak
ada tempat persembunyian bagi pasukan Mataram. Melihat keadaan ini terpaksa
pasukan Mataram mundur dan mengungsi ke daerah berpohon dan membangun benteng
dari bambu anyaman serta membangun parit-parit di sekitar wilayah peperangan. Namun
VOC mengirim tentara ke parit tersebut dan mengusir tentara Mataram yang ada di sana.

Tetapi Diceritakan pula di sumber lain bahwa pada 26 agustus 1628, datanglah pasukan
Mataram ke Batavia berjumlah sekitar 10.000 pasukan yang dipimpin oleh Tumenggung
Bahureksa, dengan cara berbaris mereka mendekati benteng VOC. Menyikapi hal ini
pemimpin VOC memerintahkan untuk menebang hutan dan membakar perkampungan
disekitarnya untuk membatasi gerak gerik pasukan Mataram.

Namun pasukan Mataram tak tinggal diam dan membangun benteng pertahanan di
daerah perang yang terbuat dari tumpukan pohon kelapa dan tumpukan pohon pisang
serta dipagari oleh bambu yang sudah dibelah dua. Bahkan mereka juga membuat parit
pertahanan untuk melindungi diri.

Di sumber lain disebutkan juga bahwa Bahureksa menulis surat ancama kepada Coen
pada 21 septemeber 1628, yang isinya dalam waktu 10 atau 12 hari akan datang pasukan
besar dibawah pimpinan Dipati Madurareja, Dipati Upasanta, Dipati Tohpati, dan
Tumenggung Anggabaya kemudian akan datang pula pasukan yang sama besarnya di
bawah pimpinan pangeran Adipati Juminah. Namun dalam keadaan berikutnya
disebutkan bahwa tentara Baurekasa dipukul mundur dan tercerai berai bahkan
peminpinnya pun gugur dalam pertempuran itu, VOC mengira mereka telah bebas dari
musuh tetapi setelah pasukan Baureksa hancur, muncullah tentara kedua yang lebih
besar panglima tertingginya yakni Tumenggung Sura Agulagul.

Ia berusaha membelokkan arah aliran sungai dan memaksa orang yang terkepung untuk
menyerah pada Mataram. Tapi semua usaha ini sia-sia, pasukannya sendiri banyak yang
mati karena penyakit dan kelaparan. Pada 3 Desember dia membubarkan
pengepungannya dan membunuh panglima-panglima bawahannya yaitu Dipati
Madurareja dan Dipati Upasanta bersama dengan orang-orangnya.

Kembali pada pernyatan awal, 21 oktober 1628 hampir seluruh pasukan VOC di Batavia
dikerahkan untuk Melakukan serangan pada Mataram, kekuatan pasukan VOC itu sekitar
2.866 serdadu. Komandannya Letkol Jacques le Febvre. Pasukan kompeni dibagi
menjadi beberapa kelompok pasukan yang bertugas menyerang pasukan Ukur dan
Sumedang antara ialah:

Pasukan berkuda berjumlah 4 orang menyerang dari arah barat laut

Pasukan Avantrgarde, terdiri atas 3 regu yang dipimpin oleh, Kapten Dietloff Specht,
ghysbert van Lodensteynx dan kapten Andrian Anthonisz, komandan gernisun benteng
Batavia.

 Batalion di bawah Mayor Vogel


 Pasukan Arrieregarde
 Pasukan orang-orang merdeka dan orang Jepang.

Seperti yang telah disebutkan pada di atas. Kegagalan diakibatkan oleh kurangnya
persiapan dan juga terbatasnya bahan makanan juga serangan penyakit pada pasukan
Mataram. Berhubung karena kegagalan ini maka atas dasar hukum yang berlaku di
Mataram sejumlah pimpinan, yaitu pangeran Madurareja dan Upasanta dihukum mati,
dan dengan demikian serangan pertama mengalami kegagalan.

2. Proses Serangan Kedua Mataram Terhadap VOC (1629)


Setelah mengalami kekalahan pada serangan yang pertama(1628) Mataram kembali
melakukan serangan yang kedua, maka persiapan pun dilakukan, bahkan dikatakan
pasukan Mataram telah menyiapkan perbekalan logistik para prajurit di tempat-tempat
tertentu dalam perjalanan ke Batavia. Pasukan Mataram berangkat dalam 2 gelombang,
yang pertama berangkat akhir mei 1629 dan yang kedua 20 juni 1629, dan pada Bulan
Agustus pasukan Mataram ditargetkan telah di Batavia.

Pada 20 juni 1629 ada kejadian penting yang akan merubah jalannya cerita kemenangan
pasukan Mataram dalam menghadapi VOC. Mataram telah mengirim sekelompok utusan
sebagai mata mata, namun salah seorang utusan malah membocorkan rahasia dan
siasat ini, maka pada para utusan tiba di Batavia yang kedua kalinya, ia ditangkap dan
diinterogasi perihal kemungkinan serangan Mataram yang kedua yang bakal terjadi.
Mengetahui Mataram hendak melancarkan serangan keduanya VOC lalu membakar
seluruh perbekalan logistik Mataram di seluruh tempat.

Pada 8 september 1629 pasukan mataram menggali parit pertahanan yang dilindungi
kayu dan bambu, parit ini digali dari markas pertahanan pasukan mataram menuju
benteng Holandia VOC, namun seperti biasa VOC selalu bisa menggagalkan proyek
pertahanan Mataram tersebut. Terdapat pula kelompok lain yang juga berusaha
merongrong pertahanan benteng Bommel.

Beberapa prajurit berusaha masuk ke benteng untuk membuka pintu, namun sebelum
hal itu terjadi pasukan VOC telah menembaki prajurit mataram tersebut. Pernah pula
pasukan Mataram berencana menyerang tembok benteng VOC dengan serangan
meriam Mataram, namun VOC dibawah pimpinan Antonio van Diemen bisa mengatasi
serangan itu, bahkan melancarkan serangan balik pada Mataram.

Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa pada tanggal 20 September 1629 gubernur
Jendral Jan Pieterszoon Coen meninggal dunia karena serangan penyakit. Pada hari
yang sama terjadi serangan besar-besaran pasukan Mataram dan serangan puncak,
serangan ini tertuju pada benteng Weesp, banyak pasukan Matram tertawan oleh
pasukan VOC, maka pada suatu saat tawanan pasukan VOC sudah terlalu banyak yang
tentunya menambah dana logistic VOC, maka diputuskan untuk menghentikan
penawanan.
Kegagalan pada serangan puncak ini akan berakibat pada hilangnya semangat juang
para prajurit Mataram ini, tapi sebenarnya akibat kekalahan tentara Mataram terletak
pada kurangnya bahan makanan atau logistic pasukan Mataram, pada umumnya tentara
Mataram mengalami kelaparan, bahkan disebutkan banyak yang meninggalkan arena
peperangan karena kelaparan.

Tokoh-Tokoh Perang Mataram Terhadap VOC

Raja Mataram yang paling gigih menyerang VOC di Batavia adalah Sultan Agung
Hanyakrakusuma. Perlawanan rakyat Mataram saat diperintah Sultan Agung
Hanyakrakusuma untuk menyerang VOC di Batavia terjadi dua kali, meskipun kedua-
duanya belum memperoleh keberhasilan.

Perlawanan rakyat Mataram terhadap VOC di Batavia dilakukan pada bulan Agustus
1628 yang dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso. Walaupun pasukan Mataram
kelelahan akibat menempuh jarak yang sangat jauh dengan persediaan bahan makanan
yang mulai menipis, pasukan Mataram mampu melakukan serangan terhadap VOC di
Batavia sepanjang hari.

Perlawanan rakyat Mataram kedua terhadap VOC di Batavia dilaksanakan tahun 1629
dan dipimpin oleh Dipati Puger dan Dipati Purbaya. Meskipun persediaan bahan pangan
sudah mulai menipis, pasukan Mataram tetap menyerbu Batavia dan berhasil
menghancurkan benteng Hollandia. Penyerbuan berikutnya dilanjutkan ke benteng
Bommel tetapi belum berhasil karena pasukan Mataram sudah mulai kelelahan dan
kekurangan bahan makanan.

KISAH PERANG PUPUTAN ATAU PERANG BALI (1846 – 1849)

3 MARET 2018 JAGADDIRI MATARAM GOLONG GILIG 1 KOMENTAR


Perang Bali yang dilakukan untuk mengusir Belanda dari daerahnya dikenal dengan
Perang Puputan. Perang puputan ditandai dengan pengorbanan yang luar biasa dari
seluruh rakyat yang cinta daerahnya, baik pengorbanan nyawa maupun materi.

Perang Puputan dilakukan olah rakyat Bali demi mempertahankan daerah mereka dari
pendudukan pemerintah kolonial Belanda. Rakyat Bali tidak ingin Kerajaan Klungkung
yang telah berdiri sejak abad ke-9 dan telah mengadakan perjanjian dengan Belanda
tahun 1841 di bawah pemerintahan Raja Dewa Agung Putra diduduki oleh Belanda.

Pada abad ke-19, di Bali terdapat banyak kerajaan, yang masing-masing mempunyai
kekuasaan tersendiri. Kerajaan-kerajaan tersebut antara lain Buleleng, Karangasem,
Klungkung, Gianyar, Bandung, Tabanan, Mengwi, Bangli, dan Jembrana.

Di antara kerajaan-kerajaan tersebut yang gencar mengadakan perlawanan terhadap


Belanda adalah Buleleng dan Bandung. Raja-raja di Bali terikat dengan perjanjian yang
disebut Hak Tawan Karang, yaitu hak suatu negara untuk mengakui dan memiliki kapal-
kapal yang terdampar di wilayahnya. Hak Tawan Karang inilah yang memicu peperangan
dengan Belanda.
Pada 1844, perahu dagang milik Belanda terdampar di Prancak, wilayah Kerajaan
Buleleng dan terkena Hukum Tawan Karang. Hukum tersebut memberi hak kepada
penguasa kerajaan untuk menguasai kapal yang terdampar beserta isinya.

Dengan kejadian itu, Belanda memiliki alasan kuat untuk melakukan serangan ke
Kerajaan Buleleng pada 1848. Namun, rakyat Buleleng dapat menangkis serangan
tersebut. Akan tetapi, pada serangan yang kedua pada 1849, pasukan Belanda yang
dipimpin Jenderal Mayor A.V. Michies dan Van Swieeten berhasil merebut benteng
pertahanan terakhir Kerajaan Buleleng di Jagaraga.

Dengan serangan besar-besaran, rakyat Bali membalasnya dengan perang habis-


habisan guna mempertahankan harga diri sebagai orang Bali. Pertempuran untuk
mempertahankan Buleleng itu dikenal dengan Puputan Jagaraga.

Puputan lainnya, yaitu Puputan Badung (1906), Puputan Kusamba (1908), dan Puputan
Klungkung (1908).

Latar Belakang Terjadinya Perlawanan Rakyat Bali

1. Pemerintah kolonial Belanda ingin menguasai Bali, yaitu berusaha untuk meluaskan
daerah kekuasaannya.

2. Pemerintah kolonial Belanda ingin menghapuskan hak Tawan Karang yang sudah
menjadi tradisi rakyat Bali. Hak Tawan Karang adalah hak raja Bali untuk merampas
perahu yang terdampar di pantai wilayah kekuasaannya.

Jalannya Perlawanan

Pada tahun 1844, di pantai Prancak dan pantai Sangsit (pantai di Buleleng bagian timur)
terjadi perampasan kapal-kapal Belanda yang terdampar di pantai tersebut. Timbul
percekcokan antara Buleleng dengan Belanda.

Belanda menuntut agar Kerajaan Buleleng melaksanakan perjanjian 1843, yakni


melepaskan hak Tawan Karang. Tuntutan Belanda tidak diindahkan oleh Raja Buleleng
I Gusti Ngurah Made Karangasem. Belanda menggunakan dalih kejadian ini dan
menyerang Kerajaan Buleleng. Pantai Buleleng diblokade dan istana raja ditembaki
dengan meriam dari pantai.
Belanda mendaratkan pasukannya di pantai Buleleng. Perlawanan sengit dari pihak
Kerajaan Buleleng dapat menghambat majunya laskar Belanda. Korban berjatuhan dari
kedua belah pihak.

Akhirnya Belanda berhasil menduduki satu-persatu daerah-daerah sekitar istana raja


(Banjar Bali, Banjar Jawa, Banjar Penataran, Banjar Delodpeken, Istana raja telah
terkurung rapat). I Gusti Made Karangasem menghadapi situasi ini kemudian mengambil
siasat pura-pura menyerah dan tunduk kepada Belanda.

I Gusti Ketut Jelantik, patih kerajaan Buleleng melanjutkan perlawanan. Pusat


perlawanan ditempatkannya di wilayah Buleleng Timur, yakni di sebuah desa yang
bernama desa Jagaraga. Secara geografis desa ini berada pada tempat ketinggian, di
lereng sebuah perbukitan dengan jurang di kanan kirinya.

Desa Jagaraga sangat strategis untuk pertahanan dengan benteng berbentuk ”supit
urang”. Benteng dikelilingi parit dengan ranjau yang dibuat dari bambu (bahasa Bali :
sungga) untuk menghambat gerakan musuh.

Benteng Jagaraga diserang oleh Belanda, namun gagal karena Belanda belum
mengetahui medan yang sebenarnya dan siasat pertahanan supit urang laskar Jagaraga.
I Gusti Ketut Jelantik bersama seluruh laskarnya setelah memperoleh kemenangan,
bertekad untuk mempertahankan benteng Jagaraga sampai titik darah penghabisan demi
kehormatan kerajaan Buleleng dan rakyat Bali.

Akhir perlawanan Rakyat Bali

Pada 1849, Belanda kembali mengirim ekspedisi militer di bawah pimpinan Mayor
Jenderal Michies. Mereka menyerang Benteng Jagaraga dan merebutnya. Belanda juga
menyerang Karang Asem. Pada 1906, Belanda menyerang Kerajaan Badung. Raja dan
rakyatnya melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan.

Perang yang dilakukan sampai titik darah peng habisan dikenal dengan puputan. Untuk
memadamkan perlawanan rakyat Bali yang berpusat di Jagaraga, Belanda
mendatangkan pasukan secara besar-besaran, maka setelah mengatur persiapan,
mereka langsung menyerang Benteng Jagaraga. Mereka menyerang dari dua arah, yaitu
arah depan dan dari arah belakang Benteng Jagaraga.
Pertempuran sengit tak dapat dielakkan lagi, terutama pada posisi di mana I Gusti Ketut
Jelantik berada. Benteng Jagaraga dihujani tembakan meriam dengan gencar. Korban
telah berjatuhan di pihak Buleleng.

Kendatipun demikian, tidak ada seorang pun laskar Jagaraga yang mundur atau
melarikan diri. Mereka semuanya gugur dan pada tanggal 19 April 1849 Benteng
Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. Mulai saat itulah Belanda menguasai Bali Utara.

Intervensi Belanda di Bali pada tahun 1906 adalah sebuah intervensi militer Belanda di
Bali sebagai bagian dari penindasan kolonial Belanda, menewaskan lebih dari 1.000
orang sipil. Itu adalah bagian dari kampanye Belanda untuk penindasan sebagian besar
Hindia Belanda. Kampanye tersebut membunuh penguasa Badung dan istri dan anak-
anak mereka di Bali selatan dan menghancurkan kerajaan Badung dan Tabanan di Bali
selatan, dan melemahkan kerajaan Klungkung. Ini adalah intervensi militer Belanda
keenam di Bali

Belanda telah menaklukkan Bali utara pada pertengahan abad ke-19, mengintegrasikan
kerajaan Jembrana, Buleleng dan Karangasem ke Hindia Belanda, namun kerajaan
selatan Tabanan, Badung dan Klungkung berhasil tetap independen. Berbagai
perselisihan terjadi antara Belanda dan kerajaan selatan, dan diharapkan bahwa Belanda
akan melakukan intervensi secara militer begitu dalih muncul. Ada perselisihan berulang
antara raja Belanda dan Bali mengenai hak untuk menjarah kapal-kapal yang kandas di
sekitar terumbu karang. Bali. Menurut tradisi Bali yang disebut tawan karang, raja Bali
secara tradisional menganggap bangkai kapal tersebut sebagai milik mereka, sementara
Belanda bersikeras mereka tidak melakukannya. Pada tanggal 27 Mei 1904, seorang
sekunar Cina bernama Sri Kumala menyerang terumbu karang di dekat Sanur, dan
dijarah oleh orang Bali. Atas permintaan kompensasi oleh Belanda, raja-raja Badung
menolak untuk membayar apapun, didukung oleh raja Tabanan dan raja Klungkung.
Penguasa Tabanan juga telah menyebabkan ketidakpuasan Belanda dengan
mengizinkan pada tahun 1904 praktik suttee (ritual self- pengorbanan kerabat atas
kematian seorang penguasa, juga disebut wesatia) meskipun ada permintaan resmi
Belanda untuk meninggalkannya. Pada bulan Juni 1906, Belanda memulai blokade
pantai selatan dan mengirim berbagai ultimata.Pada tanggal 14 September 1906, sebuah
kekuatan besar dari Royal Dutch East Indies Army, yang dinamakan Ekspedisi Militer
Keenam, mendarat di bagian utara pantai Sanur. Itu di bawah komando Mayor Jenderal
M.B. Rost van Tonningen. Tentara Badung melakukan serangan terhadap bivak Belanda
di Sanur pada tanggal 15 September, dan ada beberapa perlawanan lagi di desa Intaran.
Secara keseluruhan, pasukan tersebut berhasil bergerak ke daratan tanpa banyak
perlawanan, dan tiba di kota Kesiman pada tanggal 20 September 1906 Di sana, raja
setempat, seorang bawahan raja Badung, telah dibunuh oleh pastornya sendiri, karena
dia menolak untuk memimpin perlawanan bersenjata melawan Belanda, istana tersebut
terbakar dan kota itu sepi.

Perang Tondano I
Sekalipun hanya berlangsung sekitar satu tahun perang tonando di kenal dalam dua
tahap. Perang Tondono I terjadi pada masa kekuasaan VOC. Pada saat datangnya
bangsa barat orang – orang spanyol sudah sampai di tanah Minahasa
(Tondono) Sulawesi Utara.

Orang-orang spanyol disamping berdagang juga menyebarkan agama Kristen. Tokoh


yang berjasa dalam penyebaran agam kristen di tanah minahasa adalah Fransiscus
Xaverius. Hubungan dagang orang minahas dan spanyol terus berkembang. Tetapi
mulai abad 22 hubungan dagang antara keduanya mulai terganggu dengan kehadiran
para pedagang VOC. Waktu itu VOC telah berhasil menanamkan pengaruhnya di
ternate. Bahkan gubernur Ternate bernama simon cos mendapatkan kepercayaan dari
batavia untuk membebaskan minahasa dari pengaruh spanyol. Simon cos kemudian
menempatkan kapalnya di selat lembeh untuk mengawasi pantai timur minahasa. Para
pedagang spanyol dan juga makasar yang bebas berdagang mulai tersungkir karena
ulah VOC.
VOC berusaha memaksakan kehendak agar orang-orang minahasa menjual berasnya
kepada VOC. Oleh karena itu VOC sangat membutuhkan beras untuk melakukan
monopoli perdagangan bebas di sulawesi utara. Orang-orang minahasa menentang
usaha monopoli tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi VOC kecuali memerangi orang-
orang minahasa. Untuk melemahkan orang-orang minahasa, VOC membendung
sungai temberan. Akibatnya aliran sungai meluap dan menggenangi tempat tinggal
rakyat dan para pejuang minahasa. Orang-orang minahasa kemudian memindahkan
tempat tinggalnya di danau Tondono dengan rumah-rumah apung. Pasukan VOC
kemudian mengepung kekuatan orang-orang Minahasa yang terpusat di
danau Tondono.

Simon Cos kemudian memberikan ultimatum yang isinya antara lain :

1. orang-orang Tondano harus menyerahkan para tokoh pemberontak kepada


VOC,
2. orang-orang Tondano hrus membayar ganti rugi dengan menyerahkan 50-60
budak sebagai ganti rugi rusaknya tanaman pdi karena genangan air sungai
temberan.

Ternyata rakyat Tondano bergeming dengan ultimatum VOC tersebut. Simo Cos sangat
kesal karena ultimatumnya tidak berhasil. Pasukan VOC akhirnya ditarik mundur ke
manado. Setelah itu rakyat tondano menghadapi masalah dengan hasil pertanian yang
menumpuk, tidak ada yang membeli. Dengan terpaksa mereka kemudian mendekati
VOC untuk membeli hasil-hasil pertaniannya. Dengan demikian terbukalah tanah
minahasa oleh VOC. Berakhirlah Perang Tondano I. Orang-orang Minahasa itu
kemudian memindahkan perkampungannya di danau tondano ke perkampungan baru
di daratan yang di beri nama Minawanua (ibu negeri).

Perang Tondano II
Perang Tondano II sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19, yakni pada masa
pemerintahan kolonial belanda. Perang ini di latarbelakangi oleh kebijakan Gubernur
Jendral Deandels yang mendapat mandat untuk memerangi Inggris, memerlukan
pasukan dalam jumlah besar. Untuk menambah jumlah pasukan maka direkrut pasukan
dari kalangan pribumi. Mereka yang dipilih adalah dari suku-suku yang memiliki
kebernian berperang. Beberapa suku dianggap memiliki keberanian adalah orang-
orang Madura, Dayak dan Minahasa. Atas perintah deandels melalu Kapten Hartingh,
Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para Ukung.(Ukung adalah pemimpin
dalam suatu wilayah watak atau daerah setingkat distrik).

Dari Minahasa di terget untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2000 orang yang
akan di kirim ke Jawa. Ternyata orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan
program deandels untuk meregrut pemuda-pemuda minahasa sebagai pasukan
kolonial. Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru ingin
mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Mereka memusatkan aktifitas
perjuangannya di Tondano, Minawanoa. Salah seorang pemimpin berlawanan itu
adalah Ukung Lonto ia menegaskan rakyat minahasa harus melawan kolonial belanda
sebagai bentuk penolakan terhadap program pengiriman 2000 pemuda minahasa ke
jawa serta menolak kebijakan klonial yang memaksa agar rakyat menyerahkan beras
secara Cuma-Cuma kepada belanda.

Dalam suasana yang semakin kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Gubernur Prediger
kecuali mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orang minahasa di
tondano, minawanua.

Belanda kembali menerapkan strategi dengan membendung sungai temberan. Prediger


juga membentuk 2 pasukan tangguh. Pasukan yang satu disiapkan dari danau tondano
dan pasukan yang lain menyerang minawanua dari darat. Tanggal 23 oktober 1808
pertempuran mulai berkobar. Pasukan belanda yang berpusat di danau tondano
berhasil melakukan serangan dan merusak pagar bambu berduri yang membatasi
danau dengan perkampungan minawanua, sehingga menerobos pertahanan orang-
orang minahasa di minawanua.

Walaupun sudah malam para pejuang tetap dengan semangat yang tinggi terus
bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke rumah.pasukan Belanda merasa
kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 oktober 1808 pasukan belanda dari darat
membombardir kampung pertahanan Minawanua. Serangan terus di lakukan belanda
sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan prediger mulai
mengendorkan serangannya.

Tiba-tiba dari perkampungan itu orang-orang tondano muncul dan menyerang dengan
hebatnya sehingga beberapa korban berjatuhan dari pihak belanda. Pasukan Belanda
terpaksa di tarik mundur. Seiring dengan itu sungai temberan yang di bendung mulai
meluap sehingga mempersulit pasukan belanda sendiri. Dari jarak jauh belanda terus
menghujani meriam ke kampung minawanua, tetapi tentu idak efektif. Begitu juga
swrangan yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat jaung orang-orang
tondano, Minawanua. Bahkan terpetik berita kapal Belanda yang paling besar
tenggelam di danau.

Perang Tondano II berlangsung cukup lama,bahkan sampai agustus 1809. Dalam


suasana kepenatan dan kekurangan makananan mulai ada kelompok pejuang yang
memihak kepada belanda. Namun dengan kekuatan yang ada para pejuang tondano
terus memberikan perlawanan. Akhirnya pada tanggl 4-5 Agustus 1809 benteng
pertahanan moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha
mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati dair pada menyerah.

Penyebab Perang Tondano 1808-1809

 Perang Tondano 1:
VOC memaksakan orang-orang minahasa menjual beras dgn harga murah ke
VOC akhirnya orang2 minahasa menolak dan voc memerangi orang2 minahasa
 Perang Tondano 1:
Orang-orang minahasa harus mengganti rugi perang dengan memberikan 50-60
budak ke voc.

Peristiwa Perang Tondano 1808-1809


perang yang berlangsung antara Suku Minahasa dengan Pemerintah Kolonial Belanda
di wilayah wilayah Danau Tondano semenanjung Sulawesi utara.

Penyebab Perang Tondano


dicabutnya Perjanjian Verbond yang dibuat pada tanggal 10 Januari 1679. Perjanjian
Verbond sendiri menandakan sebuah ikatan persahabatan-persahabatan antara
Minahasa dan Belanda yang diingkari sendiri oleh pihak Belanda. Orang Minahasa
yang sejak dulu dikenal tetap konsisten dalam mempertahankan nilai-nilai budaya yang
berorientasi pada kebenaran dan keadilan, serta tidak kenal kompromi kepada
siapapun yang melanggar komitmen adat tersebut.

Merasa bahwa pihak Belanda telah melakukan pengingkaran terhadap Perjanjian


Verbond telah menjadi bagian dari adat Minahasa yang menjamin kelanjutan hidup
orang Minahasa. Oleh karena itu mereka menganggap bahwa pengingikaran yang
dilakukan pihak Belanda ini merupakan suatu penghinaan fantastis terhadap nilai-nilai
kebenaran dan keadilan.

Penyebab Tondano I (1808)


Latar belakang Perang Tondano 1 : motif ekonomi yakni monopoli PENJUALAN
BERAS KEPADA VOC

 VOC berusaha memaksakana kehendak agar orang-orang Minahasa menjuala


berasnya kepada VOC, karena VOC sangat membutuhkan beras untuk
melakukan monopoli perdagangan beras di Sulawesi Utara. Orang-orang
Minahasa menentang usaha monopoli tersebut
 Perang Tonando satu terjadi pada masa kekuasaan VOC pada saat datangnya
bangsa Barat, orang-orang Spanyol sudah sampai di tanah Minahasa “Tondano”,
Sulawesi Utara. Orang-orang Spanyol di samping berdagang juga menyebarkan
agama Kristen. Tokoh yang berjasa dalam penyebaran agama Kristen di tanah
Minahasa ialah Fransiscus Xaverius.#
 Hubungan dagang orang Minahasa dan Spanyol terus berkembang, tetapi mulai
abad XVII hubungan dagang antara keduanya mulai terganggu dengan
kehadiran para pedagang VOC.
 Para pedagang Spanyol dan juga Makassar yang bebas berdagang mulai
tersingkir karena ulah VOC. Apalagi waktu itu Spanyol harus meninggalkan
Kepulauan Indonesia untuk menuju Filipina

Penyebab Tondano II (1809)

1. Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels yang


mendapat mandat untuk memerangi Inggris, sehingga memerlukan pasukan
dalam jumlah besar.
2. Untuk menambah jumlah pasukan maka direkrutlah pasukan dari kalanagan
pribumi. Mereka dipilih dari suku-suku yang memiliki keberanian berperang,
seperti suku Madura, dayak dan Minahasa
3. Atas perintah Daendels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger
segera mengumpulkan para ukung, seorang pemimpin dalam suatu
wilayah/distrik. Dari Minahasa ditarget untuk mengumpulkan calon pasukan
sejumlah 2.000 orang yang akan dikirim ke Jawa. Ternyata orang-orang
Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Daendels untuk merekrut
pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial.

Latar Belakang Perlawanan Pattimura


Latar belakang terjadinya perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan Thomas
Matulessi yang lebih dikenal dengan nama Kapiten Pattimura, adalah sebagai berikut :

1. Kembalinya pemerintahan kolonial Belanda di Maluku dari tangan Inggris.


Perubahan penguasa dengan sendirinya membawa perubahan kebijaksanaan
dan peraturan. Apabila perubahan itu menimbulkan banyak kerugian atau
penghargaan yang kurang, sudah tentu akan menimbulkan rasa tidak puas dan
kegelisahan.
2. Pemerintah kolonial Belanda memberlakukan kembali penyerahan wajib dan kerja
wajib. Pada zaman pemerintahan Inggris penyerahan wajib dan kerja wajib
(verplichte leverantien, herendiensten) dihapus, tetapi pemerintah Belanda
mengharuskannya lagi. Tambahan pula tarif berbagai barang yang disetor
diturunkan, sedang pembayarannya ditunda-tunda.
3. Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan uang kertas sebagai pengganti uang
logam yang sudah berlaku di Maluku, sehingga menambah kegelisahan rakyat.
4. Belanda juga mulai menggerakkan tenaga dari kepulauan Maluku untuk menjadi
Serdadu (Tentara) Belanda.
Berdasarkan Convention of London (1814), daerah Maluku diserahkan kembali oleh
Inggris kepada Belanda. Kedatangan Belanda kembali ke Maluku disambut dengan
banyak perlawanan rakyat. Rakyat Maluku banyak yang merasa trauma dengan
penindasan dan penghisapan pada masa VOC antara lain seperti pelayaran Hongi,
ektirpasa dan lain-lain, rakyat Maluku takut hal-hal di atas kembali terulang.

Pada tanggal 8 Maret 1817, masuklah 4 kapal perang Belanda ke Teluk Ambon. Empat
kapal itu salah satunya mengangkut 2 orang penting Belanda. Mereka adalah
Komisaris Van Middlekoop dan Engelhard. Sambutan penduduk Maluku sangat suram
dan tidak meriah karena seperti disebutkan di atas, rakyat masih trauma dengan orang-
orang Belanda.

Ketika Maluku dikuasai Inggris, seolah-olah rakyat Maluku ada pada masa yang
menyenangkan. Inggris melarang semua pelanggaran atas hak mereka, kerja paksa
dihapus, Inggris juga membeli hasil bumi Maluku dengan harga yang pantas. Ketika
Belanda kembali, rakyat Maluku seperti kecewa dan tidak senang karena mereka punya
dendam dengan orang-orang Belanda.

Perasaan trauma itu sepertinya akan terulang pada saat Residen gubernur Maluku
menginstruksikan diberlakukan kembali kerja paksa (rodi) yang telah dihapuskan oleh
pemerintah Inggris sebelumnya dan kewajiban kepada nelayan Maluku untuk
menyediakan perahu (orambai) untuk keperluan administrasi dan militer Belanda. Selain
itu yang paling berat adalah kerja paksa untuk keperluan penebangan kayu.

Sikap Belanda yang sewenang-wenang ini menimbulkan jiwa kritis rakyat Maluku timbul,
rakyat Maluku mulai membandingkan pemerintahan Inggris dengan Belanda. Orang-
orang Kristen yang dulunya kebanyakan bekerja untuk pemerintahan Inggris kini
bergabung dengan golongan Muslim Maluku untuk merencanakan perlawanan terhadap
Belanda.

Jalannya Perlawanan Pattimura


Perlawanan dimulai ketika rakyat melakukan protes di Kantor Residen Saparua di dalam
Benteng Duurstedee. Mereka menuntut agar pemerintah bersedia membayar perahu
Orambai yang dipesan oleh pemerintah Belanda dengan harga yang pantas karena
selama ini perahu orambai yang diserahkan kepada pemerintah Belanda tidak pernah
dibayar. Residen Saparua Van den Berg menolak tuntutan rakyat itu. Kejadian itu
menyebabkan kebencian rakyat Maluku semakin menjadi-jadi.

Akhirnya perlawanan dengan kekerasan senjata terhadap Belanda pun direncanakan.


Dalam pertemuan antara para pemimpin rakyat Saparua (berjumlah 100 orang)
dibicarakan mengenai rencana perlawanan dan juga dibicarakan mengenai siapa yang
akan memimpin, selain itu di dalam rapat tersebut muncul desas-desus bahwa Belanda
akan mengenakan wajib militer pada rakyat Maluku untuk ditugaskan ke Jawa, yang
mana desas-desus ini menimbulkan perasaan was-was dan semakin menambah
kebencian pada Belanda.
Dalam rapat itu seorang pria bernama Matulessy tampak mendominasi
pertemuan. Mattulessy memiliki nama lengkap ketika lahir adalah Achmat Lussy dan
biasa dipanggil Mat Lussy, ketika Maluku dikuasai Inggris Mat Lussy bekerja sebagai
anggota tentara kolonial Inggris dan memperoleh pangkat kapten (kapitan). Waktu itu
Inggris membentuk Barisan Maluku di mana ada 400 orang Maluku yang bekerja untuk
tentara Inggris.

Karena begitu akrab dengan orang Inggris dan sangat menyukai kebudayaannya Mat
Lussy bahkan berpindah agama menjadi Kristen Protestan Anglikan dan merubah
namanya menjadi Thomas Matulessy. Pengalaman di kemiliteran Inggris
membuat Mattulessy cukup disegani karena keahliannya menyusun strategi perlawanan
terhadap Belanda, maka para pemimpin adat sepakat untuk
mengangkat Mattulessy sebagai pemimpin dengan gelar Pattimura.

Pattimura menetapkan sasaran adalah Benteng Duurstede. Benteng di tepi pantai itu
akan diserang oleh pasukan yang didaratkan dari pantai. Untuk mengangkut
pasukan Pattimura merencanakan akan memakai orambai yang sedianya akan dipesan
oleh Belanda.

Benteng Duurstede adalah tempat tinggal residen Saparua Johannes Rudolph Van den
Berg yang baru berusia 29 tahun yang sejak 15 Maret 1817 menetap di sana. Ia tinggal
bersama istri dan 4 anaknya. Selain keluarga residen, benteng ini juga dijaga oleh
ratusan tentara dan pegawai administrasi.

Pada tanggal 15 Mei 1817 terjadi kerusuhan di Porto di mana sebuah perahu pos
Belanda dirampas oleh rakyat yang marah, rakyat mengancam jika Pemerintah Belanda
tidak bersedia membayar orambai maka perahu pos itu tidak akan dikembalikan berikut
isinya.

Residen Van den Berg dengan ditemani 7 pasukan pengawal berangkat ke Porto untuk
melakukan dialog dengan rakyat. Tetapi residen dan pengawalnya tidak tahu bahwa
rakyat itu adalah pengikut Pattimura. Ketika sampai di daerah Haria, residen dan
pengawalnya disergap dan semuanya berhasil ditangkap, beberapa pengawalnya
bahkan ada yang terbunuh.

Kuda residen dibunuh. Mengetahui residen ditawan oleh rakyat Saparua, maka dari
Benteng Duurstede dikirimkan sekelompok pasukan senapan berjumlah 20 orang dan 12
orang Jawa bersenjatakan tombak. Di tengah jalan 32 orang serdadu itu dihujani dengan
panah.

Pattimura kemudian membebaskan Van den Berg setelah residen ini mengancam bahwa
jika seorang residen ditahan maka pemerintah Belanda di Batavia tidak akan tinggal diam
dan pasti akan menghukum seluruh rakyat Maluku. Akhirnya residen dibebaskan dengan
jaminan bahwa residen telah menganggap insiden penyanderaan itu selesai dan tidak
akan memperpanjangnya selain itu residen berjanji akan melunasi orambai yang dibeli
Belanda
Sementara itu, setelah membebaskan residen dan pengawalnya Pattimura dan
pasukannya segera menuju Benteng Duurstede dengan menaiki orambai-orambai yang
berjumlah puluhan.

Pagi hari sebelum matahari terbit orambai-orambai itu sudah sampai di pantai dan ribuan
orang segera turun ke darat dan langsung melakukan serangan sporadis ke
Benteng Duurstede. Pihak Belanda sangat kaget dengan serangan ini dan berusaha
bertahan mati-matian. Tetapi tanpa dinyana dari hutan di belakang benteng juga terjadi
serangan dari rakyat.

Akhirnya Benteng Duurstede berhasil direbut tanggal 16 Mei 1817, seluruh isi benteng
dibunuh termasuk residen dan keluarganya termasuk 4 anaknya yang masih kecil juga
jadi korban sabetan kelewang yang tak bermata. Rakyat Maluku yang bekerja untuk
Belanda juga menjadi korban. Namun, kemudian diketahui bahwa anak tertua Van den
Berg tidak mati karena dia bersembunyi di bawah tumpukan mayat.

Dengan jatuhnya Benteng Duurstede maka senjata-senjata yang ada di dalamnya juga
ikut dirampas dan semakin menguatkan kedudukan Pattimura. Setelah menduduki
benteng, Pattimura menurunkan bendera merah putih biru Belanda dan mengibarkan
bendera Union Jack Inggris.

Sore harinya anak tertua Van den Berg ditemukan oleh salah seorang pemberontak
bernama Samuel Pattiwael. Semua pasukan pemberontak ingin membunuhnya tetapi
Pattimura mencegahnya dan bahkan mengangkat anak itu sebagai anak tirinya. Anak
Van den Berg itu bernama Jean Lubbert.

Berita jatuhnya Benteng Duurstede dan terbunuhnya Residen Van den Berg sampai ke
Batavia. Pemerintah Hindia-Belanda segera memerintahkan Mayor Beetjes untuk
memimpin 242 pasukan dan 2 meriam untuk merebut kembali benteng itu. Pasukan itu
akan dikirim dengan perahu tanpa perlindungan kapal perang. Hal ini dilakukan karena
Pemerintah Belanda di Ambon memandang kedudukan Belanda di Ambon masih labil
sehingga kapal-kapal perang harus tetap berada di Ambon.

Tanpa perlindungan kapal perang Beetjes berhasil mendarat di Pantai Wae


Sisil. Usaha Beetjes menemui kegagalan, setelah mendarat pasukannya disergap oleh
ribuan rakyat Saparua dihancurkan di pantai Wae Sisil depan Benteng Duurstede dan
bahkan ia sendiri terbunuh.

Kemudian dikirim pasukan lagi yang lebih besar (950 orang) yang dipimpin oleh Letnan
Kolonel Groot. Tetapi setelah pertempuran yang besar dan habis-habisan pasukan
ini pun bisa dihancurkan. Lagi-lagi pasukan Belanda ini tidak dilindungi oleh kapal perang.

Keberhasilan Pattimura ini menghilhami para pemimpin Maluku di lain daerah dan
mereka pun mengobarkan perlawanan terhadap Belanda. Di Hitu perlawanan dipimpin
oleh raja Ulupaha yang berusia 80 tahun. Selain itu seorang raja bernama Paulus
Tiahahu juga membantu perlawanan Pattimura dengan dukungan ekonomi dan bahkan
penyediaan logistik dan pasukan. Bahkan salah seorang putri raja bernama Christina
Martha Tiahahu memimpin perlawanan Maluku dari laut dan darat dengan cara
membajak kapal Belanda di perairan Maluku.

Politik Devide et Impera dijalankan, Belanda mulai mendekati beberapa tokoh Maluku
yang berpengaruh seperti raja, kepala suku, pendeta Kristen dan tokoh berpengaruh
lainnya untuk ikut membantu mengalahkan Pattimura dan pengikutnya yang masih
bercokol di Benteng Duurstede.

Akhirnya pasukan besar berjumlah 2000 orang dibawah pimpinan Brigadir Jenderal
Buijskes didaratkan di Saparua pada tanggal 30 September 1817 dan mengepung
Benteng Duurstede. Kali ini serangan Belanda didukung oleh sebuah kapal perang
penjelajah Maria Van Reigersbergen. Pattimura saat itu tidak sedang berada di benteng
sehingga tidak berhasil ditangkap. Akhirnya benteng itu pun jatuh pada tanggal 3 Oktober
1817 dan beberapa tokoh pemimpin perlawanan ditangkap.

Brigadir Jenderal Buijskes kemudian memecat Residen Van Middelkoop dan Komisaris
Engelhard. Buijskes mengangkat dirinya sebagai residen militer dan bertanggung jawab
atas Maluku. Buijskes kemudian mengirim surat kepada Raja Ternate dan Tidore. Dia
meminta kepada kedua raja itu untuk mengirim pasukan membantu Belanda. Dalam
suratnya itu Buijskes membawa-bawa sentimen agama untuk memecah belah. Kedua
raja itu pun terpengaruh. Pada awal November 1817, sebanyak 1500 pasukan Ternate
dan Tidore dari Suku Alfuru berikut perahu kora-kora nya bergabung dengan Belanda.

Bergabungnya 1500 pasukan Ternate-Tidore dari suku Alfuru ini membikin moral
pasukan Pattimura sedikit kendor. Mereka merasa ngeri dengan kebengisan orang-orang
Alfuru yang suka memenggal kepala jika membunuh musuhnya.

Pattimura membangun pertahanannya yang terdiri dari batu-batu karang. Bahkan peluru
meriam Belanda tak mampu menghancurkannya. Pattimura membangun benteng karang
ini di tempat-tempat strategis. Pertahanan ala Pattimura ini menimbulkan rasa salut
Belanda pada Pattimura.

Pada tanggal 9 November Kapal-kapal perang Belanda menghujani sebuah benteng


karang milik pasukan Maluku. Setelah dibombardir dengan berat akhirnya kapal-kapal itu
mendaratkan 3 kompi pasukan dan mengambil posisi mengepung serta menutup tiap-
tiap celah, sementara kapal-kapal perang tetap menembaki, karena terus dikepung dan
ditembaki akhirnya orang-orang Maluku tidak tahan lagi dan menyerah. Akhirnya dengan
taktik ini Belanda mampu merebut benteng-benteng yang lain.

Akhir Perlawanan Pattimura


Kini Belanda di atas angin, dan Pattimura makin terdesak dan terpaksa harus melawan
secara gerilya.Usaha pembersihan kemudian dilakukan Belanda untuk meredam
terulangnya kembali pemberontakan dan yang paling utama adalah
menangkap Pattimura.

Usaha Belanda menangkap Pattimura terus menerus mengalami kegagalan dan


akhirnya Pattimura ditangkap di sebuah rumah di daerah Siri Sori. Pattimura dapat
ditangkap karena pengkhianatan salah satu anak buahnya. Karena Pattimura bukanlah
raja maka dia diperlakukan seperti tawanan perang rendahan. Tertangkapnya Pattimura
ini tidak membuat surut perlawanan Maluku. Raja Manusama Paulus Tiahahu dari Abobu,
Nusa Laut terus melakukan pemberontakan dengan cara membajak kapal-kapal
Belanda.

Untuk menumpas pemberontakan Belanda bertindak sangat kejam dalam menghukum


daerah yang dicurigai sebagai sarang pemberontak. Rumah-rumah dibakar. Orang-orang
Ternate dan Tidore yang membantu Belanda diijinkan untuk merampok dan merampas
desa-desa di Saparua.

Raja Abobu Manusama Paulus Tiahahu akhirnya berhasil ditangkap beserta putrinya
Christina Martha Tiahahu yang masih kecil (kurang lebih 17 tahun). Komodor VarHuell
diperintahkan memimpin kapal perang Evertzen ke Nusa Laut. Sesampainya di Nusa
Laut Evertzen mendapat penumpang istimewa yaitu Paulus Tiahahu dan anaknya
Christina Martha Di pantai telah berkumpul rakyat Nusa Laut.

Kemudian raja digiring ke geladak kapal dan ditembak di depan anaknya dan disaksikan
oleh rakyatnya dari pantai. Akhirnya karena masih kecil, Christina Martha dibebaskan.
Tetapi Christina malah meneruskan perlawanan bapaknya. Sampai akhirnya ia kembali
tertangkap bersama 39 orang sisa pengikutnya. Akhirnya 40 orang tahanan itu dibawa
ke Batavia dengan kapal Evertzen-kapal tempat ayah Christina dihukum mati. Di tengah
perjalanan Christina tidak mau makan, sampai akhirnya ia mati kelaparan. Pada tanggal
1 Januari 1818 jenazah Christina dibuang ke laut.

Pada tanggal 16 Desember 1817, para pemimpin perlawanan Maluku dihukum gantung
di Benteng Nieuw Victoria di tepi pantai Ambon. Mereka adalah Pattimura, Anthoni Ribok,
Philip Latumahina, dan Said Parintah. Anak Residen Van den Berg yang telah
dikembalikan kepada Belanda diharuskan menyaksikan hukuman ini. Upacara eksekusi
ini cukup megah karena dimeriahkan dengan formasi kapal perang Belanda dan kora-
kora Ternate dan Tidore, salvo meriam dan marching band.

Kemudian paduan suara gereja menyanyikan lagu-lagu rohani. Kemudian seorang


tentara berpangkat kapten membacakan kesalaahan-kesalahan Pattimura dan kawan-
kawan untuk kemudian membacakan keputusan vonis mati dengan digantung. Sebelum
digantung Pattimura mengucapkan sebuah kata-kata yang terkenal. ”Pattimura-
Pattimura tua boleh mati tetapi Pattimura-Pattimura muda akan bangkit kembali dan
melawan.” Akhirnya matilah Pattimura dan kawan-kawan. Jenazah-jenazah para
pemberontak ini dibiarkan bergantung di muka umum sampai membusuk.

Jean Lubbert-anak Van den Berg, memohon kepada Pemerintah Belanda agar ia
diizinkan melengkapi namanya menjadi Van den Berg Van Saparua untuk mengenang
Pattimura. Perlawanan rakyat Maluku berhenti setelah banyak pemimpin yang tertangkap
atau terbunuh.

Anda mungkin juga menyukai