Anda di halaman 1dari 17

SEJARAH MATARAM MENYERANG BATAVIA

Tahun 1628 dan 1629 Pasukan Mataram Menyerang dan Mengepung Benteng Batavia.
Dalam buku-buku sejarah nasional, pada tahun 1628 dan 1629 disebutkan sebagai
tahun-tahun penyerangan pasukan Mataram ke Batavia, atas perintah Sultan Agung.
Meskipun penyerangan dua kali itu tidak berhasil mengusir Belanda (VOC) dari tanah
Jawa, sekalipun telah di terapkan strategi penyerangan dan penaklukkan kota
Surabaya di tahun 1625. Namun manfaatnya ada. juga, yaitu Gubernur Jendral Jan
Pietersz Coen (Murjangkung) mati kena disentri akibat pengepungan terhadap Batavia.
Dalam Babat Tanah Jawi (edisi Meinsma Noordhoff, Gravenhag 1941) perang dipimpin
oleh para Senapati Kerajaan Mataram antara lain, Mandurareja, Bahureksa dan Sura
Agul Agul di bawah koordinator Panembahan Purubaya, yang sangat terkenal
kesaktiannya. Sambil mengisap pipa, Panembahan Purubaya terbang memonitor
jalannya perternpuran, yang sekali-kali menyerang tembok benteng VOC hingga jebol
seukuran tubuh manusia. Sehingga penyerangan di tahun 1628 dan 1629 itu seakanakan hanya sekali saja, juga tidak dijeiaskan pihak mana yang menang atau kalah.
Yang jelas pasukan Mataram mundur teratur karena kelicikan tentara Belanda dalam
berperang, setelah mereka kehabisan mesiu, meriam-meriamnya diisi dengan tinja dan
ditembakan kearah pasukan Mataram. Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan, bahwa
pasukan Mataram yang terkena tinja langsung terjun ke sungai membersihkan diri.
Pasukan Mataram yang masih hidup sebagian langsung kembali ke Negara Mataram,
karena jijik dan najis terkena tinja yang digunakan tentara Belanda. Peristiwa tersebut
oleh pasukan Mataram disebut dengan "mambet tai" (bau tai), yang kemudian lahir
istilah "mBetawi", jadi bukan herasal dari Batavia.
SEJARAH MATARAM MENYERANG BATAVIA
Yang menarik dari geografi kesejarahan (historical geography) adalah, bahwa
penyerangan pada tahun 1628 dan 1629 itu terjadinya sama-sama pada bulan
September, yang saat itu musim kemarau. Masuk akal bahwa, sungai Ciliwung mudah
dibendung atau airnya clibelokkan kesungai lain. Akibatnya sungai Ciliwung kering,
penuh dengan bangkai hewan dan menyebarkan penyakit antara lain disentri, yang

menjadi korban di antaranya Jan Pietersz Coen (Murjangkung).


Dalam buku sejarah menyebut digunakannya strategi penaklukan Surabaya, sehagai
pengalaman yang berguna. Sebenarnya kurang tepat, karena penguasa di Surabaya
menyerah tanpa syarat kepada pasukan Mataram pada Mei 1625. Sebelum musim
kemarau datang, pada waktu itu masih mangsa sada (musim hujan) bulan ke 12. Kali
Brantas di bentuk tidak di luar kota Surabaya, tetapi di desa Terusan di kawasan
Mojokerto di mana sungai mulai bercabang membentuk delta. Semua air dialirkan
masuk kali Porong sehingga kali Mas airnya berkurang, namum masih mampu
menghanyutkan berbagai bangkai hewan dan buah-buahan aren, yang busukannya
dapat menularkan aneka penyakit kulit.
Untuk dapat mencapai Batavia pada bulan Agustus, pertu istirahat dan persiapan
menyerbu memerlukan waktu sebulan. Maka pasukan Mataram sudah harus berangkat
dari Ibukota Kerta (sebelah Tenggara kota Yogyakarta) pada bulan Mei, untuk mencapai
Batavia diperlukan perjalanan 90 hari. Rute yang dipakal adalah menyusuri pantai Utara
Jawa Tengah, yaitu Pekalongan, Tegal dan Cirebon, lalu membelok masuk pedalaman
Jawa Barat, ialah Sumedang, Cianjur, dan Pakuan (nama Bogor belum ada), lalu turun
ke Ciliwung menuju Batavia. Ini sesuai dengan perintah Sultan Agung, Mandurareja,
sira ngulurga maring Batavia, ing mengko wis kancikan marang wong Landa. Negara
Jakarta sira rebuta, wong Landa tundhungen teka ing kana! (Babad Tanah Jawi).
SEJARAH MATARAM MENYERANG BATAVIA
Memang kegiatan penyerangan harus dicocokkan dengan pranatamangsa, yang hal ini
memudahkan pihak Belanda untuk siap sedia pada waktunya. Perang hanya.
dimungkinkan sehabis panenan padi masuk lumbung (April- Mei), hingga masuk akal
apabila di Gebang dan Cirebon didirikan lumbung-lumbung padi, karena dilalui rute
perjalanan pasukan Mataram yang akan menyerbu Batavia. Di bakarnya lumbunglumbung padi oleh Para cecunguk VOC mudah dilakukan, karena di bulan Juni dan Juli
adalah musim kemarau dengan angin yang kencang. Musim kemarau ini (mangsa kasa
dan karo) juga memudahkan armada kapal yang berasal dari Jepara dan Tegal
digerakkan ke Batavia, dikarenakan arus laut dominan ke Barat.

Menurut perhitungan pasukan Mataram, Belanda dapat dikalahkan secepatnya. Namun


kenyataannya tidak demikian hingga awal bulan Desember 1629, Belanda belum juga
menyerah dan sementara itu mangsa labuh (awal musim penghujan) telah tiba. Dapat
dibayangkan bagaimana paniknya prajurit Mataram yang ikut ke Batavia karena milisi,
mereka teringat akan sawah-sawah yang menanti tenaga mereka untuk digarap.
Merosotnya semangat pasukan Mataram bertambah waktu mendengar bunyi
genderang Belanda bertalu-talu, padahal mayat serdadu Belanda sendiri telah banyak
berserakan, namun tidak ada yang mau keluar dari benteng pertahanannya. Soal
penembakan dengan tinja terhadap pasukan Mataram, menurut Dr. De Graaf itu bukan
hal tidak mungkin terjadi karena dalam laporan Valentijn, benteng pertahanan
Maagdenburg hingga bertahun-tahun dalam abad 17 disebut kota tai.
Selama musim penghujan (Desember-Februari) Sultan Agung tidak mengadakan
perang, karena penduduk harus giat bertani hingga pada masa panen (Maret - Mei).
Penerimaan tamu-tamu utusan VOC ke Ibukota Mataram Kerta, juga di laksanakan
dalam bulan-bulan makmur itu. Ini dapat di baca dalam laporan dokter De Haan dan
Van Zuerck, sebagai tertera dalam De Geschiedenis van Java II tulisan Fruin Mees:
"Desa-desa yang kami lewati serba makmur dan pasar-pasar penuh dengan
dagangan". Selanjutnya pada bulan Juli - September (mangsa katiga), diisi dengan
serbuan-serbuan ke kawasan musuh atau ekspedisi hukuman terhadap bupati-bupati
yang berontak. Lalu pada mangsa labuh (Oktober - Desember) selain sawah-sawah
digarap dan ditanami, juga di lakukan pemindahan paksa penduduk dari kawasankawasan rawan kepemukiman baru misalnya ke Krawang.
Geografi Jawa Tengah pada abad 17 dapat di telusur dari buku Fruin Mees tersebut di
atas, misalnya rute perjalanan utusan VOC untuk beraudiensi kepada Sultan Agung di
Kraton Kerta. Dari Batavia mereka naik perahu menuju Tegal lewat Cirebon dan dari
sana naik kuda ke Timur lewat Sumber, Pemalang, Wiradesa, Pekalongan, Batang,
Subah. Lalu, masuk kepedalaman Jawa Tengah, mendaki lereng gunung Pakiswiring,
Larangan, Tajem yang kemudian turun menyusuri piriggir Kali Progo lewat Jumo, Pakis,

Payaman, Tidar , Sukerwe, Turen, Ariapati, Minggir dan Pingit yang letaknya dua jam
perjalanan dari Ibukota Mataram.
Tetapi dalam laporan tahun 1623 pulangnya ke Batavia dokter De Haan melalui rute
Tempuran (sebelah Barat Pakis), Pabelan (Barat Laut Muntilan), Menta (sebelah Utara
Jumo), Muntung, Turen lain Kendal yang letak gapura Tol tidak di Pingit tetapi di Desa
Kaliajer, waktu perjalanannya tiga jam dari Ibukota Mataram. Disamping rute lewat
Kedu, ibukota Mataram dapat dicapai dari pesisir Utara lewat rute Tidar, yang dari
Jepara atau Demak ke Bringin, Tingkir (Salatiga), Pengging, Taji (dekat Prambanan),
Kota Gede langsung Kerta.
Pihak VOC tahu betul, bahwa Batavia tidak akan diserang sekitar bulan Desember dan
Januari, di waktu perahu-perahu Mataram dari lautan dapat masuk kepedalaman
karena sekitar Batavia kawasannya kebanjiran di musim hujan. Dalam buku Priangan II
tulisan De Haan, dekat Batavia ada pelabuhan Sunda Kelapa, yang vegetasinya
memang banyak pohon-pohon kelapa. Daerah tersebut merupakan rawa-rawa luas,
yang pada setiap musim penghujan tinggi air sampai lutut. Juga wilayah sebelah Timur
Batavia, di situ orang dapat keluar masuk hutan dengan naik sampan. Rawa-rawa
disekeliling Batavia sudah ada sejak abad pertama Masehi, kawasan yang agak kering
adalah disebelah timurnya yaitu, lembah hilir Citarum di mana pada abad ke 4 berdiri
kerajaan Tarumanegara.
Pada tahun 1628 dan 1629 ketika Bataviaia diserang oleh Mataram, Kawasan yang kini
bernama Jatinegara masih berwujud hutan belukar, tempat bersembunyi para prajurit
Mataram. Untuk mencegah serbuan pasukan Mataram berikutnya, VOC mengadakan
razia berulang-ulang dan memerintahkan penduduk membabat habis hutan belukar
tersebut, De Graaf menyebut tahun-tahun serangan ke Batavia oleh Mataram sebagai
puncak kejayaan/ keagungan Kerajaan Mataram.
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Susuhunan Amangkurat Senapati Ing
Ngalaga Ngabdulrahman Sayidin Panatadinan (Amangkurat Agung), menjadi raja di

Plered Mataram ketika tahun 1570 Jawa Windu Sancaya sampai dengan tahun 1602
Jawa, menjabat sebagai raja selama 32 tahun (tahun Masehi 1645 - 1677). Terkenal
dengan nama Ingkang Sinuwun Amangkurat yang dimakamkan di Tegal Arum.
Selama dalam pemerintahan beliau Kangjeng Susuhunan Amangkurat I memegang
kondisi kerajaan, Kompeni (V.O.C= Vereenigde Oost Indische Compagni) yang
berulangkali mengirimkan utusan antara lain Tuan Rijkloff van Goens untuk mengantar
upeti kepada Sultan Amangkurat I, Tuan Rijkloff van Goens menulis karangan
mengenai permasalahan:

Keadaan keraton di Palered Mataram serta keadaan kota kerajaannya, tertulis di


tahun 1655

Keadaan pulau Jawa tertulis di kota Amsterdam tanggal 25 Maret 1656.

Kepergian dari Semarang ke Mataram, tertulis di kota Amsterdam pada tanggal


25 Apri11656.
Sultan Amangkurat I/Agung adalah putra Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, yang
ke 10 dari istri Prameswari Kangjeng Ratu Kencana berasal dari Kadipaten Batang
(Tegal), atau Kangjeng Ratu Wetan putri Raden Rangga Wangsa Adibrata (Adipraja) II
putra menantu Mandurareja I. Pusat Pemerintahan Mataram di bawah kekuasaan
Sultan Amangkurat Agung, dipindah dari Kraton Kerta ke Kraton Plered yang di bangun
di masa pemerintahan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, bekas Kraton Kerta
hanya dipergunakan sebagai pesanggrahan. Meskipun di Kraton Plered yang baru,
Sultan Amangkurat Agung masih juga aktif bersembayang ke Masjid Ngeksigondo,
dengan di kawal oleh para punggawa-punggawa Kraton yang begitu banyak, sehingga
pengawalan para prajurit itu seakan-akan Kangjeng Sultan Amangkurat naik burung
Garuda dari Kraton menuju ke Masjid hanya sekejap mata saja.
Setelah bertahta agak lama, beliau hanya mementingkan kenikmatan keduniawian,
dengan memelihara selir banyak bahkan menyimpan gadis kecil yang dititipkan kepada
Tumenggung Wirareja, agar nantinya setelah menginiak dewasa akan dijadikan selir.
Gadis ini bernama Rara Hoyi, gadis pingitan dari Surabaya yang di bawa Pangeran

Pekik Adipati Surabaya. Pada suatu hari Pangeran Adipati Anom (Pangeran
Tejaningrat) berkunjung kerumah Tumenggung Wirareja, dengan tidak terduga di
Katemanggungan ada seorang gadis yang sedang membatik kain. Sang Pangeran
merasa terpikat hatinya, demi melihat gadis yang cantik molek yang tumbuh di sebuah
tamansari Katemenggungan Wirarejan. Begitu pula Rara Hoyi setelah bertemu
pandangan matanya terasa berdebar-debar jantung hatinya, dan segera lari masuk
Pendapa Katemenggungan. Sambil duduk termangu-mangu Sang Pangeran menunggu
kehadiran si cantik jelita, namun tidak mungkin keluar karena malu.
Ki Tumenggung Wirareja keluar menghadap Sang Pangeran dengan sembahnva,
sambil unjuk atur: "Pangeran, anak gadis yang Paduka cari itu sebenarnya putri piningit
dari Surabaya, yang akan menjadi istri selir ayahanda Sultan Amangkurat Agung".
Setelah Sang Pangeran mendengar keterangan dari Ki Tumenggung Wirareja, segera
pamit kembali ke Kasatriyan. Di Kasatriyan Sang Pangeran tidak dapat tidur dan selalu
terbayang-bayang wajah gadis itu, yang selalu menggoda dipelupuk matanya, akhirnya
Sang Pangeran jatuh sakit. Hal itu terdengar oleh Kangjeng Ratu Wandansari istri
Pangeran Pekik, bahwa Sang Pangeran jatuh sakit wuyung kasmaran dengan Rara
Hoyi, sengkeran Sang Sultan Amangkurat Agung. Atas persetujuan Pangeran Pekik,
Rara Hoyi di bawa masuk ke Kraton dan di tempatkan di Kasatriyan untuk mengobati
penyakit Sang Pangeran, Pangeran Pekiklah yang bertanggung jawab apabila sang
ayah marah. Menurut pendapatnya semestinya sang ayah mau mengalah dengan
anaknya, "Ora ana macan arep tegel mangan gogore". Dugaan itu ternyata meleset,
setelah Sang Sultan mendengar kalau Rara Hoyi jatuh cinta kepada Sang Pangeran,
malah mendapat dukungan Pangeran Pekik, beliau geram dan murka.
Pangeran Pekik, Kangjeng Ratu Wandansari, Pangeran Tejaningrat, begitu pula
Tumenggung Wirareja dan Nyi Tumenggung dipanggil menghadap Sultan Amangkurat
Agung. Dalam pasewakan yang luar biasa Sang Sultan marah-marah, dan menjatuhkan
hukuman mati kepada Pangeran Pekik dan Tumenggung Wirareja berdua, yang
jenasahnya dimakamkan di Banyu Sumurup. Adapun Pangeran Tejaningrat harus
membunuh Rara Hoyi dari tangannya sendiri, dengan membawa keris terhunus

meninggalkan paseban menuju Kasatriyan, namun sesampai di Kasatriyan tidak tega


akan menusuk Rara Hoyi. Tetapi Rara Hoyi tanggap, bahwa yang menyebabkan onar di
dalam Kraton Mataram adalah dirinya, maka setelah melihat Sang Pangeran membawa
keris terhunus, ditancapkanlah keris itu hingga tembus sampai ke punggungnya
sehingga Rara Hoyi meninggal seketika itu juga. Geram Sang Sultan Amangkurat
Agung belum mereda dan memerintahkan, agar Kasatriyan di bakar habis-habisan
sedangkan Pangeran Tejaningrat diasingkan ke Hutan Larangan. Di hutan larangan
Pangeran Tejaningrat kedatangan Panembahan Purubaya Banteng Wulung Mataram,
mengajak Trunajaya anak kemenakannya Adipati Cakraningrat dari Sampang Madura.
Maksud kedatangannya mengajak berunding, agar Pangeran Tejaningrat mau merebut
kekuasaannya Sang Ayah Sultan Amangkurat Agung, karena beliau telah bertindak
sewenang-wenang terhadap anaknya sendiri serta para kawulanya. Pangeran
Tejaningrat menerima bujukan itu dengan janji: Apabila Trunajaya dapat menundukkan
Sultan Amangkurat Agung, akan diangkat menjadi Patih di kelak kemudian setelah
Pangeran Tejaningrat atau Pangeran Adipati Anom naik Takhta Kerajaan. Dengan
kekuatan prajurit yang luar biasa, Trunajaya menyerbu Kraton Plered dengan di Bantu
oleh orang-orang Makasar, yang dipimpin Kraeng Galengsong, Kraeng Naba dan lainlainnya dan memporak-porandakan keadaan dalam Kraton. Pangeran Tejaningrat
secara diam-diam menyusup ke Kraton, mengajak Sang Ayah Sultan Amangkurat
Agung, agar meninggalkan Kraton mengungsi ke Barat untuk menyelamatkan diri.
Trunajaya dapat menduduki Kraton Plered dan mengangkat dirinya sebagai
Panembahan maduretno, semua isi Kraton disita dan bagi-bagikan kepada para
prajuritnya serta istri Sultan Amangkurat Agung, Kangjeng Ratu Kencana (Kangjeng
Ratu Klenting Kuning) di boyong ke Kediri.
Di tempat pengungsiannya Ajibarang, Sultan Amangkurat Agung memerintahkan
kepada anaknya Pangeran Tejaningrat, agar mau merebut kembali Kraton Plered, akan
tetapi Sang Pangeran tidak sanggup melawan Trunajaya. Di dalam hatinya Pangeran
Tejaningrat telah berjanji, kalau Trunajaya telah dapat menduduki Kraton tentu akan
menyerahkan kedudukannya itu kepadanya, tetapi Trunajaya melanggar janji dalam

pribahasa disebut Ngemut gula krasa legi, eman yen nganti di lepeh. Setelah Sri Sultan
Amangkurat Agung memerintahkan anaknya tidak mau, lalu mengeluarkan Prasapta
bahwa: Semua keturunan Raja di larang mengadakan ziarah ke leluhurnya.
Di Bantu oleh Adipati Mertalaya di Tegal, prajurit Mataram mengejar prajurit Trunajaya
ke Kediri, yang selanjutnya Sultan Amangkurat Agung meminta bantuan VOC untuk
menangkap Trunajaya ke daerah Kediri. Sultan Amangkurat Agung sesampainya di
desa Pasiraman menemui ajalnya dan dimakamkan di Tegalarum Tegal, sedangkan
Pangeran Adipati Anom memakai selempang Oranye Nasau dari Belanda, diangkat
sebagai Admiral dan mendapat sebutan Sultan Amangkurat Amral. Kraton Plered telah
rusak dan tidak pantas lagi di tempati oleh seorang Raja, maka Kraton dipindahkan ke
Kartasura artinya Karta = ramai dan sura = pemberani.
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Susuhunan Amangkurat II Senapati Ing
Ngalaga Sayidin Panatadinan (Amanakurat Amral) menjadi raja di Plered Mataram
ketika tahun 1602 sampai tahun 1605 Jawa/tahun Masehi 1677 - 1680, selanjutnya
Kraton dipindah ke Kartasura pada tahun 1605 Jawa/ tahun Masehi 1680, lama
bertakhta 26 tahun sejak tahun 1602 sampai dengan tahun 1628 Jawa/tahun Masehi
1677 - 1703.
Sebelum memilih Kraton baru sebagai pengganti Kraton Plered, yang telah porak
poranda oleh serbuan prajurit Trunajaya. Ada tiga lokasi pilihan antara lain; Logender
yang terbuka dan cukup air, Tingkir di daerah bagus dan sejuk serta Wanakerta yang
menjadi pilihan lokasi untuk Kraton baru, karena datarannya luas dan airnya cukup.
Adipati Urawan lah yang memberi keterangan ini kepada Sultan Amangkurat Amral,
yang disetujuinya asal Kraton baru itu di bangun menurut pola Konsentrik Kraton
Plered.
Selama tujuh bulan Kraton itu di bangun mengikuti pola Konsentrik Kraton Plered, yang
Betengnya terbuat dari gundukan tanah yang luas dan tebal disangga papan pelindung
di luar dan dalam. Semak berduri mengelilingi bagian depan benteng, parit lebar berair

(ja gang) mengelilingi seluruh Kedhaton. Di luar tembok Baluwarti bagian Selatan dan
Alun-Alun Utara, semua bangunan belum ada yang berdinding batu bata masih berbilik
bambu dan beratap rumbia. Pada tanggal 11 September 1680 Sultan Amangkurat
Amral, memasuki Kraton yang baru dan nama Wanakerta diganti menjadi Kartasura
Hadiningrat, adapun Kraton Kartasura baru kelihatan megah dan sempurna pada tahun
1682.
Sultan Amanmgkurat II/Amral kembali memakai Mahkota Majapahit, yang terbuat dari
emas murni dan bertakhta di Kraton yang baru Kartasura. Pada hari-hari Raya para
bangsawan bersembah sujud di hadapan Sri Sultan Amangkurat II, pesta-pesta
disemarakkan lagi oleh irama gamelan yang melantun meriah. Alun-Alun yang luas
itupun kembali diramaikan dengan para penunggang kuda yang tangkas bermain
sodoran (wata-ngan), putri-putri cantik membawakan tarian Serimpi dan Bedaya.
Bahkan Raja-Raja Negeri Seberang juga menghormati Raja Mataram, dengan
mengirim utusan yang sangat banyak. Mereka tertegun melihat ribuan prajurit Kraton
berkumpul dalam waktu seperempat jam saja di Alun-Alun (De Graaf 1989).
Selama 23 tahun Sultan Amangkurat II/Amral menikmati Kraton Kartasura, sambil
menghadapi pemberontakan bersenjata antara lain pemberontakan Pangeran Puger
adiknya sendiri, yang tidak mau mengakui Sultan Amangkurat II menjadi Raja karena ia
merasa yang merebut Kedhaton Plered dari tangan pemberontak.
Kemudian muncul pemberontakan dari sisa pengikut Trunajaya pimpinan Wanakusuma,
yang didalangi Panembahan Kajoran lalu pemberontakan Untung Surapati melawan
VOC, ikut melibatkan Kraton Kartasura secara tidak langsung.

Latar Belakang
VOC yang sebelumnya bermarkas di Ambon, Kepulauan Maluku,
mengirimkan dutanya untuk mengajak Sultan Agung agar mengizinkan VOC untuk
mendirikan loji-loji dagang di pantai Utara Mataram. Namun hal ini ditolak Sultan Agung

karena bila diizinkan maka ekonomi di pantai Utara akan dikuasai oleh VOC. Penolakan
ini membuat hubungan Mataram dan VOC sejak saat itu renggang.
Pada tahun 1619 VOC berhasil merebut Jayakarta (di bagian Barat pulau Jawa yang
belum ditaklukkan Mataram) dariKesultanan Banten, dan mengganti namanya menjadi
"Batavia" (sekarang Jakarta). Markas mereka pun dipindah ke kota Batavia. Menyadari
kekuatan bangsa dan maskapai dagang Belanda tersebut, Sultan Agung mulai berpikir
untuk memanfaatkan VOC dalam persaingannya
menghadapi Surabaya dan Kesultanan Banten.
Sasaran Mataram berikutnya setelah Surabaya jatuh adalah Banten yang ada di ujung
Barat pulau Jawa. Akan tetapi posisiBatavia yang menjadi penghalang perlu diatasi
terlebih dahulu oleh Mataram. Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegaldikirim
sebagai duta ke Batavia untuk menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat
tertentu dari Mataram. Tawaran tersebut ditolak pihak VOC sehingga Sultan Agung
memutuskan untuk menyatakan perang.
Serangan pertama
Peta Batavia di sekitar tahun 1627. Di sebelah kiri gambar, yang mengarah ke utara,
terlihat Kasteel.
Armada Bahureksa membawa 150 ekor sapi, 5.900 karung gula, 26.600 buah kelapa
dan 12.000 karung beras. Pihak Mataram menyampaikan hal ini sebagai alasan
keinginan Mataram berdagang dengan Batavia. Namun pihak Belanda curiga. Hari
berikutnya, mereka menyetujui sapi diturunkan, dengan syarat kapal Mataram hanya
menepi satu demi satu. 100 prajurit bersenjata dari garnisun Kasteel (benteng) keluar
untuk menjaga-jaga.
Hari ketiga, tujuh lagi kapal Mataram muncul, dengan alasan ingin minta surat jalan dari
pihak Belanda agar dapat berlayar ke Melaka, saat itu di bawah kekuasaan VOC.
Belanda memperkuat penjagaan di dua benteng kecil utara dan menyiapkan artilerinya.
Sore hari itu, duapuluhan kapal Mataram menurunkan pasukannya di depan Kasteel.

Belanda terkejut dan buru-buru masuk benteng kecil. Sejumlah kapal Mataram lain
mendaratkan prajuritnya. Pasukan Mataram kemudian dihujani tembakan dari Kasteel.
Tanggal 25 Agustus, 27 kapal Mataram lagi masuk teluk, namun berlabuh agak jauh
dari Kasteel. Di sebelah selatan Batavia, serdadu Mataram mulai tiba, dengan panji
perang berkibar. Mataram telah menyatakan dengan jelas keinginannya menyerang
Belanda. Esok harinya, terhitung 1.000 prajurit Mataram memasang kuda-kuda di
depan Batavia. Tanggal 27 Agustus, mereka menyerang benteng kecil "Hollandia" di
sebelah tenggara kota. Sekompi berkekuatan 120 prajurit di bawah pimpinan
Letnan Jacob van der Plaetten berhasil menghalang mereka, setelah pertempuran yang
dahsyat. Sementara beberapa kapal Belanda datang dari Banten dan Pulau Onrust dan
mendaratkan 200 prajurit. Kini Kasteel dipertahankan oleh 530 prajurit.
Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja (cucu Ki Juru
Martani). Total semuanya adalah 10.000 prajurit. Perang besar terjadi di Benteng
Holandia. Pasukan Mataram mengalami kehancuran karena kurang perbekalan.
Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung bertindak tegas, pada bulan Desember 1628 ia
mengirim algojo untuk menghukum mati Tumenggung Bahureksa dan Pangeran
Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan sebagian
tanpa kepala.
Serangan kedua
Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya.
Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan
pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000
orang prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan
lumbung-lumbung beras tersembunyi di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC
yang menggunakan mata-mata berhasil menemukan dan memusnahkan semuanya.
Hal ini menyebabkan pasukan Mataram kurang perbekalan, ditambah wabah
penyakit malariadan kolera yang melanda mereka, sehingga kekuatan pasukan
Mataram tersebut sangat lemah ketika mencapai Batavia.

Walaupun kembali mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung ini berhasil
membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah
penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal
menjadi korban wabah tersebut.

Perlawanan Sultan Agung


Perlawanan Sultan Agung Terhadap VOC Sultan Agung adalah raja yang paling
terkenal dari Kerajaan Mataram. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Mataram
mencapai zaman keemasan. Cita-cita Sultan Agung antara lain: (1) mempersatukan
seluruh tanah Jawa,dan (2) mengusir kekuasaan asing dari bumi Nusantara. Terkait
dengan cita-citanya ini maka Sultan Agung sangat menentang keberadaan kekuatan
VOC di Jawa. Apalagi tindakan VOC yang terus memaksakan kehendak untuk
melakukan monopoli perdagangan membuat para pedagang Pribumi mengalami
kemunduran. Kebijakan monopoli itu juga dapat membawa penderitaan rakyat. Oleh
karena itu, Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia. Ada beberapa alasan
mengapa Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia, yakni:

tindakan monopoli yang dilakukan VOC,

VOC sering menghalang-halangi kapal-kapal dagang Mataram yang akan


berdagang ke Malaka,

VOC menolak untuk mengakui kedaulatan Mataram, dan

keberadaan VOC di Batavia telah memberikan ancaman serius bagi masa depan
Pulau Jawa.

Pada tahun 1628 telah dipersiapkan pasukan dengan segenap persenjataan dan
perbekalan. Pada waktu itu yang menjadi gubernur jenderal VOC adalah J.P. Coen.
Sebagai pimpinan pasukan Mataram adalah Tumenggung Baureksa. Tepat pada
tanggal 22 Agustus 1628, pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa
menyerang Batavia. Pasukan Mataram berusaha membangun pos pertahanan, tetapi
kompeni VOC berusaha menghalang-halangi, sehingga pertempuran antara kedua
pihak tidak dapat dihindarkan. Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan itu
pasukan Mataram yang lain berdatangan seperti pasukan di bawah Sura Agul-Agul
yang dibantu oleh Kiai Dipati Mandurareja dan Upa Santa. Datang pula laskar orangorang Sunda di bawah pimpinan Dipati Ukur. Pasukan Mataram berusaha mengepung
Batavia dari berbagai tempat. Terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Mataram
melawan tentara VOC di berbagai tempat. Tetapi kekuatan tentara VOC dengan

senjatanya jauh lebih unggul, sehingga dapat memukul mundur semua lini kekuatan
pasukan Mataram. Tumenggung Baureksa sendiri gugur dalam pertempuran itu.
Dengan demikian serangan tentara Sultan Agung pada tahun 1628 itu belum berhasil.
Sultan Agung tidak lantas berhenti dengan kekalahan yang baru saja dialami
pasukannya. Ia segera mempersiapkan serangan yang kedua. Belajar dari kekalahan
terdahulu Sultan Agung meningkatkan jumlah kapal dan senjata, Ia juga membangun
lumbung-lumbung beras untuk persediaan bahan makanan seperti di Tegal dan
Cirebon. Tahun 1629 pasukan Mataram diberangkatkan menuju Batavia. Sebagai
pimpinan pasukan Mataram dipercayakan kepada Tumenggung Singaranu, Kiai Dipati
Juminah, dan Dipati Purbaya. Ternyata informasi persiapan pasukan Mataram diketahui
oleh VOC. Dengan segera VOC mengirim kapal-kapal perang untuk menghancurkan
lumbung-lumbung yang dipersiapkan pasukan Mataram. Di Tegal tentara VOC berhasil
menghancurkan 200 kapal Mataram, 400 rumah penduduk dan sebuah lumbung beras.
Pasukan Mataram pantang mundur, dengan kekuatan pasukan yang ada terus
berusaha mengepung Batavia. Pasukan Mataram berhasil mengepung dan
menghancurkan Benteng Hollandia. Berikutnya pasukan Mataram mengepung Benteng
Bommel, tetapi gagal menghancurkan benteng tersebut. Pada saat pengepungan
Benteng Bommel, terpetik berita bahwa J.P. Coen meninggal. Peristiwa ini terjadi pada
tanggal 21 September 1629. Dengan semangat juang yang tinggi pasukan Mataram
terus melakukan penyerangan. Dalam situasi yang kritis ini pasukan Belanda semakin
marah dan meningkatkan kekuatannya untuk mengusir pasukan Mataram. Dengan
mengandalkan persenjataan yang lebih baik dan lengkap, akhirnya dapat menghentikan
serangan-serangan pasukan Mataram. Pasukan Mataram semakin melemah dan
akhirnya ditarik mundur kembali ke Mataram. Dengan demikian serangan Sultan Agung
yang kedua ini juga mengalami kegagalan. Dengan kegagalan pasukan Mataram
menyerang Batavia, membuat VOC semakin berambisi untuk terus memaksakan
monopoli dan memperluas pengaruhnya di daerah-daerah lain. Namun di balik itu VOC
selalu khawatir dengan kekuatan tentara Mataram. Tentara VOC selalu berjaga-jaga
untuk mengawasi gerak-gerik pasukan Mataram. Sebagai contoh pada waktu pasukan
Sultan Agung dikirim ke Palembang untuk membantu Raja Palembang dalam melawan
VOC, langsung diserang oleh tentara VOC di tengah perjalanan.Perlawanan pasukan

Sultan Agung terhadap VOC memang mengalami kegagalan. Tetapi semangat dan citacita untuk melawan dominasi asing di Nusantara terus tertanam pada jiwa Sultan Agung
dan para pengikutnya. Sayangnya semangat ini tidak diwarisi oleh raja-raja pengganti
Sultan Agung. Setelah Sultan Agung meninggal tahun 1645, Mataram menjadi semakin
lemah sehingga akhirnya berhasil dikendalikan oleh VOC.
Sebagai pengganti Sultan Agung adalah Sunan Amangkurat I. Ia memerintah pada
tahun 1646 -1677. Ternyata Raja Amangkurat I merupakan raja yang lemah dan bahkan
bersahabat dengan VOC. Raja ini juga bersifat reaksioner dengan bersikap sewenangwenang kepada rakyat dan kejam terhadap para ulama. Oleh karena itu, pada masa
pemerintahan Amangkurat I itu timbul berbagai perlawanan rakyat. Salah satu
perlawanan itu dipimpin oleh Trunajaya.

Anda mungkin juga menyukai