Anda di halaman 1dari 18

Perlawanan Rakyat Maluku

Maluku merupakan salah satu wilayah di Indonesia timur yang memiliki sejarah
panjang sebelum merdeka.

Kawasan itu sudah didatangi dan diduduki berbagai bangsa asing mulai Arab, Portugal,
Spanyol, Inggris, Belanda dan Jepang selama lebih dari 2000 tahun.

Bangsa-bangsa tersebut umumnya memiliki motif awal perdagangan dalam lawatannya


kesana.

Selain itu, kayanya rempah-rempah di Maluku juga menarik minat bangsa asing. Niat
mereka untuk memonopoli dan mendominasi inilah yang memicu perlawanan rakyat.

Perlawanan rakyat Maluku terjadi pada masa pendudukan kerajaan Portugal dan
Belanda pada abad ke 14, 15 dan 18.

Kedua bangsa tersebut memiliki misi yang sama, menguasai dan memonopoli
perdagangan hasil alam kepulauan Maluku.

Berikut rincian perlawanan terhadap dua bangsa asing yang paling lama menduduki
kepulauan tersebut.
Perang melawan Portugal

Perlawanan terhadap Portugal sebenarnya baru terjadi pada tahun 1550, atau sekitar
35 tahun setelah kedatangan mereka.

Pada awalnya mereka tiba di Ternate dan hanya melakukan kerjasama dagang dengan
kerajaan setempat.

Berikut sebab-sebab munculnya perang melawan bangsa Eropa selatan tersebut:

 Portugal mulai mencampuri urusan domestik kerajaan Ternate yang beragama


Islam.
 Portugal bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat, terutama setelah berhasil
mengusir Spanyol dari Tidore.
 Portugal mulai memonopoli perdagangan rempah-rempah yang sebelumnya
bebas tanpa ikatan.
 Portugal menangkap dan membunuh Sultan Hairun dari Ternate, pemimpin
pemberontakan.

Tak pelak, perang pun pecah di tahun 1571, tak lama setelah terbunuhnya Sultan
Hairun. Kali ini perlawanan dipimpin oleh Sultan Baabullah, putra Sultan Hairun.

Sultan asal Ternate ini berhasil mempersatukan suku-suku di Maluku untuk melawan
Portugal. Di samping itu, ia juga sukses bersatu dengan Tidore, usai menikahi adik
Sultan Tidore.

Kerajaan tersebut adalah pesaing terbesar Ternate yang berlatar belakang Kristen.

Pertermpuran berlangsung di berbagai wilayah Maluku mulai di Ambon hingga pulau


Buru.

Benteng-benteng lawan pun berhasil ditaklukkan, kecuali benteng Sao Paulo yang
ditempati gubernur Lopez de Mesquita.

Akhirnya pada tanggal 15 Juli 1575, Portugal menyerah setelah hampir lima tahun
diisolasi di benteng tersebut dan meninggalkan Ternate.

Namun, sejumlah warga negara Portugal yang menikah dengan penduduk setempat
masih diperbolehkan tinggal.
Perang melawan Belanda

Pada awalnya, Belanda merupakan sekutu di Maluku saat Portugal berusaha menguasai
kepulauan itu kembali di akhir abad 16.

Setelah sempat membantu rakyat Maluku mengusir Portugal, Belanda akhirnya sukses
menguasai wilayah tersebut selama 300 tahun.

Berikut sebab-sebab perang melawan bangsa di Eropa barat tersebut:

 Belanda memberlakukan sistem monopoli perdagangan rempah-rempah


 Belanda memerintahkan pelayaran Hongi untuk mengontrol ketat kegiatan dagang
diseluruh area.
 Belanda memerintahkan pemusnahan hasil rempah-rempah bila harga turun dan
penanaman masal jika harga naik.
 Belanda mengurangi jumlah sekolah, guru dan pendeta.
 Residen Van Den Bergh menolak membayar perahu rakyat dengan harga yang
layak.

Tak lama setelah VOC menancapkan kekuasaannya di tanah Maluku, rakyat mulai
melakukan pemberontakan-pemberontakan.

Tetapi sayangnya berhasil ditumpas. Berikut beberapa diantaranya:

 Di tahun 1635, dipimpin oleh kapten Hitu, Kakiali. Pemberontakan gagal karena
ia dibunuh oleh seorang pengkhianat setempat.
 Telukabesi dari Hitu sempat melanjutkan perjuangan Kakiali. Tetapi berhasil
digagalkan VOC di tahun 1646.
 Di tahun 1650, dipimpin Saidi. Perlawanan kembali gagal di tahun 1655 setelah
sempat meluas ke Saparua dan pulau Seram.
 Di akhir abad 18, dipimpin Sultan Jamalluddin. Perjuangannya gagal setelah ia
ditangkap dan diasingkan di Sri Lanka.
 Di tahun 1797, dipimpin Sultan Nuku dari Tidore. Perlawanan gagal di tahun
1805 saat sultan meninggal. Sebelumnya ia sempat merebut kembali Tidore dari
penjajah.
 Di tahun 1817, dipimpin oleh Thomas Matulessy atau kapten Pattimura, bersama
Paulus Tiahahu, Said Parintah dan Kristina Martha Tiahahu. Pemberontakan
kembali gagal setelah sejumlah tokoh berhasil ditangkap dan dihukum gantung
di Ambon. Sedangkan Kristina Martha meninggal saat perjalanan ke
pengasingan. Sebelumnya mereka sempat sukses merebut benteng Duurstede di
Saparua.

Sejumlah perlawanan diatas menunjukkan bahwa perang yang tidak didukung


persatuan nasional mudah untuk digagalkan. Maka dari itulah, persatuan bangsa perlu
dijaga.
Perlawanan dari Kaum-Padri (1821-1838)
Perang “Padri” melawan Belanda berlangsung pada tahun 1821 – 1838, akan tetapi
gerakan ini sendiri sudah ada sejak awal abad ke-19. Dilihat dari perlawanan
sasarannya, gerakan Padri dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu :

1. Periode 1803 – 1821, adalah masa perlawanan Perang-Padri melawan adat,


dengan corak keagamaan.
2. Periode 1821 – 1838, adalah masa perlawanan ‘Perang’ Padri melawan
Belanda, dengan corak keagamaan dan patriotisme.

Gerakan Padri melawan kaum Adat dimulai sejak tahun 1821 saat kembalinya tiga
orang haji, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang. Dalam kegiatan
perlawanan mereka, golongan mereka kemudian dikenal sebagai kaum “Padri” yang
ingin memperbaiki kaum masyarakat Minangkabau, mengembalikan kehidupan yang
sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya.

Adat yang selama itu dianut dan yang menjadi sasaran perlawanan gerakan Padri
adalah kebiasaan-kebiasaan buruk sepeti menyabung ayam, berjudi, madat, dan
minum-minuman keras. Terjadilah perbenturan antara kaum Adat dengan kaum ‘Padri’.
Kaum Adat yang merasa terdesak, kemudian minta bantuan kepada pihak ketiga, yang
semula Inggris kemudian digantikan oleh Belanda ( berdasarkan Konvensi London).
Perlawanan perang ‘Padri’ melawan Belanda meletus ketika Belanda mengerahkan
perlawanan pasukannya menduduki Semawang pada tanggal 18 Februari 1821. Masa
Perang Padri melawan Belanda, dapat dibagi menjadi tiga periode perlawanan, sebagai
berikut.

a) Periode 1821 -1825, ditandai dengan meletusnya perlawanan di seluruh daerah


Minangkabau. Di bawah pimpinan Tuanku Pasaman, golongan Padri menggempur pos-
pos Belanda yang ada di Semawang, Sulit Air, Sipinan, dan tempat-tempat lain.
Pertempuran menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak baik padri maupun
belanda. Tuanku Pasaman, kemudian mengundurkan diri ke daerah Lintau, sebaliknya
Belanda yang telah berhasil menguasai lembah Tanah Datar, mendirikan benteng
pertahanan dan perlawanan di Batusangkar ( Fort Van den Capellen).
b) Periode 1825 – 1830, ditandai dengan meredanya perlawanan pertempuran.
Kelompok Padri perlu menyusun kekuatan, sedangkan pihak Belanda baru memusatkan
perhatiannya menghadapi perlawanan Diponegoro di Jawa.

c) Periode 1830 – 1838, ditandai dengan perlawanan di kedua belah pihak makin
menghebat. Pemimpin perlawanan di pihak Belanda, antara lain Letkol A.F. Raaff,
Kolonel de Stuer, Mac. Gillavry, dan Elout; sedangkan perlawanan di pihak Padri ialah
Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Tuanku nan Gapuk, Tuanku Hitam, Tuanku
Nan Cerdik, dan Tuanku Tambusi.

Pada tahun 1833, Belanda mengeluarkan “Pelakat Panjang”, yang isinya antara lain :

1. Penduduk dibebaskan dari pembayaran pajak yang berat dan kerja rodi.
2. Belanda akan bertindak sebagai penengah jika terjadi perselisihan
antarpenduduk,
3. Penduduk boleh mengatur pemerintahan sendiri,
4. Hubungan dagang hanya diperbolehkan dengan Belanda.

Memasuki tahun 1837 Belanda menjalankan “Siasat Pengepungan” terhadap


perlawanan benteng Bonjol. Perlawanan benteng Bonjol akhirnya berhasil
dilumpuhkan oleh Belanda. Selanjutnya Belanda mengajak untuk berunding namun
akhirnya Tuanku Imam Bonjol ditangkap (25 Oktober 1837), kemudian dibuang ke
Cianjur, dipindahkan ke Ambon (1839), tahun 1841 dipindahkan ke Menado hingga
wafat tanggal 6 November 1864.

Setelah Imam Bonjol tertangkap, perlawanan kemudian dilanjutkan oleh Tuanku


Tambusi, dan akhirnya seluruh Sumatra Barat jatuh ke tangan Belanda setelah seluruh
perlawanan dari kaum Padri berhasil dipatahkan oleh Belanda.
Perlawanan Pangeran Diponegoro

Perlawanan Pangeran Diponegoro Terhadap Belanda (1825–1830) - Pengaruh


Belanda di Surakarta dan Yogyakarta semakin bertambah kuat pada permulaan abad
ke-19. Khususnya di Yogyakarta, campur tangan Belanda telah menimbulkan
kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang kemudian menimbulkan perlawanan di
bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Sebab-sebab perlawanan Diponegoro, antara
lain sebagai berikut.
a. Adanya kekecewaan dan kebencian kerabat istana terhadap tindakan Belanda yang
makin intensif mencampuri urusan keraton melalui Patih Danurejo (kaki tangan
Belanda).
b. Adanya kebencian rakyat pada umumnya dan para petani khususnya akibat tekanan
pajak yang sangat memberatkan.
c. Adanya kekecewaan di kalangan para bangsawan, karena hak-haknya banyak yang
dikurangi.
d. Sebagai sebab khususnya ialah adanya pembuatan jalan oleh Belanda melewati
makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.

Pertempuran pertama meletus pada tanggal 20 Juli 1825 di Tegalrejo. Setelah


pertempuran di Tegalrejo, Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke Dekso.
Di daerah Plered, pasukan Diponegoro dipimpin oleh Kertapengalasan yang memiliki
kemampuan yang cukup kuat.

Kabar mengenai pecahnya perang melawan Belanda segera meluas ke berbagai daerah.
Dengan dikumandangkannya perang sabil, di Surakarta oleh Kiai Mojo, di Kedu oleh Kiai
Hasan Besari, dan di daerah-daerah lain maka pada pertempuran-pertempuran tahun
1825–1826 pasukan Belanda banyak terpukul dan terdesak.
Melihat kenyatan ini, kemudian Belanda menggunakan usaha dan tipu daya untuk
mematahkan perlawanan, antara lain sebagai berikut.

a. Siasat benteng stelsel, yang dilakukan oleh Jenderal de Kock mulai tahun 1827.
b. Siasat bujukan agar perlawanan menjadi reda.
c. Siasat pemberian hadiah sebesar 20.000,- ringgit kepada siapa saja yang dapat
menangkap Pangeran Diponegoro.
d. Siasat tipu muslihat, yaitu ajakan berunding dengan Pangeran Diponegoro dan
akhirnya ditangkap.

Dengan berbagai tipu daya, akhirnya satu per satu pemimpin perlawanan tertangkap
dan menyerah, antara lain Pangeran Suryamataram dan Ario Prangwadono (tertangkap
19 Januari 1827), Pangeran Serang, dan Notoprodjo (menyerah 21 Juni 1827, Pangeran
Mangkubumi (menyerah 27 September 1829), dan Alibasah Sentot Prawirodirdjo
(menyerah tanggal 24 Oktober 1829). Kesemuanya itu merupakan pukulan yang berat
bagi Pangeran Diponegoro.

Melihat situasi yang demikian, pihak Belanda ingin menyelesaikan perang secara cepat.
Jenderal de Kock melakukan tipu muslihat dengan mengajak berunding Pangeran
Diponegoro. De Kock berjanji apabila perundingan gagal maka Diponegoro
diperbolehkan kembali ke pertahanan.

Atas dasar janji tersebut, Diponegoro mau berunding di rumah Residen Kedu, Magelang
pada tanggal 28 Maret 1830. Namun, De Kock ingkar janji sehingga Pangeran
Diponegoro ditangkap ketika perundingan mengalami kegagalan. Pangeran Diponegoro
kemudian di bawa ke Batavia, di[indahkan ke Menado, dan pada tahun 1834
dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya pada tanggal 8 Januari 1855.

Demikianlah Materi Sejarah Perlawanan Pangeran Diponegoro Terhadap Belanda (1825-


1830), selamat belajar.
Perlawanan Rakyat Sulawesi Selatan

Perlawanan Rakyat Sulawesi Selatan (1829-1907)

Belanda menyerang Tanette Pada tahun 1824 dan berhasil menguasainya. Kemudian
Belanda juga menyerang Kerajaan Suppa dan mendapat perlawanan keras dari
rakyatnya sehingga mengalami kekalahan. Belanda mengadakan serangan kedua ke
Kerajaan Suppa yang dibantu oleh pasukan dari Gowa dan Sidenreng. Menghadapi
kekuatan besar ini, Kerajaan Suppa menderita kekalahan dan Belanda berhasil
menduduki beberapa benteng dari kerajaan suppa.

Latar belakang terjadinya perang bone

Pasukan Bone dapat menghancurkan pos-pos Belanda di Pangkajene Pada bulan


Oktober 1824, Labakang, dan merebut kembali Tanette. Rajanya dinaikkan takhta
kembali, kemudian Tanette bergabung dengan Bone. Kekuatan Bone makin besar dan
daerah kekuasaannya makin luas. Oleh karena itu, Bone merasa berkewajiban
melindungi kerajaan-kerajaan lainnya.

Kedudukan Belanda di Makassar makin lemah. Sebab itu, Belanda meminta bantuan ke
Batavia. Pemerintah kolonial Belanda di Batavia mengirimkan ribuan pasukannya di
bawah pimpinan Jenderal Mayor van Geen. Pada tanggal 5 Februari 1825, van Geen
kemudian menyerang pusat-pusat pertahanan pasukan Bone, terutama Bulukamba,
Suppa, Segeri, Labakang, dan Pangkajene. Raja Tanette (wanita) Pada saat yang
bersamaan berbalik memihak Belanda. Hal ini jelas saaja melemahkan kekuatan Bone.
Pertempuran terus berkobar dan pasukan Bone bertahan mati-matian. Karena kalah
dalam persenjataan, pasukan Bone makin terdesak. Benteng Bone yang terkuat di
Bulukamba dapat dikuasai oleh pasukan Belanda yang memasuki benteng tersebut.
Perlawanan Rakyat Kalimantan

Perang Banjar (1859 – Perang Banjar 1905) adalah perang perlawanan


terhadap penjajahan kolonial Belanda yang terjadi di Kesultanan Banjar yang
meliputi wilayah provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Perang Banjar
berlangsung antara 1859 -1905 (menurut Sumber Belanda 1859-1863)

Belanda dapat menjalin hubungan dengan Kerajaan Banjar pada masa pemerintahan
Sultan Adam. Setelah Sultan Adam wafat tahun 1857, Belanda mulai turut campur
dalam urusan pergantian takhta kerajaan. Akibatnya, rakyat tidak menyukai Belanda.

Ada tiga kelompok bangsawan yang ingin menduduki takhta kerajaan sepeninggal
Sultan Adam. Mereka itu adalah sebagai berikut.

1) Kelompok Pangeran Tamjid Illah (cucu Sultan Adam) yang dibenci rakyat.
Kelompok ini mendapat dukungan Belanda.

2) Kelompok Pangeran Prabu Anom (putra Sultan Adam) yang juga tidak
disenangi rakyat.

3) Kelompok Pangeran Hidayatullah (cucu Sultan Adam) adalah kelompok


yang disenangi rakyat dan dicalonkan sebagai pengganti Sultan Adam.

Belanda dengan sengaja dan sepihak melantik Pangeran Tamjid Illah sebagai sultan.
Tentu saja rakyat menolak tindakan Belanda itu. Prabu Anom yang merupakan saingan
Pangeran Tamjid Illah diasingkan oleh Belanda ke Jawa. Dengan demikian, tinggallah
Pangeran Hidayatullah sebagai saingan Pangeran Tamjid Illah.

Di tengah-tengah perebutan takhta, meletuslah Perang Banjar (1859) dengan Pangeran


Antasari sebagai pemimpinnya. Pangeran Antasari adalah seorang bangsawan yang
sudah lama hidup di kalangan rakyat. Beliau didukung oleh Kiai Demang Lamang, Haji
Nasrun, Haji Bayasin, dan Kiai Langlang. Pada bulan April 1859, pasukannya menyerang
pos Belanda di Martapura dan Pengaron serta berhasil merebut benteng Belanda di
Tabanio.

Belanda melancarkan serangan balasan sehingga terjadi pertempuran sengit antara


pasukan Belanda dan pasukan rakyat Banjar. Tumenggung Surapati bersama Antasari
berhasil membakar dan menenggelamkan Kapal Onrust milik Belanda di Sungai Barito.

Sementara itu, Pangeran Hidayatullah makin jelas memihak rakyat dan menjadi
penentang Belanda. Belanda berusaha menarik simpati rakyat dengan menurunkan
Pangeran Tamjid Illah dari jabatan sultan dan menggantikannya dengan Pangeran
Hidayatullah. Akan tetapi, Pangeran Hidayatullah menolak jabatan itu. Belanda akhirnya
menghapus dan memasukkan wilayah Banjar langsung di bawah perintahnya (1860).

Perlawanan rakyat Banjar makin meluas. Para ulama dan pemimpin ada yang ikut
memberontak sehingga memperkuat barisan pejuang. Pangeran Hidayatullah secara
terang-terangan memihak Pangeran Antasari dan terus melakukan pertempuran
bersama rakyat Banjar. Pangeran Hidayatullah akhirnya dapat ditawan oleh Belanda
dan diasingkan ke Jawa.

Pangeran Antasari terus melakukan pertempuran bersama rakyat. Bahkan, pada bulan
Maret 1862 Antasari diangkat menjadi sultan dengan gelar Panembahan Amiruddin
Khalifatul Mukminin. Meskipun telah menjadi sultan, Pangeran Antasari tetap
berperang melawan Belanda. Pangeran Antasari yang sudah berusia lanjut akhirnya
jatuh sakit dan meninggal pada tanggal 31 Oktober 1862.

Setelah Pangeran Antasari wafat, perjuangan dilanjutkan oleh putranya yang bernama
Gusti Matseman bersama pejuang lain. Namun, perlawanan rakyat Banjar semakin hari
makin melemah.
Perlawanan Rakyat Aceh Terhadap VOC

Aceh merupakan salah satu wilayah yang memiliki peran sangat besar terhadap perjuangan dan
kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah. Di tanah ini, banyak muncul pahlawan-
pahlawan nasional yang sangat berjasa, tidak hanya untuk rakyat Aceh saja tapi juga untuk
rakyat Indonesia pada umumnya. Salah satu pahlawan tersebut adalah Teuku Umar. Ia
dilahirkan pada tahun 1854 (tanggal dan bulannya tidak tercatat) di Meulaboh, Aceh Barat,
Indonesia. Ia merupakan salah seorang pahlawan nasional yang pernah memimpin perang
gerilya di Aceh sejak tahun 1873 hingga tahun 1899.

Kakek Teuku Umar adalah keturunan Minangkabau, yaitu Datuk Makdum Sati yang pernah
berjasa terhadap Sultan Aceh. Datuk Makdum Sati mempunyai dua orang putra, yaitu Nantan
Setia dan Achmad Mahmud. Teuku Achmad Mahmud merupakan bapak Teuku Umar.

Ketika perang aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-
pejuang Aceh lainnya, padahal umurnya baru menginjak19 tahun. Mulanya ia berjuang di
kampungnya sendiri yang kemudian dilanjukan ke Aceh Barat. Pada umur ini, Teuku Umar juga
sudah diangkat sebagai keuchik (kepala desa)
di daerah Daya Meulaboh.

Kepribadiaan Teuku Umar sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang
suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang
menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapakan
pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat, cerdas,
dan pemberani.

Pernikahan Teuku Umar tidak sekali dilakukan. Ketika umurnya sudah menginjak usia 20 tahun,
Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan
derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari
Panglima Sagi XXV Mukim. Sejak saat itu, ia mulai menggunakan gelar Teuku. Pada tahun 1880,
Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dien, puteri pamannya. Sebenarnya Cut Nyak Dien sudah
mempunyai suami (Teuku Ibrahim Lamnga) tapi telah meninggal dunia pada Juni 1978 dalam
peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Setelah itu, Cut Nyak Dien bertemu dan jatuh cinta
dengan Teuku Umar. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap
pos-pos Belanda di Krueng. Hasil perkawinan keduanya adalah anak perempuan bernama Cut
Gambang yang lahir di tempat pengungsian karena orang tuanya tengah berjuang dalam medan
tempur.

Belanda sempat berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Satu tahun kemudian
(tahun 1884) pecah kembali perang di antara keduanya. Pada tahun 1893, Teuku Umar
kemudian mencari strategi bagaimana dirinya dapat memperoleh senjata dari pihak musuh
(Belanda). Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek (kaki tangan) Belanda. Istrinya,
Cut Nyak Dien pernah sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya itu. Gubernur
Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk
merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer. Atas keterlibatan
tersebut, pada 1 Januari 1894, Teuku Umar sempat dianugerahi gelar Johan Pahlawan dan
diizinkan untuk membentuk legium pasukan sendiri yang berjumlah 250 tentara dengan
senjata lengkap.

Saat bergabung dengan Belanda, Teuku Umar sebenarnya pernah menundukkan pos-pos
pertahanan Aceh. Peperangan tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura. Sebab,
sebelumnya Teuku Umar telah memberitahukan terlebih dahulu kepada para pejuang Aceh.
Sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17
orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pangleot sebagai tangan kanannya
akhirnya dikabulkan oleh Gubernur Deykerhorf yang menggantikan Gubernur Ban Teijn.

Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar kemudian keluar dari dinas militer Belanda dengan
membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan
uang 18.000 dollar. Dengan kekuatan yang semakin bertambah, Teuku Umar bersama 15 orang
berbalik kembali membela rakyat Aceh. Siasat dan strategi perang yang amat lihai tersebut
dimaksudkan untuk mengelabuhi kekuatan Belanda pada saat itu yang amat kuat dan sangat
sukar ditaklukkan. Pada saat itu, perjuangan Teuku Umar mendapat dukungan dari Teuku
Panglima Polem Muhammad Daud yang bersama 400 orang ikut menghadapi serangan Belanda.
Dalam pertempuran tersebut, sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka di pihak
Belanda.

Gubernur Deykerhorf merasa tersakiti dengan siasat yang dilakukan Teuku Umar. Van Heutsz
diperintahkan agar mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menangkap Teuku
Umar. Serangan secara mendadak ke daerah Melaboh menyebabkan Teuku Umar tertembak
dan gugur dalam medan perang, yaitu di Kampung Mugo, pedalaman Meulaboh pada tanggal10
Februari 1899.
Sejarah Perlawanan Rakyat Bali

Terhadap Belanda (1846–1905) - Di Bali timbulnya perlawanan rakyat melawan Belanda,


setelah Belanda berulang kali memaksakan kehendaknya untuk menghapuskan hak tawan
karang. Hak tawan karang yakni hak bagi kerajaan-kerajaan Bali untuk merampas perahu
yang terdampar di pantai wilayah kekuasaan kerajaan yang bersangkutan.

Telah berulang kali kapal Belanda hendak dirampas, namun Belanda memprotes dan
mengadakan perjanjian sehingga terbebas. Raja-raja Bali yang pernah diajak berunding
ialah Raja Klungklung dan Raja Badung (1841); Raja Buleleng dan Raja Karangasem (1843).
Akan tetapi, kesemuanya tidak diindahkan sehingga Belanda memutuskan untuk
menggunakan kekerasan dalam usaha menundukkan Bali.

Dalam menghadapi perlawanan rakyat Bali, pihak Belanda terpaksa mengerahkan ekspedisi
militer secara besar-besaran sebanyak tiga kali. Ekspedisi pertama (1846) dengan kekuatan
1.700 orang pasukan dan gagal dalam usaha menundukkan rakyat Bali.

Ekspedisi kedua (1848) dengan kekuatan yang lebih besar dari yang pertama dan disambut
dengan perlawanan oleh I Gusti Ktut Jelantik, yang telah mempersiapkan pasukannya di
Benteng Jagaraga sehingga dikenal dengan Perang Jagaraga I. Ekspedisi Belanda ini pun
juga berhasil digagalkan.
Kekalahan ekspedisi Belanda baik yang pertama maupun yang kedua, menyebabkan
pemerintah Hindia Belanda mengirimkan ekspedisi ketiga (1849) dengan kekuatan yang
lebih besar lagi yakni 4.177 orang pasukan, kemudian menimbulkan Perang Jagaraga II.
Perang berlangsung selama dua hari dua malam (tanggal 15 dan 16 April 1849) dan
menunjukkan semangat perjuangan rakyat Bali yang heroik dalam mengusir penjajahan
Belanda.

Dalam pertempuran ini, pihak Belanda mengerahkan pasukan darat dan laut yang terbagi
dalam tiga kolone. Kolone 1 di bawah pimpinan Van Swieten; kolone 2 dipercayakan kepada
La Bron de Vexela, dan kolone 3 dipimpin oleh Poland. Setelah terjadi pertempuran sengit,
akhirnya Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. Prajurit Bali dan para pemimpin
mereka termasuk I Gusti Jelantik, berhasil meloloskan diri.

Perlawanan rakyat Bali tidaklah padam. Pada tahun 1858, I Nyoman Gempol mengangkat
senjata melawan Belanda, namun berhasil dipukul mundur. Selanjutnya, tahun 1868 terjadi
lagi perlawanan di bawah pimpinan Ida Made Rai, ini pun juga mengalami kegagalan.
Perlawanan masih terus berlanjut dan baru pada awal abad ke-20 (1905), seluruh Bali
berada di bawah kekuasaan Belanda.

Demikianlah Materi Sejarah Perlawanan Rakyat Bali Terhadap Belanda (1846–1905),


semoga bermanfaat.
Perlawanan Rakyat Batak (1878 – 1907)

Sebab-Sebab Perlawanan
1) Pemerintah Hindia Belanda berkali-kali mengirimkan ekspedisi militernya untuk
menaklukkan daerah-daerah di Sumatera Utara antara lain Mandailing, Angkola,
Padang Lawas, Sipirok, Tapanuli, dan sekitarnya.
2) Peristiwa terbunuhnya Tuan na Balon (Sisingamangaraja X). Hal ini rakyat mulai
hati-hati dan tidak simpati dengan masuknya penjajah Belanda ke tanah Batak.
3) Adanya perluasan agama Kristen di daerah Batak. Hal ini dianggap oleh
Sisingamangaraja XII sebagai hal yang membahayakan tanah Batak dan
menggoyahkan kedudukannya.

Jalannya Perlawanan
Pertempuran pertama terjadi di Toba Silindung. Masuknya pasukan militer Belanda ke
Silindung, segera dijawab oleh Sisingamangaraja XII (Patuan Basar Ompu Pula Batu)
dengan pernyataan perang.

Dalam menghadapi serangan Belanda, rakyat Batak memiliki dua macam benteng
pertahanan yaitu benteng alam dan benteng buatan. Pertempuran terus menjalar ke
Bahal Batu. Namun karena pasukan Sisingamangaraja XII terdesak, akhirnya
menyingkir. Pertempuran terus terjadi antara lain di Blitar, Lobu Siregar, dan Upu ni
Srabar.
Selanjutnya pertempuran sengit juga terjadi di Bakkora atau Lumbung raja, yaitu
tempat tinggal Sisingamangaraja. Karena terdesak pasukan Sisingamangaraja XII
menyingkir ke Paranginan dan menyingkir lagi ke Lintung ni Huta. Berturut-turut
daerah-daerah yang jatuh ke tangan Belanda yaitu Tambunan, Lagu Boti, Balige, Onang
geang-geang, Pakik Sabungan dan Pintu Besi. Selain itu daerah-daerah lain yang
mengadakan perlawanan tapi dapat dipadamkan oleh Belanda adalah Tangga Batu dan
Pintu Batu.

Akhir Perlawanan
Dengan meluasnya daerah yang jatuh ke tangan Belanda maka daerah gerak
Sisingamangaraja semakin kecil dan pengikutnya semakin berkurang. Dalam beberapa
pertempuran pasukan Sisingamangaraja XII dapat terdesak dan Belanda berhasil
menawan keluarga Sisingamangaraja XII. Dalam pertempuran di daerah Dairi,
Sisingamangaraja tertembak dan gugur pada tanggal 17 Juni 1907. Dengan gugurnya
Sisingamangaraja XII, maka seluruh daerah Batak jatuh ke tangan Belanda.

Anda mungkin juga menyukai