Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi merupakan salah satu penyebab terpenting morbiditas dan mortalitas
pada bayi baru lahir. Sepsis berhubungan dengan angka kematian 13% - 50% dan
kemungkinan morbiditas yang kuat pada bayi yang bertahan hidup. (Fanaroff &
Martin, 1992). Infeksi pada neonatus di negeri kita masih merupakan masalah yang
gawat. Di Jakarta terutama di RSCM, infeksi merupakan 10 – 15% dari morbidilitas
perinatal.
Infeksi pada neonatus lebih sering di temukan pada BBLR. Infeksi lebih
sering ditemukan pada bayi yang lahir di rumah sakit dibandingkan dengan bayi yang
lahir di luar rumah sakit. Dalam hal ini tidak termasuk bayi yang lahir di luar rumah
sakit dengan cara septik.
Sepsis neonatus, sepsis neonatorum, dan septikemia neonatus merupakan
istilah yang telah digunakan untuk menggambarkan respon sistemik terhadap infeksi
pada bayi baru lahir. Ada sedikit kesepakatan pada penggunaan istilah secara tepat,
yaitu apakah harus dibatasi pada infeksi bakteri, biakan darah positif, atau keparahan
sakit. Kini, ada pembahasan yang cukup banyak mengenai definisi sepsis yang tepat
dalam kepustakaan perawatan kritis.
Sedangkan Infeksi Perineum biasanya terjadi pada persalinan

normal. Disebabkan kebersihan daerah perineum kurang terjaga.

Misalnya, karena tidak segera mengganti pembalut bila sudah penuh

cairan lokia. Atau, setelah dibasuh, daerah perineum tidak dikeringkan.


Banyak wanita mengalami robekan jalan lahir atau robekan perineum pada
saat melahirkan anak pertama. Pada sekitar separuh dari kasus-kasus tersebut,
robekan ini amat luas. Dan laserasi ini harus diperbaiki dengan cermat

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana asuhan penanganan kegawat daruratan pada kasus infeksi neonatus ?
2. Bagaimana asuhan penanganan kegawat daruratan pada kasus Infeksi perineum
atau laserasi Jalan lahir ?

1.3 Tujuan

Adapun Tujuan Pembuatan makalah ini adalah :


1. Agar siswa mengetaui bagaimana asuhan penanganan kegawat daruratan pada
kasus infeksi neonatus ?
2. Agar siswa mengetaui bagaimana asuhan penanganan kegawat daruratan pada
kasus Infeksi perineum atau laserasi Jalan lahir ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Infeksi Neonatus


2.1.1 Definisi
1. Infeksi neonatus adalah infeksi yang terjadi pada neonatus, dapat terjadi
pada masa antenatal, perinatal dan post partum.Infeksi neonatorum atau
infeksi adalah infeksi bakteri umum generalista yang biasanya terjadi pada
bulan pertama kehidupan yang menyebar ke seluruh tubuh bayi baru lahir.
Infeksi adalah sindroma yang dikarakteristikkan oelh tanda-tanda klinis dan
gejala-gejala infeksi yang parah yang dapat berkembang ke arah septisemia
dan syok septic (Doenges, Marlyn E, 2000).
2. Infeksi neonatorum adalah infeksi pada neonatus yang terjadi pada masa
neonatal, intranatal dan postnatal.Inkfesi Neonatorum atau Infeksi adalah
infeksi bakteri umum generalisata yang biasanya terjadi pada bulan
pertama kehidupan. yang menyebar ke seluruh tubuh bayi baru lahir.Infeksi
adalah sindrom yang dikarakteristikan oleh tanda-tanda klinis dan gejala-
gejala infeksi yang parah yang dapat berkembang ke arah septisemia dan
syok septik. Infeksi merupakan respon tubuh terhadap infeksi yang
menyebar melalui darah dan jaringan lain. Infeksi terjadi pada kurang dari
1% bayi baru lahir tetapi merupakan penyebab dari 30% kematian pada
bayi baru lahir.
3. Infeksi neonatorum adalah infeksi bakteri pada aliran darah pada bayi
selama empat minggu pertama kehidupan. Insiden sepsis bervariasi yaitu
antara 1 dalam 500 atau 1 dalam 600 kelahiran hidup (Bobak, 2005).

3
2.1.2 Etiologi
1. Menurut Blane (1961) infeksi pada neonatus bisa melalui beberapa cara :
1) Infeksi antenatal
Kuman mencapai janin melalui peredaran darah ibu ke placenta. Kuman
melewati placenta dan mengadakan intervilositas masuk ke vena
umbilicus samapi ke janin kuman teresebut seperti : virus : rubella,
poliomelisis, koksakie, variola, dll. Spirokaeta : sifilis. Bakteri : jarang
sekali kecuali E. Colli dan listeria.
2) Infeksi intranatal
 Pemeriksaan vaginal yang terlalu sering
 Partus yang lama
1) Infeksi post partum.
Penggunaan alat-alat perawatan yang tidak steril
2) Cross infection
Infeksi yang telah ada di rumah sakit.

2.1.3 Tanda dan gejala.


1. Umum : panas, hipoermia, tampak tidak sehat, malas minum, letargi,
sklerema.
2. Saluran cerna : distensi abdomen, anoreksia, muntah, hipotomegali.
3. Saluran nafas : apnea, dispnea, takspnea, retraksi, nafas cuping hidung,
merintih sianosis.
4. Sistem kardiovaskuler : pucat, sianosis, kulit marmoratu, kulit lembab,
hipotensi, takikardi, bradikardia.
5. Sistem saraf pusat : invitabilitas, tremor, kejang, hiporeflerksi, malas
minum, pernapasan tidak teratur, ubun-ubun menonjol, high pitched cry
6. Hematologi : Ikterus, splenomegali, pucat, petekie, purpura,
perdarahan(Kapita Selekta Kedokteran Jilid II)

4
Gejala infeksi yang terjadi pada neonatus anatar lain, bayi tampak
lesu, tidak kuat menghisap, denyut jantung lambat, suhu tubuh naik turun.
Gejala –gejala lainnya dapat berupa gangguan pernapasan, kejang, jaundice,
muntah, diare, dan perut kembung,Gejala dan infeksi neonatorum juga
tergantung kepada sumbber infeksi dan penyebaran :
1. Infeksi pada tali pusat (omfalitis) menyebabkan keluarnya nanah atau
darah dari pusar.
2. Infeksi pada selaput otak (meningitis) atau abses otak menyebabkan koma,
kejang, epsitotonus (posisi tubuh melengkung ke depan) atau penonjolan
pada ubun-ubun.
3. Infeksi pada tulang (ostemiolisis) menyebabkan terbatasnya pergerakan
pada lengan atau tungkai yang terkenaInfeksi pada persendian
menyebabkan pembengkakan, kemerahan, nyeri tekan dan sendi yang
terkena teraba hangat.
4. Infeksi pada selaput perut (perilositis) menyebabkan pembengkakan perut
dan diare berdarah.

2.1.4 Patofisiologi

Infeksi dimulai dengan invasi bakteri dan kontaminasi sistemik.


Pelepasan endoskrin oleh bakteri menyebabkan perubahan fungsi miokardium,
perubahan ambilan dan penggunaan oksigen, terhambatnya fungsi mitokondria,
dan kekacauan metabolic yang progresif. Pada infeksi yang tiba-tiba dan berat,
complement cascade menimbulkan banyak kematian dan kerusakan sel.
Akibatnya adalah penurunan fungsi jaringan, asidosis metabolic dan syok.
Yang menyebabkan disseminated Intravaskuler Coagulation (DIC) dan
kematian.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemungkinan infeksi secara umum
berasal dari tiga kelompok, yaitu :
1. Faktor Maternal

5
1) Status social ekonomi ibu, ras dan latar belakang. Mempengaruhi
kecenderungan terjadinya infeksi dengan alas an yang tidak diketahi
sepenuhnya. Ibu yang berstatus social ekonomi rendah mungkin
nutrisinya buruk dan tempat tinggalnya padat dan tidak higienis.
2) Status paritas.
3) Wanita multipara atau gravid lebih dari 3 dan umur ibu kurang dari 20
tahun atau lebih dari 30 tahun.
4) Kurangnya perawatan prenatal.
5) Ketuban pecah dini
6) Prosedur selama persalinan

2.    Faktor Neonatal
1) Prematuritas (berat badan bayi kurang dari 1500 gram)
Merupakan faktor resiko utama untuk infeksi neonatal. Umumnya
immunitas bayi kurang bulan lebih rndah dari pada bayi cukup bulan.
Transfor immunoglobulin melalui placenta terutama terjadi pada paruh
terakhir trisemester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi immunoglobulin
serum terus menurun, menyebabkan hipogamaglobulinemia berat.
Imaturitas kulit juga melemahkan pertahanan kulit.
2) Definisi imun
Neonatus bisa mengalami kekurangan IgG spesifik, khususnya terhadap
streptokokus atau haemophilus influenza. IgG dan IgA tidak melewati
placenta dan hampir tidak terdeteksi dalam darah tali pusat. Dengan adanya
hal tersebut aktivitas lintasan komplemen terhambat, dan C3 serta faktor B
tidak diproduksi sebagai respon terhadap lipopolisakarida. Kombinasi
antara defisiensi imun dan penururnan antibodi total dan spesifik bersama
dengan penurunan fibronektin, menyebabkan sebagian besar penurunan
aktivitas opsonisasi.
3) Laki-laki dan kehamilan kembar

6
Insiden infeksi pada bayi laki-laki empat kali lebih besar dari pada bayi
perempuan.

3.      Faktor lingkungan


1) Pada defisiensi imun bayi cenderung mudah sakit sehingga sering
memerlukan prosedur invasive, dan memerlukan waktu perawatan
dirumah sakit lebih lama. Penggunaan kateter vena/arteri maupun kateter
nutrisi parental merupakan tempat masuk bagi mikroorganisme pada kulit
yang luka. Bayi juga mungkin terinfeksi akibat alat yang terkontaminasi.
2) Paparan terhadap obat-obatan tertentu, seperti steroid, bisa menimbulkan
resiko pada nonatus yang melebihi resiko penggunaan antibiotic spectrum
luas, sehingga menyebabkan kolonisasi spectrum luas, sehingga
menyebabkan resisten berlipat ganda.
3) Kadang-kadang di ruang perawatan terhadap epidemic penyebaran
mikroorganisme yang berasal dari petugas (infeksi nosokomial), paling
sering akibat kontak tangan.
4) Pada bayi yang minum ASI, spesies lactobacillus dan E. Colli di temukan
hanya di dominasi oleh E. Colli saja.

Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai


neonatus melalui beberapa cara, yaitu :
1) Pada masa antenatal atau sebelum lahir pada masa antenatal kuman dari
ibu setelah melewati placenta dan umbrilikus masuk ke dalam tubuh bayi
melalui sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi adalah kuman
yang dapat menembus placenta, antara lain virus vubella, herpes,
sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis. Bakteri yang dapat
melalui jalur ini antara lain malaria, sifilis, dan toxplasma.
2) Pada masa intranatal atau saat persalinan infeksi saat persalinan terjadi
karena kuman yang ada pada vagina dan serviks naik mencapai korion
dan amnion. Akibatnya, terjadi amnonitis dan korionitis , selanjutnya

7
kuman melalui umbilicus masuk ke tubuh bayi. Cara lain yaitu saat
persalinan, cairan amnion yang sudah terinfeksi dapat terinhalasi oleh
bayi dan masuk ke dalam traktus digestives dan traktus respiratoris,
kemudian menyebabkan infeksi pada lokasi tersebut. Selain melalui cara
tersebut diatas infeksi pada janin dapat melalui kulit bayi atau “ port de
entre” lain saat bayi melewati jalan lahir yang terkontaminasi oleh kuman
(misal : herpes genetalis, candida albican dan gonorrhea).
3) Infeksi pascanatal atau sesudah persalinan. Infeksi yang terjadi sesudah
persalinan/ kelahiran umunya terjadi akibat infeksi nosokomial dari
lingkungan di luar rahin (misal : melalui alat-alat pengisap lendir, selang
endotrakea, infus, selang nasagastrik, botol minuman, atau dst). Perawat
atau profesi lain yang ikut menangani bayi dapat menyebabkan terjadinya
infeksi nosocomial.

2.1.5 Penatalaksanaan
1.    Suportif
1) Lakukan monitoring cairan elektrolit dan glukosa.
2) Berikan koreksi jika terjadi hipovdemia, hipokalsemia dan
hipoglikemia.
3) Bila terjadi SIADN (Syndrome of Inappropiate Anti Dieuretik
Hormon) batasi cairan.
4) Atasi syok, hipoksia, dan asidosis metabolic.
5) Awasi adanya hiperbilirubinemia.
6) Lakukan transfuse tukar bila perlu.
7) Pertimbangkan nutrisi parenteral bila pasien tidak dapat menerima
nutrisi enteral.

2.    Kausatif
Antibiotik diberikan sebelum kuman penyebab diketahui. Biasanya
digunakan golongan penicillin seperti ampicilin ditambah tminoglileosida

8
seperti Gentamicin. Pada infeksi nosokomial, antibiotic diberikan dengan
mempertimbangkan flora di ruang perawatan, namun sebagai terapi inisial
biasanya di berikan van komisin dan aminoglikosida atau sefalosforin
generasi ketiga.Setelah dapat hasil biakan dan uji sistematis di berikan
antibiotic yang sesuai. Terapi dilakukan selama 10 – 14 hari. Bila terjadi
meningitis, antibiotic diberikan selama 14 – 21 hari dengan dosis sesuai
untuk meningitis. Pada masa antenatal meliputi pemeriksaan kesehatan ibu
secara berkala, imunisasi, pengobatan, terhadap penyakit infeksi yang
diderita ibu. Asupan gizi yang memadai, penanganan segera terhadap
keadaan yang dapat menurunkan kesehatan ibu dan janin. Rujuk ke tempat
pusat kesehatan bila diperlukan. Pada masa persalinan, perawatan ibu
selama persalinan dilakukan secara akseptic. Pada masa pasca persalinan
rawta gabung bila bayi normal, pemberian ASI secepatnya, juag
lingkungan dan peralatan tetap bersih, perawatan lukan umbilicus secara
steril.

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang.


Menegakkan diagnosis infeksi  perlu dilakukan pemeriksaan penunjang
sebagai berikut :
1.   Hitung darah lengkap dengan turunannya
Yang terpenting adalah jumlah sel darah merah (WBC).septik neonatus
biasanya menunjukkan penurunan jumlah white blood cell (WBC), yaitu
kurang dari 500 mm. Hitung jenis darah juga menunjukkan banyak WBC
tidak matang dalam aliran darah. Banyaknya darah tidak matang
dihubungkan dengan jumlah total WBC diidentifikasikan bahwa bayi men
galami respons yang signifikan.
2.   Platelet
Biasanya 150.000 sampai 300.000 mm pada keadaan sepsis platelet
munurun, kultur darah gram negatif atau positif, dan tes sensitivitas.Hasil
dari kultur harus tersedia  dalam beberapa jam dan akan mengindikasikan

9
jumlah dan jenis bakteri. Kultur darah atau sensitivitas membutuhkan
waktu 24 – 48 jam untuk mengembangkan dan mengidentifikasikan  jenis
patogen serta antibiotik yang sesuai.
3.   Lumbal pungsi untuk kultur dan tes sensitivitas pada cairan serebrospinal.
Hal ini dilakukan jika ada  indikasi infeksi neuron.
4.  Kultur urine
1. Kultur permukaan (surface culture)
Untuk mengidentifikasi kolonisasi, tidak spesifik untuk infeksi bakteri.
2. Pencegahan infeksi pada neonatus
Cara pencegahan pada neonatus dapat dibagi sebagai berikut :
1) Cara umum
a) Pencegahan infeksi neonatus sudah harus dimulai dari periode
antenatal infeksi ibu harus diobati dengan baik, misalnya infeksi
umum, lekorea, dan lain –lain. Di kamar bersalin harus ada
pemisahan  yang sempurna antara bagian yang sepsis dengan
aseptik. Pemisahan ini mencakup ruangan, tenaga perawatan, serta
alat kedokteran dan alat perawatan. Ibu yang akan melahirkan
sebelumnya masuk kamar bersalin. Pada kelahiran bayi,
pertolongan harus dilakukan secara aseptik. Suasana kamar
bersalin harus sama dengan kamar operasi. Alat yang digunakan
harus steril.
b) Di kamar bayi yang baru lahir harus ada pemisahan yang sempurna
untuk bayi yang baru lahir dengan partus aseptik dan partus septik.
Pemisahan ini harus mencakup personalia, fasilitas perawatan, dan
alat yang digunakan. Selain itu juga dilakukan pemisahan terhadap
bayi yang menderita penyakit menular. Perawat harus mendapat
pendidikan khusus dan mutu perawatan harus baik, apalagi bila
kamar perawatan bayi merupakan suatu kamar perawatan yang
khusus. Sebelum dan sesudah memegang bayi harus cuci tangan.
Mencuci tangan dengan menggunakan sabun antiseptik atau sabun

10
biasa asal cukup lama, dalam ruangan harus memakai jubah steril,
masker, dan sandal khusus. Dalam ruangan bayi, kita tidak boleh
banyak bicara,  dan bila menderita sakit saluran pernapasan atas,
tidak boleh masuk kamar bayi.
c) Dapur susu harus bersih dan cara mencampur harus aspetik air
susu ibu yang dipompa sebelum diberikan  kepada bayi harus
dipasteurisasi dulu. Setiap bayi harus punya tempat pakaian
tersendiri, begitu juga inkubator harus sering dibersihkan dan
lantai ruangan setiap hari harus dibersihkan serta setiap minggu
dicuci dengan menggunakan antiseptik.
2) Cara khusus
a) Pemakaian antibiotik hanya untuk tujuan dan indikasi yang jelas.
b) Pada beberapa keadaan, misalnya ketuban pecah lama (lebih dari
12 jam) air ketuban keruh, infeksi sistemik pada ibu, partus yang
lama dan banyak manipulasi intravaginal. Resusitasi  yang berat
sering timbul dilema  apakah akan digunakan antibiotik secara
prokfilaksis. Penggunaan antibiotik yang banyak dan tidak terarah
dapat menyebabkan timbulnya jamur yang berlebihan, misalnya
kandida albikans. Sebaliknya jika terlambat memberikan
antibiotik pada penyakit infeksi neonatus, seringmberakibat
kematian.

11
ASUHAN KEPERAWATAN INFEKSI NEONATORUM

I. Pengkajian.
Perawat mempunyai tugas yang penting dalam mengkaji tanda-tanda infeksi pada
neonatus, tanda dan gejala sepsis pada neonatus sering tak terlihat dan dikenali
oleh pemberi keperawatan profesional. Perawat neonatus mempunyai tanggung
jawab untuk mengenali tanda-tanda, sehingga diagnosis dan perawatannya dapat
diberikan segera.
1. Biodata bayi.
2. Riwayat kesehatan sekarang
a. Sistem saraf pusat
1) Fontanel yang menonjol.
2) Letargi.
3) Temperatur yang tidak stabil.
4) Hipotonia.
5) Tremor yang kuat.
b. Sistem pencernaan
1) Hilangnya keinginan untuk menyusui.
2) Penurunan intake melalui oral.
3) Muntah.
4) Diare.
5) Distensi abdomen.
c. Sistem integumen
1) Kuning.
2) Adanya lesi.
3) Ruam.
d. Sistem pernapasan

12
1) Apnea.
2) Sianosis.
3) Takipnea.
4) Penurunan saturasi oksigen.
5) Nasal memerah, mendengkur, dan retraksi dinding dada.
e. Sistem kardiovaskular
1) Takikardi.
2) Menurunnya denyut perifer.
3) Pucat.
3.   Riwayat kesehatan keluarga
1) Apakah ada anggota keluarga yang menderita sifilis.
4. Data psikologi
5. Keluhan dan reaksi bayi terhadap penyakitnya.
6. Tingkat adaptasi bayi terhadap penyakitnya.

II. Diagnosis keperawatan


Diagnosis keperawatan yang mungkin ditemukan pada infeksi neonatus :
1. Tidak efektifnya pola napas yang berhubungan dengan meningkatnya
sekret di saluran napas.
2. Perubahan suhu tubuh yang berhubungan dengan proses infeksi.
3. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan malas minum, diare, dan muntah.
4. Kurangnya volume cairan yang berhubungan dengan diare dan malas
menyusui.
5. Gangguan rasa nyaman dan aman yang berhubungan dengan infeksi.

III. Intervensi keperawatan


Diagnosis 1 : Tidak efektifnya pola napas yang berhubungan dengan
meningkatnya sekret di saluran napas.

13
Data objektif : Bayi tampak sesak napas, gelisah, frekuensi pernapasan
meningkat, dan sekret berlebihan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan ketidakefektifan
pernapasan dapat diatasi.
Kriteria Hasil : Bayi tidak sesak lagi, bayi tenang, frekuensi pernapasan
menurun, sekret di saluran napas tidak ada lagi.

Intervensi:
1) Tempatkan bayi pada posisi yang nyaman, kepala ditinggikan
(misalnya digendong).
Rasional: posisi yang baik dapat membantu melonggarkan jalan
napas.
2) Berikan O2 dan bersihkan jalan napas dari sekret.
Rasional: O2 mengatasi kebutuhan tubuh akan oksigen dan
membersihkan jalan napas akan mengurangi sumbatan di saluran
napas.
3) Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian antibiotik.
Rasional: antibiotik dapat mengatasi infeksi.

Diagnosis 2 : Gangguan pemenuhan nutrisi yang berhubungan dengan


malas minum, diare, dan muntah.
Data objektif : Bayi malas minum atau menyusui, muntah, diare, berat badan
menurun, dan gelisah.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, gangguan pemenuhan
nutrisi dapat diatasi.
Kriteria hasil : Muntah dan diare berhenti, bayi mau disusui.

Intervensi:
1) Anjurkan pada ibu untuk tetap memberikan ASI.

14
Rasional: ASI mengandung IgA dalam jumlah tinggi yang dapat
memberikan imunitas.
2) Auskultasi bising usus.
Rasional: penurunan aliran darah dapat menurunkan peristaltik usus.
3) Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian obat-obatan seperti
antibiotik dan pemberian cairan.
Rasional: antibiotik dapat mengatasi infeksi yang akan memperberat
infeksi.

Diagnosis 3 : Kurangnya volume cairan tubuh yang berhubungan


dengan diare, muntah, dan malas minum.
Data objektif :
1) Turgor buruk dan kulit kering.
2) Membran mukosa kering.
3) Hipertermi.
4) Masa menyusui.
5) Diare
6) Muntah.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, volume cairan kembali
normal.
Kriteria hasil : Suhu normal,membran mukosa dan kulit tidak lagi kering.
Intervensi:
1) Anjurkan pada ibu tetap memberikan ASI.
Rasional: ASI mengandung IgA dalam jumlah tinggi dapat
memberikan imunitas.
2) Awasi masukan dan pengeluaran, catat dan ukur frekuensi diare, dan
kehilangan cairan.
Rasional: perubahan pada kualitas susu sangat mempengaruhi
kebutuhan cairan dan peningkatan risiko dehidrasi.

15
3) Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian obat-obatan dan terapi
cairan.
Rasional: terapi cairan dapat membantu mengurangi gangguan cairan
tubuh.

Diagnosis 4 : Perubahan suhu tubuh yang berhubungan dengan proses


infeksi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, suhu tubuh bayi
kembali normal.
Kriteria hasil : Tidak ada tanda-tanda hipertermi
Intervensi :
1) Pantau suhu pasien (derajat dan  pola ) ; perhatikan bunyi
menggigil / diaforesis.
Rasional : suhu 38,9 derajat sampai 41 derajat menunjukan proses
penyakit infeksius akut. Pola demam dapat membantu dalam
diagnosis.
2) Pantau suhu lungkunagn, batasi atau tambahkan linen tempat
tidur, sesuai indikasi.
Rasional : suhu ruangan atau jumlah selimut harus di ubah untuk
mempertahankan suhu mendekati normal.
3) Berikan kompres mandi hangat ; hindari penggunaan alkohol.
Rasional : dapat membantu mengurangi demam
4) Kolaborasi :
 Berikan antipiretik, misalnya ASA (aspirin), asetaminofen
(tylenol).
Rasional : digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi
sentralnya pada hipotalamus, meskipun demam mungkin dapat
berguna dalam membatasi pertumbuhan organisme, dan
meningkatkan autodestruksi dari sel-sel yang terinfeksi.
 Berikan antibiotic

16
Rasional : antimikroba mengobati infeksi yang menjadi
penyebab penyakit.

Diagnosis 5 : Gangguan rasa nyaman dan aman yang berhubungan


dengan infeksi.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan, bayi tidak rewel
Kriteria hasil : Tidak ada tanda-tanda nyeri,bayi nampak tenang.
Intervensi :
1) Menjelaskan proses terjadinya infeksi kepada keluarga klien
Rasional : agar tidak adda kekhawatiran saat terjadi sesuatu
2) Beri lingkungan tenang dan nyaman.
Rasional : menurunkan reaksi terhadap terhadap stimulus dari luar agar
dapat meningkatkan istrahat atau relaksasi.

IV. Implementasi Keperawatan


Implementasi merupakan tindakan yang sesuai dengan yang telah
direncanakan, mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi.
Tindakan mandiri adalah tindakan keperawatan berdasarkan analisis dan
kesimpulan perawat dan bukan atas putunjuk tenaga kesehatan lain.
Tindakan kolaborasi adalah tindakan keperawatan yang didasarkan oleh
hasil keputusan bersama dengan dokter atau petugas kesehatan lain.

V. Evaluasi keperawatan
Merupakan hasil perkembangan ibu dengan berpedoman kepada hasil dan
tujuan yang hendak dicapai.

17
2.2 Infeksi Perineum Atau Laserasi Jalan Lahir
2.2.1 Pengertian Perineum
Perineum adalah daerah yang terletak antara vulva dan anus yang juga
berperan dalam persalinan. Perineum yang lunak dan elastis serta cukup lebar
umumnya tidak memberikan kesukaran dalam kelahiran kepala janin. Perineum
yang kaku dan tidak elastis akan menghambat persalinan kala II dan dapat
meningkatkan resiko terhadap janin, juga dapat menyebabkan robekan
perineum yang luas sampai tingkat III.
Perineum adalah lantai pelvis dan struktur sekitarnya yang menempati
pintu bawah panggul, di sebelah anterior dibatasi oleh simfisis pubis, di sebelah
lateral oleh tuber iskiadikum dan di sebalah posterior oleh oskoksigeus.
Perienum pada pria dibatasi oleh skrotum dan anus, sedangkan wanita oleh
vulva dan anus.
Perineum adalah daerah antara tepi bawah vulva dengan tepi depan anus.
Batas otot-otot diafragma (m.levator ani, m. Coccygeus) dan diafragma
urogenitalis (m.perinealis transversus profunda, m.constictor uretrehta).
 Perineum merupakan ruang berbentuk jajaran genjang yang terletak di
bawah dasar panggul. Perineum memiliki batas-batas sebagai berikut:
1) Superior : dasar panggul yang terdiri dari m. Levator ani dan m.
Coccygeus.
2) Lateral : tulang dan ligamenta yang membentuk pintu bawah panggul
(exitus pelvis) yakni dari depan ke belakang angulus subpubicus,
ramus ischiopubicus, tuber ischiadicum, ligasecrotuberosom, os
coccygis.
3) Inferior : kulit dan fascia.

18
2.2.2 Robekan Jalan Lahir
Robekan jalan lahir adalah terpotongnya selaput lendir vagina, selaput
dara, serviks, portio, septum rektovaginalis akibat dari tekanan  benda tumpul.
Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah
bervariasi banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu di evaluasi
yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi, sumber perdarahan
dapat berasal dari perineum, vagina, serviks dan robekan uterus, perdarahan
dapat dalam bentuk hematoma dan robekan jalan lahir dengan perdarahan yang
bersifat arteli atau pecahnya pembuluh darah vena. Untuk dapat menetapkan
sumber perdarahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan dalam dan
pemeriksaan speculum setelah sumber perdarahan diketahui dengan pasti
perdarahan dihentikan segera dengan menggunakan ligase atau penyempitan
pembuluh darah.
Banyak wanita mengalami robekan jalan lahir atau robekan perineum
pada saat melahirkan anak pertama. Pada sekitar separuh dari kasus-kasus
tersebut, robekan ini amat luas. Dan laserasi ini harus diperbaiki dengan cermat.
Laserasi spontan pada vagina atau perineum dapat terjadi saat kepala
dan bahu dilahirkan. Kejadian laserasi akan meningkat jika bayi dilahirkan
terlalu cepat dan tidak terkendali. Jalin kerjasama dengan ibu dan gunakan
perasat manual yang tepat dapat mengatur kecepatan kelahiran bayi dan
mencegah terjadinya laserasi. Kerjasama akan sangat bermanfaat saat kepala
bayi pada diameter 5-6 cm membuka vulva (Crowning) karena pengendalian
kecepatan dan pengaturan diameter kepala saat melewati introitus dan perineum
mengurangi kemungkinan terjadinya robekan, bimbing ibu untuk meneran dan
beristirahat atau bernapas dengan cepat pada waktunya.

19
Wanita yang setelah melahirkan mengalami robekan pada vagina bagian
dalam dengan jahitan atau kerusakan perineum (daerah diantara vulva dan anus,
yang terdiri dari kulit dan otot).

2.2.3 Ruptur Perineum


Ruptur Perineum dapat terjadi karena adanya ruptur spontan maupun
episiotomi. Perineum yang dilakukan dengan episiotomi itu sendiri harus
dilakukan atas indikasi antara lain: bayi besar, perineum kaku, persalinan yang
kelainan letak, persalinan dengan menggunakan alat baik forceps maupun
vacum. Karena apabila episiotomi itu tidak dilakukan atas indikasi dalam
keadaan yang tidak perlu dilakukan dengan indikasi di atas, maka menyebabkan
peningkatan kejadian dan beratnya kerusakan pada daerah perineum yang lebih
berat. Sedangkan luka perineum itu sendiri akan mempunyai dampak tersendiri
bagi ibu yaitu gangguan ketidaknyamanan.
Perlukaan perineum umumnya terjadi unilateral, namun dapat juga
bilateral. Perlukaan pada diafragma urogenitalis dan muskulus levator ani, yang
terjadi pada waktu persalinan normal ataupun persalinan dengan alat, dapat
terjadi tanpa luka pada kulit perineum atau pada vagina, sehingga tidak
kelihatan dari luar. Perlukaan demikian dapat melemahkan dasar panggul,
sehingga mudah terjadi prolapses genitalis.
Perineum adalah daerah antara tepi bawah vulva dengan tepi depan
anus. Batas otot- otot diafragma pelvis (m.perinealis, m. coccygeus) dan
diafragma urogenitalis (m.perinealis transversus profunda,m.constictor uretra).
Perineum meregang pada persalinan, kadang perlu dipotong (episiotomi) untuk
memperbesar jalan lahir dan mencegah robekan.
Perineum merupakan ruang berbentuk jajaran genjang yang terletak di
bawah dasar panggul. Daerah ini dibagi menjadi dua buah segi tiga, yaitu
trigonum urogenitalie di sebelah depan dan trigoum anale disebelah belakang.

20
Keduanya dipisahkan oleh sekat melintang yang dibentuk oleh mm.tranversus
perinci dan basis diaphragma urogenitale.
Banyak wanita mengalami robekan perineum pada saat melahirkan anak
pertama. Pada sekitar separuh dari kasus- kasus tersebut, robekan ini amat luas,
laserasi harus diperbaiki dengan cermat.

2.2.4      Indikasi
1.      Ruptur perineum spontan
a)      Faktor Ibu
1)      Partus presipitatus yang tidak dikendalikan dan tidak ditolong
(sebab  paling sering).
2)      Pasien tidak mampu berhenti mengejan.
3)      Partus diselesaikan secara tergesa- gesa dengan dorongan fundus yang
berlebihan.
4)      Edema dan kerapuhan pada perineum.
5)      Varikositas vulva yang melemahkan jaringan perineum.
6)      Arcus pubis sempit dengan pintu bawah panggul yang sempit pula
sehingga menekan kepala bayi kearah posterior.
7)      Perluasan episiotomi.

b)     Faktor Bayi
1)      Bayi yang besar.
2)      Posisi kepala yang abnormal, misalnya presentasi muka dan
occipitoposterior.
3)      Kelahiran bokong.
4)      Ekstaksi forceps yang sukar.
5)      Distosia bahu.
6)      Anomaly kongenital, seperti hydrocephalus

2.2.5 Derajat robekan perineum

21
Robekan perineum ini di bagi menjadi empat, yaitu robekan derajat 1,2,3, dan
4.

Robekan derajat pertama meliputi mukosa vagina,


Derajat 1 : fourchette dan  kulit perineum tepat dibawahnya.
Robekan derajat kedua meliputi mukosa
Derajat 2 : vagina,  fauchette posterior, kulit perineum,otot perineum.
Robekan derajat ketiga meluas sampai mukosa vagina,
fauchette posterior, kulit perineum, otot perineum, otot
Derajat 3 : spinter ani eksterna.
Robekan derajat keempat mengenai mukosa vagina,
fauhette posterior, kulit perineum, otot perineum,otot
Derajat 4 : spinter ani eksterna, dinding rectum anterior.

Penanganan ruptur perineum dan robekan vagina (dilakukan oleh yang


sudah berpengalaman terutama dokter kandungan).
Robekan derajat pertama ini kecil dan diperbaiki seseerhana mungkin.
Tujuannya adalah merapatkan kembali jaringan yang terpotong dan
menghasilkan hemostatis. Pada rata- rata kasus, beberapa jahitan terputus
lewat mukosa vagina, fourchette dan kulit perineum sudah memadai. Jika
perdarahannya banyak dilakukan penjahitan angka 8. Jahitan ini kurang
disimpul secara longgar paling baik bagi kulit karena jahitan ini kurang
menimbulkan tegangan dan lebih menyenangkan bagi pasien.
Robekan perineum yang melebihi derajat 1 harus di jahit. Hal ini dapat
dilakukan sebelum placenta lahir, tetapi apabila ada kemungkinan placenta
harus dikeluarkan secara manual, lebih baik tindakan itu ditunda sampai
menunggu plasenta lahir. Dengan penderita berbaring secara lithotomi
dilakukan pembersihan luka dengan cairan antiseptik dan luas robekan
ditentukan secara seksama.
Pada robekan perineum derajat 2 setelah diberi anestesi lokal, otot-
otot diafragma urogenitalis dihubungkan di garis tengah dengan jahitan dan

22
kemudian luka pada vagina dan kulit perineum ditutup dengan
mengikutsertakan jaringan- jaringan bawahnya.
Menjahit robekan perineum derajat 3 harus dilakukan dengan teliti.
Mula- mula dinding depan  rectum yang robek dijahit, kemudian fasia parektal
ditutup, dan muskulus sfringter ani aksternus yang robek dijahit. Selanjutnya
dilakukan penutupan robekan seperti pada robekan perineum derajat 2. Untuk
mendapat hasil yang baik pada robekan perineum total perlu tindakan
penanganan pasca pembedahan yang sempurna.
Robekan derajat 3 yang total diperbaiki lapis demi lapis. Perbaikan pada
robekan partial derajat 3 serupa dengan perbaikan pada robekan total, kecuali
dinding rectum masih utuh dan perbaikan dimulai dengan mendapatkan
kembali kedua ujung sfringter recti yang robek.(13)

2.2.6 Meminimalkan Derajat Ruptur Perineum


Menurut buku acuan persalinan normal, kerja sama dengan ibu dan
penggunaan perasat manual yang tepat dapat mengatur ekspulsi kepala, bahu,
seluruh tubuh bayi untuk mencegah laserasi atau meminimalkan robekan pada
perineum.
Cara-cara yang dianjurkan untuk meminimalkan terjadinya
robekan  perineum diantaranya adalah:
1. Saat kepala membuka vulva (5-6 cm) penolong meletakkan kain bersih
dan kering yang dilipat sepertiga dibawah bokong ibu dan menyiapkan
kain atau handuk bersih diatas perut ibu, untuk mengeringkan bayi
segera setelah lahir.
2. Melindungi perineum dengan satu tangan dengan kain yang bersih dan
kering, ibu jari pada salah satu perineum dan empat jari tangan pada
sisi yang lain dibelakang kepala bayi.
3. Menahan kepala bayi agar posisi kepala tetap fleksi pada saat keluar
secara bertahap melalui introitus dan perineum.

23
4. Melindungi perineum dan mengendalikan lahirnya kepala, bahu, dan
seluruh tubuh bayi secara bertahap dengan hati-hati dapat mengurangi
regangan berlebihan (robekan) pada vagina dan perineum.
5. Melindungi perineum dan mengendalikan keluarnya kepala bayi
dengan hati-hati dapat mengurangi robekan pada vagina dan perineum
2.2.7 Perawatan Luka Jahitan Perineum
1. Pengertian Perawatan Luka Perineum
Perawatan adalah proses pemenuhan kebutuhan dasar manusia
(biologis, psikologis, sosial dan spiritual) dalam rentang sakit sampai dengan
sehat. Perineum adalah daerah antara kedua belah paha yang dibatasi oleh
vulva dan anus. Jadi perawatan perineum adalah pemenuhan kebutuhan untuk
menyehatkan daerah antara paha yang dibatasi vulva dan anus pada ibu yang
dalam masa antara kelahiran plasenta sampai dengan kembalinya organ
genetik seperti pada waktu sebelum hamil.

2.    Gangguan Integritas Kulit pada Proses Persalinan


1)      Episiotomi
Episiotomi adalah insisi pada perineum untuk memperbesar mulut vagina.
Jenis episiotomi ditentukan berdasarkan tempat dan arah insisi antara
lain :
a)        Episiotomi Garis Medial
Paling sering dilakukan. Episiotomi ini efektif, mudah diperbaiki, dan
biasanya nyeri yang timbul lebih ringan. Kadang-kadang dapat terjadi
perluasan melalui sfingter rectum (laserasi derajat ketiga) atau bahkan
ke kanal ani (laserasi derajat keempat).
b)    Episiotomi Mediolateral
Dilakukan pada persalinan dengan tindakan jika ada kemungkinan
terjadi perluasan kearah posterior. Meskipun dengan demikian robekan
derajat empat dapat dihindari, tetapi robekan derajat tiga dapat terjadi.

24
Selain itu, Jika dibandingkan dengan episiotomi medial, kehilangan
darah akan lebih banyak dan perbaikan lebih sulit serta lebih nyeri.

2)      Laserasi
a)    Laserasi Perineum (Robekan Perineum)
Robekan pada perineum terjadi pada hampir semua persalinan dan
tidak jarang juga pada persalinan berikutnya, namun hal ini dapat
dihindarkan atau dikurangi dengan jalan menjaga jangan sampai dasar
panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat.
Robekan perineum dapat di bagi 4 tingkat :
(1)    Tingkat 1 : Robekan hanya terjadi pada selaput lendir vagina
dengan atau tanpa mengenai kulit perineum.
(2)    Tingkat 2 : Robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot
perinel transversalis, tetapi tidak mengenai otot sfringter ani.
(3)    Tingkat 3 : Robekan mengenai perineum sampai dengan otot
sfringter ani.
(4)    Tingkat 4 : Robekan mengenai perineum sampai dengan otot
sfringter ani dan mukosa rectum
b)      Laserasi Vagina
c)      Laserasi Serviks (Cedera Serviks).

Tujuan Perawatan Luka Perinium


1. Untuk mencegah terjadinya infeksi di daerah vulva, perineum, maupun di
dalam uterus
2. Untuk penyembuhan luka perineum (jahitan perineum)
3. Untuk kebersihan perineum dan vulva

25
4. Untuk mencegah infeksi seperti diuraikan diatas bahwa saat persalinan vulva
merupakan pintu gerbang masuknya kuman-kuman. Bila daerah vulva dan
perineum tidak bersih, mudah terjadi infeksi pada jahitan perineum saluran
vagina dan uterus.

2.2.7 Waktu Perawatan Luka perineum


1. Saat mandi.
Pada saat mandi, ibu post partum pasti melepas pembalut, setelah terbuka
maka ada kemungkinan terjadi kontaminasi bakteri pada cairan yang
tertampung pada pembalut, untuk itu maka perlu dilakukan penggantian
pembalut, demikian pula pada perineum ibu, untuk itu diperlukan
pembersihan perineum.
2. Setelah buang air kecil.
Pada saat buang air kecil, pada saat buang air kecil kemungkinan besar terjadi
kontaminasi air seni pada rektum akibatnya dapat memicu pertumbuhan
bakteri pada perineum untuk itu diperlukan pembersihan perineum.
3. Setelah buang air besar.
Pada saat buang air besar, diperlukan pembersihan sisa-sisa kotoran disekitar
anus, untuk mencegah terjadinya kontaminasi bakteri dari anus ke perineum
yang letaknya bersebelahan maka diperlukan proses pembersihan anus dan
perineum secara keseluruhan.

2.2.9 Cara Perawatan Luka Perineum


Perawatan perineum dapat mengurangi kemungkinan terjadinya
infeksi dengan cara menjaga kebersihan perineum. Caranya sebagai berikut:
1)      Persiapan :
a)      Siapkan air hangat
b)      Sabun dan washlap

26
c)      Handuk kering dan bersih
d)     Pembalut ganti yang secukupnya
e)      Celana dalam yang bersih

2)      Cara merawatnya :
a)      Lepas semua pembalut dan cebok dari arah depan ke belakang.
b)      Washlap dibasahi dan buat busa sabun lalu gosokkan perlahan washlap
yang sudah ada busa sabun tersebut ke seluruh lokasi luka jahitan.
Jangan takut dengan rasa nyeri, bila tidak dibersihkan dengan benar
maka darah kotor akan menempel pada luka jahittan dan menjadi tempat
kuman berkembang biak.
c)      Bilas dengan air hangat dan ulangi sekali lagi sampai yakin bahwa luka
benar-benar bersih. Bila perlu lihat dengan cermin kecil.
d)     Setelah luka bersih boleh berendam dalam air hangat dengan
menggunakan tempat rendam khusus. Atau bila tidak bisa melakukan
perendaman dengan air hangat cukup di siram dengan air hangat.
e)      Kenakan pembalut baru yang bersih dan nyaman serta  celana dalam
yang bersih dari bahan katun. Jangan mengenakan celana dalam yang
bisa menimbulkan reaksi alergi.
f)       Segera mengganti pembalut jika terasa darah penuh, semakin bersih
luka jahitan maka akan semakin cepat sembuh dan kering.
g)      Konsumsi makanan bergizi dan berprotein tinggi agar luka jahitan cepat
sembuh. Makanan berprotein ini bisa diperoleh dari telur, ikan, ayam
dan daging, tahu, tempe. Jangan pantang makanan, ibu boleh makan
semua makanan kecuali  bila ada riwayat alergi.
h)      Luka tidak perlu dikompres obat antiseptik cair tanpa seizin dokter atau
bidan.
3)      Lamanya jahitan mengering
Luka jahitan rata-rata akan kering dan baik dalam waktu kurang dari
satu minggu. Bila keluar darah kotor bau busuk dari jalan lahir, ibu

27
panas, dan luka jahitan bengkak kemerahan terasa sangat nyeri atau luka
jahitan bernanah.

Ada beberapa catatan yang perlu diketahui:


a)      Luka jahitan terasa sedikit nyeri
Jangan cemas, rasa nyeri ini akibat terputusnya jaringan syaraf dan
jaringan otot, namun semakin sering di gerakkan maka nyeri akan
berkurang. Bila ibu hanya berbaring terus menerus dan takut bergerak
karena nyeri akan menghambat proses penyembuhan. Sirkulasi darah
pada luka menjadi tidak lancar.
b)      Luka terlihat sedikit bengkak dan merah
Pada proses penyembuhan luka tubuh secara alami akan memproduksi
zat – zat yang merupakan reaksi perlawanan terhadap kuman. Sehingga
dalam proses penyembuhan luka kadang terjadi sedikit pembengkakan
dan kemerahan. Asalkan luka bersih ibu tak perlu cemas. Bengkak dan
merah ini bersifat sementara.

Beberapa keluarga masih ada yang menganjurkan untuk mengurangi


minum air putih agar jahitan cepat kering. Hal ini sama sekali tidak
dibenarkan. Justru ibu harus minum yang banyak, minimal 8 gelas
sehari untuk memperlancar buang air kecil, mengganti cairan tubuh
yang hilang dan memperlancar proses pengeluaran ASI. 

28
ASUHAN KEBIDANAN
IBU POST PARTUM DENGAN LUKA PERINEUM

I. Pengkajian
Tanggal ................. Pukul ............. WIB
A. Data Subjektif
1. Biodata
- 70 % wanita yang melahirkan pervagina sedikit banyak
mengalami trauma perineum (Vicky, 2006).
- Robekan perineum terjadi pada hampir semua
persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya
(Sumarrah, 2008).
2. Riwayat Kehamilan, Persalinan dan Nifas yang lalu :
- Gawat janin
- Persalinan pervainam dengan penyulit :
a. Distosia bahu
b. Ekstrasi tansep
c. Ekstrasi vacuum
- Bayi lahir premature (Sumarrah, 2008).
3. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita keluarga.
Riwayat penyakit keturunan seperti Diabetes Mellitus akan
mempengaruhi kemampuan diri dalam penyembuhan luka
(http://hendrik science-blogspot.com).

29
B. Data Objektif
Pemeriksaan Umum
KU: cenderung lemah
Kesadaran : composmentis
Tanda-tanda vital :
- Suhu : Sekitar hari ke-4 suhu ibu akan mengalami sedikit kenaikan
antara 37,2- 37,50C. Jika hari ke-2 suhu mencapai 38 0C harus
dicurigai adanya infeksi nifas.
- Nadi : Denyut nadi ibu akan melambat sampai sekitar 60 x/mnt segera
setelah melahirkan.
- TD : Tekanan darah normal pada masa post partum adalah kurang
dari 140/90 mmHg.
- RR : Resspirasi ibu nifas akan melambat segera setelah melahirkan.
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi pada amogenetalia:
Adanya robekan perineum.
Derajat I : - mukosa vagina
- fauchette pasterior
- kulit perineum
Derajat II : - mukosa vagina
- fourchette posterior
- kulit perineum
- otot perineum
Derajat III : - mukosa vagina
- fourchette posterior
- kulit perineum
- otot perineum
- otot spinterani eksterna
Derajat V : - mukosa vagina
- fourchette posterior

30
- kulit perineum
- otot perineum
- otot spinterani eksterna
- dinding ruktum anterior (Sumarrah, 2008).

II. Indentifikasi Diagnosa dan Masalah


Diagnosa : Luka Perineum
Masalah Potensial : Komplikasi yang terjadi diantaranya pembentukan
hematoma, kerusakan jaringan, trauma jaringan, perdarahan, infeksi bahkan
kematian pada ibu post partum.

III. Intervensi
Diagnosa : Luka Perineum
Tujuan : Masa post partum berjalan lancar tanpa terjadi komplikasi
KH : - Pemeriksaan Umum
KU ibu baik
Kesadaran composmentis
TTV dalam batas normal (S : 36-37 ºC, N : 60-100 x/mnt, RR : 20-24
x/mnt, TD : 100/70 - 130/90 mmHg
- Pemeriksaan Fisik
Tidak ada tanda-tanda anemia, tidak ada tanda-tanda infeksi, penurunan
TFU sesuai dengan masa involusi
Involusi Tinggi Fundus Uteri Berat Uterus
Bayi lahir Setinggi pusat 1000 gr
Plasenta lahir Dua jari bawah pusat 750 gr
Satu minggu Pertengahan pusat-symphisis 500 gr
Dua minggu Tidak teraba di atas 350 gr
symphisis
Enam minggu Bertambah kecil 50 gr
Delapan minggu Sebesar normal 30 gr
- Tidak ada gangguan pemenuhan nutrisi, eliminasi, pola istirahat,
aktifitas, personal higien dan seksual

31
Intervensi
1. Bina hubungan baik dengan komunikasi terapiutik
R/ Terbina hubungan baik antara ibu dengan petugas, ibu lebih kooperatif
2. Beritahu hasil pemeriksaan pada ibu dan keluarga
R/ Pengetahuan ibu dan keluarga bertambah, ibu lebih kooperatif dan dapat
mengurangi rasa cemas
3. Lakukan observasi TTV
R/ Observasi tanda-tanda vital merupakan upaya deteksi dini adanya
komplikasi
4. Berikan rehidrasi secara parenteral
R/ Rehidrasi parenteral merupakan upaya untuk mengganti cairan yang
hilang akibat perdarahan
5. Motivasi ibu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang tinggi karbohidrat,
protein dan serat
R/ Pemenuhan nutrisi ibu terjamin
6. Motivasi klien untuk menjaga kebersihan daerah genetalia dan merawat
luka jahitan perineum secara rutin
R/ Kebersihan daerah genetalia terjamin, perawatan luka jahitan perineum
secara rutin mencegah terjadinya infeksi
7. Ajari ibu cara merawat luka jahitan perineum
R/ Pengetahuan ibu bertambah, ibu dapat melakukan perawatan luka
jahitan perineum sendiri
8. Motivasi ibu untuk melakukan mobilisasi dini
R/ Mobilisasi dini pasca partum dapat memperlancar peredaran darah ke
seluruh tubuh, sehingga mempercepat pemulihan pasca partum
9. Motivasi ibu untuk menyusui bayinya sesering mungkin, minimal 2 jam
sekali
R/ Kebutuhan nutrisi bayi terpenuhi, tidak terjadi bendungan ASI serta
dapat membantu mempercepat involusi uteri

32
10. Kolaborasi dengan SpOG untuk meberikan analgetik dan antibiotik jika
diperlukan
R/ Ibu mendapatkan terapi yang tepat yang sesuai dengan kondisi ibu

IV. Implementasi
Mengacu pada intervensi

V. Evaluasi
Mengacu pada kriteria hasil

33
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Sepsis neonatorum atau septikemia neonatal didefinisi sebagai infeksi bakteri
pada aliran darah bayi selam empat minggu pertama kehidupan. Penyebabnya dimulai
pada infeksi antenatal, infeksi intranatal, infeksi postnatal.

Pemeriksaan untuk mendiagnosa adanya sepsis adalah hitung darah lengkap


(HDL), trombosit, kultur darah, pungsi lumbal dan sensitivitas cairan serebrospinal
(CSS), kultur urin, rontgen dada dilakukan bila ada gejala respirasi.

Ruptur Perineum dapat terjadi karena adanya ruptur spontan maupun


episiotomi. Perineum yang dilakukan dengan episiotomi itu sendiri harus dilakukan
atas indikasi antara lain: bayi besar, perineum kaku, persalinan yang kelainan letak,
persalinan dengan menggunakan alat baik forceps maupun vacum. Karena apabila
episiotomi itu tidak dilakukan atas indikasi dalam keadaan yang tidak perlu dilakukan
dengan indikasi di atas, maka menyebabkan peningkatan kejadian dan beratnya
kerusakan pada daerah perineum yang lebih berat. Sedangkan luka perineum itu
sendiri akan mempunyai dampak tersendiri bagi ibu yaitu gangguan
ketidaknyamanan.
Perawatan perineum adalah pemenuhan kebutuhan untuk menyehatkan daerah
antara paha yang dibatasi vulva dan anus pada ibu yang dalam masa antara kelahiran
plasenta sampai dengan kembalinya organ genetik seperti pada waktu sebelum hamil.

3.2 Saran

34
a) Mencegah lebih baik dari pada mengobati.
b) Hindari infeksi nosokomial
c) Hindari Infeksi Perineum Atau Laserasi Jalan Lahir

DAFTAR PUSTAKA

Fowler, G.E. 2009. Obstetric Anal Sphincter Injury. Liverpool. Urodynamic


Departement, Livrpool Women’s Hospital
JNPK-KR. 2008. Asuhan Persalinan Normal dan Inisiasi Menyusu Dini. Jakarta:
JNPK-KR
Mohammed, Lotfy. 2011. Comaparative Study Between Two Perineal Management
Sumarrah, 2008. Perawatan Ibu Bersalin. Yogyakarta : Fitramaya
Varney, Hellen. 2006. Asuhan Kebidanan Vol. 1. Jakarta : EGC
Vicky, Chapman. 2006. Asuhan Kebidanan dan Kelahiran.Jakarta:EGC
http://hendrik science-blogspot.com
Doenges, Marilynn, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3 .Jakarta : EGC
Gale, Danielle & Charette, Jane. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi,
Jakarta : EGC
hidayat2.wordpress.com/2009/07/14/askep-ca-colon. Di akses 8 januari 2011
Mansjoer Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta.: FKUI
Mitayani. 2009. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta :Salemba Medika

35

Anda mungkin juga menyukai