Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi


taufiq dan hidayah-Nya sehingga tugas Makalah ini yang berjudul “Keberadaan
Hukum dalam Konteks HAM “ ini dapat terselesaikan tanpa suatu halangan dan
rintangan yang cukup berarti.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membimbing kita dari
jalan kegelapan menuju jalan Islami.
Tak lupa pula penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah bersusah payah membantu hingga
terselesaikannya penulisan makalah ini. Semoga semua bantuan dicatat sebagai
amal sholeh di hadapan Allah SWT.
Penulis menyadari walaupun telah berusaha semaksimal mungkin dalam
menyusun tugassederhana ini, tetapi masih banyak kekurangan yang ada
didalamnya. Oleh karena itu, segenap kritik dan saran sangat penyusun harapkan
demi perbaikan tugas ini. Penyusun berharap tugas ini akan dapat bermanfaat bagi
semua pembaca. Amin.

Kotabumi, Juli 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................1
1.2 RumusanMasalah. ..........................................................................1
1.3 Tujuan.............................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN......................................................................2
2.1 HukumdanMasyarakatdalamKonteksHakAsasiManusia................2
2.1.1 PengertianHakAsasiManusia.................................................2
2.1.2RuangLingkupHakAsasiManusia...........................................3
2.1.3 LatarBelakangHakAsasiManusia..........................................5
2.1.4 PelanggaranHakAsasiManusia..............................................5
2.1.5 Konseptual Persamaan Hak dan Kewajiban di Hadapan
Hukum di Indonesia
................................................................................................
8
2.2 HakAsasiManusiadanWibawaHukum
...............................................................................................................
8
2.3 HAM dalamPerspektifSosiologiHukum
...............................................................................................................
11
2.4 ContohKasusPelanggaran HAM
...............................................................................................................
12

BAB III PENUTUP..............................................................................17


3.1 Kesimpulan.....................................................................................17
3.2 Saran.......................................................................... .....................18
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHUKUAM

1.1 Latar Belakang


Pengakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia merupakan salah satu ciri
dari negara hukum.Negara Indonesia merupakan negara yang berlandaskan atas
hukum sesuai dengan bunyi pasal 1 ayat 3 UUD 1945 “Negara Indonesia adalah
negara hukum”. Hak Asasi manusia adalah hak dasar atau kewarganegaraan yang
melekat pada individu sejak ia lahir secara kodrat yang diberikan langsung oleh
Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dirampas dan dicabut keberadaannya dan
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah
dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia.
Selain dari pada itu, Indonesia wajib melaksanakan perlindungan dan penegakan
HAM untuk warga negaranya karena Indonesia telah pelakukan perjanjian-
perjanjian Internasional dalam masalah penegakan HAM. Karena sebelum
Indonesia melakukan perjanjian tersebut, Indonesia pernah mendapat embargo
dalam segala bidang dari negara lain. Karena mereka menilai, jika pemerintah Indonesia
sering melakukan pelanggaran HAM kepada masyarakatnya. Persoalan yang timbul
dalam negara hukum Indonesia yaitu, belum terimplementasikan secara menyeluruh dan
komperhensif perlindungan Hak Asasi Manusia untuk masyarakat Indonesia. Terbukti
masih banyaknya pelanggaran-pelanggaran HAM berat maupun ringan yang terjadi di
Indonesia. Tetapi kita juga tidak bisa menutup mata, jika pada era reformasi ini
penegakan HAM di Indonesia sudah menunjukan peningkatan .
Tuntutan terhadap penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia telah
mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang kemudian diikuti oleh Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000
mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dimaksudkan untuk menjawab
berbagai persoalan pelanggaran hak asasi manusia khususnya pelanggaran hak asasi
manusia berat.
Banyak perkara yang telah masuk ke pengadilan hak asasi manusia, yang
terdiri atas Dua belas (12) perkara pelanggaran hak asasi manusia berat di Timor-
Timur, empat (4) Perkara peristiwa Tanjung Priok dan dua (2) Perkara
pelanggaran hak asasi manusia berat di Abepura ,Papua tidak menghasilkan

1
keputusan yang memuaskan rasa keadalan khususnya bagi para korban
pelanggaran hak asasi manusia berat tersebut.
Seperti telah uraikan di atas, Indonesia merupakan negara yang berlandaskan
atas hukum. Sehingga Negara Indonesia wajib memberi perlidungan Hak Asasi
Manusia kepada setiap masyarakatnya, hal itu merupakan konsekuensi dari negara
hukum. Hal-hal yang telah dikemukakan diatas, yang akan menjadi pembahasan
tulisan ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Pengertian HakAsasi Manusia (HAM)?
2. Bagaimana Ruang Lingkup Hak Asasi Manusia (HAM) ?
3. Bagaimana Latar Belakang Hak Asasi Manusia ?
4. Bagaimana Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
5. Bagaimana Konseptual Persamaan Hak dan Kewajiban di Hadapan Hukum
di Indonesia
6. Bagaimana korelasi antara hak asasi manusia dan wibawa hukum?
7. Bagaimana ham dalam persepektif sosiologi hukum?

1.3 Tujuan
1. Agar kita mengetahui Bagaimana Pengertian HakAsasi Manusia (HAM)?
2. Agar kita mengetahui Bagaimana Ruang Lingkup Hak Asasi Manusia (HAM)
?
3. Agar kita mengetahui Bagaimana Latar Belakang Hak Asasi Manusia ?
4. Agar kita mengetahui Bagaimana Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
5. Agar kita mengetahui Bagaimana Konseptual Persamaan Hak dan Kewajiban
di Hadapan Hukum di Indonesia
6. Agar kita memahami bagaimana korelasi antara hak asasi manusia dan
wibawa hukum.
7. Agar kita mengetahui bagaimana ham dalam persepektif sosiologi hukum.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian HakAsasi Manusia (HAM)


Hak Asasi Manusia (HAM) menurut pasal 1 ayat (1) Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu,dapat dipahami bahwa hak asasi
manusia itu ada beberapa jenis yang melekat pada diri manusia sejak dalam
kandungan sampai liang lahat. Ia merupakan anugerah Tuhan Ynag Maha Esa,
memberi manusia kemampuan memebedakan yang baik dengan yang buruk (akal
budi). Akal budi itu membimbing manusia menjalankan kehidupannya. Hak-hak
yang melekat kepada manusia dimaksud diberikan langsung oleh Tuhan Yang
Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Oleh karenanya tidak ada
kekuasaan apa pun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan
berarti manusia dengan hak-haknya itu dapat berbuat semau-maunya. Sebab
apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategoikan memperkosa hak
asasi orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Oleh
karena itu, pada hakikatnya HAM terdiri atas dua hak dasar yang paling
fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah
lahir HAM yang lainnnya.
Hak asasi manusia dimaksud di Indonesia diatur melalui Undang-undang
Dasar 1945, baik dalam pembukaan maupun dalam batang tubuhnya. Namun
secra khusus, hak asasi manusia (HAM) diatur dalam Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999. Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan seseorang atau kelompok,
termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang
secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan/atau mencabut
hak asasi manusia baik seseorang atau kelompok yang dijamin oleh undang-
undang dimaksud (Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 39

3
Tahun 1999) akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Pelanggaran hak asasi manusia yang demikian, disebut pelanggaran hak
asai manusia yang ringan. Lain halnya pelaggaran hak asasi manusia yang berat,
yaitu pembunuhan massal, pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan
pengadilan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau
diskriminasi yang dilakukan secara sistematis.
Berdasarkan hal tersebut, dibentuklah KOMNAS HAM atau suatu
lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya
yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan,
atau mediasi hak asassi manusia yang bertujan untuk: (1) mengembangkan
kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan
pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemenya, dan Piagam
Perserikatan Bangsa-bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Mnusia, (2)
meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna
berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan
berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

2.2 Ruang Lingkup Hak Asasi Manusia (HAM)


Hak asasi manusia yang diuraikan di atas mempunyai ruang lingkup yang
luas dan mencakup berbagai aspek kehidupan. Hal itu diungkapkan sebagai
berikut:
1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan hak miliknya.
2. Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai menusia pribadi
dimana saja ia berada.
3. Setiap orang berhak atas ras aman dan tenteram serta perlindungan terhadap
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
4. Setiap orang tidak boleh diganggu yang merupakan hak yang berkaitan
dengan kehidupan pribadi di dalam tempat kediamannya.

4
5. Setiap orang berhak atas kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan
komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas
perintah hakim atau kekuasaaan lain yang sah sesuai dengan undang-undang.
6. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau
perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, penghilangan paksa dan
penghilangan nyawa.
7. Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditekan, disiksa, dikucilkan, diasingkan,
atau dibuang secara sewenang-wenang.
8. Setiap orang berhak hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang
damai, aman dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan
sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar mansuia sebagimana
diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan pengertian dan ruang lingkup hak asasi manusia tersebut,
dapat diketahui dan dipahami bahwa dinegara republik Indonesia yang berdasar
atas hukum, amat dihormati dan dijunjung tinggi hak asasi manusia sehingga
dalam Garis-Garis Besar Haluan Negar (GBHN) tahun 1999-2004 diungkapakan:
(1) meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan perlindungan,
penghormatan, dan penegakan hak asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan,
dan (2) menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan
hak asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas.
Selain pengertian dan ruang lingkup hak asasi manusia yang diuaraikan
diatas, perlu dikemukakan kewajiban dasar manusia. Kewajiban dasar dimaksud,
adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak
memungkinkan terlaksana dan tegaknya Hak Asasi Manusia. Dalam Declaration
of Human Rights Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak tercantum adanya kewajiban
Dasar Manusia. Akan tetapi, kewajiban dasar tersebut lahir dalam Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yakni pada Bab IV
Pasal 67 sampai Pasal 70.

5
2.3 Latar Belakang Hak Asasi Manusia
Ide mengenai hak asasi manusia secara hukum ketatanegaraan
diperkirakan muncul pada abad ke-17 dan ke-18 Masehi. Hal itu terjadi
sebagaireaksi terhadap organisasi dan kediktatoran raja-raja dan kaum feodal
terhadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka pekerjakan di
zaman itu. Masyarakat manusia dizaman dimaksud, terdiri dari dua lapisan besar,
yaitu (1) lapisan atas (minoritas) sebagai yang mempunyai sejumlah hak terhadap
lapisan bawah (mayoritas) sebagai kelompok yang diperintah; dan (2) lapisan
bawah yang mayoritas mempunyai sejumlah kewajiban-kewajiban terhadap
lapisan minoritas yang menguasainya. Lapisan masyarakat yang disebutkan
terakhir itu tidak mempunyai hal-hak terhadap lapisan minoritas, melainkan
mempunyai sejumlah kewajiban, bahkan diperlukan dengan sewenang-wenang
oleh pihak yang berkuasa terhadap diri mereka. Mereka diperlakukan sebagai
budak yang dimiliki. Pemilik dapat berbuat sekehendak hatinya terhadap apa yang
dimilikinya.
Keadaan masyarakat tersebut menimbulkan ide supaya lapisan bawah
yang mayoritas itu diperlakukan sebagai manusia juga, diangkat derajatnya, dari
tidak punya hak menjadi memiliki hak yang sama dengan masyarakat lapisan
atas. Akhirnya, terwujud ide persamaan,persaudaraaan, dan kebebasan yang
ditonjolkan oleh Revolosi Prancis pada akhir abad ke-18. Semua manusia adalah
sama, tidak ada budak yang dimiliki, melainkan semua manusia merdeka dan
bersaudara.
Kalau demikian halnya yang menjadi asas Revolusi Prancis, maka dapat
disebut sebagai dasar dari hak asasi manusia adalah agama tauhid, agama yang
mempunyai ajaran kemahaesaan Allah. Tauhid, yang dengan kuat dipegang oleh
ajaran agama islam, mengandung arti: hanya ada satu Pencipta bagi alam
semesta.

6
2.4 Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
Pembicaraan mengenai hak asasi manusia (HAM) dan pelanggarannya
sudah kurang lebih dari setengah abad yang lampau terjadidan masih menjadi
topik yang aktual beberapa abad yang akan datang, terutama di negara yang
berdasar atas hukum dinegara Republik Indonesia. Oleh karena itu, bila Presiden
keempat (K.H. Abd. Rahman Wahid) mengklasifikasikan perhatian bangsa
Indonesia terhadap HAM menjadi; pejuang, yang membantu perjuangan dan
penonton.1 Maka penulis cenderung membagi kedalam empat kategori, yaitu (1)
mereka yang memahami pengertian dan makna HAM bagi eksistensi dan
pemberdayaan manusia yang sejalan dengan eksistensi hak-hak Pencipta manusia,
(2) mereka yang memahami pengertian dan makna HAM bagi eksistensi dan
peberdayaan manusia, tetapi tidak mempedulikan hak-hak pencipta manusia, (3)
mereka yang memahami pengertian dan makna HAM bagi eksistensi dan
pemberdayaan manusia tetapi keliru pemahamannya, dan (4) mereka yang
mencoba memahami HAM, tetapi masa bodoh terhadap HAM termasuk mereka
yang ikut-ikutan (mencari popularitas) dalam HAM. Namun, bagi bangsa
Indonesia sampai saat ini (2003), perjuangan untuk memajukan dan melindungi
HAM masih dalam proses yang panjang. Dalam tahapawal, perjuangan tersebut
masih merupkan akomodasi politik. Pemahaman terhadap HAM pada tahap
berikut adalah meletakkan landasan peraturan perundang-undangan untuk
memperkuat perjuangan tersebut, antara lain diundangkannya Undang-undang RI
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, dan Keppres RI Nomor 30 Tahun 1993 tentang
KOMNAS HAM.
Pemahaman HAM pada tingkat elite politik, lingkungan Perguruan Tinggi
dan Lembaga Swadaya Masyarakat masih pada tahap awal dan terkadang pada
tahap ini pun masih saja ada ketidak jujuran demi kepentingan politik kelompok
tertentu. Bahkan, ada orang yang mengaku sudah memahami, akan tetapi terbukti
baru mulai membaca satu sampai empat buku mengenai HAM. Selain itu, ada
yang mengaku sudah melaksanakan HAM, akan tetapi terbukti tidak
mengindahkan hak asasi seorang pembantu rumah tangga atau penjaga kantor
(satpam). Budaya feodalisme dalam pemahaman negatif sebagian masyarakat

7
Indonesia merupakan ganjalan untuk mencerna dan memahami HAM secara utuh
dan benar, terutama dikalangan pejabat birookrasi.3 Kita sudah mempunyai
anggota dewan yang reformis, baik di tingkat pusat (DPR) maupun didaerah
(DPRD); sudah tentu dengan sejumlah harapan dapat proaktif dalam pemajuan
dan perlindungan HAM.
Penyelidikan terhadap pelanggaran HAM semula diniatkan untuk
mencegah campur tangan PBB dan ternyata kemudian malah mengundang campur
tangan PBB secara terbuka antara pihak yang diselidiki dengan pihak yang
melakukan penyelidikan. Oleh karena itu, kekurangan pengetahuan terhadap suatu
peraturan perundang-undangan baik yang tersurat maupun yang tersirat akan
melahirkan pemahaman yang kontroversial. Hal itu akan melahirkan
ketidakbermaknaan pendidikan hukum dan politik di negara Republik Indonesia.
Saat ini di Indonesia terkadang sulit bagi setiap orang bertanya
kepadaorang yang tepat, atau memang orang yang dianggap tepat untuk berbicara
sudah memudar kejujurannya untuk mengatakan bahwa yang benar itu benar dan
salah itu adalah salah. Memang betul bahwa lidah itu tidak bertulang, dan yang
paling berbahaya adalah lidah penegak hukum dan aparatur hukum yang pandai
bersilat lidah yang kemudian melakukan praktik dagang hukum sehingga dapat
menyesatkan jutaan rakyat di negara ini yang memang belum dapat diberdayakan
secara optimal sampai saatini.
Esensi pelanggaran HAM bukan semata-mata pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan hak asasi manusia yang berlaku, melainkan
degradasi terhadap kemanusiaan yang merendahkan martabat dan derajat manusia
menjadi serendah binatang. Oleh karena itu, pelanggaran HAM tidak selalu
identik dengan pelanggran hukum pidana dan terlebih lagi dalam setiap
pelanggran HAM terdapat unsur perencanaan, dilakukan secara sistematik dengan
cara tertentu yang lebih banyak bersifat kolektif, baik berdasarkan agama, ernis,
atau ras tertentu. Keempat unsur pokok dari dari pelanggaran HAM dimaksud,
harus dapat dibuktikan di dalam sidang pengadilan. Sedangkan unsur kelima
(objek tertentu) tidak selalu harus bersifat kolektif karena pelanggran HAM
termasuk pula yang dilaksanakan secara perorangan.

8
2.5 Konseptual Persamaan Hak dan Kewajiban di Hadapan Hukum di Indonesia
Persamaan dihadapan hukum bagi setiap warga negara di Indonesia
merupakan cita hukum (rechtsidee) dalam mewujudkan keadilan di satu pihak dan
dilain pihak sebagai sistem norma hukum. Persamaan di maksud, dalam UUD
1945, dirumuskan dalam pasal 27 ayat (1) sebagai berikut.
“segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, penjelasan tentang pasal 27 itu
berbunyi “pasal ini mengenai hak-haknya warga negara”.
Pasal-pasal, baik yang hanya mengenai warga negara maupun yang mengenai
seluruh penduduk, memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara
yangbersifat demokratis dan yanghendak menyelenggarakan keadilan sosial dan
perikemanusiaan.
Berdasarkan uraian-uraian mengenai HAM di atas, perlu dikemukakan
beberapahal sebagai berikut;
1) Persamaan dihadapan hukum dalam teori dan praktik ketatanegaraan di
Indonesia, disatu pihak (praktik ketatanegaraan) mencerminkan sosial politik
yang cenderung menempatkan lain-lainnya, termasuk hukum sebagai alatnya
dan oleh karena itu berada dalm subordinasinya. Dipihak lain (secara teoritis)
menurut UUD 1945, hukumlah yang memimpin semua program kehidupan
rakyat Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk
program sosial politiknya.
2) Masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang pernah lama dijajah oleh
bangsa lain sebaiknya meninggalkan praktik-praktik yang mencerminkan
bahwa “hukum itu sebagai alat penguasa untuk memerintah rakyat yang
dikuasainya”. Dengan demikian, tercermin law is morality dan law is right,
bahkan mungkin dapat ditafsirkan melalui sila pertama Pncasiila religion is
law.

9
2.6 Hak Asasi Manusia dan Wibawa Hukum
Dalam rapat kerja nasional 1 Mahkamah Agung (MA) dengan jajaran
pengedilan se-Indonesia menegaskan bahwa penegakan hukum mutlak akan
mengembalikan wibawa hukum. Wibawa dimaksud, hanya dapat dilakukan oleh
jajaran pengadilan. Selain itu, wibawa hukum diperlukan pula untuk penegakan
hak asasi manusia (HAM).
Orang sering kurang mengetahui dan menyadari bahwa HAM mempunyai
hubungan yang erat dengan wibawa hukum. Kekhilafan ini tampak dari
kenyataan, bahwa jarang sekali orang memperbincangkan kedua masalah ini
bersamaan. Padahal HAM dan wibawa hukum merupakan dua sejoli atau dua sisi
mata uang, yang satu sisi tidak dapat dipisahkan dengan yang lainnya.
Charles Himawan mengungkapkan bahwa dinegara berkembang baik yang sudah
tergolong dalam kelompok Newly Industrialized Countries (NIC) maupun yang
masih tergolong sebagai Less Developed Countries (LDC), hubungan antara HAM
dengan wibawa hukum seringkali dilupakan. Demikian yang diungkapan oleh
masyarakat yang mendiami beberapa negara maju (Developed Countries).
Mungkin ini yang merupkan salah satu sebab mengapa Amnesti Internasional
misalnya, menempatkan pengadilan ang adil sebagai salah satu objek kerjanya.

Apabila kita bermain dengan kata-kata, istilah Indonesia adalah superior.


Sebab, kata pengadilan itu sendiri sudah mengandung unsur adil. Namun, untuk
menerjemahkan kata yang dimaksud, dalam kehidupan sehari-hari kita masih
inferior. Sebenarnya, Indonesia saat ini mempunyai peluang untuk mengurangi
sifat inferior itu berdasarkan alasan sebagai berikut.
Pertama, mayoritas anggota Komnas HAM mempnyai latar belakang
pendidikan hukum sehingga tidak ada kesulitan bagi Komnas HAM untuk masuk
kebidang hukum dalam usahanya untuk memantapkan penegakan HAM. Singkat
kata, komposisi akeanggotaan Komnas HAM sudah mencerminkan [entingnya
hukum sebagai media untuk memantapkan penegakan HAM. Penggunaan hukum
sebagai media merupakan suatu hal yang wajar karena negara Republik Indonesia
adalah negara yng berdasarkan atas hukum.
Kedua, beberapa anggota komnas HAM sendiri adalah mantan hakim,
jaksa dan pengacarasehingga mereka pasti dapat memberikan masukan keada

10
komnas HAM tentang langkah-langkah terbaik yang perlu ditempuh untuk
mengembalikan wibawa hukum. Hakim, jaksa, dan pengecara adalah tokoh
terpenting untuk menjaga wibawa hukum di dalam arena badan peradilan.
Merosotnya wibawa hukum masih dapat ditolerir bila hal itu teradi diluar
arena badan peradilan. Misalnya dibidang perizinan, dari izin kawin sampai izin
ke pendirian perusahaan. Pelecehan hukum yang terjadi diluar badan peradilan
masih dapat dimengerti, karena pada akhirnya pelecehan hukum itu akan dapat
diperbaiki oleh badan peradilan. Lain halnya bila pelecehan hukum itu lahir
didalam badan peradilan itu sendiri, maka sukar bagi praktisi pembangunan, baik
ia anggota Komnas HAM maupun bukan anggota, untuk mengembalikan wibawa
hukum. Kesukara dimaksud, tentu tambah rumit bila pelecahan hukum itu terjadi
di suatu negara hukum. Dalam negara absolut, kalau dijumpai raja yang bijak
seperti raja Salomon (973-933M), misalnya ketika dihadapi kasus penyebalihan
bayi menjadi dua, maka pelecehan hukum masih data diperbaiki oleh raja. Contoh
dimaksud, bila dibandingkan di Indonesia (Di Kota Kendari Sulawesi Tenggara)
seluruh anggota DPRD kota Kendari ditahan oleh kejaksaan dirumah tahanan
(Rutan). Hal itu dilakukan oleh jaksa karenadiduga korupsi dana rutin dewan
APBD 2003-2004.
Ketiga, masyarakat sendiri telah lama menyadari, bahwa didalam
menegakan berbagai fair trial, memang tampak tegas unsur trial nya masih
inferior. Singkat kata masyarakat telah lama menyadari, bahwa hukum di
Indonesia kurang berwibawa. Hal ini tercermin misalnya, dari petistiwa terdakwa
melempar sepatu kepada hakim dan eristiwa kipas-kipas uang dipengadilan
beberapa waktu yang lalu. Tambah lagi kalau peristiwa pelemparan sepatu dan
kipas-kipas uang “diperhebat” dengan perkelahian diantara hakim. Petistiwa
semacam itu, tidak akan terjadi bila wibawa hukum cukup tinggi. Sebab, yang
terpenting bagi kita semua adalah kenyataan bahwa kesadaran masyarakat tentang
merosotnya wibawa hukum ini telah diangkat oleh ketua Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung adalah benteng terakhir untuk menjaga merosotnya wibawa
hukum, dan bila benteng terakhir ini sudah dapat mengangkat kesadaran
masyarakat bersangkutan, maka kita semua dapat berbesar hati. Bahwa peluang
untuk memantapkan kembali wibawa hukum tidaklah terlalu sukar.

11
2.7 HAM Dalam Persepektif Sosiologi Hukum
Pemunculan, perumusan dan institusionalisasi Hak Asasi Manusia (HAM)
memang tak dapat dilepaskan dari lingkungan sosial atau habitatnya, yaitu tidak
lain masyarakat itu sendiri di mana HAM itu dikembangkan. Terjadi semacam
korespondensi antara HAM dan perkembangan masyarakat. Kita juga dapat
mengatakan, bahwa HAM itu memiliki watak sosial dan struktur sosial sendiri.
“institusi dalam masyarakat berkorespondensi dan berkelindang dengan
lingkungan sosialnya”. Oleh karena itu kehadiran suatu institusi ingin dijelaskan
dari konteks sosial dan historisnya.
Kita coba melacak HAM dari segi perkembangan historisnya dan meneliti
dalam konteks sosial yanga bagaimana ia muncul. Dokumen-dokumen paling
awal yang memasuki HAM adalah Bill of Rights (Inggris, 1688), Declaration of
the Rights of Man and of the Citizen (Prancis, 1789), dan Bill of Rights (Amerika,
1791). Benar, seperti dikatakan oleh Behr, bahwa HAM itu berasal dari rumusan
di Barat. Dokumen-dokumen tersebut mewakili pikiran yang ada di belakangnya
yang mendorong dokumen tersebut. Dengan demikian dokumen tersebut kita baca
sebagai isyarat (sign) adanya atau kelahiran gagasan yang ada di belakangnya.
Kemudian sejak kemunculannya sampai hari ini HAM telah mengalami
perkembangan dan perubahan yang dikenal dengan sebutan generasi HAM. 
Generasi pertama meliputi hak-hak sipil dan politik. Generasi kedua meliputi hak-
hak sosil, ekonomi dan budaya. Akhirnya generasi ketiga memuat sejumlah hak-
hak kolektif, seperti: hak ats perkembangan/ kemajuan (development); hak atas
kedamaian, hak atas lingkungan yang bersih hak atas kekayaan alam dan hak atas
warisan budaya.
Kita sudah berbicara panjang lebar tentang mainstream HAM di dunia.
Tetapi dunia tidak sama dengan Eropa atau Barat, melainkan jauh lebih luas dan
besar dari pada itu. Yang dikatakan disini adalah, bahwa masyarakat dan bangsa-
bangsa di dunia ada beraneka ragam. Beraneka ragam dalam habitat fisiknya,
tradisi kultural, nilai-nilainya, kosmologinya serta pandangannya tentang manusia
dan dunia.
Selanjutnya perkembangan yang sehat dari usaha pemajuan HAM adalah
melalui ‘pengakuan terhadap kemajemukan di dunia ini. Tanpa mengakui

12
kemajemukan tersebut, maka alih-alih memajukan HAM dunia malah akan
terjebak ke dalam suasana konflik yang bisa memuncak pada pelanggaran HAM
sendiri, terutama sejak HAM sudah memasuki generasi ketiga, yang antara lain
memuat hak atas warisan budaya.
Dalam model pemajuan HAM yang demikian itu tidak ada tempat bagi
pemaksaan dan dominasi dari satu konsep HAM tertentu di atas yang lain.
Apalagi sejak munculnya aliran pemikiran yang kontra-rasional dan kontra-
individual di dunia sebagaimana diuraikan dimuka. Yang ada adalah suasana
saling penghormatan dan saling memberi tahun serta saling memperkaya satu
sama lain. Konferensi-konferensi HAM Internasional hanya akan menjadi medan
pertukaran pengalaman dan forum pembelajaran, bukan menjadi tempat untuk
menggiring bangsa dan negara di dunia ini kearah pemahaman HAM secara
seragam menurut satu standar mutlak[3].        

13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hak Asasi Manusia (HAM) menurut pasal 1 ayat (1) Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.Hak asasi manusia yang diuraikan di atas
mempunyai ruang lingkup yang luas dan mencakup berbagai aspek kehidupan.
Ide mengenai hak asasi manusia secara hukum ketatanegaraan
diperkirakan muncul pada abad ke-17 dan ke-18 Masehi. Hal itu terjadi
sebagaireaksi terhadap organisasi dan kediktatoran raja-raja dan kaum feodal
terhadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka pekerjakan di
zaman itu. Masyarakat manusia dizaman dimaksud, terdiri dari dua lapisan besar,
yaitu (1) lapisan atas (minoritas) sebagai yang mempunyai sejumlah hak terhadap
lapisan bawah (mayoritas) sebagai kelompok yang diperintah; dan (2) lapisan
bawah yang mayoritas mempunyai sejumlah kewajiban-kewajiban terhadap
lapisan minoritas yang menguasainya.
Esensi pelanggaran HAM bukan semata-mata pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan hak asasi manusia yang berlaku, melainkan
degradasi terhadap kemanusiaan yang merendahkan martabat dan derajat manusia
menjadi serendah binatang. Orang sering kurang mengetahui dan menyadari
bahwa HAM mempunyai hubungan yang erat dengan wibawa hukum. Kekhilafan
ini tampak dari kenyataan, bahwa jarang sekali orang memperbincangkan kedua
masalah ini bersamaan. Padahal HAM dan wibawa hukum merupakan dua sejoli
atau dua sisi mata uang, yang satu sisi tidak dapat dipisahkan dengan yang
lainnya. Pperumusan dan institusionalisasi Hak Asasi Manusia (HAM) memang
tak dapat dilepaskan dari lingkungan sosial atau habitatnya, yaitu tidak lain
masyarakat itu sendiri di mana HAM itu dikembangkan. Terjadi semacam
korespondensi antara HAM dan perkembangan masyarakat. Kita juga dapat
mengatakan, bahwa HAM itu memiliki watak sosial dan struktur sosial sendiri.

14
3.2. Saran

Kita sebaiknya mencari informasi lebih tentang Negara Hukum dan HAM
agar lebih memahami kedua bahan pembahasan di atas. Kita sebagai mahasiswa
dan generasi penerus bangsa, sudah semestinya membantu pemerintah untuk terus
menegakkan HAM di Indonesia. Rakyat juga harus membantu mewujudkannya
dengan mematuhi segala peraturan perundang-undangan yang ada dalam negara
Indonesia, serta membantu pemerintah dalam mewujudkan negara aman dan
makmur.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainudin. 2006. FilsafatHukum. Jakarta: SinarGrafika.


___________. 2008. SosiologiHukum. Jakarta: SinarGrafika.
Marzuki, Supratman. 2012. Pengadilan HAM Indonesia. Yogyakarta: Eirlangga.
Atmasasmita, Romli. 2001. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan
Hukum. Bandung: MandarManju.
Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

58

Anda mungkin juga menyukai