Anda di halaman 1dari 10

JURNAL

KEKUASAAN THOMAS STAMFORD RAFFLES


DI NUSANTARA PADA TAHUN 1811-1816

Oleh : Ajeng Febya Anindita Hartanto (2105170018)

Abstrak
Kekuasaan Inggris di Nusantara diawali sejak William Jansens (Belanda) menyerah
kepada Inggris melalui sebuah perjanjian Kapitulasi Tuntang pada 18 September 1811.
Setelah Inggris melakukan ekspansi ke wilayah jajahan Belanda (Nusantara) dengan
secara resmi Inggris berkuasa di Nusantara. Pihak Inggris kemudian menunjuk Thomas
Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur pertama di Nusantara. Pada masa
pemerintahannya, Raffles ingin agar para petani dapat berdiri sendiri dan bebas
menentukan sendiri tanaman apa yang akan dikerjakan seperti tebu, kopi, nila dan
sebagainya.
Kata Kunci : Pemerintahan Raffles, Landrent

A. PENDAHULUAN
Inggris mulai termotivasi untuk melakukan penjajahan setelah kehilangan daerah-
daerah koloninya di wilayah Amerika. Hingga Inggris melirik Nusantara yang saat itu
dikuasai oleh Belanda dijadikan target penguasaan wilayah selanjutnya. Misi Inggris
tidak hanya untuk menguasai wilayah melainkan untuk menguasai penuh hasil-hasil
produksi atau kekayaan tanah Jawa/ Nusantara untuk kemudian menjadikannya sebagai
“lumbung” bahan mentah untuk menyuplai permintaan pasar global yang tinggi yang
mendatangkan keuntungan besar bagi negeri induk (Inggris). Kondisi perdagangan
Internasional kala itu dimana permintaan pasar dunia khususnya permintaan yang tinggi
dari benua Eropa dan Amerika Utara akan hasil-hasil produksi perkebunan dan pertanian
yang dibutuhkan untuk kepentingan industrialisasi pada abad 18. Kerena hal itulah
Inggris berkeinginan untuk bisa menguasai Nusantara yang banyak mengahasilkan
banyak rempah-rempah yang sangat dibutuhkan di dunia internasional.
Kekuasaan Inggris di Nusantara diawali dengan adanya sebuah perjanjian antara
pemerintah kolonial Belanda dengan pihak Inggris di desa Tuntang. Tempat ini
merupakan peristirahatan para pembesar Hindia-Belanda, terletak di tepi danau Rawa
Pening, hingga perjanjian disebut dengan perjanjian Tuntang atau Kapitulasi Tuntang
1811. Isi dari perjanjian itu antara lain: Pemerintah Belanda menyerahkan Indonesia
kepada Inggris, semua tentara Belanda menjadi tawanan perang Inggris, orang Belanda
dapat dipekerjakan dalam pemerintahan Inggris, hutang Belanda tidak menjadi
tanggungan Inggris. Adanya perjanjian Tuntang itu disebabkan oleh pasukan Inggris yang
dipimpin oleh Lord Minto berhasil menggempur pasukan Belanda yang pada saat itu di
bawah kekuasaan Jaensens dan memutuskan untuk menyerah kepada pihak Inggris.
Zaman pendudukan Inggris ini hanya berlangsung selama lima tahun terhitung dari
tahun 1811-1816. Akan tetapi, selama waktu itu berlangsung telah diletakkan dasar-dasar
kebijakan ekonomi yang sangat mempengaruhi sifat dan arah kebijakan pemerintah
kolonial Belanda yang dalam tahun 1816 mengambil alih kembali kekuasaan dari
pemerintah kolonial Inggris (Marwati Djoened Poesponegoro dkk, 2008: 345). Pihak
Inggris kemudian menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur pertama
di Nusantara. Selama Raffles berkuasa, ia mempunyai kewenangan untuk mengatur dan
membuat kebijakan-kebijakan di tanah Jawa. Selama praktik kolonialnya, Thomas
Stamford Raffles mengadakan perubahan-perubahan dalam sistem pemerintahan dan
ekonomi di nusantara termasuk juga dalam tata kelola eksploitasi terhadap kekayaan
nusantara yang dianggap menjadi tonggak liberalisme ekonomi.
Pada periode Inggris (1811-1816) rupanya memiliki peranan penting dalam
pembaharuan administrasi sistem kolonial melalui kebijakan landrent (sistem sewa tanah)
yang menggantikan sistem penyerahan hasil panen dari pribumi kepada pemerintah yang
dijalankan oleh Daendels. Dengan pendahuluan tersebut, penulis menuangkan nya dalam
Jurnal yang berjudul “Kekuasaan Thomas Stamford Raffles Di Nusantara Pada Tahun
1811-1816”.

B. Latar belakang Inggris Ke Nusantara


Gambar 1. Jalur Pelayaran Bangsa Barat ke Dunia Timur

Sama dengan negara eropa lainnya (Belanda, Purtugis, Spanyol) mereka datang ke
Nusantara untuk mencari, menguasai sumber rempah-rempah yang melimpah di
sumbernya yakni di Nusantara. Setelah Portugis berhasil menemukan kepulauan Maluku,
perdagangan rempah-rempah semakin meluas. Dalam waktu singkat di Lisabon
berkembang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah di Eropa Barat. Inggris dapat
mengambil keuntungan besar dalam perdagangan rempah-rempah karena Inggris
mendapatkan rempah-rempah secara bebas dan relative murah di Lisabon.
Rempah-rempah yang diperoleh biasanya di perjual belikan kembali di daerah-
daerah Eropa. Tetapi karena Inggris terlibat konflik dengan Portugis sebagai bagian dari
perang 80 tahun, maka Inggris mulai mengalami kesulitan untuk mendapatkan rempah-
rempah dari pasar Lisabon. Oleh karena itu, Inggris kemudian mencari sendiri negeri
penghasil rempah-rempah. Banyak anggota masyarakat, para pelaut dan pedagang yang
tidak melibatkan diri dalam perang justru mengadakan pelayaran dan penjajahan
samudera untuk menemukan daerah penghasil rempah-rempah tersebut (Kiky Rizky,
2017:7).
Alasan lain karena adanya persaingan antara Inggris dan Perancis. Karena Belanda
merupakan Negara kekuasaan di bawah Perancis dan telah berhasil menduduki Indonesia,
maka Inggris berusaha menyingkirkan Belanda dari wilayah Indonesia. Selain itu, Inggris
melakukan penjajahan terhadap Negara-negara di dunia adalah untuk mendukung
kegiatan industri Inggris, karena daerah-daerah jajahan tersebut dapat menyediakan
bahan baku yang diperlukan oleh industri Inggris. Selain itu, daerah-daerah jajahan
tersebut dapat dijadikan sebagai tempat pemasaran (market) hasil industri (Wahjudi
Djaja, 2012: 96).
Perhatian Inggris mulai terarah ke sebelah timur ketika penjelajahan Sir Francis
Drake pada tahun 1577 yang singgah di Ternate, Maluku dan berhasil membawa banyak
rempah-rempah ke negerinya dan kemudian ia sampai di Inggris pada 1580. Pelayaran
berikutnya dilakukan oleh Sir James Lancester dan George Raymond. Pada pelayaran
tahun 1591 ini, Lancester berhasil mengadakan pelayaran sampai ke Aceh dan Penang,
dan sampai di Inggris pada 1594 (Wahjudi Djaja, 2012: 139).
Inggris justru memperkuat kedudukannya di India. Lalu Inggris membentuk kongsi
dagang yang diberi nama East India Company (EIC) yang berpusat di Calcuta, India.
Oleh karena itu, pada abad ke 18 sudah banyak para pedagang-pedagang Inggris yang
berdagang sampai ke Indonesia, bahkan sejak Belanda masih berkuasa dengan Indonesia
dengan sekutunya Perancis, Inggris bahkan telah mengancam monopoli perdagangan
yang dilakukan Belanda dengan perusahaan dagangnya yaitu VOC (Kemenristekdikti,
TT: 8).
Setelah EIC berkuasa di India, Inggris pun ingin menancapkan kekuasaannya secara
penuh di wilayah Asia Tenggara. Di bawah pimpinan Gubernur Jendral Lord Minto yang
berkedudukan di Calkuta, Inggris menyerang daerah-daerah kekuasaan Belanda yang ada
di wilayah Indonesia. Hingga akhirnya pada tahun 1811 Lord Minto menunjuk Thomas
Stamford Raffles untuk menduduki wilayah kekuasaan Belanda di Indonesia melalui
sebuah perjanjian yang disebut dengan Kapitulasi Tuntang. Isi dari perjanjian itu antara
lain: Pemerintah Belanda menyerahkan Indonesia kepada Inggris, semua tentara Belanda
menjadi tawanan perang Inggris, orang Belanda dapat dipekerjakan dalam pemerintahan
Inggris, hutang Belanda tidak menjadi tanggungan Inggris. Lord Minto menunjuk Raffles
karena kecerdikan, keterampilan, dan kemampuannya dalam berbahasa Melayu.
C. Kebijakan Politik Inggris di Nusantara
Selama praktik penjajahannya, Thomas Stamford Raffles dalam tata kelola
eksploitasi terhadap kekayaan negeri jajahannya juga dianggap menjadi tonggak
liberalisme ekonomi yang membawa “angin segar” bagi generasi penjajah setelahnya.
Walaupun masa penjajahan Inggris di Jawa hanya seumur jagung, namum pada periode
interregnum Inggris (1811-1816) rupanya memiliki peranan penting dalam pembaharuan
administrasi sistem kolonial melalui kebijakan landrent-nya.

“Selama lima tahun (1811-1816) ini diletakkan dasar-dasar kebijakan ekonomi yang
sangat mempengaruhi sifat dan arah kebijaksanaan pemerintahan colonial Belanda yang
kemudian mengambil alih kembali kekuasaan Inggris sejak tahun 1816 dan berlangsung
hingga 1830” (A. Daliman, 2012: 19) dalam (Kiky Rizky, 2017: 15).
Ketika Inggris datang pada tahun 1811, perhatian utama pemerintah diarahkan pada
masalah pemerintahan. Setelah melihat berbagai kekayaan alam yang ada dan
pengolahannya yang tidak tepat, pemerintah Inggris bertekad untuk memperbaiki kondisi
ini dan menyingkirkan hambatan yang ada, seperti yang telah dilakukannya di India
Barat. Gubernur Jendral Inggris, Lord Minto telah memerintahkan untuk melakukan
semua perbaikan secepat dan seefektif mungkin, dimulai dengan mengumpulkan
keterangan mengenai para petani, pertahanan dan semua informasi yang berkaitan,
sebelum bisa membuat satu perangkat hukum yang baru (Thomas Stamford Raffles,
2014: 97).
Setelah Raffles berkuasa di wilayah Nusantara khususnya di Pulau Jawa, Raffles pun
mulai menata sistem pemerintahannya. Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi
yang bebas dari segala unsur paksaan dan penindasan serta pengeksploitasian Negara
jajahan secara besar-besaran dalam rangka memperbaiki nasib rakyat. awal kekuasaan
Inggris di Jawa tepatnya pada 1811-1813 tindakan Raffles ialah berusaha menaklukan
tanah Jawa. Melalui tangan kanannya seperti Mayor Jendral Gillespie, John Crowfud, dan
lain sebagainya. pengambilan kepemilikan tanah secara resmi oleh pemerintah Inggris
pada tahun 1813 mengeluarkan sebuah pernyataan terkait dengan kepemilikan tanah yang
kemudian disebut Deklarasi Raffles yang berbunyi: “Semua tanah yang orang lain tidak
dapat membuktikan, bahwa itu eigendomnya (hak milik) adalah tanah domein atau milik
Negara” (Ahmad Nashih Luthfi. 2011: 20 dalam Kiky Rizky, 2017: 31).
Raffles sendiri menentang sistem VOC karena keyakinan-keyakinan politiknya yang
sekarang dapat disebut liberal, maupun karena berpendapat bahwa sistem eksploitasi
seperti yang dipraktikan oleh VOC tidak menguntungkan. Menurut Raffles sistem
penyerahan wajib dan kerja paksa akan memberikan tindakan penindasan yang
menyengsarakan rakyat jajahan sehingga sikap eksploitatif terhadap tenaga mereka tidak
akan mendorong semangat kerja penduduk yang akhirnya akan merugikan Negara
penguasa. Oleh karena itu, Raffles yang merupakan wakil dari Pemerintah Inggris
mengehendaki suatu sistem perubahan dalam sistem penyerahan paksa yang dilakukan
oleh Herman William Deandels agar digantikan dengan sitem kebijakan yang baru (Kiky
Rizky, 2017: 6).
Politik kolonial Raffles bertolak dari ideologi liberal dan bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan memberikan kebebasannya terhadap rakyat,
sehingga rakyat tidak menjadi korban kesewenang-wenangan para penguasa serta ada
dorongan untuk menambah penghasilan serta perbaikan tingkat hidup. Dalam usahanya
untuk menegakkan suatu kebijakan kolonial yang baru, Raffles ingin berpatokan pada
tiga asas. Pertama, segala bentuk dan penyerahan wajib maupun pekerja rodi perlu
dihapuskan dan kebebasan penuh diberikan kepada rakyat untuk menentukan jenis
tanaman apa yang hendak ditanam tanpa unsur paksaan apapun juga. Kedua, peran para
bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai penggantinya mereka dijadikan
bagian yang integral dari pemerintahan kolonial dengan fungsi-fungsi pemerintahan yang
sesuai dengan asas-asas pemerintahan di negeri-negeri barat. Ketiga, berdasarkan
anggapan bahwa pemerintahan kolonial adalah pemilik tanah, para petani yang
menggarap tanah dianggap sebagai penyewa (tenant) tanah milik pemerintah. Untuk
penyewaan tanah ini para petani diwajibkan membayar sewa tanah (landrent) atau pajak
atas pemekaian tanah pemerintah. Dan ditetapkan bahwa pajak yang harus dibayar oleh
rakyat sebesar 2/5 dari hasil panen dan dibayar dengan uang. Sewa tanah inilah
selanjutnya yang dijadikan dasar kebijakan ekonomi pemerintah Inggris di bawah Raffles
dan kemudian dari pemerintah Belanda sampai tahun 1830 (Marwati Djoened
Poesponegoro dkk, 2008: 346).

Secara teoritis landrent merupakan bentuk perpajakan kolonial yang lahir dan
diperkenalkan di Jawa pada era interregnum Inggris. Pelaksanaan landrent yang
diterapkan di Jawa merupakan wujud eksperimen dan idealisme seorang Thomas
Stamford Raffles dalam menanamkan liberalisme ekonomi melalui sistem pajak dengan
mempertimbangkan keberhasilan landrent yang diterapkan di India. landrent sendiri juga
sudah diterapkan di Inggris, baru kemudian diterapkan di tanah jajahannya khususnya
India dan Jawa. Prinsip yang digunakan dalam kebijakan landrent ini ialah berdasarkan
pada teori liberalism, seperti yang dipraktikkan Inggris di India. keberhasilan landrent
yang dituai oleh The East India Company di India,membuat Raffles menerapkan sistem
landrent di Jawa.
Raffles menetapkan bahwa semua tanah adalah milik Negara, dan rakyat sebagai
pemakai (penggarap) tanah wajib membayar sewa (berupa pajak bumi) kepada
pemerintah. Pemimpin pribumi seperti sultan dan bupati yang tidak taat pada peraturan
landrent akan dipecat. Dia juga mengubah sistem berkendara di koloni Belanda menjadi
system berkendara seperti di Inggris, yaitu memakai jalur kiri yang dipakai hingga
sekarang (Thomas Stamford Raffles, 2014: vi). landrent di Jawa dapat dilihat
pelaksanaannya di kawasan Ujung Timur Pulau Jawa.
Setelah aturan yang dibuat diresmikan dan mulai disosialiskan kepada desa-desa
melalui kepala desa, maka pada Februari 1814 landrent mulai dilaksanakan sesuai
dengan aturan yang telah dibuat, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pelaksanaan
landrent memang tidak dilaksanakan di seluruh Pulau Jawa untuk alasan
mempertahankan pemasukan kas negara dari perkebunan kopi maupun tebu yang ada
seperti di Priangan dan Jawa Tengah. Sistem tanah tidak dilaksanakan diseluruh daerah
pemerintah (gouvermentsgebied) di Jawa (D.H Burger, 1954 : 148).
“Di Jawa sistem sewa tanah ini dijalankan oleh Raffles pada permulaan tahun 1815.
Tepatnya pada tanggal 11 Februari 1814, sistem ini diberlakukan di Banten, Cirebon serta
di distrik-distrik kawasan Timur, melibatkan lebih dari satu juta penduduk dan setengah
juta petani” (Ahmad Nashih Luthfi, 2011 : 28).
Pelaksanaan sistem sewa tanah atau pajak bumi ini mengandung tiga aspek, yaitu
penyelenggaraan suatu sistem pemerintahan atas dasar modern (barat), pelaksanaan
pemungutan sistem sewa, dan penanaman tanaman dagangan untuk di ekspor. Mengenai
aspek yang pertama, yang dimaksud Raffles dengan pemerintahan yang modern, adalah
pergantian pemerintahan-pemerintahan tidak langsung yang dahulu diselenggarakan
melalui raja-raja dan kepala-kepala tradisional dengan suatu pemerintahan yang
langsung. Hal ini berarti bahwa kekuasaan tradisional raja-raja dan kepala-kepala
tradisional sangat dikurangi dan sumber-sumber penghasilan mereka yang tradisional
dihilangkan. Fungsi-fungsi tradisional yang mereka lakukan waktu itu, sekarang
dilakukan oleh pegawai-pegawai Eropa yang jumlahnya bertambah banyak. Oleh Raffles
diadakan fungsi asisten Residen, yang bertugas mendampingi dan mengawasi para
bupati, dan pengwas pamong praja (pengawas penghasilan yang diperoleh dari tanah).
Selanjutnya adalah mengenai aspek kedua, yaitu pelaksanaan pemungutan sewa
tanah. Selama zaman VOC, “pajak” berupa beras yang harus dibayar oleh rakyat Jawa
kepada VOC ditetapkan secara kolektif untuk seluruh desa. Aspek ketiga dari sistem
sewa/pajak tanah ini ialah promosi penanaman tanaman-tanaman perdagangan untuk
ekspor. Pengalaman menunjukkan bahwa sistem ini mengalami kegagalan. Penanaman
kopi misalnya yang pada awal abad ke-19 merupakan tanaman perdagangan terpenting di
Jawa, namun di bawah sistem sewa tanah hal itu mengalami kemunduran. Salah satu
penyebab kegagalan ini adalah kurangnya pengalaman para petani dalam menjual
tanaman-tanaman mereka di pasar bebas sehingga sering penjualan ini diserahkan kepada
kepala-kepala desa mereka. Jadi pokok-pokok dari sistem sewa tanah Raffles adalah
sebagai berikut:
a. Penghapusan seluruh pengerahan wajib dan wajib kerja dengan memberikan kebebasan
penuh untuk kultur dan berdagang.
b. Pemerintah secara langsung mengawasi tanah-tanah, hasilnya dipungut langsung oleh
pemerintah tanpa perantara bupati yang tugasnya terbatas pada dinas-dinas umum.
c. Penyewaan tanah di beberapa daerah dilakukan berdasarkan kontrak dan terbatas
waktunya.
Namun kebijakan sistem sewa ini mengalami kegagalan. Raffles yang menjadi
penghalang utama bagi pelaksanaan politiknya ialah unsur feodal yang sangat kuat
kedudukannya dan sistem ekonomi yang masih bersifat tertutup sehingga pembayaran
pajak belum dapat dilakukan dengan uang, tetapi in natura atau hasil bumi (Sartono
Kartodirjo, 2014:343). Ini berarti politik kolonial berdasarkan liberalisme tidak cocok dan
tidak realistis dilakukan di Nusantara. penyebab dari gagalnya sistem landrent ini ialah
kurangnya pegawai pajak Eropa. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk atau masyarakat
Jawa yang sangat besar sekali terhitung mencapai 1.784.415 jiwa yang setidaknya
membutuhkan aparatur yang memadai di setiap distrik di tanah Jawa.
Penghapusan feodalisme yang menyebar ke negara-negara Eropa yang kebanyakan
negaranya berbentuk kerajaan. Hal ini juga ternyata membawa pengaruh terhadap
keinginan raffles untuk menghapuskan feodalisme di Jawa, yang harus dihilangkan untuk
mengikuti standar “Inggris” tadi. Bagi Raffles feodalisme yang akan dihapuskan di Jawa
membuat Raffles idealnya mengubah secara paksa suatu sistem yang mengakar sejak
lama yang sudah ada ratusan tahun lamanya. dan hal ini dinilai sebagai bentuk
ketidakcermatan seorang Raffles dalam membuat kebijakan dalam melihat tanah
jajahannya yang disamaratakan dengan kondisi tanah jajahannya di India.
kebijakan-kebijakan Raffles yang lain adalah sebagai berikut :
Dalam bidang pemerintahan yakni Pulau Jawa dibagi menjadi 16 karesidenan, yang
terdiri atas beberapa distrik, Mengubah sistem pemerintahan, Bupati-bupati atau
penguasa-penguasa pribumi dilepaskan kedudukannya sebagai kepala pribumi secara
turun temurun. Dalam bidang perekonomian yakni Petani diberikan kebebasan untuk
menaman tanaman ekspor, Penghapusan pajak hasil bumi dan penyerahan wajib, dan
digantikan dengan system landrent (system sewa tanah/pajak tanah). Dalam bidang
Raffles menjual tanah Gubernemen kepada orang-orang swasta. dalam bidang hukum
yakni sistem peradilan yang diterapkan Raffles berorientasi pada besar kecilnya
kesalahan. Dalam bidang sosial yakni Penghapusan kerja rodi, Penghapusan perbudakan
dan pandelingschap, Peniadaan pybank (disakiti), yaitu hukuman yang sangat kejam
dengan melawan harimau.

D. Berakhirnya Kekuasaan Inggris di Nusantara


Berakhirnya pemerintahan Raffles karena kondisi eropa sudah tidak mendukung lagi
sebagai akibat dari Perang Napoleon yang diatur dalam Anglo-Belanda 1814.
Kedudukan Napoleon telah goyah, dan Belanda telah bangkit untuk melawan Prancis.
Pada 13 Agustus 1814 Konvensi London diberlakukan, yaitu memuat bahwa semua
wilayah yang pernah dikuasai Belanda harus dikembalikan lagi oleh pihak Inggris.
Raffles sendiri sebetulnya menerima konvensi itu dengan terpaksa, karena mengetahui
kalau kekayaan alam Hindia-Belanda dapat menguntungkan pihak kolonial Inggris.
Raffles pun kemudian ditarik kembali ke Inggris (1815) dan digantikan oleh John Fendall
yang melaksanakan konvensi ini sekaligus melakukan serah terima antara Inggris dan
Belanda.
Namun, pada tahun 1818 Thomas Stamford Raffles kembali ke timur dan segera
dipromosikan menjadi Gubernur Bengkulu (Bencoolen), yang kemudian dikenal sekarang
sebagai Pulau Sumatera. Setahun setelah masa pendudukannya di bagian barat Sumatera,
Raffles kemudian menggagas proyek bernama “Singapore”. Pada 19 Januari 1819,
Raffles menggagas penguasaan pulau Singapura lewat perjanjian antara dirinya dengan
Temenggung Sri Maharaja. Dalam perjanjian itu, Inggris diizinkan mendirikan pusat
perdagangan di Singapura. Sebagai imbalannya, Raffles akan melindungi Sri Maharaja
dari serangan Belanda dan Bugis. Raffles bersumpah akan menciptakan koloni baru yang
meskipun kecil, namun akan jauh lebih maju dari Tanah Jawa (Thomas Stamford Raffles,
2014: vi-vii).

Kesimpulan

Awal Inggris ke Nusantara yakni untuk bisa menguasai pusat rempah-rempah hal ini
sama dengan tujuan bangsa Eropa lainnya yang datang ke Nusantara. Dan Inggris mulai
berkuasa di Nusantara pada pada 18 September 1811 dalam sebuah perjanjian Perjanjian
Kapitulasi Tuntang diawali sejak William Jansens (Belanda) menyerah kepada Inggris .
Isi dari perjanjian tuntang yakni : Pemerintah Belanda menyerahkan Indonesia kepada
Inggris, semua tentara Belanda menjadi tawanan perang Inggris, orang Belanda dapat
dipekerjakan dalam pemerintahan Inggris, hutang Belanda tidak menjadi tanggungan
Inggris.

Dalam melaksanakan pemerintahannya Lord Minto menunjuk Thomas Stamford


Raffles untuk menduduki wilayah kekuasaan Belanda di Nusantara. Perhatian utama
pemerintah Inggris diarahkan pada masalah pemerintahan. Setelah melihat berbagai
kekayaan alam yang ada dan pengolahannya yang tidak tepat, pemerintah Inggris
bertekad untuk memperbaiki kondisi ini dan menyingkirkan hambatan yang ada. Raffles
ingin menciptakan suatu sistem ekonomi yang bebas dari segala unsur paksaan dan
penindasan serta pengeksploitasian Negara jajahan secara besar-besaran dalam rangka
memperbaiki nasib rakyat. Hingga Raffles membuat kebijakan Landrent yakni bentuk
perpajakan kolonial yang lahir dan diperkenalkan di Jawa pada era interregnum Inggris.
Kebijakan ini telah dilaksanakan di Inggris dan India dan berhasil, sehingga pemerintah
Inggris menerapkan kebijakan tersebut namun mengalami kegagalan. Faktornya Raffles
yang menjadi penghalang utama bagi pelaksanaan politiknya, politik kolonial
berdasarkan liberalisme tidak cocok dan tidak realistis dilakukan di Nusantara, kurangnya
pegawai pajak Eropa. Hingga kebijakan tersebut tidak dijalankan di Nusantara.
Berakhirnya pemerintahan Raffles karena kondisi eropa sudah tidak mendukung lagi
sebagai akibat dari Perang Napoleon, Raffles pun kemudian ditarik kembali ke Inggris
(1815) dan digantikan oleh John Fendall yang melaksanakan konvensi ini sekaligus
melakukan serah terima antara Inggris dan Belanda.

Daftar Pustaka

Buku:

Djaja, Wahjudi. 2012. Sejarah Eropa Dari Eropa Kuno Hingga Eropa Modern.Yogyakarta:
Penerbit Ombak.

Kartodirdjo, Sartono. 2014. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium
Sampai Imperium. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Oktorino, Nino dkk. 2009. Ensiklopedia Sejarah dan Budaya. Jakarta: Lentera Abadi

Poesponegoro, Marwati Djoned. Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia


Jilid IV Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Raffles, Thomas Stamford. 2014. The History of Java. Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Jurnal & Internet:

Kementrian Riset Teknologi Dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Tanpa Tahun. Latar
Belakang Proses Masuk, dan Perkembangan Penjajahan Bangsa Eropa Di Indonesia.
Diakses 22 Maret 2019

Palmaya, Kiky Rizky. 2017. Kebijakan Landrent Pada Masa Penjajahan Inggris Di Jawa
Tahun 1811-1816. Skripsi: Universitas Lampung. Diakses 22 Maret 2019

Anda mungkin juga menyukai