Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH SEJARAH INDONESIA BARU

“Politik Dan Ekonomi Indonesia Masa Awal Pemerintahan

Hindia Belanda 1816-1830”

Dosen Pengampu :

Hendra Naldi, S.S, M.hum


Ridho Bayu Yefterson, S.Pd. M.Pd

Disusun Oleh:

Kelompok 2:

Santri Mutia 18046037

Fiyona Jotilia 18046053

Kasmira 18046156

Nofrimon 18046118

Muhammad Afandi 18046162

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEAGERI PADANG

2020

i
KATA PENGANTAR

Puji beserta syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
karunianyalah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Politik Dan Ekonomi
Indonesia Masa Awal PemerintahanHindia Belanda 1816-1830”.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Dosen pengampu Sejarah Indonesia Baru yang telah
memberikan tugas ini kepada penulis.Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah turut serta membantu menyumbangkan pikirannya.

Penulis berharap agar makalah ini dapat memberi banyak manfaat bagi para
pembaca.Penulis juga mengharapkan masukan, kritikan serta saran dari semua pihak agar
makalah ini bisa menjadi lebih bermakna.

Padang, Februari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………..iii

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………………..1

A. Latar Belakang ……………………………………………………………………………1


B. Rumusan Masalah ………………………………………………………………………...1
C. Tujuan penulisan ………………………………………………………………………….1

BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………………………2

A. Masa Komisaris Jendral 1816-1819 (Liberal).……………………………………………2


B. Masa Gubernur Jendral Van der Capellen 1819-1826 (Konservatif)…………………….4
C. Masa Du Bus de Gasignies 1826-1830 (Liberal)…………………………………….........6

BAB III PENUTUP ……………………………………………………………………………...8

A. Kesimpulan …………………………………………………………………………….....8
B. Saran ………………………………………………………………………………….…..8

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………....9

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada tahun 1814 Louis Napoeleon mengalami kekalahan pada perang kualisi di
Eropa. Pada tahun yang sama, setelah selesainya perang kolisi tersebut, hubungan
Belanda dan Inggris membaik yang sebelumnya bermasalah. Belanda dan Inggris
mengadakan suatu pertemuan yang menghasilkan konfrensi London.Dari hasil
perundingan ini Inggris menyerahkan wilayah Hindia Belanda (Indonesia) kepada
pemerintahan Belanda.
Pemerintah Belanda pada tahun 1816 kembali menguasai wilayah Hindia
Belanda.Komisaris jenderal yang terdiri dari komisaris jenderal Elout Buykes, van der
capellen, du bus degisignies mendapat tanggung jawab memimpin wilayah jajahan
Hindia Belanda.
Sementara itu perdebatan antara kaum liberal dan kaum konservatif terkait dengan
pengelolaan tanah jajahan untuk mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya belum
mencapai titik temu. Kaum liberal berkeyakinan bahwa pengelolaan negara jajahan akan
mendapat keuntungan besar bila diserahkan kepada swasta, dan rakyat diberi kebebasan
dalam menanam. Sedangkan kelompok konservatif berpendapat tanah jajahan akan
menghasilkan keuntungan apabila dikuasai oleh pemerintah dan diawasi dengan ketat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana masa Komisaris Jenderal 1816-1819 (Liberal)?
2. Bagaimana masa Gubernur Jendral Van der Capellen 1819-1826 (Konservatif)?
3. Bagaimana masa Du Bus de Gisignies 1826-1830 (Liberal)?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui masa Komisaris Jenderal 1816-1819 (Liberal)
2. Untukmengetahui masa Gubernur Jendral Van der Capellen 1819-1826 (Konservatif)
3. Untuk mengetahui masa Du Bus de Gisignies 1826-1830 (Liberal)

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. MASA KOMISARIS JENDERAL 1816-1819 (LIBERAL)


Liberalisme mulai berkembang di negeri Belanda pada periode sesudah Napoleon
dan berhasil mengubah struktur/tatanan politik pada masa kira-kira pertengahan abad 18.

Setelah perjanjian London (1814) yang menandai berakhirnya babak pertama


kekaisaran Napoleon Bonaparte, Inggris dan Belanda mengadakan perjanjian baru yang
mengatur pengembalian jajahan Belanda dan Inggris.Raja Belanda memahami benar
pemerintahan di koloni dalam pengertian yang nyata. Oleh karena itu, perlu dibentuk
komisi yang terdiri dari tiga orang komisaris yaitu :

1) C.T. Elout, seorang yang menaruh perhatian pada masalah Indonesia sejak 1791. Ia
memiliki pengalaman sebagai sekretaris Nedrburgh dan berpendirian kuat sebagai
seorang liberal.
2) Baron van der Capellen, seorang pemuda yang menyanjung Louis Napoleon maupun
walikota.
3) A. A. Buyskes, seorang perwira angkatan laut yang berpangkat letnan gubernur
jenderal pada masa Daendels.

Pada saat ini, Kerajan Belanda mulai berpandangan liberal dan ingin melakukan
perbaikkan nasib “si kromo” alias orang Jawa.Karena itu ketiganya diharuskan
mengarahkan program pada kehidupan religious dan pendidikan moral, mendorong
tanam bebas, serta mengarahkan pajak tanah.Semua ini mengerucut pada tanam bebas
dan dagang bebas.

Ketiga komisaris itu tiba di Jakarta pada April 1816.John Fendall tidak diberitahu
kalau harus menyerahkan kekuasaan kepada komisaris itu.Baru pada Agustus 1818
bendera triwarna berkibar lagi di Indonesia. Dalam laporan komisaris disebutkan bahwa
Inggris memperkenalkan perdagangan dengan sistem melebihi dari apa yang dianjurkan
oleh van Hogendorp. Sistem pemerintahan Belanda kurang memuaskan dan ekspor harus
ditunjang sekuat mungkin. Laporan Elout menjelekkan apa yang dilakukan Inggris

2
selama Pemerintahan interregnum. Itulah sebabnya ketiga komisaris jenderal
memerlukan waktu untuk mengambil langkah dan kebijakan yang tepat.Pengembangan
ekonomi koloni tertuju untuk melakukan usaha usaha petani tanam bebas yang dibantu
oleh para kaum kapitalis.Sistem pajak tanah harus diterima dan disempurnakan.Oleh
karena itu, pendapatan dari tanah segera ditetapkan dalam peraturan. Adapun
pelaksanaannya diserahkan kepada van der Capellen sebagai gubernur jenderal yang
mulai memerintah pada 16 Januari 1819.

Raja-Raja Jawa

Periode komisaris jenderal yang singkat tidak banyak berdampak pada penguasa
Jawa, sebab penguasa-penguasa itu lebih dulu dilumpuhkan oleh Raffles.Dalam
pemerintahan HB IV (1814-1822) terdapat banyak intrik dari pemerintah, khususnya
mengenai suksesi.Korupsi mulai berkembang.Demikian pula pengaruh Cina di pedesaan
semakin kuat sebagai rentenir.Pajak pintu gerbang (toll-gates)menjadi kendala kelancaran
perdagangan dan menimbulkan serta kerusuhan, kecu dan penggunaan candu yang
semakin kuat.

Situasi sosial dan ekonomi semakin memburuk. Benih perang sudah tampak sejak
tahun 1808 dan sampai wafat HB IV yang kemudian digantikan HB V (1822-1826, 1828-
1855) yang masih anak-anak mendorong terjadinya masalah suksesi istana. Wabah kolera
dan gagal panen (1821-1822) membarengi kondisi politik yang semakin bergolak.Hal ini
ditambah pula dengan terjadinya erupsi Gunung Merapi pada akhir tahun 1822, yang oleh
masyarakat dipakai sebagai tanda bakal terjadi peristiwa besar. Dalam kondisi seperti ini,
dipercaya akan muncul seorang Ratu Adil yang akan membimbing rakyat ke masyarakat
yang bersih dan tenteram..

Birokrasi dan Stelsel Tanah

Struktur pemerintahan koloni secara hierarkis di puncak dipegang oleh gubernur


jenderal dan empat orang konsul, yang dilengkapi oleh secretariat umum yang dipimpin
seorang ketua sekretaris. Bagian keuangan dan akuntan masih meniru cara Daendels.
Pelaksanaan pajak tanah mengikuti pembagian teritorial seperti yang dilakukan Raffles,
yaitu keresidenan, distrik (disebut kabupaten), divisi (disebut distrik), dan desa.Jumlah

3
seluruhnya menjadi 19 keresidenan di Jawa. Pada masa ini diperkenalkan jabatan asisten
residen yang membantu residen, tetapi ia tidak dapat memerintah bupati.

Hakikat dari culturstelsel ini bahwa penduduk sebagai ganti membayar pajak
tanah sekaligus maka mereka harus menyediakan sejumlah hasil bumi yang nilainya
sama dengan pajak tanah yang tersebut. Penduduk harus menyerahkan dua per lima (2/5)
dari hasil panen utamanya atau sebagai penggantinya satu per lima (1/5) dari waktu
kerjanya dalama setahun. Dengan adanya hal ini maka pemerintah akan terjamin
kebutuhan hasil buminya yang akan di ekspor ke pasaran Eropa dan dari ekspor ini
pemerintah mengharapkan keuntungan-keuntungan yang nyata.

B. MASA GUBERNUR JENDERAL VAN DER CAPELLEN 1819-1826


(KONSERVATIF)

Menurut pikiran Gubernur Jendral van der capellen, yang dari orang-orang Eropa
tidak mengharapkan apa-apa, produksi ekspor harus datang dari rakyat Indonesia. Lalu
lintas ekonomi yang baru timbul itu mengandung banyak kekurangan-kekurangan dan
tidak mendorong rakyat untuk memperluas pertanian ekspor, maka politik van der
capellen menjadi politik perlindungan dan politik pendidikan.Ottow menunjukkan hal ini
dalam disertasinya amat nyata.Sejak permulaannya, stelsel tanah dititikberatkan kepada
perlindungan penduduk Jawa terhadap kepala-kepalanya sendiri dan kini oleh van der
capellen dipergunakan juga untuk melindungi orang-orang jawa terhadap orang-orang
asing, terutama bangsa Tionghoa dan Arab.

Sejak semula politik colonial konservatif sudah mendapat kritikan pedas dari
golongan liberal yang menganjurkan suatu system pemerintahan secara langsung
berdasarkan prinsip liberal dan perdagangan serra inisiatif partikelir.

Dalam tahun 1817 di priangan, Krawang dan daerah sekitar Batavia, Komisaris-
komisaris Jenderal telah melarang orang-orang Tionghoa dan Moor (orang arab yang
berkulit kehitaman) menjual secara kredit kepada rakyat (Staatsblad No.43).

4
Dalam tahun 1819 para komisaris mengeluarkan peraturan-peraturan yang
mengikat persetujuan-persetujuan dengan rakyat dengan aturan-aturan yang melindungi
rakyat.

Dalam tahun 1820 orang-orang Tionghoa yang oleh van der capellen di pandang
sebagai lintah darat dan penyakit diusir dari priangan.Dibawah pemerintahan Kompeni
mereka tidak boleh masuk ke Priangan dan larangan lama itu diperbaharui (Staatsblad
No.22). Dalam tahun 1821 perdagangan orang-orang Eropa di Priangan serta bertempat
tinggalnya dipersukar dan terhadap mereka dan orang asing lainnya diadakan larangan
untuk mendirikan tempat penimbunan barang-barang atau tempat perdagangan dalam
jarak yang tertentu dari kediaman para Residen, kecuali seizin pemerintah.

Maksud dari tindakan itu adalah, untuk melindungi penduduk untuk mencegah
mereka dari pada pengambilan uang muka, (mencegah praktek-praktek ijon), sehingga
dengan demikian dapat mereka membawa hasil buminya ke tempat-tempat dimana
mereka dapat memperoleh harga lebih tinggi, karena adanya persaingan pembeli yang
lebih besar.

Dalam tahun 1823 maka hak menumpang serta bertempat tinggal dari orang-
orang Eropa di Jawa digantungankan pada suatu pemeriksaan terlebih dahulu serta
dibatasi pada tempat-tempat yang tertentu dan tujuan-tujuan yang jelas dan terang. Dalam
tindakan-tindakan melindungi itu dengan sendirinya termasuk larangan persewaan tanah
di daerah-daerah kerajaan Sala-Jogya dari tahun 1823.

Perlindungan itu terutama mengenai pembatasan kebebasan berkontrak.


Sementara stelsel tanah mula-mula dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum
dan kebebasan orang dan barang, maka kini ia ditujukan kepada kepastian hukum,
kebebasan yang terbatas dan perlindungan.

Mengenai pembatasan kemerdekaan bergerak orang-orang asing untuk


melindungi rakyat desa, Pierson mengemukakan bahwa tindakan itu akan menambah
keburukan keadaan. Justru penambahan dan bukannya pembatasan persaingan harga akan
meningkat. Dalam jangka panjang mungkin pendapat Pierson itu dapat terwujud, tapi
pada waktu itu tidak dapat diharapkan bertambahnya persaingan dengan cepat, karena

5
perdagangan dalam negeri masih belum maju dan peredaran modal di Indonesia sedikit
sekali. Larangan untuk mendirikan gudang-gudang diluar ibu kota. Jadi dasar tindakan-
tindakan itu dalam keadaan yang didapati pada waktu itu memang tidak salah. Pendirian
tempat-tempat penjualan umum (lelangan) yang modern untuk hasil-hasil pertanian dan
perikanan dalam abad ke 20 berdasarkan dasar pikiran yang sama, yakni untuk
memusatkan persaingan guna kepentingan para penjual-produsen (petani).

Persaingan bebas tidak akan menimbulkan bertambahnya kemakmuran dalam


waktu yang pendek. Yang menjadi pertanyaan, apakah kemakmuran dalam negeri tidak
lebih cepat dapat dicapai dengan membatasi kegiatan komersil orang-orang asing dan
memberikan kesempatan kepada pergaulan hidup Jawa untuk berkembang dengan
kekuatan sendiri.Menurut Prof. Burger hal ini adalah hal secara logis sesuai dengan dasar
pikiran stelsel tanah, yang menghalangi perdagangan asing di pedalaman.

Tentang apakah pergaulan hidup Jawa memang akan berkembang dengan spontan
ke arah yang diingini oleh pemerintah dan akan menciptakan suatu pertanian ekspor
adalah soal lain. Tanpa pendidikan modern, dengan cukup perhatian terhadap aspek
administrasi, ekonomi, dan teknologi, maka hal itu tidak akan mungkin terjadi.

C. MASA DU BUS DE GISIGNIES 1826-1830 (LIBERAL)


Stelsel tanah menimbulkan pemisahan antara pengaruh Barat dalam ekonomi dan
dalam ketatanegaraan.Dalam lapangan ketatatnegaraan pengaruh Belanda meresap sekali,
walaupun tujuannya hanya tercapai separohnya.Tetapi kehidupan ekonomi dibiarkan
berkembang sendiri, sesuai dengan asas liberal pada waktu itu. Pemerintah berharap,
bahwa tidak turut campurnya negara dalam urusan ekonomi akan menyebabkan
bertumbuhnya pertanian ekspor swasta dan perdagangan swasta. Pengusaha-pengusaha
swasta Eropa, oleh politik perlindungan van der capellen tidak didorong, tetapi
dihalangi. Turut campurnya pemerintah dalam memajukan produksi ekspor mempunyai
sifat setengah-setengah, dan lebih menitik beratkan pada mempertahankan yang sudah
ada, misalnya penanaman kopi dari pada mengusahakan kemungkinan baru.
Du bus menyelidiki sebab-sebab yang menyatakan bahwa tanah yang cocok untuk
pertanian di Jawa hanya ¼ dan 1/5, dari lahan yang ada dan menurut beberapa orang
hanya 1/6 yang ditanami. Di daerah-daerah yang ditanami ini rakyat Jawa hidup berjejal-

6
jejal dan dalam kemiskinan.Tanah sisanya tidak dikerjakan.Pertambahan penduduk lebih
lambat dari pada yang dapat diperkirakan.Pembukaan tanah baru lebih lambat lagi.Du
bus pertama-tama menjalankan hal itu pada praktek-praktek pajak tanah, yang demikian
beratnya, hingga petani hanya mempunyai sisa upahnya yang sedikit sekali.
Sebab yang kedua, menurut pendapatnya, bahwa seluruh penduduk hidup dari
pertanian hingga kehidupannya hanya dari satu sumber saja, tidak ada differensiasi dalam
sumber pendapatan.
Du bus de gisignies menjabat sebagai gubernur jendral ketika Perang Diponegoro
sudah berlangsung setahun.Meskipun perang berlangsung baru setahun, dampak
keuangan dari peperangan itu sangat dahsyat. Itulah sebabnya Du Bus, seorang kapitalis
dari Belgia, dikirim ke Hindia Belanda untuk membangun modal, menaikkan ekspor, dan
memperkuat pengaruh Barat.
Upaya yang dilakukan Du Bus kemudian untuk menjalankan misalnya itu tentu
saja adalah dengan memperbanyak ekspor dari pada impor. Akan tetapi pada
kenyataannya ia gagal karena penduduk miskin dan terlalu berat membayar pajak
sehingga tidak mampu membangun modal. Ditambah lagi, kehidupan agraris yang
homogeny menyebabkan perubahan tidak pernah ada di Jawa. Kalaupun ada jalan untuk
menjalankan perbaikkan, petani harus diberi tanah indidividu dan diberi modal usaha.
Selain itu juga harus diundang pemodal besar yang dapat mempekerjakan penduduk.
Lewat cara ini produksi ekspor dapat dihasilkan di tanah-tanah di luar Jawa yang masih
luas.
Kemakmuran penduduk adalah tujuan nyata Du Bus, tetapi yang terjadi Ekspor
lebih rendah dari impor.Hal ini ditambah lagi dentabn ekspor unggulan kopi turun
drastiSsehingga pendapatan pemerintah sangat rendah, dan ini berarti usaha Du Bus
gagal.Memajukan kesejahteraan koloni memang sangat ideal, sedangkan kenyataannya
tetap sepertii masa-masa pemerintahan para penguasa colonial sebelumnya, alias gagal.

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda pada abad ke-19, struktur masyarakat
Indonesia masih bersifat feodal.Rakyat harus tunduk kepada penguasa, baik itu bupati,
raja maupun pemerintah kolonial.
Pengaruh Barat periode ini meresap lebih dalam kedalam pergaulan hidup Jawa,
dengan menempatkan pemerintahan Eropa di atas organisasi Feodal Jawa, sehingga
ikatan feodal yang kuno itu sedikit menjadi modern tetapi tidak sampai kepada orang
pedesaan. Pengaruh ekonomi Barat hamper tidak dapat sampai kepada orang-orang desa
karena adanya jarak yang jauh antara lalu lintas dunia Internasional dan petani yang
sederhana di desa.

B. Saran
Pengaruh politik dan ekonomi Indonesia masa awal pemerintahan Hindia Belanda
sangat dirasakan oleh rakyat, terutama rakyat petani yang harus melakukan tanam paksa
berdasarkan aturan-aturan yang di telah ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda.Oleh
karena itu pemerintah, terutama bupati harus memperhatikan kemakmuran rakyatnya dari
segala bidang.

8
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik dan A.B. Lapian. 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah Jilid IV. Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve,

Atmosudirdjo, Prajudi. 1983. Sejarah Ekonomi Indonesia Dari Segi Sosiologi. Jakarta: Pradnya
Paramita.

Kartodirdjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Anda mungkin juga menyukai