Anda di halaman 1dari 18

Qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqw

iopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopa
hjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjkl
MAKALAH
SEJARAH INDONESIA

bnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm
MASA PEMERINTAHAN KOLONIAL BELANDA
rtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyu
(1816-1942)

sdfghjklzxcvbnmqwtyuiopasdfgh
PEMBIMBING :
DWI BEKTI SANTOSO S,Pd
vbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbn
ertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwerty
asdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasd
zxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcv
qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwe
opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopa
DISUSUN OLEH :

jklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklz
KELOMPOK 3

KETUA : ANNISA RIFKA RIDHO


SEKRETARIS : NUR AULIA

nmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmr
PRESENTASI : ANISA CAMELLIA MAKATI
HANA TASNIM
NI PUTU AYU RATNA DEWI
SRI MEIDITA ACHMAD

opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopa
MODERATOR :

jklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklz
PENJAWAB :

SPK SMAN BANUA KALIMANTAN SELATAN BILINGUAL BOARDING SCHOOL


2017

KATA PENGENTAR

Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya
maka saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “MASA PEMERINTAHAN
KOLONIAL BELANDA (1816-1942)”.
Penulisan makalah merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata pelajaran Sejarah
Indonesia.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang penulis miliki. Untuk itu kritik dan
saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada
pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada :

1. Bapak Ibu. Guru mata pelajaran sejarah indonesia. yang sudah memberikan tugas makalah
sejarah Indonesia ini.
2. Teman – teman di Kelas XI C SMAN Banua Kalimantan Selatan.
3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan
dalam penulisan makalah ini.
Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal
pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala
usaha kita. Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.

Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Inggris mengetahui bahwa Belanda menduduki Indonesia, maka Inggris berniat merebut
Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut di bawah pimpinan Lord Minto sebagai gubernur
Jenderal Inggris di Calkuta didirikan ekspedisi Inggris untuk merebut kekuasaan Belanda di
Indonesia.

Yang dimana pada tahun 1811 Inggris telah berhasil dapat merebut seluruh kekuasaan dari
Belanda di tanah Indonesia, yang sehingga kekuasaan Inggris di Indonesia berada di bawah
pimpinan Raffles hingga tahun 1816.

Pada tahun 1814 Napoleon Bonaparte kalah melawan raja–raja di Eropa dalam perang koalisi.
Untuk memulihkan kembali keadaan Eropa maka diadakan konggres Wina 1814 sedangkan
antara Inggris dan Belanda ditindaklanjuti Konsekuensi dari perjanjian tersebut maka Inggris
meninggalkan Pulau Jawa.

Konvensi London merupakan akhir dari kekuasaan Inggris di Indonesia dan diserahkan kepada
Belanda kembali. Karena kerajaan Belanda menganggap Hindia (Indonesia) merupakan hak
mereka. Tetapi menurut Raffles yang saat itu adalah Gubernur Jenderal Hindia, ia merasa
keberatan untuk mengembalikan kepada Belanda. Ia merasa harus menguasai Hindia sebagai
pusat perdagangan yang vital di Asia. Selain itu ia merasa dengan mengusai Hindia itu dapat
memperkuat dominasi Inggris diperdagangan Internasional. Perundingan-perundingan yang
dilancarkan oleh Belanda membuat sikap Pemerintah Pusat Inggris melunak.Akhirnya Inggris
dan Belanda menyetujui suatu perjanjian yang dikenal sebagai Convention Of London pada
tahun 1814 yang isinya: “Inggris harus menyerahkan kembali sebagian dari Hindia
kepada Belanda,sedangkan daerah Afrika Selatan,Ceylon dan beberapa tempat di India tetap
dikuasai oleh Inggris”
Karena Raffles masih menentang terhadap keputusan yang diambil oleh pemerintahan Inggris,ia
dipanggil untuk kembali ke Inggris yang kemudian pada tahun 1818 ia diangkat menjadi
Gubernur Inggris di Bengkulu (yang waktu itu masih jajahan Inggris sedangkan Malaka jajahan
Belanda).

Penyerahan kembali wilayah Indonesia yang dikuasai Inggris baru bisa dilaksanakan pada tahun
1816 dalam suatu penandatanganan perjanjian. Pemerintah Inggris diwakili oleh John Fendall,sedangkan pihak
dari Belanda diwakili oleh tiga komisaris jenderal, yaitu Buyskes, Elout, dan Van Der Cappelen. Sejak tahun
1816, berakhirlah kekuasaan Inggris di Indonesia.
Pada awal abad XIX Jawa Setelah pemerintahan Inggris berakhir, yaitu pada tahun 1816,
Indonesia kembali dikuasai oleh Pemerintahan Hindia-Belanda. Pada masa ”kedua” penjajahan ini,
yang sangat terkenal adalah sistem tanam paksa yang diterapkan oleh Van den Bosch.
Pelaksanaannya pun dimulai pada tahun 1830. Terdapat ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan
sistem tanam paksa tersebut. Namun pada akhirnya, dalam praktek sesungguhnya terdapat banyak
penyimpangan-penyimpangan.
Terdapat perbedaan antara penerapan sistem sewa tanah yang dilaksanakan oleh Raffles serta
sistem tanam paksa yang dilaksanakan oleh Van den Bosch. Keduanya membawa dampak yang
tidak sedikit bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Dalam perkembangan sampai dengan paruh pertama abad ke-19, kebijakan selain bidang
perekonomian, dalam bidang pendidikan juga tidak diabaikan oleh pemerintah Hindia-Belanda,
tetapi itu hanya masih berupa rencana dari pada tindakan nyata. Dalam periode itu pemerintah harus
melakukan penghematan anggaran, biaya untuk menumpas Perang Dipenogoro (1825-1830), dan
untuk pelaksanaan Culturstelsel.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana bentuk kekuasaan komisaris jenderal?
2. Bagaimana sejarah tanam paksa?
3. Bagaimanakah sistem politik liberal (sistem usaha swasta) itu?
4. Bagaimanakah perkembangan agama kristen dan katolik di indonesia pada masa kolonial?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kekuasaan komisaris Jenderal
Setelah berakhirnya kekuasaan Inggris, Indonesia dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda.
Pada mulanya, pemerintahan ini merupakan pemerintahan kolektif yang terdiri atas tiga orang, yaitu
Flout, Buyskess, dan van der Capellen atas saran dari Pangeran Willem VI. Mereka berpangkat
komisaris jenderal.

Pada masa pemerintahan komisaris jenderal ini nama Nederlandsch Oost Indie menjadi
Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda. Dalam menjalankan pemerintahan di Indonesia, Komisaris
Jenderal berpedoman pada UU yang di susun oleh Pangeran Willem VI, yaitu Regerings Reglement
(PR). Tugas pokok Komisaris Jenderal adalah membangun daerah koloni untuk memberikan
keuntungan bagi negeri Belanda. Ketiga pemimpin Komisaris Jenderal mulai menjalankan tugasnya
pada tanggal 27 April 1816. Pemerintahan kolektif itu bertugas menormalisasikan keadaan lama
(Inggris) ke alam baru (Belanda). Masa peralihan itu hanya berlangsung dari tahun 1816-1818.

Pada tahun 1918, pemerintah Belanda mengeluarkan UU baru yang menyatakan


pemberlakuan kembali jabatan gubernur jenderal sebagai penguasa tertinggi di tanah jajahan daqn
menghapus kekuasaan komisaris jenderal. Atas dasar tersebut, pemerintah Belanda mengangkat
Baron van der Capellen sebagai gubernur jenderal di Indonesia (1816-1824). Selain itu, pemerintah
Belanda menarik pulang Theodorus elout dan Ardiaan Buyskes.

Dalam menjalankan pemerintahannya, komisaris jenderal melakukan langkah-langkah sebagai


berikut.
1. Sistem residen tetap dipertahankan,
2. Dalam bidang hukum, sistem juri dihapuskan,
3. Kedudukan para bupati sebagai penguasa feudal/feodal tetap dipertahankan,
4. Desa sebagai satu kesatuan unit tetap dipertahankan dan para penguasanya dimanfaatkan untuk
pelaksanaan pemungutan pajak dan hasil bumi,
5. Dalam bidang ekonomi memberikan kesempatan kepada pengusaha-pengusaha asing untuk
menanamkan modalnya di Indonesia.
Pada kurun waktu 1816-1830, pertentangan antara kaum liberal dan kaum konservatif terus
berlangsung. Persoalan pokoknya tentang sistem yang dapat memberikan keuntungan sebesar-
besarnya bagi negeri induk. Kaum liberal berkeyakinan bahwa tanah jajahan akan memberi
keuntungan besar bagi negeri induk apabila urusan eksploitasi ekonomi diserahkan kepada orang-
orang swasta Barat. Pemerintah hanya mengawasi jalannya pemerintahan dan memungut pajak.
Kaum konservatif berpendapat sebaliknya, bahwa sistem pemungutan hasil bumi oleh pemerintah
secara langsung akan menguntungkan negeri induknya. Kaum konservatif meragukan sistem liberal
karena keadaan tanah jajahan belum memenuhi syarat.

Para komisaris jenderal kemudian mengambil jalan tengah. Di satu pihak, pemerintah tetap
berusaha menangani penggalian kekayaan tanah jajahan bagi keuntungan negeri induknya. Di lain
pihak, mencari jalan melaksanakan dasar-dasar kebebasan. Pada masa pemerintahan Gubernur
Jenderal van der Capellen juga dilaksanakan sistem politik yang dualistis. Pada satu pihak
melindungi hak-hak kaum pribumi, di lain pihak memberi kebebasan kepada pengusaha-pengusaha
swasta Barat untuk membuka usahanya di Indonesia selama tidak mengancam kehidupan penduduk.

Berbagai jalan tengah telah diupayakan, tetapi ternyata kurang memberikan keuntungan bagi
negeri induk. Sementara itu, kondisi di negeri Belanda dan di Indonesia semakin memburuk. Oleh
karena itu, usulan van den Bosch untuk melaksanakan cultuur stelsel (tanam paksa) diterima dengan
baik karena dianggap dapat memberikan keuntungan yang besar bagi negeri induk.

VAN DER CAPELLEN

Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen lahir di Utrecht 5 Desember
1778. Selama memerintah, Van der Capellen menerima banyak tugas. Dimasanya
Belanda terlibat Perang paderi atas undangan kaum Adat yang terdesak kaum Paderi.
Van der Capellen menghentikan pembayaran sewa tanah di pulau Jawa kepada
kerajaan Mataram II sehingga pemerintah Hindia Belanda mendapat perlawanan dari
Pangeran Diponegoro ( 1825-1830) Jadi pada saat yang bersamaan dia menghadapi dua
perang dan perang Paderi berlangsung dalam masa pemerintahan 5 Gubernur Jenderal
hanya berakhir di masa pemerintahan De Eerens di tahun 1838. Dia kemudian
menghapuskan sebagian monopoli perdagangan rempah rempah di Maluku. Godert
Alexander Gerard Philip van der Capellen meninggal di De Bilt Utrecht pada tanggal 10
April 1848.
B. SISTEM TANAM PAKSA (Cultuur Stelsel) 1830-1870
Cultuurstelsel merupakan salah satu kebijakan yang diterapkan pemerintah kolonial
Belanda di Indonesia dfengan cara mewajibkan rakyat melakukan tanam paksa. Ide kebijakan
tanam paksa dicetuskan oleh seorang anggota golongan konservatif Belanda, yaitu Johannes van
den Bosch.

Istilah cultuur stelsel sebenarnya berarti sistem tanaman. Terjemahannya dalam bahasa
inggris adalah culture system atau cultivation system. Pengertian dari cultuur stelsel sebenarnya
adalah kewajiban rakyat (Jawa) untuk menanam tanaman ekspor yang laku dijual di Eropa. Rakyat
pribumi menerjemahkan cultuur stelsel dengan sebutan tanam paksa. Hal itu disebabkan
pelaksanaan proyek penanaman dilakukan dengan cara-cara paksa. Pelanggarnya dapat dikenakan
hukuman fisik yang amat berat. Jenis-jenis tanaman yang wajib ditanam, yaitu tebu, nila, teh,
tembakau, kayu manis, kapas, merica (lada), dan kopi.

Menurut van den Bosch, cultuur stelsel didasarkan atas hokum adat yang menyatakan
bahwa barang siapa berkuasa di suatu daerah, ia memiliki tanah dan penduduknya. Karena raja-
raja di Indonesia sudah takluk kepada Belanda, pemerintah Belanda menganggap dirinya sebagai
pengganti raja-raja tersebut. Oleh karena itu, penduduk harus menyerahkan sebagian hasil
tanahnya kepada pemerintah Belanda.

1) Latar Belakang Kebijakan Tanam Paksa


Penerapan kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel) tidak terlepas dari kegagalan pelaksanaan
sistem sewa tanah (landrente) pada masa pemerintahan komisaris jenderal. Kegagalan tersebut
mendorong Johannes van den Bosch mencetuskan ide tanam paksa untuk menyelamatkan
Belanda dari kebangkrutan. Van den Bosch berpendapat daerah koloni merupakan tempat yang
tepat untuk mengambil keuntungan bagi negeri induknya. Dalam perkembangannya, van den
Bosch ditunjuk sebagai gubernur jenderal untuk menjalankan kebijakan tanam paksa.

Gubernur jenderal Johannes van den Bosch memusatkan kebijakan tanam paksa pada
peningkatan produksi tanaman yang laku di pasar internasional. Tujuan sistem tanam paksa
adalah mendapatkan komoditas-komoditas ekspor yang laku di pasaran dunia.
Untuk mendukung kelancaran sistem ini, lahan yang dipakai adalah lahan milik orang-orang
pribumi dan tenaga kerja yang digunakan adalah orang-orang desa di Pulau Jawa yang dibujuk,
bahkan dipaksa oleh para penguasa (local) desa mereka.
2) Ketentuan Tanam Paksa
Raja Willem tertarik serta setuju dengan usulan dan perkiraan Van den Bosch . Tahun 1830
Van den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal baru di Jawa. Setelah sampai di Jawa, Van
den Bosch segera mencanangkan sistem dan program Tanam Paksa. Secara umum Tanam Paksa
mewajibkan para petani untuk menanam tanaman-tanaman yang dapat diekspor di pasaran
dunia. Jenis tanaman itu di samping kopi juga antara lain tembakau, tebu, dan nila.

Sistem tanam paksa pada dasarnya merupakan gabungan antara sistem penyerahan wajib
dan sistem pajak tanah. Sistem penyerahan wajib mengadopsi kebijakan tanam wajib yang
dijalankan pada masa kekuasaan VOC. Kebijakan yang dimaksud adalah kewajiban rakyat
Priangan diwajibkan menanam kopi dan harus menyerahkan hasilnya kepada VOC sebagai
pengganti pembayaran pajak.

Secara rinci beberapa ketentuan Tanam Paksa itu termuat pada Lembaran Negara
(Staatsblad) Tahun 1834 No. 22. Ketentuan-ketentuan itu antara lain sebagai berikut.
a) penduduk menyediakan sebagian dari tanahnya untuk pelaksanaan Tanam Paksa;
b) tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk pelaksanaan Tanam Paksa tidak boleh
melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa;
c) waktu dan pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman Tanam Paksa tidak boleh
melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi;
d) tanah yang disediakan untuk tanaman Tanam Paksa dibebaskan dari pembayaran pajak
tanah;
e) hasil tanaman yang terkait dengan pelaksanaan Tanam Paksa wajib diserahkan kepada
pemerintah Hindia Belanda. Jika harga atau nilai hasil tanaman ditaksir melebihi pajak tanah
yang harus dibayarkan oleh rakyat, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada rakyat.;
f) kegagalan panen yang bukan disebabkan oleh kesalahan rakyat petani, menjadi tanggungan
pemerintah;
g) penduduk desa yang bekerja di tanah-tanah untuk pelaksanaan Tanam Paksa berada di
bawah pengawasan langsung para penguasa pribumi, sedang pegawai-pegawai Eropa
melakukan pengawasan secara umum; dan penduduk yang bukan petani, diwajibkan
bekerja di perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari dalam satu
tahun;

Menurut apa yang tertulis di dalam ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tampaknya tidak
terlalu memberatkan rakyat. Bahkan pada prinsipnya rakyat boleh mengajukan keberatan-
keberatan apabila memang tidak dapat melaksanakan sesuai dengan ketentuan. Ini artinya
ketentuan Tanam Paksa itu masih memperhatikan martabat dan batas-batas kewajaran nilai-
nilai kemanusiaan.
3) Pelaksanaan Tanam Paksa
Dalam kenyataannya, pelaksanaan tanam paksa (cultur stelsel) banyak terjadi penyimpangan,
karena berorientasi pada kepentingan imperialis, di antaranya:
1. Jatah tanah untuk tanaman ekspor melebihi seperlima tanah garapan, apalagi tanahnya
subur.
2. Rakyat lebih banyak mencurahkan perhatian, tenaga, dan waktunya untuk tanaman ekspor,
sehingga banyak tidak sempat mengerjakan sawah dan ladang sendiri.
3. Rakyat tidak memiliki tanah harus bekerja melebihi 1/5 tahun.
4. Waktu pelaksanaan tanaman ternyata melebihi waktu tanam padi (tiga bulan) sebab
tanaman-tanaman perkebunan memerlukan perawatan yang terus-menerus.
5. Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak yang harus dibayarkan kembali kepada
rakyat ternyata tidak dikembalikan kepada rakyat.
6. Kegagalan panen tanaman wajib menjadi tanggung jawab rakyat/petani.

Dalam pelaksanaannya itu, tanam paksa banyak mengalami penyimpangan dari ketentuan-
ketentuan yang telah ditetapkan. Penyimpangan ini terjadi karena penguasa lokal, tergiur oleh
janji Belanda yang menerapkan sistem cultuur procenten. Cultuur procenten atau prosenan
tanaman adalah hadiah dari pemerintah bagi para pelaksana tanam paksa (penguasa pribumi,
kepala desa) yang dapat menyerahkan hasil panen melebihi ketentuan yang diterapkan dengan
tepat waktu.

Bagi rakyat di Pulau Jawa, sistem tanam paksa dirasakan sebagai bentuk penindasan yang
sangat menyengsarakan rakyat. Rakyat menjadi melarat dan menderita. Terjadi kelaparan yang
menghebat di Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan (1849). Kelaparan mengakibatkan
kematian penduduk meningkat. Adanya berita kelaparan menimbulkan berbagai reaksi, baik
dari rakyat Indonesia maupun orang-orang Belanda. Rakyat selalu mengadakan perlawanan
tetapi tidak pernah berhasil. Penyebabnya bergerak sendiri-sendiri secara sporadis dan tidak
terorganisasi secara baik. Reaksi dari Belanda sendiri yaitu adanya pertentangan dari golongan
liberal dan humanis terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa.

Di antara jenis tanaman kultur yang diusahakan itu, tebu dan nila, adalah yang terpenting.
Tebu adalah bahan untuk gula, sedangkan nila bahan untuk mewarnai kain. Pada bad ke -19 itu
pengetahuan kimia tentang bahan pewarna kain belum berkembang, karena itu nila
dibutuhkan. Kemudian menyusul kopi, yang merupakan bahan ekspor yang penting. Selama
tanam paksa, jenis tanaman yang memberi untung banyak ialah kopi dan gula. Karena itu
kepada kedua jenis tanaman itu pemerintah memberi perhatian yang luar biasa. Tanah yang
dipakai juga luas. Jumlah petani yang terlibat dalam tanam paksa gula dan kopi adalah besar,
laba yang diperoleh juga banyak. Tanam paksa mencapai puncak perkembangannya sekitar
tahun 1830-1840. Pada waktu itu Negeri Belanda menikmati hasil tanam paksa yang tertinggi.
Tetapi sesudah tahun 1850, mulai terjadi pengendoran. Rakyat di negeri Belanda tidak banyak
mengetahui tentang tanam paksa di Indonesia. Maklumlah waktu itu hubungan masih sulit,
radio dan hubungan telekomunikasi belum ada, surat kabar masih kurang. Tetapi sesudah
tahun 1850 terjadi perubahan. Malapetaka di Cirebon, Demak, dan Grobogan lambat laun
sampai pula terdengar di negeri Belanda. Mereka juga mendengar tentang sikap pegawai-
pegawai Belanda yang sewenang-wenang.

4) Kritik Terhadap Pelaksanaan Tanam Paksa


Tanam paksa yang diterapkan Belanda di Indonesia ternyata mengakibatkan aksi penentangan.
Orang yang menentang tanam paksa terdiri dari:

1. Penentang Golongan pendeta


Golongan ini menentang atas dasar kemanusiaan. Adapun tokoh yang mempelopori
penentangan ini adalah Baron Van Hovel. Ia adalah seorang pendeta. Setelah kembali ke
negerinya, ia menjadi anggota parlemen, kemudian ia bersama kelompoknya berupaya
memperjuangkan nasib rakyat tanah jajahan. Akhirnya, muncullah kecaman keras supaya
pemerintah menghapuskan sistem tanam paksa. Setelah 40 tahun berlangsung di Indonesia,
akhirnya tanam paksa dihapuskan (1830 - 1870).

2. Penentang Golongan liberal


Golongan liberal terdiri dari pengusaha dan pedagang, di antaranya:
a. Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli yang menentang tanam paksa dengan
mengarang buku berjudul Max Havelaar. Edward Douwes Dekker mengajukan tuntutan
kepada pemerintah kolonial Belanda untuk lebih memerhatikan kehidupan bangsa
Indonesia. Karena kejayaan negeri Belanda itu merupakan hasil tetesan keringat rakyat
Indonesia. Dia mengusulkan langkah-langkah untuk membalas budi baik bangsa
Indonesia. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut.
 Pendidikan (edukasi).
 Membangun saluran pengairan (irigasi).
 Memindahkan penduduk dari daerah yang padat ke daerah yang jarang
penduduknya (imigrasi/ transmigrasi).
b. Frans Van de Pute dengan mengarang buku berjudul Suiker Constracten (Kontrak Kerja).

Sistem tanam paksa (cultuurstelsel) juga dikritik karena mematikan usaha perkebunan
swasta di Hindia Belanda. Kritikan ini ditulis oleh pengusaha perkebunan Fransen van de Putte
dalam artikelnya “Suiker Contracten” (Perjanjian gula).

5) Penghapusan Sistem Tanam Paksa Secara Bertahap


Di Sumatra Barat ,sistem tanam paksa dimulai sejak tahun 1847, ketika penduduk yang
telah lama menanam kopi secara bebas dipaksa untuk menanam kopi untuk diserahkan kepada
pemerintah kolonial. Begitu juga di Jawa, pelaksanaan sistem tanam paksa ini dilakukan melalui
jaringan birokrasi lokal. Berkat adanya kecaman dari berbagai pihak, akhirnya pemerintah
Belanda menghapus tanam paksa secara bertahap:
1. Tahun 1860 tanam paksa lada dihapus.
2. Tahun 1865 tanam paksa nila dan teh dihapus.
3. Tahun 1870 tanam paksa semua jenis tanaman, dihapus kecuali kopi di Priangan.
Selain di Pulau Jawa, kebijaksanaan yang hampir sama juga dilaksanakan di tempat lain
seperti Sumatra Barat, Minahasa, Lampung, dan Palembang. Kopi merupakan tanaman utama
di dua tempat pertama. Adapun lada merupakan tanaman utama di dua wilayah yang kedua. Di
Minahasa, kebijakan yang sama kemudian juga berlaku pada tanaman kelapa.

Menghadapi berbagai reaksi yang ada, pemerintah Belanda mulai menghapus sistem tanam
paksa, namun secara bertahap. Sistem tanam paksa secara resmi dihapuskan pada tahun 1870
berdasarkan UU Landreform (UU Agraria).
6) Akibat Sistem Tanam Paksa
I. Akibat Sistem Tanam Paksa Bagi Belanda
Bagi Belanda tanam paksa membawa keuntungan melimpah, di antaranya:
a. Kas Belanda menjadi surplus (berlebihan).
b. Belanda bebas dari kesulitan keuangan.

II. Akibat Sistem Tanam Paksa Bagi Indonesia


Akibat adanya penyimpangan-penyimpangan pelaksanaan tanam paksa, maka membawa akibat yang
memberatkan rakyat Indonesia, yaitu:
a. Banyak tanah yang terbengkalai, sehingga panen gagal.
b. Rakyat makin menderita.
c. Wabah penyakit merajalela.
d. Bahaya kelaparan yang melanda Cirebon memaksa rakyat mengungsi ke daerah lain untuk
menyelamatkan diri.
e. Kelaparan hebat di Grobogan, sehingga banyak yang mengalami kematian dan menyebabkan
jumlah penduduk menurun tajam.

Akibat dari kegiatan tanam paksa, rakyat Indonesia menderita kemiskinan yang berkepanjangan,
kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana. Sementara bagi Belanda merupakan ladang ekonomi
yang banyak mendapatkan keuntungan. Kas Belanda yang asalnya kosong dapat dipenuhi kembali,
kemudian secara berangsur-angsur utang Belanda dapat dilunasi dan menjadikan Belanda sebagai
negara yang tidak mengalami kesulitan keuangan. Itulah akibat dari sebagian kecil penderitaan yang
dialami bangsa kita saat dijajah oleh pemerintahan Belanda dan yang dilakukan oleh bangsa kita
sendiri yang menjadi bupati dan kepala desa karena ingin mendapatkan pujian dari penjajah. Mereka
senantiasa berlomba-lomba menyerahkan hasil tanaman rakyat sebanyak-banyaknya. Mereka tidak
sadar saudara sebangsanya menangis karena kelaparan, meninggal karena tidak makan, anak
menjadi yatim piatu karena bapaknya dihukum dan disiksa oleh Belanda. Akhirnya, terbongkar pada
1850 di negeri Belanda tentang penderitaan rakyat di Pulau Jawa yang mengalami kelaparan dan
kematian akibat adanya sistem tanam paksa.

III. Pengaruh Positif Sistem Tanam Paksa Bagi Rakyat Indonesia


Meskipun tanam paksa sangat memberatkan rakyat, namun di sisi lain juga memberikan pengaruh
yang positif terhadap rakyat, yaitu:
a. terbukanya lapangan pekerjaan,
b. rakyat mulai mengenal tanaman-tanaman baru, dan
c. rakyat mengenal cara menanam yang baik.
C. SISTEM POLITIK EKONOMI LIBERAL ( 1870 )

Sebelum tahun 1870 indonesia dijajah dengan model imperialisme kuno ( ancient imperialism )
yaitu hanya dikeruk kekayaannya saja, setelah tahun 1870 di Indonesia diterapkan imperialisme
modern ( modern imperialism ). Sejak saat itu diterapkan open door policy yaitu politik pintu
terbuka terhadap modal-modal swasta asing pelaksanaan politik pintu terbuka tersebut
diwujudkan melalui penerapan sistem politik ekonomi liberal

Latar belakang sistem politik ekonomi liberal

 Pelaksanaan sistem tanam paksa telah menimbulkan penderitaan rakyat pribumi tetapi
memberikan keuntungan besar dari belanda.
 Berkembangnya paham liberalisme sehingga sistem tanam paksa tidak sesuai lagi untuk
diteruskan.
 Kemenangan partai liberal dalam palemen belanda mendesak pemerintah belanda
menerapkan sistem ekonomi liberal di Indonesia tujuannya agar para pengusaha belanda
sebagi pendukung partai liberal dapat menanamkan modalnya di Indonesia.

Adanya traktat Sumatra ( 1871 ) yang memberikan kebebasan bagi belanda untuk meluaskan
wilayahnya ke aceh sebagi imbalannya inggris meminta belanda menerapkan sistem ekonomi
liberal di Indonesia agar pengusaha inggris dapat menanamkan modalnya di Indonesia

Pelaksanaan peraturan sistem politik ekonomi liberal

 Indische comptabiliteit wet ( 1867 ) berisi tentang perbendaharaan Negara hindia belanda
yang menyebutkan bahwa dalam menentukan anggaran belanja hindia belanda harus
ditetapkan dengan undang-undang yang disetujui oleh parlemen belanda.
 Suiker wet ( undang-undang gula ) yang menetapkan bahwa tanaman tebu adalah monopoli
pemerintah yang secara berangsur-angsur akan dialihkan kepada pihak swasta.

Agrarische wet ( undang-undang agraria ) 1870 yang isi pokoknya yaitu sebagai berikut.

 Tanah Indonesia dibedakan atas tanah rakyat dan tanah pemerintah


 Tanah rakyat dibedakan atas tanah milik yang bersifat bebas dan tanah desa tidak bebas
tanah tidak bebas adalah tanah yang dapat disewakan kepada pengusaha swasta.
 Tanah rakyat tidak boleh dijual kepada orang lain
 Tanah pemerintahan dapat disewakan kepada pengusaha swasta hingga 75 tahun.

Agrarische besluit ( 1870 ) jika agrarische wet ditetapkan dengan persetujuan parlamen. Agrarische
besluit ditetapkan oleh raja belanda. Agrarische wet hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum
tentang agrarian, sedangkan agrarische besluit mengatur hal-hal yang lebih rinci khususnya tentang
hak kepemilikan tanah dan jenis-jenis hak penyewaan tanah oleh pihak swasta.
Pelaksanaan sistem politik ekonomi liberal

Pelaksanaan sistem politik ekonomi liberal di Indonesia merupakan jalan bagi pemerintah colonial
belanda menerapkan imperaalisme modernnya. Hal itu berarti Indonesia dijadikan tempat untuk
berbagai kepentingan antara lain sebagai berikut.

 Mendapatkan bahan mentah atau bahan baku industri di eropa


 Mandapatkan tenaga kerja yang murah
 Menjadi tempat pemasaran barang-barang produksi eropa
 Menjadi tempat penanaman modal asing.

Seiring dengan pelaksanaan sistem politik ekonomi liberal belanda melakukan pax netherlandica
yaitu usaha pembulatan negeri jajahan belanda di Indonesia. Hal itu dimaksudkan agar wilayah
Indonesia tidak diduduki oleh bangsa barat lainnya. Lebih-lebih setelah dibukanya terusan suez (
1868 ) yang mempersingkat jalur pelayaran antara eropa dan asia

Akibat pelaksanaan sistem politik ekonomi liberal

Bagi belanda

 Memberikan keuntungan yang sangat besar kepada kaum swasta kaum swasta belanda dan
pemerintah
 colonial belanda.
 Hasil-hasil produksi perkebunan dan pertambangan mengalir ke negeri belanda.
 Negeri belanda menjadi pusat perdagangan hasil dari tanah jajahan.

Bagi rakyat Indonesia

 Kemerosotan tingkat kesejahteraan penduduk


 Adanya krisis perkebunan pada tahun 1885 kerena jatuhnya harga kopi dan gula berakibat
buruk bagi penduduk.
 Menurunnya konsumsi bahan makanan terutama beras sementara pertumbuhan penduduk
jawa meningkat cukup pesat,
 Menurunnya usaha kerajinan rakyat karena kalah bersaing dengan barang-barang impor
dari eropa.
 Pengangkutan dengan gerobak menjadi merosot penghasilannya setelah adanya angkutan
dengan kereta api.
 Rakyat menderita karena masih diterapkannya kerja rodi dan adanya hukuman yang berat
bagi melanggar peraturan poenale sanctie.
D. PERKEMBANGAN AGAMA KRISTEN DAN KATOLIK

PERKEMBANGAN AGAMA NASRANI

Sejak abad ke-15 Paus di Roma memberi tugas kepada misionaris bangsa Portugis dan Spanyol
untuk menyebarkan agama Katholik. Kemudian bangsa Belanda pun tertarik untuk menyebarkan
ajaran agama Kristen Protestan dengan mengirimkan para zending di negeri-negeri jajahannya.

Misionaris Portugis di Indonesia

Pada abad ke-16 kegiatan misionaris sangat aktif menyampaikan kabar Injil ke seluruh penjuru dunia
dengan menumpang kapal pedagang Portugis dan Spanyol. Salah seorang misionaris yang bertugas
di Indonesia terutama Maluku adalah Fransiscus Xaverius (1506—1552). Ia seorang Portugis yang
membela rakyat yang tertindas oleh jajahan bangsa Portugis. Di kalangan pribumi ia dikenal
kejujuran dan keikhlasannya membantu kesulitan rakyat. Ia menyebarkan ajaran agama Katholik
dengan berkeliling ke kampung-kampung sambil membawa lonceng di tangan untuk mengumpulkan
anak-anak dan orang dewasa untuk diajarkan agama Katholik.

Kegiatan misionaris Portugis tersebut berlangsung di Kepulauan Maluku, Sulawesi Utara, Nusa
Tenggara Timur, Pulau Siau. dan Sangir, kemudian menyebar ke Kalimantan dan Jawa Timur.

Penyebaran agama Katholik di Maluku menjadi tersendat setelah terbunuhnya Sultan Hairun yang
menimbulkan kebencian rakyat terhadap semua orang Portugis. Setelah jatuhnya Maluku ke tangan
Belanda, kegiatan misionaris surut dan diganti kegiatan zending Belanda yang menyebarkan agama
Kristen Protestan.

Zending Belanda di Indonesia

Pada abad ke-17 gereja di negeri Belanda mengalami perubahan, agama Katholik yang semula
menjadi agama resmi dengan agama Kristen Protestan. Pemerintah Belanda melarang pelaksanaan
ibadah agama Katholik di muka umum dan menerapkan anti Katholik, termasuk di tanah-tanah
jajahannya.

VOC yang terbentuk tahun 1602 mendapat kekuasaan dan tanggung jawab memajukan agama. VOC
mendukung penyebaran agama Kristen Protestan dengan semboyan “siapa punya negara, dia punya
agama”, kemudian VOC menyuruh penganut agama Katholik untuk masuk agama Kristen Protestan.
VOC turut membiayai pendirian sekolah-sekolah dan membiayai upaya menerjemahkan injil ke
dalam bahasa setempat. Di balik itu para pendeta dijadikan alat VOC agar pendeta memuji-muji
VOC dan tunduk dengan VOC. Hal tersebut ternyata sangat menurunkan citra para zending di mata
rakyat, karena VOC tidak disukai rakyat.

Tokoh zending di Indonesia antara lain Ludwig Ingwer Nommensen, Sebastian Danckaerts, Adriaan
Hulsebos, dan Hernius.

Kegiatan zending di Indonesia meliputi:


 Menyebarkan agama Kristen Protestan di Maluku, Sangir, Talaud, Timor, Tapanuli, dan
kota-kota besar di Jawa dan Sumatra.
 Mendirikan Nederlands Zendeling Genootschap (NZG), yaitu perkumpulan pemberi kabar
Injil Belanda yang berusaha menyebarkan agama Kristen Protestan, mendirikan wadah gereja
bagi jemaat di Indonesia seperti Gereja Protestan Maluku (GPM), Gereja Kristen Jawa
(GKJ), Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), dan mendirikan sekolah-sekolah yang
menitikberatkan pada penyebaran agama Kristen Protestan.

Wilayah Persebaran Agama Nasrani di Indonesia pada Masa Kolonial

Saat VOC berkuasa, kegiatan misionaris Katholik terdesak oleh kegiatan zending Kristen Protestan,
dan bertahan di Flores dan Timor. Namun sejak Daendels berkuasa, agama Katholik dan Kristen
Protestan diberi hak sama, dan mulailah misionaris menyebarkan kembali agama Katholik terutama
ke daerah-daerah yang belum terjangkau agama-agama lain.

Penyebaran agama Kristen Protestan di Maluku menjadi giat setelah didirikan Gereja Protestan
Maluku (GPM) tanggal 6 Sep1935. Organisasi GPM menampung penganut Kristen Protestan di
seluruh Maluku dan Papua bagian selatan. Penyebaran agama Kristen menjangkau Sulawesi Utara di
Manado, Tomohon, Pulau Siau, Pulau Sangir Talaud, Tondano, Minahasa, Luwu, Mamasa dan Poso,
serta di Nusa Tenggara Timur yang meliputi Timor. Pulau Ende, Larantuka, Lewonama, dan Flores.
Adapun persebaran agama Katholik di Jawa semula hanya berlangsung di Blambangan, Panarukan,
Jawa Timur. Namun, kemudian menyebar ke wilayah barat, seperti Batavia, Semarang, dan
Jogjakarta.

Agama Kristen Protestan di Jawa Timur berkembang di Mojowarno, Ngoro dekat Jombang. Di Jawa
Tengah meliputi Magelang, Kebumen, Wonosobo, Cilacap, Ambarawa, Salatiga, Purworejo,
Purbalingga, dan Banyumas. Di Jawa Barat pusat penyebaran agama Kristen terdapat di Bogor,
Sukabumi, dan Lembang (Bandung). Di Sumatra Utara masyarakat Batak yang menganut agama
Kristen berpusat di Angkola Sipirok, Tapanuli Selatan, Samosir, Sibolga, Buluh Hawar di Karo,
Kabanjahe, Sirombu, dan kepulauan Nias. Kegiatan agama Kristen pada masyarakat Batak
dipusatkan pada organisasi HKBP. Adapun di Kalimantan Selatan agama Kristen berkembang di
Barito dan Kuala Kapuas. Di Kalimantan Barat umat Nasrani banyak terdapat di Pontianak. Di
Kalimantan Timur banyak terdapat di Samarinda. Kalimantan Tengah di pemukiman masyarakat
Dayak desa Perak dan Kapuas Kahayan.

Faktor-faktor penyebab sulitnya perkembangan agama Kristen di Indonesia pada waktu itu adalah:

 Pada waktu itu agama Kristen dianggap identik dengan agama penjajah.
 Pemerintah kolonial tidak menghargai prinsip persamaan derajat manusia.
 Sebagian besar rakyat Indonesia telah menganut agama lain.
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Belanda datang pertama kali ke Indonesia pada tahun 1596-1811,dan yang kedua kalinya
pada tahun 1814-1904. Tujuan kedatangan Belanda ke Indonesia adalah untuk memonopoli
perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Dan untuk melancarkan usahanya, Belanda menempuh
beberapa cara yaitu membentuk VOC pada tahun 1902 dan membentuk pemerintahan kolonial
Hindia-Belanda. Setelah masa penjajahan itu usai, Belanda meninggalkan kebudayaan dan
kebijakan-kebijakan yang sebagian masih di pakai oleh Indonesia.
Indonesia pada masa pemerintahan Hindia-Belanda abad XIX sudah mengalami berbagai
pergantian Gubernur Jendral tetapi yang paling menyengsarakan rakyat yaitu pada masa Gubjen,
Rafles, Daendels, Van den Bosch, dan van Hogendrop. Yang menerapkan system tanam paksa,
penyerahan wajib hasil pertanian, penyewaan tanah kepada rakyat, penyewaan desa pada pihak
swasta dan pembuatan jalan dari Anyer sampai Panarukan.
2. Analisis
Indonesia pernah merasakan dijajah oleh negara lain, seperti Portugis dan Inggris. Akan tetapi
penjajahan itu tidak begitu lama. Baru setelah itu bangsa Indonesia mulai dijajah kembali oleh
bangsa barat yaitu Belanda yang kurang lebih selama 300 tahun lamanya. Pada awalnya Belanda
hanya ingin melakukan perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Akan tetapi melihat kondisi
Indonesia yang begitu kaya akan rempah-rempah VOC berniat melakukan monopoli perdagangan.
VOC merupakan persatuan dari berbagai perseroan dan disahkan dengan suatu piagam yang
memberi hak khusus untuk berdagang, berlayar dan memegang kekuasaan. Jadi pada saat
pemerintahan Hindia-Belanda, masyarakat sangat tertindas karena adanya sistem tanam paksa dan
kerja rodi dan pemerintahan yang hanya menguntungkan pemerintahan Belanda, tidak
memperhatikan rakyat.
3. Saran
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia harus kita pertahankan, sebagai generasi muda Indonesia
selayaknya kita mempertahankan hasil perjuangan ini melalui cara yang sesuai dengan bidang yang
kita geluti.
DAFTAR PUSTAKA

http://wwwilmuduniaku.blogspot.co.id/2016/11/makalah-sejarah-indonesia.html
http://lenywidhy.blogspot.co.id/2013/11/makalah-masa-penjajahan-belanda-
di.html
http://sejarah-asyik.blogspot.co.id/2014/04/konvensi-london-konvensi-
jawatraktat.html
http://www.guruips.com/2016/08/sistem-tanam-paksa-cultur-stelsel.html
http://www.sumberpengetahuan.com/2016/02/lengkap-masa-pemerintahan-
hindia-belanda-1816-1942.html
http://www.sumberpengetahuan.com/2017/03/perkembangan-agama-nasrani-di-
indonesia-pada-masa-kolonial.html
http://indonesian-persons.blogspot.co.id/2013/07/masa-pemerintahan-hindia-

belanda-1816.html

Anda mungkin juga menyukai