Anda di halaman 1dari 29

Materi-1 : Identifikasi isu dan asas etika dalam

praktek kedokteran

Tujuan Instruksional :
1. Mampu mengidentifikasi isu etis yang ada pada
kasus klinik dalam praktek kedokteran. (Materi-1
/ Skill lab-1)
2. Mampu menetapkan asas etik utama pada kasus
klinik dalam praktek kedokteran (Materi-1 / Skill
lab-1)

1
SUPLEMEN UNTUK FASILITATOR SEBAGAI DASAR TEORI MATERI-1

TEORI KAIDAH DASAR MORAL

Asas Beneficence
Beneficence secara makna kata dapat berarti pengampunan, kebaikan,
kemurahan hati, mengutamakan kepentiang orang lain, mencintai dan kemanusiaan.
Beneficence dalam makna yang lebih luas berarti tindakan yang dilakukan untuk
kebaikan orang lain. Prinsip moral beneficence adalah kewajiban moral untuk
melakukan suatu tindakan demi kebaikan atau kemanfaatan orang lain (pasien). Prinsip
ini igambarkan sebagai alat untuk memperjelas atau meyakinkan diri sendiri (self-
evident) dan diterima secara luas sebagai tujuan kedokteran yang tepat.
Penerapan prinsip beneficence tidak bersifat mutlak. Prinsip ini bukanlah satu-
satunya prinsip yang harus dipertimbangkan, melainkan satu diantara beberapa prinsip
lain yang juga harus dipertimbangkan. Prinsip ini dibatasi keseimbangan manfaat,
resiko, dan biaya (sebagai hasil dari tindakan) serta tidak menentukan pencapaian
keseluruhan kewajiban. Kritik yang sering muncul terhadap penerapan prinsip ini adalah
tentang kepentingan umum yang diletakan di atas kepentingan pribadi. Sebagai contoh,
dalam penelitian kedokteran, atas dasar kemanfaatan untuk kepentingan umum sering
prosedur penelitian yang membahayakan individu subjek penelitian diperbolehkan.
Padahal, terdapat prinsip-prinsip lain yang semestinya juga dipertimbangkan. Prinsip
beneficence harus diterapkan baik untuk kebaikan individu seorang pasien maupun
kebaikan masyarakat keseluruhan.
Beberapa bentuk penerapan prinsip beneficence merupakan komponen penting
dalam moralitas. Karena luasnya cakupan kebaikan, maka banyak ketentuan-ketentuan
dalam praktek (kedokteran) yang baik lahir dari prinsip beneficence ini. Beberapa contoh
penerapan prinsip beneficence ini adalah:
1. Melindungi dan menjaga hak orang lain.
2. Mencegah bahaya yang dapat menimpa orang lain.
3. Meniadakan kondisi yang dapat membahayakan orang lain.
4. Membantu orang dengan berbagai keterbatasan (kecacatan).
5. Menolong orang yang dalam kondisi bahaya.

Salah satu bagian dari pengembangan prinsip kebaikan adalah prinsip non-
maleficence (lihat prinsip non-maleficence). Prinsip ini dibedakan dari prinsip
beneficence dalam beberapa kondisi. Prinsip non-maleficence; (a) berisi larangan untuk
melakukan suatu tindakan, (b) harus diikuti dengan seimbang, dan (c) memberi alasan
terhadap larangan suatu tindakan. Sedangkan prinsip beneficence; (a) berisi
dorongan untuk melakukan suatu tindakan, (b) tidak harus diikuti dengan seimbang, dan
(c) jarang, memberi alasan suatu hukuman ketika gagal mentaati suatu aturan. Kondisi
yang kedua, terkait dengan ketaatan yang seimbang menjadi perhatian tersendiri.
Perbedaan ketaatan antara non-malefecence dengan beneficence didasarkan pada
beberapa pemikiran. Kita secara moral dilarang untuk melakukan tindakan yang
membahayakan orang lain. Namun, dalam beberapa kondisi, kita diperkenankan untuk
memilih dalam membantu orang lain. Kita dimungkinkan untuk menerapkan non-
maleficence pada semua orang, tetapi sulit bagi kita untuk bisa berbuat baik kepada
semua orang. Tidak melakukan tindakan pencegahan atau membiarkan bahaya yang
dapat menimpa orang lain adalah tidak bermoral. Namun tidak berbuat baik kepada

2
orang lain pada beberapa situasi, tidak bisa dikatakan tidak bermoral. Meskipun
demikian, kita harus berupaya untuk melaksanakan kewajiban yang seimbang pada
prinsip non-maleficence dan pada prinsip beneficence.
Kewajiban beneficence adalah kewajiban yang terbatas. Dokter memiliki kewajiban
untuk memberikan manfaat kepada beberapa atau seluruh pasiennya. Meskipun
demikian, dokter diperbolehkan untuk menerima atau menolak pasiennya jika sudah
diluar kompetensinya atau tidak terdaftar untuknya. Kewajiban beneficence menjadi
kompleks jika dua pasien yang harus ditangani pada waktu yang bersamaan. Berbagai
kriteria seperti kemendesakan, atau prinsip lain seperti prinsip non-maleficence harus
digunakan dalam pengambilan keputusan.
Terdapat satu kondisi dalam dunia kedokteran, dimana dokter melakukan suatu
tindakan yang didorong oleh semangat kebaikan dan pengabdian untuk kebaikan pasien
tanpa berkonsultasi dulu dengan pasien atau mengesampingkan harapan pasien, yang
disebut “paternalistik”. Contoh kasusnya adalah tindakan yang dilakukan dokter kepada
seorang pasien yang mencoba bunuh diri. Untuk mencegah pasien membahayakan
dirinya sendiri, misalnya dokter menempatkan pasien pada ruangan yang terlindungi
dari percobaan bunuh diri.

Asas Non-maleficence
Prinsip non-maleficence, yaitu melarang tindakan yang membahayakan atau
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau “do
no harm”. Prinsip ini berhubungan dengan ungkapan Hipokrates yang menyatakan
“saya akan menggunakan terapi untuk membantu orang sakit berdasarkan kemampuan
dan pendapat saya, tetapi saya tidak akan pernah menggunakannya untuk merugikan
atau mencelakakan mereka”.
Prinsip non-maleficence sering menjadi pembahasan dalam bidang kedokteran
terutama kasus kontroversial terkait dengan kasus penyakit terminal, penyakit serius
dan luka serius. Prinsip ini memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan
untuk mempertahankan atau mengakhiri kehidupan. Penerapannya dapat dilakukan
pada pasien yang kompeten maupun tidak kompeten. Pada dasarnya, prinsip non-
maleficence memberikan peluang kepada pasien, walinya dan para tenaga kesehatan
untuk menerima atau menolak suatu tindakan atau terapi setelah menimbang manfaat
dan hambatannya dalam situasi atau kondisi tertentu.
Banyak filosof yang menjadikan prinsip non-maleficence sebagai satu kesatuan
dengan prinsip beneficence (mengutamakan tindakan untuk kebaikan pasien). Namun,
banyak juga yang membedakannya. Pertimbangannya antara lain pemikiran bahwa
kewajiban untuk tidak membahayakan atau mencelakakan pasien, tentu berbeda
dengan kewajiban untuk membantu pasien, walaupun keduanya untuk kebaikan pasien.
Salah satu dasar yang membedakan antara keduanya adalah pembagian prinsip
beneficence dari Willian Frankena. Ia membagi prinsip beneficence menjadi empat
kewajiban umum, yaitu:
1. Satu keharusan untuk tidak menimbulkan kejahatan atau bahaya
2. Satu keharusan untuk mencegah kejahatan atau bahaya
3. Satu keharusan untuk menghilangkan kejahatan atau bahaya
4. Satu keharusan untuk melakukan atau mendukung kebaikan
Kewajiban pertama adalah kewajiban non-maleficence, sedangkan yang lainnya
adalah kewajiban beneficence. Empat kewajiban tersebut disusun oleh William
Frankena sebagai kewajiban yang berjenjang, dimana kewajiban nomor 1 didahulukan
daripada nomor 2, nomor 2 didahulukan dari nomor 3, dan nomor 3 didahulukan dari
nomor 4. Meskipun demikian, dalam penerapannya, kadangkala beneficence justeru
lebih kuat dari non-maleficence, tergantung kondisi yang dihadapi.

3
Terdapat beberapa kondisi dimana kewajiban non-maleficence lebih kuat dari
kewajiban beneficence atau sebaliknya. Kewajiban tidak mencelakai seseorang
kelihatannya lebih kuat daripada kewajiban untuk menolongnya. Namun pada kondisi
pelaksanaan prosedur penelitian, kewajiban untuk tidak menimbulkan resiko mencelakai
seorang yang menjadi subjek penelitian dalam suatu prosedur yang resiko
kecelakaannya rendah, tidak sama kuatnya dengan kewajiban untuk menolong seorang
yang mengalami kecelakaan akibat suatu prosedur penelitian. Pada suatu kondisi
dimana kerugian yang ditimbulkan kecil tetapi manfaat menolongnya besar, maka
kewajiban beneficence lebih utama daripada kewajiban non-maleficence.
Ketentuan utama non-maleficence adalah “tidak melakukan X”, dimana “X” adalah
hal yang “membahayakan” (harm) atau “merugikan” (injury). Membahayakan dalam
makna yang lebih luas memiliki pengertian kemunduran atau penurunan dari reputasi,
sifat, keleluasaan pribadi atau kebebasan. Dalam arti yang lebih sempit adalah
penurunan kondisi fisik dan psikologis, seperti kesehatan dan ketahanan atau
keselamatan (survive) hidup.
Contoh penerapan non-maleficence dalam bentuk sikap adalah:
1. Tidak membunuh.
2. Tidak menyebabkan sakit atau penderitaan yang lain.
3. Tidak menyebabkan orang lain menjadi tidak mampu atau tidak berdaya.
4. Tidak melukai perasaan orang lain.
5. Tidak mencabut kebahagiaan orang lain.
Contoh penerapan di atas tidak bersifat mutlak.
Prinsip non-maleficence sangat erat kaitannya dengan standar pelayanan yang
layak diberikan kepada pasien. Standar pelayanan di sini mencakup aspek hukum dan
moral. Bagi profesi kedokteran, standar ini meliputi pelatihan atau pendidikan yang
sesuai, kemampuan medis dan ketentuan atau standar profesi yang berlaku. Standar
pelayanan ditetapkan untuk mencegah munculnya resiko yang membahayakan pasien.
Ketika dokter gagal mencegah resiko yang membahayakan pasien maka disebut
melakukan kelalaian (negligence). Kelalaian berupa tidak diikutinya standar profesi
(secara sengaja) disebut malpraktek profesi (professional malpractice). Untuk
menyatakan suatu profesi telah membahayakan suatu pihak (misal dokter
membahayakan pasien), maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
1. Profesi tersebut harus memiliki kewajiban/tugas kepada pihak yang terkena
dampak.
2. Profesi tersebut harus melanggar kewajiban/tugas tersebut.
3. Pihak yang terkena dampak harus mengalami suatu bahaya.
4. Bahaya tersebut disebabkan karena pelanggaran terhadap
kewajiban/ tugas profesi.

Ada satu kondisi dimana prinsip non-maleficence berada dalam dua pilihan, atau disebut
prinsip efek ganda (the principle of double effect). Contohnya adalah pemilihan tindakan
pada wanita hamil yang terkena kanker rahim dimana seharusnya rahimnya tersebut
dioperasi untuk menyelamatkan hidup sang ibu. Namun jika hal tersebut dilakukan,
maka akan menyebabkan kematian bayi yang ada dalam kandungan. Ada empat
pertimbangan yang biasanya diterapkan dalam menghadapi prinsip efek ganda ini:
1. Tindakan yang diambil harus tidak boleh salah, harus merupakan tindakan yang
tepat atau netral.
2. Tindakan dimaksudkan hanya untuk efek yang baik, bukan
efek buruk, meskipun hal tersebut masih merupakan
perkiraan.
3. Efek buruk bukan alat untuk mencapai efek yang baik.

4
4. Efek yang baik harus mempertimbangkan bahaya yang masih
diperbolehkan.

Asas Autonomy
Otonomi (Autonomy) berasal dari bahasa Yunani ”autos” yang berarti sendiri
dan ”nomos” yang berarti peraturan atau pemerintahan atau hukum. Awalnya otonomi
dikaitkan dengan suatu wilayah dengan peraturan sendiri atau pemerintahan sendiri
atau hukum sendiri. Namun kemudian, otonomi juga digunakan pada suatu kondisi
individu yang maknanya bermacam-macam seperti memerintah sendiri, hak untuk
bebas, pilihan pribadi, kebebasan berkeinginan dan menjadi diri sendiri. Makna utama
otonomi individu adalah aturan pribadi atau perseorangan dari diri sendiri yang bebas,
baik bebas dari campur tangan orang lain maupun dari keterbatasan yang dapat
menghalangi pilihan yang benar, seperti karena pemahaman yang tidak cukup.
Seseorang yang dibatasi otonominya adalah seseorang yang dikendalikan oleh orang
lain atau seseorang yang tidak mampu bertindak sesuai dengan hasrat dan rencananya.
Pada dasarnya berbagai teori otonomi menyepakati adanya dua kondisi otonomi
yang penting yaitu liberty atau bebas dari pengaruh pengendalian dan agency atau
kemampuan untuk bertindak sesuai keinginan. Namun, hasil analisa lain menyebutkan
ada tiga kondisi penting dari otonomi yaitu mampu bertindak (1) secara disengaja, (2)
dengan pemahaman, dan (3) tanpa dikendalikan dalam menentukan tindakannya.
Terdapat berbagai pendapat tentang penerapan prinsip otonomi. Meskipun
demikian, secara umum ada beberapa cara menerapkan prinsip otonomi, khususnya
dalam praktek kedokteran.
Cara-cara tersebut antara lain:
1. Menyampaikan kebenaran atau berita yang sesungguhnya (tell the truth)
2. Menghormati hak pribadi orang lain (respect the privacy of others)
3. Melindungi informasi yang bersifat rahasia (protect confidential information)
4. Mendapat persetejuan untuk melakukan tindakan terhadap pasien (obtain consent
for interventions with patients)
5. Membantu orang lain membuat keputusan yang penting (when ask, help others
make important decision)

Hal penting dalam menerapkan prinsip otonomi adalah menilai kompetensi pasien.
Para pakar meyakini belum ada satu definisi kompetensi pasien yang dapat diterima
semua pihak, sehingga begitu banyak defnisi tentang kompetensi pasien. Salah satu
definisi kompetensi pasien yang dapat diterima adalah ”kemampuan untuk
melaksanakan atau perform suatu tugas atau perintah”.
Menyatakan seseorang kompeten dan tidak kompeten tentu harus memiliki dasar.
Di dalam hukum dan kedokteran, standar kompetensi seseorang umumnya didasarkan
pada gambaran kemampuan mentalnya atau kemampuan yang mengarah pada
karakteristik pribadi yang otonom, seperti kemampuan kognitif dan kebebasan dalam
membuat keputusan. Dalam kontek biomedis, seseorang dipandang kompeten jika
mampu memahami prosedur suatu penelitian atau tindakan terapi, menyadari resiko
serta manfaatnya dan dalam membuat keputusan dilakukan secara sadar atau
disengaja.
Menyatakan seseorang tidak kompeten juga memiliki standar. Standar tersebut
antara lain:
1. Tidak mampu mengekspresikan atau mengkomunikasikan
suatu pilihan atau keputusan
2. Tidak mampu memahami satu situasi dan konsekuensi
atau dampaknya

5
3. Tidak mampu memahami informasi yang sesuai
4. Tidak mampu memberikan alasan
5. Tidak mampu memberikan alasan yang rasional
6. Tidak mampu memberikan alasan terkait resiko atau manfaat
7. Tidak mampu mencapai suatu keputusan yang beralasan

Standar tidak kompeten di atas dikelompokan lagi menjadi 3 jenis kemampuan.


standar 1 adalah kemampuan yang sederhana untuk menyatakan keputusan atau
pilihan dan merupakan standar yang lemah. Standar 2 dan 3 adalah kemampuan untuk
memahami informasi dan menilai suatu kondisi. Standar 4 sampai 7 adalah kemampuan
membuat alasan terkait pembuatan keputusan yang memiliki konsekuensi terhadap
kehidupan seseorang meskipun hanya standar 7 yang menunjukan secara jelas hasil
yang dapat diterima dari sebuah proses penetapan alasan. Cara lain untuk menetapkan
tidak kompeten adalah dengan melakukan pengujian atau tes sehingga diperoleh hasil
yang nyata.
Contohnya adalah tes demensia, uji status kejiwaan dan tes sejenis lainnya yang
digunakan untuk menguji faktor-faktor seperti orientasi waktu dan tempat, perseveration,
ingatan (memory), pemahaman dan koherensi.

Asas Justice
Prinsip Justice diterjemahkan sebagai menegakan keadilan atau kesamaan hak
kepada setiap orang (pasien). Definisi lainnya adalah memperlakukan orang lain secara
adil, layak dan tepat sesuai dengan haknya. Situasi yang adil adalah seseorang
mendapatkan mendapatkan manfaat atau beban sesuai dengan hak atau kondisinya.
Situasi yang tidak adil adalah tindakan yang salah atau lalai berupa meniadakan
manfaat kepada seseorang yang memiliki hak atau pembagian beban yang tidak sama.
Prinsip justice lahir dari sebuah kesadaran bahwa jumlah benda dan jasa (pelayanan) itu
terbatas, sedangkan yang memerlukan seringkali melabihi batasan tersebut. Prinsip
justice kemudian diperlukan dalam pengambilan keputusan tersebut.
Terdapat beberapa kriteria dalam penerapan prinsip justice, antara lain:
1. Untuk setiap orang ada pembagian yang merata (equal share)
2. Untuk setiap orang berdasarkan kebutuhan (need)
3. Untuk setiap orang berdasarkan usahanya (effort)
4. Untuk setiap orang berdasarkan kontribusinya (contribution)
5. Untuk setiap orang berdasarkan manfaat atau kegunaannya (merit)
6. Untuk setiap orang berdasarkan pertukaran pasar bebas (free-market exchange)
Selain kriteria di atas, ada 3 prinsip yang harus diterapkan dalam penegakan prinsip
justice di bidang pelayanan kesehatan. Pertama adalah prinsip keadilan (need
principles) dimana pelayanan kesehatan diberikan berdasarkan kebutuhan (kebutuhan
klinis). Misalnya segera atau tidak. Kedua prinsip memaksimalkan (maximising
principles) dimana pelayanan kesehatan diberikan berdasarkan pencapaian manfaat
yang maksimal. Misalnya cakupan kesehatan masyarakat (jumlah penduduk). Ketiga
prinsip persamaan (egalitarian principles) dimana pelayanan kesehatan diberikan untuk
mengurangi ketidakmeratan. Misalnya terkait kesehatan seumur hidup.

6
MATERI 1.
IDENTIFIKASI ISU DAN ASAS ETIK DALAM KEDOKTERAN

TUGAS: Identifikasi isu etis yang ada pada kasus di bawah ini berdasarkan /
sesuai daftar kriteria Kaidah Dasar Bioetik menurut Childress dan Beauchamp
dan tentukan asas etis yang dominan dalam isu/masalah tersebut.

LANGKAH KEGIATAN:
1. Peserta dibagi dalam kelompok yang terdiri atas 10-15 orang
2. Tiap peserta mendapat daftar kriteria Kaidah Dasar Bioetika (KDB) menurut
Childress & Beauchamp
3. Tiap kelompok mendapat satu atau beberapa kasus secara acak untuk
didiskusikan dengan panduan fasilitator.
4. Identifikasikan kriteria/asas KDB yang ada dalam tiap kasus dan tentukan
asas etis yang mendominansi isu/masalah dalam kasus tersebut.

KASUS-1:

Jangan dioperasi, dok!


Abdul, Seorang juru parkir datang ke dokter Ayu dengan keluhan adanya
kutil di telapak kakinya. Sang dokter memeriksa kutil tersebut dengan cara
menekannya menggunakan pinset sehingga Abdul kesakitan, lalu menuliskan
resep obat oles selama 2 minggu. Abdul lalu menjalankan segala nasehat dokter,
namun kutil itu tak juga hilang. Saat ia kembali berkonsultasi, dokter Ayu
menyatakan bahwa Abdul belum menjalankan pengobatan dengan benar dan ia
menyarankan operasi pengangkatan kutil. Abdul menolak saran itu dan keluar dari
kamar praktik dengan roman tidak puas.
(Kasus Hiipotetik dr. Kulsum, FK Abulyltama)

PEMBAHASAN-1:
Jangan dioperasi, dok!
Abdul, Seorang juru parkir datang ke dokter Ayu dengan keluhan adanya kutil di
telapak kakinya1. Sang dokter memeriksa kutil tersebut dengan cara menekannya
menggunakan pinset sehingga Abdul kesakitan2, lalu menuliskan resep obat oles
selama 2 minggu3. Abdul lalu menjalankan segala nasehat dokter, namun kutil itu tak
juga hilang. Saat ia kembali berkonsultasi, dokter Ayu menyatakan bahwa Abdul belum
menjalankan pengobatan dengan benar4 dan ia menyarankan operasi pengangkatan
kutil5. Abdul menolak saran itu dan keluar dari kamar praktik dengan roman tidak puas.

Kaidah dasar bioetik pada kasus diatas:


1. Pasien pada kasus ini masuk dalam pendekatan kaidah dasar bioetik beneficence
karena pasien tersebut dalam keadaan baik : datang ke dokter Ayu dengan keluhan

7
adanya kutil di telapak kakinya (kondisi biasa dan tidak gawat darurat). Unsur KDB
beneficence adalah menolong pasien tanpa pamrih (altruisme).
2. Dokter telah sesuai dengan KDB beneficence: Sang dokter memeriksa kutil tersebut
dengan cara menekannya menggunakan pinset. Unsur KDB beneficence disini
adalah menerapkan golden rule principle.
3. Dokter telah bertindak sesuai dengan KDB beneficence. Dokter lalu menuliskan
resep obat oles selama 2 minggu. KDB beneficence disini adalah memberikan obat
berkhasiat namun murah.
4. Dokter telah bertindak sesuai dengan KDB beneficence. Dokter Ayu menyatakan
bahwa Abdul belum menjalankan pengobatan dengan benar. Disini telah terjadi
perilaku memberikan kebahagiaan / preferensi pasien yang maksimal. KDB
beneficence disini adalah maksimalisasi pemuasan kebahagian pasien.
5. ia (dokter Ayu) menyarankan operasi pengangkatan kutil. Unsur KDB beneficence
disini adalah maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan.

Kesimpulan: Perilaku dokter pada kasus diatas sesuai dengan KDB beneficence.

8
KASUS-2:

Dokter yang enggan melakukan anamnesis


Dokter Andi menerima seorang pasien laki-laki setengah baya, tampak
kakeksia, berjalan tertatih-tatih dan terus batuk dihadapannya. Pasien itu ditemani
oleh anak perempuannya yang kurus. Dokter tersebut enggan melakukan
anamnesis dan langsung memeriksa si pasien2. Ketika si anak bertanya tentang
penyakit ayahnya, dokter Andi hanya menyarankan minum obat dengan teratur,
dan memberikan resep. Si anak bertanya lagi tentang cara minum obat, tapi dokter
Andi menyarankan bertanya pada petugas apotek tempat mengambil obat. Merasa
diremehkan, sang ayah dan anaknya keluar dari kamar dokter tanpa mengucapkan
salam. Wajah mereka tampak tidak puas.
(Kasus Hiipotetik dr. Kulsum, FK Abulyaltama)

PEMBAHASAN-2:

Dokter yang enggan melakukan anamnesis


Dokter Andi menerima seorang pasien laki-laki setengah baya, tampak kakeksia,
berjalan tertatih-tatih dan terus batuk dihadapannya. Pasien itu ditemani oleh anak
perempuannya yang kurus1. Dokter tersebut enggan melakukan anamnesis dan
langsung memeriksa si pasien2. Ketika si anak bertanya tentang penyakit ayahnya,
dokter Andi hanya menyarankan minum obat dengan teratur3, dan memberikan resep. Si
anak bertanya lagi tentang cara minum obat, tapi dokter Andi menyarankan bertanya
pada petugas apotek tempat mengambil obat4. Merasa diremehkan, sang ayah dan
anaknya keluar dari kamar dokter tanpa mengucapkan salam. Wajah mereka tampak
tidak puas.5

Kaidah dasar bioetik pada kasus diatas:


1. Pasien pada kasus ini masuk dalam pendekatan kaidah dasar bioetik non
maleficence karena pasien tersebut dalam keadaan tak berdaya, miskin, bodoh.
Kaidah ini tercermin pada kalimat: Dokter Andi menerima seorang pasien laki-laki
setengah baya, tampak kaheksia, berjalan tertatih-tatih dan terus batuk
dihadapannya. Pasien itu ditemani oleh anak perempuannya yang kurus. Unsur KDB
non maleficence adalah menolong pasien emergensi.
2. Dokter telah bertentangan dengan KDB non maleficence: Dokter tersebut enggan
melakukan anamnesis dan langsung memeriksa si pasien. Unsur KDB non
maleficence seharusnya adalah tidak mencegah pasien dari bahaya. Dengan
keengganan dokter menganamnesis tersebut tentu saja dapat membahayakan
pasien (misdiagnosa).
3. Dokter juga telah bertentangan dengan KDB non maleficence: Ketika si anak
bertanya tentang penyakit ayahnya, dokter Andi hanya menyarankan (mengobati
secara tidak proporsional) minum obat dengan teratur. Unsur KDB non maleficence
seharusnya adalah mengobati secara proporsional.

9
4. Pasien menjadi objek dan dimanfaatkan oleh dokter, bertentangan juga dengan KDB
non maleficence: Si anak bertanya lagi tentang cara minum obat, tapi dokter Andi
menyarankan bertanya pada petugas apotek tempat mengambil obat. Disini dapat
terjadi unsur misrepresentasi (pengelabuan) terhadap pasien, karena pasien dalam
keadaan tidak tahu (kurang pengetahuan). KDB non maleficence seharusnya adalah
menghindari misrepresentasi pasien.
5. Dokter telah bertindak tidak sesuai dengan KDB non maleficence: Merasa
diremehkan, sang ayah dan anaknya keluar dari kamar dokter tanpa mengucapkan
salam. Wajah mereka tampak tidak puas. KDB non maleficence seharusnya adalah
tidak memandang pasien hanya sebagai objek.

Kesimpulan: Perilaku dokter pada kasus diatas bertentangan dengan KDB non
maleficence.

10
KASUS-3:
Wanita tua yang tak ingin dibedah
Seorang pasien datang ke dokter dengan keluhan displasia vulva yang
menimbulkan keraguan adanya keganasan. Dokter melakukan biopsi dan ternyata
menunjukkan suatu karsinoma. Dokter lalu menjelaskan kepadanya bahwa ia harus
dibedah. Wanita tersebut tidak menyetujui pembedahan. Ia berkata, ”Tidak, saya
tak ingin pembedahan”. Katanya lagi, ”Saya sudah tua, 70 tahun dan tak
mempunyai gejala, ini hanya tumbuh kecil, lalu mengapa saya harus dibedah?”.
Dokter telah menjelaskan bahwa pembedahan ini tidak akan merugikannya namun
pasien tetap menolak. Pada saat itu, dokter bersama-sama suami dan anak
perempuan pasien berusaha terus menyakinkan wanita itu bahwa ia perlu dibedah.
Pada saat yang sama dokter tak ingin mengatakan bahwa ia menderita kanker. Jika
ia tidak setuju untuk dioperasi, maka kemudian penyakitnya bertambah parah dan
suatu saat nanti menjadi invasif hingga akan mendapat masalah yang lebih besar
dan pembedahan yang lebih luas. Sekarang ini hanya akan dilakukan vulvektomi
sederhana, bukan tak mungkin nanti ia diminta untuk vulvektomi radikal.
(Kasus Hiipotetik dr. Kulsum, FK Abulyaltama)

PEMBAHASAN-3:

Wanita tua yang tak ingin dibedah


Seorang pasien datang ke dokter dengan keluhan displasia vulva yang
menimbulkan keraguan adanya keganasan.1 Dokter melakukan biopsi dan ternyata
menunjukkan suatu karsinoma. Dokter lalu menjelaskan kepadanya bahwa ia harus
dibedah2. Wanita tersebut tidak menyetujui pembedahan. Ia berkata, ”Tidak, saya tak
ingin pembedahan”. Katanya lagi, ”Saya sudah tua, 70 tahun dan tak mempunyai gejala,
ini hanya tumbuh kecil, lalu mengapa saya harus dibedah?”.3 Dokter telah menjelaskan
bahwa pembedahan ini tidak akan merugikannya namun pasien tetap menolak.4 Pada
saat itu, dokter bersama-sama suami dan anak perempuan pasien berusaha
berusaha terus menyakinkan wanita itu bahwa ia perlu dibedah5. Pada saat yang sama
kami tak ingin mengatakan bahwa ia menderita kanker. Jika ia tidak setuju untuk
dioperasi, maka kemudian penyakitnya bertambah parah dan suatu saat nanti menjadi
invasif hingga akan mendapat masalah yang lebih besar dan pembedahan yang lebih
luas. Sekarang ini hanya akan dilakukan vulvektomi sederhana, bukan tak mungkin
nanti ia diminta untuk vulvektomi radikal6.

Kaidah dasar bioetik pada kasus diatas:


1. Pasien pada kasus ini masuk dalam pendekatan kaidah dasar bioetik otonomi
karena pasien tersebut dalam keadaan elektif, mempunyai pilihan. Seorang pasien
datang ke dokter dengan keluhan displasia vulva yang menimbulkan keraguan
adanya keganasan Dilema muncul apakah displasia itu jinak atau ganas. Unsur KDB
otonomi adalah tidak berbohong ke pasien meskipun demi kebaikan pasien.
2. Dokter juga telah sesuai dengan KDB otonomi: Karena dokter telah menjelaskan
kepada pasien bahwa ia harus dibedah, Unsur KDB otonomi disini adalah
melaksanakan informed consent.

11
3. Wanita tersebut tidak menyetujui pembedahan kedua. Ia berkata, ”Tidak, saya tak
ingin pembedahan kedua”. Ia telah melebihi 70 tahun. Katanya lagi, ”Saya tak
mempunyai gejala, ini hanya tumbuh kecil, lalu mengapa saya harus dibedah?”. KDB
otonomi disini adalah membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil
keputusan sendiri.
4. Dokter telah menjelaskan bahwa pembedahan ini tidak akan merugikannya namun
pasien tetap menolak. Unsur KDB otonomi disini adalah melaksanakan informed
consent.
5. Pada saat itu, kami bersama-sama- suami, saudara perempuan dan dokter-
berusaha terus menyakinkan wanita itu bahwa ia perlu dibedah. Unsur KDB otonomi
disini adalah melaksanakan informed consent.
6. Jika ia tidak setuju untuk dioperasi, maka kemudian penyakitnya bertambah parah
dan suatu saat nanti menjadi invasif. Kami akan mendapat masalah yang lebih besar
dan pembedahan yang lebih luas. Sekarang ini hanya akan dilakukan vulvektomi
sederhana, bukan tak mungkin nanti ia diminta untuk vulvektomi radikal. . Unsur
KDB otonomi disini adalah tidak berbohong ke pasien meskipun demi kebaikan
pasien.

Kesimpulan: Perilaku dokter pada kasus diatas sesuai dengan KDB otonomi.

12
KASUS-4:

Wanita cantik menuntut dokter


Ny. Pretty seorang bidan berusia 30 tahun, masih muda dan cantik. Ia
datang sendirian ke dokter Surya, satu-satunya dokter kandungan di kota itu, untuk
konsultasi tentang kandungannya. Seusai pemeriksaan USG secara tak sengaja
tangan sang dokter mengelus-elus perut Ny.Pretty. Saat itu Ny.Pretty marah dan
menyatakan rasa tidak senangnya terhadap tindakan dokter tersebut. Ia kemudian
melaporkan hal itu pada kepolisian setempat.
(Kasus Hiipotetik dr. Kulsum, FK Abulyaltama)

PEMBAHASAN-4:

Wanita cantik menuntut dokter

Ny. Pretty seorang bidan berusia 30 tahun, masih muda dan cantik 1. Ia datang
sendirian ke dokter Surya, satu-satunya dokter kandungan di kota itu, untuk konsultasi
tentang kandungannya2. Seusai pemeriksaan USG secara tak sengaja tangan sang
dokter mengelus-elus perut Ny.Pretty3. Saat itu Ny.Pretty marah dan menyatakan rasa
tidak senangnya terhadap tindakan dokter tersebut4. Ia kemudian melaporkan hal itu
pada kepolisian setempat5.
Kaidah dasar bioetik pada kasus diatas:
1. Pasien pada kasus ini masuk dalam pendekatan kaidah dasar bioetik justice karena
pasien berpotensi dirugikan. Unsur KDB Jutice adalah memberlakukan segala
sesuatu secara universal.
2. Dokter telah sesuai dengan KDB justice: Ia datang sendirian ke dokter Surya, satu-
satunya dokter kandungan di kota itu, untuk konsultasi tentang kandungannya.
Unsur KDB justice disini adalah mmberikan kesempatan yang sama terhadap pribadi
dalam posisi yang sama.
3. Dokter telah bertindak sesuai dengan KDB justice. Seusai pemeriksaan USG secara
tak sengaja tangan sang dokter mengelus-elus perut Ny.Pretty. KDB justice disini
adalah tidak melakukan penyalahgunaan.
4. Saat itu Ny.Pretty marah dan menyatakan rasa tidak senangnya terhadap tindakan
dokter tersebut. Unsur KDB justice disini adalah menghargai hak orang lain
(berekspresi dan bertindak).
5. Ia (Ny.Pretty) kemudian melaporkan hal itu pada kepolisian setempat. Unsur KDB
justice disini adalah menghormati hak hukum pasien.

Kesimpulan: Perilaku dokter pada kasus diatas sesuai dengan KDB justice walaupun
salah satu tindakan dokter: Seusai pemeriksaan USG secara tak sengaja tangan sang
dokter mengelus-elus perut Ny.Pretty- bisa menimbulkan kesan non justice, namun
perbuatan itu tidak disengaja.

13
KASUS-5:

Cyctitis akut “Biasa”


Seorang laki-laki muda datang kepada dokter dengan keluhan sudah
beberapa hari suhu tubuhnya meningkat, ia sering buang air kecil, setiap kencing
ada rasa nyeri, tidak ada nanah di mulut uretra. Ia belum pernah melakukan
hubungan kelamin. Dokter melakukan pemeriksaan klinis secara sistematis seperti
seharusnya termasuk pemeriksaan urine dan bakteriologis terhadap apusan lendir
uretra. Dari informasi klinis dan laboratorium yang terhimpun, dokter membuat
diagnosa cyctitis akuta “biasa”, bukan infeksi sebagai akibat hubungan kelamin. Ia
menganjurkan terapi dengan antibiotika dan pasien setuju. Setelah diberi
pengobatan pasien sembuh sempurna.
(Kasus Hiipotetik dr. Suryadi, SpF., FK Unsyiah)

PEMBAHASAN-5:
Cyctitis Akut “Biasa”
Seorang laki-laki muda datang kepada dokter1 dengan keluhan sudah beberapa
hari suhu tubuhnya meningkat, ia sering buang air kecil, setiap kencing ada rasa nyeri,
tidak ada nanah di mulut uretra. Ia belum pernah melakukan hubungan kelamin. Dokter
melakukan pemeriksaan klinis secara sistematis seperti seharusnya termasuk
pemeriksaan urine dan bakteriologis terhadap apusan lendir uretra2. Dari informasi klinis
dan laboratorium yang terhimpun, dokter membuat diagnosa cyctitis akuta “biasa” 3,
bukan infeksi sebagai akibat hubungan kelamin. Ia menganjurkan terapi dengan
antibiotika4 dan pasien setuju. Setelah diberi pengobatan pasien sembuh sempurna.5
Kaidah dasar bioetik pada kasus diatas:
1. Pasien pada kasus ini masuk dalam pendekatan kaidah dasar bioetik beneficence
karena pasien tersebut dalam keadaan baik :datang kepada dokter (kondisi biasa
dan tidak gawat darurat). Unsur KDB beneficence adalah menolong pasien tanpa
pamrih (altruisme).
2. Dokter telah sesuai dengan KDB beneficence: melakukan pemeriksaan klinis secara
sistematis seperti seharusnya termasuk pemeriksaan urine dan bakteriologis
terhadap apusan lendir uretra. Unsur KDB beneficence disini adalah menerapkan
golden rule principle.
3. Dokter telah bertindak sesuai dengan KDB beneficence. Dokter membuat diagnosa
cyctitis akuta “biasa”, bukan infeksi sebagai akibat hubungan kelamin. Disini telah
terjadi perilaku memberikan kebahagiaan / preferensi pasien yang maksimal. KDB
beneficence disini adalah maksimalisasi pemuasan kebahagian pasien.
4. Ia (dokter) menganjurkan terapi dengan antibiotika dan pasien setuju. Unsur KDB
beneficence disini adalah memberikan obat berkhasiat namun murah.
5. Setelah diberi pengobatan pasien sembuh sempurna. Unsur KDB beneficence disini
adalah maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan.

Kesimpulan: Perilaku dokter pada kasus diatas sesuai dengan KDB beneficence.

14
KASUS-6:

Perawat dan dokter yang lamban


Seorang pasien perempuan, 21 tahun, masuk ke unit gawat darurat di
sebuah rumah sakit. Kondisi pasien dalam keadaan darurat dan membutuhkan
perawatan segera yang intensif. Namun petugas perawat yang menerima pasien
terkesan biasa-biasa saja, lamban, dan tidak mengacuhkan. Dokter pun baru
datang memeriksa pasien setelah tiga jam kemudian, dan menawarkan operasi
dengan biaya yang tidak sedikit. Pelaksanaan operasinya pun menunggu giliran.
Sementara menunggu giliran operasi, pasien diminta untuk dirawat di ruang VIP
dengan alasan agar mendapat perhatian dan pelayanan yang lebih baik. Keluarga
pasien bertanya-tanya mengapa harus dirawat diruang VIP sementara mereka
bukanlah orang yang berada. Tarik ulurpun terjadi, tanpa penyelesaian dimana
pasien harus dirawat. Keadaan pasien bertambah buruk dan jiwanya tidak tertolong
lagi. Akibat peristiwa itu, keluarga pasien menuntut pihak rumah sakit dan ingin
mengetahui penyebab kematian si pasien.
(Kasus Hiipotetik dr. Suryadi, SpF., FK Unsyiah)

PEMBAHASAN-6:

Perawat dan Dokter yang Lamban


Seorang pasien perempuan, 21 tahun, masuk ke unit gawat darurat di sebuah
rumah sakit. Kondisi pasien dalam keadaan darurat dan membutuhkan perawatan
segera yang intensif.1 Namun petugas perawat yang menerima pasien terkesan biasa-
biasa saja, lamban, dan tidak mengacuhkan.2 Dokter pun baru datang memeriksa
pasien setelah tiga jam kemudian,3 dan menawarkan operasi dengan biaya yang tidak
sedikit. Pelaksanaan operasinya pun menunggu giliran. Sementara menunggu giliran
operasi, pasien diminta untuk dirawat di ruang VIP dengan alasan agar mendapat
perhatian dan pelayanan yang lebih baik.4 Keluarga pasien bertanya-tanya mengapa
harus dirawat diruang VIP sementara mereka bukanlah orang yang berada. Tarik
ulurpun terjadi, tanpa penyelesaian dimana pasien harus dirawat. Keadaan pasien
bertambah buruk dan jiwanya tidak tertolong lagi5. Akibat peristiwa itu, keluarga pasien
menuntut pihak rumah sakit dan ingin mengetahui penyebab kematian si pasien.

Kaidah dasar bioetik pada kasus diatas:


1. Pasien pada kasus ini masuk dalam pendekatan kaidah dasar bioetik non
maleficence karena pasien tersebut dalam keadaan gawat darurat. Kondisi pasien
dalam keadaan darurat dan membutuhkan perawatan segera yang intensif. Unsur
KDB non maleficence adalah menolong pasien emergency.
2. Perawat telah bertentangan dengan KDB non maleficence: terkesan biasa-biasa
saja, lamban, dan tidak mengacuhkan. Unsur KDB non maleficence seharusnya
adalah tidak mencegah pasien dari bahaya. Dengan kelambanan tersebut tentu saja
membahayakan pasien.

15
3. Dokter juga telah bertentangan dengan KDB non maleficence: datang memeriksa
pasien setelah tiga jam kemudian, Unsur KDB non maleficence seharusnya adalah
menolong pasien emergency.
4. Pasien menjadi objek dan dimanfaatkan oleh dokter, bertentangan juga dengan KDB
non maleficence. Pasien diminta untuk dirawat di ruang VIP dengan alasan agar
mendapat perhatian dan pelayanan yang lebih baik. Disini dapat terjadi unsur
misrepresentasi (pengelabuan) terhadap pasien, karena pasien dalam keadaan
emergency. KDB non maleficence seharusnya adalah menolong pasien emergency
dan menghindari misrepresentasi pasien.
5. Dokter, perawat dan RS telah bertindak tidak sesuai dengan KDB non maleficence.
Keadaan pasien bertambah buruk dan jiwanya tidak tertolong lagi. Disini telah terjadi
perilaku tidak profesional dari dokter dan perawat. KDB non maleficence seharusnya
adalah tidak membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian (tidak melakukan
apa yang seharusnya dilakukan).

Kesimpulan: Perilaku dokter dan perawat pada kasus diatas bertentangan dengan KDB
non maleficence.

16
KASUS-7:

Laki-laki dengan tumor otak


Seorang pasien berusia 75 tahun dengan keluhan tumor maligna pada lobus
oksipitalis. Dilema muncul apakah operasi dilakukan terhadapnya atau hanya terapi
simtomatik. Karena dokter telah menjelaskan kepada keluarga, bahwa jika operasi
dilakukan terhadap pasien tersebut dan kemudian diberikan kemoterapi dan
radioterapi pasca operasi, kemungkinan hidupnya tak lebih dari satu atau satu
setengah tahun lagi, setelah terapi penuh. Dengan kata lain, jika dokter tidak
melakukan operasi dan hanya melakukan terapi suportif, ia mungkin dapat
bertahan 6-9 bulan. Sekarang, kenyataannya dokter sangat bingung apakah
mengambil keputusan langsung dibedah atau menjaga kondisi pasien dengan
konservatif, sebab pasien tersebut bukanlah calon pasien bedah yang berkondisi
sangat baik. Ia sangat gemuk dan hipertensif. Dokter menyerahkan keputusan akhir
pada pasien dan keluarga, dengan penjelasan tentang baik-buruknya keputusan
yang akan diambil.
(Kasus Hiipotetik dr. Suryadi, SpF., FK Unsyiah)

PEMBAHASAN-7:

Laki-laki dengan Tumor Otak


Seorang pasien berusia 75 tahun dengan keluhan tumor maligna pada lobus
oksipitalis. Dilema muncul apakah operasi dilakukan terhadapnya atau hanya terapi
simtomatik1. Karena dokter telah menjelaskan kepada keluarga2, bahwa jika operasi
dilakukan terhadap pasien tersebut dan kemudian diberikan kemoterapi dan radioterapi
pasca operasi, kemungkinan hidupnya tak lebih dari satu atau satu setengah tahun lagi,
setelah terapi penuh3. Dengan kata lain, jika dokter tidak melakukan operasi dan hanya
melakukan terapi suportif, ia mungkin dapat bertahan 6-9 bulan. Sekarang,
kenyataannya dokter sangat bingung apakah mengambil keputusan langsung dibedah
atau menjaga kondisi pasien dengan konservatif 4, sebab pasien tersebut bukanlah calon
pasien bedah yang berkondisi sangat baik. Ia sangat gemuk dan hipertensif. Dokter
menyerahkan keputusan akhir pada pasien dan keluarga, dengan penjelasan tentang
baik-buruknya keputusan yang akan diambil5.

Kaidah dasar bioetik pada kasus diatas:


1. Pasien pada kasus ini masuk dalam pendekatan kaidah dasar bioetik otonomi
karena pasien tersebut dalam keadaan elektif, mempunyai pilihan. Dilema muncul
apakah operasi dilakukan terhadapnya atau hanya terapi simtomatik. Unsur KDB
otonomi adalah menghargai hak menentukan nasib sendiri.
2. Dokter juga telah sesuai dengan KDB otonomi: Karena dokter telah menjelaskan
kepada keluarga, Unsur KDB otonomi disini adalah melaksanakan informed consent.
3. Jika operasi dilakukan terhadap pasien tersebut dan kemudian diberikan kemoterapi
dan radioterapi pasca operasi, kemungkinan hidupnya tak lebih dari satu atau satu
setengah tahun lagi, setelah terapi penuh. Unsur KDB otonomi disini adalah tidak
berbohong ke pasien meskipun demi kebaikan pasien.

17
4. Kenyataannya dokter sangat bingung apakah mengambil keputusan langsung
dibedah atau menjaga kondisi pasien dengan konservatif. KDB otonomi disini adalah
membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri.
5. Dokter telah bertindak sesuai dengan KDB otonomi. Dokter menyerahkan keputusan
akhir pada pasien dan keluarga, dengan penjelasan tentang baik-buruknya
keputusan yang akan diambil5. KDB otonomi disini adalah sabar menunggu
keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergency.

Kesimpulan: Perilaku dokter pada kasus diatas sesuai dengan KDB otonomi.

18
KASUS-8:

Pilihan yang sulit


Seorang anak laki-laki datang dari sebuah kota. Ia datang kemari dengan
keadaan penyakit Wilm’s tumor stadium lanjut. Setelah dilakukan pembedahan.
Pasien tersebut ditransfer untuk pengobatan selanjutnya. Orangtuanya bukanlah
orang kaya dan tak mampu membeli obat-obatan kemoterapeutik yang mahal.
Kondisi orangtuanya tidak bisa diharapkan. Tetapi orangtuanya ingin terapi
berlanjut. Dokter telah menjelaskan bahwa kondisi anaknya tdak bisa ditingkatkan
dan sangat sulit bagi mereka untuk membeli obat-obatan mahal tersebut. Dokter
tidak yakin apakah ia harus mengatakan pada mereka untuk tidak usah membeli
obat itu. Karena berdasarkan pengalamannya pada penyakit ini, beberapa pasien
meninggal walaupun telah diterapi dengan kemoterapi penuh. Tetapi pada kasus
yang jarang, mereka dapat juga sembuh. Pada kasus ini, asites telah timbul dan
pasien tampak sesak. Dokter menjelaskan kepada pasien bahwa kondisinya kurang
baik. Dokter tidak dapat menyatakan kepada mereka untuk tidak melanjutkan
pengobatan.
(Kasus Hiipotetik dr. Suryadi, SpF., FK Unsyiah)

PEMBAHASAN-8:

Pilihan yang Sulit


Seorang anak laki-laki datang dari sebuah kota. Ia datang kemari dengan
keadaan penyakit Wilm’s tumor stadium lanjut. Setelah dilakukan pembedahan. Pasien
tersebut ditransfer untuk pengobatan selanjutnya1. Orangtuanya bukanlah orang kaya
dan tak mampu membeli obat-obatan kemoterapeutik yang mahal. Kondisi orangtuanya
tidak bisa diharapkan. Tetapi orangtuanya ingin terapi berlanjut2. Dokter telah
menjelaskan bahwa kondisi anaknya tdak bisa ditingkatkan dan sangat sulit bagi mereka
untuk membeli obat-obatan mahal tersebut. Dokter tidak yakin apakah ia harus
mengatakan pada mereka untuk tidak usah membeli obat itu3. Karena berdasarkan
pengalamannya pada penyakit ini, beberapa pasien meninggal walaupun telah diterapi
dengan kemoterapi penuh. Tetapi pada kasus yang jarang, mereka dapat juga sembuh4.
Pada kasus ini, asites telah timbul dan pasien tampak sesak. Dokter menjelaskan
kepada pasien bahwa kondisinya kurang baik. Dokter tidak dapat menyatakan kepada
mereka untuk tidak melanjutkan pengobatan5.

Kaidah dasar bioetik pada kasus diatas:


1. Pasien pada kasus ini masuk dalam pendekatan kaidah dasar bioetik justice karena
pasien terwakili oleh orangtuanya (non pasien). Unsur KDB Jutice adalah
memberlakukan segala sesuatu secara universal.
2. Dokter telah sesuai dengan KDB justice: Orangtuanya bukanlah orang kaya dan tak
mampu membeli obat-obatan kemoterapeutik yang mahal. Kondisi orangtuanya tidak
bisa diharapkan. Tetapi orangtuanya ingin terapi berlanjut. Unsur KDB justice disini

19
adalah mmberikan kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang
sama.
3. Dokter telah bertindak sesuai dengan KDB justice. Dokter telah menjelaskan bahwa
kondisi anaknya tdak bisa ditingkatkan dan sangat sulit bagi mereka untuk membeli
obat-obatan mahal tersebut. Dokter tidak yakin apakah ia harus mengatakan pada
mereka untuk tidak usah membeli obat itu. KDB justice disini adalah meminta
partisipasi pasien sesuai dengan kemampuannya.
4. Berdasarkan pengalamannya pada penyakit ini, beberapa pasien meninggal
walaupun telah diterapi dengan kemoterapi penuh. Tetapi pada kasus yang jarang,
mereka dapat juga sembuh. Unsur KDB justice disini adalah tidak memberi beban
berat secara tidak merata tanpa alasan sah/tepat.
5. Dokter tidak dapat menyatakan kepada mereka untuk tidak melanjutkan pengobatan.
Unsur KDB justice disini adalah menghormati hak hukum pasien.

Kesimpulan: Perilaku dokter pada kasus diatas sesuai dengan KDB justice.

20
LAMPIRAN MATERI-1.
KAIDAH DASAR BIOETIKA
MENURUT CHILDRESS & BEAUCHAMP
A. Asas beneficence (Alturisme dalam berpraktek)

Kriteria: Ada Tidak


1. Utamakan alturisme (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk
kepentingan orang lain).
2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia.
3. Memandang pasien/keluarga dan sesuatu tak sejauh menguntung
dokter.

4. Mengusakan agar kebaikan/manfaatnya lebih banyak dibandingkan


dengan keburukannya.
5. Paternalisme bertanggung jawab/kasih saying.
6. Menjamin kehidupan-baik-minimal manusia.
7. Pembatasan Goal-Based.
8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasein.
9. Minimalisasi akibat buruk.
10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat.
11. Menghargaihak pasien secara keseluruhan.
12. Tidak menarik honorarium diluar kepantasan.
13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan.
14. Mengembangkan profesi secara terus-menerus.
15. Memberikan obat berkhasiat namun murah.
16. Menerapkan Golden Rule Principle.

21
B. Asas nonmalficence (Do no harm dalam situasi emergensi dan praktek klinis)

Kriteria: Ada Tidak

1. Menolong pasien emergensi.


Kondisi untuk menggambarkan kriteria ini adalah:
a. Pasien dalam keadaan amat berbahaya/darurat/berisiko hilangnya
sesuatu yang penting (gawat).
b. Dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut.
c. Tindakan Kedokteran tadi terbukti efektif.
d. Manfaat pasien > kerugian dokter (hanya mengalami risiko minimal)

2. Mengobati pasien yang luka.


3. Tidak membunuh pasien (tidak melakukan euthanasia)
4. Tidak menghina/caci maki/memanfaatkan pasien.

5. Tidak memandang pasien sebagai objek

6. Mengobati secara tidak proporsional


7. Tidak mencegah pasien dari berbahaya
8. Menghindari misrepresentasi dari pasien
9. Tidak membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian
10. Tidak memberikan semangat hidup

11. Tidak melindungi pasien dari serangan

12. Tidak melakukan white collar dalam bidang kesehatan / kerumah-


sakitan yang erugikan pihak pasien/keluarganya.

22
C. Asas autonomi (Otonomi pasien dalam berbagai situasi)

Kriteria: Ada Tidak

1. Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat


pasien.

2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (pada


kondisi elektif)

3. Berterus terang
4. Menghargai privasi.
5. Menjaga rahasia pribadi
6. Menghargai rasionalitas pasien.
7. Melaksanakan informed consent

8. Membiarkann pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan


sendiri.

9. Tidak mengintervensi atau meghalangi outonomi pasien.

10. Mengcegah pihak lain mengintervensi pasien dalam membuat


keputusan, termasuk keluarga pasien sendiri.

11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus
non emergensi.

12. Tidak berbohong ke pasien meskipun demi kebaikan pasien.


13. Menjaga hubungan (kontrak).

23
D. Asas Justice (Prinsip keadilan dalam konteks hubungan dokter-pasien)

Kriteria: Ada Tidak


1. Memberlakukan segala sesuatu secara universal
2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan.
3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang
sama.
4. Menghargai hak sehat pasien (affordability, equality, accessibility,
availability, quality)
5. Menghargai hak hukum pasien.
6. Menghargai hak orang lain.
7. Menjaga kelompok yang rentan (yang paling dirugikan)
8. Tidak melakukan penyalahgunaan.
9. Bijak dalam makro alokasi.
10. Memberikan kontribusi yang relatif sama dengan kebutuhan pasien.
11. Meminta partisipasi pasien seusai dengan kemampuan.
12. Kewajiban mendistribusi keuntungan dan kerugian (biaya, beban .,
sanksi) secara adil
13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan
kompeten.
14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alasan
sah/tepat.
15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan
penyakit/gangguan kesehatan.
16. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status sosial
dll.

24
PANDUAN FASILITATOR / INSTRUKTUR

SKILL LAB
BLOK ETIKA DAN HUKUM KEDOKTERAN
PRODI PENDIDIKAN DOKTER
FKIK UMY - 2010

Materi -2 : Identifikasi isu dan masalah etika, hukum


dan disiplin dalam praktek kedokteran

Tujuan Instruksional :
1. Mampu mengidentifikasi isu etik, hukum dan
disiplin yang terlibat dalam praktek kedokteran.
(Materi-2 / Skill lab-2)
2. Mampu menetapkan norma etik, hukum dan
disiplin yang terkait dalam kasus masalah
praktek kedokteran. (Materi-2 / Skill lab-2)

25
MATERI 2.
IDENTIFIKASI ISU DAN NORMA ETIKA, HUKUM DAN DISIPLIN
DALAM PRAKTEK KEDOKTERAN

TUGAS: Identifikasi jenis isu atau masalah (bisa etika / hukum dan atau
disiplin kedokteran) yang ada pada kasus di bawah ini dan tetapkan
norma/peraturan yang berlaku di Indonesia yang terkait isu atau masalah
tersebut .

LANGKAH KEGIATAN:
1. Peserta dibagi dalam kelompok yang terdiri atas 10-15 orang
2. Tiap peserta mendapat berbagai kartu “NORMA” yang berisi macam-macam
peraturan etik, hukum dan disiplin kedokteran secara acak dan merata.
3. Fsilitator mengawali diskusi dengan mengambil satu kartu “KASUS” secara
acak dan dibaca oleh salah satu peserta.
4. Setiap peserta mencocokkan kasus yang dibacakan dengan kartu “NORMA”
yang dipegangnya dan selajutnya didiskusikan.
5. Identifikasikan isu etika, hukum dan atau disiplin kedokteran yang ada dalam
tiap kasus dan tentukan peraturan tertulis yang dapat menjadi pedoman
penanganan isu / masalah tersebut.

KONTEKS
KASUS NORMA PERATURAN TERKAIT
E H D
1. Seorang dokter meresepkan KODEKI pasal 2;
jamu kepada pasiennya Perkon 17/2006 psl 6,7,13;
UU 36/2009 ttg kesehatan psl 60 & 191.
2. Anak pasien, menuntut RS KODEKI pasal 7a, 7b, 7c.
setelah orangtuanya meninggal Perkon 17/2006 psl 8.
pasca pulang atas permintaan Perkon 18/2006 Bab VIII, poin 8.1 (29);
anggota keluarganya point 8.7 (39);
UU 36/2009 ttg kesehtan psl 58
UU Pradok psl 66;
KUH Pidana psl 359;
KUH Perdata psl 1365-1367
3. Seorang dokter yang belum Perkon 17/2006, psl 1
mempunyai STR dan SIP UU Pradok psl 29, 36;
melakukan praktek Permenkes 512/2007 psl 2
4. Seorang dokter yang praktek UU pradok psl 41,
tidak memasang papan nama Permenkes 512/2007 psl 17
praktek
5. Pengganti dokter praktek tidak KODEKI psl-2, 7a;
sesuai kompetensinya dengan Perkon 17/2006 psl 1,2,4, 26;
dokter yang digantikan. Perkon 18/2006 Baba IX, poin 9.5 (53);
Permenkes 512/2007 psl 17
6. Seorang dokter melakukan aborsi Sumpah dokter butir-6; KODEKI psl 7d;
terhadap wanita korban Perkon 17/2006 psl 11;

26
perkosaan UU kesahatan psl 15;
KUH Pidana psl 346-349
7. Sebuah klinik 24 jam Perkon 18/2006 Bab III poin 4; Bab IX,
memperkerjakan dokter baru poin 9.5 (53);
lulus dan belum mempunyai SIP UU Pradok psl 42;
dan atau STR. Permenkes 512/2007 psl 2;
8. Seorang dokter menyalahkan KODEKI pasal 4, 7c, 14;
dokter lain yang meresepkan Perkon 17/2006 psl 6, 24;
obat tertentu kepada pasien dan Perkon 18/2006 Bab IX poin 9.2 (48);
mengklaim bahwa obatnya lebih
manjur.
9. Dokter jaga UGD bekerja 48 jam, KODEKI psl 16;
terlihat lelah sampai hampir Perkon 17/2006 psl 5.
tertidur saat melayani pasiennya.
10. Dokter melakukan penjahitan KODEKi psl 2;
tanpa anestesi terhadap pelaku Perkon 17/2006 psl 6, 19;
kejahatan yang mengalami
kekerasan massa.
11. Seorang dokter membuat surat KODEKI psl 7;
keterangan sakit untuk temannya Perkon 17/2006 psl 18;
yang sedang mengalami proses KUH Pidana psl 267-268
penyidikan pihak kepolisian
12. Seorang dokter dituntut oleh Perkon 17/2006 psl 8;
pasien wanita dengan carcinoma UU Pradok psl 66;
mamae stadium IV pasca
radioterapi oleh karena rambut
rontok
13. Artistik seorang dokter yang KODEKI psl 4;
cantik dan menarik, mejadi Perkon 17/2006 psl 24;
bintang iklan sebuah produk
pasta gigi dan suplemen
makanan.
14. Seorang dokter memeriksa KODEKI psl 2;
kemaluan wanita tanpa sarung Perkon 17/2006 psl 21;
tangan dan didampingi seorang
perawat wanita
15. Seorang dokter hampir selalu KODEKI psl 2, 5;
melakukan injeksi roboransia Perkon 17/2006 psl 6,7;
kepada setiap pasiennya
16. Selembar kain kasa tertinggal di KODEKI psl 2, 5;
dalam vagina pasien postpartum Perkon 17/2006 psl 6;
dengan perdarahan yang KUH Pidana psl 352
menyebabkan vaginitis
17. Pada sebuah papan praktek Perkon 17/2006 psl 24;
seorang dokter, selain nama dan Permenkes 512/2007 psl 17
waktu praktek terdapat tulisan
berikut : dokter umum melayani
pasien anak dan dewasa.
18. Seorang dokter lembaga Sumpah dokter butir-6;
pemasyarakatan / rumah tahanan Perkon 17/2006 psl 19;

27
ditugaskan untuk mendapingi tim KUH Pidana psl 50,51
pelaksana eksekusi hukuman
mati seorang terpidana
19. Dokter datang ke tempat praktek KODEKI psl 7c;
setelah pasiennya banyak yang
antri.
20. Seorang dokter memasang KODEKI pasal 4,
papan praktek dengan Perkon 17/2006 psl 24;
menggunakan lampu billboard. UU pradok psl 41;
21. Pada saat melakukan operasi KODEKI pasal 7a;
ceasar seorang SpOG sekaligus Perkon 17/2006 psl 1,2,6, 7;
melakukan appendictomy. UU Pradok psl 51;
22. Tim medis melakukan khitanan KODEKI psl 2;
masal dengan peralatan yang Perkon 17/2006 psl 6
digunakan secara bergantian di UU Pradok psl 51;
sebuah serambi masjid
23. Tim medis yang diketuai seorang Perkon 17/2006 psl 15
dokter melakukan pelayanan UU Pradok psl 36,
masal kepada masyarakat di Permenkes 512/2007 psl 9
daerah bencana alam tanpa ijin
praktek
24. Seorang dokter di RS tidak KODEKI psl 7b;
memberikan resep maupun obat Perkon 17/2006 psl 6,15,16;
jalan pada pasien rawat inap Perkon 18/2006 Bab VIII point 8.5, (35);
yang pulang atas permintaan UU Pradok psl 51
sendiri.
25. Seorang dokter praktek Perkon 17/2006 psl 6, 20;
memberikan obat secara Perkon 18/2006 Bab III psl 6;
langsung kepada pasiennya UU Pradok psl 35
tanpa melewati apotek. UU 36/2009 ttg kesehatan psl 196, 198
26. Seorang dokter menolak datang KODEKI psl 7c, 7d;
ke rumah pasien setelah ibu Perkon 17/2006 psl 15;
pasien komplain bahwa anaknya UU Pradok psl 51;
tidak bisa berjalan setelah KUH Pidana psl 360
berobat pada dokter tersebut.
27. Seorang dokter yang tidak Perkon 17/2006 psl 26.
memiliki SIP di rumah menerima Perkon 18/2006 Bab V poin 5.3 (17);
pemberian uang dari seorang UU Pradok pasl 36, 51;
tetangganya yang telah Permenkes 512/2007 psl 9
memeriksakan di rumah dokter.
28. Seorang dokter tidak sempat Perkon 17/2007 psl 9,
meminta tanda tangan orang tua UU Pradok psl 45;
pasien pada lembar informed Permenkes 585/1989 psl 2,3, 8-13
consent pada saat khitanan
masal.
29. Seorang dokter dituntut seorang UU Pradok psl 66,
anak pasien oleh karena menolak PP 10/1966 psl 1-4
memberitahukan penyakit
orangtuanya hingga meninggal
sehingga anak merasa tidak

28
sempat berbakti kepada
orangtuanya.
30. Seorang dokter bedah Perkon 17/2006 psl 3
mempercanyakan Permenkes 585/1989 psl 4-6, 12,13
penandatanganan lembar
informed consent kepada
perawat bangsal.
31. Seorang dokter menolak menjadi Perkon 17/2006 psl 17, 28;
saksi di pengadilan oleh karena KUH pidana psl 48, 50, 51, 224
khawatir keterangannya dapat KUH perdata psl 120, 170
memberatkan tersangka yang PP 10/1966 psl 1-4
kebetulan adalah pasiennya.
32. Seorang dokter menulis dengan Perkon 18/2006 Bab V poin 5.1 (11);
tidak jelas pada catatan medis Permenkea 749a/1989 psl 3,15,16
dan resep obat
33. Seorang dokter dituduh UU Pradok psl 66
menyebabkan kesalahan KUH Pidana psl 359-361
pemberian obat di apotek akibat
penulisan resep yang tidak jelas.
34. Seorang dokter melaporkan hasil KODEKI psl 12;
pemeriksaan “keperawanan” Perkon 17/2007 psl 17;
seorang gadis kepada orang tua UU Pradok psl 48;
pasien. PP 10/1966 psl 1,4

35. Seorang dokter dituntut pasien, Perkon 17/2006 psl 1;


oleh karena jahitan luka di kaki UU Pradok psl 66;
pasien mengalami infeksi UU Konsumen psl 7,19,
sekunder (abses). KUH Pidana psl 360
KUH Perdata psl 1365, 1366
36. Seorang dokter dituntut orang tua Perkon 17/2006 psl 1;
pasien, oleh karena anaknya UU pradok psl 66;
meninggal di rumah setelah KUH pidana psl 359;
dinyatakan oleh dokter menderita KUH Perdata 1365, 1366;
dengeu fever ringan.
37. Dengan alasan untuk Perkon 17/2006 psl 27
memberikan pelajaran, seorang UU Pradok psl 50
dokter menarik jasa medis lima
kali lebih besar dari tarif biasanya
terhadap pasien “nakal” dengan
PMS.
38. Seorang dokter “jatuh hati”
kepada salah satu pasiennya.
39. Seorang dokter mendapat KODEKI psl 7a
sponsor dana dari pabrik obat Perkon 17/2007 psl 23;
dan sarana laboratorium Perkon 18/2006 Bab X point 10.5 (64 &
penunjang kesehatan 65)
40. Seorang dokter umum UU no. 36/2009 pasa 75 & 194.
melakukan aborsi ilegal

29

Anda mungkin juga menyukai