Jejak sejarah mencatat bahwa wilayah Rantau Kampar Kiri, sudah dikenal dalam
catatan sejarah semenjak abad mula sejarah Nusantara (abad 1-5 M ), di dalam tambo adat
Kampar dikatakan “Undang-Undang di Kampar Kiri”. Wilayah Rantau Kampar Kiri sangat
identik dengan wilayah Kerajaan Gunung Sahilan. Hal ini disebabkan karena Kerajaan
Gunung Sahilan adalah kerajaan yang paling lama hampir 400 tahun menguasai dan
memerintah di wilayah hukum adat Rantau Kampar Kiri.
Kerajaan Gunung Sahilan merupakan puncak dari sistem sosial (perasaan
kesebangsaan/raison d’entre) dari masyarakat adat Rantau Kampar Kiri, sehingga
melahirkan suatu kelembagaan politik yang bernama Kerajaan Gunung Sahilan.
Jika dilihat secara geografis wilayah bekas Kerajaan Gunung Sahilan itu terletak di
Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Secara topografis maka wilayah bekas Kerajaan Gunung
Sahilan adalah hampir sama dengan wilayah Rantau Kampar Kiri saat ini.
Wilayah Kampar Kiri yang dulunya secara pemerintahan bernama Kecamatan Kampar
Kiri akhirnya mengalami pemekaran wilayah pemerintahan sehingga menjadi lima wilayah
kecamatan di dalam daerah otonom Kabupaten Kampar yaitu; Kecamatan Kampar Kiri,
Kampar Kiri Hulu, Kampar Kiri Hilir, Kampar Kiri Tengah dan Kecamatan Gunung
Sahilan.
Luas wilayah bekas Kerajaan Gunung Sahilan sama dengan luas Kecamatan Kampar
Kiri asal yaitu seluas 347.578 Ha. Di dalam pembahagian wilayah berdasarkan hukum adat
Kerajaan Gunung Sahilan wilayah Kerajaan ini adalah “Dari Pangkalan yang duo laras,
Pangkalan Serai di laras kiri dan Pangkalan Kapas di laras kanan dihulu Sungai Subayang
dan Sungai Batang Bio sampai ke Muara Langgai”.
Secara adat maka wilayah Kerajaan Gunung Sahilan dibagi menjadi tiga Rantau yaitu,
pertama Rantau Daulat dari Muara Langgai sampai ke Muara Singingi dengan kampung-
kampungnya, Mentulik, Sungai Pagar, Jawi-Jawi, Gunung Sahilan, Subarak, Koto Tuo Lipat
Kain. Kedua, Rantau Indo Ajo, mulai dari Muara Singingi sampai ke Muara Sawa disebut
Indo Ajo dengan nama negerinya adalah Lubuk Cimpur yang disebut dengan kapalo kotonya
Gunung Sahilan.
Ketiga, Rantau Andiko dari Muara Sawa sampai Kepangkalan yang dua laras dengan
negeri-negeri Kuntu, Padang sawah, Domo, Pulau Pencong, Pasir Amo (Gema), Tanjung
Belit, Batu Sanggan, Miring, Gajah Bertalut, Aur Kuning, Terusan, Pangkalan Serai, Ludai,
Koto Lamo dan Pangkalan Kapas. Dan pada awalnya di Rantau Kampar Kiri terdapat enam
negeri asal yakni Negeri Gunung Ibu atau Gunung Sahilan, Negeri Bungo Setangkai atau
Lipat Kain, Negeri Kuntu, Negeri Domo, Negeri Batu Sanggan dan Negeri Ludai.
Kerajaan Gunung Sahilan secara garis besarnya dibagi ke dalam dua wilayah besar
yaitu Rantau Daulat dan Rantau Andiko. Rantau daulat adalah daerah pusat kerajaan. Rantau
daulat berpusat di Kenegarian Gunung Sahilan. Sedangkan Rantau Andiko adalah daerah
kekuasaan Khalifah yang berempat di mudik.
Sebelum berdirinya Kerajaan Gunung Sahilan di Rantau Kampar Kiri pernah dikuasai
oleh beberapa kerajaan antara lain: Kerajaan Dinasti Fatimiyah yang mendirikan Kerajaan
Islam Kuntu Kampar, pendudukan Kerajaan Singosari, dan kekuasaan Dinasti Aru Barumun
dari Tanah Aceh.
Berdirinya Kerajaan Gunung Sahilan tidak dapat dipisahkan dari Kerajaan Pagaruyung
yang didirikan oleh Adityawarman. Kerajaan Gunung Sahilan pada masa awal berdirinya
diperkirakan pada abad ke 16-17 Masehi merupakan kerajaan bawahan kerajaan Pagaruyung
dan raja-raja yang memerintah di Kerajaan Gunung Sahilan adalah keturunan raja
Pagaruyung atau Raja Muda Kerajaan Pagaruyung.
Kerajaan Gunung Sahilan berdiri sendiri sebagai Kerajaan Berdaulat setelah runtuhnya
Kerajaan Pagaruyung pada awal abad ke 18 Masehi akibat perang paderi. Sistem adat-
istiadat Kerajaan Gunung Sahilan adalah sistem adat Kerajaan Pagaruyung yang sudah
dipengaruhi oleh ajaran Islam. Secara ilmiah historis Kerajaan Gunung Sahilan mengakui
kekuasaan Kerajaan Hindia Belanda pada tahun 1905 dan kerajaan Gunung Sahilan berakhir
setelah bergabung dengan NKRI.
Kontribusi kerajaan dan rakyat Kerajaan Gunung Sahilan bagi kemerdekaan cukup
besar, terutama dukungan kerajaan terhadap kemerdekaan dan kontribusi rakyat dalam
mempertahankan kemerdekaan pada masa agresi militer Belanda I dan II dimana wilayah
eks Kerajaan Gunung Sahilan adalah basis pertahanan Militer Republik dengan nama Resort
Riau Selatan yang tidak pernah mampu ditembus oleh Agresi Militer Belanda I dan Agresi
Militer Belanda II.
Di Kerajaan Gunung Sahilan pemerintahan tertinggi ditangan Raja yang menguasai
adat (pemerintahan) dan ibadat (keagamaan). Gelar raja Kerajaan Gunung Sahilan adalah
“Tengku Yang Dipertuan Besar” dan untuk Raja Ibadat “Tengku Yang Dipertuan Sati”.
Kedudukan Raja dalam Kerajaan Gunung Sahilan adalah sebagai Lambang Negara
Kerajaan, sementara pemerintahan dalam artian eksekutif dikendalikan oleh lembaga ini
disebut Kerapatan Khalifah nan berempat dimudik berlima dengan Dt. Besar Khalifah Van
Kampar kiri. Kedudukan para khalifah ini dalam Kerajaan Gunung Sahilan adalah sebagai
Majelis Menteri (Kementerian) dimana fungsinya dibagi menurut bagian-bagian tertentu.
Kerajaan Gunung Sahilan diperkirakan berdiri sekitar abad ke 16-17, dan berakhir
pada tahun 1946. Kerajaan Gunung Sahilan berdiri selama lebih kurang 300 tahun. Selama
itu Kerajaan Gunung Sahilan diperintah oleh Sembilan orang Raja atau Sultan dan satu
orang Putra Mahkota yang akan dinobatkan menjadi Sultan apabila raja yang terakhir wafat.
Menurut daftar silsilah raja-raja kerajaan Gunung Sahilan yang dibuat oleh Drs. H.
Darmansyah, 25 September 1992, bahwa kerajaan Gunung Sahilan telah diperintah oleh 10
orang raja dan satu orang putra mahkota yang akan dinobatkan apabila raja yang terakhir
wafat. Akan tetapi putra mahkota yang dilantik pada tahun 1939 tidak jadi dinobatkan
menjadi sultan Gunung Sahilan berhubung Kerajaan Gunung Sahilan sudah berintegrasi
dengan Republik Indonesia pada tahun 1946.
Urutan silsilah raja-raja Gunung Sahilan itu adalah sebagai berikut :
1) Raja Mangiang, adalah raja pertama di kerajaan Gunung sahilan, merupakan keturunan
raja Gamayung Panitahan Sungai Tarap, kuburannya di dekat Masjid Sahilan.
2) Raja bersusun empat, kuburannya berdekatan dengan Raja Mangiang.
3) Sultan dipertuan Sakti Sultan Bujang, kuburannya di Kapalo Koto Gunung Sahilan.
4) Sultan yang dipertuan Muda, kuburannya di Kapalo Koto Gunung sahilan.
5) Sultan yang dipertuan Hitam, kuburannya di Kapalo Koto Gunung Sahilan.
6) Sultan Yang Dipertuan Besar, kuburannya di kota suci Mekah.
7) Sultan Abdul Jalil yang dipertuan Besar Sultan Daulat, kuburannya di Kapalo Koto
Gunung Sahilan.
8) Sultan Abdurrahman Yang Dipertuan Muda, kuburannya di Jeddah.
9) Sultan Abdullah Sayyah gelar Yang Dipertuan Besar Tengku Sulung, kuburannya di
RSUD Pekanbaru, 18 Maret 1951.
10) Sultan Abdullah Hassan Tengku Yang Dipertuan Sakti, kuburannya di Lipat Kain pada 8
Desember 1957.
11) Tengku Ghazali (putra mahkota dinobatkan pada tahun 1941), kuburannya di RSUD
Pekanbaru pada tanggal, 26 Juni 1975.
Raja terakhir Kerajaan Gunung Sahilan adalah Tengku Ghazali yang tak lain adalah
ayahandanya Tengku Nizar yang pada waktu Pilkada Kampar tahun 2011 ikut menjadi calon
Bupati Kampar. Sedangkan salah seorang putri Tengku Ghazali bernama Putri Indra, lahir di
Gunung Sahilan pada tanggal, 17 Maret 1929. Putri Indra adalah ibundanya Drs H Azwan,
M.Si yang saat ini memangku jabatan sebagai Sekda Kabupaten Kampar.
Jejak sejarah Kerajaan Gunung Sahilan ini telah dibukukan Pemda Kampar, tepatnya
oleh Dinas Pariwista dan Kebudayaan Kabupaten Kampar pada tahun 2007 yang lalu.
Akhirnya semoga sejarah juga bercerita tentang hubungan-hubungan peristiwa, peristiwa
yang satu terjadi akibat peristiwa yang lainnya, peristiwa yang lain itu akan menimbulkan
peristiwa yang berikutnya.
Masjid ini dibangun pada tahun 1901 M atas prakarsa seorang ulama bernama Engku
Mudo Songkal, sebagai panitia pembangunannya adalah yang disebut dengan “Ninik
Mamak Nan Dua Belas” yaitu para ninik-mamak dari berbagai suku yang ada dalam seluruh
kampung. Tahun 1904 masjid ini selesai dibangun dan diresmikan oleh seluruh masyarakat
Air Tiris dengan menyembelih 10 ekor kerbau.
Saat dilihat dari arsitekturnya, pastinya langsung terlihat bahwa Masjid Jami’ Air Tiris
ini memang sudah berdiri sejak lama. Bahkan kini usianya sudah sekitar 102 tahun.
Sebenarnya masjid ini mulai berdiri sejak tahun 1901 Masehi atas prakarsa dari seorang
ulama yang bernama Engku Mudo Songkal. Sedangkan panitianya terdiri dari para ninik-
mamak dari berbagai macam suku yang ada di kampung itu. Dalam sejarahnya panitia ini
disebut dengan istilah Ninik Mamak Nan Dua Belas. Proses pembangunan masjid ini
memang terbilang cukup lama. Butuh waktu sekitar 3 tahun untuk menyelesaikan
pembangunannya. Setelah mengalami proses yang cukup panjang, akhirnya pada tahun 1904
masjid ini selesai dibangun dan diresmikan dengan menyembelih 10 ekor kerbau.
Satu hal yang menarik dari Masjid Jami’ Air Tiris ini adalah adanya batu besar yang
berbentuk mirip dengan kepala kerbau. Batu ini terletak di dalam bak air akan tetapi yang
membuatnya menarik adalah kabar yang mengatakan bahwa batu ini sering berpindah
dengan sendirinya tanpa ada satu orang pun yang memindahkannya.
Lokasi Masjid ini terletak di desa Tanjung Berulak, Pasar Usang, Kecamatan Kampar,
Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia. Berjarak Lebih kurang 13 km dari Bangkinang,
Ibukota Kabupaten Kampar dan 52 km dari Pekanbaru, Riau, Indonesia.
Di luar masjid terdapat bak air yang di dalamnya terendam batu besar yang mirip
kepala kerbau. Konon, batu tersebut selalu berpindah tempat tanpa ada yang
memindahkannya. Masjid ini selalu dikunjungi wisatawan nusantara dan mancanegara,
terutama dari Singapura dan Malaysia. Terutama dikunjungi pada bulan puasa dan setelah
hari raya idul fitri yakni hari ke 7 yang di kenal hari raya puasa enam.
Arsitektur masjid ini menunjukkan adanya perpaduan gaya arsitektur Melayu dan
Cina, dengan atap berbentuk limas. Keunikan masjid ini adalah, bahwa seluruh bagian
bangunan terbuat dari kayu, tanpa menggunakan besi sedikitpun, termasuk paku. Pada
dinding bangunan, terdapat ornamen ukiran yang mirip dengan ukiran yang terdapat di
dalam masjid di Pahang, Malaysia.
Candi Muara Takus terletak di Desa Muara Takus, Kecamatan Tigabelas Koto Kampar,
Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Jaraknya dari Pekanbaru, Ibukota Provinsi Riau, sekitar
128 km. Perjalanan menuju Desa Muara Takus hanya dapat dilakukan melalui jalan darat,
yaitu dari Pekanbaru ke arah Bukittinggi sampai di Muara Mahat. Dari Muara Mahat melalui
jalan kecil menuju ke Desa Muara Takus.
Ada dua pendapat mengenai nama Muara Takus. Yang pertama mengatakan bahwa
nama tersebut diambil dari nama sebuah anak sungai kecil bernama Takus yang bermuara ke
Sungai Kampar Kanan. Pendapat lain mengatakan bahwa Muara Takus terdiri dari dua kata,
yaitu “Muara” dan “Takus”. Kata “Muara” memunyai pengertian yang sudah jelas, yaitu
suatu tempat sebuah sungai mengakhiri alirannya ke laut atau ke sungai yang lebih besar,
sedangkan kata “Takus” berasal dari bahasa Cina, Ta berarti besar, Ku berarti tua, dan Se
berarti candi atau kuil. Jadi arti keseluruhan kata Muara Takus adalah candi tua yang besar
yang terletak di muara sungai.
Candi Muara Takus merupakan candi Buddha, terlihat dari adanya stupa, yang
merupakan lambang Buddha Gautama. Ada pendapat yang mengatakan bahwa candi ini
merupakan campuran dari bentuk candi Buddha dan Siwa. Pendapat tersebut didasarkan
pada bentuk bentuk Candi Mahligai, salah satu bangunan di kompleks Candi Muara takus,
yang menyerupai bentuk lingga (kelamin laki-laki) dan yoni (kelamin perempuan).
Arsitektur candi ini juga memunyai kemiripan dengan arsitektur candi-candi di Myanmar.
Candi Muara Takus merupakan sebuah kompleks yang terdiri atas beberapa bangunan.
Bangunan yang utama adalah yang disebut Candi Tuo. Candi ini berukuran 32,80 m x
21,80 m dan merupakan candi bangunan terbesar di antara bangunan yang ada. Letaknya di
sebelah utara Candi Bungsu. Pada sisi sebelah timur dan barat terdapat tangga, yang menurut
perkiraan aslinya dihiasi stupa, sedangkan pada bagian bawah dihiasi patung singa dalam
posisi duduk. Bangunan ini memunyai sisi 36 buah dan terdiri dari bagian kaki I, kaki II,
tubuh dan puncak. Bagian puncaknya telah rusak dan batu-batunya telah banyak yang
hilang. Candi Tuo dibangun dari campuran batu bata yang dicetak dan batu pasir (tuff).
Pemugaran Candi Tuo dilaksanakan secara bertahap akibat keterbatasan anggaran yang
tersedia. Pada 1990, selesai dikerjakan bagian kaki I di sisi timur. Selama tahun anggaran
1992/1993 pemugaran dilanjutkan dengan bagian sisi sebelah barat (kaki I dan II). Volume
bangunan keseluruhan mencapai 2.235 m3, terdiri dari : kaki: 2.028 m3, tubuh: 150 m3, dan
puncak: 57 m3. Tinggi bangunan mencapai 8,50 m.
Bangunan kedua dinamakan Candi Mahligai. Bangunan ini berbentuk bujur sangkar
dengan ukuran 10,44 m x 10,60 m. Tingginya sampai ke puncak 14,30 m berdiri diatas
pondamen segi delapan (astakoma) dan bersisikan sebanyak 28 buah. Pada alasnya terdapat
teratai berganda dan di tengahnya menjulang sebuah menara yang bentuknya mirip phallus
(yoni).
Pada 1860, seorang arkeolog Belanda bernama Cornel de Groot berkunjung ke Muara
Takus. Pada waktu itu di setiap sisi ia masih menemukan patung singa dalam posisi duduk.
Saat ini patung-patung tersebut sudah tidak ada bekasnya. Di sebelah timur, terdapat teras
bujur sangkar dengan ukuran 5,10 x 5,10 m dengan tangga di bagian depannya. Volume
bangunan Candi Mahligai 423,20 m3yang terdiri dari volume bagian kaki 275,3 m3, tubuh
66,6 m3 dan puncak 81,3 m3. Candi Mahligai mulai dipugar pada 1978 dan selesai pada
1983. Bangunan ketiga disebut Candi Palangka, yang terletak 3,85 m sebelah timur Candi
Mahligai. Bangunan ini terdiri dari batu bata merah yang tidak dicetak. Candi Palangka
merupakan candi yang terkecil, relung-relung penyusunan batu tidak sama dengan dinding
Candi Mahligai. Dulu sebelum dipugar bagian kakinya terbenam sekitar satu meter. Candi
Palangka mulai dipugar pada 1987 dan selesai pada 1989. Pemugaran dilaksanakan hanya
pada bagian kaki dan tubuh candi, karena bagian puncaknya yang masih ditemukan pada
1860 sudah tidak ada lagi. Di bagian sebelah utara terdapat tangga yang telah rusak,
sehingga tidak dapat diketahui bentuk aslinya. Kaki candi berbentuk segi delapan dengan
sudut banyak, berukuran panjang 6,60 m, lebar 5,85 m, serta tingginya 1,45 m dari
permukaan tanah dengan volume 52,9 m3.
Bangunan keempat dinamakan Candi Bungsu. Candi Bungsu terletak di sebelah barat
Candi Mahligai. Bangunannya terbuat dari dua jenis batu, yaitu batu pasir (tuff) terdapat
pada bagian depan, sedangkan batu bata terdapat pada bagian belakang. Pemugaran candi ini
dimulai pada 1988 dan selesai dikerjakan pada 1990. Melalu pemugaran tersebut candi ini
dikembalikan ke bentuk aslinya, yaitu empat persegi panjang dengan ukuran 7,50 m x 16,28
m. Bagian puncak tidak dapat dipugar, karena tidak diketahui bentuk sebenarnya. Tinggi
setelah dipugar 6,20 m dari permukaan tanah, dan volumenya 365,8 m3.
Menurut gambar yang dibuat oleh J.W. Yzerman bersama-sama dengan TH. A.F.
Delprat dan Opziter (Sinder) H.L. Leijdie Melvile, di atas bangunan yang terbuat dari bata
merah terdapat 8 buah stupa kecil yang mengelilingi sebuah stupa besar. Di atas bangunan
yang terbuat dari batu pasir (tuff) terdapat sebuah tupa besar. Di bagian sebelah timur
terdapat sebuah tangga yang terbuat dari batu pasir.
Selain bangunan-bangunan di atas, di sebelah utara, atau tepat di depan gerbang Candi
Tuo terdapat onggokan tanah yang mempunyai dua lobang. Tempat ini diperkirakan tempat
pembakaran jenazah. Lobang yang satu untuk memasukkan jenazah dan yang satunya lagi
untuk mengeluarkan abunya. Tempat pembakaran jenazah ini, termasuk dalam pemeliharaan
karena berada dalam kompleks percandian. Di dalam onggokan tanah tersebut terdapat batu-
batu kerikil yang berasal dari Sungai Kampar. Di di luar kompleks Candi Muara Takus,
yaitu di beberapa tempat di sekitar Desa Muarata Takus, juga diketemukan beberapa
bangunan yang diduga masih erat kaitannya dengan candi ini.
Konon ada anggapan teknologi pembuatan candi dengan bahan bata selangkah lebih
maju dibanding candi dari batuan andesit. Perekat bata berasal dari telur ayam sebagai ganti
semen. Hal ini berbeda dengan candi-candi batu andesit yang menggunakan teknik tatah.
Bangunan candi ini terbuat dari campuran batu pasir, batu sungai dan batu bata. Menurut
sebuah sumber, batu bata untuk bangunan candi ini dibuat di desa Pongkai, sebuah desa
yang terletak di sebelah hilir komplek candi. Bekas galian tanah untuk membuat batu bata
sampai saat ini menjadi tempat yang dikeramatkan warga. Untuk membawa batu bata ke
tempat candi, dilakukan secara beranting dari tangan ke tangan.
Candi ini ditemukan oleh Yzerman pada tahun 1893, ketika ia berkelana di hutan-
hutan Sumatera. Ia tertegun ketika melihat sebuah gundukan tembok yang berlapis-lapis.
Pada tahun 1935, seorang arkeolog berkebangsaan Belanda, Dr. F.M. Schnitger datang dan
meneliti candi ini. Saat itu, ia sempat heran melihat kedatangan segerombolan gajah ke candi
tersebut pada malam bulan purnama, seperti hendak berziarah. Ada yang menghubungkan
kejadian ini dengan aspek mistik. Tapi sebenarnya, ini tak lebih dari kenyataan bahwa posisi
candi Muara Takus memang berada di daerah lintasan dan permainan gajah.
Banyak versi tentang masa pendirian Candi Muara Takus. Penelitian Arkeolog Jerman
FM Schnitger PhD pada 1935 – 1936 menyimpulkan, situs purbakala ini dibangun abad XI
atau XII. Hal itu didasari penelitian terhadap struktur batu bahan utama candi. Pendapat itu
disetujui Dr Bennet, setelah meneliti puing-puing keramik di sekitar candi pada tahun 1973.
Pada zaman kejayaan Sriwijaya, Budha berkembang pesat di Jambi, Riau dan sebagian
Sumatera Utara. Makanya dapat dijumpai juga sejumlah candi-candi Budha dan sejumlah
prasasti penting di ketiga daerah tersebut. Salah satu prasasti ditemukan di Pulau Karimun,
di hulu Sungai Kampar yang menghadap Selat Malaka. Prasasti itu berupa sebuah tulisan
kuno yang ditulis sekitar abad ketujuh. Prasasti dengan nama Telapak Kaki Budha itu,
sebagai bukti perkembangan agama Budha di sana.