Anda di halaman 1dari 10

SEJARAH KERAJAAN KAMPAR

1. Kerajaan Gunung Sahilan

Jejak sejarah mencatat bahwa wilayah Rantau Kampar Kiri, sudah dikenal dalam
catatan sejarah semenjak abad mula sejarah Nusantara (abad 1-5 M ), di dalam tambo adat
Kampar dikatakan “Undang-Undang di Kampar Kiri”. Wilayah Rantau Kampar Kiri sangat
identik dengan wilayah  Kerajaan Gunung Sahilan. Hal ini disebabkan karena Kerajaan
Gunung Sahilan adalah kerajaan yang paling lama hampir 400 tahun menguasai dan
memerintah di wilayah hukum adat Rantau Kampar Kiri.
Kerajaan Gunung Sahilan merupakan puncak dari sistem sosial (perasaan
kesebangsaan/raison d’entre) dari masyarakat adat Rantau Kampar Kiri, sehingga
melahirkan suatu kelembagaan politik yang bernama Kerajaan Gunung Sahilan.
Jika dilihat secara geografis wilayah bekas Kerajaan Gunung Sahilan itu terletak di
Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Secara topografis maka wilayah bekas Kerajaan Gunung
Sahilan adalah hampir sama dengan wilayah Rantau Kampar Kiri saat ini.
Wilayah Kampar Kiri yang dulunya secara pemerintahan bernama Kecamatan Kampar
Kiri akhirnya mengalami pemekaran wilayah pemerintahan sehingga menjadi lima wilayah
kecamatan di dalam daerah otonom Kabupaten Kampar yaitu; Kecamatan Kampar Kiri,
Kampar Kiri Hulu, Kampar Kiri Hilir, Kampar Kiri Tengah dan Kecamatan Gunung
Sahilan.
Luas wilayah bekas Kerajaan Gunung Sahilan sama dengan luas Kecamatan Kampar
Kiri asal yaitu seluas 347.578 Ha. Di dalam pembahagian wilayah berdasarkan hukum adat
Kerajaan Gunung Sahilan wilayah Kerajaan ini adalah “Dari Pangkalan yang duo laras,
Pangkalan Serai di laras kiri dan Pangkalan Kapas di laras kanan dihulu Sungai Subayang
dan Sungai Batang Bio sampai ke Muara Langgai”.
Secara adat maka wilayah Kerajaan Gunung Sahilan dibagi menjadi tiga Rantau yaitu,
pertama Rantau Daulat dari Muara Langgai sampai ke Muara Singingi dengan kampung-
kampungnya, Mentulik, Sungai Pagar, Jawi-Jawi, Gunung Sahilan, Subarak, Koto Tuo Lipat
Kain. Kedua, Rantau Indo Ajo, mulai dari Muara Singingi sampai ke Muara Sawa disebut
Indo Ajo dengan nama negerinya adalah Lubuk Cimpur yang disebut dengan kapalo kotonya
Gunung Sahilan.
Ketiga, Rantau Andiko dari Muara Sawa sampai Kepangkalan yang dua laras dengan
negeri-negeri Kuntu, Padang sawah, Domo, Pulau Pencong, Pasir Amo (Gema), Tanjung
Belit, Batu Sanggan, Miring, Gajah Bertalut, Aur Kuning, Terusan, Pangkalan Serai, Ludai,
Koto Lamo dan Pangkalan Kapas. Dan pada awalnya di Rantau Kampar Kiri terdapat enam
negeri asal yakni Negeri Gunung Ibu atau Gunung Sahilan, Negeri Bungo Setangkai atau
Lipat Kain, Negeri Kuntu, Negeri Domo, Negeri Batu Sanggan dan Negeri Ludai.
Kerajaan Gunung Sahilan secara garis besarnya dibagi ke dalam dua wilayah besar
yaitu Rantau Daulat dan Rantau Andiko. Rantau daulat adalah daerah pusat kerajaan. Rantau
daulat berpusat di Kenegarian Gunung Sahilan. Sedangkan Rantau Andiko adalah daerah
kekuasaan Khalifah yang berempat di mudik.
Sebelum berdirinya Kerajaan Gunung Sahilan di Rantau Kampar Kiri pernah dikuasai
oleh beberapa kerajaan antara lain: Kerajaan Dinasti Fatimiyah yang mendirikan Kerajaan
Islam Kuntu Kampar, pendudukan Kerajaan Singosari, dan kekuasaan Dinasti Aru Barumun
dari Tanah Aceh.
Berdirinya Kerajaan Gunung Sahilan tidak dapat dipisahkan dari Kerajaan Pagaruyung
yang didirikan oleh Adityawarman. Kerajaan Gunung Sahilan pada masa awal berdirinya
diperkirakan pada abad ke 16-17 Masehi merupakan kerajaan bawahan kerajaan Pagaruyung
dan raja-raja yang memerintah di Kerajaan Gunung Sahilan adalah keturunan raja
Pagaruyung atau Raja Muda Kerajaan Pagaruyung.
Kerajaan Gunung Sahilan berdiri sendiri sebagai Kerajaan Berdaulat setelah runtuhnya
Kerajaan Pagaruyung pada awal abad ke 18 Masehi akibat perang paderi. Sistem adat-
istiadat Kerajaan Gunung Sahilan adalah sistem adat Kerajaan Pagaruyung yang sudah
dipengaruhi oleh ajaran Islam. Secara ilmiah historis Kerajaan Gunung Sahilan mengakui
kekuasaan Kerajaan Hindia Belanda pada tahun 1905 dan kerajaan Gunung Sahilan berakhir
setelah bergabung dengan NKRI.
Kontribusi kerajaan dan rakyat Kerajaan Gunung Sahilan bagi kemerdekaan cukup
besar, terutama dukungan kerajaan terhadap kemerdekaan dan kontribusi rakyat dalam
mempertahankan kemerdekaan pada masa agresi militer Belanda I dan II dimana wilayah
eks Kerajaan Gunung Sahilan adalah basis pertahanan Militer Republik dengan nama Resort
Riau Selatan yang tidak pernah mampu ditembus oleh Agresi Militer Belanda I dan Agresi
Militer Belanda II.
Di Kerajaan Gunung Sahilan pemerintahan tertinggi ditangan Raja yang menguasai
adat (pemerintahan) dan ibadat (keagamaan). Gelar raja Kerajaan Gunung Sahilan adalah
“Tengku Yang Dipertuan Besar” dan untuk Raja Ibadat “Tengku Yang Dipertuan Sati”.
Kedudukan Raja dalam Kerajaan Gunung Sahilan adalah sebagai Lambang Negara
Kerajaan, sementara pemerintahan dalam artian eksekutif dikendalikan oleh lembaga ini
disebut Kerapatan Khalifah nan berempat dimudik berlima dengan Dt. Besar Khalifah Van
Kampar kiri. Kedudukan para khalifah ini dalam Kerajaan Gunung Sahilan adalah sebagai
Majelis Menteri (Kementerian) dimana fungsinya dibagi menurut bagian-bagian tertentu.
Kerajaan Gunung Sahilan diperkirakan berdiri sekitar abad ke 16-17, dan berakhir
pada tahun 1946. Kerajaan Gunung Sahilan berdiri selama lebih kurang 300 tahun. Selama
itu Kerajaan Gunung Sahilan diperintah oleh Sembilan orang Raja atau Sultan dan satu
orang Putra Mahkota yang akan dinobatkan menjadi Sultan apabila raja yang terakhir wafat.
Menurut daftar silsilah raja-raja kerajaan Gunung Sahilan yang dibuat oleh Drs. H.
Darmansyah, 25 September 1992, bahwa kerajaan Gunung Sahilan telah diperintah oleh 10
orang raja dan satu orang putra mahkota yang akan dinobatkan apabila raja yang terakhir
wafat. Akan tetapi putra mahkota yang dilantik pada tahun 1939 tidak jadi dinobatkan
menjadi sultan Gunung Sahilan berhubung Kerajaan Gunung Sahilan sudah berintegrasi
dengan Republik Indonesia pada tahun 1946.
Urutan silsilah raja-raja Gunung Sahilan itu adalah sebagai berikut :
1) Raja Mangiang, adalah raja pertama di kerajaan Gunung sahilan, merupakan keturunan
raja Gamayung Panitahan Sungai Tarap, kuburannya di dekat Masjid Sahilan.
2) Raja bersusun empat, kuburannya berdekatan dengan Raja Mangiang.
3) Sultan dipertuan Sakti Sultan Bujang, kuburannya di Kapalo Koto Gunung Sahilan.
4) Sultan yang dipertuan Muda, kuburannya di Kapalo Koto Gunung sahilan.
5) Sultan yang dipertuan Hitam, kuburannya di Kapalo Koto Gunung Sahilan.
6) Sultan Yang Dipertuan Besar, kuburannya di kota suci Mekah.
7) Sultan Abdul Jalil yang dipertuan Besar Sultan Daulat, kuburannya di Kapalo Koto
Gunung Sahilan.
8) Sultan Abdurrahman Yang Dipertuan Muda, kuburannya di Jeddah.
9) Sultan Abdullah Sayyah gelar Yang Dipertuan Besar Tengku Sulung, kuburannya di
RSUD Pekanbaru, 18 Maret 1951.
10) Sultan Abdullah Hassan Tengku Yang Dipertuan Sakti, kuburannya di Lipat Kain pada 8
Desember 1957.
11) Tengku Ghazali (putra mahkota dinobatkan pada tahun 1941), kuburannya di RSUD
Pekanbaru pada tanggal, 26 Juni 1975.
Raja terakhir Kerajaan Gunung Sahilan adalah Tengku Ghazali yang tak lain adalah
ayahandanya Tengku Nizar yang pada waktu Pilkada Kampar tahun 2011 ikut menjadi calon
Bupati Kampar. Sedangkan salah seorang putri Tengku Ghazali bernama Putri Indra, lahir di
Gunung Sahilan pada tanggal, 17 Maret 1929. Putri Indra adalah ibundanya Drs H Azwan,
M.Si yang saat ini memangku jabatan sebagai Sekda Kabupaten Kampar.
Jejak sejarah Kerajaan Gunung Sahilan ini telah dibukukan Pemda Kampar, tepatnya
oleh Dinas Pariwista dan Kebudayaan Kabupaten Kampar pada tahun 2007 yang lalu.
Akhirnya semoga sejarah juga bercerita tentang hubungan-hubungan peristiwa, peristiwa
yang satu terjadi akibat peristiwa yang lainnya, peristiwa yang lain itu akan menimbulkan
peristiwa yang berikutnya.

2. Masjid Jami’ Airtiris

Masjid ini dibangun pada tahun 1901 M atas prakarsa seorang ulama bernama Engku
Mudo Songkal, sebagai panitia pembangunannya adalah yang disebut dengan “Ninik
Mamak Nan Dua Belas” yaitu para ninik-mamak dari berbagai suku yang ada dalam seluruh
kampung. Tahun 1904 masjid ini selesai dibangun dan diresmikan oleh seluruh masyarakat
Air Tiris dengan menyembelih 10 ekor kerbau.
Saat dilihat dari arsitekturnya, pastinya langsung terlihat bahwa Masjid Jami’ Air Tiris
ini memang sudah berdiri sejak lama. Bahkan kini usianya sudah sekitar 102 tahun.
Sebenarnya masjid ini mulai berdiri sejak tahun 1901 Masehi atas prakarsa dari seorang
ulama yang bernama Engku Mudo Songkal. Sedangkan panitianya terdiri dari para ninik-
mamak dari berbagai macam suku yang ada di kampung itu. Dalam sejarahnya panitia ini
disebut dengan istilah Ninik Mamak Nan Dua Belas. Proses pembangunan masjid ini
memang terbilang cukup lama. Butuh waktu sekitar 3 tahun untuk menyelesaikan
pembangunannya. Setelah mengalami proses yang cukup panjang, akhirnya pada tahun 1904
masjid ini selesai dibangun dan diresmikan dengan menyembelih 10 ekor kerbau.
Satu hal yang menarik dari Masjid Jami’ Air Tiris ini adalah adanya batu besar yang
berbentuk mirip dengan kepala kerbau. Batu ini terletak di dalam bak air akan tetapi yang
membuatnya menarik adalah kabar yang mengatakan bahwa batu ini sering berpindah
dengan sendirinya tanpa ada satu orang pun yang memindahkannya.
Lokasi Masjid ini terletak di desa Tanjung Berulak, Pasar Usang, Kecamatan Kampar,
Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia. Berjarak Lebih kurang 13 km dari Bangkinang,
Ibukota Kabupaten Kampar dan 52 km dari Pekanbaru, Riau, Indonesia.
Di luar masjid terdapat bak air yang di dalamnya terendam batu besar yang mirip
kepala kerbau. Konon, batu tersebut selalu berpindah tempat tanpa ada yang
memindahkannya. Masjid ini selalu dikunjungi wisatawan nusantara dan mancanegara,
terutama dari Singapura dan Malaysia. Terutama dikunjungi pada bulan puasa dan setelah
hari raya idul fitri yakni hari ke 7 yang di kenal hari raya puasa enam.
Arsitektur masjid ini menunjukkan adanya perpaduan gaya arsitektur Melayu dan
Cina, dengan atap berbentuk limas. Keunikan masjid ini adalah, bahwa seluruh bagian
bangunan terbuat dari kayu, tanpa menggunakan besi sedikitpun, termasuk paku. Pada
dinding bangunan, terdapat ornamen ukiran yang mirip dengan ukiran yang terdapat di
dalam masjid di Pahang, Malaysia.

3. Candi Muara Takus

Candi Muara Takus terletak di Desa Muara Takus, Kecamatan Tigabelas Koto Kampar,
Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Jaraknya dari Pekanbaru, Ibukota Provinsi Riau, sekitar
128 km. Perjalanan menuju Desa Muara Takus hanya dapat dilakukan melalui jalan darat,
yaitu dari Pekanbaru ke arah Bukittinggi sampai di Muara Mahat. Dari Muara Mahat melalui
jalan kecil menuju ke Desa Muara Takus.
Ada dua pendapat mengenai nama Muara Takus. Yang pertama mengatakan bahwa
nama tersebut diambil dari nama sebuah anak sungai kecil bernama Takus yang bermuara ke
Sungai Kampar Kanan. Pendapat lain mengatakan bahwa Muara Takus terdiri dari dua kata,
yaitu “Muara” dan “Takus”. Kata “Muara” memunyai pengertian yang sudah jelas, yaitu
suatu tempat sebuah sungai mengakhiri alirannya ke laut atau ke sungai yang lebih besar,
sedangkan kata “Takus” berasal dari bahasa Cina, Ta berarti besar, Ku berarti tua, dan Se
berarti candi atau kuil. Jadi arti keseluruhan kata Muara Takus adalah candi tua yang besar
yang terletak di muara sungai.
Candi Muara Takus merupakan candi Buddha, terlihat dari adanya stupa, yang
merupakan lambang Buddha Gautama. Ada pendapat yang mengatakan bahwa candi ini
merupakan campuran dari bentuk candi Buddha dan Siwa. Pendapat tersebut didasarkan
pada bentuk bentuk Candi Mahligai, salah satu bangunan di kompleks Candi Muara takus,
yang menyerupai bentuk lingga (kelamin laki-laki) dan yoni (kelamin perempuan).
Arsitektur candi ini juga memunyai kemiripan dengan arsitektur candi-candi di Myanmar.
Candi Muara Takus merupakan sebuah kompleks yang terdiri atas beberapa bangunan.
Bangunan yang utama adalah yang disebut Candi Tuo. Candi ini berukuran 32,80 m x
21,80 m dan merupakan candi bangunan terbesar di antara bangunan yang ada. Letaknya di
sebelah utara Candi Bungsu. Pada sisi sebelah timur dan barat terdapat tangga, yang menurut
perkiraan aslinya dihiasi stupa, sedangkan pada bagian bawah dihiasi patung singa dalam
posisi duduk. Bangunan ini memunyai sisi 36 buah dan terdiri dari bagian kaki I, kaki II,
tubuh dan puncak. Bagian puncaknya telah rusak dan batu-batunya telah banyak yang
hilang. Candi Tuo dibangun dari campuran batu bata yang dicetak dan batu pasir (tuff).
Pemugaran Candi Tuo dilaksanakan secara bertahap akibat keterbatasan anggaran yang
tersedia. Pada 1990, selesai dikerjakan bagian kaki I di sisi timur. Selama tahun anggaran
1992/1993 pemugaran dilanjutkan dengan bagian sisi sebelah barat (kaki I dan II). Volume
bangunan keseluruhan mencapai 2.235 m3, terdiri dari : kaki: 2.028 m3, tubuh: 150 m3, dan
puncak: 57 m3. Tinggi bangunan mencapai 8,50 m.
Bangunan kedua dinamakan Candi Mahligai. Bangunan ini berbentuk bujur sangkar
dengan ukuran 10,44 m x 10,60 m. Tingginya sampai ke puncak 14,30 m berdiri diatas
pondamen segi delapan (astakoma) dan bersisikan sebanyak 28 buah. Pada alasnya terdapat
teratai berganda dan di tengahnya menjulang sebuah menara yang bentuknya mirip phallus
(yoni).
Pada 1860, seorang arkeolog Belanda bernama Cornel de Groot berkunjung ke Muara
Takus. Pada waktu itu di setiap sisi ia masih menemukan patung singa dalam posisi duduk.
Saat ini patung-patung tersebut sudah tidak ada bekasnya. Di sebelah timur, terdapat teras
bujur sangkar dengan ukuran 5,10 x 5,10 m dengan tangga di bagian depannya. Volume
bangunan Candi Mahligai 423,20 m3yang terdiri dari volume bagian kaki 275,3 m3, tubuh
66,6 m3 dan puncak 81,3 m3. Candi Mahligai mulai dipugar pada 1978 dan selesai pada
1983. Bangunan ketiga disebut Candi Palangka, yang terletak 3,85 m sebelah timur Candi
Mahligai. Bangunan ini terdiri dari batu bata merah yang tidak dicetak. Candi Palangka
merupakan candi yang terkecil, relung-relung penyusunan batu tidak sama dengan dinding
Candi Mahligai. Dulu sebelum dipugar bagian kakinya terbenam sekitar satu meter. Candi
Palangka mulai dipugar pada 1987 dan selesai pada 1989. Pemugaran dilaksanakan hanya
pada bagian kaki dan tubuh candi, karena bagian puncaknya yang masih ditemukan pada
1860 sudah tidak ada lagi. Di bagian sebelah utara terdapat tangga yang telah rusak,
sehingga tidak dapat diketahui bentuk aslinya. Kaki candi berbentuk segi delapan dengan
sudut banyak, berukuran panjang 6,60 m, lebar 5,85 m, serta tingginya 1,45 m dari
permukaan tanah dengan volume 52,9 m3.
Bangunan keempat dinamakan Candi Bungsu. Candi Bungsu terletak di sebelah barat
Candi Mahligai. Bangunannya terbuat dari dua jenis batu, yaitu batu pasir (tuff) terdapat
pada bagian depan, sedangkan batu bata terdapat pada bagian belakang. Pemugaran candi ini
dimulai pada 1988 dan selesai dikerjakan pada 1990. Melalu pemugaran tersebut candi ini
dikembalikan ke bentuk aslinya, yaitu empat persegi panjang dengan ukuran 7,50 m x 16,28
m. Bagian puncak tidak dapat dipugar, karena tidak diketahui bentuk sebenarnya. Tinggi
setelah dipugar 6,20 m dari permukaan tanah, dan volumenya 365,8 m3.
Menurut gambar yang dibuat oleh J.W. Yzerman bersama-sama dengan TH. A.F.
Delprat dan Opziter (Sinder) H.L. Leijdie Melvile, di atas bangunan yang terbuat dari bata
merah terdapat 8 buah stupa kecil yang mengelilingi sebuah stupa besar. Di atas bangunan
yang terbuat dari batu pasir (tuff) terdapat sebuah tupa besar. Di bagian sebelah timur
terdapat sebuah tangga yang terbuat dari batu pasir.
Selain bangunan-bangunan di atas, di sebelah utara, atau tepat di depan gerbang Candi
Tuo terdapat onggokan tanah yang mempunyai dua lobang. Tempat ini diperkirakan tempat
pembakaran jenazah. Lobang yang satu untuk memasukkan jenazah dan yang satunya lagi
untuk mengeluarkan abunya. Tempat pembakaran jenazah ini, termasuk dalam pemeliharaan
karena berada dalam kompleks percandian. Di dalam onggokan tanah tersebut terdapat batu-
batu kerikil yang berasal dari Sungai Kampar. Di di luar kompleks Candi Muara Takus,
yaitu di beberapa tempat di sekitar Desa Muarata Takus, juga diketemukan beberapa
bangunan yang diduga masih erat kaitannya dengan candi ini.
Konon ada anggapan teknologi pembuatan candi dengan bahan bata selangkah lebih
maju dibanding candi dari batuan andesit. Perekat bata berasal dari telur ayam sebagai ganti
semen. Hal ini berbeda dengan candi-candi batu andesit yang menggunakan teknik tatah.
Bangunan candi ini terbuat dari campuran batu pasir, batu sungai dan batu bata. Menurut
sebuah sumber, batu bata untuk bangunan candi ini dibuat di desa Pongkai, sebuah desa
yang terletak di sebelah hilir komplek candi. Bekas galian tanah untuk membuat batu bata
sampai saat ini menjadi tempat yang dikeramatkan warga. Untuk membawa batu bata ke
tempat candi, dilakukan secara beranting dari tangan ke tangan.
Candi ini ditemukan oleh Yzerman pada tahun 1893, ketika ia berkelana di hutan-
hutan Sumatera. Ia tertegun ketika melihat sebuah gundukan tembok yang berlapis-lapis.
Pada tahun 1935, seorang arkeolog berkebangsaan Belanda, Dr. F.M. Schnitger datang dan
meneliti candi ini. Saat itu, ia sempat heran melihat kedatangan segerombolan gajah ke candi
tersebut pada malam bulan purnama, seperti hendak berziarah. Ada yang menghubungkan
kejadian ini dengan aspek mistik. Tapi sebenarnya, ini tak lebih dari kenyataan bahwa posisi
candi Muara Takus memang berada di daerah lintasan dan permainan gajah.
Banyak versi tentang masa pendirian Candi Muara Takus. Penelitian Arkeolog Jerman
FM Schnitger PhD pada 1935 – 1936 menyimpulkan, situs purbakala ini dibangun abad XI
atau XII. Hal itu didasari penelitian terhadap struktur batu bahan utama candi. Pendapat itu
disetujui Dr Bennet, setelah meneliti puing-puing keramik di sekitar candi pada tahun 1973.
Pada zaman kejayaan Sriwijaya, Budha berkembang pesat di Jambi, Riau dan sebagian
Sumatera Utara. Makanya dapat dijumpai juga sejumlah candi-candi Budha dan sejumlah
prasasti penting di ketiga daerah tersebut. Salah satu prasasti ditemukan di Pulau Karimun,
di hulu Sungai Kampar yang menghadap Selat Malaka. Prasasti itu berupa sebuah tulisan
kuno yang ditulis sekitar abad ketujuh. Prasasti dengan nama Telapak Kaki Budha itu,
sebagai bukti perkembangan agama Budha di sana.

4. Makam Syekh Burhanuddin

Makam Syeh Burhanudin berlokasi di Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar.


tepatnya didesa kuntu simpang empat lipat kain. Jalan menuju makam ini bisa dari dua arah,
yaitu dari kota pekan baru atau dari sumatra barat. Jika dari arah Pekanbaru perjalanan
kearah kampar kiri sekitar 1 jam kemudian sampai di Simpang Empat Lipat Kain dan
menuju Desa Kuntu dengan mengikuti petunjuk disimpang tersebut. Sedangkan kl dari
sumatra barat yaitu kearah teluk kuantan yang diteruskan kekampar kiri. Syeikh
Burhanuddin kampar ini adalah murid Syeikh Abdullah Arif, ini berbeda dengan Syeikh
Burhanuddin Ulakkan murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri.
Almarhum Syekh Burhanuddin adalah salah seorang penyebar Agama Islam yang juga
merupakan tuan guru dari tarekat naqsybandi. Syekh Burhanuddin lahir di Mekkah pada
tahun 1111 M atau 530 H dan Wafat di Kuntu pada 1191 M atau 610 H. Beliau menyiarkan
agama Islam di Batu Hampar, Sumatra Barat pada 1141 - 1151 M, pada 1151 - 1156 ia
tinggal di Kumpulan Bonjol, Sumatra Barat kemudian berpindah lagi ke Pariaman pada
rentang waktu 1156 – 1171.
Kemudian Syekh Burhanuddin menetap dan menyiarkan Islam di Kuntu, Riau, selama
20 tahun hingga meninggal pada tahun 1191 dan dimakamkan di tepian sungai Sebayang,
Desa Kuntu. Makam tuan guru Tarekat Naqsabandiah ini ditandai dengan batang kayu
sungkai yang kini telah menjadi batu fosil. Beberapa barang peninggalannya dipegang oleh
keturunannnya baik buku kotbah, kitab, stempel, pedang maupun baju kebesarannya
Banyak hal-hal menarik yang dianggap keramat oleh masyarakat, baik pengikutnya
maupun masyarakat luas, yang kemudian menjadikan imam ini menjadi mulia. Salah
satunya adalah dua batu nisan yang menandai makamnya. Menurut H Junaidi, pimpinan
Ponpes Burhanuddin Kuntu, batu nisan tersebut asalnya adalah pohon sungkai yang menjadi
batu. Sejak ditanam hingga sekarang tak ada yang bisa mencabutnya. Bahkan, seekor gajah
mencabutnya dengan belalai. Selain tak tercabut, ternyata gajah itu langsung mati. “Dulu
tebing Sungai Subayang atau Sungai Kampar Kiri ini sering runtuh, namun setelah Syekh
Burhanuddin bermakam di sana, tebing tersebut tak pernah runtuh lagi, bahkan aliran sungai
itu beralih ke tempat lain,”

5. Balimau Kasai Dan Penyambutan Bulan Suci Ramadhan


1) Kebudayaan Ritual Balimau Kasai – masyarakat Kampar
Balimau Kasai adalah sebuah upacara tradisional yang istimewa bagi masyarakat
Kampar di Provinsi Riau untuk menyambut bulan suci Ramadan. Acara ini biasanya
dilaksanakan sehari menjelang masuknya bulan puasa. Upacara tradisional ini selain
sebagai ungkapan rasa syukur dan kegembiraan memasuki bulan puasa, juga merupakan
simbol penyucian dan pembersihan diri. Balimau sendiri bermakna mandi dengan
menggunakan air yang dicampur jeruk yang oleh masyarakat setempat disebut limau.
Jeruk yang biasa digunakan adalah jeruk purut, jeruk nipis, dan jeruk kapas. Sedangkan
kasai adalah wangi-wangian yang dipakai saat berkeramas. Bagi masyarakat Kampar,
pengharum rambut ini (kasai) dipercayai dapat mengusir segala macam rasa dengki yang
ada dalam kepala, sebelum memasuki bulan puasa.
Sebenarnya upacara bersih diri atau mandi menjelang masuk bulan ramadhan
tidak hanya dimiliki masyarakat Kampar saja. Kalau di Kampar upacara ini sering
dikenal dengan nama Balimau Kasai, maka di Kota Pelalawan lebih dikenal dengan
nama Balimau Kasai Potang Mamogang. Di Sumatera Barat juga dikenal istilah yang
hampir mirip, yakni Mandi Balimau. Khusus untuk Kota Pelalawan, tambahan kata
potang mamogong mempunyai arti menjelang petang karena menunjuk waktu
pelaksanaan acara tersebut.
Tradisi Balimau Kasai di Kampar, konon telah berlangsung berabad- abad
lamanya sejak daerah ini masih di bawah kekuasaan kerajaan. Upacara untuk
menyambut kedatangan bulan Ramadan ini dipercayai bermula dari kebiasaan Raja
Pelalawan. Namun ada juga anggapan lain yang mengatakan bahwa upacara tradisional
ini berasal dari Sumatera Barat. Bagi masyarakat Kampar sendiri upacara Balimau Kasai
dianggap sebagai tradisi campuran Hindu- Islam yang telah ada sejak Kerajaan Muara
Takus berkuasa.
Keistimewaan Balimau Kasai merupakan acara adat yang mengandung nilai
sakral yang khas. Wisatawan yang mengikuti acara ini bisa menyaksikan masyarakat
Kampar dan sekitarnya berbondong-bondong menuju pinggir sungai (Sungai Kampar)
untuk melakukan ritual mandi bersama. Sebelum masyarakat menceburkan diri ke
sungai, ritual mandi ini dimulai dengan makan bersama yang oleh masyarakat sering
disebut makan majamba.
2) Filosofi Dari Upacara Ritual Balimau Kasai
Balaimau bakasai ini berasal dari tradisi penduduk sungai gangga yang ada di
india mereka menganut agama hindu yang memeiliki tradisi pnyucian diri di sungai, agar
dosa-dosa merka hilang bersama mengalirnya air sungai tersebut dan kemudian agama
itu berkembang di indonesia hingga sampai ke pelosok negeri yang ada di nusantara dan
sungai di kampar ini sebagai bukti bahwa adanya agama hindu sampai di kampar ini
sebagai bukti bahwa adanya agama hindu sampai di kampar adalah dengan adanya
gugusan candi di muara takus (XIII Koto Kampar).
Dan setelah masuk di daerah pelalawan berkembangnya Budaya dan Tradisi dan
budaya itupun masih berkembang hingga sekarang ini semoga apa yang telah di
wariskan oleh nenek moyang kita dahulu dapat lebih berkembang lagi hingga ke sanak
cucu kita nanti.
Balimau Kasai bagi masyarakat Riau mempunyai makna yang mendalam yakni
bersuci sehari sebelum Ramadhan. Biasanya dilakukan ketika petang sebelum Ramadhan
berlangsung. Tua-muda turun ke sungai dan mandi bersama.Balimau artinya membasuh
diri dengan ramuan rebusan limau purut atau limau nipis. Sedangkan kasai yang
bermakna lulur dalam bahasa Melayu adalah bahan alami seperti beras, kunyit, daun
pandan dan bunga bungaan yang membuat wangi tubuh.
Tradisi ini, berlangsung sejak turun menurun di kalangan Melayu Riau. Tradisi
dilakukan hampir di seluruh kabupaten/kota yang ada, dengan nama berbeda satu sama
lain. Contohnya saja Balimau Kasai  lebih dikenal oleh masyarakat Kabupaten pelalawan
. Di Pekanbaru, tradisi ini dinamakan Petang Megang sedangkan di Indragiri Hulu cukup
dengan nama Balimau saja.
Balimau Kasai artinya mensucikan diri baik lahir dan batin, sebelum datangnya
Ramadhan,"menurut masyarakat.  Kebanyakan orang  kegiatan Balimau Kasai ini
merupakan ritual wajib yang harus dilakukan. Selain mandi di sungai dengan limau yang
dianggap sebagai penyucian fisik, ajang ini juga dijadikan sarana untuk memperkuat rasa
persaudaraan sesama muslim dengan saling mengunjungi dan meminta maaf.Namun
sanagat disayangkan pada saat ini,  tradisi ini semakin menyalahi, dulu ada batasan
antara lelaki dan perempuan. Sekarang semua bercampur baur. Tidak lagi menunjukkan
mensucikan diri yang sebenarnya,
3) Nilai Filosofis Dari Mandi Balimau
Mandi Balimau kasai tersebut bukanlah termasuk sunnah rosulullah, melainkan
hanya sebagai tradisi semata yang memiliki nilai filosofis yang tinggi bagi masyarakat
pelalawan dan sekitarnya, Selain momen membersihkan diri secara zahir, mandi
Balimau Kasai juga merupakan momentum untuk menjalin silaturrahmi dan acara saling
maaf memaafkan dalam rangka menyambut tamu agung yaitu Syahru Ramadan Syahrus
Siyam, jadi bukanlah sebuah keyakian yang memiliki dalil naqli  secara qat’i. tapi ini
lebih kepada sebuah adat yang bersendikan syara’ (Syariat Islam) syara’ bersandikan
Kitabullah yang secara filosifisnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Tidak dapat kita pungkiri bahwa kemajuan zaman hari ini secara langsung
maupun tidak memberikan dampak negative terhadap kehidupan kita dalam kerangka
adat istiadat, banyak terjadi distorsi sejarah, salah interpretasi terhadap nilai-nilai adat
yang telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan kita, termasuk mandi
Balimau Kasai.Bisa kita lihat dari tahun ketahun kegiatan mandi Balimau Kasai telah
dinodai dengan tindakan yang  yang berseberangan dengan syariat islam diantaranya
berhura-hura, berboncengan laki-laki dan perempuan yang bukah muhrim, mandi massal
yang bercampur antara laki-laki dan perempuan, mabuk-mabukan sampai kepada musik
yang menjauhkan masyarakat dari mengingat Alloh SWT.
Padahal dulunya, tradisi ini merupakan hal yang tergolong urgen dan sakral.
Sebelum memasuki bulan puasa atau sebelum magrib, anak kemenakan dan menantu
atau juga yang tua serta murid akan mendatangi orang tua, mertua, mamak (paman),
kepala adat, atau guru ngaji  mereka datang dalam rangka meminta maaf menjelang
masuk bulan suci.
Dulu ada beberapa rangkaian acara yang dilakukan oleh masyarakat Kampar
dalam penyambutan ramadhan, namun acara ini sudah hilang dan yang tertinggal
hanyalah balimau kasai-nya saja yang terasa dominan. Adapun acara yang sudah banyak
ditinggalkan antara lain:
a. Membuat lemang saat sore balimau. Tepat pada tanggal 30 sya’ban atau sehari
menjelang 1 ramadhan. Lemang sendiri adalah jenis makanan khas Kampar yang
menggunakan buluh sebagai wadah utamanya.
b. Manjalang adalah acara untuk menghormati yang dituakan, lazimnya adalah acara
anak mengunjungi ibunya ataupun kemenakan mengunjungi mamaknya. Tujuan
utamanya adalah satu, merajut silaturrahim dan memohon maaf jika ada khilaf dan
salah.
c. Mandi balimau kasai, yang dipusatkan oleh pemda Kampar di desa Batu Belah
kenegrian Air Tiris.

6. Islamic Centre Bangkinang (ICB)


Islamic Center Bangkinang (ICB) berlokasi di jalan prof. M.Yamin SH, jalan ini
merupakan jalan raya yang menghubungkan dua provinsi, yaitu provinsi Riau dan provinsi
Sumatera Barat. Dengan bergoreskan seni arsitektur timur tengah dan memakan luas area
sekitar 1,5 hektar, bangunan megah ini menghabiskan dana setidaknya 2 kali lipat APBD
Kabupaten Kampar.
Sebuah maha karya yang menjadi icon/ikon kota Bangkinang ini, dibangun atas
inisiatif Bupati terdahulu, H. Jefri Nur dan seluruh masyarakat Bangkinang tanpa terkecuali.
Dengan menyulap tempat berkumpulnya para remaja kota Bangkinang, menjadi sebuah
tempat ibadah yang sarat makna dan hikmah, tempat berkumpulnya para ulama.
Islamic Center Bangkinang (ICB) ini dibangun bukan saja untuk menjadi pusatnya
agama Islam, namun juga sebagai taman kota. Jika Anda menyempatkan jalan-jalan di areal
ICB, akan terlihat diasana kecerian masyarakat Bangkinang bersama keluarga, terutama di
sore hari.

Anda mungkin juga menyukai