Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

SEJARAH INDONESIA MADYA

PEREBUTAN HEGEMONI DI ACEH-SULAWESI

NAMA :

Riannaldi Eriza Permana (18046173)

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2019
Hegemoni Di Aceh
Sementara itu, Aceh masih dapat bertahan terhadap persaingan dari orang Barat. Aceh
lama merupakan suatu kerajaan pantai. Meskipun banyak daerah pedalaman merupakan
taklukannya. Aceh lebih merupakan suatu kerajaan laut. Perdagangan yang ramai antara
Sumatera dan India hanya mengalami kemacetan sebentar ketika orang-orang Portugis tersebut
merebut Malaka. Pedir merupakan pelabuhan terpenting dalam ekspor lada dari Sumatera dan
Aceh, mungkin juga telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut sebelum Aceh
menguasai daerah ini. Pada tahun 1534 Diego da Siveira mendapatkan perahu-perahu Gujarat dan Aceh
di Bab el Mandib, pintu masuk Laut Merah. Menurut Boxer, dapat diterima bahwa Aceh telah mengambil
bagian dari perdagangan lada pada akhir abad ke-15.

Pada tahun 1554-1555, kapal-kapal Portugis di kirim ke Laut Merah untuk menangkap kapal-
kapal Aceh dan Gujarat. Akan tetapi mereka tidak berhasil. Alasan yang dibuat-buat oleh orang Portugis
untuk merasa syah dalam menangkap kapal-kapal ini adalah bahwa kapal-kapal itu tidak mempunyai izin
yang dikeluarkan oleh pemerintah Portugis.

Perdagangan yang dijalankan Aceh di Laut Merah cukup besar. Prajurit-prajurit Aceh sangat
perkasa dan mutu kemiiterannya tinggi. Hal ini diceritakan sendiri oleh orang Portugis yang terlibat
dalam pertemuran yang terjadi ketika mereka hendak menahan kapal-kapal Aceh yang membawa rempah-
rempah ke Laut Merah.

Aceh pada pertengahan abad ke-16 betul-betul merupakan ancaman bagi Malaka yang pada
waktu itu ada di tangan Portugis. Oleh sebab itu orang Portugis selalu merasa cemas mengenai Aceh yang
pada setiap waktu dapat menyerang Malaka.

Aceh begitu memusingkan orang-orang Portugis, sehingga uskup dari Goa, yaitu Jorge Temudo
mengusulkan kepada raja Portugal pada tahun 1569 untuk memblokade Aceh selama tiga tahun berturut-
turut blokade ini membuat ekonomi kesultanan Aceh mengalami kerugian, yang berakibat melemahnya
kerajaan ini, dan pada akhirnya lebih mudah untuk direbut. Begitu baik kelihatannya strategi yang
dilekukan oleh Jorge Temudo, tetapi dalam kenyataanya tidak terwujud. Malah sebaliknya bukanlah
orang-orang Portugis yang memblokade Aceh dan mengadakan penyerbuan terhadap Aceh yang telah
terkepung, akan tetapi Aceh yang mengadakan penyerbuan ke Malaka untuk beberapa kali meskipun
mereka mengalami perlawanan.

Semua menyadari bahwa Aceh harus dibuat lemah untuk kepentingan Portugis. Akan tetapi
meskipun banyak orang-orang Portugis yang mengusulkan penyerbuan terhadap Aceh dengan
perhitungan-perhitungan mereka akan keperluan mereka untuk penyerbuan ini, dan bilamana Aceh
ditangan mereka berapa besar keuntungan yang akan diperoleh, semua rencanan macet karena Portugis
tidak memunyai kekuatan armada yang cukup kuat untuk melakukan penyerbuan terhadap Aceh.

Pada akhir abad ke-16, keadaan di Eropa membuat orang-orang Portugis tidak berbuat apa-apa
terhadap Aceh, karena uang dan tenaga manusia dibutuhkan di Eropa. Pada lain pihak Aceh yang berada
di bawah pemerintahan ‘Ala-ud-Din-Ri’ayat-Syah mengalami kesukaran dalam kerjaan karena mereka
terdesak oleh Johor, sehingga tidak mempunyai kesematan yangbaik untuk menyerang Malaka.
Sultan Iskandar Muda selama 20 tahun berhasil menekan perdagangan yang dijalankan oleh
oroang-orang Eropa. Yang membuatnya mundur adalah kekalahan yang dialami, ketika ia menyerang
Malaka pada tahun 1629. Kekalahan ini mungkin merupakan suatu pukulan besar bagi kepercayaan diri
sendiri. Karena kekalahan ini ia mengadakan perjanjian dengan orang-orang Belanda dan memberi
kepada mereka izinuntuk selama 4 tahun berdagang di seluruh kerajaan.

Pada akhir masa pemerintahan Iskandar Muda di daerah pantai barat Sumatera pemerintahan
setempat mulai merasakan kelonggaran dari pengintrolan pusat sehingga panglima-panglima mengambil
keuntungan bagi diri sendiri dalam mengadakan perdagangan dengan pedagang-pedagang asing.

Kesukaran yang dialami oleh orang-orang Belanda dalam perdagangan mereka dengan pantai
Barat Sumatera, mereka hendak menuntut kepada sultan untuk memberi penjelasan tentang sikap
panglima-panglima ini. Akan tetapi mereka tidak mendapat jawaban yang mereka inginkan. Karena sultan
telah memalingkan persahabatannya kepada orang-orang Portugis dan karena orang-orang Belanda telah
memberi bantuan kepada Johor.

Kerajaan Aceh Dalam Abad XVII


Iskandar Muda, yang dalam tradisi Aceh juga disebut Marhum Mahkota Alam,
melanjutkan politik ekspansi raja-raja sebelumnya. Kecuali untuk memegang hegemoni politik
dan bersamaan deengan itu dominasi ekonomi di Sumatera Utara dan wilayah sekitar Selat
Malaka.

Sudah barang tentu Malaka sebagai duri di mata Aceh mendapat giliran serangan, yaitu
pada tahun 1629, akan tetapi Aceh mengalami banyak kerusakan dan kehilangan banyak
pasukannya, diantaranya Sri Maharajo gugur dan laksamana tertawan. Malaka mendapat bantuan
dari Johor dan Patani.

Politik ekspansi Iskandar Muda tidak menyimpang dari garis yang diikuti para raja Aceh
sebelumnya, suatu tindakan yang wajar, tidak lain karena seperti telah dibentangkan di atas
ancaman datang dari dua lawannya, Malaka dan Johor.

Di seberang Selat Malaka para raja masih mempunyai loyalitas kepada Johor, terutama
Pahang, yang setelah ditaklukan pada tahun 1617, masih berkali-kali melakukan pemberontakan
kepada Aceh pada tahun 1630 dan perang kedua pada tahun 1635. Dalam perang yang pertama
Pahang mendapat bantuan dari Johor.

Terhadap Pahang, Iskandar Muda juga telah menjalankan politik mempererat hubungan
hubungan keluarga dengan mengambil Raja Sulung, putra Sultan Ahmad Shah sebagai menantu.
Kalau Pahang dan Johor perlu dikuasai karena mempunya kedudukan yang strategis dalam
perdagangan, Kedah hendak ditaklukan oleh Iskandar Muda dengan tujuan menghancurkannya
sebagai penghasil lada, suatu bahan yang menjadi hasil utama di Aceh dan Sumatera.

Pada puncak kemegahan Aceh hegemoni politik dan ekonominya mencakup Pedir, Pasai,
Deli, Aru, Daya, Labo, Singkel, Batak, Pasaman, Tiku, Priaman, dan Padang. Hegemoni politik
menjadi dasar pokok untuk mempertahankan monopoli. Keuntungan pemegang monopoli adalah
pemungutan bea-cukai dari barang-barang yang keluar masuk pelabuhan.

Hegemoni politik menjadi dasar kokoh untuk mempertahankan monopoli. Pembinasaan


kebun-kebun lada di Kedah mengurangi saingan, dan perdagangan dapat dipaksa memusatkan
diri di Aceh. Lokasinya membawa keuntungan, terutama pedagang yang datang dari Barat.
Hanya suatu angkatan laut yang kuat dapat melakukan pngawasan terhadap aliran perkapalan
dan perdagangan di wilayah sekitar Aceh.

Keuntungan pemegang monopoli lainnya ialah pemungutan bea-cukai dari barang-barang


yang keluar masuk pelabuhan. Jumlah yang dipungut ialah 7% dari harga penilaian pabean Aceh
yang lazim menaikan dengan 50%, kemudian ditambah 10% bea masuk. Di samping itu ada
penetuan harga secara sepihak, sehingga pada umumnya barang menjadi mahal.
Hegemoni di Sulawesi
Ketika Sultan Hasanuddin menjadi Karaeng Gowa tahun 1653 dan Karaeng Karunrung
menjadi Tuma’bicara-butta setahun kemudian, keduanya mewarisi sebuah kerajaan kuat dengan
perdagangan internasional yang sedang berkembang. Pada masa tersebut, perebutan kekuasaan
politik di Sulawesi Selatan berakhir dengan kemenangan Gowa atas kerajaan-kerajaan Bugis dan
Makassar. Saat itu, kelihatannya tidak ada yang dapat mengancam kedudukan Gowa sebagai
pemimpin kekuatan politik dan ekonomi di bagian timur Nusantara. Namun, supremasi Gowa
tersebut segera berakhir oleh persekutuan tak terduga antara VOC dan Arung Palakka dari Bone
serta sebagian besar orang Bugis Bone dan Soppeng.
Hubungan antara Gowa dan VOC sejak permulaan abad ke-17 telah dibayangi oleh
persaingan untuk menguasai perdagangan rempah-rempah. Sepanjang Paruh Pertama abad ke-
17, Kompeni terus memcoba meyakinkan para Karaeng Goa (Gowa) untuk membatasi
perdagangan. Berbagai peristiwa atau konflik antar kedua belah pihak tersebut telah
memperkeruh suasana perpolitikan di Sulawesi Selatan. Sepanjang pertengahan abad ke-17, kota
pelabuhan Makassar di Somba Opu (Sambo Epo atau Samboppe dalam Bahasa Belanda saat itu)
berkembang dengan sejumlah kekayaan yang diperolehnya dari hasil perdagangan internasional.
Hal tersebut menjadi alat yang menjamin reputasi Gowa sebagai penguasa yang tidak
terkalahkan di Sulawesi Selatan dan di banyak wilayah di luar pulau. Kerajaan Gowa terkenal
sangat kuat, kapal dagang dan duta asing yang datang ke Makassar bersaksi atas kebesaran
Gowa. Namun, keberhasilan Gowa harus diperoleh dengan menyemai kebencian orang-orang
Bugis Bone dan Soppeng serta menciptakan kecemburuan dari pesaing ekonomi di daerah ini.
Gabungan dari dua faktor inilah yang kemudian membawa kejatuhan Kerajaan Gowa-Tallo
kelak.
Pada masa inilah, sosok Arung Palakka La Tenritatta muncul dalam panggung sejarah di
Sulawesi Selatan dan bangkit memimpin orang Bugis Bone dan Soppeng yang tertindas di
bawah kekuasaan Gowa. Dia dikenal dengan panggilan Petta Malampe’e Gemme’na (Pangeran
Berambut Panjang) dan Daeng Serang ketika tumbuh sebagai pemuda di Istana Gowa. Selama
Perang Makassar dan sesudahnya dia juga diberi gelar untuk menandai pencapaiannnya, To
Unru’ atau To Appaunru’, “Sang Penakluk”. Semuanya itu diperoleh selama perlawanannya
melawan Gowa dalam merebut hegemoni politik di Sulawesi Selatan.
Perang Makassar telah berlangsung dengan begitu hebatnya. Sejak tahun 1660, konflik
bersenjata antara Kerajaan Gowa-Tallo dan pihak VOC Belanda semakin memanas dengan
dikuasainya Benteng Panakkukang oleh VOC. Adanya peristiwa penggalian parit oleh para
tawanan perang Bugis (termasuk dari kalangan bangsawan) dari benteng Barombong hingga
Ujung Tana pada Juli 1660 dianggap merupakan tindakan pelecehan terhadap harga diri seluruh
bangsa Bugis. Di bawah pimpinan Arung Palakka, orang-orang Bugis tersebut kemudian
melakukan pemberontakan terhadap Gowa dan menjalin persekutuan dengan pihak VOC
Belanda. Orang-orang Bugis yang ikut bersama dengan Arung Palakka ke Batavia setelah
beberapa saat berlindung di Buton kemudian disebut dengan julukan To Angke atau Orang
Angke (berasal dari Sungai Angke yang mengalir melintasi pemukiman orang-orang Bugis di
Batavia.
Tahun 1666 adalah titik balik bagi nasib Kerajaan Gowa. Memuncaknya kegelisahan
Bone dan Soppeng di bawah kekuasaan Gowa membuat dua kekuataan Bugis ini berkeinginan
untuk meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Gowa. VOC yang memang telah lama mencari alasan
dan sekutu untuk menyerang Gowa lantaran keinginan monopoli perdagangannya terhalang oleh
Raja Gowa akhirnya menemukan alasan untuk hal tersebut. Tahun 1662, kapal Belanda De
Walvis tenggelam di perairan Makassar dan enam belas meriam serta barang lainnya diambil
pengikut Karaeng Tallo dan Karaeng Sumanna, kasus lainnya yaitu karamnya kapal
Belanda Leeuwin di kepulauan Don Duango (sumber lain menyebutnya Dayang dayangang).
pada 24 Desember 1664 dimana Sultan Hasnuddin tidak memberikan izin kepada Belanda untuk
menuju ke tempat kapal itu karam. Namun meski tidak mendapat izin, Verspreet, kepala Pos
Belanda di Makassar tetap mengirim Asisten Saudagar Cornelis Kuyff dan empat belas orang
lainnya yang kemudian terbunuh di pulau itu. Masalah tersebut tidak pernah dianggap selesai
oleh pihak Belanda, lantaran pihak Gowa meski telah dikirimi pesan oleh Cornelis J. Speelman,
tetap tidak ingin bertanggungjawab atas kejadian tersebut. Pihak VOC sendiri melihat kehadiran
Arung Palakka dan To Angke-nya sebagai pihak yang sangat berguna untuk perang melawan
Gowa. Faktor utama yang menguntungkan VOC di tahun 1666 ini adalah terlibatnya
pertempuran pribadi Arung Palakka dan Laksamana Speelman ke dalam perseteruan yang
melibatkan Kompeni dan seluruh Sulawesi Selatan. Kerjasama mereka terbukti amat penting
dalam membentuk keadaan dalam misi yang dijalankan dan mempercepat perseteruan antara
Kompeni/VOC, Bone-Soppeng dan Gowa dalam Perang Makassar.
Kerajaan Gowa-Tallo beserta dengan sekutu-sekutunya telah dalam keadaan terdesak
oleh kekuatan VOC di bawah komando Laksamana Cornelis J. Speelman serta Bone-Soppeng di
bawah pimpinan Arung Palakka. Kekalahan Gowa oleh pasukan koalisi tersebut di Benteng
Barombong pada tahun 1667 semakin memperlemah posisi kekuatan kerajaan tersebut dalam
melawan musuh-musuhnya. Hal tersebut semakin diperparah dengan semakin merosotnya
wibawa Gowa di mata kerajaan-kerajaan bawahannya. Wilayah-wilayah di sekitar Kerajaan
Gowa kini mulai meninggalkan kerajaan tersebut satu persatu dan menggantungkan nasib pada
tuan-tuan baru. Bahkan di Somba Opu, Makassar, pembelotan menjadi semakin sering terjadi.
Perundingan damai dimulai pada tanggal 13 November 1667 di sebuah desa kecil dekat
Barombong bernama Bungaya. Pihak VOC Belanda-Bugis yakin bahwa pihak Gowa-Tallo dan
sekutunya akan setuju untuk mengakhiri peperangan. Perundingan damai pun dilaksanakan di
desa Bungaya, dekat pada 18 November 1667. Dari pihak VOC-Bone hadir Speelman, Arung
Palakka, Sultan Mandarsyah dari Ternate dan beberapa bangsawan Bugis Bone dan Soppeng
yang lainnya. Adapun dari Pihak Gowa-Tallo, telah hadir Sultan Hasanuddin dan seluruh
bangsawan tinggi, kecuali Karaeng Tallo yang sedang sakit. Perundingan antara kedua belah
pihak dilakukan dalam bahasa Melayu dan Portugis. Speelman yang mewakili VOC dan Karaeng
Karunrung yang mewakili Kerajaan Gowa-Tallo, kemudian berunding dalam bahasa Portugis.
Adapun poin-poin dalam Perjanjian Bongaya (Het Bongaisch Verdrag/Cappaya ri Bungaya)
tersebut ialah:

1. Menghargai dua perjanjian sebelumnya (1660) yang dibuat Jacob Cau di Makassar dan
Karaeng Popo di Batavia.
2. Segera mengembalikan seluruh orang Belanda yang sejak dulu hingga kini melarikan diri ke
Makassar.
3. Mengembalikan seluruh meriam, peralatan, dan lain-lainnya yang tersisa dari
kapal Leuwin dan Walvisch yang kini masih ada di Makassar.
4. Mengadili semua yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan yang terjadi.
5. Mengamankan seluruh utang yang masih harus dibayar pada VOC
6. Bebaskan dan hilangkan seluruh kekuasaan Gowa atas tanah Bugis, sekutu VOC.
7. Serahkan kepada VOC dan sekutunya seluruh daerah yang direbut selama perang ini.
8. Bebaskan Turatea dari kekuasaan Kerajaan Gowa.
9. Bayar ganti rugi akibat kerusakan terhadap rakyat dan harta Sultan Ternate di Sula, bebaskan
seluruh wilayah yang selama ini dikuasai Yang Mulia sejak lama, dan bayar kompensasi
untuk lima belas meriam dan senjata-senjata yang lebih kecil yang diambil dari Sula.
10. Bayar kompensasi atas penjarahan yang dilakukan pada ekspedisi terakhir di Buton.
11. Lepaskan kekuasaan atas Bima dan serahkan kepada VOC.
12. Batasi pelayaran orang Makassar dan permintaan mereka untuk izin lewat.
13. Batalkan hak berdagang orang Makassar ke seluruh orang berkebangsaan Eropa untuk
selama-lamanya.
14. Serahkan hanya kepada VOC perdagangan pakaian dan barang-barang Cina.
15. Hancurkan seluruh benteng Makassar kecuali Somba Opu.
16. Serahkan hak atas benteng utara, Ujung Pandang, kepada VOC dan tidak lagi mencampuri
urusan orang-orang yang akan tinggal di sana.
17. Perdagangan bebas bea bagi VOC.
18. Tidak membangun lagi benteng baru tanpa persetujuan VOC.
19. Bayar kompensasi pada VOC terhadap kerusakan barang-barang akibat perang.
20. Serahkan Sultan Bima dan “kaki tangan”nya.
21. Serahkan Karaeng Bontomarannu.
22. Mensyahkan koin Belanda, besar dan kecil, di Makassar.
23. Tidak memberi bantuan langsung ataupun tidak langsung kepada Wajo, Bulo-Bulo dan
Mandar, karena negeri-negeri ini telah melakukan kesalahan terhadap VOC.
24. Membayar denda kepada VOC 1.500 budak atau yang senilai dengan itu.
25. VOC akan memberi bantuan dan persahabatan kepada orang Makassar dan sekutunya.
26. Kerajaan Gowa harus mengirim orang-orang terkemuka dari pemerintahannya untuk
berangkat ke Batavia dengan Speelman untuk meminta konfirmasi atas perjanjian ini dari
Gubernur Jenderal dan, jika dia menginginkan, orang-orang ini akan tinggal di Batavia
sebagai sandera.

Kemenangan Speelman dengan bantuan sekutu-sekutunya, Arung Palakka (Bone), Sultan


Mandarsyah (Ternate), Kapiten Jonker van Manipa (Ambon), dan Buton disambut dengan
gembira oleh pihak VOC di Batavia dengan berpesta pora. Mereka berkeliling kanal-kanal di
Batavia di atas perahu-perahu aroembasi yang dihias. Tetapi tidak demikian dengan keadaan
yang dialami oleh Speelman dan kawan-kawannya di Makassar. Mereka terserang wabah
penyakit. Sesuai dengan isi Perjanjian Bongaya, maka Benteng Ujung Pandang
atau Jumpandang (Jou Parden) diambil alih oleh Speelman. Istana dan rumah-rumah adat
Kerajaan Gowa yang ada di dalam benteng tersebut di bumihanguskan, dan diganti dengan
bangunan bergaya Eropa. Namanya kemudian diganti menjadi Fort Rotterdam, sesuai dengan
nama tempat kelahiran Speelman yakni Rotterdam. Dengan kekalahan Sultan Hasanuddin,
wilayah Makassar terpecah ke dalam dua kekuasaan. Benteng Ujung Pandang/Fort Rotterdam
dan sekitarnya sampai ke utara di bawah kekuasaan VOC, kecuali daerah Kerajaan Tallo.
Sedangkan di bagian selatan, yakni Benteng Somba Opu dan sekitarnya masih tetap dimiliki oleh
Kerajaan Gowa.
Ternyata banyak pembesar Kerajaan Gowa dan sekutu-sekutunya yang menolak isi
Perjanjian Bongaya tersebut. Tiga orang sekutu terdekat Sultan Hasanuddin, Karaeng Tallo,
Karaeng Lengkese, dan Arung Matoa Wajo To Sengngeng, tidak setuju kepada perjanjian-
perjanjian tersebut. Mangkubumi Kerajaan Gowa, Karaeng Karunrung, merupakan salah seorang
pembesar istana yang menentang diadakannya Perjanjian Bungaya. Pada 21 April 1668,
pertempuran terjadi lagi di bawah pimpinan Karaeng Karunrung. Pasukan-pasukan inti Gowa
bergerak menuju Fort Rotterdam. Dalam pertempuran itu, Arung Palakka menderita luka-luka.
Tanggal 5 Agustus 1668, Karaeng Karunrung sekali lagi menyerang Fort Rotterdam. Sayang
penyerangan tersebut gagal karena VOC mendapatkan bantuan dari pasukan Bugis dan Ternate.
VOC dipimpin oleh Speelman lalu memblokade perairan Makassar secara ketat.
Sementara itu pasukan Bugis pimpinan Arung Palakka memusnahkan sawah-sawah dan ladang-
ladang di sekitar Somba Opu, sehingga persediaan pasokan makanan menjadi berkurang. Pada
April 1669, Speelman membangun meriam-meriam besar baru yang larasnya diarahkan langsung
ke Benteng Somba Opu. Sementara itu, bala bantuan dari Batavia terus bertambah. Adapun
penggalian parit-parit terus berjalan sampai Juni dan telah mendekati Istana Raja Gowa di
Somba Opu. Akhirnya, setelah perang habis-habisan selama 10 hari, pada 24 Juni 1669 Benteng
Somba Opu jatuh ke tangan VOC. Sebanyak 270 pucuk meriam besar, kecil, termasuk
diantaranya meriam keramat “ana’ Makassar” dirampas oleh Speelman. Setelah penaklukkan
Somba Opu, VOC memastikan bahwa benteng tersebut tidak akan pernah lagi digunakan sebagai
benteng utama. Benteng dan Istana Somba Opu kemudian dihancurkan rata dengan tanah.
Seluruh senjata yang masih ditemukan di benteng itu dibuang ke laut dan dinding benteng yang
menghadap ke utara dan ke laut Selat Makassar beserta bastion lautnya dihancurkan.
Penaklukkan Benteng Somba Opu merupakan salah satu perang tersulit yang pernah dihadapi
oleh VOC di kawasan timur Kepulauan Nusantara.
Satu-satunya benteng pertahanan Kerajaan Gowa-Tallo yang masih bertahan ialah
Benteng Kale Gowa dan Ana’ Gowa. Setelah Benteng Somba Opu dihancurkan, maka Sultan
Hasanuddin mengundurkan diri ke Kale Gowa, di Maccini Sombala. Sebagian alat-alat
pertahanan yang dapat diselamatkan dari Benteng Somba Opu, dipusatkan penempatannya di
Benteng Kale Gowa. Adapun Karaeng Karunrung yang berkedudukan di Bontoala,
mengundurkan diri ke Benteng Ana’ Gowa di Taenga yang terletak di seberang Sungai Je’ne
Berang.
Sementara itu, Sultan Hasanuddin mengundurkan diri dari takhta Kerajaan Gowa. Beliau
digantikan oleh putranya, I Mappasomba yang bergelar Sultan Amir Hamzah. Usaha pertama
yang dilakukannya ialah dengan mencoba melakukan hubungan diplomatik dengan Susuhunan
Amangkurat I dari Kerajaan Mataram Islam untuk meminta bantuan, namun tidak berhasil.
Sementara itu, telah terjadi keretakan di antara kalangan pembesar Kerajaan Gowa. Pada 27 Juni
1669, terjadi perjanjian baru antara VOC dengan Gowa. Dalam perjanjian tersebut, Kerajaan
Gowa akan berdamai secara penuh kepada VOC di Batavia. Sultan Amir Hamzah, Karaeng Tallo
dan Karaeng Lengkese, mengirim surat kepada G.G.J. Maetsuycker, dalam mana dinyatakan
bahwa mereka akan datang ke Batavia untuk mengekalkan perdamaian.
Pada 20 Desember 1669, di Batavia diadakanlah upacara perdamaian yang semarak. Dari
pihak Gowa, Karaeng Lengkese dan Karaeng Tallo datang bersama 400 orang pengikutnya.
Karaeng Bisei hadir sebagai wakil dari ayahnya Sultan Amir Hamzah dengan pengikutnya
sebanyak 140 orang. Karaeng Karunrung mengirim putranya untuk mewakili dirinya. Juga hadir
Kaicil Kalumata, seorang Pangeran Ternate yang menikah dengan saudara Karaeng Tallo,
dengan 150 orang pengikutnya. Arung Palakka mewakili sekutu-sekutunya dengan 800 orang
pengikut. Speelman dan Kapiten Jonker van Manipa hadir dengan mengenakan pakaian
kebesaran masing-masing.
Pada upacara itu, menurut protokol, semua karaeng menyerahkan kerisnya kepada G.G.J.
Maetsuycker, sebagai tanda penyerahan. Speelman lalu mengucapkan syukur bahwa perang yang
paling besar ini dan telah berlangsung bertahun-tahun lamanya sudah berhasil dimenangkan serta
diakhiri oleh VOC. Setelah itu, G.G.J. Maetsuycker menyerahkan kembali keris-keris para
pembesar Kerajaan Gowa tersebut. demikianlah pertempuran-pertempuran telah berakhir. VOC
lalu meratakan semua benteng pertahanan Kerajaan Gowa, baik di sepanjang pesisir pantai
Makassar (kecuali Fort Rotterdam) maupun yang ada di pedalaman. Semuanya dilakukan agar
melemahkan kekuatan militer Kerajaan Gowa, terutama kekuatan armada lautnya. Setelah
berakhirnya Perang Makassar, tidak ada lagi kerajaan maritim di Kepulauan Nusantara bagian
timur yang mengganggu dominasi dan monopoli perdagangan VOC.
Sumber
Sartono Kartodirdjo. 1998. Pengantar Sejarah Indonesia Baru:1500-1900. Jakarta:
PT.Gramedia Pustaka Utama.

Sartono Kartodirdjo,dkk. 1975. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta:Balai Pustaka.

Leonard Y. Andaya, Warisan Arung Palakka Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17,
(Makassar: Ininnawa, 2004).
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah, (Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2011).

Anda mungkin juga menyukai