NAMA :
2019
Hegemoni Di Aceh
Sementara itu, Aceh masih dapat bertahan terhadap persaingan dari orang Barat. Aceh
lama merupakan suatu kerajaan pantai. Meskipun banyak daerah pedalaman merupakan
taklukannya. Aceh lebih merupakan suatu kerajaan laut. Perdagangan yang ramai antara
Sumatera dan India hanya mengalami kemacetan sebentar ketika orang-orang Portugis tersebut
merebut Malaka. Pedir merupakan pelabuhan terpenting dalam ekspor lada dari Sumatera dan
Aceh, mungkin juga telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut sebelum Aceh
menguasai daerah ini. Pada tahun 1534 Diego da Siveira mendapatkan perahu-perahu Gujarat dan Aceh
di Bab el Mandib, pintu masuk Laut Merah. Menurut Boxer, dapat diterima bahwa Aceh telah mengambil
bagian dari perdagangan lada pada akhir abad ke-15.
Pada tahun 1554-1555, kapal-kapal Portugis di kirim ke Laut Merah untuk menangkap kapal-
kapal Aceh dan Gujarat. Akan tetapi mereka tidak berhasil. Alasan yang dibuat-buat oleh orang Portugis
untuk merasa syah dalam menangkap kapal-kapal ini adalah bahwa kapal-kapal itu tidak mempunyai izin
yang dikeluarkan oleh pemerintah Portugis.
Perdagangan yang dijalankan Aceh di Laut Merah cukup besar. Prajurit-prajurit Aceh sangat
perkasa dan mutu kemiiterannya tinggi. Hal ini diceritakan sendiri oleh orang Portugis yang terlibat
dalam pertemuran yang terjadi ketika mereka hendak menahan kapal-kapal Aceh yang membawa rempah-
rempah ke Laut Merah.
Aceh pada pertengahan abad ke-16 betul-betul merupakan ancaman bagi Malaka yang pada
waktu itu ada di tangan Portugis. Oleh sebab itu orang Portugis selalu merasa cemas mengenai Aceh yang
pada setiap waktu dapat menyerang Malaka.
Aceh begitu memusingkan orang-orang Portugis, sehingga uskup dari Goa, yaitu Jorge Temudo
mengusulkan kepada raja Portugal pada tahun 1569 untuk memblokade Aceh selama tiga tahun berturut-
turut blokade ini membuat ekonomi kesultanan Aceh mengalami kerugian, yang berakibat melemahnya
kerajaan ini, dan pada akhirnya lebih mudah untuk direbut. Begitu baik kelihatannya strategi yang
dilekukan oleh Jorge Temudo, tetapi dalam kenyataanya tidak terwujud. Malah sebaliknya bukanlah
orang-orang Portugis yang memblokade Aceh dan mengadakan penyerbuan terhadap Aceh yang telah
terkepung, akan tetapi Aceh yang mengadakan penyerbuan ke Malaka untuk beberapa kali meskipun
mereka mengalami perlawanan.
Semua menyadari bahwa Aceh harus dibuat lemah untuk kepentingan Portugis. Akan tetapi
meskipun banyak orang-orang Portugis yang mengusulkan penyerbuan terhadap Aceh dengan
perhitungan-perhitungan mereka akan keperluan mereka untuk penyerbuan ini, dan bilamana Aceh
ditangan mereka berapa besar keuntungan yang akan diperoleh, semua rencanan macet karena Portugis
tidak memunyai kekuatan armada yang cukup kuat untuk melakukan penyerbuan terhadap Aceh.
Pada akhir abad ke-16, keadaan di Eropa membuat orang-orang Portugis tidak berbuat apa-apa
terhadap Aceh, karena uang dan tenaga manusia dibutuhkan di Eropa. Pada lain pihak Aceh yang berada
di bawah pemerintahan ‘Ala-ud-Din-Ri’ayat-Syah mengalami kesukaran dalam kerjaan karena mereka
terdesak oleh Johor, sehingga tidak mempunyai kesematan yangbaik untuk menyerang Malaka.
Sultan Iskandar Muda selama 20 tahun berhasil menekan perdagangan yang dijalankan oleh
oroang-orang Eropa. Yang membuatnya mundur adalah kekalahan yang dialami, ketika ia menyerang
Malaka pada tahun 1629. Kekalahan ini mungkin merupakan suatu pukulan besar bagi kepercayaan diri
sendiri. Karena kekalahan ini ia mengadakan perjanjian dengan orang-orang Belanda dan memberi
kepada mereka izinuntuk selama 4 tahun berdagang di seluruh kerajaan.
Pada akhir masa pemerintahan Iskandar Muda di daerah pantai barat Sumatera pemerintahan
setempat mulai merasakan kelonggaran dari pengintrolan pusat sehingga panglima-panglima mengambil
keuntungan bagi diri sendiri dalam mengadakan perdagangan dengan pedagang-pedagang asing.
Kesukaran yang dialami oleh orang-orang Belanda dalam perdagangan mereka dengan pantai
Barat Sumatera, mereka hendak menuntut kepada sultan untuk memberi penjelasan tentang sikap
panglima-panglima ini. Akan tetapi mereka tidak mendapat jawaban yang mereka inginkan. Karena sultan
telah memalingkan persahabatannya kepada orang-orang Portugis dan karena orang-orang Belanda telah
memberi bantuan kepada Johor.
Sudah barang tentu Malaka sebagai duri di mata Aceh mendapat giliran serangan, yaitu
pada tahun 1629, akan tetapi Aceh mengalami banyak kerusakan dan kehilangan banyak
pasukannya, diantaranya Sri Maharajo gugur dan laksamana tertawan. Malaka mendapat bantuan
dari Johor dan Patani.
Politik ekspansi Iskandar Muda tidak menyimpang dari garis yang diikuti para raja Aceh
sebelumnya, suatu tindakan yang wajar, tidak lain karena seperti telah dibentangkan di atas
ancaman datang dari dua lawannya, Malaka dan Johor.
Di seberang Selat Malaka para raja masih mempunyai loyalitas kepada Johor, terutama
Pahang, yang setelah ditaklukan pada tahun 1617, masih berkali-kali melakukan pemberontakan
kepada Aceh pada tahun 1630 dan perang kedua pada tahun 1635. Dalam perang yang pertama
Pahang mendapat bantuan dari Johor.
Terhadap Pahang, Iskandar Muda juga telah menjalankan politik mempererat hubungan
hubungan keluarga dengan mengambil Raja Sulung, putra Sultan Ahmad Shah sebagai menantu.
Kalau Pahang dan Johor perlu dikuasai karena mempunya kedudukan yang strategis dalam
perdagangan, Kedah hendak ditaklukan oleh Iskandar Muda dengan tujuan menghancurkannya
sebagai penghasil lada, suatu bahan yang menjadi hasil utama di Aceh dan Sumatera.
Pada puncak kemegahan Aceh hegemoni politik dan ekonominya mencakup Pedir, Pasai,
Deli, Aru, Daya, Labo, Singkel, Batak, Pasaman, Tiku, Priaman, dan Padang. Hegemoni politik
menjadi dasar pokok untuk mempertahankan monopoli. Keuntungan pemegang monopoli adalah
pemungutan bea-cukai dari barang-barang yang keluar masuk pelabuhan.
1. Menghargai dua perjanjian sebelumnya (1660) yang dibuat Jacob Cau di Makassar dan
Karaeng Popo di Batavia.
2. Segera mengembalikan seluruh orang Belanda yang sejak dulu hingga kini melarikan diri ke
Makassar.
3. Mengembalikan seluruh meriam, peralatan, dan lain-lainnya yang tersisa dari
kapal Leuwin dan Walvisch yang kini masih ada di Makassar.
4. Mengadili semua yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan yang terjadi.
5. Mengamankan seluruh utang yang masih harus dibayar pada VOC
6. Bebaskan dan hilangkan seluruh kekuasaan Gowa atas tanah Bugis, sekutu VOC.
7. Serahkan kepada VOC dan sekutunya seluruh daerah yang direbut selama perang ini.
8. Bebaskan Turatea dari kekuasaan Kerajaan Gowa.
9. Bayar ganti rugi akibat kerusakan terhadap rakyat dan harta Sultan Ternate di Sula, bebaskan
seluruh wilayah yang selama ini dikuasai Yang Mulia sejak lama, dan bayar kompensasi
untuk lima belas meriam dan senjata-senjata yang lebih kecil yang diambil dari Sula.
10. Bayar kompensasi atas penjarahan yang dilakukan pada ekspedisi terakhir di Buton.
11. Lepaskan kekuasaan atas Bima dan serahkan kepada VOC.
12. Batasi pelayaran orang Makassar dan permintaan mereka untuk izin lewat.
13. Batalkan hak berdagang orang Makassar ke seluruh orang berkebangsaan Eropa untuk
selama-lamanya.
14. Serahkan hanya kepada VOC perdagangan pakaian dan barang-barang Cina.
15. Hancurkan seluruh benteng Makassar kecuali Somba Opu.
16. Serahkan hak atas benteng utara, Ujung Pandang, kepada VOC dan tidak lagi mencampuri
urusan orang-orang yang akan tinggal di sana.
17. Perdagangan bebas bea bagi VOC.
18. Tidak membangun lagi benteng baru tanpa persetujuan VOC.
19. Bayar kompensasi pada VOC terhadap kerusakan barang-barang akibat perang.
20. Serahkan Sultan Bima dan “kaki tangan”nya.
21. Serahkan Karaeng Bontomarannu.
22. Mensyahkan koin Belanda, besar dan kecil, di Makassar.
23. Tidak memberi bantuan langsung ataupun tidak langsung kepada Wajo, Bulo-Bulo dan
Mandar, karena negeri-negeri ini telah melakukan kesalahan terhadap VOC.
24. Membayar denda kepada VOC 1.500 budak atau yang senilai dengan itu.
25. VOC akan memberi bantuan dan persahabatan kepada orang Makassar dan sekutunya.
26. Kerajaan Gowa harus mengirim orang-orang terkemuka dari pemerintahannya untuk
berangkat ke Batavia dengan Speelman untuk meminta konfirmasi atas perjanjian ini dari
Gubernur Jenderal dan, jika dia menginginkan, orang-orang ini akan tinggal di Batavia
sebagai sandera.
Leonard Y. Andaya, Warisan Arung Palakka Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17,
(Makassar: Ininnawa, 2004).
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah, (Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2011).