Anda di halaman 1dari 17

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Perekonomian Nusantara Pada Masa VOC


Sejak dahulu, bangsa-bangsa di dunia tertarik untuk mengusai
Indonesia, terutama bangsa-angsa Barat. Hal itu disebabkan oleh letak
Indonesia yang sangat strategis dan kekayaan alamnya berlimpah-limpah.
Dikatakan strategis karena Indonesia berada di persimpangan dua samudera
dan dua benua. Selain itu Indonesia juga terletak di jalur perdagangan dunia.
Di samping tanahnya sangat subur, Indonesia juga mempunyai kandungan
alam yang banyak, seperti minyak. emas, dan tembaga.
Sama halnya dengan bangsa Portugis, dalam masa modern awal,
bangsa Belanda pun mengaitkan perdagangan (ekonomi) dan politik
(kekuasaan). Berbeda dengan bangsa Portugis, Belanda melaksanakan
perdagangan antarbenua melalui suatu badan dagang yang dibentuk khusus
untuk itu. Dengan demikian, sekalipun dalam perdagangan niaga antar benua
perusahaan perdagangan dari bangsa Belanda mendapat perlindungan politik,
akibatnya perusahaan perdagangan ini bukan menjadi milik negara,
melainkan warga negaranya. Jalan laut kea rah Timur dilakukan bangsa
Belanda sejak akhir abad ke-16 dengan menggunakan peta pelayaran yang
dilakukan oleh bangsa Portugis.
Banyaknya perusahaan pelayaran niaga yang mengklaim memegang
monopoli perdagangan antar kota masing-masing dengan Asia dengan
sendirinya menimbulkan persaingan. Persaingan yang mengakibatkan
merosotnya keuntungan menyebabkan pihak Amsterdam dan Zeeland
memutuskan untuk menyatukan semua perusahaan pelayaran niaga dalam
satu perusahaan saja. Pada tanggal 20 Maret 1602 didirikannya perusahaan
dagang yang dinamakan Verenigde Oostindische Compagnie (Pusponegoro.
2010:29). Hal ini timbul karena jumlah permintaan akan rempah-rempah dari
Cina dan Eropa meningkat pesat, sehingga mereka mencari sumber rempah-
rempah itu sendiri agar dapat membelinya dengan murah dan menjualnya
dengan tinggi.
Tujuan VOC untuk menguasai perdagangan di Indonesia dengan
sendirinya membangkitkan perlawanan pedagang pribumi yang merasa
langsung terancam kepentingannya. Sistem monopoli perdagangan
bertentengan denga sistem tradisional yang berlaku, tindakan-tindakan

3|
dengan paksaan dan kekerasan menambah kuat sikap permusuhan
(Kartodirdjo, 2014:83).
Suatu ciri lain sistem pedagangan VOC adalah yang dinamakan
dengan partnership (Kemitraan). VOC mengupayakan suatu sisem monopoli
atas rempah-rempah dengan cara membina kemitraan dengan para pengusa
lokal. Sampai sekitar pertengahan abad ke-16 kemitraan ini berhasil di
bangun karena para penguasa lokal membutuhkam VOC untuk memerangi
Portugis. Pihak VOC juga berkepentingan secara ekonomis maupun politis
terhadap Portugis. Setelah dominasi portugis lenyap dari Nusantara karena
perlawanan VOC dan para penguasa lokal, sejak sekitar abad ke-16 kemitraan
into dibangun oleh VOC dengan saah satu pihak yang bertikai dalam suatu
kerajaan tertentu. Hak isimewa yang dimiliki VOC atau yang di kenal dengan
Hak Octrooi yang berisi : (a) hak monopoli perdagangan (b) hak dalam
membuat uang (c) hak dalam mendirikan benteng (d) hak dalam
melaksanakan perjanjian bersama kerajaan yang ada di Indonesia (e) hak
dalam membentuk tentara. Hak Octrooi ini berlaku dalam jangka waktu
tertentu dan sesudahnya dapat diperpanjang kembali.
Perdagangan cengkeh mulai meningkat dengan tajam sekitar 1520 dan
mencapai puncaknya pada sekitar 1602. Ketika VOC berhasil memperkuat
sistem perdagangan monopolinya di Maluku, perdagangan rempah-rempah
dari Maluku menduduki posisi yang sangat penting dalam kurun niaga.
Keadaan itu tidak berbeda dengan pala dan fuli (dihasilkan dari pohon
Myristiea Fragrans) yang di hasilkan di kepulauan Banda. Karena Pulau
Banda ini tidak memiliki organisasi politik kerajaan atau kesultanan maka
mudah J.P coen untuk menghancurkan penduduk kepulauan ini pada 1621
dan menyerahkan perkebunan pala mereka untuk di kelola oleh pihak swasta.
Perdagangan rempah-rempah sekitar 1570-1620 di kuasai oleh VOC.
Tidak hanya cengkeh, pala dan fuli tetapi VOC juga ingin mendapat
akses ke produksi lada yang dikuasai kerajaan Aceh. Produksi lada
dikendalikan oleh Aceh melalui para “panglima” nya yang ditempatkan di
titik strategis sepanjang garis-garis pantai tersebut. Upaya VOC untuk
mendapat akses ke produksi lada dengan cara melalui perundingan dengan
penguasa lokal, hingga berhasil menyingkirkan panglima Aceh. Dan suatu
perjanjian yang di buat 1662 memberikan hak bagi VOC untuk membeli
seluruh lada di wilayah itu (Perjanjian Painan). Bukan hanya di Aceh tetapi
VOC juga berhasil menguasai lada yang ada di Banten. Kerajaan Banten pun

4|
berhasil menguasai produksi lada di Sumatera Selatan yang tidak di
kendalikan oleh kerajaan Aceh, hingga menyebabkan kota dagang Banten
menjadi ramai dan menggantikan peran Malaka. VOC pada awal abad-17
ingin menguasai kerajaaan ini namun gagal, dan harus menyngkir
keperbatasan timurnya dimana akhirnya mereka berhasil membangun sebuah
benteng (Batavia) sebagai salah satu pusat kegiatan perdagangan di Asia.

2.1.2. Perkembangan Perekonomian VOC


Pengaruh VOC dan EIC dalam pelayaran-niaga Samudra Hindia
mendapat dorongan utama kedua badan dagang raksasa dari Belanda dan
Inggris itu mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya dari perdagangan
rempah-rempah. Untuk itu mereka menyingkirkan para pedagang Iberia
(Portugis dan Spanyol) yang lebih dulu memasuki Samudra Hindia.
Sekalipun motivasi Portugis dan Spanyol yakni menyebarkan agama, namun
ketika mereka berhasil melintasi Tanjung Harapan dan berhadapan dengan
kekayaan pelayaran-niaga Samudra Hindia maka unsur komersial menjadi
lebih dominan.
Alasan mengapa orang Eropa Barat dapat merebut pasaran Samudra
Hindia yang telah di masuki Portugis karena perbedaan manajemen
perdagangan dimana organisasi perdagangan orang Iberia adalah “perusaaan
Negara” karena dikuasai oleh raja dan para bangsawan, sedangkan
perusahaan-perusahaan dagang Inggris dan Belanda (EIC dan VOC) adalah
perusahaan swasta milik kaum “Bourgoisie” sebagai pemegang saham.
Perbedaan dalam organisasi perdagangan memang dampak penting dalam
jangka panjang. Perusahaan negara mencari keuntungan tetapi demi kerajaan,
perusahaan swasta mencari keuntungan juga tetapi demi para saudagarnya
sendiri. Para pejabat Portugis dan Spanyol adalah pegawai raja yang
melakukan tugas kerajaan. Yang mengambil kesempatan untuk memperkaya
diri melalui perdagangan itu. Hal ini terjadi juga dalam perusahaan swasta
tetapi lebih mudah diawasi oleh pemimpin perusahaan.
Sistem pembukuan VOC, memang berwujud ganda. Pada satu pihak
ada pembukuan yang dilakukan di negeri Belanda oleh pimpinan perusahaan,
pada pihak Batavia pun memiliki sistem pembukuan sendiri, keduanya tidak
pernah di cocokan, mnegingat komunikasi yang sulit dan memang tidak
mudah untuk dilakukan. Sebab itu orang tidak pernah dapat mengatakan
banyak modal yang dimiliki VOC, seberapa banyak sesungguhnya

5|
keuntungan yang diperolehnya setiap tahun. Tetapi jelas sekali bahwa selama
abad ke-17 VOC mencapai keuntungan yang besar, dan para pemegang
saham mendapat dividen secara teratur (Gaastra, 1980).
Sekalipun kemudian mengalami kemunduran secara ekonomis, tetapi
para pimpinan perusahaan dapat meyakinkan para pemegang saham atas
kemampuan VOC. Sebab itu VOC tetap bertahan sampai akhir abad 18. Hal
yang sama tidak bisa dikatakan mengenai kegiatan perdagangan yang
dikendalikan kerajaan Portugis.Aspek lain dari perusahaan besar dari Eropa
Utara itu adalah apa yang dinamakan “Administrative trade” sistem
perdagangannya di tunjang oleh sebuah administrasi yang terlepas dari sistem
kepegawaian kerajaan.
VOC tidak menguasai seluruh ekonomi Nusantara, melaikan hanya
menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di Eropa. Kota
dagang dan jalur pelayaran yang dikuasai itu hanya untuk menjamin
monopoli atas komoditi itu (rempah-rempah). Selain itu VOC tidak
memikirkan untuk membangun sistem pasokan kebutuhan hidup penduduk,
kecuali bahan pakaian yang di produksi di India yang dikuasinya juga. Maka
ditengah itu muncul celah yang disediakan sistem VOC itu muncul pola
perdagangan lain yang sama sekali berada dalam tangan penduduk lokal.
Pola perdagangan yang dilakukan oleh VOC tidak bersifat kapitalis
dalam arti mengejar keuntungan dan kekayaan untuk investasi dan perluasan
usaha. Sistem nilai yang berada dibalik kegiatan perdagangan ini lain sama
sekali dan mengacu pada sistem budaya setempat. Pada kasus Jawa
nampaknya motivasi utama para penguasa ikut dalam perdagangan adalah
untuk memperkuat kekuasaannya melalui kekayaan. Dalam kasus Bugis-
Makassar unsur solidaritas sosial nampaknya lebih menonjol. Selain itu di
wilayah Priangan, VOC berhasil mengadakan kerjasama dengan bupati untuk
mengerahkan penduduk menanam kopi untuk di jual pada VOC.
“Preangerstelsel” itu terutama di bagian wilayah Priangan. Pada abad 17
VOC mulai membeli kopi di wilayah Timur Tengah karena ada peminatnya
di Eropa. Untuk meningkatkan hasil produksi maka VOC membuka
perkebunan kopi sendiri. Dengan cara hubungan politi dengan Bupati
Priangan yang dianggap menjadi pendukung VOC. Selebihnya VOC di
Nusantara tidak mengadakan intervensi dalam produksi agararia yang
terutama terdiri dari lada. VOC hanya berusaha memperoleh hak pembelian
dan penjualan tunggal (monopoli) saja. Namun tidak seluruh wilayah

6|
produksi lada bisa dikuasai VOC , karena terutama Aceh berhasil
menghindari sistem monopoli tersebut.
A. VOC dikepulauan Maluku Utara
Bahwa pada 1570 sultan Babullah telah berhasil mengusir Portugis
dari Maluku. Namun Maluku telah diincar oleh Spanyol untuk merebut atau
menguasai pusat Cengkih hingga berhasil menguasinya dalam suatu
perjanjian antara pihak Spanyol dengan Sultan Said dari Ternate yang
menetapkan bahwa kerajaan ternate mengakui kekuasaan dan memberi hak
monopoli cengkih kepada Spanyol. Sementara itu, banyak pihak yang
menolak untuk kekuasaan Spanyol di Maluku. Hingga mendengar bahwa di
Banten telah tiba armada Portugis dari negeri Belanda. Para bangsawan pun
ada yang dikirim ke Banten, untuk meminta bantuan agar Ternate bebas dari
Spanyol dengan diberikan monopoli Cengkih. Hal tersebut di setujui, dengan
teknik mereka tidak menyerang karena kekurangan pasukan tetapi dengan
mendirikan benteng pertahanan VOC dekat dengan benteng Spanyol. VOC
membangun 2 benteng, tembok pertahanan. Dengan perlahan teknik
Monopoli perdagangan pun di mulai dengan bisa memasuki Bugis dan
Makasar untuk membeli cengkih secara tersembunyi untuk bisa dijual
kembali ke pasar Eropa.
Pelaksanaan administrasi monopoli di Maluku Utara itu dilakukan
oleh sebuah birokrasi yang memusat dikota Ternate. Berbeda di Ambon dan
di Banda, di Maluku VOC tidak memiliki administrasi yang tersebar
diwilayah itu. VOC mengharapkan dapat mengendalikan perdagangan
cengkih secara tuntas dengan menghilangkan para penyelundup orang Jawa,
Melayu, dan Banda. Selain itu cengkih di setiap tahunnya menguntungkan
bagi pihak VOC. Jika terjadi kemerosotan harga cengkih di Eropa, maka
terjadi pengurangan produksi di Maluku agara dapat menormalkan kembali
harga cengkih. Alat pembayaran di Maluku menggunakan Ringgit (realen).

B. VOC di Kepulauan Ambon


Yang dapat kita ketahui bahwa VOC berkuasa lebih dulu di Ambon
dari pada di Ternate. Para masyarakat Hitu disana meminta bantuan kepada
Belanda untuk melindungi dari searangan Portugis. Tujuan Belanda ke Hitu
yakni untuk mengambil keuntungan yang maksimal dari perdagangan
cengkih. Keinginan VOC atas Ambon untuk menjalankan sistem monopoli
cengkih mendapatkan perlawanan Hoamoal dan Hitu. Namun, pertarungan

7|
itu, berlangsung hingga 1658. Kemenangan di tangan VOC karena terknologi
perangnya jauh lebih baik dari pada penduduk lokal. Dengan demikian VOC
dapat membangun sebuah sistem monopoli disana. Mereka diwajibkan untuk
menanam cengkih. Namun tetapi jika jumlah produksi cengkih di pasar Eropa
berlebihan dan harganya merosot, VOC mengadakan hongitochen dan
menebas pohon cengkih disetiap negeri. Namun jika kenaikan kebutuhan
cengkih melesat maka VOC memerintahkan untuk menanam kembali
tanaman cengkih.

C. VOC Kepulauan Banda


kepulauan Banda terdiri dari pulau besar yakni pulau Banda dan
Banda Besar atau Lontor. Setiap desa berdiri sendiri dengan pimpinan
seorang tetua yang dalam bahasa Melayu yakni Orangkaya.
Kepulauan Banda dalam masa modern awal adalah satu-satunya
wilayah yang dikaruniai oleh tuhan dengan pohon Pala (Myristica fragrans)
yang menghasilkan buah pala. Produk dagangnya adalah biji pala dan Fuli
(kulit tipis yang membau biji pala). Awal untuk menguasai kepulauan Banda
yakni dengan menggunakan sejata dan permasalahan tentang pembangunan
benteng, hingga menimbulkan kesimpulan dari para orang kaya bahwa VOC
datang tidak bermaksud baik. Sejak saat itu terjadi permusuhan antara VOC
dengan penduduk Banda. Penduduk Banda malah lebih suka berdagang
dengan Inggris, hal tsb lebih mencemaskan VOC. Dengan penyerangan
masyarakat Banda pada VOC yang mengakibatkan dikerahkannya tentara
VOC untuk membunuh masyarakat yang melawan hingga banyak yang tewas
dan kelaparan. Setelah praktis melenyapkan penduduk pulau Banda, VOC lalu
menyatakan bahwa kebun-kebun pala menjadi miliknya. Masalahnya
bagaimana membuat kebun-kebun itu produktif karena para masyarakat
setempat telah di bunuh. Jalan keluar yang di tempuh VOC adalah dengan
memberi hak pakai atas kebun itu kepada bekas tentara dan pegawai VOC
melalui tenaga kerja budak yang dikumpulkannya dari segenap penjuru tanah
air.
D. VOC di Mataram
Kota- kota dagang di pantai utara Jawa jatuh ke tangan VOC karena alasan
lain. Semasa Sultan Agung (1613-16177) kota pelabuhan dikuasai oleh
kerajaan. Para bupati tidak bisa berdagang sendiri tanpa izin keraton, malah
kegiatan mereja di batasi.

8|
Sepeninggal sultan Agung kerajaan mataram jatuh ke raja yang lemah.
Dalam keadaan tersebut Amangkurat I meminta bantuan VOC umpamanya
dalam menghadapi pemberontakan Trunojoyo. VOC menuntut imbalan
setelah perang usai. Sebab itu berangsur-angsur pantai utara pulau Jawa
diserahkan kepada VOC. Pada 1677, praktis semua bupati tunduk terhadap
VOC, bukan lagi pada keraton. VOC membatasi kegiatan perdagangan mereka
baik ke Maluku maupun Banten. Dengan demikian berangsur-angsur pula
peranan saudagar dari India atau Timur Tengah menghilang dan selanjutnya
bupati berhubungan langsung dengan VOC atau melalui para pedagang Cina.
Dapat dikatakan bahwa 1680 VOC berhasil untuk menguasai semua jalur
perniagaan rempah-rempah di Nusantara. Kota pelabuhan pengekspor rempah-
rempah dikuasai dan para saudagar asing yang menetap di kota dagang itu
dihalau, melalui administrative trade yang sangat efektif VOC berhasil
mengorganisasikan Nusantara dari pola pelayaran-niaga Samudra Hindia.
Hingga bangsa Barat datang dengan industrialisasinya yang membutuhkan
bahan baku lain. Dalam perkembangan itu kapitalisme Samudra Hindia tidak
sanggup bersaing. Sejak itu bangsa barat yang etlah menguasai pelayaran
niaga beralih pada pertanian. Maka munculah suatu proses komersialisai
pertanian sebagai dari bagian kolonialisme di Asia. Asia sejak itu menjadi
pemasok bahan-bahan baku industri di Eropa meningkat pesat sejak abad 19.
2.1.3 Beberapa Kebijaksanaan Belanda Yang Menyebabkan Orang –
Orang Indonesia Terus Miskin:
a. Membeli murah, menjual mahal.
Belanda selalu membeli hasil bumi orang-orang Indonesia dengan harga
murah, sedangkan bahan-bahan makanan, kain dan barang-barang lain dijual
mahal kepada penduduk. Hal ini menyebabkan penduduk tanah jajahan terlalu
miskin untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok itu. Belanda menjalankan
sistem pembelian dan penjualan ini dengan tujuan untuk memperoleh barang-
barang yang lebih banyak dibanding barang-barang yang dijualnya.
b. Menjaga jumlah barang yang dimonopoli.
Belanda terus berusaha menjaga barang-barang yang dimonopoli supaya
harganya tidak merosot. Peraturan itu mereka jalankan agar permintaan pasar dan
harga tetap seimbang. Jika permintaannya tinggi, maka pengeluaran dilebihkan
dengan syarat harganya tidak jatuh. Biasanya hasil yang berlebihan dikurangi
dengan menebang dan memusnahkan pohon-pohon, membakar atau mengubur
hasil-hasil yang berlebihan itu supaya harganya tetap tinggi. Misalnya, jika kopi

9|
atau lada sangat dibutuhkan di Eropa, maka orang-orang Indonesia akan dipaksa
menanam lebih banyak pohon-pohon kopi dan lada. Tanaman-tanaman ini
membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk berbuah. Tetapi apabila sampai waktu
bagi tanaman-tanaman ini berbuah, permintaan terhadapnya mungkin sudah jatuh.
Kalau hal itu terjadi dan gudang-gudangnya masih penuh, maka kopi dan lada
yang berlebihan itu akan dimusnahkan untuk mempertahankan harganya di Eropa.
Sementara itu harga yang dibayar kepada penanam-penaman di Indonesia
dikurangkan pula. Orang-orang Belanda itu sendiri pun tidak banyak mendapat
faedah dari kebijaksanaan monopolinya itu sebab mereka tidak dapat melakukan
monopoli secara optimal. Pedagangpedagang Arab dan Inggris membanjiri pasar-
pasar di Indonesia dengan kain-kain yang jauh lebih murah dari pada kain-kain
Belanda. Hal ini menyebabkan harga barang-barang yang dijual Belanda menjadi
sangat murah.
Pada pertengahan abad ke-18 barang-barang Belanda dijual dengan lebih
mahal di pasarnya sendiri. Jika kekuasaan Inggris semakin kuat di India, maka
mereka akan memperluas perdagangannya ke Indonesia pula. Sebelum abad ke-18
berakhir, Belanda terpaksa mengakui bahwa sistem monopolinya telah gagal.
Kerjapaksa, penyelundupan dan perompakan di laut. Agar bisa mengontrol secara
ketat terhadap hasil yang berlebihan serta memperoleh tenaga yang murah, maka
Belanda menganut cara pemerintahan di kerajaan-kerajaan tradisional di
Indonesia, yaitu kerja paksa. Kerja paksa yang berlebihan, misalnya tempatnya
jauh dan membutuhkan waktu yang lama, menyebabkan para petani tidak
mungkin mengerjakan tanahnya sendiri. Sewaktu melakukan kerja paksa itu, para
petani itu masih menyediakan makanannya sendiri, namun juga pernah menerima
rangsum dari pemerintah Belanda.
Monopoli Belanda itu juga menyebabkan terjadinya penyelundupan dan
perompakan di laut. Kedua peristiwa itu sangat merugikan perdagangan Belanda.
Keuntungan yang diperoleh dari penyelundupan itu sangat besar dibanding
dengan bahaya yang dihadapi. Di sisi lain, angkatan laut Belanda tidak mungkin
mengawasi seluruh perbatasan laut dalam waktu yang sama. Ini berarti bahwa
angkatan laut Belanda tidak cukup untuk mengawal monopoli Belanda. Biasanya
para penyelundup itu juga bertindak seperti bajak laut yang merompak kapal-
kapal Belanda dan merampok kapal-kapal dagang Indonesia. Belanda kewalahan
menghadapi masalah ini karena angkatan laut Belanda sangat terbatas. Menjaga
monopoli terhadap tanaman-tanaman.

10 |
Di samping menjaga stok barang, Belanda juga menjaga tanaman-tanaman
agar hasilnya tidak melebihi permintaan pasar, terutama tanaman rempah-rempah
di Maluku, gula dari Jawa dan lada dari Aceh. Untuk menjaga tanaman rempah-
rempah di Maluku, Belanda melakukan pelayaran Hongi yaitu pelayaran
bersenjata untuk memusnahkan tanaman-tanaman rempah-rempah yang dianggap
melanggar aturan. Di samping biaya pengawasan juga mahal dan menimbulkan
dendam dari penduduk yang dirusak tanamannya, di sisi lain Perancis dan Inggris
menggalakkan penanaman pohon-pohon tersebut di tanah jajahan mereka. Tidak
lama kemudian Sri Lanka dan di India sudah menghasilkan kayu manis dan bunga
cengkih untuk orang-orang Inggris. Sedangkan tempat pengumpulan rempah-
rempah Inggris di Bangkahulu dapat memperoleh rempah-rempah dari
pedagangpedagang setempat. Dengan demikian VOC sekali lagi mengalami
kerugian.
2.2 Kebijakan Landrent
Berbicara tentang kebijakan landrent, secara teoritis landrent merupakan
bentuk perpajakan kolonial yang lahir dan diperkenalkan di Jawa pada era
interregnum Inggris. Pelaksanaan landrent yang diterapkan di Jawa merupakan
wujud eksperimen dan idealisme seorang Thomas Stamford Raffles dalam
menanamkan liberalisme ekonomi melalui sistem pajak dengan
mempertimbangkan keberhasilan landrent yang diterapkan di India.
Perlu dicermati bahwa landrent sendiri juga sudah diterapkan di Inggris, baru
kemudian diterapkan di tanah jajahannya khususnya India dan Jawa. Raffles’
idea on the landrent system in Java can be understood only against the
background of the revenue administration in British (John Strugus Bastin,1954
:1). Sebagai kawasan yang dapat menjadi cermin bagi keberhasilan landrent,
penerapan sistem distrik Bengali di India Barat kemudian menjadi salah satu dasar
bagi Raffles untuk segera mereformasi sistem yang sebelumnya berlaku di Jawa.
“Sebagai sebuah kenyataan sosial, penerapan kebijakan pajak atas tanah di
Jawa didasarkan pada pengalaman di India, ketika pemerintah Inggris berkuasa di
sana. Pada masa Kekaisaran Moghul di India (1526-1707), negara dianggap
sebagai pemilik tanah, atau super land-lord. Merujuk pada pengalaman ryotwari
di India, kemudian pajak tanah mulai diperkenalkan di Jawa” (Ahmad Nashih
Luthfi, 2011 :30).
Kebijakan tersebut berasumsi bahwa kedua kawasan tersebut (India dan Pulau
Jawa) mempunyai tingkat kemiripan yang tinggi, sehingga kebijakan yang
diterapkan di dapat dari hasil proses difusi dari Asia Selatan. Salah satu bentuk

11 |
yang disamakan dalam hal ini ialah sistem ryotwari dan zemindar yang dinilai
memiliki kesamaan dengan sistem tiang alit yang ada di Jawa.
“Dalam sistem ryotwari, negara memberi perlindungan pada rakyat-petani
(ryot) yang tersebar mengikuti masing-masing tuan tanah (zamindar). Dengan
kebijakan itu, negara berinteraksi langsung dengan rakyat. Sistem Zamindar
dengan demikian dihapus. Pemukiman terbentuk pada periode sistem ini. Para
ryot dilindungi dari pengusiran sepanjang mereka memberikan sejumlah bayaran
(sebagai biaya sewa) kepada pemerintah. Pemukiman sistem ryotwari ini
diperkenalkan oleh Thomas Munro segera setelah ia menguasai wilayah Madras
pada seperempat pertama abad 19” (Gunawan Wiradi, 1981 : 5).
Mengenai keberhasilan landrent yang dituai oleh The East India Company di
India, lantas jauh sebelum Raffles dengan gagasan untuk menerapkan sistem yang
serupa di India untuk kemudian diterapkan di Jawa sebelumnya sudah menjadi
wacana bagi Dirk van Hogendorp seperti yang tertulis pada naskah Hogendorp
yang dikirimkan pada administeur pajak di Bengal setelah kunjungannya dalam
mempelajari keberhasilan EIC di India.
“The English have, by a better administration, by the granting of property of
land to its inhabitants, and by separating the adminstration and the revenues of
those possesions from the commercial interests, made their territorial possesions
of very much greater importance and profit” (John Strugus Bastin, 1954 : 12).
Setelah melihat langsung keadaan yang ada di Bengali, Hogendorp kemudian
berusaha mengusulkan agar di Jawa diterapkan kebijakan yang serupa demi
meningkatkan profit bagi kas negara, namun wacana pengenalan sistem yang
diajukan kepada pemerintah kolonial ditolak mentah-mentah, hal tersebut
dianggap sebagai bencana apabila mengikuti sistem di negara yang sudah
memiliki taraf kehidupan tinggi dan kemudian diterapkan di negara yang bahkan
belum mengenal perekonomian uang pada kelas terbawah, karena itulah komite
Belanda pada 1803 menolak gagasan Dirk van Hogendorp tersebut.
Dari sudut pandang finansial reformasi itu adalah lompatan ke dalam
kegelapan (Bernard Vlekke, 2016 :247). Justru asumsi-asumsi pemerintah
kolonial Belanda terhadap reformasi pada tata kelola yang demikian sudah
diprediksi akan menemui kegagalan, nyatanya asumsi pembesar Hindia Belanda
pada tahun 1803 secara langsung diperlihatkan melalui sebuah eksperimen besar
yang secara “sukarela” dilakukan oleh seorang liberalis Inggris Thomas Stamford
Raffles dalam menjewantahkan ide-idenya yang didasarkan pada keberhasilan

12 |
sistem tersebut di Inggris dan India yang kemudian disamakannya kondisi di
negara tersebut.
Ketika ia melihat tanah Jawa sebagai surga bagi pemenuhan kas negara
Inggris, asumsi Raffles yang berlebihan ini menjadi akar bagi kesulitan dalam
pelakanaannya. Sebelum benar-benar melaksanakan landrent, wacana kebijakan
landrent ini kemudian disesuaikan dengan karakteristik tanah Jawa maupun
kepemilikan tanah yang berlaku. Setelah Inggris berhasil menguasai Pulau Jawa
pada Oktober 1811 Gubernur Jendral EIC , Lord Minto memberikan perintah awal
yang disampaikan dalam surat yang dikirimkan kepada Raffles :
“Hasil panen padi yang digarap para petani telah dikumpulkan dengan
semuanya oleh pemerintah. Hal ini merupakan sistem yang kejam dan harus
segera dihapuskan. Sistem bagi hasil tidak dimaksudkan untuk merugikan
siapapun, namun lebih sebagai pengontrol keuangan, atau mengatur harga di
pasaran sekaligus menjadikannya sebagai sumber pemasukan bagi pemerintah.
Saya merekomendasikan agar informasi total diadakan untuk sistem ini dan harus
menjadi prioritas utama pemerintah. Cara untuk meningkatkan produksi dan
kesejahteraan petani adalah dengan mengubah peraturan sewa tanah dan bagi hasil
yang ada. Lahan yang masih liar dan luas akan segera dibuka untuk digarap.
Pembahasan selanjutnya akan dilakukan setelah penyelidikan lengkap selesai
dilakukan.Untuk mewujudkan perbaikan tersebut saya membutuhkan berbagai
informasi mengenai semua sektor yang ada di pulau ini. Perubahan atau reformasi
yang dilakukan tidak boleh terlalu cepat dan tidak matang. Prinsip utama yang
ditekankan disini adalah pembangunan karakter manusia dan hubungan yang lebih
manusiawi di antara komponen yang ada” (Thomas Stamford Raffles, 2001:97).
Untuk menindaklanjuti perintah Gubernur Jendral ini, maka satu komisi
khusus dibentuk di bawah komando Kolonel Mackenzie komisi tersebut bernama
Land Tenure Comission, yang bertugas untuk menginvestigasi tanah Jawa
sekaligus untuk mengumpulkan data terkait yang diperlukan untuk dijadikan dasar
pertimbangan selanjutnya terkait penerapan kebijakan yang akan diterapkan. Perlu
diketahui bahwa hasil dari penyelidikan tersebut kemudian menjadi instrumen
penting bagi Raffles dalam melaksanakan reformasi pajak di Jawa.
Secara resmi appointment-nya (penunjukan), dalam suratnya pada tanggal
18 Oktober 1811 menunjuk Mackanzie sebagai ketua tim sekaligus bertindak
sebagai Kepala Teknis untuk memulai menjalankan ekspedisi Inggris ke Jawa
pada 22 Oktober 1811 kemudian berangkat dengan kapal Cruishier beserta
Raffles memulai investigasi ke Jawa.

13 |
“on October 22, he appointed a Committee under the presidency of the
two Dutch members of Council to register all the documents and records in the
archives in Java, and to this Committee added Luitenant Colonel Colin
Mackenzie” (Enclosure 1 of a Minute by Minto (1813))” (Lim Thian Jae, 2004 :
23).
Pada 8 Februari 1812 tim the Land Comission pertama kali rapat di
Surabaya untuk menjalankan tugas mereka untuk menyelidiki tanah Jawa.
Insvestigasi dilakukan secara personal dan membagi anggota tim ke distrik-distrik
di Pulau Jawa seperti dalam cuplikan naskah surat Mackenzie kepada Raffles
dalam Letter Book (of the) Comission (Vol 35 No. 21 Letter No. 1) :
“Rothenbuhler was appointed to investigate the Eastern District from
Tuban to the Oosthek ; J.P Knops from Tuban to Pekalongan, and Lawick van
Pabst from Pekalongan to the Priangan, including Tjirebon. The result of the
individual investigations were then to considered by the Comission as a whole
and eventually forwarded to the Goverments”(John Strugus Bastin, 1954 : 23).
Setelah semua informasi yang dibutukan terkumpul, berdasarkan Hasil
penyelidikan tersebut menjadi dasar pertimbangan bagi Raffles untuk menentukan
langkah selanjutnya terkait tentang pelaksanaan landrent, yakni dengan secara
resmi membuat satu perangkat peraturan dan undang-undang baru yang didasari
prinsip kemanusiaan dan kemakmuran kehidupan seluruh penduduk di Jawa.
Setelah mempertimbangkan hasil penyelidikan, riset maupun pengalaman Inggris
di India dalam melaksanakan administrasi pajak yang menuai keberhasilan dan
juga keberhasilan Inggris dalam menaklukan seluruh distrik di hampir seluruh
wilayah di Pulau Jawa terhitung dari Oktober 1811 hingga awal tahun 1813,
Raffles yang diutus untuk menjalankan roda pemerintah di tanah jajahan akhirnya
menetapkan landrent sebagai cara untuk mengeksploitasi seluruh faktor-faktor
produksi agraria tanah Jawa.
“Untuk mewujudkan semua ini, harus ada satu perubahan besar dalam
bidang penerimaan pemerintah, termasuk soal pajak pertanian. Perubahan sistem
yang harus dilakukan adalah : pertama, penghapusan semua layanan feodal dan
seluruh praktek pengambilan hasil panen secara paksa, serta diberikannya
kebebasan bercocok tanam bagi petani. Kedua, pemerintah harus mengawasi
semua pertanian yang ada, termasuk mengelola bagi hasil dan pengumpulan sewa
tanah. Ketiga, sewa tanah harus diperhitungkan berdasarkan luas serta kondisi
yang sebenarnya, dengan perhitungan waktu yang adil. Di tahun-tahun mendatang
(1814-1815) peraturan ini akan ditetapkan untuk seluruh distrik yang ada di

14 |
bawah wewenang pemerintah berdasarkan prinsip ryotwar, atau di Jawa disebut
dengan sistem tiang alit” (Thomas Stamford Raffles, 2001 : 98).
Setelah Raffles menetapkan kebijakan apa yang akan ia terapkan di Pulau
Jawa maka landrent sebagai sebuah kebijakan (policy) dipersiapkan secara resmi
melalui suratnya kepada Gubernur Jenderal Lord Minto pada tanggal 15 Oktober
1813 untuk mendapatkan izinnya (Lord Minto) dalam menentukan
peraturanperaturan tentang tindak lanjut untuk melaksanakan kepentingan
ekonominya sebagai seorang imperialis melalui landrent seperti yang tertulis
dalam suratnya, poin ke 2 dalam dasar pembentukan peraturan-peraturan baru.
“Tanah-tanah pemerintah pada umumnya akan membiarkan kepala-kepala
desa, yang akan bertanggung jawab atas managemen yang tepat pada bagian-
bagian di daerah tersebut selama ditempatkan di bawah pengawasan dan
kekuasaan mereka. Mereka akan membiarkan kembali tanah-tanah ini untuk
pertanian, di bawah pembatasan-pembatasan tertentu, pada suatu ratarata selama
tidak ditemukan menekan. Semua penyewa di bawah pemerintah akan dilindungi
dalam hak-hak azazi mereka”(Thomas Stamford Raffles, 2001:883).
Setelah pengajuan surat dasar-dasar pembentukan peraturan dikirim ke
India surat yang ditandatangani oleh Raffles dan C. Assey (Sekertaris Pemerintah
Dewan Perwalian Jajahan) tersebut kemudian diizinkan oleh Lord Minto, tepat 5
bulan setelah pembentukan dasar peraturan tersebut maka Raffles dan Dewan
Tanah Jajahan membuat peraturan-peraturan perpajakan yang tertuang dalam
“Instruksi Pajak” yang disahkan di Buitenzorg tanggal 11 Februari 1814 yang
berisi 92 poin yang semuanya merupakan ketentuan tentang teknis perpajakan
yang dibuat sesuai dengan kondisi Pulau Jawa sehingga pasal-pasal tersebut
menjadi landasan penting bagi Raffles dan pemerintahannya di bawah Dewan
Muntinghe untuk konsekuen menerapkan landrent.

2.3 Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun


1836
Inisiatif Van Den Bosch dengan tujuan memproduksi berbagai komoditi yang
diminta di pasar dunia. Sistem tersebut sangat menguntungkan Belanda namun
semakin menyiksa pribumi. Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent
dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi.
Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual
hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga
yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Cultuurstelstel melibatkan para

15 |
bangsawan dalam pengumpulannya, antara lain dengan memanfaatkan tatanan
politik Mataram–yaitu kewajiban rakyat untuk melakukan berbagai tugas dengan
tidak mendapat imbalan–dan memotivasi para pejabat Belanda dengan
cultuurprocenten (imbalan yang akan diterima sesuai dengan hasil produksi yang
mask gudang).
Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat
dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan. Namun segi
positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas
ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya
ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup.
Sistem Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal) terjadi karena adanya desakkan
kaum Humanis Belanda yang menginginkan perubahan nasib warga pribumi
kearah yang lebih baik dengan mendorong pemerintah Belanda mengubah
kebijakkan ekonominya. Dibuatlah peraturan-peraturan agrarian yang baru, yang
antara lain mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75
tahun dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh. Pada
akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan pribumi, tapi malah
menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang tidak diperlakukan
layak.
Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad
diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent (pajak tanah). Selain itu,
dengan landrent, maka penduduk pribumi akan memiliki uang untuk membeli
barang produk Inggris atau yang diimpor dari India. Inilah imperialisme modern
yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan
alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari negara penjajah.
Pemerintah militer Jepang menerapkan kebijakan pengerahan sumber daya
ekonomi untuk mendukung gerak maju Jepang dalam Perang Pasifik. Akibatknya
terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat.
Kesejahteraan merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena
produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak
jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama.
Pada awal abad ke-19, sistem ekonomi di Priangan beralih ke Sistem Tanam
Paksa, dimana negara ikut berperan dalam menentukan pola perdagangan
terutama tanaman eksport.
Pada tahun 1870 Undang Undang Agraria diterapkan. Hal ini menyebabkan
berkurangnya campur tangan negara. Periode ini dapat dipandang sebagai periode

16 |
kebebasan perorangan untuk menanamkan modal atau swastanisasi perdagangan.
Liberalisme selalu dikaitkan dengan ekonomi pasar yang sampai dewasa ini selalu
menjadi sorotan dunia. Secara historis, liberalisme ekonomi bersamaan dengan
penguasaan pasar-pasar Asia oleh orang-orang Eropa tidak terkecuali di
Nusantara.
Liberalisme ekonomi dianggap sebagai titik balik dari Sistem Tanam Paksa
yang menentukan bagi perkembangan ekonomi masyarakat di Hindia Belanda
karena negara tidak lagi terlibat secara langsung di dalamnya. Hanya saja,
liberalisme ini lebih menguntungkan orang Eropa yang padat modal dibandingkan
dengan bumiputera. Dalam perkembangannya, masyarakat bumiputera tertinggal
dan tersingkirkan dari aktivitas ekonomi. Hal ini juga membatasi pemasaran
produk lokal karena membanjirnya produk luar negeri, terutama yang berasal dari
Eropa dan Cina (Booth,1998:372). Pada saat itu, masyarakat bumiputera tidak
dapat berkembang karena tidak mampu bersaing dengan pedagang Eropa dan
Cina. Dalam posisi seperti itu, masyarakat bumiputera tetap dengan ekonomi
subsistennya, mengerdil, dan hidup dalam kemiskinan (Furnival,2009:426).
Perubahan kebijakan terjadi awal abad ke-20, di mana pemerintah Hindia
Belanda menerapkan Politik Etis. Politik Etis merupakan titik balik perhatian
pemerintah dalam kebijakan politik ekonominya, karena perhatian bukan hanya
kepada golongan pengusaha Eropa dan Cina, melainkan juga mulai
memperhatikan kepentingan masyarakat bumiputera terutama masyarakat
pedesaan. Perhatian pemerintah terhadap masyarakat pedesaan diaktualisasikan
dalam berbagai kebijakan ke arah program-program yang lebih khusus,
pelaksanaannya melalui dinas-dinas kesejahteraan (Burger,1983:23). Penerapan
Politik Etis yang berkaitan dengan pendidikan, pertanian, dan migrasi sangat
mempengaruhi masyarakat bumiputera, dengan adaptasi dan kreativitas setahap
demi setahap masyarakat bumiputera dapat mandiri secara ekonomi, sosial
budaya, dan politik.
Pemerintah Hindia Belanda menerapkan berbagai kebijakan politik
ekonominya dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan maksimum dari
potensi ekonomi wilayah yang dikuasainya bagi negara induknya. Bagaimana
respons masyarakat Priangan terhadap kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah
Hindia Belanda, terutama dalam menghadapi liberalisme ekonomi. Artikel ini
mengungkapkan kemandirian dan kebangkitan jiwa kewirausahaan masyarakat
Priangan, berdasarkan kajian yang telah dipublikasikan sebelumnya. Selain itu,

17 |
menyoroti faktor-faktor yang melatarbelakangi tumbuhnya jiwa kewirausahaan,
baik faktor internal maupun faktor eksternal.

2.3

18 |
DAFTAR PUSTAKA

Leirissa, R.Z dkk. 2012. Sejarah Perekonomian Indonesia. Yogyakarta : Ombak


Notosusanto, Nugroho dkk. 2010. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta : Balai
Pustaka
Palmaya, Kiki Rizky. 2017. Kebijakan Landrant pada masa Penjajahan Inggris di
Jawa tahun 1811-1816. Universitas Lampung

19 |

Anda mungkin juga menyukai