KELAS : XI-MIA 3
Pemerintah dan parlemen Belanda (Staten General) pada tahun 1598 mengusulkan agar
antar kongsi dagang Belanda bekerja sama membentuk sebuah perusahaan dagang yang lebih
besar. Usulan ini baru terealisasi 4 tahun berikutnya, yakni pada 20 Maret 1602 secara resmi
terbentuklah persekutuan kongsi dagang Belanda di Nusantara sebagai hasil fusi antara
kongsi yang telah ada. Kongsi dagang Belanda diberi nama vereenigde Oost Indische
compagnie (VOC) atau dapat disebut dengan “Perserikatan Maskapai Perdagangan Hindia
Timur Atau Kongsi Dagang Hindia Timur”. VOC secara resmi didirikan di Amsterdam
VOC di pimpin oleh sebuah dewan yang beranggotakan 17, sehingga di sebut “Dewan
Tujuh Belas” (de heeren XVII). Mereka terdiri dari delapan perwakilan kota pelabuhan
dagang di belanda. Markas besar dewan ini berkedudukan di amsterdam. Dan menjalankan
tugas, Voc ini memiliki beberapa kewenangan dan hak-hak antara lain:
Dengan memiliki hak untuk membentuk angkatan perang sendiri dan bolehmelakukan
peperangan, maka VOC cenderung ekspansif. VOC terus berusaha memperluas daerah-
daerah di Nusantara sebagai wilayah kekuasaan dan monopolinya. VOC juga memandang
bangsa-bangsa Eropa yang lain sebagaimusuhnya. Mengawali ekspansinya tahun 1605 VOC
telah berhasil mengusir Portugis dari Ambon. Benteng pertahanan Portugis di Ambon dapat
diduduki tentara VOC. Benteng itu kemudian oleh VOC diberi nama Benteng Victoria.
Pada awal pertumbuhannya sampai tahun 1610 “ dewan 17” secara langsung harus
menjalankan tugas-tugas dan menyelesaikan berbagai urusan VOC
Pieter Both pertama kali mendirikan pos perdagangan di Banten pada tahun 1610. Pada tahun
itu juga Pieter Both meninggalkan Banten dan berhasil memasuki Jayakarta. Penguasa
Jayakarta waktu itu, Pangeran Wijayakrama sangat terbuka dalam hal perdagangan. Pedagang
dari mana saja bebas berdagang, di samping dari Nusantara juga dari luar seperti dari
Portugis, Inggris, Gujarat/India, Persia, Arab, termasuk juga Belanda. Dengan demikian
Jayakarta dengan pelabuhannya Sunda Kelapa menjadi kota dagang yang sangat ramai.
Kemudian pada tahun 1611 Pieter Both berhasil mengadakan perjanjian dengan
penguasa Jayakarta, guna pembelian sebidang tanah seluas
50×50 vadem ( satu vadem sama dengan 182 cm) yang berlokasi di sebelah timur Muara
Ciliwung. Tanah inilah yang menjadi cikal bakal hunian dan daerah kekuasaan VOC di
tanah Jawa dan menjadi cikal bakal Kota Batavia.
Di lokasi ini kemudian didirikan bangunan batu berlantai dua sebagai tempat tinggal, kantor
dan sekaligus gudang. Pieter Both juga berhasil mengadakan perjanjian dan
menanamkan pengaruhnya di Maluku dan berhasil mendirikan pos perdagangan di Ambon
Kesuksesan VOC membangun Batavia menjadi ancaman besar bagi penguasa lokal,
diantaranya penguasa Kasultanan Banten dan Mataram. Seperti sudah disinggung di bagian
awal tulisan ini, Kasultanan Banten kemudian dipaksa tunduk di bawah VOC. Dalam
menundukkan Banten, selain menggunakan kekuatan militer, VOC juga menjalankan strategi
“pelumpuhan penyangga ekonomi” kasultanan Banten. Dalam laporan penulis bangsa kulit
putih, disebutkan banyak orang Tionghoa di Banten sebagai pedagang dan memberikan andil
besar sebagai pemasok pajak bagi kasultanan Banten. Sedang warga pribumi banyak
dijadikan budak. Dengan blokade perdagangan, penarikan pedagang Tionghoa ke Batavia
(melalui bujukan mendapat upah hingga dengan penculikan paksa), serta ikut mengintervensi
konflik internal kasultanan Banten (konflik Sultan Ageng Tirtoyoso dengan Sultan Haji tahun
1683), hegemoni Kasultanan Banten akhirnya runtuh. Daerah Tangerang selanjutnya dapat
dikuasai VOC sejak ditandatangani perjanjian antara Sultan Haji dan VOC pada tanggal 17
April 1684. Sedangkan konflik dengan Mataram terjadi tatkala Sultan Agung ingin
menguasai seluruh Jawa. Ia sempat melakukan penyerbuan ke Batavia selama dua kali tahun
1628 dan 1629 namun berakhir gagal. Kasultanan Banten dan Mataram tak mampu mengusir
VOC dari tanah Nusantara.
Begitu VOC mampu mengembangkan Batavia sebagai pusat dagang, maka dimulailah
sistem kekuasaan layaknya sebuah negara. Untuk mencapai tujuan utamanya di bidang
perdagangan, ia harus mampu mengontrol kehidupan kota dan mengatur penduduknya. Pada
masa awal VOC di Batavia, kontrol penduduk paling mencolok adalah penentuan warga kota
(ingezetenen) dan orang asing (vreemdelingen). Warga kota adalah mereka yang bisa
menopang kepentingan dagang VOC, antara lain: pejabat VOC, serdadu Eropa maupun
sewaan dari Jepang, orang Tionghoa, para budak rampasan Portugis dari pantai India.
Sedangkan penduduk pribumi dinyatakan sebagai warga asing. Warga asing tersebut meliputi
semua orang Jawa baik dari Banten maupun Mataram (Javanen) dan disebut
sebagai inlanders atau bumiputra. Saat konflik antara VOC dengan Banten dan Mataram,
keberadaan orang Jawa tersebut dilarang tinggal di dalam kota dan hanya boleh membangun
pondok di luar tembok. Wilayah di luar kota biasa disebut Ommelanden.
Setelah Batavia berkembang, kontrol terhadap penduduk dilakukan dengan memilah
berdasarkan ras, daerah asal, status ikatan kerja dalam perdagangan VOC. Contoh pemilahan
pada 50 tahun pertama kekuasaannya di Batavia adalah penentuan lima kelompok masyarakat
yaitu pertama, kelompok Eropa seperti pejabat VOC, sedadu, dll (mendapat jatah daging dua
kali seminggu), kedua adalah kelompok Cina, Arab, Jepang (mendapat sembilan pon beras
per dua minggu), ketiga adalah istri (para gundik orang Belanda) dan budak, keempat adalah
anak-anak karyawan VOC, dan kelima adalah warga biasa (burghers) yang mayoritas terdiri
dari warga pribumi.
Keberadaan budak di Batavia berasal dari rampasan Portugis di India, juga orang-
oarang dari Sulawesi Selatan, Jawa Barat (Westerse Javanen), Jawa Timur (Oostere Javanen),
dan Bali. Para budak biasanya diperkerjakan untuk menukangi kapal, membersihkan selokan,
menggali parit, mengangkut bebatuan, diperjual-belikan untuk pengolahan lahan milik tuan
tanah, dan-lain-lain. VOC selanjutnya menempatkan warga dalam kampung-kampung yang
juga berdasarkan ras. Masing-masing ras dikepalai oleh seorang kepala yang ditentukan oleh
VOC. Namun, pemilahan tersebut dalam kenyataannya selalu berubah-ubah sebab
sesungguhnya ditentukan oleh VOC atas dasar keuntungan yang harus didapat VOC. Dan
tentu, penentuan itu dibuat secara sepihak. Untuk menopang monopoli dagang VOC, salah
satu upaya yang dilakukan adalah penggunaan orang-orang Tionghoa, Arab, dan Eropa
sebagai kelompok yang sangat penting. Di antara ketiga kelompok tersebut, orang Tionghoa
dipandang paling menentukan. Dalam laporan JP. Coen kepada de Heeren XVII disebutkan,
“Tak ada golongan masyarakat yang lebih baik bagi kepentingan kita dan lebih luwes dalam
pergaulan kita daripada masyarakat Cina” (Daer is geen volck die ons beter dan Chinesen
dienen en soo licht als Chinesen te becomen sijn). Seperti telah banyak disinggung di bagian
awal, orang-orang Tionghoa mempunyai tradisi bertukang, rajin, tekun, dan mahir berdagang.
Kemahiran tersebut sangat dibutuhkan VOC untuk dijadikan sebagai “tenaga kerja”
penopang monopoli dagangnya. Orang-orang Tionghoa selain menjadi tenaga kerja VOC
juga menjadi kelompok pengumpul barang komoditas, khususnya dari orang pribumi.
Tanggal 1 Nopember 1620, seorang pedagang Cina bernama Siauw Bing Kong alias Bencon
diangkat menjadi kepala (kapiten) pertama bertanggung jawab mengatur seluruh barang
dagangan yang masuk dan keluar Batavia. Di bidang pemungutan pajak dan pengelolaan
lahan pertanian juga dijabat orang Cina. Perdagangan kala itu antara lain: sirih, pinang, tuak,
anggur, kopi, intan, teh, cula badak, kapur barus, dll. Untuk jenis pajak ada banyak sekali.
Segala kegiatan masyarakat seperti pesta, perjudian, sabung ayam, pertunjukan wayang, sewa
lahan, hingga pajak kepala yang dikenakan bagi warga. Sekitar tahun 1683, terjadi
gelombang imigran Cina ke Batavia dan daerah sekitarnya seperti di daerah Priangan yang
terkenal sebagai daerah perkebunan kopi. Para pendatang baru tersebut, oleh VOC sering
disebut sebagai singkeh. Mereka bermigrasi ke Batavia baik dari Banten maupun orang-orang
hokien dari daratan Cina. Jumlah mereka terus meningkat. Berbeda dengan Tionghoa yang
datang lebih awal, para pendatang baru ini cenderung banyak yang miskin, tidak mempunyai
ketrampilan, tak mampu bayar pajak, sehingga dipandang mengganggu kehidupan Batavia.
Dari total sekitar 60.000 penduduk Batavia, jumlah orang Tionghoa pada tahun 1719
mencapai sekitar 11.641 orang, kemudian di tahun 1739 sekitar 14.773 orang, belum
termasuk mereka yang tinggal di luar benteng yaitu 10.574 yang tersebar termasuk di wilayah
Tangerang. Jumlah tersebut meningkat lagi dengan lahirnya anaak-anak keturunan mereka.
Cina keturunan tersebut oleh VOC disebut sebagai peranakan Chineezdimana status mereka
disamakan dengan kelompok Bumiputra dan dibedakan dengan cina totok. Karena,
keberadaan orang-orang Tionghoa tersebut mampu mengembangkan usaha perdagangan kopi
dan bercocok tanam. Hal ini merupakan ancaman bagi monopoli pihak VOC. Sebab,
kemampuan dan perkembangan perdagangan mereka juga diperkuat dengan proses
pembauran dengan warga pribumi di sekitar Batavia. Walaupun VOC selalu berusaha
melakukan pemilahan dan penempatan secara terpisah-pisah berdasarkan ras, namun
pembauran selalu terjadi.