Hal ini berlangsung cukup lama, sekitar tahun 1512 sampai 1641 (Portugis meninggalkan Maluku dan
menyerahkan Malaka pada VOC). Kebijakan –kebijakan yang dipraktekkan selama itu sangat berpengaruh
terhadap kehidupan manusia Indonesia waktu itu.
Hampir keseluruhan pendapatan VOC diperoleh dari sumber ekonomi yang juga menjadi andalan para
penguasa local sebelumnya. VOC hanya membungkusnya secara resmi/ legal dan teratur. Staf administrasi dan
prajurit yang berjumlah tidak lebih dari 17.000 orang pada tahun 1700, telah merajalela di sebagian besar
pusat-pusat penghasil dan perdagangan rempah-rempah. Dengan demikian, cukup efektif pihak VOC untuk
menerapkan kebijakan-kebijakan di daerah koloni.
Dalam upaya memperlancar aktivitas organisasi, VOC pada tahun 1610 memutuskan untuk membentuk
jabatan Gubernur Jendral yang pada waktu itu berkedudukan di Maluku. Pieter Both sebagai orang pertama
yang menduduki posisi itu.
Tindakan VOC dengan adanya hak octroi sangat merugikan bangsa Indonesia. Hak octroi seolah ijin usaha
kepanjangan tangan pemerintah Belanda, bahkan bisa dikatakan VOC sebagai sebuah ‘negara dalam negara’.
Pada Perserikatan Maskapai Hindia Timur , VOC , kepentingan-kepentingan /para pedagang yang bersaing itu
diwakili oleh system majelis (kamer ) untuk masing-masing dari 6 wilayah di negeri Belanda. Setiap majelis
mempunyai sejumlah direktur yang telah disetujui, yang seluruhnya berjumlah 17 orang dan disebut sebagai
Heeren XVII ( Tuan-tuan Tujuh Belas ).
Untuk menguasai perdagangan rempah-rempah, VOC menerapkan hak monopoli, menguasai
pelabuhan-pelabuhan penting dan membangun benteng-benteng. Benteng-benteng yang dibangun VOC
adalah :
Tindakan VOC yang sewenang-wenang, sangat keras, dan kejam menimbulkan perlawanan rakyat
Indonesia. Perlawanan terhadap monopoli VOC terjadi dimana-mana seperti di Mataram, Banten, Makasar dan
Maluku.
Kebijakan-kebijakan VOC selama berkuasa di Indonesia sejak tahun 1602 – 1799 antara lain dapat
dirangkum sebagai berikut :
1. Kekuasaan raja menjadi berkurang atau bahkan didominasi secara keseluruhan oleh VOC.
2. Wilayah kerajaan terpecah-belah dengan melahirkan kerajaan dan penguasa baru dibawah kendali VOC.
3. Hak octroi ( istimewa ) VOC, membuat masyarakat Indonesia menjadi miskin, menderita,
mengenal ekonomi uang, mengenal sistem pertahanan benteng, etika perjanjian dan
Hak octroi adalah hak istimewa dari pemerintah Belanda, yang meliputi :
1. Hak monopoli
2. Hak untuk membuat uang
3. Hak untuk mendirikan benteng
4. Hak untuk melaksanakan perjanjian dengan kerajaan
di Indonesia
5. Hak untuk membentuk tentara
6. Pelayaran Hongi, bagi penduduk Maluku khususnya, dapat dikatakan sebagai suatu
perampasan, perampokan, pemerkosaan, perbudakan dan pembunuhan.
1. Hak Ekstirpasi bagi rakyat merupakan ancaman matinya suatu harapan atau sumber penghasilan yang
bisa berlebih.
Dua abad sejarah VOC bercokol di kepulauan Indonesia, sama sekali tidak mengisaratkan sebagai
kesetaraan suatu mitra baik dalam arti politik maupun ekonomi, melainkan berisi berbagai peristiwa berdarah
dari sebuah upaya menegakkan kekuasaan. VOC menjadi sebuah kompeni yang bengis, yang mampu
membangun sebuah tradisi sebagai symbol kekuasaan kolonialisme dan imperialisme Barat.
1. KEBIJAKAN PEMERINTAH KERAJAAN BELANDA DAN PENGARUHNYA
Kebijakan pemerintah kerajaan Belanda yang dikendalikan oleh Perancis sangat kentara pada masa
Gubernur Jendral Daendels ( 1808 – 1811 ). Kebijakan yang di ambil Daendels sangat berkaitan dengan tugas
utamanya yaitu untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan pasukan Inggris.
Sebenarnya Raffles tidak setuju dengan keputusan Konvensi London. Ia meletakkan jabatannya digantikan
oleh Letnan Gubernur Jendral John Fendall. Baru pada tahun 1816, John Fendall menyerahkan wilayah
Indonesia kepada Belanda.
1. KEBIJAKAN PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA DAN PENGARUHNYA
Van der Capellen semasa pemerintahnnya dari tahun 1817 –1830, menerapkan kebijakan politik dan
ekonomi liberal. Oleh kalangan konservatif seiring dengan kesulitan ekonomi yang menimpa Belanda,
kebijakkan politik ekonomi liberal dianggap gagal. Dalam perkembangannya, kaum liberal dan konservatif silih
berganti mendominasi parlemen dan pemerintahan. Keadaan seperti ini berdampak kebijakan politik dan
ekonomi di Indonesia sebagai tanah jajahan juga silih berganti mengikuti kebijakan yang ada di Belanda.
Di Belanda sendiri ada 2 kubu yang berdebat :
1. Kubu Liberal
Memiliki keyakinan bahwa tanah jajahan akan mendatangkan keuntungan bagi Belanda jika urusan ekonomi
diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta, tanpa campur tangan pemerintah. Pemerintah kolonial hanya
menarik pajak dan sebagai pengawas.
1. Kubu Konsevatif
Berkeyakinan bahwa tanah jajahan akan memberi keuntungan bagi Belanda apabila urusan ekonomi ditangani
langsung oleh pemerintah. Indonesia dinilai belum siap untuk diterapkan kebijakan ekonomi liberal.
Kegagalan van der Capellen menjatuhkan kaum liberal, di parlemen dan pemerintahan didominasi
kaum konservatif. Pada masa Gubernur Jendral van den Bosch, menerapkan kebijakan politik dan ekonomi
konsevatif di Indonesia. Pada tahun 1830 mulai diterapkan aturan kerja rodi ( kerja paksa ) yang
disebur Cultuurstelsel. Cultuurstelsel dalam bahasa Inggris adalah Cultivation System yang memiliki arti
sistem tanam. Namun di Indonesia Cultuurstelsel lebih dikenal dengan istilah tanam paksa. Ini cukup
beralasan diartikan seperti itu karena dalam prakteknya rakyat dipaksa untuk bekerja dan menanam tanaman
wajib tanpa mendapat imbalan. Tanaman wajib adalah tanaman perdagangan yang laku di dunia internasional
seperti kopi, teh, lada, kina dan tembakau.
Cultuurstelsel diperlakukan dengan tujuan memperoleh pendapatan sebanyak mungkin dalam waktu
relatif singkat. Dengan harapan utang-utang Belanda yang besar akibat perang dalam
menghadapi Napoleon maupun menghadapi perlawanan kerajaan-kerajaan di Indonesia dapat diatasi. Pokok-
pokok Cultuurstelsel mencakup :
1. Rakyat wajib menyiapkan 1/5 dari lahan garapan untuk ditanami tanaman wajib.
2. Lahan tanaman wajib bebas pajak, karena hasil yang disetor sebagai pajak.
3. Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak akan dikembalikan.
4. Tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menggarap tanaman wajib, tidak boleh melebihi waktu yang
diperlukan untuk menanam padi.
5. Rakyat yang tidak memiliki tanah wajib bekerja selama 66 hari dalam setahun diperkebunan atau pabrik
milik pemerintah.
6. Jika terjadi kerusakan atau gagal panen menjadi tanggungjawab pemerintah.
7. Pelaksanaan tanam paksa diserahkan sepenuhnya kepada para penguasa pribumi (kepala desa).
Kalau melihat pokok-pokokCultuurstelsel bila dilaksanakan dengan semestinya merupakan aturan yang
baik. Namun praktik di lapangan jauh dari pokok-pokok tersebut atau dengan kata lain terjadi penyimpangan.
Penyimpangan-penyimpangan itu antara lain :
1. Tanah yang harus diserahkan rakyat cenderung melebihi dari ketentuan 1/5, dimaksudkan sebagai
cadangan bila hasil kurang menguntungkan.
2. Tanah yang ditanami tanaman wajib tetap ditarik pajak.
3. Rakyat yang tidak punya tanah garapan ternyata bekerja di pabrik atau perkebunan lebih dari 66 hari
atau 1/5 tahun.
4. Kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak ternyata tidak dikembalikan.
5. Jika terjadi gagal panen ternyata ditanggung petani.
Penyimpangan ini terjadi karena penguasa pribumi (kepala desa) tergiur oleh iming-iming Belanda yang
menerapkan system cultuur procenten.
Cultuur Procenten adalah :
Hadiah atau persen dari pemerintah bagi para pelaksana tanam paksa (penguasa pribumi, kepala desa) yang
dapat menyerahkan hasil panen melebihi ketentuan yang diterapkan dengan tepat waktu.
Hal ini mebuat penguasa pribumi semakin gencar menekan rakyat untuk bekerja ekstra keras, tidak peduli
aturan atau pokok-pokok dalam cultuurstelsel. Hadiah atau persen adalah tujuan utama disamping pujian-
pujian dari pemerintah Hindia Belanda. Kemiskinan dan penderitaan rakyat yang semakin parah tidak
dipedulikan. Daerah-daerah yang banyak mengalami penderitaan diantaranya :
1. Di daerah lembah Sala yang meliputi daerah Surakarta, Yogyakarta dan Madiun.
2. Di daerah lembah Brantas terutama di daerah Kediri, Surabaya dan Besuki ( Jatiroto ).
3. Di daerah pelabuhan Jepara dan Tuban.
4. Di daerah Priangan.
5. Di daerah Sumatra Barat, terutama sejak tahun 1840-an.
Berkat Tanam Paksa itu, antara tahun 1830 – 1870 ( dalam waktu 40 tahun ), Pemerintah Belanda
mendapat keuntungan 823 juta gulden. Dengan uang itu, kas negara Hindia-Belanda dapat diisi penuh kembali,
kira-kira hanya 33 juta gulden. Selebihnya dipakai untuk membangun jalan kereta api dan gedung-gedung
pemerintah di negeri Belanda.
puncaknya pada abad ke –19, pihak Belanda merasa wajib menduduki daerah-daearah di
luar Jawa. Walaupun pendudukan suatu daerah dari sisi nilai ekonomi minim, tapi dari segi hegemoni, dalam
rangka mencegah masuknya kekuatan Barat lain.
1. Keamanan
Untuk menjaga keamanan daerah-daearah yang sudah berhasil dikuasai, Belanda merasa terpaksa untuk
menaklukkan daerah-daerah lain yang mungkin akan mendukung atau membangkitkan gerakan perlawanan.
Kekuatan gerakan perlawanan juga menentukan tingkatan besarnya pengaruh.
1. Letak strategis
Daerah yang memiliki posisi pada jalur pelayaran dan perdagangan internasional memiliki nilai politis dan
ekonomi yang sangat menguntungkan. Di tempat-tempat seperti para kolonis biasanya bermukim,
membangun benteng –benteng dan pelabuhan. Ternate, Ambon, Banten, Batavia dan Makasar merupakan
contoh daerah strategis.