Anda di halaman 1dari 10

Nama : Rosita Elisabeth N

Kelas : XI - IPA 8

KEBIJAKAN-KEBIJAKAN VOC
a. Menguasai pelabuhan-pelabuhan dan mendirikan benteng untuk melaksanakan monopoli
perdagangan.
b. Melaksanakan politik devide et impera
Yaitu memecah dan menguasai dalam rangka untuk menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia.
c. Untuk memperkuat kedudukannya, perlu mengangkat seorang Gubernur Jenderal.
Dengan keunggulan senjata, juga memanfaatkan kompetisi dan konflik di antara penguasa lokal
(kerajaan ), VOC berhasil memonopoli perdagangan pala dan cengkeh di Maluku. Satu persatu
kerajaan-kerajaan di Indonesia dikuasai VOC. Kebijakan ekspansif (menguasai) semakin gencar
diwujudkan ketika Jan Pieterszoon Coen diangkat menjadi Gubernur Jendral menggantikan
Pieter Both pada tahun 1817.
d. Melaksanakan sepenuhnya hak Oktroi yang diberikan pemerintah Belanda.

Tindakan VOC dengan adanya hak octroi sangat merugikan bangsa Indonesia. Hak octroi seolah
ijin usaha kepanjangan tangan pemerintah Belanda, bahkan bisa dikatakan VOC sebagai sebuah
‘negara dalam negara’.

Hak octroi adalah hak istimewa dari pemerintah Belanda, yang meliputi :

1. Hak monopoli
2. Hak untuk membuat uang
3. Hak untuk mendirikan benteng
4. Hak untuk melaksanakan perjanjian dengan kerajaan di Indonesia
5. Hak untuk membentuk tentara
e. Membangun pangkalan/markas VOC yang semula di Banten dan Ambon, dipindah ke
Jayakarta (Batavia).
f. Melaksanakan pelayaran Hongi (Hongi tochten).
Pelayaran Hongi, bagi penduduk Maluku khususnya, dapat dikatakan sebagai suatu
perampasan, perampokan, pemerkosaan, perbudakan dan pembunuhan.
g. Adanya hak ekstirpasi,
Yaitu hak untuk membinasakan tanaman rempah-rempah yang melebihi ketentuan.
Hak Ekstirpasi bagi rakyat merupakan ancaman matinya suatu harapan atau sumber
penghasilan yang bisa berlebih.
h. Adanya verplichte leverantie (penyerahan wajib)
Hasil bumi yang wajib diserahkan yaitu lada, kayu manis, beras, ternak, nila, gula, dan kapas dan
Prianger stelsel (sistem Priangan) yaitu aturan yang mewajibkan rakyat Priangan menanam kopi
dan menyerahkan hasilnya kepada VOC yang dimulai tahun 1723.
Kebijakan Pieter Both (1609-1614)

Pelayaran Hongi.

Gubernur Jenderal pertama VOC adalah Pieter Booth . Di bawah pimpinan PieterBoth, VOC Berhasil
menguasai Ambon tahun 1605. Ambon kemudian dijadikansebagai pusat kegiatan VOC.Salah satu
kebijakan VOC untuk meraih keuntungan yang besar adalah melakukanmonopoli perdagangan,
terutama perdagangan rempah-rempah. Dalam hal ini rakyat yang memiliki rempah-rempah harus
menjualnya kepada VOC denganharga yang sudah ditentukan. Selain itu apabila jumlah rempah-rempah
terlalubanyak di pasaran sehingga harganya turun, maka VOC melakukan pemusnahantanaman rempah-
rempah milik rakyat yang dianggap berlebihan. Untuk mengawasi jalannya monopoli perdagangan
rempah - rempah di Maluku VOCmenjalankan patroli yang disebut pelayaran Hongi.

Kebijakan Jan Pieterszoon Coen (1619 – 1623) & (1627 – 1629)


 Membangun sebuah markas besar (headquarter) VOC ,yang dapat memenuhi segala
kebutuhan dan kepentingan VOC di Hindia. Banten tidak menarik bagi Coen karena
pertentangannya dengan bangsa Cina, Banten dan juga Inggris. Sedangkan Maluku terlalu kecil
untuk dijadikan kantor pusat, selain itu Coen tetap menginginkan Jawa sebagai kedudukan
kantor pusatnya karena sangat mudah untuk logistik pangan. Akhirnya Coen memilih Jayakarta
sebagai pusat pemerintahannya karena di Jayakarta pula terdapat gudang dan loji VOC yang
berdiri sejak tahun 1610. Karena Pangeran Jayakarta tidak menghendaki kehadiran Coen di
Jayakarta, Coen memperkuat diri dengan membangun benteng di sekitar Istana Jayakarta.
Tanggal 18 Januari 1621 Coen dan tentaranya berhasil mengusir Pangeran Jayakarta dan
pengikutnya, kemudian dia merubah nama Jayakarta menjadi Batavia.
 Merealisasikan monopoli pembelian pala di Hindia. Pala merupakan komoditas rempah-
rempah yang hanya ada di Kepulauan Banda. Saat itu penduduk Banda menandatangani
persetujuan penjualan pala kepada VOC dan juga Inggris. Untuk menguasai pala di pulau itu
Coen menggunakan cara keras dan brutal. Yaitu dengan Pembantaian Banda 1621, ini terjadi
karena ketidakmampuan bangsa Belanda menjual pala lebih murah dibandingkan dengan Inggris
bahkan dengan penduduk lokal pun masih lebih mahal, padahal Belanda sudah mengontrol
Maluku selama 20 tahun. Akhirnya para petinggi VOC mencoba membuat program untuk bisa
memonopoli perdagangan pala di Pulau Banda. JP Coen kemudian mengambil tugas ini dan
beranggapan bahwa hanya dengan mengusir dan melenyapkan penduduk asli pulau Banda,
monopoli pala baru bisa dilakukan.

Kebijakan-kebijakan Herman Willem Daendles (1808-1811)


Bidang Birokrasi Pemerintahan

1. Dewan Hindia Belanda sebagai dewan legeslatif pendamping gubernur jendral dibubarkan dan diganti
dengan Dewan Penasihat. Salah seorang penasihatnya yang cakap ialah Mr. Muntinghe.
2. Pulau Jawa dibagi menjadi 9 prefektur dan 31 kabupaten. Setiap prefektur dikepalai oleh seorang
residen yang langsung di bawah pemerintahan Wali Negara. Setiap residen membawahi beberapa
bupati.

3. Para bupati dijadikan pegawai pemerintah Belanda dan diberi pangkat sesuai dengan ketentuan
kepegawaian pemerintah Belanda. Mereka mendapat penghasilan dari tanah dan tenaga sesuai dengan
hukum adat.

4. Membentuk sekretariat Negara (Algemene Secretarie)

Bidang Hukum dan Peradilan

1. Dalam bidang hukum, Daendles membentuk 3 jenis pengadilan, pengadilan untuk orang Eropa,
Pengadilan untuk orang Pribumi dan pengadilan untuk orang Timur Asing

2. Pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu, termasuk kepada bangsa Eropa sekalipun. Akan tetapi,
Daendles sendiri malah melakukan korupsi besar-besaran dalam penjualan tanah kepada swasta.

Bidang Militer dan Pertahanan Dalam melaksanakan tugas utamanya di Pulau Jawa dari
serangan Inggris

1. Membangun jalan antara Anyer-Panarukan, baik sebagai lalu lintas pertahanan maupun
perekonomian.

2. Menambah jumlah pasukan dalam angkatan perang dari 3000 orang menjadi 20.000 orang

3. Membangun pabrik senjata di Gresik dan Semarang. Hal itu dikarenakan beliau tidak mengharapkan
bantuan lagi dari Eropa akibat blokade Inggris di lautan.

4. Membangun pangkalan angkatan laut di ujong kulon dan Surabaya.

5. Membangun benteng-benteng pertahanan.

6. Meningkatkan kesejahteraan prajurit.

Bidang Ekonomi dan Keuangan

1. Membentuk Dewan Pengawas Keuangan Negara (Algemene Rakenkaer) dan dilakukan


pemberantasan korupsi dengan keras

2. Mengeluarkan uang kertas

3. Memperbaiki gaji pegawai

4. Pajak in natura (contingenten) dan sistem penyerahan wajib untuk menjual hasil bumi hanya kepada
pemerintah Kerajaan Belanda dengan harga yang telah ditetapkan (Verplichte Laverantie) yang
diterapkan pada zaman VOC tetap dilanjutkan, bahkan ditingkatkan.
5. Mengadakan monopoli perdangangan beras

6. Mengadakan Prianger Stelsei, yaitu kewajiban bagi rkayat Priangan dan sekitarnya untuk menanam
tanaman eksporer (seperti kopi)

7. Mewajibkan Prianger Stelsel, yaitu kewajiban rakyat Priangan untuk menanam kopi.

Bidang Sosial

1. Rakyat dipaksa melakukan kerja paksa (rodi) dan untuk membangun jalan Anyer-Panaruakan

2. Perbudakan dibiarkan berkembang

3. Menghapus upacara penghormatan kepada residen, sunan, atau sultan

4. Membuat jaringan pos distrik menggunakan kuda pos

Akibat Kebijakan Daendles Kebencian mendalam baik dari kalangan penguasa daerah maupun rakyat
Munculnya tanah-tanah partikelir yang dikelola oleh penguasaha swasta

 Pertentangan/perlawanan penguasa maupun rakyat


 Kemiskinan dan penderitaan yang berkepanjangan
 Kebencian pada Daendles
 Pencopotan jabatan Daendles
Van der Cappellen
KEBIJAKAN POLITIK PINTU TERBUKA

Politik Pintu Terbuka Sebagai wujud Transformasi Modal dan transformasi Agraria di Indonesia Pasca
defisit keuangan Pemerintah Belanda, para pejabat di bawah pimpinan Elout, Van der Cappellen mulai
melakukan sejumlah kebijakan internal maupun eksternal Kebijakan internal yang dilakukan adalah
dengan melakukan reformasi dan rasionalisasi struktur birokrat negara. Sejumlah pejabat yang disinyalir
melakukan korupsi ditindak secara tegas. Sedangkan di tingkat eksternal, arah kebijakannya ditujukkan
kepada daerah-daerah koloni kerajaan, secara khusus di Hindia Belanda. Hal ini dikarenakan salah satu
penyebab defisit keuangan negara adalah biaya perang yang begitu besar, terutama Perang Diponegoro
dan Perang Paderi. Selain itu juga dikarenakan VOC ( Verenigde Oost Indische Compagnie) mengalami
kerugian besar.

Upaya pertama yang dilakukan adalah penempatan Van den Bosch sebagai Gubernur Jenderal baru,
setelah ditinggal T.S Raffles (1811-1816) yang pulang ke Inggris. Solusi utama peningkatan keuangan
negara adalah pelaksanaan konsep tanam paksa (1830-1870). Orientasi dari pelaksanaan sistem tanam
baru ini adalah peningkatan ekspor daerah koloni yang diperjualbelikan di pasar internasional.
Ketentuan-ketentuan dalam sistem tanam paksa pada dasarnya adalah peningkatan surplus pertanian
yang ditujukan untuk peningkatan keuangan Belanda. Sistem tanam paksa sebenarnya merupakan
lanjutan dari kebijakan liberal dalam bentuk sewa tanah yang telah digagas Raffles. Melalui sewa tanah,
mulai berdatangan sejumlah besar modal akibat datangnya banyak orang Eropa ke Hindia Belanda .
Namun, hal ini tidak betahan lama, karena pasca London Treaty (1814) antara Belanda dan Inggris, maka
Hindia Belanda kembali menjadi wilayah jajahan Belanda (1816). Sistem tanam paksa diterapkan setelah
Belanda kembali menguasai Hindia Belanda. Pelaksanaan tanam paksa mendatangkan keuntungan yang
begitu besar terhadap devisa kerajaan Belanda, karena produk-produk pertanian yang berasal dari
Hindia Belanda laku pesat di pasar internasional, khususnya Eropa dan Amerika. Namun, terjadi
pergolakan pada akhir tahun 1869. Pada akhir 1869, pemilihan Parlemen Belanda didominasi kelompok
liberal. Kelompok liberal yang muncul pada pertengahan abad- XIX di Belanda, melihat bahwa
keuntungan yang begitu besar dari tanah jajahan tidak hanya dimonopoli pemerintah setempat, tetapi
juga harus diberikan kepada pihak swasta berdasarkan mekanisme pasar bebas. Kelompok liberal
merupakan manifestasi dari kelas borjuis Belanda yang juga menginginkan keuntungan dari tanah
jajahan. Kelas borjuis ini menampakkan sifatnya sebagai kelas kapital borjuis, yakni kapital yang hanya
berorientasi pada keuntungan sebesar-besarnya dari surplus pertanian. Dampak selanjutnya orientasi
kebijakan ekonomi di Hindia Belanda juga terpengaruh. Kepemilikan pemerintah yang begitu dominan di
bidang pertanian, khususnya kepemilikan tanah, kemudian harus berganti menjadi kepemilikan swasta.
Terjadi swastanisasi terhadap sektor pertanian dan perkebunan di Hindia Belanda. Banyak perkebunan
swasta bermunculan di Sumatera Timur dan sebagian besar Jawa. Tanaman-tanaman perkebunan
seperti kopi, kina, kopra, kapas menjadi tanaman ekspor yang cukup laku di pasaran internasional. Hal
ini kemudian memunculkan sekelompok pengusaha-pengusaha baru yang berasal dari Eropa yang
menguasai hampir semua surplus kemakmuran dari sektor pertanian. Melihat hal ini Gubernur Jenderal
Van Den Bosch berusaha mengikis kepemilikan swasta yang berlebih dengan sistem bagi hasil yang
sebagian besar dikuasai pemerintah Belanda. Kelas kapital negara muncul atas kegelisahan Van Den
Bosch tersebut. Negara menginginkan dominasi dalam penguasaan keunutngan dari tanah jajahan .
Beberapa langkah yang ditempuh adalah penetapan beberapa undang-undang, seperti :

1. Undang-Undang Perbendaharaan Hindia Belanda (Indische Comptabiliteitswet) tahun 1867 yang


menyatakan bahwa anggran belanja Hindia belanda harus ditetapkan dengan undang-undang, jadi
dengan persetujuan Parlemen belanda

2. Undang-Undang Gula (Suikerwet) tahun 1870, berisi ketetapan bahwa tanaman tebu adalah tanaman
monopoli pemerintah berangsur-angsur akan dihilangkan sehingga di Pulau jawa dapat diusahakan oleh
pengusaha swasta.

3. Undang-Undang Agraria (Agrarichwet) yang berisi :

• Tanah di Hindia Belanda (Indonesia) dibedakan atas dua, yakni tanah rakyat dan tanah pemerintah

• Tanah rakyat dibedakan atas tanah milik yang sifanya bebas dan tanah desa yang miliknya tidak bebas.
Tanah rakyat tidak boleh dijual kepada bangsa asing, hanya boleh disewakan

• Tanah pemerintah dapat dijual untuk tanah milik atau disewakan selama 75 tahun

Melalui kebijakan tanam paksa, kepemilikan modal tetap diberikan kepada swasta yang bekerjasama
dengan pemerintah. Kebijakan ini memunculkan sejumlah besar modal asing yang berasal dari Eropa
dan Amerika. Era ini kemudian dikenal dengan Politik Pintu Terbuka (Open Door Policy). Selain muncul
begitu banyak perkebunan, seperti teh,kopi,kina, serat nanas, kelapa sawit, juga terdapat pembukaan
pertambangan di Hindia Belanda, seperti minyak di Sumatera dan Kalimantan, batubara di Sumatera
Barat dan Selatan, serta timah di Kepulaan Bangka. Masuknya modal swasta ini, kemudian menuntut
bukan hanya keuntungan, tetapi dengan keuntungan yang diperoleh ini mampu memberikan
keuntungan lagi melalui proses industri yang bernafaskan efisiensi dan efektivitas. Kemudian muncullah
jalur kereta api di Hindia belanda, jalan raya, pelabuhan dan sejumlah infrastruktur lainnya demi
tercapainya modernitas, khususnya sektor pertanian. Gaya kapitalis negara, berubah menjadi kapiltalis
industri yang didominasi pengusaha-pengusaha Eropa dan Amerika. Era baru masuknya modal ini justru
membuat masyarakat semakin sengsara. Kondisi pertanian dalam negeri bersifat eksplosif dan
eklsploitatif demi memenuhi kebutuhan ekspor dan pendapatan negara Belanda. Sedangkan para petani
semakin sulit unutk dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Kolonialisme telah mengubah struktur
masyarakat Indonesia dan pola pertanian bangsa ini. Berdasarkan pola tanam baru ini (cultuuer stelsel),
secara tidak langsung mengubah transformasi agraria di Indonesia. Masyarakat Indonesia dipaksakan
menyeragamkan komoditi pertanian demi kepentingan ekspor. Padahal masyarakat Indonesia masih
menerapkan pola pertanian tradisional yang bersifat subsisten. Petani Indonesia pada dasarnya
menggunakn pola produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kalupun terdapat
kelebihan produksi (over production), kelebihan produksi ini dipertukarkan dengan kebutuhan pokok
lainnya. Hal ini berubah setelah pihak kolonial menerapkan pola tanam paksa, dengan memaksa petani
menanamkan produk-produk pertanian berorientasi ekspor yang laku di pasar internasional, seperti
kopi, teh,kina,kapas, kelapa sawit . Selain itu, penggunaan asupan pertanian baru seperti pupuk kimia,
traktor, mesin giling, dan berbagai input lainnya membuat pola pertanian Indonesia bergantung kepada
asupan peningkatan produksi pertanian dari luar negeri. Sistem produksi pertanian Indonesia rentan
terhadap input-input pertanian yang berasal dari Eropa. Berikutnya adalah hancurnya transformasi
agraria di Indonesia. Secara sederhana, transforma agraria adalah peralihan masyarakat dari feodal dan
agraris ke masyrakat kapital dan industrialis. Berpindahnya penduduk pedesaan yang semula agraris
menjadi pekerja sektor modern karena tumbuhnya berbagai bidang kerja sektor modern. Struktur
masyarakat pertanian Indonesia, idealnya mengalami hal ini, tetapi dihambat oleh arus kolonialisme.
Konsepsi Adam Smith bahwa dalam proses transformasi agraria akan memunculkan kelas pekerja, tuan
tanah dan kelas kapitalis. Upah, sewa tanah dan modal merupakan output dari munculnya ketiga kelas
sosial tersebut. Masyarakat Barat melewati proses yang menyeluruh dari transformasi agraria. Kelas
tuan tanah memiliki surplus pertanian yang dikonversi menjadi teknologi pertanian yang berevolusi
menjadi industrialisasi. Terjadinya industrialisasi yang menuntut efektivitas dan efisiensi produksi
membuat sektor pertanian mengalami evolusi menjadi pertanian berbasis agroindustri dan agrobisnis.
Kelas tuan tanah berubah menjadi kelas pemilik modal (kapitalis). Ditambah dengan berkembangnya
lembaga-lembaga demokrasi, maka proses transformasi masyarakat petani di Eropa berjalan maksimal
dan menyeluruh. Sedangkan di Indonesia, pasca masuknya modal asing dan perubahan pola pertanian
lokal, maka proses transformasi juga berjalan mandet, bahkan tidak berjalan sama sekali. Masyarakat
petani di Indonesia, dibagi atas petani sawah (Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan), petani ladang
berpindah (Kalimantan, sebagian besar Sulawesi, NTT) serta petani peramu dan pemburu (Papua) . Pihak
kolonial menghancurkan tatanan pertanian tersebut dan menggantinya dengan pertanian kapital,
dimana surplus pertanian tidak dinikmati oleh para tuan tanah dan kelas pekerja, tetapi dikuasai kelas
kapitalis, baik kapitalis borjuis, kapitalis negara maupun kapitalis industri. Kelas tuan tanah di Indonesia
semasa diberlakukan open door policy, hanya dijadikan pengumpul pajak dan upeti bagi pemerintah,
sebagai imbalannya mereka diberi gaji dan mendaptkan kepercayaan sebagai bagian integral dari
pemerintah kolonial. Sedangkan kelas pekerja yang diisi oleh para petani gurem dan miskin, hanya
menjadi sapi perah pemodal dan pemerintah. Sistem produksi subsisten diganti menjadi pertanian
berorientasi ekspor, yang sama sekali tidak memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan petani
di Indonesia. Akumulasinya adalah di Indonesia, kelas tuan tanah semakin terlantar dan tidak menikmati
sewa tanah dan petani tidak mendapat upah yang layak seperti yang tertera dalam platform wealth of
nationsnya Adam Smith. Wealth of nation hanya diberikan kepada pihak kolonial Belanda, sedangkan
Indonesia hanya menjadi sapi perahan dan lumbung kuli bagi bangsa lain.

Johannes Van den Bosch


KEBIJAKAN POLITIK TANAM PAKSA

Cultuurstelsel (harafiah: Sistem Kultivasi atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Sistem
Budaya) yang oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam Paksa, adalah peraturan yang
dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap
desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan
tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah
dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki
tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi
semacam pajak.

Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib
ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang
digunakan untuk praktik cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan
pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.

Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa
ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan
penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada zaman VOC wajib menjual
komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan
harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar
bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.

Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku
penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.

Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah muncul berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria
1870 dan UU Gula 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia.

Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar
(Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur Jenderal Van den Bosch mendapat izin khusus
melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan
jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.

Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada
pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan.
Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke
Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal
seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.

Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan
desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu
akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-
sumber lain.

Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang
tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.

Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis.
Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung,
dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia
tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di
Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari
Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia
Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api
nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.

Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi
VOC yang telah bangkrut.

Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun
1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun
1850.

Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda,
akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung
sampai 1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria
1870.

KEBIJAKAN POLITIK ETIS

Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial
memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap
politik tanam paksa.

Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan
C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan
nasib para pribumi yang terbelakang.

Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan
Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een
eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral
tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi:

Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan
pertanian

Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi

Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan

Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulsian
Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal
sebagai pencetus politik etis ini.
Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi
untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke
daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa
Indonesia.

Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam
pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari
kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) yang
Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah
berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-
daerah.

Sementara itu, dalam masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara orang-orang Belanda
dan orang-orang pribumi. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap pribumi yang
mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha
menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri
menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya.

Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi dalam
pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda.
Berikut ini penyimpangan penyimpangan tersebut.

Irigasi

Pengairan hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda.
Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.

Edukasi

Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga


administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan
kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu
pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di
sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.

Migrasi

Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-
perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-
daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatera Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain.
Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri.
Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie,
yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi,
kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.

Anda mungkin juga menyukai