Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk Indonesia Pada Masa Pendudukan


Jepang
Pada tanggal 1 Maret 1942, bala tentara Jepang mendarat di pulau Jawa dibawah
pimpinan Vince Admiral Takahasi berhasil mendarat di tiga tempat secara
bersamaan, yaitu di Teluk Banten, di Eretan (Jawa Barat), dan di Kragen (Jawa
Tengah). Jepang dapat dengan mudah menduduki wilayah tersebut di atas tanpa
adanya perlawanan yang berarti dari Belanda. Melalui perundingan antara
Belanda dan Jepang di Kalijati, Subang pada tanggal 8 Maret 1942. Isi dari
perundingan tersebut Jepang mengajukan agar Belanda menyerah tanpa syarat
atau akan lebih banyak lagi korban berjatuhan. Karena pada saat itu penduduk
Belanda banyak yang melarikan diri ke Bandung. Ancaman akan membumi
hanguskan kota Bandung, maka Belanda menuruti keinginan Jepang untuk
menyerah tanpa syarat.
Bagi masyarakat Indonesia, menyerahnya Belanda kepada Jepang merupakan
suatu kegembiraan. Masyarakat Indonesia merasa sudah terbebas dari penjajahan
bangsa Belanda yang sudah dialami sejak lama. Dengan demikian masyarakat
menganggap Jepang sebagai pembebas mereka (Adams, 1966: 210). Kedatangan
Jepang ini dianggap sebagai pahlawan oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena
itu, masyarakat menyambut dengan baik kedatangan Jepang di Indonesia.
Masyarakat menaruh harapan bahwa Jepang akan membawa perubahan untuk
kehidupan yang lebih baik.
Jepang sendiri datang dengan anggapan bahwa mereka adalah saudara tua, yang
datang untuk menyelamatkan masyarakat pribumi dari penindasan yang dilakukan
oleh Belanda. Pada awal kedatangannya, Jepang dengan cepat melakukan
perubahan-perubahan di Indonesia. Di antaranya mengizinkan bendera merah
putih dibiarkan berkibar, diperbolehkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional serta perlakuan yang sama antara kaum priyayi dan pribumi dalam
pendidikan dan lain-lainnya. Pendidikan yang pada awalnya dinikmati oleh
kalangan tertentu, beralih pada masa pendudukan Jepang. Semua lapisan
masyarakat pun bisa menikmati pendidikan. Sikap Jepang ini memberikan
dampak yang positif bagi masyarakat Indonesia. Walaupun apa yang dilakukan
Jepang sebenarnya adalah untuk mendapatkan dukungan yang sebesar-besarnya
dari masyarakat Indonesia. Untuk memudahkan dalam memperoleh dukungan dari

3|
masyarakat Indonesia, pada saat itu Jepang memerlukan tokoh-tokoh sentral di
Indonesia.
Salah satunya adalah Soekarno, beliau merupakan tokoh nasionalis yang dikenal
oleh masyarakat luas. Setelah Jepang sampai di Sumatra, Belanda memutuskan
untuk memindahkan Soekarno dari Bengkulu ke Padang, Sumatra Barat agar
Soekarno tidak dapat bertemu dengan Jepang. Dikhawatirkan Jepang akan
menggunakan Soekarno sebagai alat untuk melawan Belanda. Ada dua cara yang
dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam menanggapi sikap Jepang. Pertama,
adalah dengan jalan kooperatif (bekerja sama) seperti yang dilakukan oleh
Soekarno dan Hatta. Kedua, non-kooperatif (tidak bekerja sama, biasanya dengan
melakukan gerakan bawah tanah untuk menentang Jepang) yang dilakukan oleh
Amir Syarifudin dan Sutan Syahrir.
Jepang bukan hanya memanfaatkan sumber daya alamnya saja, tetapi sumber daya
manusianya pun dipergunakan untuk kepentingan perangnya. Masyarakat
Indonesia pada awalnya bekerja secara sukarela, hal tersebut dilakukan sebagai
bentuk balas budi kepada Jepang. Namun tak berlangsung lama para pekerja ini
pada akhirnya dieksploitasi tenaganya demi kepentingan Jepang. Sedangkan
pengertian Eksploitasi sendiri adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan
korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan
paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan,
pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum
memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau
memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk
mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial. Para pekerja kasar
tersebut biasanya disebut dengan istilah Romusha.
Romusha adalah sebuah kata Jepang yang bermakna semacam ”serdadu kerja”
(Jong, 1987: 60) sedangkan menurut Kurasawa (1993: 123) Romusha secara
harfiah diartikan sebagai seorang pekerja yang melakukan pekerjaan sebagai
buruh kasar. Sehingga pengertian Romusha adalah buruh atau pekerja kasar yang
dipekerjakan secara paksa pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Setiap
laki-laki yang berusia kurang dari 30 tahun diberangkatkan untuk dikirim
keberbagai daerah di Indonesia bahkan sampai ke luar negeri. Ketika Jepang
menduduki Jawa, salah satu tujuannya untuk mendapatkan sumber-sumber pangan
yang sangat penting bagi kehidupan mereka selama perang berlangsung.
Sebelumnya, sebagian besar tanah Jawa digunakan Belanda untuk menanam
kebutuhan bagi perdagangan mereka di Eropa. Seperti gula, tembakau, kopi, teh

4|
dan karet. Langkah awal yang dilakukan Jepang adalah dengan memperbolehkan
pemasaran bebas dengan memberlakukan pengawasan harga seperti pada masa
penjajahan Belanda. Para petani masih dapat menyalurkan hasil mereka, dan
orang Jepang membeli beras yang dibutuhkan melalui Rijst Verkoop Centraal
(Pusat Pembelian Beras). Secara perlahan Jepang mulai memberlakukan beberapa
kebijakan politik berasnya. Dari kebijakan tersebut masyarakat semakin terbebani
oleh pajak yang tinggi. Para petani diperintahkan untuk menyerahkan kuota per
hektar yang luar biasa tingginya (Jong, 1987: 90). Belum lagi tindakan dari
pejabat daerah yang sebelumnya sudah meningkatkan kuota tersebut. Tujuan
ditingkatkannya kuota tersebut adalah untuk menghindari kekurangan dari target
yang diterapkan oleh pemerintah Jepang.
Dampak dari kelaparan lebih terasa bagi mereka yang berada di pedesaan. Terjadi
busung lapar karena pasokan beras nyaris tidak ada. Beras hasil panen banyak
didistribusikan ke kota. Selama pendudukan Jepang berlangsung, kebutuhan akan
bahan pangan sangat berpengaruh baik itu bagi masyarakat Indonesia atau pun
bagi Jepang. Pentingnya beras ini akan mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi
masyarakat, karena beras merupakan konsumsi utama tak hanya bagi Jepang
tetapi juga bagi petani. Gambaran di atas menunjukan bagaimana kondisi sosial
ekonomi masyarakat Indonesia pada masa pendudukan Jepang di Indonesia.
Masyarakat menjadi korban keberingasan oleh sistem buatan Jepang. Masyarakat
diperas tenaganya hingga dibiarkan mati karena kelaparan dan kelelahan. Sikap
Jepang seolah tak peduli, mereka hanya memikirkan bagaimana memanfaatkan
semua yang ada di Indonesia untuk kepentingan perang. Potensi sumber daya
yang dimiliki oleh Indonesia dikuras habis oleh Jepang.

2.2 Kemunculan Jugun Ianfu Dan Perkembangannya


2.2.1 Kemunculan Jugun Ianfu
Sebelum membahas mengenai jugun ianfu terdapat penjelasan mengenai sosial-
budaya masyarakat Jepang. Pada masa Shogun, masyarakat Jepang beranggapan
bahwa perempuan itu hanya sebagai pelengkap dalam hidup kaum laki-laki.
Perempuan hanya dianggap sebagai benda, karena dalam kesehariannya mereka
hanya berada di dalam rumah menunggu kehadiran suaminya. Selama hidupnya
hanya didedikasikan untuk melayani suami beserta keluarganya. Sehingga
kehidupan perempuan di Jepang merasa dikekang oleh laki-laki. Hal inilah yang
memicu laki-laki di Jepang kurang bisa menghormati perempuan. Laki-laki bisa
dengan seenaknya mencari perempuan lain untuk dijadikan simpanan, tanpa ada

5|
penolakan dari istrinya. Selain itu tentara Jepang beranggapan bahwa terdapat
hubungan antara perang dengan seks.
George Hicks (1994: 32-33) menjelaskan bahwa :
They included the belief that sex before going into battle worked as a charm
against injury. Amulets could be made with the pubic hair of comfort women, or
from something belonging to them. Sexual deprivation was believed to make one
accident-prone. Sex also acted to relieve combat stress and, particularly in the
Japanese case, the savage discipline endured by the troops.
Terjemahan
Mereka (tentara Jepang) meyakini bahwa seks sebelum masuk ke pertemuran
bekerja layaknya sebuah obat terhadap luka. Jimat bisa dibuat dari ”bagian tubuh”
jugun ianfu atau sesuatu lainnya dari bagian tubuh mereka. Perampasan seksual
diyakini dapat membuat terhindar dari kecelakaan. Seks juga bertindak untuk
meringankan stres dan dalam kasus Jepang, tindakan indisipliner yang alami oleh
tentara Jepang.
Sehingga tentara Jepang memandang bahwa seks dengan perang menjadi suatu
yang penting untuk disandingkan. Tentara Jepang sering menjadikan salah satu
bagian tubuh korban perempuannya sebagai jimat yang akan memberikan
pengaruh bagi mereka selama pertempuran berlangsung.

2.2.2 Pengertian Jugun Ianfu


Jugun Ianfu Berasal dari Ju= ikut, Gun= Militer sedangkan Ian= Penghibur, Fu =
Perempuan. Kaum perempuan yang direkrut untuk menjadi Jugun Ianfu bukan
hanya perempuan yang berasal dari kalangan bawah aja, tetapi berasal dari
kalangan atas juga. Kaum perempuan yang berasal dari kalangan atas dijanjikan
untuk mendapatkan beasiswa sekolah di Tokyo. Isu akan disekolahkan oleh
Jepang menimbulkan dampak yang positif bagi masyarakat pribumi pada saat itu.
Isu tersebut dapat meyakinkan para perempuan bahwa mereka akan disekolahkan.
Alasan mengapa perempuan pribumi dapat dengan mudah untuk dikelabui (Lucia
Juningsih : 14).

Para wanita yang dijadikan jugun Ianfu usianya masih relatif muda yakni antara
12 sampai 30 tahun. Jugun ianfu merupakan bentuk eksploitasi terhadap
perempuan yang dilakukan Jepang pada masa pendudukannya. Tidak hanya di
Indonesia tetapi di negara-negara yang diduduki Jepang pun terdapat jugun ianfu.
Tujuannya adalah agar tentara Jepang tidak melakukan hubungan seksual dengan

6|
pelacur atau melakukan kekerasan terhadap perempuan pribumi. Hal inilah
memicu banyak tentara Jepang yang terkena penyakit kelamin. Kejadian tersebut
menyulitkan pemerintah Jepang dalam melakukan ekspansinya ke daerah lainnya,
karena dapat mengganggu mental para tentaranya. Sehingga pemerintah harus
mensterilkan tempat-tempat pelacuran, yaitu dengan membuat tempat khusus bagi
para tentaranya. Kemudian mengurangi tindak perkosaan terhadap penduduk.
Kemudian penderitaan jugun ianfu ini semakin bertambah, karena setiap
perempuan setidaknya harus melayani sekitar 10-15 orang tentara Jepang dalam
satu harinya. Hal ini berlangsung setiap hari, kecuali perempuan tersebut
mengalami masa Haid ataupun sakit. Perempuan mengalami nyeri dan sakit pada
seluruh badannya terutama pada alat vitalnya. Seringkali terdapat jugun ianfu
yang mengalami pendarahan akibat perlakuan kasar ataupun karena melakukan
hubungan biologis secara berulang-ulang. Siksaan semakin bertambah ketika di
antara mereka kedapatan hamil. Dokter setempat menganjurkan jugun ianfu
tersebut untuk menggugurkan kandungannya.

2.2.3 Perkembangan Jugun Ianfu


Kebutuhan tentara Jepang terhadap perempuan menyebabkan pemerintah Jepang
harus mendirikan kamp-kamp khusus perempuan berdampingan dengan barak
tentara di garis depan.
Secara perlahan kamp-kamp khusus ini menjadi sebuah sistem tersendiri, yaitu
dengan membuat jaringan yang akan mengatur perekrutan hingga kepada
pengiriman perempuan-perempuan ke berbagai tempat di daerah yang di duduki
oleh Jepang. Sistem ini bahkan melibatkan pejabat setempat untuk perekrutan
perempuan-perempuan pribumi. Sehingga menjadi suatu sistem yang terstruktur
selama pendudukan Jepang berlangsung. Ketika jumlah tentara semakin banyak,
maka kebutuhan tentara Jepang terhadap perempuan penghibur pun semakin
meningkat. Pemerintah menyarankan untuk mencari sendiri perempuan pribumi di
daerah yang didudukinya. Maka dibuatlah sistem jugun ianfu untuk mengatasi
masalah kekurangan jumlah perempuan penghibur. Inilah alasan mengapa Jepang
sangat memerlukan sistem yang disebut dengan jugun ianfu pada awal
pendudukannya di Korea dan Cina. Kemudian sistem jugun ianfu ini dijalankan
diseluruh barak tentara Jepang berada. Tetapi, dilokasi-lokasi tertentu seperti di
dalam kota pun terdapat jugun ianfu.
Perekrutan Jugun Ianfu ini dilakukan secara terselubung. Kedatangan Jepang di
Indonesia terutama di Jawa sendiri tidak dianggap masyarakat sebagai ancaman

7|
yang berarti. Sejumlah tradisi yang diperkenalkan oleh Jepang tidak dianggap
sebagai bentuk konfrontasi langsung terhadap penduduk. Hal ini yang membuat
rakyat pribumi tidak menaruh kecurigaan terhadap kedatangan Jepang. Tidak
adanya kecurigaan terhadap kaum Jepang membuat banyak perempuan yang
akhirnya tertipu dan menjadi Jugun Ianfu. Jugun Ianfu direkrut dari desa-desa
dengan berbagai cara ada yang menggunakan kekerasan, tipu muslihat, dan
ancaman. Sebagian besar perempuan Jawa direkrut dengan cara tipu muslihat.
Iming-iming akan pekerjaan di suatu tempat dengan upah yang besar membuat
sebagian besar perempuan ini mau saja dibawa oleh para tentara Jepang,
meskipun pada akhirnya mereka mengetahui bahwa pekerjaan itu tidak pernah
ada. terdapat dua faktor yang menjadi pertimbangan utama militer Jepang dalam
proses perekrutan, pertama, ekonomi, kebanyakan perempuan Indonesia yang
direkrut sebagai Jugun Ianfu berasal dari golongan wong cilik seperti petani,
buruh dan keluarga tukang batu. Pertimbangan kedua, perempuan yang secara
sosial merupakan ‘perempuan baik', dalam arti perempuan tersebut bukan pekerja
seks.
Ada pun tempat untuk menampung para Jugun Ianfu itu bernama Lanjo4 yang
berasal dari Lan = Hiburan dan Jo = Tempat. Barak-barak militer tentara Jepang
yang berdiri di suatu wilayah yang didudukinya selalu berdekatan dengan lanjo-
lanjoJugun Ianfu. Alasannya agar pihak militer dapat mengawasi aktifitas seksual
prajuritnya. Tim khusus yang dibentuk oleh pemerintah Jepang yang bekerja
selama 6 bulan berhasil menemukan 127 Dokumen dari 4 instasi pemerintahan
Jepang. Sistem perekrutan jugun ianfu :
a. Perekrutan
Selama perang, Jepang membutuhkan perempuan sebagai pelampiasan perangnya.
Oleh karena itu, banyak perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual oleh
Jepang. Walaupun kebutuhan seksual tentara Jepang terpenuhi dengan cara kasar
dan tidak manusiawi. Hal tersebut memiliki dampak bagi para tentaranya, yaitu
penyebaran penyakit kelamin. Menghindari penyebaran penyakit tersebut maka
pemerintah Jepang mengambil inisiatif untuk merekrut para perempuan pribumi.
Tujuannya adalah untuk menghibur tentara Jepang serta memenuhi kebutuhan
biologis mereka. Melalui sistem yang bernama jugun ianfu, Jepang mulai
melakukan perekrutan terhadap perempuan pribumi untuk dijadikan jugun ianfu.
Tetapi sebelumnya perlu dijelaskan bagaimana sistem jugun ianfu tersebut perlu
ada. Pertama, yaitu untuk mengurangi tingkat kekerasan terhadap penduduk yang
dilakukan oleh tentara Jepang selama perang dengan Cina. Kedua, pemimpin

8|
militer Jepang percaya bahwa itu menjadi sangat penting untuk psikologi
tentaranya selama perang. Ketiga, untuk mengontrol menyebarnya penyakit
terutama penyakit kelamin. Keempat, pihak militer percaya bahwa tempat
pelacuran tersebut berfungsi sebagai kontrol untuk alasan keamanan. Alasan
tersebut menjelaskan bahwa Jepang sangat membutuhkan perempuan bukan
hanya untuk kesenangan semata. Tetapi sebagai kebutuhan selama perang
berlangsung. Kemudian sistem jugun ianfu ini menjadi legal karena pemerintah
pusat memberikan perintah untuk menyediakan tempat-tempat pelacuran.
1.Penculikan, dimana militer Jepang kerap melakukan perekrutan paksa,
yaitu penculikan yang disertai aksi kekerasan, penyiksaan dan
pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan muda di jalan-jalan, di
rumah-rumah penduduk, atau tempat perempuan muda tersebut bekerja
(sawah atau di perkebunan). Mereka diambil paksa tanpa diketahui oleh
sanak saudara atau anggota keluarganya.
2. Pemaksaan, dimana militer Jepang memaksa calon Jugun Ianfu dan
keluarganya dengan menyebarkan perasaan takut terhadap berbagai
ancaman dan teror secara terus menerus, sebagai bentuk kekerasan
psikologi.
3. Penipuan, mengutip tulisan Koichi Kimura (Penulis buku “Momoye:
Mereka Memanggilku”, yang berisikan kesaksian nyata seorang Jugun
Ianfu); atas tiga cara perekrutan yang dilakukan pemerintah Jepang,
metode yang ketiga ini merupakan bentuk pemaksaan dengan cara
menipu mereka (perempuan-perempuan Indonesia) dan keluarganya
dengan menjanjikan pendidikan di Tokyo dan Shonanto (Singapura),
ataupun akan diberi pekerjaan yang layak. Metode ini menggunakan agen
perantara/broker untuk dalam proses perekrutannya.

b. Kesehatan
Setelah perempuan direkrut sebelumnya, mereka dibawa ke tempat khusus di
tengah kota. Kemudian para perempuan tersebut mendapat perawatan medis
berupa tes kesehatan oleh para dokter Jepang sebelum di bawa ke Ian-jo (tempat
jugun ianfu). Penjelasan tersebut diperkuat oleh Juningsih (1999: 25) bahwa : Para
wanita yang direkrut menjadi jugun ianfu sebelum dipekerjakan di rumah bordil
diperiksa kesehatannya terlebih dahulu, dengan tujuan menjamin kesehatan
tentara dan sipil Jepang supaya tidak terjangkit penyakit kelamin yang dapat
memperlemah kekuatannya. Pemeriksaan itu tidak berhenti saat perekrutan, tetapi
terus berlanjut sampai Jepang kalah perang.
Pentingnya pemeriksaan kesehatan para perempuan tersebut merupakan alasan
mengapa Jepang mendirikan jugun ianfu, yaitu untuk mendapatkan perempuan
yang bersih dan bisa memenuhi kebutuhan seks Jepang tanpa perlu khawatir akan
terjangkit penyakit kelamin. Apabila ada perempuan yang terkena penyakit,
pemerintah Jepang segera memisahkan perempuan tersebut agar tidak menularkan

9|
penyakitnya ke perempuan lainnya. Perempuan yang memiliki penyakit biasanya
dialihkan untuk bekerja sebagai pembantu di rumah pejabat Jepang atau
dipekerjakan ditempat lainnya.

c. Bentuk Ian-jo
Setelah selesai melakukan pemeriksaan tes kesehatan, calon jugun ianfu ini mulai
disebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Misalnya jugun ianfu dari daerah
Yogyakarta, mereka disebar ke Bantul, Magelang Klaten, Kalimantan. Bahkan
ada yang sampai ke luar negeri. Ian-jo merupakan salah satu tempat bagi para
jugun ianfu. Hindra dan Kimura (2007: 240) menjelaskan bahwa terdapat enam
tipe, antara lain :
1) Ian-jo yang didirikan di luar pulau Jawa yang diisi dengan
perempuanperempuan
dari Jawa (ada banyak penduduk yang dibawa ke pulau-pulau
yang lain).
2) Ian-jo yang diisi dengan perempuan yang diculik oleh militer Jepang yang
barak militernya tidak jauh dari rumah-rumah penduduk.
3) Kediaman para perwira Jepang yang berfungsi sebagai Ian-jo, dimana
perempuan tersebut dipaksa untuk melayani kebutuhan biologis bagi para
perwira Jepang.
4) Ian-jo yang diisi dengan perempuan-perempuan dari Korea dan Taiwan yang
pada saat itu menjadi koloni Jepang.
5) Ian-jo yang berisi perempuan-perempuan Belanda, yang dipaksa
meninggalkan kamp-kamp konsentrasinya.
6) Ian-jo di Singapura, Birma, Filipina, dimana perempuan-perempuan
Indonesia dibawa pergi dengan paksa.
Jenis Ian-jo di atas menjelaskan bahwa tiap jugun ianfu memiliki latar belakang
yang berbeda sebelum dimasukan ke dalam Ian-jo. Walaupun pada umumnya
Jepang menggunakan sistem yang sama dalam perekrutannya. Tetapi dalam
kenyataannya tetap saja Jepang ini melakukan perekrutan dengan cara paksa
terhadap perempuan pribumi. Perekrutan secara paksa ini banyak terjadi
menjelang berakhirnya pendudukan Jepang di Indonesia. Berdasarkan penjelasan
Ian-jo di atas menunjukan bahwa Jepang melakukan perekrutan dengan cara
paksa terhadap perempuan pribumi. Terdapat pula Ian-jo yang berisi jugun ianfu
dari daerah lain. Sejak pertama kali Jepang mendarat di Indonesia. jugun ianfu
asal Korea sudah ditempatkan di salah satu Ian-jo di Sumatra.

10 |
d. Denah Ian-jo
Bentuk bangunan yang umum bagi para jugun ianfu ini seperti gambar dibawah
ini.

Keterangan :
A : Ruang Periksa kesehatan
B : Loket karcis
C : Ruang tunggu
D : Kamar mandi
E : Dapur
F : Pintu
G : Pintu gerbang
H : Pagar
I : Rawa
J : Jalan Raya

Dari denah di atas terdapat beberapa kamar yang mengelilingi bangunan utama
yang digunakan sebagai tempat untuk membeli karcis dan sebagai tempat untuk
menunggu. Kemudian dikelilingi oleh pagar yang dalam hal ini adalah tembok
yang tinggi dan di bagian luarnya dipenuhi oleh rawa sehingga kemungkinan bagi
para jugun ianfu yang berada di dalam Ian-jo tidak bisa untuk melarikan diri.
Denah berikutnya adalah bentuk dari setiap kamar yang ada di dalam Ianjo.

Keterangan :
A : Meja dan kursi kayu
B : Tempat tidur, lengkap
C : Tempat cuci, yang dilengkapi
botol obat

e. Penempatan Jugun Ianfu di Dalam Ian-jo


Ketika pertama kali dibawa ke tempat khusus yang disebut dengan Ian-jo ini, para
jugun ianfu langsung dimasukan ke tiap-tiap kamar. Di depan kamar terpampang
nama jugun ianfu yang menggunakan nama Jepang. Sedangkan nama asli para

11 |
perempuan yang menjadi jugun ianfu tidak lagi dipakai sampai masa pendudukan
Jepang berakhir. Penggunaan nama Jepang ini bertujuan agar para Tentara atau
Sipil Jepang merasa sedang berada di kampung halamannya sendiri dan layaknya
sedang berhubungan dengan perempuan Jepang. Selama berada di dalam Ian-jo,
kehidupan jugun ianfu sepenuhnya menjadi milik Jepang. Mereka diatur
sedemikian rupa.

2.3 Akhir Nasib Jugun Ianfu


Penderitaan yang di alami oleh jugun ianfu pada masa pendudukan Jepang telah
berakhir. Ditandai dengan kekalahan Jepang dalam perang Dunia ke- II. Setelah
pendudukan Jepang berakhir banyak dari para jugun ianfu ini yang tidak bisa
berbuat apa-apa. Selama ini mereka bergantung kepada Jepang selama berada di
dalam Ian-jo. Sehingga mereka tidak tahu sedang berada dimana dan mau
kemana. Pada masa ini merupakan penderitaan lanjutan bagi jugun ianfu, beban
psikologis dan fisik mereka sebagai perempuan merasa sulit untuk bisa
beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Selain itu mereka juga mantan jugun
ianfu. Tentunya ini berdampak pada tanggapan masyarakat terhadap mereka.
banyak di antara mereka yang dihina bahkan dipukuli karena sudah menjadi
ransum Jepang. Ada beberapa yang bertahan ada pula yang tidak. Karena perasaan
perempuan sangat berdampak pada psikologis dan fisiknya. Bagi yang bertahan
mereka beranggapan bahwa masih ada kehidupan yang lebih baik setelah mereka
meninggalkan Ian-jo tersebut. Masih adanya luka yang dirasakan baik fisik atau
pun psikis oleh mantan jugun ianfu ini. Kehidupan mereka sangat menderita,
selain karena cacat fisik juga rasa malu dan hina dalam bersosialisasi di
masyarakat. Setelah berakhirnya pendudukan Jepang banyak orang yang
menganggap bahwa mereka adalah bekas pelacur Jepang. Sehingga mereka
merasa malu untuk berinteraksi dengan masyarakat di lingkungannya. Ketika
kebebasan sudah didapatkan oleh mantan jugun ianfu, tetapi mereka tidak
sepenuhnya menikmati hak-haknya. Mantan jugun ianfu ini masih tersubordinasi
dan marginalisasi dari lingkungannya. Jugun Ianfu. Namun, berakhirnya sistem
Jugun Ianfu bukan berarti masalah selesai. Muncul masalah-masalah baru yang
harus dihadapi oleh para perempuan ex-Jugun Ianfu tersebut, antara lain:
(1) Kesehatan yang buruk, akibat kekerasan fisik, psikologis, dan seksual yang
mereka alami selama menjadi Jugun Ianfu. Karena mereka tidak memiliki cukup
uang untuk memelihara kesehatannya, sebagian besar Jugun Ianfu meninggal
akibat tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai.

12 |
(2) Trauma akibat perbudakan seks yang harus mereka jalani pada usia yang
masih sangat muda.
(3) Tertekan secara sosial karena sebagian besar masyarakat menganggap mereka
sebagai perempuan kotor dan hina, mengingat masyarakat tidak mendapatkan
informasi yang benar tentang sejarah Jugun Ianfu.
(4) Tertekan secara psikis karena perasaaan bersalah telah menjadi Jugun Ianfu.

(5) Sebagian besar Jugun Ianfu dalam keadaan miskin karena ditolak bekerja di
tengahtengah masyarakat akibat pengalaman mereka di masa lalu sebagai seorang
Jugun Ianfu.

a. Tuntutan Keadilan dan Kebenaran bagi Jugun Ianfu


Mardiyem, Lasiyem, Suharti, hanyalah secuil nama korban dan penyintas Jugun
Ianfu yang sampai hari ini masih terus menuntut keadilan dan kebenaran atas
nama ribuan lebih kawan-kawan Jugun Ianfu. Laporan Komnas HAM bersama
dengan Jaringan Advokasi Jugun Ianfu Indonesia memetakan setidaknya tiga
tuntutan keadilan dan kebenaran yang disuarakan oleh para korban dan penyintas:
1. Permintaan maaf
Semenjak adanya putusan dua tribunal internasional di Tokyo dan The Haque,
bahwa Tenno Hirohito bersalah dan pemerintah Jepang harus meminta maaf
kepada para korban Jugun Ianfu, publik internasional menunggu pelaksanaan
putusan tersebut. Namun, sampai saat ini, pemerintah Jepang belum juga
menyampaikan permintaan maafnya secara terbuka. Bahkan, Jepang tidak
mengakui pengadilan rakyat melawan pemerintahan Jepang tersebut. Jepang tidak
mengakui dan tidak mau melaksanakan putusan tribunal tersebut dengan alasan
bahwa Jepang tidak menyepakati perjanjian tentang pengadilan internasional.
Namun, dalam beberapa dokumen yang ditemukan sekitar tahun 1950-an
menyebutkan bahwa militer Jepang terlibat secara langsung dalam pembuatan
jaringan rumah pelacuran yang selalu didirikan di sekitar markas militer Jepang
dan dikenal sebagai Ian-jo. Selain itu, pada 13 Januari 1992, sekretaris kabinet
Jepang, Kato, untuk pertama kalinya mengakui bahwa tentara kerajaan Jepang
terlibat dalam pengelolaan rumah bordir militer Ian-jo. Dari temuan-temuan
tersebut, sudah terbukti bahwa militer Jepang seharusnya bertanggungjawab atas
perang yang dilakukannya di Asia Pasifik dan dampak yang ditimbulkan dari
perang tersebut. Salah satunya kekerasan terhadap perempuan dan anak
perempuan (dalam hal ini perbudakan seksual) yang hampir dipastikan selalu
muncul dalam setiap perang atau konlik bersenjata. Sehingga sudah

13 |
seharusnyalah, Jepang sebagai bangsa yang menjunjung tinggi jiwa ksatria dan
bertanggungjawab, berbesar hati meminta maaf kepada semua negara yang telah
dijajah maupun diduduki, semasa perang Asia Pasifik dahulu. Permintaan yang
tidak banyak namun prinsipil, dari para korban Jugun Ianfu kepada pemerintah
Jepang, yakni permintaan maaf dan pengembalian hak-hak paling mendasar
sebagai manusia. Yakni hak untuk hidup layak sebagai manusia yang bebas dari
kekerasan dan stigma sosial yang negatif. Inilah yang menjadi tuntutan para
korban Jugun Ianfu. Karena jika mau jujur, para korban Jugun Ianfu ini semasa
dijadikan Jugun Ianfu mengalami siksaan psikis dan seksual yang dampaknya
mereka rasakan sepanjang masa hidupnya. Bahkan kerusakan organ seksual dan
reproduksi karena perlakuan yang tidak manusiawi dari para tentara dan sipil
Jepang.
b. Reparasi hak-hak Jugun Ianfu (Restitusi, Rehabilitasi, Kompensasi)
Sejak kemunculan perempuan-perempuan Indonesia yang dijadikan budak seks
masa pendudukan Jepang. Pemerintah Jepang sampai saat ini belum pernah
memberikan reparasi secara langsung terhadap para Jugun Ianfu Indonesia
sebagai bentuk kompensasi atas permintaan maaf resmi negara Jepang yang telah
menjadikan perempuan perempuan Indonesia budak seks selama pendudukan
Jepang di Indonesia 1942-1945. Untuk mengelak dari tanggungjawab perang,
Pemerintah Jepang tahun 1995 membentuk Lembaga swasta yang bernama Asian
Women’s Fund (AWF)30 bertujuan untuk memberikan ganti rugi uang secara
tunai kepada para Jugun Ianfu Asia yang masih hidup tanpa permintaan maaf
yang resmi dari Pemerintah Jepang. Tindakan Pemerintah Jepang ini memicu
kontroversi, oleh karena sumber pendanaan berasal dari para pengusaha dan
masyarakat Jepang yang tidak mengetahui mengenai masalah Jugun Ianfu. Hal ini
menyebabkan Jugun Ianfu Asia (termasuk Indonesia) menolak pembayaran ganti
rugi dari kelompok AWF. Namun dengan berbagai tipu muslihat Pemerintah
Jepang melalui AWF berhasil mengelabui sebagian Jugun Ianfu di Asia yang
sebagian besar hidup miskin dan membutuhkan uang. Dari berbagai sumbangan
yang berhasil dikumpulkan AWF dari masyarakat Jepang, AWF telah membayar
uang ganti rugi sebesar 2 juta yen atau USD 19.470 pada setiap orang dari 285
mantan Jugun Ianfu di Filipina, Korea Selatan, dan Taiwan. Sementara itu,
Pemerintah Jepang memberi 2 juta yen sampai 3 juta yen per orang sebagai dana
santunan kesehatan. AWF juga memberi dana bantuan kesehatan kepada 79
perempuan di Belanda. Di Indonesia, AWF memberikan uang kompensasi kepada
Pemerintah Indonesia melalui Departemen Sosial untuk membangun panti jompo

14 |
di lima wilayah di lima propinsi yang berbeda di Indonesia antara lain Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sumatra Utara.
Namun kenyataannya sampai saat ini, panti jompo yang dijanjikan tidak pernah
jelas kabarnya. Sedangkan para Jugun Ianfu tidak pernah menerima dana bantuan
dari Pemerintah Indonesia sepeser pun. Panti Jompo bukanlah solusi yang tepat
sebab panti jompo membuat Jugun Ianfu terisolasi dari lingkungannya yang
selama ini memberikannya kasih sayang. Ikatan kekeluargaan yang masih kuat
dalam budaya Indonesia rupanya membuat panti jompo kehilangan popularitasnya
sebagai tempat “ideal” bagi para manula. Selain itu tidak ada jaminan bahwa panti
jompo mampu menggantikan peran keluarga, dapat memberikan fasilitas
kesehatan khususnya organ reproduksi bagi para Jugun Ianfu serta fasilitas
pelayanan konseling paska traumatik serta fasilitas khusus lainnya untuk
kebutuhan Jugun Ianfu. Oleh karena itu pemberian reparasi langsung sesuai
kebutuhan korban sangat diperlukan.

15 |

Anda mungkin juga menyukai