Anda di halaman 1dari 9

Nama : Made Candra Monica

Kelas : XI Mipa 2
No : 20

RESPON BANGSA INDONESIA TERHADAP


KOLONIALISME & IMPERIALISME

Ada empat aspek utama yang terjadi di Indonesia setelah merespon sistem kolonialisme dan
imperialisme, antara lain ekonomi dan politik, sosial dan budaya, seni dan sastra, serta
pendidikan.
1. ASPEK EKONOMI DAN POLITIK
Bangsa Indonesia pada masa kolonialisme dan imperialisme dirugikan dalam bidang ekonomi dan
politik. Oleh karena itu, bangsa Indonesia melakukan perlawanan terhadap Portugis, VOC, dan
pemerintahan Hindia Belanda. Beberapa perlawanan berupa perang akibat ekonomi dan politik in,
di antaranya:

Perlawanan Terhadap Portugis


Ada beberapa peristiwa besar yang terjadi akibat upaya bangsa Indonesia melawan penjajahan
bangsa Portugis, antara lain:

 Perlawanan Kesultanan Ternate

Kebijakan monopoli perdagangan bangsa Portugis membuat Sultan Hairun memimpin


perlawanan rakyat Ternate terhadap mereka. Sayangnya, Sultan Hairun berhasil
ditangkap dan dihukum mati oleh bangsa Portugis pada tahun 1570. Meski demikian,
perlawanan Kesultanan Ternate tidak berhenti di situ. Perjuangan Sultan Hairun
kemudian dilanjutkan oleh Sultan Baabulah. 

Di bawah kepemimpinan Sultan Baabulan inilah Kesultanan Ternate berhasil mengusir


bangsa Portugis dari Maluku pada tahun 1575. Bangsa Portugis yang terusir dari Maluku
ini kemudian menyingkir ke Pulai Timor dan berkuasa di Timor Timur hingga menjelang
akhir abad ke-20. 

 Perlawanan Kesultanan Demak

Selain di Ternate, bangsa Portugis juga melakukan praktik monopoli perdagangan


mereka di Malaka. Praktik monopoli tersebut membuat para saudagar Muslim di Malaka
merasa terganggu. Kesultanan Demak yang khawatir bangsa Portugis juga akan
mengekspansi pulau Jawa dan merasa perlu menunjukkan solidaritas mereka terhadap
Kesultanan Malaka dan para saudagar Muslim yang ada di Malaka, akhirnya
memutuskan untuk menyerang bangsa Portugis.

Di bawah pimpinan Sultan Trenggono, Kesultanan Demak menyerang Sunda Kelapa


pada tahun 1526 dan berhasil menguasai wilayah tersebut. Setahun kemudian, pada tahun
1527, bangsa Portugis yang saat itu tidak menyadari kalau Sunda Kelapa sudah dikuasai
oleh Kesultanan Demak, datang untuk membangun benteng di sana.

Akibatnya, bangsa Portugis pun berhasil diusir oleh Kesultanan Demak di bawah
kepemimpinan Fatahillah. Fatahillah kemudian mengganti nama Sunda Kelapa menjadi
Jayakarta, yang berarti kemenangan yang gemilang.

 Perlawanan Kesultanan Aceh

Perlawanan Kesultanan Aceh terhadap bangsa Portugis dimulai pada tahun 1514–1540 di
bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah. Pada masa itu Kesultanan Aceh
berhasil mengusir bangsa Portugis dari wilayah Aceh. Perlawanan Kesultanan Aceh
terhadap bangsa Portugis kemudian dilanjutkan oleh Sultan Alaudin Riayat Syah Al-
Qahar pada tahun 1538–1571 dengan bantuan Turki.

Sultan Alaudin Riayat Syah, yang menjadi penggantinya, juga menyerang bangsa
Portugis di Malaka pada tahun 1573 dan 1575. Sultan Iskandar Muda pun pernah
menyerang bangsa Portugis di Malaka pada tahun 1615 dan 1629.

Sekalipun Sultan Iskandar Muda tidak berhasil mengusir bangsa Portugis, dari Malaka,
perlawanan rakyat Aceh terus berlanjut sampai Malaka jatuh ke tangan VOC pada tahun
1641.

Perlawanan Terhadap VOC

Ada beberapa peristiwa penting yang terjadi sebagai upaya bangsa Indonesia melawan
penjajahan VOC, antara lain:

 Perlawanan Kesultanan Mataram

Awalnya, hubungan Kesultanan Mataram dengan VOC berjalan dengan baik, sampai-
sampai Kesultanan Mataram mengizinkan VOC mendirikan benteng sebagai kantor
perwakilan dagang di wilayah Jepara. Namun, lama-kelamaan Sultan Agung menyadari
kalau keberadaan VOC membahayakan pemerintahannya.

Sultan Agung pun mulai menyerang VOC pada tahun 1628, tapi serangan pertama ini
gagal dan mengakibatkan sekitar 1.000 prajurit Mataram gugur. Serangan kedua yang
dilakukan pada bulan Agustus–Oktober 1629 pun mengalami kegagalan karena
Kesultanan Mataram kalah persenjataan, kekurangan persediaan makanan (karena
lumbung-lumbung persediaan makanan yang ada di Tegal, Cirebon, dan Karawang
dimusnahkan VOC), jarak yang terlalu jauh, dan wabah penyakit yang menyerang
pasukan Mataram. 

 Perlawanan Kesultanan Gowa

Perlawanan Kesultanan Gowa dimulai dengan pelucutan dan perampasan armada VOC di
Maluku, di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin. Perang Makassar pun pecah karena
pelucutan dan perampasan armada tersebut. Perang Makassar berlangsung selama tiga
tahun, dari tahun 1666–1669. Dalam Perang Makassar, VOC bersekutu dengan Arung
Palaka, Raja Bone, yang saat itu berseteru dengan Kerajaan Gowa.

 Perlawanan Kesultanan Banten

Perlawanan Kesultanan Banten dimulai karena persaingan dagang dengan VOC dan
gangguan VOC terhadap politik Kerajaan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa pada akhirnya
melawan VOC dengan bekerja sama dengan pedagang-pedagang asing lainnya, seperti
pedagang Inggris.

Sultan Ageng kemudian menyerang kapal-kapal VOC yang ada di perairan Banten serta
wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Batavia, seperti peperangan di daerah Angke
dan Tangerang pada tahun 1658–1659.

Perlawanan Terhadap Pemerintahan Hindia Belanda

Awalnya, masa pemerintahan Hindia Belanda tidak lagi menerapkan praktik kolonialisme ala
VOC, namun hal tersebut tak membuat praktik dagang dan kerja rodi berakhir. Saat Belanda
kembali berkuasa, penindasan pun terjadi lagi di Indonesia.

 Perlawanan Rakyat Maluku

Perlawanan rakyat Maluku dilakukan karena mereka tidak mau orang Belanda kembali
ke wilayah mereka. Saat Thomas Stamford Raffles berkuasa di Hindia Belanda, beberapa
aturan VOC seperti praktik monopoli dagang dan kerja rodi tidak diterapkan.

Namun, saat Belanda kembali berkuasa pada tahun 1817, aturan-aturan yang menindas
seperti praktik monopoli perdagangan cengkih dan kerja rodi kembali diterapkan. J.R van
den Berg, Residen Saparua yang baru pada saat itu, juga dianggap tidak peka pada
keluhan rakyat. Belanda juga memaksa para pemuda Maluku untuk menjadi tentara yang
ditugaskan ke Jawa.

 Perlawanan Rakyat Palembang


Perlawanan rakyat Palembang yang dipimpin oleh Sultan Baharuddin terjadi karena
Belanda berusaha menguasai Palembang yang memiliki letak strategis dan kaya akan
barang (Kepulauan Bangka Belitung).

Sultan Baharuddin kemudian memimpin penyerangan ke benteng-benteng pertahanan


Belanda. Saat pergantian kekuasaan dari Belanda ke Inggris terjadi pada tahun 1811
karena Perjanjian Tuntang, Inggris memusatkan sebagian besar perhatiannya ke pulau
Jawa.

Sultan Baharuddin pun memanfaatkan kondisi ini dengan menyerang garnisun Belanda di
Palembang. Sultan Baharuddin juga menentang keberadaan Inggris di wilayah
kekuasaannya. Inggris yang tidak menyukai perlawanan dari Sultan Baharuddin pun
menyerang Palembang pada tahun 1812. Mereka menjarah isi istana dan melantik Ahmad
Najamuddin, adik Sultan Baharuddin, menjadi Sultan.

 Perlawanan Rakyat Sumatera Utara

Perlawanan rakyat Tapanuli di bawah kepemimpinan Raja Sisingamangaraja XII terjadi


karena Belanda ingin menjajah Tapanuli dengan membentuk Pax Neerlandica (ambisi
Belanda menguasai seluruh Nusantara). Keinginan Belanda inilah yang menyebabkan
terjadinya Perang Tapanuli pada tahun 1870–1907.

2. Aspek Sosial dan Budaya

Perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme dan imperialisme juga dilakukan dalam
bentuk gerakan sosial-budaya. Beberapa gerakan tersebut adalah sebagai berikut:

 Gerakan Sosial di atas Tanah Partikelir

Gerakan sosial ini adalah bentuk protes dan perlawanan atas peraturan Belanda yang
tidak adil, serta rasa tidak puas atas kondisi sosial-ekonomi yang kurang memberikan
tempat bagi kehidupan para pelaku dan pendukung gerakan sosial ini. Gerakan sosial ini
muncul di kalangan petani yang merasakan ketidakadilan karena praktik penjualan atau
pemberian hadiah tanah oleh Pemerintah Belanda kepada perseorangan atau swasta, yang
kemudian menjadi tuan tanah.

Tanah inilah yang kemudian menjadi tanah partikelir (swasta). Para tuan tanah tersebut
merasa memiliki hak untuk menindas penduduk yang ada di tanah partikelir mereka.
Penduduk di tanah tersebut diharuskan menyerahkan hasil garapan mereka dan memeras
tenaga mereka selayaknya budak. 

 Gerakan Mesianisme
Gerakan mesianisme merupakan gerakan yang berasal dari harapan akan datangnya ratu
adil atau imam mahdi sebagai juru selamat rakyat. Dalam gerakan ini biasanya terdapat
seorang pimpinan yang dianggap sebagai juru selamat, pimpinan agama, atau bahkan
nabi. Gerakan ini bersandar pada dasar-dasar kekuatan gaib sang pemimpin dan
menghadapkan munculnya era baru dan datangnya zaman keemasan yang meniadakan
penderitaan rakyat dan hilangnya konflik serta ketidakadilan. Beberapa contoh dari
gerakan mesianisme adalah Kasan Mukmin (1903), Gerakan Darmojo (1907), dan dukun
yang mengaku keturunan Sultan Hamengku Buwono V dan akan bertindak sebagai ratu
adil dan calon sultan Yogyakarta (1918).

3. Aspek Seni dan Sastra

Seni sastra pada masa perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme juga memiliki peranan
yang sangat penting. Karya-karya sastra yang lahir pada masa itu menyuarakan ketidakadilan yang
dialami oleh para pribumi karena kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan oleh bangsa
Belanda ke luar Hindia Belanda, termasuk ke negara Belanda sendiri. Karya-karya sastra pada
masa itu juga membangkitkan semangat kemerdekaan bagi para pembacanya. Beberapa sastrawan
pada masa itu dan karya sastra mereka adalah sebagai berikut:

 Eduard Douwes Dekker : Max Havelaar

Eduard Douwes Dekker merupakan nama pena dari Multatuli, seorang Belanda yang
peduli pada nasib kaum pribumi. Nama Multatuli sendiri diambil dari bahasa Latin yang
berarti “banyak yang sudah aku derita”. Kepedulian Douwes Dekker ini kemudian
dituangkan dalam novelnya yang berjudul Max Havelaar (1860). Novel inilah yang
kemudian menjadi inspirasi pergerakan nasional Indonesia serta mendorong sastrawan-
sastrawan Indonesia menuangkan pemikiran mereka mengenai penjajahan Belanda,
khususnya angkatan Pujangga Baru (1933–1942).

 Mas Marco Kartodikromo : Student Hidjo Dan Rasa Merdeka

Mas Marco merupakan keturunan priyayi rendahan di Cepu, Blora, Jawa Tengah. Mas
Marco bergabung dengan Medan Prijaji yang menjadi surat kabar yang menyuarakan
pemikiran pribumi terpelajar. Medan Prijaji ini dipimpin oleh Tirto Adhi Suryo. Saat
bekerja di Medan Prijaji, Mas Marco bertemu dengan Ki Hajar Dewantara dan Douwes
Dekker, yang kemudian menjadi bagian dari Indische Partij.

Lewat tulisan-tulisannya, Mas Marco mengajak kaum terdidik Indonesia pada masa itu
untuk membangun kesadaran politik masyarakat pribumi. Kesadaran politik ini dianggap
penting untuk menggerakkan masyarakat pribumi untuk bergerak melawan pemerintahan
kolonial dalam kesetaraan dan solidaritas. Tulisan-tulisannya inilah yang kemudian
membuat Mas Marco ditangkap dan dibuang oleh pemerintah kolonial ke Boven-Digoel,
Papua, pada tahun 1926. Mas Marco kemudian meninggal di sana pada tahun 1932
karena malaria.
 Soewarsih Djojopuspito : Manusia Bebas

Soewarsih merupakan pengarang perempuan yang menulis novel “Manusia Bebas” pada
tahun 1940. Novel tersebut diterbitkan dalam bahasa Belanda dengan judul “Buiten het
Gareel” yang berarti “Di Luar Kekang”.

Novel ini berkisah mengenai para pendiri dan guru “sekolah liar” yang tak pernah putus
asa walau hidup serba kekurangan dan tak pernah mengenal takut sekalipun diawasi dan
diancam ditangkap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sekolah liar pada masa
penjajahan Belanda adalah sekolah-sekolah swasta yang didirikan oleh para tokoh
pendidikan Indonesia untuk memajukan pendidikan bagi masyarakat pribumi.

4. Aspek Pendidikan

Perjuangan para pahlawan Indonesia dalam bidang pendidikan merupakan salah satu perjuangan
paling penting dalam melawan kolonialisme dan imperialisme Belanda. Para tokoh pendidikan di
masa penjajahan Belanda membangun sekolah-sekolah swasta untuk memajukan pola pikir dan
menumbuhkan semangat nasionalisme masyarakat pribumi. Sekolah-sekolah swasta ini kemudian
dianggap sebagai “sekolah liar” oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda karena dianggap
mengancam kedaulatan dan kekuasaan mereka di Indonesia. Dua di antara sekolah swasta yang
dibangun pada masa itu adalah sebagai berikut: 

 Indisch Nederlandse School Kayu Tanam

Indisch Nederlandse School Kayu Tanam didirikan di Kayu Tanam, Padang, pada
tanggal 31 Oktober 1926 oleh Mohammad Syafei, tokoh pendidikan nasional yang
pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia ketiga dalam
Kabinet Sjahrir II. Sekolah ini kemudian melahirkan beberapa nama besar dalam sejarah
politik dan seni nasional, seperti Ali Akbar Navis, Mochtar Lubis, dan Tarmizi Taher.

Mohammad Syafei sangat menekankan pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia


karena melalui pendidikan, bangsa Indonesia dapat mengembangkan rasa nasionalisme.
Visi pendidikan Mohammad Syafei adalah head, heart, dan hand. Head berarti sekolah
memfasilitasi para siswanya untuk mampu berpikir rasional, heart berarti sekolah
memfasilitasi para siswanya menjadi pribadi dengan karakter yang mulia, dan hand
berarti sekolah memfasilitasi para siswanya agar dapat memiliki keterampilan yang nyata
sesuai dengan bakat yang dikaruniakan Tuhan kepada masing-masing orang.

 Taman Siswa

Taman Siswa didirikan pada tanggal 3 Juli 1922 oleh Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta.
Taman Siswa menjadi salah satu organisasi pergerakan yang bergerak di bidang
pendidikan pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ki Hajar Dewantara
menerapkan tiga konsep pengajaran di Taman Siswa, yaitu “ing ngarso sung tulodo, ing
madya mangun karsa, dan tut wuri handayani.”
“Ing ngarso sung tulodo” memiliki arti bahwa para guru memiliki tanggung jawab dalam
memberikan pendidikan dan harus mampu memberi contoh sikap dan perilaku yang baik,
agar dapat menjadi teladan bagi para siswanya. “Ing madya mangun karsa” memiliki arti
bahwa guru harus mampu memberikan motivasi yang baik pada para siswanya dan
memberikan bimbingan yang terus-menerus supaya para siswanya mampu berkembang
sesuai dengan bakat dan minat mereka. Sementara “Tut wuri handayani” memiliki arti
bahwa guru wajib membimbing para siswanya agar dapat menggali sendiri
pengetahuannya dan menemukan makna dari pengetahuan yang mereka peroleh, agar
pengetahuan mereka dapat berguna bagi kehidupan mereka.

TANGGAPAN

Penjajahan yang dialami oleh bangsa Indonesia selama berabad – abad inilah yang telah
mendatangkan berbagai penderitaan bagi bangsa Indonesia. Siapapun penjajahnya, baik Portugis,
Spanyol, Belanda, Inggris maupun Jepang, tetap saja mereka memperlakukan bangsa Indonesia
sebagai bangsa yang terjajah tanpa adanya rasa kemanusiaan. Sebagai bangsa yang terjajah,
maka kita tidak bisa merasakan kemerdekaan, kebebasan dan kedaulatan dinikmati oleh bangsa
Indonesia. Yang dapat dirasakan hanyalah pemaksaan, penindasan, eksploitasi tenaga manusia,
eksploitasi kekayaan tanah air, yang semuanya hanya untuk kepentingan bangsa penjajah.
Keuntungan yang diperoleh bangsa Indonesia dari penjajahan hanya sedikit sekali dan tidak
sebanding dengan penderitaan yang dirasakan. Ketika pertama kali bangsa Portugis menguasai
Indonesia, maka mulailah penderitaan itu. Bergantinya penjajahan dari Portugis ke Belanda
tidaklah bertambah baik, bahkan bertambah buruk. Bahkan Belanda jauh lebih lama dalam
melakukan penjajahannya terhadap Indonesia, sehingga dengan demikian deretan penderitaan
bangsa Indonesia itu di bawah penjajahan Belanda berlangsung lama, selama penjajahan itu
berlangsung.

Semua janji dan kata manis kolonial dilanggar. Pertama, bukan 1/5 dari tanah petani yang
ditanami, tetapi 1/4, 1.3, bahkan setengah dari tanah milik petani digunakan untuk tanaman
ekspor. Bahkan penanaman tersebut memilih tanah-tanah yang dubur. Kedua, tanah yang dipakai
untuk keperluan penanaman tanaman ekspor tersebut tetap dikenakan pajak. Ketiga, para petani
harus menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengerjakan tanaman pemerintah, sehingga
tidak ada waktu untuk menggarap sawahnya sendiri. Keempat, para kepala daerah merasa tergiur
dengan cultuur procenten, akibatnya mereka mulai berlomba-lomba mengusahakan daerahnya
agar memberikan hasil sebanyak mungkin. Ulah mereka itu mengakibatkan rakyat semakin
menderita. Kelima, kegagalan panen akibat hama atau banjir pada kenyataannya menjadi beban
petani. Keenam, bukan 65 hari lamanya rakyat harus bekerja rodi, melainkan menurut keperluan
pemerintah.

Rakyat sangat menderita, kelaparan terjadi dimana-mana akibatnya jumlah kematian meningkat.
Orang yang menentang kerja paksa disiksa. Demikianlah penderiataan rakyat pulau Jawa akibat
tanam paksa yang diciptakan oleh Van den Bosch. Belanda memperoleh keuntungan besar,
sedangkan keuangannya menjadi normal kembali. Pembangunan di negeri Belanda dibiayai dari
hasil tanam paksa. Tanam paksa dengan cara sewenang-wenang itu berjalan hampir setengah
abad dari tahun 1830 sampai 1870. Dapat kita bayangkan betapa besar kesengsaraan yang
diderita rakyat, tertama di Jawa Barat, dan Jawa Tengah.

Meskipun tanam paksa sudah menyimpang dari teori yang diciptakan Van den Bosch,
pemerintah Belanda tidak mau peduli sebab tanam paksa telah memberikan keuntungan yang
sangat besar. Namun Ketika belanda menyerah kepada Jepang pada tahun 1942, rakyat Indonesia
semula menaruh harapan bahwa penderitaannya selama dijajah bangsa Barat akan berakhir dan
berganti kearah kehidupan yang lebih baik. Harapan itu ternyata sia – sia, karena sepak terjang
Jepang tidak sesuai dengan janji – janji muluknya. Jepang yang semula seakan mau membantu
melepaskan penderitaannya akhibat penjajahan Barat, ternyata malah menambah kesengsaraan
rakyat Indonesia.

Jepang pada akhirnya juga melakukan tindakan penjajahan terhadap Indonesia dengan
kekejaman di luar batas perikemanusiaan. Pada masa pendudukan jepang para petani dipaksa
untuk menyerahkan hasil padinya dan hasil pertanian lainnya kepada pihak Jepang. Semua hasil
pertanian diangkut untuk kepentingan Jepang dalam menghadapi perang. Keadaan ekonomi itu
memang sangat parah, karena semua hasil produksi disedot untuk kepentingan perang. Semua
sumber kekayaan rakyat dikuras habis sampai ke akar – akarnya. Hal ini menyebabkan rakyak
Indonesia di berbagai tempat mengalami kemelaratan dan kelaparan, sehingga banyak harus
makan jagung, bonggol pisang, dan sebagainya. Penyakit kekurangan gizi merajalela. Sementara
itu rakyat pun banyak tidak mampu memiliki pakaian yang layak. Mereka banyak yang terpaksa
harus memakai pakaian dari karung goni atau baju karet.

Penderitaan rakyat pada Jaman Jepang terutama dialami oleh mereka yang terjadi romusha
(pekerja ). Pada mulanya romusha dilakukan secara sukarela untuk membantu Jepang atas dasar
sikap simpati rakyat terhadap Jepang. Namun kemudian, karena Jepang memerlukan jumlah
tenaga romusha yang banyak. Akhirnya romusha berubah menjadi paksaan. Tenaga romusha itu
antara lain untuk membangun jalan raya, kubu pertahan, lapangan udara, pekerja kasar di pabrik
atau pelabuhan, dan lain – lain. Ribuan romusha dari Jawa banyak dikirim ke luar Jawa, bahkan
ke luar negeri misalnya ke Thailand, Birma, Malaya, dan Vietnam. Tenaga – tenaga romusha itu
pada umunya diambil dari para pemuda desa, sehingga mempunyai pengaruh terhadap kehidupan
ekonomi desa.

Kehidupan romusha ditempat kerjanya sangat tidak manusiawi. Mereka diperlakukan dengan
sangat buruk oleh Jepang. Mereka dipaksa bekerja dari pagi hari sampai petang hari, tanpa
istirahat dan makanan serta perawatan yang cukup. Mereka pun diawasi secara ketat oleh tentara
jepang, hanya pada malam hari saja mereka dapat istirahat. Sementara itu mereka pun sangat
mudah untuk terjangkit penyakit, karena kondisi kesehatan dan lingkungannya tidak terpelihara.
Banyak sekali romusha yang akhirnya meninggal di tempat kerjanya. Hal ini terutama
disebabkan karena pekerja yang terlalu berat, kesehatan yang tidak terjamin dan makanan yang
tidak cukup.

Dengan begitulah, penjajahan kolonialisme dan imperialisme sangat tidak dibenarkan untuk
diterapkan karena sangat tidak memiliki rasa kemanusiaan, sehingga masyarakat Indonesia yang
sudah terbuka matanya karena melihat kesedihan dan ketidakadilan yang menimpa bangsanya ini
mulai tergerak untuk menciptakan suatu perubahan. Mereka mulai membuka suaranya, namun
tidak hanya dalam bentuk pidato, mereka bergerak dalam setiap aspek kehidupan yang mereka
kuasai, baik itu bidang ekonomi dan politik, sosial dan budaya, seni dan sastra, serta pendidikan.
Perlahan demi perlahan, pergerakan kecil yang mereka buat ini, telah menyebar dan membuka
semangat bagi seluruh masyarakat Indonesia yang lainnya untuk terus maju bergerak dan
melawan. Mereka ingin bebas, mereka ingin melepaskan diri dari naungan para penjajah, dan
tentunya mereka ingin bangkit dari keterpurukan bangsa ini sehingga kita semua mengumpulkan
diri dan bersatu melawan para penjajah hingga mencapai kemerdekaan.

Link artikel : https://www.kelaspintar.id/blog/tips-pintar/dampak-perkembangan-imperialisme-


dan-kolonialisme-di-indonesia-9074/

Anda mungkin juga menyukai