Anda di halaman 1dari 7

.

Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Kolonialisme dan Imperialisme

Bangsa Eropa datang ke Nusantara pada abad ke-16. Awalnya bertujuan untuk berdagang rempah-rempah.
Namun, lama-kelamaan tujuan bergeser menjadi penerapan kolonialisme dan imperialisme.  Pada abad ke-19,
masyarakat Indonesia berupaya keras untuk melakukan perlawanan. Tujuan utamanya untuk mengusir
penjajahan dari Nusantara.  Namun sifat perlawanan lokal dari para raja atau sultan dan rakyat terhadap VOC
masih sangat lokal. Beberapa perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme dan imperialisme,yaitu:

1.) Kesultanan Demak melawan Portugis


Kesultanan Demak melawan
Portugis  Keinginan untuk
mengembalikan tanah Islam
yang telah terampas oleh musuh
serta mengembalikan kemulian
kerajaan Islam di Malaka menjadi
faktor politik Demak menyerang
Malaka.  Adapun secara ekonomi
faktor pendorongnya adalah
keinginan Demak untuk menguasai Selat Malaka merupakan jalur perdagangan
internasional. Pada masa pemerintahan Raden Patah, Kesultanan Demak sudah
mengadakan perlawanan terhadap Portugis yang menduduki Malaka.  Raden Patah
mengirim pasukannya di bawah pimpinan Pati Unus putranya yang menjadi Bupati Jepara
untuk menyerang Portugis di Malaka.  Ekspedisi pertama Pati Unus untuk menyerang
Portugis terjadi pada tahun 1512. Namun, serangan besar-besaran tersebut gagal
mengusir Portugis dari Malaka.  Sementara itu, keberanian Pati Unus dalam memimpin
penyerangan ke Malaka yang dikuasai Portugis menyebabkan dirinya mendapat julukan
Pangeran Sabrang Lor. Baca juga: Penyebab Terjadinya Perlawanan Terhadap Bangsa
Portugis Takhta Kesultanan Demak kemudian diteruskan oleh tokoh yang bergelar Sultan
Trenggana yang merupakan putra lain dari Raden Patah.  Dalam rangka memperluas
ekspansinya ke daerah barat, Sultan Trenggono mengirim Fatahillah yang didampingi
Maulana Hasanuddin putra Sunan Gunung Jati untuk menggagalkan rencana kerja sama
antara Portugis dan Pajajaran.  Pada tahun 1527, Fatahillah-Maulana Hasanuddin
menyerang kedudukan Portugis di Sunda Kelapa. Serangan tersebut berhasil mengusir
Portugis dari Sunda Kelapa.  Selanjutnya pada 22 Juni 1527 nama Sunda Kelapa diganti
menjadi Jayakarta atau Jakarta yang berarti kemenangan yang sempurna.  Fatahillah
diangkat oleh Sultan Trenggana sebagai wakil Sultan Demak yang memerintah di
Jayakarta, pasangan Maulana Hasanuddin memerintah di Banten.

2.) Perlawanan Kesultanan Aceh


Perlawanan Kesultanan Aceh  Portugis
menganggap perkembangan Aceh sebagai
ancaman. Oleh karena itu, Portugis berupaya
menghancurkannya.  Pada 1523, Portugis
melakukan serangan ke Aceh yang dipimpin oleh
Henrigues dan di tahun 1524 dipimpin oleh de
Sauza.  Baca juga: Perlawanan Kolonialisme dan Imperialisme: Maluku Angkat Senjata
Namun, semua serangan berhasil dipatahkan. Portugis tidak menyerah dan terus berusaha
mencari cara untuk melemahkan kedudukan Aceh. Sehingga, kapal-kapal Portugis terus
mengganggu kapal-kapal dagang Aceh.  Tindakan semena-mena Portugis menimbulkan
perlawanan pihak Aceh. Sebagai persiapan untuk menyerang Portugis, Sultan Alaudin
Riayat Syah (1537-1568) mulai mempersenjatai kapal-kapal dagangnya dengan meriam
dan prajurit terlatih, membeli persenjataan dari Calicut (India) dan Jepara, menyewa tentara
bayaran, dan mendatangkan ahli-ahli perang dari Turki pada tahun 1567. Setelah semua
persiapan selesai, Aceh melakukan serangan terhadap Portugis di Malaka, yang bersekutu
dengan Johor. Namun Portugis berhasil selamat dan melakukan serangan balik pada 1569.
Serangan balik tersebut dapat dipatahkan pasukan Aceh.  Sultan Iskandar Muda (1607-
1636) tercatat sebagai penguasa terbesar Kesultanan Aceh. Di bawah kepemimpinannya,
Aceh melakukan serangan terhadap kedudukan Portugis sebanyak dua kali.  Serangan
pertama terjadi pada tahun 1615, sedangkan serangan kedua terjadi tahun 1629. Pada
serangan kedua, armada laut Ace h mengalami kekalahan besar di Pelabuhan Malaka. 
3.) Perlawanan Rakyat Ternate
Perlawanan Rakyat Ternate Akibat monopoli perdagangan
rempah-rempah oleh Portugis, rakyat Ternate hidup
sengsara. Akibatnya, rakyat Ternate dipimpin oleh Dajalo
pada tahun 1533 melakukan perlawanan terhadap
Portugis.  Pada awalnya, rakyat Ternate meraih kemajuan
besar, namun kemudian berbalik terdesak setelah Portugis
mendapat bantuan pasukan dari Malaka. Kemudian penyerangan kembali terjadi karena
Portugis sering melakukan pemerasan. Kali ini perlawanan dipimpin oleh Sultan Khairun
atau Hairun. Melalui tipu muslihat, orang Portugis berhasil membunuh Sultan Khairun
dalam suatu perundingan. Meskipun demikian, perlawanan rakyat Ternate terus berlanjut di
bawah pimpinan Sultan Baabullah penerus takhta Ternate pada tanggal 28 Desember
1577. Sultan Baabullah berhasil mengusir Portugis dari negerinya.

4.) Sultan Agung Raja Mataram melawan VOC


Sultan Agung Ra
ja Mataram melawan VOC Sultan Agung Senapati ing
Alaga Ngabdurrahman (1613-1645) memiliki cita-cita
mempersatukan seluruh Jawa di bawah kendali Mataram
dan mengusir VOC dari Jawa.  Untuk mewujudkan cita-cita
tersebut, Sultan Agung bermaksud membendung usaha-usaha VOC menjalankan
penetrasi politik dan monopoli perdagangan. Salah satu upayanya adalah menghancurkan
loji VOC di Jepara pada tanggal 18 Agustus 1618.  Pihak VOC membalas dengan
menghantam pertahanan Mataram di Jepara. Sejak itu, sering terjadi pertempuran di antara
keduanya.  Sultan Agung juga bermaksud mengusir VOC dari Batavia. Untuk itu dilakukan
serangan besar-besaran terhadap Batavia.  Namun, sayang serangan tersebut mengalami
kegagalan. Sultan Agung wafat pada 1645 dan sepeninggalnya pengaruh VOC mulai
masuk Mataram.

5.) Sultan Ageng Tirtayasa melawan VOC


Sultan Ageng Tirtayasa melawan VOC Keinginan VOC
untuk melakukan monopoli perdagangan lada menjadi
sumber konflik antara Banten dan VOC. Puncak konflik
terjadi ketika Kesultanan Banten dipimpin Sultan Ageng
Tirtayasa (1651-1684).  Perlawanan terhadap VOC
mereda setelah terjadi perselisihan antara Sultan Ageng dan putranya, Sultan Haji
(Pangeran Abu Nashar Abdul Qahar).  Kesempatan ini tidak dilewatkan oleh VOC untuk
melancarkan taktik devide et impera. VOC membantu Sultan Haji dan berhasil menangkap
Sultan Ageng.  Sultan Haji diangkat oleh VOC sebagai penguasa Banten dengan
menandatangani konsensi yang merugikan Banten.

6.) Sultan Hasanuddin melawan VOC

Peperangan pertama antara VOC dan Kerajaan Makassar dipicu oleh Peristiwa Enkhuizen.
Peristiwa itu diawali ketika Kerajaan Makassar menolak permintaan monopoli oleh VOC. 
Akibatnya, VOC menawan beberapa bangsawan Makassar di Kapal Enkhuizen. Walaupun
kemudian para bang sawan tersebut dilepaskan.  Mulai saat itu bibit permusuhan muncul di
kalangan bangsawan dan rakyat Makassar. Buktinya pada tanggal 10 Desember 1616
ketika kapal VOC De Eendracht merapat di Pelabuhan Somba Opu, awak kapalnya
dibunuh oleh orang-orang Makassar.  Konflik sempat mereda, tetapi akhirnya membesar di
kala Makassar dipimpin oleh Sultan Hasanuddin. Perang besar VOC melawan Kerajaan
Makassar dikenal sebagai "Perang Makassar" yang berlangsung pada kurun waktu 1660-
1669.  Sultan Hasanuddin memimpin pasukan Makassar dengan daya juang yang tinggi.
Bahkan orang orang VOC menyebutnya De Haantjes van Het Oosten atau "Ayam Jantan
dari Timur".  Baca juga: Perlawanan Riau terhadap VOC VOC dengan dibantu Aru Palaka
petinggi Kerajaan Bone dan beberapa petinggi Kerajaan Makassar yang berkhianat,
akhirnya berhasil mengalahkan pasukan Sultan Hasanuddin.  Akibat kekalahan tersebut,
Sultan Hasanuddin harus menandatangani Perjanjian Bongaya pada tahun 1667
. Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap hindia belanda

Perang Padri

Perang Padri diawali dengan konflik antara Kaum Padri dengan Kaum Adat terkait
pemurnian agama Islam di Sumatra Barat. Kaum Adat masih sering melakukan kebiasaan
yang bertentangan dengan Islam, seperti berjudi dan mabuk-mabukan. Kaum Padri yang
terdiri dari para ulama menasehati Kaum Adat untuk menghentikan kebiasaan tersebut,
Kaum Adat menolaknya, sehingga terjadi perang yang berlangsung tahun 1803–1821. Perang
diakhiri dengan kekalahan Kaum Adat.

Kondisi tersebut lalu dimanfaatkan Belanda untuk bekerja sama dengan Kaum Adat guna
melawan Kaum Padri. Belanda memang bertujuan untuk menguasai wilayah Sumatra Barat.
Salah satu tokoh pemimpin Kaum Padri adalah Tuanku Imam Bonjol. Fase perang ini
berlangsung tahun 1821–1838. Sekitar tahun 1833 atau menjelang tahun-tahun terakhir
perang, Tuanku Imam Bonjol mengajak Kaum Adat agar menyadari tipuan Belanda dan
akhirnya bersatu melawan Belanda. Perang diakhiri dengan kekalahan di pihak Kaum Padri
dan Kaum Adat karena militer Belanda yang cukup kuat.

 Perang Pattimura

Pada 1817, Belanda berusaha


menguasai Maluku dengan monopoli
perdagangan. Rakyat Maluku yang
dipimpin Thomas Matulessy
(Pattimura) menolaknya dan melakukan
perlawanan terhadap Belanda. Pertempuran
sengit terjadi di Benteng Duurstede, Saparua.
Belanda mengerahkan pasukan secara besar-besaran, sehingga rakyat Maluku terdesak.
Perlawanan rakyat Maluku melemah akibat tertangkapnya Pattimura dan Martha Christina
Tiahahu.

Perang Diponegoro
Perang Diponegoro adalah perang terbesar yang dialami Belanda. Perlawanan ini dipimpin
Pangeran Diponegoro yang didukung pihak istana, kaum ulama, dan rakyat Yogyakarta.
Perang ini terjadi karena Belanda memasang patok-patok jalan yang melalui makam leluhur
Pangeran Diponegoro. Perang ini terjadi tahun 1825–1830. Pada tahun 1827, Belanda
memakai siasat perang bernama Benteng Stelsel, yaitu mendirikan benteng di setiap
daerah yang dikuasai untuk mengawasi daerah sekitarnya. Antara satu benteng dan benteng
lainnya dihubungkan pasukan gerak cepat, sehingga ruang gerak pasukan Diponegoro
dipersempit.

Benteng Stelsel belum mampu mematahkan serangan pasukan Diponegoro. Belanda


akhirnya menggunakan tipu muslihat dengan cara mengajak berunding Pangeran
Diponegoro, padahal sebenarnya itu berupa penangkapan. Setelah penangkapan,
perlawanan pasukan Diponegoro mulai melemah. Pada akhirnya, Belanda dapat
memenangkan perang tersebut, namun dengan kerugian yang besar karena perang tersebut
menguras biaya dan tenaga yang banyak.

 Perang Jagaraga Bali

Perang ini terjadi akibat protes Belanda terhadap Hak Tawan Karang, yaitu aturan yang
memberikan hak kepada kerajaan-kerajaan Bali untuk merampas kapal asing beserta
muatannya yang terdampar di Bali. Protes ini tidak membuat Bali menghapuskan Hak
Tawan Karang, sehingga Belanda melakukan serangan dan terjadilah
perang puputan (habis-habisan) antara kerajaan-kerajaan Bali yang dipimpin I Gusti Ketut
Jelantik dengan Belanda. Belanda berhasil memenangkan peperangan tersebut dan
menguasai Bali karena kekuatan militernya yang lebih unggul.

 Perang Banjar

Perang ini dilatarbelakangi oleh Belanda yang ingin


menguasai kekayaan alam Banjar, serta sikap ikut
campur pihak Belanda dalam urusan kesultanan.
Akibatnya, rakyat yang dipimpin Pangeran
Hidayatullah dan Pangeran Antasari melakukan
perlawanan terhadap Belanda sekitar tahun 1859.
Serangkaian pertempuran terus terjadi hingga Belanda
menambahkan kekuatan militernya. Pasukan Pangeran Hidayatullah kalah, karena pasukan
Belanda lebih unggul dari segi jumlah pasukan, keterampilan perang pasukannya, dan
peralatan perangnya. Perlawanan rakyat Banjar mulai melemah ketika Pangeran
Hidayatullah tertangkap dan dibuang ke Pulau Jawa, sementara itu Pangeran Antasari masih
melakukan perlawanan secara gerilya hingga ia wafat.

 Perang Aceh

Perang Aceh dilatarbelakangi Traktat Sumatra (1871) yang menyebutkan bahwa Belanda


bebas meluaskan wilayah di Sumatra termasuk Aceh. Hal ini ditentang Teuku Cik Ditiro, Cut
Mutia, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, dan Panglima Polim. Belanda mendapatkan
perlawanan sengit dari rakyat Aceh. Rakyat Aceh berperang dengan jihad, sehingga
semangatnya untuk melawan Belanda sangat kuat.

Untuk menghadapinya, Belanda mengutus Snouck Hurgronje untuk meneliti budaya dan


karakter rakyat Aceh. Ia menyarankan agar pemerintah Belanda menggempur pertahanan
Aceh bertubi-tubi agar mental rakyat semakin terkikis, memecah belah rakyat Aceh menjadi
beberapa kelompok, dan melemahkan perlawanan rakyat Aceh. Pada tahun 1903, Perang
Aceh pun berakhir dan sejumlah tokohnya ditangkap.

 Perlawanan Rakyat Batak


Perlawanan rakyat Batak dipimpin Sisingamangaraja XII. Latar belakang perlawanan ini
adalah bangsa Belanda berusaha menguasai seluruh tanah Batak dan disertai dengan
penyebaran agama Kristen. Sisingamangaraja XII masih melawan Belanda sampai akhir abad
ke-19. Namun, gerak pasukan Sisingamangaraja XII semakin menyempit. Pada akhirnya,
Sisingamangaraja XII wafat ditembak serdadu Marsose, dan Belanda menguasai tanah
Batak.

Anda mungkin juga menyukai