Bangsa Eropa datang ke Nusantara pada abad ke-16. Awalnya bertujuan untuk berdagang rempah-rempah.
Namun, lama-kelamaan tujuan bergeser menjadi penerapan kolonialisme dan imperialisme. Pada abad ke-19,
masyarakat Indonesia berupaya keras untuk melakukan perlawanan. Tujuan utamanya untuk mengusir
penjajahan dari Nusantara. Namun sifat perlawanan lokal dari para raja atau sultan dan rakyat terhadap VOC
masih sangat lokal. Beberapa perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme dan imperialisme,yaitu:
Peperangan pertama antara VOC dan Kerajaan Makassar dipicu oleh Peristiwa Enkhuizen.
Peristiwa itu diawali ketika Kerajaan Makassar menolak permintaan monopoli oleh VOC.
Akibatnya, VOC menawan beberapa bangsawan Makassar di Kapal Enkhuizen. Walaupun
kemudian para bang sawan tersebut dilepaskan. Mulai saat itu bibit permusuhan muncul di
kalangan bangsawan dan rakyat Makassar. Buktinya pada tanggal 10 Desember 1616
ketika kapal VOC De Eendracht merapat di Pelabuhan Somba Opu, awak kapalnya
dibunuh oleh orang-orang Makassar. Konflik sempat mereda, tetapi akhirnya membesar di
kala Makassar dipimpin oleh Sultan Hasanuddin. Perang besar VOC melawan Kerajaan
Makassar dikenal sebagai "Perang Makassar" yang berlangsung pada kurun waktu 1660-
1669. Sultan Hasanuddin memimpin pasukan Makassar dengan daya juang yang tinggi.
Bahkan orang orang VOC menyebutnya De Haantjes van Het Oosten atau "Ayam Jantan
dari Timur". Baca juga: Perlawanan Riau terhadap VOC VOC dengan dibantu Aru Palaka
petinggi Kerajaan Bone dan beberapa petinggi Kerajaan Makassar yang berkhianat,
akhirnya berhasil mengalahkan pasukan Sultan Hasanuddin. Akibat kekalahan tersebut,
Sultan Hasanuddin harus menandatangani Perjanjian Bongaya pada tahun 1667
. Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap hindia belanda
Perang Padri
Perang Padri diawali dengan konflik antara Kaum Padri dengan Kaum Adat terkait
pemurnian agama Islam di Sumatra Barat. Kaum Adat masih sering melakukan kebiasaan
yang bertentangan dengan Islam, seperti berjudi dan mabuk-mabukan. Kaum Padri yang
terdiri dari para ulama menasehati Kaum Adat untuk menghentikan kebiasaan tersebut,
Kaum Adat menolaknya, sehingga terjadi perang yang berlangsung tahun 1803–1821. Perang
diakhiri dengan kekalahan Kaum Adat.
Kondisi tersebut lalu dimanfaatkan Belanda untuk bekerja sama dengan Kaum Adat guna
melawan Kaum Padri. Belanda memang bertujuan untuk menguasai wilayah Sumatra Barat.
Salah satu tokoh pemimpin Kaum Padri adalah Tuanku Imam Bonjol. Fase perang ini
berlangsung tahun 1821–1838. Sekitar tahun 1833 atau menjelang tahun-tahun terakhir
perang, Tuanku Imam Bonjol mengajak Kaum Adat agar menyadari tipuan Belanda dan
akhirnya bersatu melawan Belanda. Perang diakhiri dengan kekalahan di pihak Kaum Padri
dan Kaum Adat karena militer Belanda yang cukup kuat.
Perang Pattimura
Perang Diponegoro
Perang Diponegoro adalah perang terbesar yang dialami Belanda. Perlawanan ini dipimpin
Pangeran Diponegoro yang didukung pihak istana, kaum ulama, dan rakyat Yogyakarta.
Perang ini terjadi karena Belanda memasang patok-patok jalan yang melalui makam leluhur
Pangeran Diponegoro. Perang ini terjadi tahun 1825–1830. Pada tahun 1827, Belanda
memakai siasat perang bernama Benteng Stelsel, yaitu mendirikan benteng di setiap
daerah yang dikuasai untuk mengawasi daerah sekitarnya. Antara satu benteng dan benteng
lainnya dihubungkan pasukan gerak cepat, sehingga ruang gerak pasukan Diponegoro
dipersempit.
Perang ini terjadi akibat protes Belanda terhadap Hak Tawan Karang, yaitu aturan yang
memberikan hak kepada kerajaan-kerajaan Bali untuk merampas kapal asing beserta
muatannya yang terdampar di Bali. Protes ini tidak membuat Bali menghapuskan Hak
Tawan Karang, sehingga Belanda melakukan serangan dan terjadilah
perang puputan (habis-habisan) antara kerajaan-kerajaan Bali yang dipimpin I Gusti Ketut
Jelantik dengan Belanda. Belanda berhasil memenangkan peperangan tersebut dan
menguasai Bali karena kekuatan militernya yang lebih unggul.
Perang Banjar
Perang Aceh