Anda di halaman 1dari 4

FAKTOR-FAKTOR GEOLOGI

1. Kekeringan

Bencana kekeringan merupakan fenomena alam yang dapat diakibatkan oleh kondisi geologi
(batuan) suatu wilayah. Jenis-jenis dan sifat tanah dan batuan yang menjadi penyusun suatu
daerah akan sangat berpengaruh pada asupan dan serapan air tanah. pada daerah yang
didominasi atau tersusun oleh batuan pejal dan keras denga lapisan tanah yang tipis pada
umumnya tidak menyimpan air dalam waktu yang lama bahkan dapat langsung menjadi
surface run off atau lolos ke bawah permukaan melalui celah-celah batuan. Hal seperti ini
sangat umum dijumpai pada daerah berbatu seperti di daerah karst yang umum tersusun oleh
batu gamping atau batu kapur (seperti di sepanjang pegunungan selatan jawa, Gunug Kidul
hingga Wonogiri), daerah yang kaya dengan batau beku dan metamorfik (seperti di daerah
Nusa Tenggara Timur dan Selatan Lombok). Pada daerah-daerah dengan karakteristik tadi
umumnya lebih senang menanam singkong, jagung atau pada ladang sebagai bahan makanan
pokok.

Selain faktor geologi tersebut, kekeringan juga diakibatkan oleh degradasi lahan akibat
eksploitasi berlebihan, Pengrusakan lahan, sehingga mengakibatkan hilangnya kemampuan
tanah dalam menyimpan air, ditambah dengan faktor iklim dan cuaca setempat sehingga
terjadi kekeringan berkepanjangan saat musim kemarau (musim panas). Bencana ini sering
mengakibatkan kelaparan hingga wabah penyakit menular.

Penanganan bencana ini dapat dilakukan dengan melakukan rehabilitasi lahan secara
berkelanjutan, penghijauan dan pembuatan waduk-waduk dengan area hijau disekitarnya
untuk meningkatkan kesuburan dan pengadaan pasokan air secara alami di wilayah tersebut. 

2. Longsor

Secara umum longosr dapat dibedakan menjadi beberapa tipe berdasarkan tipe
pergerakannya, yaitu: Longsoran Translasi, Longsoran Rotasi, Pergerakan Blok, Runtuhan
Batu, Rayapan Tanah, Aliran Material Rombakan.

Penyebab:

 Longsor dan gerakan tanah merupakan peristiwa umum yang terjadi di daerah
berlereng tidak stabil dan dipicu oleh curah dan intensitas hujan.
 Sering diakibatkan oleh pengrusakan lahan, penggundulan hutan, tidak adanya
pelindung tanah secara memadai.
 atau adanya lapisan impermeable (batuan keras kedap air, lapisan lempung) di bawah
lapisan tanah sehingga air tanah akan mengendap/mengalir di atas lapisan lapisan
tersebut, pada titik jenuhnya air tersebut akan membuburkan lapisan tanah di diatas
lapisan tersebut sehingga tanah akan bergerak sesuai dengan arah kemiringan lapisan
impermeable tersebut baik seketika maupun rayapan.

Upaya menyikapi:

Perlu meningkatkan pengetahuan karakteristik wilayah secara fisik, pemahaman akan


pentingnya area hijau untuk kestabilan lereng dan resapan air tanah disaat curah hujan tinggi. 
Dan untuk menekan risiko yang dapat diakibatkan longsor dan gerakan tanah perlu kita
menghindari daerah-daerah rawan longsor dan gerakan tanah, atau melakukan treatmen-
treatment untuk upaya mitigasi.

3. Banjir dan Banjir bandang

Banjir dan banjir bandang erat kaitannya dengan kapasitas area tangkapan air di daerah hulu.
Berkurangnya area hijau di daerah hulu akan meningkatkan ancaman banjir, sementara itu
minimnya vegetasi akan meningkatkan potensi longsor di daerah hulu, sehingga jika terjadi
longsor di sekitar badan sungai akan mengakibatkan terbentuknya bendungan alam yang akan
menjadi “peluncur peluru” banjir bandang.

Bendungan alam tersebut pada saatnya jika telah melewati kemampuan dan
keseimbangannya, maka akan jebol dan akan terjadi terjangan air bah yang disertai dengan
material longsor seperti tanah dan lumpur, bebatuan hingga pohon-pohon kayu tumbang.
Percampuran air bah dengan segala material tersebut akan meningkatkan daya hancur dan
akan merusak apapun yang dilaluinya.

4. Gunung Meletus

Indonesia secara geotektonik terletak pada "Segitiga Emas"  interaksi Lempeng yang
menyebabkan Indonesia terdapat pada jalur cincin api dunia dimana pada jalur tersebut
tersebar gunungapi-gunungapi aktif. Cincin api tersebut disebut dengan ring of fire circum
Mediterania bagian Barat Indonesia (Sumatera - Jawa) dan Circum Pasifik di bagian Timur
Indonesia (Sulawesi - Kepulauan Maluku). Banyaknya gunungapi menghasilkan kekayaan
alam, keindahan dan kesuburan lahan yang luar biasa, namun disamping itu juga menyimpan
potensi bencana khususnya letusan gunungapi.

Berikut adalah potensi bahaya yang ditimbulkan dari adanya letusan gunungapi dan
pembagian zona bahaya dari letusangunungapi:

 Lontaran “bom” vulkanik


 Aliran lava
 Gas beracun
 Awan panas ( 600 o - 1000 o C)
 Banjir lahar panas/dingin
 Gempabumi (lokal)

 KRB III : Terlanda awan panas, aliran lava,  lontaran batu pijar dan hujan abu

KRB II : Dapat terlanda awan panas dan lontaran material vulkanik dan hujan abu.

KRB I : Terlanda aliran lahar dan hujan abu

Berdasarkan catatan sejarah letusan gunungapi, maka gunungapi di Indonesia dibagi menjadi
beberapa tipe:

 Gunung api tipe A, adalah gunung api yang pernah meletus atau meningkat
kegiatannya sejak tahun 1.600 sampai sekarang. Tahun 1.600 dibuat sebagai patokan
mungkin karena saat itu para naturalis dari Belanda melakukan pencatatan.
 Gunung api tipe B, tidak memiliki sejarah letusan sejak tahun 1.600 atau
sebelumnya, tetapi terdapat lubang bekas letusan (kawah yang tidak aktif) di kawah
atau puncaknya. Tipe B ada 30 gunung.
 Gunung api tipe C, adalah tipe gunung api yang hanya memiliki manifestasi panas
bumi (solfatara, fumarola) dipermukaannya, tetapi tidak memiliki sejarah letusan
sejak tahun 1.600 atau sebelumnya maupun lobang letusan di puncak/tubuhnya. Tipe
ini sebanyak 21 gunung. 

Dalam upaya mitigasi dan pengurangan Risiko Bencana maka, diantaranya, perlu dilakukan
hal-hal sebagai berikut:

Mempertimbangkan peta Bahaya Letusan Gunungapi :

a. Tidak membangun permukiman, bangunan vital dan strategi, serta bangunan lainnya
yang mengundang konsentrasi banyak manusia di KRB III.
b. Hati-hati bermukim di KRB II .
c. Tidak membangun pemukiman dan aktivitas penduduk di bantaran sungai yang
berpotensi terjadi aliran/banjir lahar.
d. Mempersiapkan Rencana evakuasi, peralatan dan kebutuhan dasar yang diperlukan
jika terjadi Letusan Gunungapi. 

5. Gempa bumi

Aktifitas gempabumi sangat erat kaitannya dengan aktifitas tektonik yang berlangsung di
permukaan bumi yang menyebabkan adanya jalur-jalur patahan yang rawan terjadi gempa.
Masing-masing jalur patahan tersebut akan memiliki karakteristik yang berbeda-beda
tergantung tipe interkasi tektonik yang ada di derah tersebut  (apakah terjadi tumpukan
lempeng, lempeng-lempeng saling bersinggungan atau bergerak menjauh), sehingga juga
mengakibatkan adanya perbedaan karakteristik gempa. Untuk memahami ini sobat-sobit
dapat membaca aritikel-artikel yang berkaitan dengan lempeng tektonik (Plate Tektonik).

Dalam pemahaman fenomena gempa bumi terdapat beberapa pemahaman yang harus
dipahami dan disepakati bersama, artinya perlu ada penyamaan persepsi, yaitu :

a. Kekuatan gempa pada sumbernya di nilai dengan skala richter (SR), sedangkan kuat
goncangan yang dirasakan dan dampak yang diakibatkannya dinilai dengan “MMI”
(modified mercally intensity).
b. Gempa bumi akan terasa kuat jika dekat dengan sumbernya dan terasa lemah jika jauh
dari sumbernya meskipun >8 sr (berskala magnitudo besar). sehingga...
c. Semakin dekat dengan pusat gempa maka efek yang dirasakan akan semakin kuat,
nilai MMI-nya akan semakin besar, sebaliknya jika lebih jauh dari pusat gempa maka
MMI (dampak dan goncangan) akan lebih kecil.
d. Kejadian/fenomena gempabumi merupakan rambatan gelombang yang menghasilkan
goncangan atau getaran dipermukaan bumi, dan setiap tipe rambatan gelombang
gempa akan menghasilkan dampak yang berbeda pada wilayah yang dilaluinya. 
e. Pengetahuan dan pemahaman tentang rambatan gelombang gempa akan
meningkatkan pemahaman masyarakat tentang tindakan apa yang harus dilakukan
ketika terjadi gempabumi..sehingga pemahaman akan MMI, tipe dan sifat rembatan
gelombang gempa perlu diperkuat di masyarakat agar dapat memahami secara instan
dampak yang mungkin atau akan ditimbulkan oleh suatu fenomena gempabumi dan
tindakan apa yang perlu dilakukan jika terjadi gempabumi.

6. Tsunami

Tsunami umum terjadi pada tipe patahan yang memiliki lentingan vertikal (patahan naik),
dimana bagian lempeng yang tertekan melenting ke atas saat terjadi perlepasan energi saat
gempa (Patahan Horizontal/Transform tidak menyebabkan Tsunami). Hal ini umum terdapat
pada daerah daerah tepi benua dimana terjadi tabrakan lempeng samudera dengan lempeng
benua, dalam hal ini lempeng samudera menyusup ke bawah lempeng benua (hal ini di sebut
subduksi). 

Daerah tepi benua tersebut menjadi bagian yang tertekan akibat tabrakan ini, sehingga pada
waktunya, mungkin dalam siklus beberapa ratus tahun, akan terjadi pelepasan energi pada
zona yang tertekan ini. Nah, saat pelepasan energi  ini lah terjadi pelentingan tepi benua yang
umum di sebut Megathrust dan memicu perhamburan air laut  dari dasar samudera
menyebabkan gelombang besar (riak raksasa) yang  pada akhirnya dihempaskan ke daerah.
Pelentingan ini juga menyebabkan munculnya karang-karang laut di permukaan (daratan
bertambah akibat pengangkatan).

Sebagaimana pengalaman gempabumi dan tsunami selama ini di wilayah Indonesia,


pelepasan  energi gempa di sepanjang zona megathrust tidak menghasilkan MMI yang besar,
artinya rambatan gelombang gempa tidak menimbulkan kerusakan yang berarti pada
bangunan dan lingkungan, goncangan tidak besar namun berayun dalam waktu yang cukup
lama, ayunan dapat diarasakan kuat hingga lemah tergantung jarak dari episentrum. Tipe
rambatan gempa BERUPA slow earthquake (gempa lambat). (ysr)

Anda mungkin juga menyukai