1. Pendahuluan
Gunung-api adalah rekahan pada kerak bumi tempat keluarnya lelehan batuan cair
(yang disebut magma) dan gas atau material lainnya ke permukaan bumi. Letusan atau
erupsi gunung-api terjadi ketika material panas muncul ke permukaan bumi yang dapat
mengancam keselamatan harta-benda dan jiwa manusia, kerusakan lingkungan serta
kerugian lainnya. Secara geologi Indonesia terletak pada daerah tektonik aktif dimana
terjadi pertemuan atau tumbukan beberapa lempeng tektonik. Tumbukan lempenglempeng tersebut dapat menyebabkan bencana alam terutama gempa bumi dan aktivitas
gunung-api.
Di dunia terdapat sekitar 500 gunung-api aktif dengan rata-rata dalam satu tahun 50
gunung-api mengalami erupsi. Berdasarkan catatan sejarah sejak tahun 1600-an bencana
gunung-api telah menelan korban sebanyak kurang-lebih 260.000 jiwa. Dari jumlah
tersebut kira-kira 160.000 jiwa atau 67% diantaranya adalah korban akibat bencana
gunung-api di Indonesia. Dua letusan gunung-api terbesar dalam masa sejarah pernah
terjadi di Indonesia, yakni Gunung Tambora pada tahun 1815 dan Gunung Krakatau
pada tahun 1883, masing-masing menimbulkan korban jiwa sebanyak 92.000 dan
36.000 orang.
Sebagai peristiwa atau fenomena alam, erupsi gunung-api merupakan salah satu bahaya
alam (natural hazard) yang tidak dapat dihindarkan keberadaan maupun kejadiannya.
Kondisi tektonik Indonesia memposisikan kehidupan manusia dan lingkungan di
Indonesia menjadi rentan terhadap bencana alam (natural disaster) akibat erupsi
gunung-api. Oleh karena itu diperlukan kajian dan tindakan yang dapat meminimumkan
dampak erupsi gunung-api (mitigasi). Di samping itu, fenomena-fenomena yang
mendahului terjadinya erupsi gunung-api dapat dimanfaatkan untuk mengantisipasi
bencana akibat erupsi gunung-api tersebut.
Selain menyimpan potensi bahaya, gunung-api juga memberikan manfaat bagi
kehidupan manusia. Banyaknya gunung-api di Indonesia juga menempatkan Indonesia
sebagai salah satu negara dengan potensi energi panas bumi (geotermal) yang sangat
besar. Energi geotermal merupakan salah satu energi alternatif yang harus
dikembangkan pemanfaatannya di Indonesia mengingat semakin menipisnya cadangan
sumber energi berbasis fosil terutama migas dan batubara. Dari potensi energi geotermal
Indonesia sebesar hampir 30.000 MW baru sekitar 1000 MW atau kurang dari 5% yang
telah dimanfaatkan. Dalam hal ini, teknologi yang dikembangkan untuk pemantauan
dan mitigasi bencana gunung-api dapat pula diterapkan dalam eksplorasi daerah prospek
geotermal, demikian pula sebaliknya.
Di Indonesia, mengingat jumlah gunung-api nya yang relatif cukup banyak, bahaya
letusan gunung-api harus mendapatkan perhatian yang serius baik dari pemerintah
maupun masyarakat. Indonesia mempunyai 129 gunung-api aktif (lihat Tabel 4.3.1)
serta 271 titik erupsi yang merupakan konsekuensi dari interaksi dan tumbukan antara
beberapa lempeng benua.
Tabel 4.3.1. Distribusi dan tipe gunung-api di Indonesia (Katili & Siswowidjojo, 1994).
Pulau
/Kawasan
Sumatera
Jawa
Bali
Nusa Tenggara
Laut Banda
Sulawesi Utara
Sangihe
Halmahera dan sekitarnya
Total
Jumlah Gunung-api
Tipe-A
Tipe-B
Tipe-C
12
12
6
21
8
5
2
20
3
5
9
1
6
2
5
5
5
2
80
28
21
Total
30
34
2
28
10
13
5
7
129
Tipe-A : Gunung-api yang tercatat mempunyai letusan freatik ataupun magmatik sejak 1600.
Tipe-B : Gunung-api yang tercatat tidak mempunyai letusan freatik ataupun magmatik sejak
1600, tapi menunjukkan kegiatan solfatara dan fumarol.
Tipe-C : Gunung-api yang tercatat tidak mempunyai aktivitas vulkanik, tapi hanya
menunjukkan kegiatan solfatara dan fumarol.
Dengan jumlah penduduk sekitar 200 juta, dan juga kenyataan bahwa P. Jawa yang
penduduknya paling padat juga mempunyai gunung-api yang paling banyak, maka tidak
dapat dipungkiri bahwa bahaya letusan gunung-api adalah sesuatu yang nyata bagi
rakyat Indonesia. Oleh sebab itu pemantauan aktivitas gunung-api di Indonesia haruslah
selalu dilaksanakan secara maksimal dan terus menerus.
b. Aliran Piroklastik
Aliran piroklastik (pyroclastic flow) adalah campuran fragmen batuan, abu, gas
volkanik dan udara bersuhu tinggi (200-700C) yang mengalir menuruni lereng dengan
kecepatan tinggi (lebih dari 70 km/jam). Aliran piroklastik yang juga sering disebut
sebagai awan panas terjadi pada saat erupsi eksplosif yang meruntuhkan dinding kawah
atau kubah lava hasil aktivitas sebelumnya. Endapan aliran piroklastik pada lembah di
lereng gunung-api dapat menyebabkan terjadinya bahaya gunung-api yang lain yaitu
lahar.
c. Tephra
Tephra adalah jatuhan yang berasal dari lontaran material volkanik padat dengan
berbagai ukuran mulai dari bom/batu volkanik sampai abu volkanik yang menyertai
letusan dalam kawah dengan kekuatan sangat besar. Material padat tersebut didorong
oleh gas bertekanan tinggi dan sebagian mengikuti lintasan peluru atau proyektil.
Kecepatan proyektil dapat mencapai lebih dari 300 meter/detik dan jarak horisontal
maksimum dapat melebihi 5 km dari titik asal, bergantung ukuran proyektil dan
kekuatan letusan. Fragmen yang paling kecil berupa abu volkanik terbang ke udara
membentuk kolom erupsi dan kemudian jatuh mengikuti arah angin.
d. Lahar
Lahar adalah istilah yang diadopsi dari bahasa Indonesia untuk aliran lumpur volkanik
(volcanic mudflow). Lahar merupakan aliran material volkanik yang telah bercampur
dengan air (danau kawah atau air permukaan) dan mengalir menuruni lereng atau
mengikuti lembah dan sungai dengan kecepatan tinggi. Campuran ini terdiri dari
berbagai ukuran fragmen batuan mulai dari debu volkanik sampai bongkahan dengan
ukuran besar. Lahar terutama disebabkan oleh curah hujan yang tinggi selama dan
setelah erupsi volkanik. Lahar dapat menyebabkan bahaya tak langsung karena dapat
merusak lingkungan. Aliran lahar dapat menyebabkan kerusakan lahan subur yang
kemudian menyebabkan bahaya kelaparan.
e. Longsor
Longsor (landslide) adalah gerakan massa batuan dan tanah yang terjadi ketika lereng
gunung-api runtuh dan meluncur ke bawah. Kecepatan tinggi dan momentum yang
besar menyebabkan longsoran mencapai jarak yang jauh dan bahkan menerjang
penghalang alamiah berupa punggungan atau bukit. Longsoran yang mencapai sungai di
lereng gunung-api dapat mengalir lebih jauh dalam bentuk lahar. Longsoran yang
membawa apa saja yang diterjangnya sering pula disebut sebagai longsoran puing
(debris avalanche).
f. Gas Volkanik
Gas volkanik yang terlarut dalam magma terlepas ke udara saat terjadi erupsi. Gas
volkanik mengikuti pergerakan angin sehingga dapat menyebar jauh dari lubang kawah.
Gas volkanik terutama berupa uap air, karbon dioksida (CO2) dan sulfur dioksida (SO2)
serta aerosol bersifat asam yang terbawa bersama partikel tephra dan partikel garam
berukuran mikroskopik. Gas yang paling berbahaya bagi manusia, binatang dan
pertanian adalah SO2, CO2 dan HF. Gas karbon dioksida lebih berat dari udara sehingga
cenderung menuju tempat yang lebih rendah dan terkumpul di dekat permukaan tanah.
Konsentrasi gas CO2 yang berlebihan di suatu tempat sangat mematikan bagi manusia
dan binatang. Sulfur dioksida dapat menyebabkan hujan asam lokal dan polusi udara.
g. Gempa Bumi
Proses naiknya magma dari dapur magma ke lubang kawah selama aktivitas erupsi
sering disertai dengan terjadinya gempa bumi volkanik. Umumnya pengaruh gempa
bumi volkanik hanya bersifat lokal dengan tingkat kekuatan jauh lebih rendah dari pada
gempa bumi tektonik. Meskipun demikian getaran gempa bumi volkanik dapat memicu
longsornya lereng gunung-api yang tidak stabil.
h. Tsunami
Tsunami volkanik dapat timbul jika tanah longsor, aliran piroklastik dan lahar masuk ke
laut atau danau besar. Tsunami volkanik dapat juga disebabkan oleh dislokasi dasar laut
oleh gunung-api lepas pantai. Runtuhnya struktur bangunan gunung-api (volcanic
edifice) yang dipicu oleh letusan gunung-api atau gempa dapat mengarah ke pergeseran
lereng yang selanjutnya menimbulkan tsunami. Meletusnya G. Krakatau tahun 1883
menimbulkan tsunami yang menyebabkan korban dalam jumlah besar.
Geofisika
a. Gempa Volkanik
Aktivitas gunung-api yang mengarah pada letusan hampir selalu didahului oleh
peningkatan jumlah gempa volkanik. Gempa volkanik terjadi karena adanya gerakan
atau dorongan magma yang kuat dari dalam bumi mendekati permukaan bumi melalui
lubang kepundan. Pada umumnya intensitas gempa volkanik lebih lemah jika
dibandingkan dengan gempa tektonik. Pemantauan aktivitas kegempaan (seismisitas)
menggunakan jaringan pengamatan gempa bumi (seismograf) secara terus menerus
perlu dilakukan pada suatu gunung-api aktif.
METODE PEMANTAUAN
AKTIVITAS GUNUNGAPI
Metode Visual
Metode Seismik
Metode Deformasi
Metode Kimia Gas
Metode Termal
Metode Gaya Berat
Metode Geomagnetik
Metode Inderaja
Implementasi
Episodik
Kontinyu
Terdapat beberapa tipe gempa yang terjadi pada gunung-api yang dapat digunakan
sebagai petunjuk adanya peningkatan aktivitas yang mengarah pada erupsi gunung-api
tersebut, yaitu:
Gempa volkanik frekuensi tinggi dengan frekuensi dominan sekitar 5-15 Hz, dicirikan
sebagai sinyal pada seismograf dengan fasa gelombang P dan gelombang S yang dapat
dibedakan. Fokus gempa umumnya berada pada kedalaman besar (1-20 km) dan
berasosiasi dengan proses perekahan batuan akibat terdesak oleh naiknya magma.
Gempa frekuensi tinggi sering disebut pula sebagai gempa tipe A atau gempa volkanotektonik (VT).
Gempa volkanik frekuensi rendah dengan frekuensi dominan sekitar 1-5 Hz,
dicirikan sebagai sinyal pada seismograf dengan fasa gelombang P dan gelombang S
yang tidak dapat dibedakan. Fokus gempa umumnya dangkal (kurang dari 1 km) dan
berasosiasi dengan fenomena getaran atau vibrasi magma pada kantung magma. Gempa
frekuensi tinggi sering disebut pula sebagai gempa tipe B dan jumlahnya meningkat
tajam sebelum terjadi letusan.
Tremor volkanik tercatat di seismograf sebagai getaran yang hampir terus menerus
(kontinyu) baik bersifat harmonik maupun tidak teratur. Getaran ini menunjukkan
keberadaan magma yang sudah sangat dekat dengan permukaan.
Pola seismisitas gunung-api umumnya sangat kompleks dan sulit diinterpretasi.
Meskipun demikian pengamatan terhadap aktivitas kegempaan tersebut telah berhasil
memperkirakan letusan beberapa gunung-api aktif sehingga dapat mengurangi jumlah
korban jiwa. Sebagai contoh tremor volkanik telah berhasil digunakan untuk
memprediksi letusan Mount Saint Helens di Amerika Serikat tahun 1980 dan Gunung
Pinatubo di Filipina tahun 1991. Contoh kasus serupa di Indonesia diantaranya adalah
letusan Gunung Merapi tahun 2006 dan Gunung Kelud 2007. Pemantauan gunung-api
menggunakan jaringan seismograf telah dilakukan secara sistematik oleh Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi untuk gunung-api yang dianggap berbahaya
dengan tingkat aktivitas cukup tinggi.
b. Magnetik
Pengukuran medan magnet yang menghasilkan peta anomali magnetik di daerah
volkanik bermanfaat untuk memperkirakan struktur bawah-permukaan mengingat
batuan volkanik memiliki sifat kemagnetan yang sangat kontras. Struktur internal
gunung-api kemungkinan besar sangat berpengaruh pada pola evolusi atau aktivitas
gunung-api tersebut di masa yang akan datang.
Untuk keperluan mitigasi bencana gunung-api, pengukuran data magnetik dengan
resolusi spasial yang cukup tinggi perlu dilakukan secara sistematik pada semua
gunung-api aktif. Kemajuan dalam bidang instrumentasi magnetik dan navigasi
memungkinkan pengukuran data magnetik secara airborne yang disebut sebagai survey
aeromagnetik. Namun demikian pemetaan anomali magnetik secara konvensional
melalui survey ground magnetic dapat saja dilakukan sebagai alternatif.
Selain pemetaan anomali magnetik yang bersifat statik dapat pula dilakukan
pengukuran medan magnetik secara kontinyu sebagai bagian dari pemantauan aktivitas
gunung-api aktif. Penelitian yang telah dilakukan di Gunung Merapi menunjukkan
adanya perubahan anomali magnetik periode sangat panjang (lebih dari 10 tahun),
periode menengah (1-2 tahun) dan periode pendek (dalam orde bulan). Perubahan
anomali magnetik periode menengah diduga berkorelasi kuat dengan periode aktivitas
Gunung Merapi (Zlotnicki dkk, 2000).
Dengan asumsi bahwa temperatur magma telah melampaui temperatur Curie batuan
maka magma tidak memiliki sifat kemagnetan atau memiliki intensitas magnetisasi
lebih rendah relatif terhadap batuan sekitarnya. Kondisi tersebut dapat menimbulkan
anomali magnetik yang bervariasi sesuai dengan perubahan posisi magma selama proses
aktivitas volkanik. Grandis dkk (2004) melakukan simulasi yang menggambarkan
perubahan anomali magnetik pada beberapa titik di sekitar puncak sebagai respons
perubahan posisi benda anomali non-magnetik yang bergerak secara bertahap naik dari
kedalaman 5000 meter mendekati permukaan bumi. Hasil simulasi tersebut
diperlihatkan pada Gambar 4.3.2.
Secara umum data hasil pemantauan anomali magnetik Gunung Merapi memiliki pola
yang identik dengan hasil simulasi, namun dengan amplitudo yang lebih kecil dan
interval waktu perubahan yang relatif lama. Hal tersebut menunjukkan bahwa simulasi
numerik yang telah dilakukan tidak dapat merepresentasikan mekanisme yang
sebenarnya. Pada kasus Gunung Merapi, perubahan anomali magnetik yang timbul
diasumsikan lebih didominasi oleh mekanisme piezo-magnetik (Zlotnicki, 2000), yaitu
perubahan medan magnet akibat perubahan tekanan magma. Sementara itu asumsi yang
digunakan pada simulasi adalah adanya fenomena termo-magnetik.
Mogi dkk (2003) juga melakukan simulasi proses erupsi Usu Volcano (Hokkaido,
Jepang) pada tahun 2000 dan berhasil memperoleh pola perubahan anomali magnetik
yang sesuai dengan data pengamatan (Gambar 4.3.3). Simulasi dan data tersebut
mengindikasikan adanya letusan menyamping (lateral blast). Keberhasilan pemantauan
gunung-api aktif dengan pengukuran anomali medan magnet secara kontinyu cukup
menjanjikan, terutama untuk prediksi aktivitas volkanik jangka menengah. Hal tersebut
dimaksudkan sebagai komplemen pemantauan seismisitas dengan jangka yang lebih
pendek. Oleh karena itu penelitian lebih lanjut dan implementasi di lapangan perlu
segera dilakukan secara lebih intensif.
20
20
N
sta-2
18
16
14
Northing (km)
sta-3
12
sta-2
sta-4
10
sta-1
8
10
sta-3
sta-1
-10
REF
sta-4
-20
0
0
10
Easting (km)
12
14
16
18
20
9 10 11 12 13 14 15
time
Gambar 4.3.2. Kontur ketinggian kerucut gunung-api dan posisi 4 titik pengamatan di sekitar
puncak (kiri), perubahan anomali magnetik hasil simulasi pada ke 4 titik pengamatan tersebut
(kanan).
Gambar 4.3.3. Simulasi perubahan anomali magnetik sebagai respons perubahan posisi atau
trayektori bola dipol (atas) dan data hasil pemantauan anomali magnetik di Usu Volcano,
Hokkaido, Jepang (bawah) (Mogi dkk, 2003).
c. Gravitasi
Sebagaimana pengukuran medan magnet, pengukuran anomali gravitasi yang bersifat
statik dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan struktur bawah-permukaan mengingat
batuan volkanik memiliki kontras rapat massa dengan batuan di sekitarnya. Di samping itu
pengukuran anomali gravitasi yang bersifat dinamik bersama pengukuran deformasi
menggunakan teknik geodetik (dibahas pada bagian berikutnya) dapat dimanfaatkan untuk
prediksi erupsi gunung-api. Namun mengingat perubahan rapat-massa yang terlibat sangat
kecil maka diperlukan pengukuran gravitasi yang lebih teliti yaitu pada skala mikro-Gal.
Secara teoritik perubahan harga gravitasi akibat perubahan ketinggian (Free Air
Gradient, FAG) adalah -308.6 mikroGal/m. Dengan asumsi kantong magma sebagai
titik massa (point source) sebagaimana model Mogi pada pemodelan deformasi, maka
Bouguer Corrected Free Air Gradient (BCFAG) berharga antara -253 sampai -230
mikroGal/m untuk rapat massa 2000 kg/m3 dan 2800 kg/m3.dengan harga FAG teoritik.
Kedua parameter tersebut (FAG dan BCFAG) memberikan batasan yang
memungkinkan prediksi erupsi berdasarkan hasil pemantauan gravitasi-mikro dan
deformasi (Williams-Jones dan Rymer, 2002).
Harga FAG sebaiknya didasarkan pada hasil pengukuran di titik pengamatan dengan
cara mengukur gravitasi-mikro pada dua ketinggian yang berbeda (misal 1 meter).
Setelah diketahui FAG dan BCFAG maka hasil pemantauan gravitasi-mikro (g) dan
deformasi (h) antar waktu dapat di-plot sebagaimana Gambar 4.3.3 untuk
memperkirakan kondisi gunung-api yang sedang dipantau.
Zona 1 pada Gambar 4.3.4 berasosiasi dengan intrusi magma berkecepatan rendah
dengan viskositas magma tinggi sehingga interaksi dengan kantung magma rendah.
Terjadi peningkatan massa total (net) pada sistem yang menghasilkan g/h yang
berada pada Zona 1 atau sepanjang garis BCFAG. Peningkatan rapat massa atau tidak
ada perubahan rapat massa (sepanjang garis BCFAG) merupakan indikasi bahwa
magma tidak dapat naik ke permukaan dan gunung-api dapat dianggap dalam kondisi
stabil.
Zona 2 pada Gambar 4.3.4 berasosiasi dengan intrusi magma berkecepatan tinggi
dengan viskositas magma rendah sehingga terjadi interaksi magma baru dengan kantung
magma. Pemanasan dan percampuran magma menghasilkan peningkatan massa total
(net) namun terjadi penurunan rapat massa yang menghasilkan g/h yang berada pada
Zona 2 atau antara garis FAG dan BCFAG. Pada kondisi ini peningkatan tekanan gas
dalam kantung magma dapat digunakan sebagai indikasi atau prekursor aktivitas erupsi.
d. Resistivitas
Resistivitas atau konduktivitas merupakan parameter fisika yang paling sensitif dan
berhubungan erat dengan fenomena termal. Pada daerah volkanik, interaksi intensif
antara magma dengan batuan sekitarnya dan air-tanah menyebabkan fenomena
hidrotermal yang membentuk zona konduktif. Oleh karena itu metode geofisika yang
memungkinkan perkiraan distribusi resistivitas dapat digunakan untuk penyelidikan
struktur bawah-permukaan suatu daerah volkanik.
Metode magnetotelurik (MT) merupakan salah satu metode geofisika yang dapat
memperkirakan struktur internal gunung-api berdasarkan distribusi resistivitas bawahpermukaan. Survey MT di Usu Volcano berhasil memetakan adanya intrusi resistif pada
lingkungan batuan tersier konduktif. Intrusi tersebut adalah produk letusan tahun 19771978 yang mengalami proses pendinginan sehingga bersifat resistif. Di samping itu
metode MT juga berhasil mengidentifikasi adanya lapisan lava resistif kuarter.
Meskipun demikian model resistivitas berdasarkan data MT tersebut kurang tegas
mengindikasikan keberadaan kantong magma konduktif (Matsushima dkk, 2001).
Gambar 4.3.4 menunjukkan perubahan data MT (TM-mode) sebagai respons perubahan
model 2-D magma konduktif yang mensimulasikan aktivitas atau erupsi volkanik
(Grandis dkk, 2005). Pemodelan 3-D yang dapat memperhitungkan struktur bawahpermukaan dan kondisi topografi daerah volkanik secara lebih realistis masih menjadi
bahan kajian penelitian yang sangat intensif (Grandis, 2008; Spichak dkk, 2004).
Gambar 4.3.5. Perubahan profil resistivitas semu (TM-mode) akibat perubahan struktur 2-D
yang menggambarkan kenaikan magma konduktif mendekati permukaan.
Geodesi
Saat terjadinya erupsi gunung-api selalu disertai dengan bergeraknya material-material
kerak atau kulit bumi. Hal ini mengakibatkan terjadinya deformasi di permukaan bumi.
Salah satu cara mitigasi bencana gunung-api adalah dengan memonitor deformasi
permukaan bumi yang terjadi. Deformasi diukur secara geodetik, sehingga diketahui
area dan kecepatan terjadinya deformasi. Hal ini sebenarnya tergantung dari ukuran dan
kedalaman tubuh magma.
Selama ini sudah banyak diketahui bahwa letusan-letusan gunung-api yang eksplosif
sering diawali oleh deformasi berupa kenaikan permukaan tanah yang relatif cukup
besar (Scarpa and Gasparini, 1996). Bahkan untuk gunung-api yang sudah lama tidak
menunjukkan aktivitasnya, adanya fenomena deformasi tubuh gunung-api yang
bersangkutan, merupakan salah satu indikator yang dapat dipercaya dari kebangkitan
kembali aktivitas gunung-api tersebut. Disamping itu menurut Van der Laat (1997) serta
Dvorak and Dzurisin (1997), deformasi permukaan gunung-api, yang berupa vektor
pergeseran titik dan vektor kecepatan perubahannya, dapat memberikan informasi
tentang karakteristik dan dinamika dari kantong (reservoar) magma. Informasi gejala
deformasi tersebut dapat dimodelkan untuk menentukan lokasi, kedalaman, bentuk,
ukuran dan perubahan-perubahan tekanan sumber penyebab deformasi. Kemungkinan
besar fakta tersebut adalah pembentukan kantong magma dan kantong hidrotermalnya.
Dalam hal ini laju pemasukan magma ke tubuh gunung-api dan volume muntahan
magmanya, seandainya terjadi letusan, akan dapat diduga dengan menggunakan data
dan informasi deformasi (Dvorak and Dzurisin, 1997).
Pada prinsipnya deformasi dari tubuh gunung-api dapat berupa penaikan permukaan
tanah (inflasi) ataupun penurunan permukaan tanah (deflasi), seperti yang diilustrasikan
pada Gambar 4.3.6. Deformasi yang berupa inflasi umumnya terjadi karena proses
gerakan magma ke permukaan yang menekan permukaan tanah di atasnya. Dalam hal
ini deformasi yang maksimal biasanya teramati tidak lama sebelum letusan gunung-api
berlangsung. Sedangkan deformasi berupa deflasi umumnya terjadi selama atau sesudah
masa letusan. Pada saat itu tekanan magma di dalam tubuh gunung-api telah melemah.
Pada saat itu permukaan tanah cenderung kembali ke posisinya semula.
Inflasi (Penaikan Muka Tanah)
Tubuh gunung api
yang terangkat
menjelang letusan
Magma
Magma
Gejala deformasi gunung-api akan menyebabkan pergeseran posisi suatu titik di tubuh
gunung-api. Pergeseran posisi tersebut dapat terjadi baik dalam arah horisontal maupun
vertikal. Menurut Van der Laat (1997), nilai pergeseran ini bisa mencapai puluhan
meter pada gunung-api silisik yang membentuk kubah lava. Pada gunung-api yang
kantong magmanya masih jauh di bawah permukaan atau gerakan naiknya magma
relatif lambat, deformasi yang teramati relatif kecil, kadang-kadang nilai strain-nya
lebih kecil dari 0.1 ppm/tahun.
Pemantauan deformasi suatu gunung-api dapat dilakukan dengan menggunakan
berbagai macam sensor atau sistem, dan berdasarkan moda implementasinya dapat
diklasifikasikan atas dua tipe, yaitu metode episodik dan metode kontinyu seperti yang
ditunjukkkan pada Gambar 4.3.7. Pada metode episodik, pemantauan dilakukan secara
episodik dalam selang waktu tertentu. Metode deformasi episodik ini umumnya
menggunakan data-data pengamatan terestris, seperti jarak (dari EDM, Electronic
Distance Measurement), arah (dari theodolit), beda tinggi (dari sipat datar), dan
perubahan gaya berat (dari pengukuran mikrogravitas); dan sekarang ini juga mulai
menggunakan data pengamatan GPS. Sedangkan pada metode deformasi kontinyu
pemantauan dilakukan secara terus menerus. Metode deformasi kontinyu ini umumnya
menggunakan sensor-sensor tiltmeter, extensiometer, dan dilatometer, yang hanya
mengkarakterisir deformasi yang sifatnya sangat lokal. Patut ditekankan di sini bahwa
GPS yang dikombinasikan dengan sistem telemetri/komunikasi data juga dapat
digunakan untuk memantau deformasi gunung-api secara kontinyu. Baik untuk metode
episodik maupun kontinyu, dapat diperkirakan bahwa GPS akan punya peran yang
penting dalam proses pemantauan deformasi gunung-api di masa-masa mendatang.
Episodik
METODE
DEFORMASI
Kontinyu
Tiltmeter
Extensiometer
Dilatometer
Jaringan GPS Kontinyu
Patut dicatat bahwa secara operasional pemantauan deformasi gunung-api dengan GPS,
baik secara episodik maupun kontinyu, sudah diterapkan di banyak gunung-api di
seluruh dunia. Contoh-contoh kasus dalam hal ini bias dilihat di USGS-Volcano (2006).
Untuk kasus gunung-api di Indonesia, pemantauan gunung-api secara episodik dengan
metode survei GPS telah diterapkan di beberapa gunung-api. Gambar 4.3.8.
menunjukkan beberapa lokasi gunung-api yang deformasinya dipelajari dengan survei
GPS yang dilaksanakan oleh Kelompok Keilmuan (KK) Geodesi ITB bekerjasama
dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen ESDM.
P. JAWA
Tangkuban Perahu
Galunggung
Guntur
Kelud
Bromo
Papandayan
Ijen
Batur
Semeru
STUDIED VOLCANOES
GUNUNGAPI
YANG DIPELAJARI
Survei GPS di gunung-gunung-api yang ditunjukkan pada Gambar 4.3.8 tidak dimulai
pada tahun yang sama; yaitu Guntur sejak 1996, Papandayan sejak 1998, Kelud sejak
1999, Batur sejak 1999, Galunggung sejak 2001, Bromo sejak 2001, Ijen sejak 2002,
Tangkuban Perahu sejak 2002, dan Semeru sejak 2003. Umumnya survei di gununggunung tersebut dilaksanakan setahun sekali. Beberapa hasil dari studi deformasi
gunung-api dengan metode survei GPS tersebut diberikan di Abidin et al. (1997, 1998a,
1998b, 1999, 2000, 2001, 2004, 2005).
4.3.9, Mazot dkk, 2007). Pembentukan alterasi argilik lanjut terlihat dari materialmaterial yang terlempar saat erupsi terjadi. Meskipun demikian, setelah erupsi
November 2002, kandungan gas-gas volkanik pada air danau kawah kembali normal.
Seperti halnya karakteristik kimia air danau kawah G. Kelud yang menunjukkan
peningkatan temperatur dan kandungan unsur-unsur terlarut, seperti SO4, Cl, B, F, Ca,
K dan Fe (Gambar 4.3.10), disamping peningkatan kandungan gas-gas volkanik, seiring
dengan peningkatan aktivitas vulkanisme (Kadarsetia dkk, 2006).
Gambar 4.3.9. Plot antara kandungan Cl dengan SO4 dan Mg dalam air sebelum (1994-2002)
dan setelah (2003-2005) erupsi Papandayan (Mazot dkk, 2007).
c. Vulkanostatigrafi
Vulkanostratigrafi mempelajari urut-urutan endapan volkanik yang dihasilkan dari
aktivitas gunung-api. Dengan mempelajari urutan batuan, komposisi mineralogi dan
kimia endapan tersebut, dapat diketahui karakteristik erupsi gunung-api yang terjadi.
Dengan melakukan pentarikhan umur batuan volkanik, maka akan diketahui
terjadinyanya erupsi gunung-api yang menghasilkan endapan tersebut. Selanjutnya
dapat diketahui tipe erupsi yang terjadi dan siklus waktu terjadinya.
Gambar 4.3.10. Kandungan K, Ca dan Fe air danau kawah G. Kelud antara tahun 1987 hingga
2005 (Kadarsetia dkk, 2006).
Daftar Pustaka
Abidin, H.Z., O.K. Suganda, M.A. Kusuma, I. Meilano, B. Setyadji, D. Muhardi, R.
Sukhyar, J. Kahar, and T. Tanaka, 1997, Monitoring the Deformation of Guntur
Volcano (West Java, Indonesia) Using GPS Survey Method : Status and Future
Plan. Proceedings of International Symposium on Natural Disaster Prediction
and Mitigation, Kyoto, December 1-5, pp. 81 88.
Abidin, H.Z., 1998a, Monitoring the deformation of volcanoes in Indonesia using
repeated GPS survey method: status, results and future plan. Proceedings of the
International Workshop on Advances in GPS Deformation Monitoring, ISBN : 186308-073-2, Curtin University, Perth, 24-25 September, Paper no. 18.
Abidin, H.Z., I. Meilano, O.K. Suganda, M.A. Kusuma, O. Yolanda, D. Muhardi, B.
Setyadji, R. Sukhyar, J. Kahar, and T. Tanaka, 1998b, Some Aspects of Volcano
Deformation Monitoring Using Repeated GPS Surveys. Proceedings of Spatial
Information Science, Technology and Its Applications, Wuhan, China, 13-16
December, pp. 92 - 109.
Abidin, H.Z., I. Meilano, O.K. Suganda, M.A. Kusuma, I. Meilano, M. Gamal, W.S.
Tjetjep, R. Sukhyar, A.D. Wirakusumah, T. Tanaka, J. Kahar, C. Rizos, and M.S.
Widodo, 1999, The Status of Deformation Monitoring of Active Volcanoes in
Indonesia with GPS Satellite System. Proceedings of the 28th Annual Convention
of Indonesian Association of Geologists, Vol. IV : Developments in Engineering,
Environment, and Numerical Geology, Jakarta, 30 Nov. - 1 Dec. 1999, pp. 261 277.
Abidin, H.Z., D. Darmawan, O.K. Suganda, M. A. Kusuma, I. Meilano, F. Anthony, M.
Gamal, and A.D. Wirakusumah, 2000, Studi Deformasi Gunung Papandayan
Dengan Metode Survei GPS. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan HAGI
(Himpunan Ahli Geofisika Indonesia) ke-25, ISBN : 979-95053-4-8, Bandung, 3-4
Oktober, pp. 330-335.
Abidin, H.Z., D. Darmawan, M. A. Kusuma, M. Hendrasto, O.K. Suganda, M. Gamal, F.
Ki-mata, and C. Rizos, 2001, Studi Deformasi Gunung Kelut Dengan Metode
Survei GPS. Surveying & Geodesi, Jurnal Ilmiah Jurusan Teknik Geodesi ITB,
ISSN : 0852-0569, Vol. XI, No.2, Mei, pp. 11 - 18.
Abidin, H.Z., M. Hendrasto, H. Andreas, D. Darmawan, M.A. Kusuma, M. Gamal, O.K.
Suganda, I. Kusnadi, dan A.D. Wirakusumah, 2002, Studi Deformasi Gunung-api
Batur Dengan Metode Survei GPS. Surveying & Geodesi, Jurnal Ilmiah Jurusan
Teknik Geodesi ITB, ISSN : 0852-0569, Vol. XII, No.3, September, pp. 1 10.
Abidin, H.Z., H. Andreas, M. Gamal, M. Hendrasto, Ony K. Suganda, M.A. Purbawinata, Irwan Meilano, and F. Kimata, 2004, The Deformation of Bromo
Volcano as Detected by GPS Surveys Method. Journal of Global Positioning
Systems, Vol.3, No. 1-2, pp.16-24.
Abidin, H.Z., H. Andreas, M. Gamal, O.K. Suganda, I. Meilano, M. Hendrasto, M.A.
Kusuma, D. Darmawan, M.A. Purbawinata, A.D. Wirakusumah, and F. Kimata,
2005, Ground De-formation of Papandayan Volcano Before, During and After
Eruption 2002 as Detected by GPS Surveys. GPS Solutions. Springer-Verlag
GmbH, ISSN: 1080-5370 (Paper) 1521-1886 (Online), DOI: 10.1007/s10291-0050009-1.
Banks, N.G., R.I. Tilling, D.H. Harlow, and J.W. Ewert, 1989, Volcano monitor-ing and
short term forecast. In Volcanic Hazards (ed. R.I. Tilling), Ameri-can
Geophysical Union, Washington, D.C., USA.
Dana, I.N., Kadarsetia, E., Primulyana, S., Hendrasto, M. and Nasution, A., 2006,
Peningkatan kegiatan Gunung-api Tangkubanparahu Jawa Barat pada bulan April
2005. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1, No. 4, 193-200.
Dvorak, J.J., and D. Dzurisin, 1997, Volcano Geodesy : The Search for Magma
Reservoirs and the Formation of Eruptive Vents. Review of Geophysics, Vol. 35,
No. 3, August, pp. 343 - 384.
Grandis, H., Widarto, D.S., Yudistira, T., dan Herawati A., 2004, Simulasi fenomena
volkano-magnetik menggunakan pemodelan magnetik 3-D. Prosiding PIT HAGI
ke-29, Yogyakarta.
Grandis, H., Widarto, D.S., dan Sumintadiredja, P., 2005, Pencitraan struktur internal
gunung-api aktif menggunakan metode magnetotellurik (MT). Laporan
Penelitian RUT X.
Grandis, H., 2008, Magnetotelluric (MT) inversion for 3-D conductivity model
resolution using Markov Chain Monte Carlo (MCMC) algorithm: Preliminary
results. Jurnal Geofisika 2006/1.
Kadarsetia, E., Primulyana, S., Sitinjak, P., dan Saing, U.B., 2006, Karakteristik
kimiawi air danau kawah Gunung-api kelud, Jawa Timur pasca letusan tahun
1990. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1, No. 4, 185-192.
Katili, J.A., dan S.S. Siswowidjojo, 1994, Pemantauan Gunung-api di Filipina dan
Indonesia. Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI).
Matsushima, N., Oshima, H., Ogawa, Y., Takakura, S., Satoh, H., Utsugi, M., and
Nishida, Y., 2001, Magma prospecting in Usu Volkano, Hokkaido, Japan using
magnetotelluric soundings. J. Volcanol. Geotherm. Res, 109, 263-277.
Mazot, A., Berbard, A., and Sutawidjaja, I.S., 2007, Hydrothermal system of the
Papandayan volcano, West Java, Indonesia and its geochemistry evolution of
thermal water after the November 2002 eruption. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2,
No. 1, 15-29.
McGuire, W.J., 1995, Monitoring active volcanoes an introduction, In Moni-toring
Active Volcanoes by B. McGuire, C.R.J. Kilburn, and J. Murray (Eds), pp. 1-31,
UCL Press Limited, London, 421 pp.
Mogi, T., Sato, H., Saba, M., Tanimoto, K., Nishida, Y., Takada, M., Utsuki, M.,
Hashimoto, T., and Sasai, Y., 2003, Electric and Magnetic field change
associated with the 2000 Usu Volcano eruption. IUGG General Assembly,
Sapporo Japan.
Priatna, and Kadarsetia, E., 2007, Characteristics of volcanic gas correlated to the
eruption activity; Case study in the Merapi Volcano, periods of 1990 1994.
Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2, No. 4, 235-246.
Scarpa, R., and P. Gasparini, 1996, A Review of Volcano Geophysics and VolcanoMonitoring Methods. In Monitoring and Mitigation of Volcano Hazards by R.
Scarpa and R.I. Tilling (Eds.), Springer Verlag, Berlin, pp. 3 - 22.
Scarpa, R., and R.I. Tilling (Eds.), 1996, Monitoring and Mitigation of Volcano
Hazards. Springer Verlag, Berlin, 841 pp.
Spichak V.V., Yamaya, Y., and Mogi, T., 2004, ANN modeling of 3-D conductivity
structure of the Komagatake volcano (Hokkaido, Japan) by MT data. Proc. IV
Int. Symp. MEEMSV-2004. La Londe Les Maures. France. 121-124.
USGS-Volcano (2006). Situs internet dari U.S. Geological Survey Volcano Hazards
Program. Alamat situs : http://volcanoes.usgs.gov.
van der Laat, R. (1996) Ground-Deformation Methods and Results. In Monitoring
and Mitigation of Volcano Hazards by R. Scarpa and R.I. Tilling (Eds.),
Springer Verlag, Berlin, pp. 147 - 168.
Williams-Jones, G., Rymer, H., 2002, Detecting volcanic eruption precursors: a new
method using gravity and deformation measurements. J. Volcanol. Geotherm.
Res, 113, 379-389.
Zlotnicki, J., Bof, M., Perdereau, L., Yvetot, P., Tjetjep, W., Sukhyar, R., Purbawinata,
M.A., and Suharno, 2000, Magnetic monitoring at Merapi volcano, Indonesia. J.
Volcanol. Geotherm. Res, 100, 321-336.