Anda di halaman 1dari 8

KEMENTRIAN TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS TADULAKO
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK SIPIL
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

MAKALAH

VULKANOLOGI DAN GEOTERMAL

OLEH :

FIDYA AMALIA R
F121 19 079

PALU
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng bumi yaitu lempeng Eurasia,
lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik yang ketiganya bergerak aktif dan
saling bertumbukan. Pergerakan tiga lempeng tersebut membuat Indonesia memiliki
banyak gunung api dan merupakan bagian dari jalur The Pasific Ring of Fire (Cincin
Api Pasifik) atau jalur rangkaian gunung api aktif di dunia. Persebaran gunung api di
Indonesia memanjang dari Aceh hingga Sulawesi Utara melalui Pegunungan Bukit
Barisan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku.

Persebaran gunung api mulai dari Aceh hingga Maluku menjadikan Indonesia
memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap bencana erupsi gunung api. Bencana
letusan gunung api di Indonesia yang terjadi dalam rentang waktu 10 tahun terakhir
yaitu letusan Gunung Merapi pada bulan Oktober 2010, Gunung Kelud pada bulan
Februari 2014, Gunung Raung pada Juli 2015, Gunung Bromo pada Januari 2016,
serta Gunung Sinabung di Sumatera Utara pada bulan Mei 2016 (BNPB, 2016).
Ancaman bencana letusan gunung api ini masih akan tetap ada selama gunung api
tersebut masih aktif.

Salah satu gunung api di Indonesia yang sering mengalami peningkatan


aktivitas yaitu Gunung Merapi. Data Hystorical Geology of volcano Mountain
kementrian ESDM mencatat gunung ini memiliki periode peningkatan aktivitas
antara dua hingga tujuh tahun. Gunung Merapi berada dalam wilayah administrasi
empat kabupaten yaitu Kabupaten Sleman DIY, Kabupaten Magelang, Kabupaten
Boyolali dan Kabupaten Klaten di Propinsi Jawa Tengah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Gunung Api?
2. Apa saja bahaya dari Gunung Api?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari Gunung Api
2. Mengetahui bahaya dari Gunung Api
3. Mengetahui contoh studi kasus dari bahaya Gunung Api
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Gunung Api

Gunung api adalah rekahan pada kerak bumi, tempat keluarnya lelehan batuan
cair (yang disebut magma) dan gas atau cairan lainnya ke permukaan bumi. Kata
‘volcano’ (gunungapi) berasal dari nama sebuah pulau Romawi kuno bernama
‘vulcano’ yang terletak di baratdaya pantai Itali. Bangsa Romawi percaya bahwa
‘Vulcan’, adalah dewa api dan pembuat senjata, menggunakan gunung api di pulau

tersebut.
Gunung berapi atau gunung api secara umum adalah istilah yang dapat
didefinisikan sebagai suatu sistem saluran fluida panas (batuan dalam wujud cair
atau lava) yang memanjang dari kedalaman sekitar 10km di bawah permukaan bumi
sampai ke permukaan bumi, termasuk endapan hasil akumulasi material yang

dikeluarkan pada saat meletus.


Selanjutnya, istilah gunung api ini juga digunakan untuk nama fenomena
pembentukan es gunung berapi atau gunung berapi es dan lumpur gunung berapi atau
lumpur vulkanik. Es gunung berapi yang umum di daerah yang memiliki musim
dingin yang bersalju, sedangkan gunung lumpur dapat dilihat di daerah Kuwu,
Grobogan, Jawa Tengah yang populer sebagai Bledug Kuwu.

2.2 Bahaya Gunung Api

Bahaya letusan gunung api dapat berpengaruh secara langsung (primer) dan
tidak langsung (sekunder) yang menjadi bencana bagi kehidupan manusia. Bahaya
yang langsung oleh letusan gunungapi adalah :
1. Leleran Lava : leleran lava merupakan cairan lava yang pekat dan panas
dapat merusak segala infrastruktur yang dilaluinya. Kecepatan aliran lava
tergantung dari kekentalan magmanya, makin rendah kekentalannya, maka
makin jauh jangkauan alirannya. Suhu lava pada saat dierupsikan berkisar
antara 800o 1200o C. Pada umumnya di Indonesia, leleran lava yang
dierupsikan gunungapi, komposisi magmanya menengah sehingga
pergerakannya cukup lamban sehingga manusia dapat menghindarkan diri
dari terjangannya.

2. Aliran piroklastik (awan panas) : aliran piroklastik dapat terjadi akibat


runtuhan tiang asap erupsi plinian, letusan langsung ke satu arah, guguran
kubah lava atau lidah lava dan aliran pada permukaan tanah (surge).
Aliran piroklastik sangat dikontrol oleh gravitasi dan cenderung mengalir
melalui daerah rendah atau lembah. Mobilitas tinggi aliran piroklastik
dipengaruhi oleh pelepasan gas dari magma atau lava atau dari udara yang
terpanaskan pada saat mengalir. Kecepatan aliran dapat mencapai 150 250
km/jam dan jangkauan aliran dapat mencapai puluhan kilometer walaupun
bergerak di atas air/laut.

3. Jatuhan piroklastik (hujan abu) : Jatuhan piroklastik terjadi dari letusan


yang membentuk tiang asap cukup tinggi, pada saat energinya habis, abu
akan menyebar sesuai arah angin kemudian jatuh lagi ke muka bumi.
Hujan abu ini bukan merupakan bahaya langsung bagi manusia, tetapi
endapan abunya akan merontokkan daundaun dan pepohonan kecil
sehingga merusak agro dan pada ketebalan tertentu dapat merobohkan
atap rumah. Sebaran abu di udara dapat menggelapkan bumi beberapa saat
serta mengancam bahaya bagi jalur penerbangan.

4. Letusan Lahar : Lahar letusan terjadi pada gunung api yang mempunyai
danau kawah. Apabila volume air alam kawah cukup besar akan menjadi
ancaman langsung saat terjadi letusan dengan menumpahkan lumpur
panas.

5. Lontaran Material (pijar) : Lontaran material terjadi ketika letusan


magmatik berlangsung. Suhu mencapai 200 derajat celsius, diameter lebih
dari 10 cm dengan daya lontar ratusan kilometer.

2.3 Studi Kasus Bencana Gunung Api

Bahaya yang timbul pada saat terjadi letusan gunung berapi berupa lahar
letusan, awan panas, gas beracun dan kerusakan lahan akibat terjangan awan panas.
Bahaya yang timbul pasca erupsi diantaranya kerusakan lingkungan, pencemaran
udara, dan aliran lahar dingin. Bahaya letusan gunung berapi akan mengancam
beberapa elemen yang ada di sekitarnya. Elemen yang berada dalam wilayah bahaya
(element at risk) antara lain penduduk, sarana, prasarana fisik seperti jalan, jembatan,
perumahan dan sebagainya. Risiko bencana menjadi tinggi ketika masyarakat tidak
memiliki kemampuan untuk menanggapi bahaya letusan tersebut, karena kurangnya
pemahaman tentang gunung berapi dan bahayanya.

Contoh studi kasus bencana letusan Gunung Krakatau 1883, Letusan besar
Gunung Krakatau terjadi pada 26 dan 27 Agustus 1883. Saat itu, Krakatau yang
mengeluarkan jutaan ton batu, debu, dan magma, materialnya menutupi wilayah
seluas 827.000 km². Pada hari kedua, letusan Krakatau diikuti oleh gelombang besar
tsunami yang membawa material vulkanik berupa magma dan batu panas
menghantam pesisir Lampung dan Banten. Gelombang tsunami dari letusan Krakatau
mencapai hingga Afrika atau meliputi sekitar seperempat bumi. Sedangkan, suara
letusan Krakatau mencapai Srilangka dan Karachi di bagian barat; Perth dan Sydney
di bagian timur.

Besarnya material yang dimuntahkan oleh Krakatau, seperti magma yang


terbawa oleh ombak tsunami, memberi gambaran tentang bahaya gunung berapi di
wilayah laut. Tsunami telah menerjang pantaipantai di sekitar Selat Sunda, seperti
menghantam pantai di daerah Lampung, Banten dan sekitarnya yang mengakibatkan
hancurnya banyak segi kehidupan komunitas di sana. Tsunami yang diiringi oleh
energi magma dan batuan panas telah menewaskan sekitar 36.000 jiwa disertai
hancurnya berbagai pondasi penopang kehidupan masyarakat, seperti perkebunan,
pertanian, pertenakan, pasar, dan fasilitas umum atau infrastruktur lainnya. Dalam
catatan sejarah, gelombang tsunami Krakatau pada permukaan laut meliputi paling
sedikit seluas 4000 km².

Letusan Krakatau 1883 telah memberikan dampak pasca bencana yang cukup
besar pada lingkungan dengan habitat manusia, hewan, dan tumbuhannya. Beberapa
hal yang menjadi dampak letusan Krakatau 1883 bagi lingkungan dan masyarakat di
Banten yang juga berkaitan dengan gerakan sosial di sana dipaparkan sebagai berikut:

1. Perubahan Iklim
Setelah letusan besar Krakatau, atmosfer menjadi gelap karena tertutup
debu vulkanik. Sebagian besar sinar matahari tidak dapat menembus
lapisan atmosfer untuk mencapai bumi. Akibatnya, suhu bumi turun dan
merubah iklim secara drastis pada saat itu, di mana musim dingin lebih
panjang dari pada musim panas.
Selama satu tahun sinar matahari terhalang oleh debu vulkanik Krakatau.
Kurangnya sinar matahari menyebabkan udara di Banten menjadi lembab.
Bangkai hewan dan manusia cepat membusuk. Usaha pemulihan berupa
pembersihan sampah (bangkai dan runtuhan) terhambat karena kurangnya
sumber daya manusia. Usaha untuk menanam tanaman tidak dapat
dilakukan selain tanah yang masih tebal oleh lumpur dan persediaan air
bersih yang minim, juga karena jarang adanya sinar matahari sebagai
energi fotosintesis dan nutrisi tanaman. Efeknya Banten dan Lampung
tidak memiliki sumber pangan untuk komunitasnya untuk jangka waktu
tiga tahun ke depan hingga tanah dapat diolah kembali dan iklim kembali
normal.
Pasca letusan Krakatau ini, kegagalan panen akibat perubahan cuaca yang
drastis berdampak pada menurunnya pasokan pangan, terutama bagi para
korban bencana. Pasokan makanan dari Batavia tidak mencukupi bagi
seluruh korban di Banten dan Lampung, terutama bagi penduduk asli
daerah tersebut. Kelaparan melanda wilayah-wilayah yang tertimpa
bencana, bahkan wilayah yang jauh juga terkena dampak terbatasnya
pangan akibat perubahan iklim. Banyak korban yang selamat harus
berbagi-bagi makanan dengan korban lainnya karena jatah bantuan
makanan dari pemerintah Batavia sangat terbatas. Bahkan ada sebagian
masyarakat harus meminta-minta hingga jauh ke Pulau Jawa atau ke
Batavia dengan menumpang kapal-kapal barang.
2. Kerusakan dan Korban Jiwa
Terjangan gelombang tsunami mencapai 30 mil atau kurang lebih 48,28
km (jika 1 mil=1,6093 km) dari pantai dan menenggelamkan kota dari
Caringin, Panembang, hingga Cirebon. Banyak penduduk yang akan
mengungsi akhirnya juga tewas karena diterpa oleh hempasan tsunami.
Diperkirakan lebih dari 30.000 ribu orang menjadi korban dalam peristiwa
ini. Setelah terjangan gelombang tsunami, wilayah Selat Sunda dari pantai
hingga puluhan kilometer ke pedalaman menjadi rata. Banyak desa dan
kota yang hancur, ditambah dengan infrastruktur yang rusak berat, seperti
jembatan, jalan raya, kantor, dan gudang.

Anda mungkin juga menyukai