Anda di halaman 1dari 13

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS TADULAKO
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK SIPIL
PROGRAM STUDI S1 TEKNIK GEOLOGI

MAKALAH PENGINDERAAN JAUH

“PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK MITIGASI


BENCANA ERUPSI GUNUNGAPI”

DIBUAT OLEH :

ANNISA MILTRY PUTRI GEIS


F 121 17 023

PALU
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................i

BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................1

1.1. Latar Belakang.................................................................................1

BAB II DASAR TEORI.................................................................................2

2.1. Potensi Bencana Gunungapi di Indonesia..........................................2

2.2. Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Mitigasi Bencana Gunungapi......4

BAB III KESIMPULAN................................................................................10

3.1. Kesimpulan........................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Letak Indonesia yang berada pada pertemuan antar lempeng tektonik
menjadi penyebab utama Indonesia rawan terjadi bencana geologi. Bencana
geologi yang sering melanda wilayah Indonesia meliputi erupsi gunungapi,
gerakan tanah (tanah longsor), gempa bumi dan tsunami. Hal tersebut membuat
penduduk harus tetap siaga dan tanggap dalam menghadapi bencana. Banyak hal
yang bisa kita tempuh untuk mengurangi risiko bencana, salah satunya dengan
cara mencukupkan informasi dan pengetahuan kita tentang bencana yang kerap
terjadi di negeri ini, dengan cara yang mudah dan cepat. Salah satu teknologi yang
dapat membantu untuk mendeteksi bencana alam dan bagaimana cara mitigasinya
adalah dengan menggunakan penginderaan jauh. Dengan menggunakan data
penginderaan jauh, wilayah yang sulit untuk diakses oleh penduduk sekalipun
dapat terdeteksi dengan aktual dan cukup baik tanpa kontak langsung dengan
objek atau daerah tersebut.
Indonesia memiliki sekitar 129 gunungapi aktif yang berpotensi mengalami
erupsi dan menimbulkan bencana. Bencana yang berasal dari erupsi gunungapi
dapat berasal dari semburan lava pijar, jatuhan piroklastik, dan juga dari aliran
lahar dingin. Mengingat dampak-dampak yang ditimbulkan oleh erupsi
gunungapi tersebut maka diperlukan suatu upaya mitigasi bencana. Sebagai
negara yang sering terjadi bencana, usaha-usaha pemerintah dan pemerintah untuk
mengatasi bencana perlu dilakukan baik dari sisi teknologi, peraturan
perundangan maupun sisi pendekatan sosial budaya. Di tingkat nasional, upaya
penanggulangan bencana dikoordinasikan oleh BNPB. Dalam upaya
penanggulangan bencana tersebut dibutuhkan peran serta instansi terkait sehingga
terwujud suatu pendekatan penanggulangan yang integral, terpadu, dan
komprehensif.

1
BAB II
DASAR TEORI

2.1. Potensi Bencana Gunungapi di Indonesia


Indonesia mempunyai jalur gunung api yang rawan erupsi di sepanjang
ring of fire mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi-Banda,
Maluku hingga Papua (USGS,1999). Jalur gunung api tersebut berada di zona
subduksi (zona batas pertemuan dua lempeng yang bersifat konvergen,
bergesekan satu sama lain) dan merupakan jenis gunung komposit yang dapat
mengeluarkan lahar panas, awan panas, abu vulkanik dan material lainnya yang
cukup besar yang dapat mempengaruhi kondisi atmosfir serta menyebabkan
gempa vulkanik, longsor, hingga tsunami (jika berasal dari gunung api laut)
(Hinga, 2015). Di Indonesia terdapat sekitar 127 gunung api yang tersebar di
berbagai pulau dari Sabang sampai Merauke disajikan pada Gambar 2.1 dan
beberapa diantaranya ialah Gunung Raung di Jawa Timur, Gunung Gamalama di
Ternate dan Gunung Rinjani di Lombok.

Gambar 2.1. Gunung Berapi di Indonesia (Topinka, USGS 1997)

Pratomo dkk. (2006) mencoba mengklasifikasikan gunungapi aktif


Indonesia, berdasarkan sejarah letusannya, dikombinasikan dengan karakter fisik,
bentang alam puncak, struktur gunung api, dan tipe letusannya. Diperoleh delapan

2
tipe gunungapi aktif, yaitu tipe Tambora 1815 (letusan kaldera), Merapi (kubah
lava), Agung (kawah terbuka), Papandayan (runtuhan dinding kawah), Batur
(pascakaldera), Sangeangapi (aliran lava), dan Anak Krakatau (gunung api bawah
laut). Penjelasan masing-masing tipe adalah sebagai berikut:
1. Letusan kaldera (Gunung Tambora, Tahun 1815), Diperlukan waktu yang
cukup panjang(ratusan tahun) untuk perulangan letusan dengan karakter yang
sama (kaldera). Letusan kaldera biasanya disertai dengan aliran awan
piroklastika dalam jumlah besar (beberapa km3). Aliran piroklastik (awan
panas letusan) merupakan ancama paling merusak dan membunuh karena
terjadi bersamaan dengan letusan gunungapi dan mempunyai tenaga mekanik
(hempas) yang sangat besar, ditunjang oleh gaya gravitasi (meluncur di
lereng), hingga mencapai kecepatan lebih dari 60 km/jam serta mempunyai
suhu mencapai 8000C (magmatik).
2. Pasca letusan kaldera, letusan tipe ini umumnya menghasilkan lontaran bom
volkanik bertekstur scoria (tipe Stromboli) yang tersebar dalam radius yang
tidak terlalu luas dan membentukkerucut scoria atau kerucut sinder (cinder-
cone). Periode letusan umumnya relatif pendek, kurang dari 10 tahun.
3. Runtuhan dinding kawah, contoh gunung api yakni Gunung Papandayan
tahun 1772 dan 2002, memiliki bahaya awan panas letusan.
4. Danau kawah, dengan acuan kejadian letusan Gunung Kelud tahun 1919.
Dengan potensi bahaya letusan awan panas, lahar letusan dan lahar hujan.
5. Guguran lava pijar, umumnya tipe ini mempunyai volume pasokan magma
dalam jumlah tertentu, sehingga akan terjadi erupsi periodic, selaras dengan
volume pasokan magma. Gunung Merapi di Jawa Tengah mewakili tipe
guguran lava pijar. Letusan tipe Merapi mampu membangun system kubah
lava, yang bisa menimbulkan guguran awan panas/ kubah lava.
6. Kawah terbuka, diwakili erupsi Gunung Agung tahun 1963, yang merupakan
tipe erupsi gunung api strato komposit yang mempunyai kawah terbuka.
Sebelum terjadi letusan telah terbentuk leleran lava atau kawah gunung api
telah dipenuhi oleh lava. Ancaman bahaya berupa awan panas, lahar letusan,
dan lahar hujan.

3
7. Letusan lava, gunung Sangeangapi tahun 1985 yang membentuk leleran lava,
tipe ini memiliki ancaman awan panas letusan dan aliran lava.
8. Pulau gunung api & gunung api bawah laut, memperlihatkan potensi ancaman
bahaya letusan yang signifikan mengacu pada letusan Gunung Krakatau dan
lahirnya Gunung Anak Krakatau tahun 1928. Dalam kondisi tertentu tipe ini
dapat memicu terjadinya gelombang tsunami akibat adanya runtuhan tubuh
gunung api.
Klasifikasi gunung api ini diharapkan akan dapat lebih memperjelas
perbedaan karakteristik gunung api aktif di Indonesia, sehingga dapat
dipergunakan untuk mendukung mitigasi ancaman bencana gunung api,
penelitian, dan pengembangan ilmu kegunungapian dan juga meningkatkan
pemahaman masyarakat terhadap gunung api aktif di Indonesia.

2.2. Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Mitigasi Bencana Gunungapi


Teknologi penginderaan jauh mempunyai potensi dalam mengekstraksi data
dan informasi mengenai sumber daya alam dan lingkungan. Data satelit
penginderaan jauh dapat diolah, diinterpretasi dan dianalisis untuk memperoleh
informasi sesuai dengan kebutuhan tertentu. Kelebihan yang dimiliki adalah data
satelit penginderaan jauh dapat mencakup liputan yang luas, frekuensi pencitraan
yang sering, multi resolusi spasial dan spektral merupakan sumber data yang
memadai dalam melakukan pemantauan sebaran abu vulkanik.
Adanya kemajuan teknologi penginderaan jauh saat ini membuat satelit
dapat mendeteksi abu vulkanik secara langsung dan kontinyu. Banyak penelitian
telah dilakukan mengenai pemantauan abu vulkanik dengan menggunakan satelit.
Kaneko et al. (2010) meneliti penggunaan data MODIS, MTSAT dan
GCOM-C1 untuk memantau aktifitas gunung berapi di Asia Timur. Lee dan Lee
(2015) meneliti tentang pemanfaatan satelit GK-2A untuk pemantauan abu
vulkanik. Satelit dapat mendeteksi sebaran abu vulkanik pada semua level
ketinggian pada area yang luas (Pavolonis et al., 2013). Tupper et al. (2004)
melakukan studi awan vulkanik di wilayah Pasifik Timur dan Indonesia untuk
memvalidasi performa teknik penginderaan jauh dalam membantu International

4
Airways Volcano Watch (IAVW). Analisa pola dan reverse absorption
menggunakan data GMS-5/VISSR, MODIS dan AVHRR menunjukkan bahwa
teknik reverse absorption satelit geostasioner GMS-5 secara signifikan
mempertajam kemampuan untuk memonitor awan abu vulkanik di wilayah
tersebut.
Penggunaan data penginderaan jauh satelit membawa tantangan tersendiri
untuk diaplikasikan dalam memahami obyek gunungapi dan dan gejala-gejala
vulkanisme yang menyertainya. Sensor satelit memiliki kemampuan untuk
merekam suatu daerah, obyek dan fenomena yang ada di permukaan bumi.
Gunungapi merupakan suatu entitas di permukaan bumi yang terbentuk secara
alami, menempati suatu wilayah dan menunjukkan gejala-gejala yang unik &
spesifik (vulkanisme). Vulkanisme berkaitan dengan segala peristiwa pergerakan
magma dari dalam menuju permukaan bumi melalui saluran sentral (diatrema)
atau retakan-retakan pada kerak bumi. Produk-produk ekstrusif akibat erupsi
vulkanik, yang seringkali menimbulkan bencana, dapat direkam oleh sensor
satelit.
Skoring (Kridalaksana, 2011) merupakan kegiatan pemberian nilai tertentu
terhadap kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Pemberian nilai pada masing-
masing kelas yang dibuat berbeda antara satu kelas dengan kelas yang lainnya.
Skoring merupakan tahapan sebelum melakukan overlay.
Nilai (scoring) setiap jenis penggunaanlahan ditentukan berdasarkan adanya
jumlah jiwa dan nilai ekonomi pada setiap penggunaan lahan (Gunadhi, 2009).
Penilaian skoring tutupanlahan biasanya berbeda tergantung pada jenis
penggunaanya.
Skoring pada tingkat bahaya bencana diambil dari Peraturan Kepala Bidang
Penanggulangan Bencana 2012 tentang pengkajian umum resiko bencana nomor
02 tahun 2012.
Kawasan Rawan Bencana gunungapi (Peraturan Menteri ESDM, 2012)
dibagi menjadi 3 (tiga) kawasan, yaitu :
Kawasan rawan bencana I merupakan kawasan yang berpotensi terlanda
lahar, tertimpa jatuhan berupa hujan abu, dan atau air dengan keasaman tinggi.

5
Apabila letusan membesar, kawasan ini berpotensi terlanda perluasan awan panas
dan material jatuhan berupa hujan abu lebat serta lontaran batu pijar.
Kawasan rawan bencana II merupakan kawasan yang berpotensi terlanda
awan panas intesintas sedang jika ada perluasan, aliran lava, lontaran batupijar,
guguran lava, hujan abu lebat, hujan lumpur panas, aliran lahar, dan atau gas
beracun dengan intensitas sedang.
Kawasan rawan bencana III merupakan kawasan yang sangat berpotensi
terlanda awan panas intensitas tinggi, aliran lava, hujan lumpur, hujan abu lebat,
lontaran batu pijar, dan atau gas beracun dengan intensitas tinggi.
Sudah banyak penelitian terkait dengan pemanfaatan data penginderaan jauh
untuk pemantauan, pemetaan, maupun pengukuran gejala-gejala vulkanisme,
khususnya erupsi, dengan menggunakan data penginderaan jauh, baik dengan
obyek gunungapi di wilayah Indonesia maupun di belahan dunia lainnya.
Beberapa penelitian yang kami telusuri dari beberapa tulisan yang rangkum dalam
uraian di bawah ini.
Spampinato dkk. (2011) meneliti bagaimana kemampuan teknik
penginderaan jauh menggunakan kamera infrared untuk mendeteksi anomali dan
prekursor letusan, serta memantau letusan gunung berapi yang sedang
berlangsung. Cara ini tentu lebih aman untuk teknik in situ terutama selama
aktivitas gunungapi meningkat dan tergolong berbahaya.
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian yaitu penggunaan kamera termal
dalam lingkungan vulkanik telah memungkinkan:
(1) pengukuran variabel dari jarak yang aman dalam keadaan berbahaya,
(2) deteksi fitur suhu tinggi, dan
(3) data kuantitatif untuk menggambarkan dan pemodelan fenomena letusan.
Aplikasi kamera termal pada pemantauan gunungapi telah menunjukkan
bahwa perangkat ini dapat digunakan untuk mendeteksi, menyelidiki dan
mengukur berbagai proses erupsi diantaranya pelacakan proses vulkanik yang
paling jelas seperti peristiwa eksplosif dan efusif. Citra termal telah
memungkinkan studi tentang evolusi bidang fraktur, danau lava, kawah puncak
terhalang bidang fumarol, dan kubah lava.

6
Lombardo dkk. (2004) mencoba mengkaji perbedaan aliran lava
berdasarkan struktur termal Landsat TM selama erupsi puncak dan lereng di
Gunungapi Etna. Di sini, metode dual-band telah diterapkan untuk serangkaian
waktu letusan Gunung Etna. Distribusi frekuensi dari wilayah pecahan dari
komponen terpanas menunjukkan perbedaan spesifik antara aliran lava di puncak
dan lereng. Bentuk fungsi kepadatan menunjukkan tren yang konsisten dengan
distribusi Gaussian dan menunjukkan hubungan antara saat-saat distribusi dan
lingkungan emplacement.
Hasil analisis menunjukkan distribusi frekuensi fh diperoleh dari TM
gambar aliran lava aktif dapat digunakan sebagai penciri untuk membedakan lava.
Setiap distribusi menunjukkan tren Gaussian seperti, yang memungkinkan kita
untuk menggambarkan arus yang berbeda dalam hal rata-rata, skewness, dan
kurtosis, dimana distribusi frekuensi fh berbeda untuk puncak danletusan di
lereng. Kemiringan topografi berperan dalam mempengaruhi modus distribusi fh.
Perbedaan rata-rata kemiringan, yang jauh lebih tinggi di daerah kawah daripada
di sisi gunung berapi, mungkin salah satu (tapi bukan satu-satunya) faktor yang
membantu menghasilkan yang berbeda distribusi fh antara puncak dan letusan
lateral. Karena analisis menunjukkan bahwa topografi bukan satu-satunya elemen
yang mempengaruhi distribusi fh, sehingga berencana untuk memverifikasi
pengaruh faktor-faktor lain di penelitian lanjutan. Secara khusus, berencana untuk
menganalisis dinamika arus dengan penekanan pada tingkat efusi massa.
Bignami dkk. (2013) melaksanakan penelitian tentang perkiraan volume dan
kepadatan aru piroklastik setelah erupsi Gunung Merapi tahun 2010 menggunakan
X-band SAR. Curah hujan yang tinggi yang terjadi pada daerah dengan endapan
piroklastik akan memicu lahar (lumpur vulkanik) yang akan berdampak pada
daerah permukiman pada jarak yang cukup jauh dari gunungapi, bahkan bertahun-
tahun setelah letusan.
Ebmeier dkk. (2012) melakukan pengukuran perubahan topografi besar
dengan InSAR yaitu ketebalan lava, tingkat ekstrusi dan tingkat subsidence di
Gunung Santiaguito, Guatemala. Aliran lava dapat menghasilkan perubahan
topografi sekitar 10 - 100 meter. Perubahan volume yang dihasilkan memberikan

7
bukti tentang dinamika letusan. Penggunaan delay fase dari diferensial InSAR,
adalah mungkin untuk memperkirakan perbedaan ketinggian antara topografi saat
ini dan model elevasi digital (DEM). Hal ini tidak memerlukan citra SAR pra
erupsi, sehingga tidak bergantung pada koherensi fase interferometrik selama
letusan dan pergeseran. Tes sintetis memprediksi bahwa kita bisa memperkirakan
ketebalan lava sesedikit ~ 9 m, dengan minimal lima interferogram dengan
pemisahan orbital baseline yang sesuai.
Dalam kasus gerakan kontinyu, seperti subsidence aliran lava, kita
membalikkan fase interferometrik secara bersamaan untuk perubahan topografi
dan perpindahan. Peneliti menerapkan ini untuk gunung api Santiaguito,
Guatemala, dan mengukur peningkatan ketebalan lava hingga 140 m antara tahun
2000 dan 2009, sebagian besar terkait dengan aktivitas antara tahun 2000 dan
2005. Peneliti menemukan tingkat ekstrusi rata-rata 0.43 ± 0,06 m3/s, yang
terletak dalam batas-batas kesalahan dari tingkat ekstrusi jangka panjang antara
tahun 1922 dan 2000. Bagian yang tebal dan termuda dari endapan aliran
menunjukkan penurunan rata-rata ~ -6 cm/tahun. Ini adalah pertama kalinya
ketebalan aliran dan subsidence diukur secara bersamaan. Peneliti berharap
pendekatan ini cocok untuk pengukuran tanah longsor dan endapan aliran massa
lainnya serta aliran lava.
Pinel dkk. (2011) mencoba mengkaji tantangan dalam pengambilan data
perubahan dari data InSAR untuk gunungapi stratoPopocatepetl dan Colima di
Mexico. Meskipun kemampuan radar aperture sintetis (SAR) interferometri untuk
mengukur gerakan tanah dengan highresolution, penerapan teknik penginderaan
jarak jauh ini untuk memantau gunungapi strato andesit masih terbatas. Kondisi
akuisisi spesifik mencirikan gunungapi strato andesit, terutama daerah-daerah
bervegetasi dengan rentang ketinggian yang besar, mendorong koherensi sinyal
rendah serta artefak troposfer yang kuat yang menghasilkan kecil rasio signal-to-
noise. Peneliti mengusulkan di sini cara untuk mengurangi kesulitan dan
meningkatkan pengukuran SAR. Peneliti menurunkan gerakan tanah untuk dua
dari Meksiko stratovolcano paling aktif: Popocatepetl dan Colima Volcano, dari
time series data SAR diperoleh dari Desember 2002 sampai Agustus 2006. Data

8
SAR diproses menggunakan metode yang menggabungkan kedua scatterers gigih
dan pendekatan dasar kecil . Penundaan troposfer Stratified diperkirakan untuk
setiap interferogram menggunakan masukan dari atmosfer Model Narr global,
hingga maksimal 10 rad / km. Penundaan ini divalidasi dengan data spektrometer,
serta korelasi antara fase dibungkus dan elevasi. Efek troposfer dihapus dari fase
dibungkus dalam rangka meningkatkan proses unwrapping. Pada Popocatepetl,
kita amati tidak ada deformasi yang signifikan. Colima daerah puncak
menunjukkan tingkat penurunan konstan lebih dari 1 cm / tahun berpusat pada
puncak tapi disempurnakan (mencapai lebih dari 2 cm / tahun) di sekitar aliran
lava 1998. Model subsidence ini mengingat kedua sumber magma mengempis
pada kedalaman dan efek dari letusan deposito beban.

9
BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan, dapat didapatkan kesimpulan sebagai
berikut :
1. Terdapat delapan tipe gunungapi aktif, yaitu tipe Tambora 1815 (letusan
kaldera), Merapi (kubah lava), Agung (kawah terbuka), Papandayan
(runtuhan dinding kawah), Batur (pascakaldera), Sangeangapi (aliran
lava), dan Anak Krakatau (gunung api bawah laut). Pratomo dkk. (2006)
2. Indonesia mempunyai jalur gunung api yang rawan erupsi di sepanjang
ring of fire mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi-
Banda, Maluku hingga Papua (USGS,1999).
3. Penggunaan data penginderaan jauh satelit membawa tantangan tersendiri
untuk diaplikasikan dalam memahami obyek gunungapi dan dan gejala-
gejala vulkanisme yang menyertainya. Sensor satelit memiliki kemampuan
untuk merekam suatu daerah, obyek dan fenomena yang ada di permukaan
bumi.

10
DAFTAR PUSTAKA

Bashori, I., Rachwibowo, P., & Widiarso, D. A. (2014). Analisis Penginderaan


Jauh Untuk Menentukan Daerah Bahaya Dalam Rangka Mendukung Upaya
Mitigasi Bencana Gunungapidengan Menggunakan Citra Dem Dan Landsat
Daerah Gunung Batur Kabupaten Bangli Provinsi Bali. Progam Studi Teknik
Geologi Universitas Diponegoro .
Fatkhuroyan, & Wati, T. (2017). Pemantauan Sebaran Abu Vulkanik
Menggunakan Penginderaan Jauh Satelit Himawari-8 Dan Aura/Omi (Ozone
Mapping Instrument). Majalah Ilmiah Globë Volume 19 No.1 , 33-44.
Hidayat, Suwarsono, Wiweka, & Nugroho, J. T. (2014). Pengembangan Model
Pemanfaatan. Jakarta: LAPAN.
Susantoro, T. M., & Wikantika, K. (2017). Penginderaan Jauh Untuk Prediksi
Potensi Bahaya Dari Meletusnya Gunung Agung. Center for Remote Sensing,
Institut Teknologi Bandung .
Suwarsono, Asriningrum, W., Hidayat, Suprapto, T., Yulianto, F., Pasaribu, J. M.,
et al. (2015). Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Mitigasi
Bencana Gunung Api. Jakarta: LAPAN.

Anda mungkin juga menyukai