Anda di halaman 1dari 37

BAB II

GEOMORGOLOGI

2.1. Geomorfologi Regional

Pulau Sulawesi memiliki luasan daerah sekitar 173.000 km2, dan bila

digabung dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya kira-kira 188.000 km2. Bentuk

dari Pulau Sulawesi menyerupai huruf K dengan empat lengan yang sempit,

dipisahkan oleh teluk-teluk yang dalam dan menyatu dibagian tengah pulau

(Simanjuntak, 1993).

Pulau Sulawesi terletak pada zona peralihan yaitu diantara Dangkalan

Sunda dan Dangkalan Sahul serta dikelilingi oleh laut yang dalam. Dibagian Utara

dibatasi oleh Basin Sulawesi (5000–5500) m. Di bagian Timur dan Tenggara

dibatasi oleh laut Banda utara dan Laut Banda Selatan dengan kedalaman

mencapai (4500–5000) m. Sedangkan untuk bagian Barat dibatasi oleh Palung

Makasar (2000-2500) m. Sebagian besar daerahnya terdiri dari pegunungan dan

dataran rendah yang terdapat secara sporadik, terutama terdapat disepanjang

pantai. Dataran rendah yang relatif lebar dan padat penduduknya adalah dibagian

lengan Selatan (Simanjuntak, 1993)

1.2 Geomorfologi Daerah Pemetaan

Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuk lahan yang membentuk

permukaan bumi, di atas dan di bawah permukaan laut dan menekankan pada cara

terjadinya serta perkembangannya dalam konteks keruangannya (Verstappen,

1983).
Penentuan geomorfologi daerah pemetaan berdasarkan tiga aspek yaitu

aspek morfografi, aspek morfometri dan aspek morfogenesa. Selain itu penentuan

geomorfologi daerah pemetaan juga menggunakan aspek-aspek lainnya yang

meliputi jenis sungai, pola aliran sungai, tipe genetik sungai, stadia sungai dan

stadia daerah pemetaan.

Dalam pembahasan ini juga meliputi penjelasan pembagian satuan bentang

alam yang meliputi topografi, pelapukan, gerakan tanah,sedang uraian tentang

sungai termasuk jenis sungai, pola aliran sungai, klasifikasi sungai, tipe genetik

dan stadia sungai, yang pada akhirnya akan dihasilkan suatu kesimpulan tentang

stadia daerah penelitian. Adapun penjelasan dari 3 aspek utama penentuan

geomorofologi yaitu:

Morfografi

Morfografi secara garis besar memiliki arti gambaran bentuk permukaan

bumi atau arsitektur permukaan bumi. Secara garis besar morfografi dapat

dibedakan menjadi bentuk lahan perbukitan/punggungan, pegunungan, atau

gunungapi, lembah dan dataran. Beberapa pendekatan lain untuk pemetaan

geomorfologi selain morfografi adalah pola punggungan, pola pengaliran dan

bentuk lereng (Van Zuidam, 1985 dalam Mirza, dkk., 2015).

Sebagaimana yang ditunjukkan Tabel 2.1 mengenai ketinggian relatif yang

mengacu pada klasifikasi geomorfologi yang telah dibakukan menurut Bermana

(2006) dibawah ini:


Tabel 2.1 Hubungan ketinggian relative dengan morfografi(Bermana, 2006)

Ketinggian Relatif Unsur Morfografi

< 50 M Dataran Rendah

50 - 200 M Perbukitan Rendah

200 – 500 M Perbukitan

500 – 1000 M Perbukitan Tinggi

>1000 M Pegunungan

Morfometri

Morfometri merupakan penilaian kuantitatif dari suatu bentuk lahan dan

merupakan unsur geomorfologi pendukung yang sangat berarti terhadap

morfografi dan morfogenetik. Penilaian kuantitatif terhadap bentuk lahan

memberikan penajaman tata nama bentuk lahan dan akan sangat membantu

terhadap analisis lahan untuk tujuan tertentu, seperti tingkat erosi, kestabilan

lereng dan menentukan 17 nilai dari kemiringan lereng tersebut (Van Zuidam,

1985 dalam Mirza, dkk., 2015). Variasi nilai kemiringan lereng yang diperoleh

kemudian dikelompokkan berdasarkan klasifikasi kemiringan lereng Tabel 2.2

(Bermana, 2006)

Tabel 2.2 Klasifikasi kemiringan lereng (Bermana, 2006)


Kemiringan Lereng (%) Relief

0–2 Datar atau sangat datar

3–7 Lereng sangat landai

8 – 13 Lereng landai

14 – 20 Lereng agak curam


21 – 55 Lereng curam

56 – 140 Lereng sangat curam

Morfogenesa

Morfogenesa adalah proses/asal-usul terbentuknya permukaan bumi, seperti

bentuk lahan perbukitan/pegunungan, bentuk lahan lembah atau bentuk lahan

pedataran, proses yang berkembang terhadap pembentuk kan permukaan bumi

tersebut yaitu proses eksogen dan proses endogen, meliputi morfostruktur pasif

(litologi, baik jenis maupun struktur batuan yang berhubungan dengan denudasi),

morfostruktur aktif (dinamika endogen Meliputi vulkanisme, tektonisme, lipatan

dengan sesar), morfodinamik (dinamika eksogen yang berhubungan dengan angin,

air dan es serta gerakan massa). Proses artifisial lebih banyak disebabkan oleh

aktifitas manusia merubah bentuk permukaan bumi untuk kepentingan

kehidupannya (Van Zuidam, 1985 dalam Mirza, dkk., 2015). Klasifikasi bentang

alam berdasarkan genetiknya (Tabel 2.3), dikemukakan oleh sistem ITC

(International Terrain Classification) dalam Van Zuidam (1985), adalah

sebagai berikut:

Tabel 2.3 Simbol huruf dan warna unit utama Geomorfologi (Van Zuidam, 1985)
Kode Unit Karakteristik Umum
Perbukitan & Lereng Lereng landai – curam menengah
D1 Denudasional dengan (topografi bergelombang kuat), tersayat
erosi kecil lemah – menengah
Perbukitan & Lereng
Lereng curam menengah – curam
Denudasional dengan
D2 (topografi bergelombang kuat –
erosi sedang sampai
berbukit), tersayat menengah tajam.
parah
Pegunungan & Lereng berbukit curam – sangat curam
D3 Perbukitan hingga topografi pegunungan, tersayat
Denudasional menengah tajam.
Lereng yang berbukit curam – sangat
curam, tersayat menengah. (Borhardts:
D4 Bukit sisa Terisolasi membundar, curam, halus; Monadnock:
memanjang, curam; Bentuk yang tidak
rata dengan atau tanpa blok penutup.)
Hampir datar, topografi landai sampai
D5 Dataran (Peneplain)
bergelombang. Elevasi tinggi
Dataran yang
Terangkat / Dataran Hampir datar, topografi landai sampai
D6
Tinggi (Raized bergelombang. Elevasi tinggi.
Peneplains/Plateaus)
Relatif rendah, lereng hampir horizontal
D7 Kaki Lereng sampai rendah. Hampir datar, topografi
bergelombang dalam tahap aktif.
Tebing yang rendah sampai cukup
D8 Piedmonts bergelombang ke topografi landai di kaki
bakit dan dataran tinggi pegunungan
D9 Gawir (Scarp) Lereng yang curam sampai sangat curam.
Kipas Rombakan
D10 Lereng agak curam sampai rendah.
Lereng
Daerah dengan Tidak rata, tebing landai sampai sedang
D11 Gerakan Massa ke topografi perbukitan. (slide, slumps
Batuan yang Kuat dan Flows)
Lahan Rusak / Daerah Curam hingga topografi miring yang
D12 dengan erosi parit sangat curam. (ujung runcing, puncak
aktif dan parah membulat dan tipe castellite)
Tabel 2.4 Klasifikasi unit geomorfologi bentuk lahan asal structural (Van Zuidam, 1983)
Kode Unit Karakteristik Umum
Topografi
bergelombang sedang
hingga bergelombang
Rendah sampai cukup miring. Tersayat
S1 kuat dengan pola
menengah.
aliran berhubungan
dengan kekar, dan
patahan
Topografi
bergelombang sedang
hingga bergelombang Rendah sampai topografi tebing yang
S2 kuat dengan pola cukup miring dengan berbentuk linear.
aliran berkaitan Tersayat menengah - kuat
dengan singkapan
batuan berlapis
Topografi
bergelombang kuat
hingga perbukitan Sedang sampai topografi tebing yang
S3
dengan pola aliran cukup miring. Tersayat kuat.
berkaitan dengan
kekar dan patahan
Topografi perbukitan
hingga pegunungan Cukup curang sampai topografitebing
dengan pola aliran yang sangat miring curam dengan
S4
berkaitan dengan berbentuk linear. Tersayat menengah
singkapan batuan sampai kuat
berlapis
Mesas – Dataran Topografi datar hingga bergelombang
S5 Tinggi yang Dikontrol lemah di atas plateau dan perbukitan di
Struktur bagian tebing.
Bergelombang lemah dibagian lereng
S6 Cuestas belakang dengan perbukitan pada lereng
depan. Tersayat lemah.
Tinggian berupa topografi perbukitan
S7 Hogbacks & Flatirons
tersayat.
Teras Denudasional Topografi bergelombang lemah hingga
S8
Struktural perbukitan. Tersayat menengah.
Perbukitan Antiklin & Topografi bergelombang kuat hingga
S9
Sinklin perbukitan.
Depresi Sinklin & Lereng yang cukup curam hingga
Combes rendah/topografi landau sampai
S10
bergelombang. Tersayat lemah –
menengah.
Kubah/perbukitan Topografi bergelombang kuat hingga
S11
sisa perbukitan.
Topografi bergelombang kuat hingga
S12 Dykes
perbukitan. Tersayat menengah.
S13 Gawir Sesar & Gawir Topografi bergelombang kuat hingga
Garis Sesar (Tebing perbukitan. Tersayat menengah sampai
yang Curam) kuat.
Topografi bergelombang lemah hingga
S14 Depresi Graben
kuat.
Topogrfai bergelombang kuat hingga
S15 Tinggian Horst
perbukitan.

Proses endogen adalah proses yang dipengaruhi oleh kekuatan/tenaga dari

dalam kerak bumi, sehingga merubah bentuk permukaan bumi. Proses dari dalam

kerak bumi tersebut antara lain kegiatan tektonik yang menghasilkan patahan

(sesar), pengangkatan (lipatan) dan kekar. Selain kegiatan tektonik, proses


kegiatan magma dan gunungapi (vulkanik) sangat berperan merubah bentuk

permukaan bumi, sehingga membentuk perbukitan intrusi dan gunungapi (Van

Zuidam, 1985 dalam Mirza, dkk., 2015).

Berdasarkan hal di atas, maka geomorfologi daerah penelitian dapat dibagi

menjadi 3 (tiga) satuan bentang alam, yaitu:

1. Satuan Bentang Alam Perbukitan Lereng Agak Curam Struktural

2. Satuan Bentang Alam Perbukitan Lereng Curam Denudasional

3. Satuan Bentang Alam Perbukitan Tinggi Lereng Curam Denudasional

2.2. 1. Satuan Bentang Alam Perbukitan lereng Agak Curam

Struktural

Dasar penamaan satuan bentang alam ini menggunakan pendekatan

morfografi dan morfometri berupa bentuk topografi daerah penelitian melalui

pengamatan langsung dilapangan serta pengamatan peta topografi dan pendekatan

morfogenesa dengan melakukan analisis proses-proses geomorfologi yang

dominan bekerja pada daerah penelitian.

Satuan bentang alam ini memiliki luas meliputi 37.17% atau sekitar 12.25

km2 dari seluruh daerah penelitian. Satuan ini menempati bagian selatan dari

daerah penelitian dan memanjang ke arah barat ke timur daerah penelitian. Satuan

ini mencakup daerah Desa Tinading, Desa Salugan, dan Desa Oyom. Pemanfaatan

daerah pada satuan geomorfologi ini sebagai area perkebunan dan hutan.
Gambar 2.1 Kenampakan Satuan Bentang Alam Perbukitan Lereng
Curam Struktural yang menunjukan bentuk puncak
tumpul dan lembah bentuk U halus, dengan arah
pengambilan foto N 163°E

Berdasarkan analisa morfografi terhadap satuan ini memperlihatkan

ketinggian relatif pada peta topografi yaitu 50-200 meter diatas permukaan laut.

Sehingga berdasarkan klasifikasi ketinggian relatif menurut Bermana (2006) maka

dapat disimpulkan bahwa satuan ini memiliki bentuk topografi perbukitan rendah.

Berdasarkan analisa morfometri, kenampakan topografi dari satuan ini

digambarkan oleh bentuk kontur yang agak rapat, bentuk puncak tumpul serta

lembah berbentuk huruf “U” yang relatif halus (Error: Reference source not

found). Satuan bentang alam ini memiliki persentase sudut lereng sekitar 14-20

%, dan beda tinggi sekitar 50-200 meter diatas permukaan laut. Sehingga

berdasarkan klasifikasi kemiringan lereng menurut Bermana (2006), satuan ini

memiliki lereng agak curam.


Gambar 2.2 Kenampakan kekar pada litologi basal porfiri pada stasiun
28 dengan arah foto N 207 E

Berdasarkan pendekatan morfogenesa, proses geologi yang mempengaruhi

daerah pemetaan lebih didominasi oleh aktivitas struktur geologi yang dapat

dijumpai pada satuan ini yaitu kekar (Gambar 2.2), Kenampakan lain yang

dijumpai di lapangan yaitu striasi (Gambar 2.3) dan air terjun (Gambar 2.4).

Gambar 2.3 Kenampakan striasi pada stasiun 16 dengan litologi basal


porfiri dan arah pengambilan foto N 196 E.
Gambar 2.4 Kenampakan air terjun di Sungai Kambuno dengan arah
foto N 272°E di Desa Oyom

Sedangkan proses denudasional yang dijumpai tingkat pelapukan satuan

bentang alam ini yaitu rendah-sedang yang dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu

pelapukan fisika, kimia dan biologi. Pelapukan biologi merupakan jenis

pelapukan batuan yang dilakukan oleh organisme melalui aktivitas di sekitar

lingkungan batuan tersebut berada, pelapukan biologi dapat dilihat dari akar

tumbuhan yang menembus celah batuan. (Gambar 2.5).

Gambar 2.5 Kenampakan pelapukan biologi akar tanaman yang


tumbuh pada batuan pada litologi basal porfiri dengan
arah foto N 213°E pada stasiun 43 di Desa Oyom.
Pelapukan kimia merupakan proses pelapukan yang diakibatkan perubahan

struktur kimiawi yang ada pada batuan melalui reaksi tertentu. Reaksi yang terjadi

pada proses pelapukan dibedakan menjadi tiga macam reaksi yatu solution,

hidrolisis, dan oksidasi. Contohnya hidrolisis air hujan yang akan mengakibatkan

naiknya tingkat keasaman di sekitar batuan yang akan memungkinkan terjadinya

korosi pada batuan serta perubahan pada warna dan kenampakan batuan

pelapukan kimia ditandai dengan perubahan warna pada batuan menjadi

kekuningan akibat adanya reaksi kimia.

Jenis soil pada daerah ini merupakan jenis residual dan transported,

residual adalah soil yang terbentuk dari hasil pelapukan batuan dan masih berada

di tempat batuan asalnya, dimana asal soil pada daerah ini berasal dari hasil

pelapukan batuan andesit porfiti sedangkan transported yaitu hasil transportasi

sedimen yang terbawah oleh aliran sungai seperti point bar dan chanel bar.

Ketebalan soil berkisar kurang lebih ±50 cm dengan kenampakan warna soil yang

dijumpai yaitu cokelat kekuningan (Gambar 2.6).

Pada satuan ini juga dijumpai gerakan massa tanah (masswasting), proses

gerakan tanah yang dijumpai berupa debris slide. Debris slide yaitu gerakan

massa berupa tanah dan batuan yang meluncur sepanjang bidang gelincir (Gambar

2.7).
Gambar 2.6 Kenampakan jenis residual soil dengan litologi basal
porfiri di stasiun 42 disekitar Sungai Kambuno dengan
arah pengambilan foto N 56°E.

Gambar 2.7 Kenampakan debris slide pada stasiun 41 disekitar


Desa Oyom dengan arah pengambilan foto N 72°E

Sungai yang mengalir pada satuan geomorfologi ini yaitu Sungai Yiselang,

Sungai Sigelang dan Sungai Kambuno. Jenis sungainya berupa sungai periodik

dan tipe genetik berupa insekuen, dengan pola aliran sungai cenderung subparalel.

Pada satuan bentang alam ini juga dijumpai erosi permukaan berupa gully erosion

(Gambar 2.8). Gully erosion merupakan erosi alur yang mengerosi permukaan

tanah/batuan pada zona yang lemah.


Gambar 2.8 Kenampakan gully eroision pada sekitar stasiun 37 di
Sungai Kambuno dengan arah foto N 191 E di Desa
Oyom.

Stadia sungai pada satuan ini termasuk ke dalam stadia muda-dewasa yang

dicirikan oleh profil sungai berbentuk “V-U” yang relatif lebar. Sungai-sungai

muda memotong batuan yg lebih tidak resisten, dan di beberapa tempat terbentuk

endapan-endapan sungai berupa point bar yaitu endapan sedimen yang terdapat di

tepi sungai (Gambar 2.9) dan channel bar yaitu endapan sedimen yang terdapat di

tengah sungai (Gambar 2.10) yang terbentuk dari hasil proses erosi dan

sedimentasi. Tipe erosi berupa gully erotion atau erosi parit dengan lebar ±1m

(Gambar 2.8).

Litologi penyusun satuan bentang alam ini terdiri dari batuan Aglomerat dan

basal Porfiri. Tata guna lahan pada satuan ini adalah hutan. Adapun struktur

geologi yang dijumpai di beberapa titik pada satuan ini berupa kekar.
Gambar 2.9 Kenampakan endapan sungai berupa point bar pada
stasiun 66 di Sungai Sigelang dengan arah pengambilan
foto N 176°E

Gambar 2.10 Kenampakan endapan sungai berupa channel bar pada


stasiun 41 di Sungai Sigelang dan arah pengambilan
foto N 178°E

Dari hasil pengamatan morfometri, morfografi dan morfogenesa nya, daerah

ini digolongkan kedalam Satuan Bentang Alam Perbukitan Lereng Agak Curam

Struktural. Bentang alam struktural yaitu bentang alam yang dihasilkan oleh

aktivitas tektonik. Simbol satuannya yaitu S1 berdasarkan klasifikasi

geomorfologi menurut (Van Zuidam, 1983 dalam Nugraha, 2018), Rendah sampai

cukup miring. Tersayat menengah. (Tabel 2.4).


2.2.2 Satuan Bentang Alam Perbukitan Lereng Curam Denudasional

Dasar penamaan satuan bentang alam ini menggunakan pendekatan

morfografi dan morfometri berupa bentuk topografi daerah penelitian melalui

pengamatan langsung dilapangan serta pengamatan peta topografi dan pendekatan

morfogenesa dengan melakukan analisis proses-proses geomorfologi yang

dominan bekerja pada daerah penelitian.

Satuan bentang alam ini memiliki luas meliputi 43.66% atau sekitar 14.39

km² dari seluruh daerah penelitian. Satuan ini menempati bagian tengah dari

daerah penelitian, satuan ini mencakup desa Dadakitan.

Gambar 2.11 Kenampakan Satuan Bentang Alam Perbukitan Lereng


Curam Denudasional dengan arah foto N 33˚ E

Berdasarkan analisa morfografi terhadap satuan ini memperlihatkan

ketinggian relatif pada peta topografi yaitu 200-500 meter diatas permukaan laut.

Sehingga berdasarkan klasifikasi ketinggian relatif menurut Bermana (2006) maka

dapat disimpulkan bahwa satuan ini memiliki bentuk topografi perbukitan.


Berdasarkan analisa morfometri, kenampakan topografi dari satuan ini

digambarkan oleh bentuk kontur yang agak rapat, bentuk puncak tumpul serta

lembah berbentuk huruf “U” yang relatif halus (Gambar 2.11). Satuan bentang

alam ini memiliki persentase sudut lereng sekitar 21-55 %, dan beda tinggi sekitar

200-500 meter diatas permukaan laut. Sehingga berdasarkan klasifikasi

kemiringan lereng menurut Bermana (2006), satuan ini memiliki lereng curam.

Berdasarkan pendekatan morfogenesa, proses geologi yang mempengaruhi

daerah pemetaan lebih didominasi oleh proses denudasional yaitu proses yang

dekstrusional yang proses utama nya adalah pelapukan, pelepasan material,

pelapukan material permukaan bumi yang disebabkan oleh berbagai proses erosi

dan gerakan tanah. Proses denudasional ini di ikuti dengan aktivitas struktur.

Pada satuan ini juga dijumpai jenis pelapukan biologi, Pelapukan biologi

dapat dilihat dari akar tumbuhan yang menembus celah batuan dan lumut yang

menutupi tubuh batuan (Gambar 2.12)

Gambar 2.12 Kenampakan pelapukan biologi di antara stasiun 15 dan


16 dengan arah pengambilan foto N1204˚E Sungai
Sigelang Desa Dadakitan
Jenis soil pada daerah ini merupakan jenis residual dan transported,

residual adalah soil yang terbentuk dari hasil pelapukan batuan dan masih berada

di tempat batuan asalnya, dimana asal soil pada daerah ini berasal dari hasil

pelapukan batuan granit porfiri sedangkan transported yaitu hasil transportasi

sedimen yang terbawah oleh aliran sungai seperti point bar dan chanel bar.

Ketebalan soil berkisar lebih dari ±1 m dengan kenampakan warna soil yang

dijumpai yaitu Coklat kekuningan (Gambar 2.13).

Gambar 2.13 Kenampakan jenis residual soil dengan litologi basal


porfiri disekitar Sungai Sigelang dengan arah
pengambilan foto N92°E
Gambar 2.14 Kenampakan debris slide pada stasiun 86 dengan arah
foto N 47ºE di Sungai Yigelang

Pada satuan ini dijumpai jenis gerakan tanah berupa debris slide yaitu

gerakan massa tanah dan batuan yang meluncur pada bidang gelincir (Gambar

2.14). Tipe erosi berupa gully erotion atau erosi parit dengan lebar ±50cm

(Gambar 2.15).

Sungai yang mengalir pada satuan geomorfologi ini yaitu, Sungai Sigelang,

Sungai Yiselang, dan Sungai Kambuno. Jenis sungainya berupa sungai periodik

dan tipe genetik berupa insekuen dengan pola aliran sungai cenderung subparalel.

Stadia sungai pada satuan ini termasuk ke dalam dewasa yang dicirikan oleh

profil sungai berbentuk “U” yang relatif lebar. Sungai-sungai muda memotong

batuan yang lebih tidak resisten, dan di beberapa tempat terbentuk endapan-

endapan sungai berupa point bar yaitu endapan sedimen yang terdapat di tepi

sungai (Gambar 2.16) dan channel bar yaitu endapan sedimen yang terdapat di

tengah sungai (Gambar 2.17) yang terbentuk dari hasil proses erosi dan

sedimentasi.
Gambar 2.15 Kenampakan gully erosion di sekitar stasiun 36 dengan
arah foto N28˚E di Sungai Ogoeleng Desa Dadakitan

Litologi penyusun satuan bentang alam ini terdiri dari batuan basal porfiri

Tata guna lahan pada satuan ini adalah hutan adapun struktur geologi yang

dijumpai di beberapa titik pada satuan ini berupa kekar.

Dari hasil pengamatan morfometri, morfografi dan morfogenesa nya, daerah

ini digolongkan kedalam Satuan Bentang alam Perbukitan Lereng Curam

Denudasional. Bentang alam denudasional yaitu bentang alam yang dihasilkan

oleh proses-proses yang berkaitan dengan degradasi, pelapukan dan pelepasan

material, pelapukan material permukaan bumi yang disebabkan oleh berbagai

proses erosi dan gerakan tanah.


Gambar 2.16 Kenampakan point bar pada stasiun 26 di Sungai
Ogoeleng di Desa Dadakitan dengan arah foto N82°E

Gambar 2.17 Kenampakan channel bar di sekitar stasiun 27 pada


Sungai Sigelang Desa Dadakitan dengan arah foto
N87°E
Gambar 2.18 Kenamapakan pelapukan kimia pada litologi basal
porfiri dengan arah foto N39˚E pada stasiun 31 di Desa
Dadakitan.

Pelapukan kimia merupakan proses pelapukan yang diakibatkan perubahan

struktur kimiawi yang ada pada batuan melalui reaksi tertentu. Reaksi yang terjadi

pada proses pelapukan dibedakan menjadi tiga macam reaksi yatu solution,

hidrolisis, dan oksidasi. Contohnya hidrolisis air hujan yang akan mengakibatkan

naiknya tingkat keasaman di sekitar batuan yang akan memungkinkan terjadinya

korosi pada batuan serta perubahan pada warna dan kenampakan batuan

pelapukan kimia ditandai dengan perubahan warna pada batuan menjadi

kekuningan akibat adanya reaksi kimia (Gambar 2.18).

Simbol satuan nya yaitu D1 berdasarkan klasifikasi geomorfologi (Van

Zuidam, 1983 dalam Nugraha, 2018) Perbukitan & Lereng Denudasional dengan

erosi kecil, yang memiliki karakteristik Lereng landai – curam menengah

(topografi bergelombang kuat), tersayat lemah – menengah (Tabel 2.3).


2.2.3 Satuan Bentang Alam Perbukitan Tinggi Lereng Curam Denudasional

Dasar penamaan satuan bentang alam ini menggunakan pendekatan

morfografi dan morfometri berupa bentuk topografi daerah penelitian melalui

pengamatan langsung dilapangan serta pengamatan peta topografi dan pendekatan

morfogenesa dengan melakukan analisis proses-proses geomorfologi yang

dominan bekerja pada daerah penelitian.

Satuan bentang alam ini memiliki luas meliputi 19.15%atau sekitar 6.31km²

dari seluruh daerah penelitian. Satuan ini menempati bagian barat laut dari daerah

penelitian, Satuan ini mencakup Desa Dadakitan.

Gambar 2.19 Kenampakan Satuan Bentang Alam Perbukitan Tinggi


Lereng Curam Denudasional yang menunjukan bentuk
puncak dan lembah bentuk U halus, dengan arah
pengambilan foto N 338° E

Berdasarkan analisa morfometri, kenampakan topografi dari satuan ini

digambarkan oleh bentuk kontur yang agak rapat, bentuk puncak tumpul serta

lembah berbentuk huruf “U” yang relatif halus (Gambar 2.19). Satuan bentang

alam ini memiliki persentase sudut lereng sekitar 21-55 %, dan beda tinggi sekitar
500-1000 meter diatas permukaan laut. Sehingga berdasarkan klasifikasi

kemiringan lereng menurut Bermana (2006), satuan ini memiliki lereng curam.

Berdasarkan pendekatan morfogenesa, proses geologi yang mempengaruhi

daerah pemetaan lebih didominasi oleh proses denudasional yaitu proses yang

dekstrusional yang proses utama nya adalah pelapukan, pelepasan material,

pelapukan material permukaan bumi yang disebabkan oleh berbagai proses erosi

dan gerakan tanah. Proses denudasional ini di ikuti dengan aktivitas struktur.

Proses denudasional yang dijumpai pada satuan ini yaitu proses pelapukan

yang dipengaruhi oleh faktor biologi, fisika dan kimia dengan tingkat pelapukan

relatif tinggi. pelapukan kimia dan fisika spheroidal weathering merupakan

pelapukan pada batuan yang berbentuk bulat seperti permukaan bola, sehingga

disebut seperti pelapukan bawang. Pelapukan ini disebabkan oleh aktivitas

kimiawi dan fisika yang dipengaruhi air hujan dan cahaya matahari yang terus

menerus mengerosi pada batuan tersebut. (Gambar 2.20). Pelapukan biologi dapat

dilihat dari akar tumbuhan yang menembus celah batuan dan lumut yang

menutupi tubuh batuan (Gambar 2.21), pelapukan fisika ditandai dengan

hancurnya batuan akibat dari suhu udara, iklim dan juga arus sungai yang

mengikis batuan (Gambar 2.22).


Gambar 2.20 Kenampakan pelapukan kimiawi spheroidal weathering
pada litologi basal porfiri di stasiun 36 pada sungai
Ogoeleng dengan arah foto N2˚E

Gambar 2.1 Kenampakan pelapukan biologi pada litologi basal


porfiri dengan arah foto N205˚E pada stasiun 17
disekitar Sungai Ogoeleng Desa Dadakitan.
Gambar 2.22 Kenampakan pelapukan fisika pada litologi andesit
porfiri dengan arah foto N 272˚ E pada stasiun 20 di
Desa Dadakitan.

Jenis soil pada daerah ini merupakan jenis residual dan transported,

residual adalah soil yang terbentuk dari hasil pelapukan batuan dan masih berada

di tempat batuan asalnya, dimana asal soil pada daerah ini berasal dari hasil

pelapukan batuan granit porfiri sedangkan transported yaitu hasil transportasi

sedimen yang terbawah oleh aliran sungai seperti point bar dan chanel bar.

Ketebalan soil berkisar lebih dari ±30 cm dengan kenampakan warna soil yang

dijumpai yaitu kecoklatan (Gambar 2.23).


Gambar 2.23 Kenampakan ketebalan soil di stasiun 1 dengan arah foto
N52˚E di Desa Dadakitan.

Gambar 2.24 Kenampakan land slide dengan arah foto N348ºE di di


Desa Dadakitan.

Pada satuan ini dijumpai jenis gerakan tanah berupa land slide yaitu gerakan

massa tanah yang meluncur pada bidang gelincir (Gambar 2.24). Tipe erosi

berupa gully erotion atau erosi parit dengan lebar ±1m (Gambar 2.25).

Sungai yang mengalir pada satuan geomorfologi ini yaitu Sungai Sigelang

dan Sungai Yiselang. Jenis sungainya berupa sungai periodik, dan tipe genetik

berupa insekuen dengan pola aliran sungai cenderung subparalel. Stadia sungai
pada satuan ini termasuk ke dalam dewasa yang dicirikan oleh profil sungai

berbentuk “V-U” yang relatif lebar. Sungai-sungai muda memotong batuan yang

lebih tidak resisten, dan di beberapa tempat terbentuk endapan-endapan sungai

berupa channel bar yaitu endapan sedimen yang terdapat di tengah sungai

(Gambar 2.26) yang terbentuk dari hasil proses erosi dan sedimentasi.

Gambar 2.25 Kenampakan gully erosion dengan arah foto N42˚E di


Desa Dadakitan

Litologi penyusun satuan bentang alam ini terdiri dari batuan andesit pofiri.

Tata guna lahan pada satuan ini adalah perkebunan dan hutan adapun struktur

geologi yang dijumpai di beberapa titik pada satuan ini berupa kekar.

Dari hasil pengamatan morfometri, morfografi dan morfogenesa nya, daerah

ini digolongkan kedalam Satuan Bentang alam Perbukitan Tinggi Lereng Agak

Curam Denudasional. Bentang alam denudasional yaitu bentang alam yang

dihasilkan oleh proses-proses yang berkaitan dengan degradasi, pelapukan dan

pelepasan material, pelapukan material permukaan bumi yang disebabkan oleh

berbagai proses erosi dan gerakan tanah.


Gambar 2.26 Kenampakan channel bar pada stasiun 18 dengan arah
foto N 2311ºE pada Sungai Ogoeleng di Desa
Dadakitan

Simbol satuan nya yaitu D2 berdasarkan klasifikasi geomorfologi (Van

Zuidam, 1983 dalam Nugraha, 2018) yaitu unit perbukitan dan lereng

denudasional dengan erosi sedang sampai parah, yang memiliki karakteristik

umum lereng curam menengah – curam (topografi bergelombang kuat – berbukit),

tersayat menengah tajam (Tabel 2.3).

2.3 Sungai

Sungai merupakan tempat air mengalir secara alamiah membentuk suatu

pola dan jalur tertentu di permukaan (Thornbury, 1969). Pembahasan tentang

sungai pada daerah penelitian meliputi pembahasan tentang klasifikasi sungai

yang didasarkan pada kandungan air yang mengalir pada tubuh sungai sepanjang

waktu. Pola aliran sungai dikontrol oleh beberapa faktor seperti kemiringan

lereng, kontrol struktur, vegetasi dan kondisi iklim. Tipe genetik menjelaskan

tentang hubungan arah aliran sungai dan kedudukan batuan. Berdasarkan hasil
pembahasan diatas maka pada akhirnya dapat dilakukan penentuan stadia sungai

daerah penelitian.

2.3.1 Jenis Sungai

Berdasarkan sifat alirannya maka aliran sungai pada daerah penelitian

termasuk dalam aliran eksternal, yaitu aliran air yang mengalir di permukaan

bumi membentuk sungai meliputi Sungai Ogoeleng, Sungai Sigelang, Sungai

Yiselang, dan Sungai Kambuno. Berdasarkan kandungan air pada tubuh sungai

(Thornbury, 1969 dalam Jaya & Maulana, 2018) maka jenis sungai dapat dibagi

menjadi beberapa jenis, yaitu:

1. Sungai normal (permanen), merupakan sungai yang volume airnya

sepanjang tahun selalu normal.

2. Sungai periodik, merupakan sungai yang kandungan airnya tergantung

pada musim, dimana pada musim hujan debit alirannya menjadi besar

dan pada musim kemarau debit alirannya menjadi kecil.

3. Sungai episodik, merupakan sungai yang hanya dialiri air pada musim

hujan, tetapi pada musim kemarau sungainya menjadi kering.

Berdasarkan pembagian sungai di atas, jenis sungai di daerah penelitian

termasuk jenis sungai periodik yang meliputi semua sungai yang berada didaerah

penelitian.
Gambar 2.27 Kenampakan jenis sungai periodik di Sungai Ogoeleng
dan arah pengambilan foto N317°E di Desa Oyom.

Hal tersebut dapat dilihat dari kandungan air yang berada di sungai serta

dengan melihat kenampakan sungai secara langsung dilapangan. Sungai tersebut

memiliki kandungan airnya tergantung pada musim, dimana pada musim hujan

debit alirannya menjadi besar dan pada musim kemarau debit alirannya menjadi

kecil dan sebagian hanya menjadi genangan ditubuh sungai (Gambar 2.27).

2.3.2 Pola Aliran Sungai

Pola aliran sungai adalah komponen utama dalam analisis dan interpretasi

sebuah bentang alam, terutama untuk menghubungkan dengan aspek morfometri.

Pola pengaliran (drainage pettern) adalah gabungan dari beberapa individu sungai

yang saling berhubungan membentuk suatu pola dalam kesatuan ruang.

Pengelompokan pola aliran sungai yang terdapat di daerah penelitian didasarkan

atas klasifikasi pola aliran sungai menurut (Howard, 1967 dalam Sukandarrumidi

dkk., 2011). Perkembangan pola aliran sungai yang ada pada daerah penelitian
dikontrol oleh faktor–faktor seperti kemiringan lereng, kontrol struktur, dan stadia

geomorfologi berupa vegetasi dan kondisi iklim.

Berdasarkan faktor pengontrol tersebut yang disebandingkan dengan hasil

pengamatan pada peta dasar dan klasifikasi pola pengaliran menurut (Howard,

1967 dalam Sukandarrumidi dkk., 2011), maka pola aliran sungai pada daerah

penelitian termasuk dalam jenis pola aliran sungai subparalel (Gambar 2.28).

Berdasarkan Klasifikasi Pola Pengaliran menurut Howard (1967) daerah

pemetaan tergolong dalam Pola Pengaliran SubParalel dengan karakteristik lereng

memanjang atau dikontrol oleh bentuk lahan perbukitan memanjang dengan

kemiringan menengah. Pola aliran ini biasanya ubahan dari pola aliran paralel

yang memperlihatkan bentuk sungai dengan anak sungai hampir sejajar serta

membentuk sudut lancip antara anak sungai dan sungai induk. Namun, daerah

pemetaan tergolong sub-paralel karena anak sungainya memiliki satu atau dua

cabang sungai. Pola aliran sungai seperti ini biasanya terbentuk akibat pengaruh

struktur.

Berdasarkan pembagian pola aliran sungai, maka pola aliran sungai yang

berkembang didaerah penelitian termasuk dalam pola aliran sungai Sub-Paralel

yang meliputi semua sungai yang berada didaerah penelitian, yaitu Sungai

Ogoeleng, Sigelang, Sungai Yiselang, dan Sungai Kambuno.


2.3.3 Tipe genetik sungai

Gambar 2.28 Peta pola aliran daerah penelitian

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dilapangan maka tipe genetik

sungai yang berkembang di daerah penelitian yaitu:

1. Tipe genetik Insekuen

Tipe genetik ini memiliki arah aliran sungai yang mengikuti suatu aliran

dimana lereng tidak dikontrol oleh faktor kemiringan asli, struktur atau jenis

batuan (Jaya & Maulana, 2018). Tipe genetik ini pada Sungai Ogoelng, Sungai

Sigelang, Sungai Yiselang dan Sungai Kambuno yang di jumpai pada litologi

andesit porfiri dan basal porfiri (Gambar 2.29).


Gambar 2.29 Kenampakan tipe genetik sungai insekuen pada stasiun 600
dengan litologi andesit porfiri dengan arah pengambilan
foto N 191ºE

2.3.4 Stadia Sungai

Stadia atau tahapan sungai dapat dibagi menjadi lima, yakni stadia sungai

awal (initial age), stadia muda (young driver), stadia dewasa (mature driver),

stadia tua (old age driver), dan peremajaan sungai (rejuvenation) (Noor, 2014).

Penentuan stadia sungai didasarkan pada kenampakan profil lembah sungai, pola

aliran sungai, bentuk penampang sungai, jenis erosi, sedimentasi di sungai dan

analisis perkembangan sungai yang didasarkan pada perbandingan tingkat erosi

vertikal dan erosi lateral.

Pada daerah pemetaan memiliki profil sungai secara umum berbentuk “U”

dengan dimensi penampang sungai yang relatif lebar, dimana jenis erosi yang

berkembang lebih dominan erosi lateral. Erosi lateral terjadi secara umum

dikarenakan kemiringan lereng disekitarnya sudah tidak terlalu tinggi sehingga

mengurangi kecepatan aliran air sehingga hanya mengikis perlahan secara


horizontal terdapat sedimentasi berupa channel bar dan lembah yang landai.

(Gambar 2.30),

Berdasarkan pada karakter profil sungai, pola saluran, proses erosi dan

sedimentasi pada sungai daerah penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa sungai

pada daerah penelitian berstadia dewasa.

Gambar 2.30 Kenampakan profil sungai bentuk “U” dengan


kenampakan chanel bar didekat stasiun 59 di Sungai
Yiselang dengan arah aliran sungai N 263°E dan arah
pengambilan foto N 358°E

Pada daerah perbukitan lereng curam denudasional memiliki profil sungai

secara umum berbentuk “U” dan. (Gambar 2.31), dalam hal ini dapat dilihat pada

beberapa titik juga dijumpai profil sungai yang berbentuk “V” dengan dimensi

yang lebar (Gambar 2.32).

Berdasarkan pada karakter profil sungai, pola saluran, proses erosi dan

sedimentasi pada sungai daerah penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa sungai

pada daerah penelitian berstadia dewasa.


Gambar 2.31 Kenampakan profil sungai bentuk “U” Pada daerah
perbukitan lereng curam denudasional di Sungai
Yiselang dengan arah pengambilan foto N186°E

Gambar 2.32 Kenampakan profil sungai bentuk “V” Pada satuan


bentang alam perbukitan tinggi lereng curam
denudasional di Sungai Kambuno dengan dan arah
pengambilan foto N232°E

2.4 Stadia Daerah Pemetaan

Stadia atau tingkatan bentang alam dinyatakan untuk mengetahui seberapa

jauh tingkat kerusakan yang telah terjadi dan dalam tahapan atau stadia apa

kondisi bentang alam saat ini. Tingkatan bentang alam digunakan istilah muda,
dewasa dan tua. Tiap-tiap tingkatan dalam geomorfologi itu ditandai oleh sifat-

sifat tertentu yang spesifik, bukan ditentukan oleh umur bentang alam.

Menurut Lobeck (1939) dalam Noor (2014), stadia daerah ada 3 dan

mempunyai ciri tersendiri yaitu stadia muda di cirikan oleh dataran yang masih

tinggi dengan lembah sungai yang relatif curam dimana erosi vertikal lebih

dominan dan kondisi geologi masih orisinil. Stadia dewasa dicirikan oleh adanya

bukit sisa erosi dan erosi lateral lebih dominan, sungai bermeander dengan point

bar, pola pengaliran berkembang baik, kondisi geologi mengalami pembalikan

topografi seperti punggungan sinklin atau lembah antiklin. Stadia tua dicirikan

permukaan relatif datar, aliran sungai tidak berpola, sungai berkelok dan

menghasilkan endapan di kanan kiri sungai, dan litologi relatif seragam.

Analisa morfogenesa daerah penelitian secara umum terdiri dari morfologi

daerah penelitian, proses erosi dan tingkat pelapukan. Morfologi daerah penelitian

secara umum memiliki relief agak curam hingga sangat curam, bentuk puncak

relatif tumpul, dan bentuk lembah yang umumnya berbentuk “V“ halus sampai

“U” halus. Tingkat pelapukan pada daerah penelitian relatif sedang hingga tinggi.

Hal ini dapat dilihat dari ketebalan soil yaitu sekitar ± 56 – 100 cm. Tingkat erosi

pada daerah penelitian relatif sedang-tinggi, hal ini dapat dilihat dari proses

pengikisan lembah sungai yaitu erosi lateral lebih dominan dibandingkan erosi

vertikal. Selain itu, sungai yang terdapat didaerah pemetaan merupakan sungai

jenis periodik dengan stadia dewasa, serta pola aliran sungai sub-denritik.

Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan

daerah penelitian berada pada stadia muda menjelang dewasa.

Anda mungkin juga menyukai