Anda di halaman 1dari 6

Analisa geomorfologi di daerah penelitian didasarkan pada klasifikasi van Zuidam

(1983). Pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian ditentukan melalui analisa di

lapangan serta analisa pada peta topografi dengan melihat pola-pola kontur dan kemudian

melakukan sayatan morfometri pada peta topografi. Morfometri adalah pembagian

geomorfologi berdasarkan pada perhitungan kelerengan dan beda tinggi (van Zuidam, 1979)

(Tabel 3.1). Dalam penentuan pewarnaannya menggunakan klasifikasi bentukan asal

berdasarkan van Zuidam (1983) (Tabel 3.2). Untuk klasifikasi unit bentukan asal juga

mengacu pada van Zuidam (1983), proses denudasional (Tabel 3.3), , proses fluvial (Tabel

3.4). Selain itu juga dengan melakukan pengamatan keadaan morfologi yang ada di lapangan

yang meliputi proses yang membentuk dan yang sedang berlangsung pada bentang alam

tersebut.

Tabel 3.1. Klasifikasi relief berdasarkan sudut lereng dan beda tinggi (van Zuidam, 1979)
Kemiringan Beda Tinggi
No Relief
Lereng ( % ) (m)
1 Topografi datar atau hampir datar 0–2 <5 Tabel
Bergelombang lemah – sedang / Topografi
2 3–7 5 – 25
landai
Bergelombang lemah – sedang / Topografi
3 8 – 13 25 – 75
miring (lereng)
Bergelombang sedang – perbukitan /
4 14 – 20 50 – 200
Topografi cukup curam
Perbukitan – tersayat kuat / Topografi
5 21 – 55 200 – 500
curam
Tersayat kuat – pegunungan / Topografi
6 56 – 140 500 – 1000
sangat curam
7 Pegunungan / Topografi Hampir Tegak > 140 > 1000
3.2. Klasifikasi bentukan asal berdasarkan genesa dan sistem pewarnaan (van
Zuidam, 1983).

No Genesa Pewarnaan

1 Denudasional (D) Coklat

2 Struktural (S) Ungu


3 Vulkanik (V) Merah

4 Fluvial (F) Biru muda

5 Marine (M) Biru tua

6 Karst (K) Orange

7 Glasial (G) Biru muda

8 eolian (E) Kuning

Tabel 3.3. Klasifikasi unit geomorfologi bentukan asal oleh proses denudasional (D), (Van
Zuidam, 1983 )

Kode Unit Karakteristik umum

Lereng landai – curam menengah (topografi


Lereng dan perbukitan
D1 bergelombang – bergelombang kuat),
denudasional
perajangan lemah – menengah

Lereng curam menengah – curam (topografi


Lereng dan perbukitan
D2 bergelombang kuat – berbukit), perajangan
denudasional
menengah - tajam

Lereng berbukit curam – sangat curam sampai


Perbukitan dan pegunungan
D3 topografi pegunungan, perajangan menengah –
denudasional
tajam

Lereng berbukit curam – sangat curam,


perajangan menengah. (Bornhardts =
Bukit sisa pelapukan dan
membulat, curam dan halus, Monadnocks =
D4 erosi (residual
memanjang, curam; bentuk tidak teratur
hills/inselbergs)
dengan atau tanpa block penutup, Tros =
timbunan dari batuan induk/asal

Hampir datar, topografi bergelombang lemah –


D5 Dataran (peneplains)
kuat perajangan lemah

Dataran yang terangakat


Hampir datar, topografi bergelombang lemah –
D6 /dataran tinggi (upwarped
kuat perajangan lemah - menengah
peneplains/plateaus )

Lereng relatif pendek, mendekati horisontal –


D7 Kakilereng ( footslopes ) landai, hampir datar, topografi bergelombang
lemah, perajangan lemah

D8 Piedmonts Lereng landai – menengah, topografi


bergelombang lemah – kuat pada kaki
perbukitan dan sone pegunungan yang
terangkat, terajam menengah

Lereng curam – sangat curam, terajam


D9 Gawir (scarps )
menengah - tajam

Rombakan lereng dan kipas


D10 Lereng landai – curam, terajam lemah – tajam
(scree slopes and fans)

Tidak beraturan, lereng menengah – curam,


D11 Daerah gerakan massa topografi bergelombang lemah – perbukitan,
terajam menengah (slides, slump and flows)

Topografi dengan lereng curam – sangat


Daerah tandus dengan
D12 curam, terajam menengah (knife – edged,
puncak runcing (badlands)
round crested and castellite types)

Tabel 3.4. Klasifikasi unit geomorfologi bentukan asal oleh proses fluvial (F), (Van Zuidam,
1983)

Kode Unit Karakteristik Umum

Hampir datar, topografi tidak teratur dengan


F1 River beds garis batas permukaan air yang bervariasi
mengalami erosi & bagian yang terakumulasi.

F2 Lakes Tubuh air.

Hampir datar, topografi tidak teratur lemah,


F3 Flood plains
banjir musiman.

Topografi dengan lereng landai, berhubungan


Fluvial levees, alluvial ridges
F4 erat dengan peninggian dasar oleh akumulasi
and point bar
fluvial.

Topogarafi landai-hampir landai ( swamp tree


F5 Swamps, fluvial basin
vegetation )

Topogarafi dengan lereng hampir datar-landai,


F6 Fluvial terraces
terajam lemah-menengah

Lereng landai-curam menengah, biasanya


F7 Active alluvial fans banjir dan berhubungan dengan paninggian
dasar oleh akumulasi fluvial.

Lereng landai-curam menengah, jarang banjir


F8 Inactive alluvial fans
dan pada umumnya terajam lemah-menengah.

3.1.1 Stadia Daerah


Penentuan stadia daerah pada dasarnya untuk mengetahui proses - proses geologi

yang telah berlangsung pada daerah tersebut. Proses – proses tersebut adalah proses endogen

(sesar, lipatan) dan proses eksogen (erosi, pelapukan, transportasi) dan stadia sungai termasuk

di dalamnya pola pengaliran yang berkembang. Stadia daerah penelitian dikontrol oleh

litologi, struktur geologi dan morfologi (proses). Perkembangan stadia daerah pada dasarnya

menggambarkan seberapa jauh morfologi daerah telah berubah dari morfologi aslinya.

Menurut Lobeck (1939), stadia daerah dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu muda,

dewasa, tua dan peremajaan ulang (rejuvenasi) (Gambar 3.1).

Gambar 3.1. Stadia daerah (Lobeck, 1939)

Suatu daerah dengan stadia muda dapat dicirikan dengan keadaan yang mirip dengan

bentuk awal bentang alamnya, gradien sungai besar, arus sungai deras, lembah berbentuk V,

erosi vertikal lebih besar dari pada erosi lateral, dijumpai air terjun dan terkadang danau.

Stadia dewasa akan dicirikan oleh lembah sungai yang membesar dan dalam dari

sebelumnya, reliefnya menjadi lebih curam, gradien sungai sedang, aliran sungai berkelok-

kelok, terdapat meander, tidak dijumpai air terjun maupun danau, erosi vertikal berimbang

dengan erosi lateral, lembahnya berbentuk U.

Stadia tua dicirikan oleh erosi lateral lebih kuat daripada vertikal, lembah lebar, tak

dijumpai meander lagi, terbentuk pulau-pulau tapal kuda, arus sungai tidak kuat. Bilamana
suatu daerah berkembang menjadi daerah yang tererosi lanjut, setelah proses tersebut

berlangsung maka keadaan permukaan daratan akan mulai menjadi datar, dengan lembah

sungai yang lebar. Pada tahap ini proses erosi akan menjadi berkurang dan ketika akan

mencapai tahap tua daerah tersebut membentuk bukit-bukit relatif datar dengan lembah yang

lebar dan dangkal. Permukaan bumi yang demikian disebut peneplain (hampir rata).

Apabila kemudian terjadi epirogenesis atau orogenesis, maka daerah yang terangkat

ini akan tersayat atau tertoreh lagi oleh sungai-sungai yang mengalir di daerah tersebut

sehingga akan terjadi tingkat erosi daerah muda lagi. Proses ini disebut peremajaan ulang

atau rejuvenation.

Pola pengaliran merupakan bagian dari penentuan stadia daerah. Pola pengaliran

(drainage pattern) adalah suatu pola dalam kesatuan ruang yang merupakan hasil

penggabungan dari beberapa individu sungai yang saling berhubungan suatu pola dalam

kesatuan ruang (Thornbury, 1969) (Gambar 3.2). Perkembangan dari pola pengaliran dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah kemiringan lereng,perbedaan resisten

batuan, proses vulkanik kuarter, serta sejarah dan stadia geomorfologi dari cekungan pola aliran

(drainage basin).
Gambar 3.2. Bentuk pola aliran sungai. (A). Pola aliran yang belum mengalami ubahan (basic
pattern), (B). Pola aliran yang telah mengalami ubahan (modified pattern) (Howard,
1967 dalam Thornbury, 1969).

Anda mungkin juga menyukai