Anda di halaman 1dari 29

BAB II

GEOMORFOLOGI

2.1 Geomorfologi Regional

Buton dapat dibagi menjadi tiga zona (Gambar 2.1) berdasarkan fisiografi

dan geomorfologinya (Sikumbang dan Sanyoto, 1981) yang diakibatkan oleh

pengaruh struktur dan litologi pada zona tersebut, yaitu:

• Zona Buton Utara, yang didominasi oleh dataran rendah dan punggungan

pantai berbentuk tapal kuda dengan dikelilingi gununggunung sepanjang

Utara, Barat, Timur dimana tren umum pegunungan tersebut adalah

baratlaut – tenggara.

• Zona Buton Tengah, didominasi oleh deretan pegunungan lebar dibentuk

dari barisan pegunungan yang sedikit melengkung sepanjang Utara-Selatan

dengan tren ke arah utara, sedangkan sepanjang pantai barat terdiri dari

topografi dengan relief rendah yang berarah timur-laut.

• Zona Buton Selatan, terdiri dari topografi yang berupa lembah dan bukit

dengan trend arah timur-laut, teras-teras terumbu yang terangkat, dan

topografi karst yang berupa haystack (perbukitan gamping) dan

ditulangpunggungi oleh Pegunungan Kapantoreh.

Daerah penelitian masuk kedalam Zona Buton Selatan. Topografi yang

berupa lembah dan bukit menandakan pengaruh struktur perlipatan. Munculnya

Pegunungan Kapantoreh dengan litologi ofiolit menandakan struktur sesar anjak

sehingga litologi tersebut dapat muncul ke permukaan.

12
Dari analisa data penginderaan jauh terlihat adanya terumbu yang tumbuh

dibagian selatan Pulau Buton dan adanya estuarin yang tenggelam dan atoll yang

turun dibagian utara. Hal ini diinterpretasikan sebagai bukti bahwa bagian utara Pulau

Buton mengalami penurunan relatif terhadap bagian selatan Pulau Buton (Davidson,

1991)

Gambar 2.1 Pembagian zona fisiografi dan provinsi geomorfologi Pulau Buton

2.2 Geomorfologi Daerah Penelitian

Geomorfologi daerah penelitian membahas mengenai kondisi geomorfologi

daerah Maligano Kecamatan Maligano Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi

Tenggara. Kondisi geomorfologi yang dimaksud yaitu pembagian satuan

bentangalam, relief, tingkat dan jenis pelapukan, tipe erosi, jenis gerakan tanah,

13
soil, analisis sungai yang meliputi ; jenis sungai, pola aliran sungai, klasifikasi

sungai dan tipe genetik sungai. Berdasarkan dari kumpulan data di atas yang

dijumpai di lapangan, serta interpretasi peta topografi dan studi literatur yang

mengacu pada teori dari beberapa ahli maka dapat diketahui stadia daerah

penelitian.

2.2.1 Satuan Geomorfologi

Geomorfologi banyak didefinisikan oleh para ahli geomorfologi dalam

bukunya. Menurut Lobeck (1939), geomorfologi didefinisikan sebagai studi

tentang bentuk lahan. Geomofologi juga di definisikan sebagai ilmu tentang

bentuk lahan (Thornbury,1969). Sedangkan menurut Van Zuidam et al.(1985),

geomorfologi didefinisikan sebagai studi yang mendeskripsi bentuk lahan dan

proses serta mencari hubungan antara bentuk lahan dan proses dalam susunan

keruangannya.

Pembentukan bentangalam dari suatu daerah merupakan hasil akhir dari

proses geomorfologi yang disebabkan oleh gaya endogen dan eksogen.

Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk lahan atau bentang

alam, proses-proses yang mempengaruhinya, asal mula pembentukannya (proses)

dan kaitannya dengan lingkungannya dalamruangdan waktu. Sedangkan

bentangalam adalah kenampakan medan dipermukaan bumi yang dibentuk oleh

proses – proses alami yang komposisi tertentu dan karakteristik fisikal dan visual

(Hidartan dan Handayana,1994).

Kajian bentuk lahan disebut juga kajian morfologi yang mempelajari relief

secara umum, meliputi aspek bentuk suatu daerah (morfografi) dan ukuran-ukuran

14
kuantitatif dari suatu daerah (morfometri). Kajian proses geomorfologi

mempelajari proses yang mengakibatkan perubaban bentuk lahan dalam waktu

pendek serta proses terbentuknya bentuk laban. Kajian yang menekankan pada

evolusi bentuk laban adalab kajian morfogenesis. Kajian geomorfologi lingkungan

adalab kajian yang mempelajari hubungan antara geomorfologi dengan

lingkungan dalam hal ini unsur-unsur bentang alam yaitu tanah, batuan, dan air

(Lihawa, 2009).

Dalam mempelajari geomorfologi, perlu dipahami secara mendalam

tentang tentang konsep dasar geomorfologi (Thornbury, 1969) yaitu:

1. Proses geomorfik yang bekerja pada masa lampau juga berkerja pada masa

sekarang, walaupun tidak selalu dengan intensitas yang sama seperti

sekarang.

2. Setiap proses geomorfologi yang terjadi meninggalkan bekas-bekas yang

nyata pada bentuk lahan, dan setiap proses geomorfologi akan membangun

suatu karakteristik tertentu pada bentuk lahannya.

3. Akibat perbedaan tenaga erosi yang bekerja pada permukaan bumi, maka

dihasilkan suatu urutan bentuk lahan yang mempunyai karakteristik tertentu

pada masing-masing tahap perkembangannya.

Pembagian satuan bentangalam secara umum dilakukan melalui tiga

pendekatan yaitu pendekatan morfografi, morfometri dan morfogenetik (Van

Zuidam,1985). Pendekatan morfografi, mengelompokkan bentangalam

berdasarkan pada bentuk bumi yang dijumpai dilapangan yakni bentuklahan

perbukitan/punggungan, pegunungan, atau gunungapi, lembah dan dataran.

15
Pendekatan secara morfogenetik yaitu mengelompokkan bentangalam

berdasarkan pada proses/asal-usul terbentuknya permukaan bumi, seperti

bentuklahan perbukitan/pegunungan, bentuklahan lembah atau bentuklahan

pedataran. Proses yang berkembang terhadap pembentukan permukaan bumi

tersebut yaitu proses eksogen dan proses endogen.

Pendekatan morfometri merupakan penilaian kuantitatif dari suatu

bentuklahan dan merupakan unsur geomorfologi pendukung yang sangat berarti

terhadap morfografi dan morfogenetik. Penilaian kuantitatif terhadap bentuklahan

memberikan penajaman tata nama bentuklahan dan akan sangat membantu

terhadap analisis lahan untuk tujuan tertentu, seperti tingkat erosi, kestabilan

lereng dan menentukan nilai dari kemiringan lereng tersebut.

Pendekatan morfometri yang digunakan untuk penentuan satuan

bentangalam, yaitu persentase kemiringan lereng dan beda tinggi. Klasifikasi

kemiringan lereng yang digunakan yaitu berdasar pada klasifikasi van Zuidam

(1985). Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut dibawah ini.

Tabel 2.1 Klasifikasi satuan bentang alam berdasarkan sudut lereng dan beda tinggi
(van Zuidam, 1985).
Sudut Lereng Beda Tinggi
Satuan Relief
(%) (meter)
Datar atau hampir datar 0–2 <5
Bergelombang/ miring landai 3–7 5 – 50
Bergelombang/ miring 8 – 13 51 – 75
Berbukit bergelombang/ miring 14 – 20 76 – 200
Berbukit tersayat tajam/ terjal 21 – 55 200 – 500
Pegunungan tersayat tajam 55 – 140 500 – 1000
Pegunungan sangat curam > 140 > 1000

16
Tabel 2.2 Kelas lereng, dengan sifat-sifat proses dan kondisi alamiah yang kemungkinan
terjadi dan usulan warna untuk peta relief secara umum (disadur dan
disederhanakan dari Van Zuidam, 1985 dalam Noor, 2012)
Sifat-sifat Proses dan Kondisi Alamiah Warna
Kelas Lereng

00 – 20 Datar hingga hampir datar; tidak ada proses denudasi yang berarti
Hijau
(0 – 2) %
Agak miring; Gerakan tanah kecepatan rendah, erosi lembar dan
20 – 40 erosi alur (sheet and rill erosion). Hijau
(2 – 7) % rawan erosi Muda

40 – 80 Miring;sama dengan di atas, tetapi dengan besaran yang lebih


Kuning
(7 – 15) % tinggi. Sangat rawan erosi tanah.
80 – 160 Agak curam; Banyak terjadi gerakan tanah, dan erosi,
Jingga
(15 – 30) % terutama longsoran yang bersifat nendatan.
160 – 350 Curam;Proses denudasional intensif, erosi dan gerakan tanah Merah
(30 – 70) % sering terjadi. Muda
Sangat curam; Batuan umumnya mulai tersingkap, proses
350 – 550 denudasional sangat intensif, sudah mulai menghasilkan
endapan rombakan (koluvial) Merah
(70 – 140) %

Curam sekali, batuan tersingkap; proses


>550
denudasional sangat kuat, rawan jatuhan batu, tanaman jarang Ungu
(>140) % tumbuh (terbatas).

Pembagian satuan bentangalam, dilakukan sesuai dengan tujuan dari

penggunaan dari informasi geomorfologi itu sendiri, sehingga pembagian satuan

bentangalam tidak jarang hanya menggunakan satu pendekatan yaitu morfometri

atau bahkan gabungan dua metode pendekatan, misalnya morfometri dan

morfografi atau morfografi dan morfogenesa.

Berdasarkan pendekatan morfometri dan morfografi, maka pembagian

satuan bentangalam daerah penelitian terdiri atas

 Satuan morfologi pedataran

 Satuan morfologi perbukitan bergelombang

Adapun penjelasan mengenai satuan geomorfologi tersebut akan

diuraikan sebagai berikut :

17
2.2.1.1 Satuan Morfologi Pedataran

Penamaan morfologi ini berdasarkan atas proses-proses geomorfologi

yang terjadi baik proses geomorfologi yang masih berlangsung maupun yang telah

berlangsung.

Satuan bentangalam ini menempati kurang lebih sekitar 25 km2 (39,06%)

dari luas keseluruhan daerah penelitian. Satuan ini membentang dari utara hingga

selatan pada bagian barat daerah penelitian yang meliputi desa Latompa pada

bagian utara hingga desa Pohorua pada bagian Selatan dan juga meliputi sungai

utama yang berada pada daerah penelitian, yakni Lano Pohorua dan Lano

Motewe.

Berdasarkan pendekatan morfometri, satuan morfologi ini memiliki sudut

lereng rata – rata yaitu 0 – 6o persentase sudut lereng sebesar 0 – 13 % dengan

beda tinggi 54 meter di atas permukaan laut, sehingga berdasarkan ketinggian

relatifnya maka bentuk topografi atau relief satuan dapat digolongkan dalam relief

pedataran. Kenampakan morfologi secara langsung di lapangan memperlihatkan

bentuk topografi berupa relief yang datar atau hampir datar (bergelombang)

18
Foto 2.1 Kenampakan satuan morfologi pedataran. Difoto ke arah N 128 0E
dari stasiun 65 di daerah Latompa

Proses-proses geomorfologi yang dominan bekerja pada satuan ini yaitu

proses pelapukan, umumnya dijumpai pelapukan dengan tingkat pelapukan yang

sedang hingga tinggi. Erosi yang bekerja didominasi oleh erosi lateral, dan juga

pengendapan. Litologi penyusun pada satuan ini yaitu batugamping terumbu dan

batulempung

Proses pelapukan yang terjadi adalah pelapukan fisika, pelapukan kimia

dan pelapukan biologi. Pelapukan fisika terjadi karena adanya perubahan

temperatur pada udara, atau akibat dari pengisian air pada rekahan dan pori – pori

batuan, sehingga terjadi peretakan – peretakan pada batuan yang mengakibatkan

terjadinya perubahan ukuran batuan menjadi blok, potongan dan partikel yang

lebih kecil (Lobeck, 1939). Hasil dari pelapukan fisika ini dapat dilihat di

lapangan berupa fragmen – fragmen yang lepas dari batuan asalnya (foto 2.2).

Selain itu dijumpai pula pelapukan kimia yang ditandai dengan perubahan warna

pada litologi Batugamping yang semula putih menjadi hitam yang disebabkan

oleh proses oksidasi (foto 2.3)

19
Foto 2.2 Singkapan batugamping yang mengalami pelapukan. Difoto ke
arah N 195oE pada stasiun 16 (daerah Latompa)

Foto 2.3 Singkapan batugamping yang mengalami pelapukan. Difoto


ke arah N 315oE pada stasiun 3 daerah Pohorua

Pelapukan biologi disebabkan oleh adanya aktifitas makhluk hidup seperti

manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan (Lobeck, 1939). Pelapukan ini terjadi pada

litologi batugamping (foto 2.4), dimana terdapat adanya rekahan – rekahan yang

diakibatkan oleh akar pohon.

20
Foto 2.4 Singkapan batulempung yang mengalami pelapukan. Difoto
ke arah N 195oE pada stasiun 48 daerah Batulo

Secara umum tipe soil pada daerah penelitian berupa residual soil (Foto

2.5) yang terbentuk dari hasil pelapukan batuan yang ada di bawahnya dengan

ketebalan sekitar 50 sentimeter dengan kenampakan warna abu-abu kecokelatan

hingga cokelat kehitaman

Foto 2.5 Kenampakan residual soil hasil pelapukan batugamping dengan


warna coklat kehitaman dan ketebalan sekitar 50. Difoto ke arah
N 135 0E dari stasiun 43 di daerah Latompa

Jenis erosi yang berkembang pada daerah penelitian berupa erosi saluran

(gully erosion) (Foto 2.6). Gully erosion merupakan erosi berbentuk saluran

21
dengan ukuran lebar tidak lebih dari 1 meter dan telah mengalami pelebaran ke

samping (Noor, 2012).

Foto 2.6 Kenampakan Gully erosion difoto arah N 155o E pada daerah
Latompa (stasiun 16).

Proses sedimentasi yang ada pada satuan bentangalam ini yaitu adanya

endapan sungai berupa point bar (Foto 2.7) dengan ukuran material berupa pasir

halus – bongkah.

Foto 2.7 Kenampakan point bar difoto arah N 260o E pada daerah
Pohorua (dekat stasiun 1)
Pemanfaatan satuan bentangalam ini oleh warga setempat digunakan

sebagai lahan pemukiman dan perkebunan kelapa (Foto 2.8)

22
Foto 2.8 Kenampakan pemukiman dan perkebunan kelapa difoto arah
N 210oE pada daerah Pohorua.

2.2.1.2 Satuan Morfologi Perbukitan

Penamaan morfologi ini berdasarkan atas proses-proses geomorfologi

yang terjadi baik proses geomorfologi yang masih berlangsung maupun yang telah

berlangsung.

Satuan bentangalam ini menempati kurang lebih sekitar 39 km2 (60,93%)

dari luas keseluruhan daerah penelitian. Satuan ini membentang dari utara hingga

selatan pada bagian barat daerah penelitian yang meliputi desa Latompa pada

bagian utara hingga desa Pohorua pada bagian Selatan dan juga meliputi sungai

utama yang berada pada daerah penelitian, yakni Lano Lebo, Lano Mutui, Lano

Pohorua dan Lano Motewe.

Berdasarkan pendekatan morfometri, satuan morfologi ini memiliki sudut

lereng rata – rata yaitu 8 – 37o persentase sudut lereng sebesar 13 – 77% dengan

beda tinggi 530 meter di atas permukaan laut, sehingga berdasarkan ketinggian

23
relatifnya maka bentuk topografi atau relief satuan dapat digolongkan dalam relief

perbukitan.

Foto 2.9 Kenampakan satuan morfologi perbukitan. Difoto ke arah N


730E dari stasiun 64 di daerah Pohorua

Proses-proses geomorfologi yang dominan bekerja pada satuan ini yaitu

proses pelapukan dan erosi. Litologi penyusun pada satuan ini yaitu batugamping,

batulempung dan konglomerat.

Proses pelapukan yang terjadi adalah pelapukan fisika, pelapukan kimia

dan pelapukan biologi. Pelapukan fisika terjadi karena adanya perubahan

temperatur pada udara, atau akibat dari pengisian air pada rekahan dan pori – pori

batuan, sehingga terjadi peretakan – peretakan pada batuan yang mengakibatkan

terjadinya perubahan ukuran batuan menjadi blok, potongan dan partikel yang

lebih kecil (Lobeck, 1939). Hasil dari pelapukan fisika ini dapat dilihat di

lapangan berupa fragmen – fragmen yang lepas dari batuan asalnya (Foto 2.10)

24
Foto 2.10 Singkapan batulempung yang mengalami pelapukan. Difoto ke
arah N 30oE pada stasiun 10 (daerah Pohorua)

Selain itu dijumpai pula pelapukan kimia yang ditandai dengan perubahan

warna pada litologi batugamping yang semula putih menjadi hitam yang

disebabkan oleh proses oksidasi (foto 2.11)

Foto 2.11 Singkapan batugamping yang mengalami pelapukan. Difoto ke


arah N 80oE pada stasiun 33 (daerah Pohorua)

Pelapukan biologi disebabkan oleh adanya aktifitas makhluk hidup seperti

manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan (Lobeck, 1939). Pelapukan ini terjadi pada

litologi batugamping (foto 2.12), dimana terdapat adanya rekahan – rekahan yang

diakibatkan oleh akar pohon.

25
Foto 2.12 Singkapan batugamping yang mengalami pelapukan. Difoto ke
arah N 135oE pada stasiun 28

Secara umum tipe soil pada daerah penelitian berupa residual soil yang

terbentuk dari hasil pelapukan batuan yang ada di bawahnya dengan ketebalan

sekitar 3 meter dengan kenampakan warna cokelat kehitaman (Foto 2.13).

Foto 2.13 Kenampakan residual soil hasil pelapukan batugamping


dengan warna coklat kehitaman. Difoto ke arah N 35 0E pada
stasiun 26 (daerah Raimuna)
Jenis erosi yang berkembang pada bentangalam ini berupa erosi saluran

(gully erosion) (Foto 2.14). Gully erosion merupakan erosi berbentuk saluran

dengan ukuran lebar tidak lebih dari 1 meter dan telah mengalami pelebaran ke

samping (Noor, 2012).

26
Foto 2.14 Kenampakan gully erosion pada Litologi Batugamping difoto arah
N 30o E pada stasiun 6 (daerah Pohorua)

Proses sedimentasi yang ada pada satuan bentangalam ini yaitu adanya

endapan sungai berupa point bar (Foto 2.15) dan channel bar (Foto 2.16) dengan

ukuran material berupa pasir halus – bongkah.

Foto 2.15 Kenampakan endapan point bar difoto arah N243oE pada daerah
Lano Lebo (stasiun 19)

27
Foto 2.16 Kenampakan endapan channel bar difoto arah N340oE pada
daerah Lano Lebo (stasiun 20)

Jenis gerakan tanah yang dijumpai pada satuan bentangalam ini yaitu debris

slide (Foto 2.17). Debris slide merupakan luncuran dari campuran masa tanah dan

batuan yang sangat cepat ke arah kaki lereng dari material tanah yang tidak

terkonsolidasi (debris) dan hasil luncuran ini ditandai oleh suatu bidang rotasi

pada bagian belakang bidang luncurnya

Foto 2.17 Kenampakan gerakan tanah debris slide difoto arah N35oE daerah
Pohorua (sekitar stasiun 5)

Adapun pemanfaatan satuan bentangalam ini oleh warga setempat

digunakan sebagai areal perkebunan (Foto 2.18)

28
Foto 2.18 Pemanfaatan lahan sebagai areal perkebunan jagung. Difoto ke
arah N 95o E pada daerah Raimuna (sekitar stasiun 26)

2.2.2 Sungai

Sungai adalah tempat air mengalir secara alamiah membentuk suatu pola

dan jalur tertentu di permukaan (Thornbury,1969). Pembahasan tentang sungai

pada daerah penelitian meliputi pembahasan tentang klasifikasi sungai yang

didasarkan pada kandungan air yang mengalir pada tubuh sungai sepanjang

waktu. Pola aliran sungai dikontrol oleh beberapa faktor seperti kemiringan

lereng, kontrol struktur, vegetasi dan kondisi iklim.Tipe genetik menjelaskan

tentang hubungan arah aliran sungai dan kedudukan batuan. Dari hasil

pembahasan di atas maka pada akhirnya dapat dilakukan penentuan stadia sungai

daerah penelitian.

2.2.2.1 Jenis Sungai

Sungai dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian tergantung pada

dasar pembagiannya. Berdasarkan sifat alirannya sungai dikelompokkan menjadi

dua yaitu sungai internal dan sungai eksternal. Sungai internal adalah sungai yang

alirannya berasal dari bawah permukaan seperti terdapat pada daerah karst,

29
endapan eolian, atau gurun pasir; sedangkan sungai eksternal adalah sungai yang

alirannya berasal dari aliran air permukaan yang membentuk sungai, danau, dan

rawa. Berdasarkan kandungan air pada tubuh sungai, sungai dibagi menjadi tiga

yaitu sungai permanen/normal/perenial, sungai periodik/intermitten, dan sungai

episodik/ephermal. Sungai permanen adalah sungai yang debit airnya

tetap/normal sepanjang tahun; sungai periodik adalah sungai yang kandungan

airnya tergantung pada musim, dimana pada musim hujan debit airnya menjadi

besar dan pada musim kemarau debit airnya menjadi kecil; sedangkan sungai

episodik adalah sungai yang hanya dialiri air pada musim hujan, pada musim

kemarau sungainya menjadi kering (Thornbury, 1969).

Foto 2.19 Kenampakan Sungai Lebo yang merupakan jenis sungai


permanen. Difoto ke arah N 2520E sekitar stasiun 15
daerah Latompa

30
Foto 2.20 Kenampakan anak Sungai Pohorua yang merupakan jenis sungai
periodik pada stasiun 58 difoto arah N 270o E

Foto 2.21 Kenampakan anak Sungai Lebo yang merupakan jenis sungai
periodik pada stasiun 19 difoto arah N 320o E

Berdasarkan sifat alirannya, sungai yang terdapat pada daerah penelitian

termasuk dalam sungai eksternal dan berdasarkan kandungan airnya pada tubuh

sungai termasuk dalam sungai permanen dan sungai periodik.

31
2.2.2.2 Pola Aliran Sungai

Pola Aliran Sungai adalah kumpulan dari sungai yang mempunyai bentuk

sama, yang dapat menggambarkan keadaan profil dan genetik sungainya (Lobeck,

1939).

Pola aliran sungai (drainage system) merupakan penggabungan dari

beberapa individu sungai yang saling berhubungan membentuk suatu pola dalam

kesatuan ruang (Thornbury, 1969). Pola aliran sungai sangat dikontrol oleh

struktur, litologi dan kemiringan lereng di suatu wilayah.

Cotton (1940) menyatakan bahwa letak, bentuk dan arah aliran sungai,

dipengaruhi antara lain oleh lereng dan ketinggian, perbedaan erosi, struktur jenis

batuan, patahan dan lipatan, merupakan faktor-faktor yang menyebabkan

perbedaan bentuk genetik dan pola sungai.

Berdasarkan klasifikasi pola pengaliran (Van Zuidam, 1985) maka jenis

pola aliran sungai termasuk dalam pola aliran dasar (basic pattern) yaitu

merupakan pola aliran yang mempunyai karakteristik khas yang bisa dibedakan

dengan pola aliran lainnya.

Berdasarkan faktor pengontrol yang disebandingkan dengan hasil

interpretasi peta topografi, serta hasil pengamatan langsung di lapangan, maka

pola aliran pada daerah penelitian termasuk dalam jenis pola aliran subdendritik.

Penyebaran pola aliran subdendritik yang meliputi Sungai Lebo, sungai Motewe

dan sungai Pohorua menunjukkan berkembangnya percabangan sungai yang tidak

terlalu banyak.

32
Pola aliran subdendritik pada daerah penelitian mencerminkan kekerasan

batuan yang sama (homogenitas batuan) atau soil seragam, lapisan sedimen

horizontal atau miring landai. Pola aliran ini berkembang pada litologi

batugamping, batulempung dan konglomerat.

2.2.2.3 Tipe Genetik Sungai

Tipe genetik sungai merupakan salah satu jenis sungai yang didasarkan

atas genesanya yang merupakan hubungan antara arah aliran sungai dan terhadap

kedudukan batuan (Thornbury, 1969).

Tipe genetik sungai yang terdapat pada daerah penelitian terdiri atas :

a. Tipe Genetik Sungai Subsekuen

b. Tipe Genetik Sungai Konsekuen

c. Tipe Genetik Sungai Obsekuen

Tipe genetik sungai subsekuen merupakan tipe genetik sungai yang arah

aliran sungainya mengalir searah jurus perlapisan batuan (strike). Tipe genetik ini

dijumpai pada sungai Mutui (stasiun 19) dengan litologi batulempung (Foto 2.22)

Tipe genetik sungai konsekuen merupakan tipe genetik sungai yang arah

aliran sungainya mengalir searah dengan kemiringan lapisan batuan (dip). Tipe

genetik ini dijumpai pada sungai Motewe (stasiun 36) dengan litologi

batugamping (Foto 2.23).

Tipe genetik sungai obsekuen merupakan tipe genetik sungai yang arah

alirannya berlawanan dengan kemiringan lapisan batuan (dip). Tipe genetik ini

dijumpai pada sungai Motewe (stasiun 55) dengan litologi batulempung (Foto

2.24).

33
Foto 2.22 Aliran subsekuen dengan litologi batulempung pada anak
sungai Lebo difoto arah N 250o E pada stasiun 19 daerah
Latompa

Foto 2.23 Aliran konsekuen dengan litologi batugamping pada anak


sungai Motewe difoto arah N 340o E pada stasiun 36 daerah
Lapole

34
Foto 2.24 Aliran obsekuen dengan litologi batugamping pada sungai
Motewe difoto arah N 100o E pada stasiun 55 daerah Lapole

2.2.2.4 Stadia Sungai

Penentuan stadia sungai daerah penelitian didasarkan atas kenampakan

lapangan berupa profil lembah sungai, pola saluran sungai, jenis erosi yang

bekerja dan proses sedimentasi di beberapa tempat di sepanjang sungai.

Thornbury (1969) membagi stadia sungai kedalam tiga jenis yaitu sungai

muda (young river), dewasa (mature river), dan tua (old age river).Sungai muda

(young river) memiliki karakteristik dimana dinding-dinding sungainya berupa

bebatuan, dengan dinding yang sempit dan curam, terkadang dijumpai air terjun,

aliran air yang deras, dan biasa pula dijumpai potholes yaitu lubang-lubang yang

dalam dan berbentuk bundar pada dasar sungai yang disebabkan oleh batuan yang

terbawa dan terputar-putar oleh arus sungai. Selain itu, pada sungai muda (young

river) proses erosi masih berlangsung dengan kuat karena kecepatan dan volume

air yang besar dan deras yang mampu mengangkut material-material sedimen dan

diwaktu yang sama terjadi pengikisan pada saluran sungai tersebut. Karakteristik

35
sungai dewasa (mature river) biasanya sudah tidak ditemukan adanya air terjun,

arus air relatif sedang, dan erosi yang bekerja relatif seimbang antara erosi vertikal

dan lateral, dan sudah dijumpai sedimentasi setempat-setempat, serta dijumpai

pula adanya dataran banjir. Sedangkan sungai tua (old age river) memiliki

karakteristik berupa profil sungai memiliki kemiringan landai dan sangat luas,

lebar lembah lebih luas dibandingkan dengan meander belts, arus sungai lemah

yang disertai dengan sedimentasi, erosi lateral mendominasi, dijumpai adanya

oxbow lake atau danau tapal kuda.

Sungai utama yang mengalir pada daerah penelitian yaitu Sungai Motewe,

Sugai Pohorua dan Sungai Lebo umumnya mempunyai pola aliran yang berkelok,

lebar dan bentuk profil penampang lembahnya menyerupai “U” sampai “V”

tumpul. Hal ini menandakan erosi vertikal yang diimbangi dengan erosi ke arah

lateral. Sungai ini memiliki sedimentasi sungai berupa channel bar dan point bar

dan semakin lebar ke arah hilir.

Foto 2.25 Kenampakan Sungai Pohorua dengan penampang sungai


berbentuk “U” difoto N 315o E pada stasiun 3 daerah Pohorua

36
Foto 2.26 Kenampakan Sungai Motewe dengan penampang sungai
berbentuk “U” dan terdapat point bar difoto N 193o E pada
stasiun 48 daerah Batulo

Sedangkan anak sungai utama dan sungai di bagian timur penelitian

umumnya memperlihatkan pola saluran yang lurus, relatif sempit dan bentuk

profil penampang lembahnya menyerupai “V”. Hal ini menandakan bahwa erosi

vertikal lebih dominan dibandingkan dengan erosi lateral.

Foto 2.27 Kenampakan Sungai Motewe dengan penampang sungai


berbentuk “V” difoto N 340o E pada stasiun 36 daerah Lapole

37
Foto 2.28 Kenampakan Sungai Mutui dengan penampang sungai berbentuk
“V” difoto N 265o E pada stasiun 21 daerah Latompa

Sungai pada derah penelitian umumnya disusun oleh batugamping dan

batulempung yang memiliki tingkat resistensi yang sama. Berdasarkan data-data

lapangan tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa stadia sungai pada daerah

penelitian adalah stadia muda menjelang dewasa.

2.2.3 Stadia Daerah

Menurut Thornbury (1969) penentuan stadia suatu daerah harus

memperlihatkan hasil kerja proses-proses geomorfologi yang diamati pada

bentuk-bentuk permukaan bumi yang dihasilkan dan didasarkan pada siklus erosi

dan pelapukan yang bekerja pada suatu daerah mulai saat terangkatnya hingga

pada terjadinya perataan bentangalam.

Pada kenampakan morfologi daerah penelitian yang diamati dilapangan,

didominasi oleh morfologi perbukitan bergelombang pada daerah timur daerah

penelitian dengan sudut lereng rata – rata 8o – 37o dan persentase sudut lereng

38
sebesar 13% – 77%. Sedangkan, pada bagian barat daerah penelitian

memperlihatkan morfologi pedataran dengan sudut lereng rata–rata 0 – 6o dan

persentase sudut lereng sebesar 0 – 13%.

Tingkat pelapukan yang relatif sedang – tinggi dibuktikan dengan

keterdapatan soil yang relatif tebal antara 50 – 300 cm. Ketebalan soil ini juga

berpengaruh terhadap proses pengikisan atau perataan bukit pada daerah

penelitian sehingga dijumpai hasil gully erosion, serta gerakan tanah pada

permukaan lereng-lereng bukit. Jenis pelapukan yang terjadi adalah pelapukan

kimia, fisika dan biologi. Tingkat pelapukan yang tinggi juga dapat dilihat melalui

kenampakan vegetasi tutupan lahan daerah penelitian yang banyak dimanfaatkan

sebagai daerah perkebunan. Faktor ketebalan soil yang tinggi menjadi faktor

utama pembukaan lokasi bercocok tanam oleh penduduk setempat.

Pada sungai utama umumnya profil penampangnya berbentuk “U” yang

diakibatkan oleh erosi lateral yang lebih dominan. Terdapat pula endapan sungai

pada sungai utama dengan ukuran material pasir sampai bongkah yang dijumpai

sepanjang sungai membentuk point bar dan channel bar. Sedangkan pada anak

sungai utama umumnya profil penampangnya berbentuk “V” yang diakibatkan

oleh erosi vertikal yang lebih dominan. Kenampakan tersebut menunjukkan

bahwa daerah penelitian memiliki tingkat erosi relatif sedang sampai tinggi yang

dapat diamati pada proses pengikisan lembah-lembah sungai yang menghasilkan

bentuk melintang sungai dengan seimbangnya antara erosi lateral dan erosi

vertikal.

39
Berdasarkan analisis pada daerah penelitian yang dijumpai di lapangan

maka dapat disimpulkan bahwa stadia daerah penelitian telah berada pada stadia

muda menjelang dewasa.

40

Anda mungkin juga menyukai