GEOMORFOLOGI
Buton dapat dibagi menjadi tiga zona (Gambar 2.1) berdasarkan fisiografi
• Zona Buton Utara, yang didominasi oleh dataran rendah dan punggungan
baratlaut – tenggara.
dengan tren ke arah utara, sedangkan sepanjang pantai barat terdiri dari
• Zona Buton Selatan, terdiri dari topografi yang berupa lembah dan bukit
12
Dari analisa data penginderaan jauh terlihat adanya terumbu yang tumbuh
dibagian selatan Pulau Buton dan adanya estuarin yang tenggelam dan atoll yang
turun dibagian utara. Hal ini diinterpretasikan sebagai bukti bahwa bagian utara Pulau
Buton mengalami penurunan relatif terhadap bagian selatan Pulau Buton (Davidson,
1991)
Gambar 2.1 Pembagian zona fisiografi dan provinsi geomorfologi Pulau Buton
bentangalam, relief, tingkat dan jenis pelapukan, tipe erosi, jenis gerakan tanah,
13
soil, analisis sungai yang meliputi ; jenis sungai, pola aliran sungai, klasifikasi
sungai dan tipe genetik sungai. Berdasarkan dari kumpulan data di atas yang
dijumpai di lapangan, serta interpretasi peta topografi dan studi literatur yang
mengacu pada teori dari beberapa ahli maka dapat diketahui stadia daerah
penelitian.
proses serta mencari hubungan antara bentuk lahan dan proses dalam susunan
keruangannya.
Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk lahan atau bentang
proses – proses alami yang komposisi tertentu dan karakteristik fisikal dan visual
Kajian bentuk lahan disebut juga kajian morfologi yang mempelajari relief
secara umum, meliputi aspek bentuk suatu daerah (morfografi) dan ukuran-ukuran
14
kuantitatif dari suatu daerah (morfometri). Kajian proses geomorfologi
pendek serta proses terbentuknya bentuk laban. Kajian yang menekankan pada
lingkungan dalam hal ini unsur-unsur bentang alam yaitu tanah, batuan, dan air
(Lihawa, 2009).
1. Proses geomorfik yang bekerja pada masa lampau juga berkerja pada masa
sekarang.
nyata pada bentuk lahan, dan setiap proses geomorfologi akan membangun
3. Akibat perbedaan tenaga erosi yang bekerja pada permukaan bumi, maka
15
Pendekatan secara morfogenetik yaitu mengelompokkan bentangalam
terhadap analisis lahan untuk tujuan tertentu, seperti tingkat erosi, kestabilan
kemiringan lereng yang digunakan yaitu berdasar pada klasifikasi van Zuidam
(1985). Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut dibawah ini.
Tabel 2.1 Klasifikasi satuan bentang alam berdasarkan sudut lereng dan beda tinggi
(van Zuidam, 1985).
Sudut Lereng Beda Tinggi
Satuan Relief
(%) (meter)
Datar atau hampir datar 0–2 <5
Bergelombang/ miring landai 3–7 5 – 50
Bergelombang/ miring 8 – 13 51 – 75
Berbukit bergelombang/ miring 14 – 20 76 – 200
Berbukit tersayat tajam/ terjal 21 – 55 200 – 500
Pegunungan tersayat tajam 55 – 140 500 – 1000
Pegunungan sangat curam > 140 > 1000
16
Tabel 2.2 Kelas lereng, dengan sifat-sifat proses dan kondisi alamiah yang kemungkinan
terjadi dan usulan warna untuk peta relief secara umum (disadur dan
disederhanakan dari Van Zuidam, 1985 dalam Noor, 2012)
Sifat-sifat Proses dan Kondisi Alamiah Warna
Kelas Lereng
00 – 20 Datar hingga hampir datar; tidak ada proses denudasi yang berarti
Hijau
(0 – 2) %
Agak miring; Gerakan tanah kecepatan rendah, erosi lembar dan
20 – 40 erosi alur (sheet and rill erosion). Hijau
(2 – 7) % rawan erosi Muda
17
2.2.1.1 Satuan Morfologi Pedataran
yang terjadi baik proses geomorfologi yang masih berlangsung maupun yang telah
berlangsung.
dari luas keseluruhan daerah penelitian. Satuan ini membentang dari utara hingga
selatan pada bagian barat daerah penelitian yang meliputi desa Latompa pada
bagian utara hingga desa Pohorua pada bagian Selatan dan juga meliputi sungai
utama yang berada pada daerah penelitian, yakni Lano Pohorua dan Lano
Motewe.
relatifnya maka bentuk topografi atau relief satuan dapat digolongkan dalam relief
bentuk topografi berupa relief yang datar atau hampir datar (bergelombang)
18
Foto 2.1 Kenampakan satuan morfologi pedataran. Difoto ke arah N 128 0E
dari stasiun 65 di daerah Latompa
sedang hingga tinggi. Erosi yang bekerja didominasi oleh erosi lateral, dan juga
pengendapan. Litologi penyusun pada satuan ini yaitu batugamping terumbu dan
batulempung
temperatur pada udara, atau akibat dari pengisian air pada rekahan dan pori – pori
terjadinya perubahan ukuran batuan menjadi blok, potongan dan partikel yang
lebih kecil (Lobeck, 1939). Hasil dari pelapukan fisika ini dapat dilihat di
lapangan berupa fragmen – fragmen yang lepas dari batuan asalnya (foto 2.2).
Selain itu dijumpai pula pelapukan kimia yang ditandai dengan perubahan warna
pada litologi Batugamping yang semula putih menjadi hitam yang disebabkan
19
Foto 2.2 Singkapan batugamping yang mengalami pelapukan. Difoto ke
arah N 195oE pada stasiun 16 (daerah Latompa)
litologi batugamping (foto 2.4), dimana terdapat adanya rekahan – rekahan yang
20
Foto 2.4 Singkapan batulempung yang mengalami pelapukan. Difoto
ke arah N 195oE pada stasiun 48 daerah Batulo
Secara umum tipe soil pada daerah penelitian berupa residual soil (Foto
2.5) yang terbentuk dari hasil pelapukan batuan yang ada di bawahnya dengan
Jenis erosi yang berkembang pada daerah penelitian berupa erosi saluran
(gully erosion) (Foto 2.6). Gully erosion merupakan erosi berbentuk saluran
21
dengan ukuran lebar tidak lebih dari 1 meter dan telah mengalami pelebaran ke
Foto 2.6 Kenampakan Gully erosion difoto arah N 155o E pada daerah
Latompa (stasiun 16).
Proses sedimentasi yang ada pada satuan bentangalam ini yaitu adanya
endapan sungai berupa point bar (Foto 2.7) dengan ukuran material berupa pasir
halus – bongkah.
Foto 2.7 Kenampakan point bar difoto arah N 260o E pada daerah
Pohorua (dekat stasiun 1)
Pemanfaatan satuan bentangalam ini oleh warga setempat digunakan
22
Foto 2.8 Kenampakan pemukiman dan perkebunan kelapa difoto arah
N 210oE pada daerah Pohorua.
yang terjadi baik proses geomorfologi yang masih berlangsung maupun yang telah
berlangsung.
dari luas keseluruhan daerah penelitian. Satuan ini membentang dari utara hingga
selatan pada bagian barat daerah penelitian yang meliputi desa Latompa pada
bagian utara hingga desa Pohorua pada bagian Selatan dan juga meliputi sungai
utama yang berada pada daerah penelitian, yakni Lano Lebo, Lano Mutui, Lano
lereng rata – rata yaitu 8 – 37o persentase sudut lereng sebesar 13 – 77% dengan
beda tinggi 530 meter di atas permukaan laut, sehingga berdasarkan ketinggian
23
relatifnya maka bentuk topografi atau relief satuan dapat digolongkan dalam relief
perbukitan.
proses pelapukan dan erosi. Litologi penyusun pada satuan ini yaitu batugamping,
temperatur pada udara, atau akibat dari pengisian air pada rekahan dan pori – pori
terjadinya perubahan ukuran batuan menjadi blok, potongan dan partikel yang
lebih kecil (Lobeck, 1939). Hasil dari pelapukan fisika ini dapat dilihat di
lapangan berupa fragmen – fragmen yang lepas dari batuan asalnya (Foto 2.10)
24
Foto 2.10 Singkapan batulempung yang mengalami pelapukan. Difoto ke
arah N 30oE pada stasiun 10 (daerah Pohorua)
Selain itu dijumpai pula pelapukan kimia yang ditandai dengan perubahan
warna pada litologi batugamping yang semula putih menjadi hitam yang
litologi batugamping (foto 2.12), dimana terdapat adanya rekahan – rekahan yang
25
Foto 2.12 Singkapan batugamping yang mengalami pelapukan. Difoto ke
arah N 135oE pada stasiun 28
Secara umum tipe soil pada daerah penelitian berupa residual soil yang
terbentuk dari hasil pelapukan batuan yang ada di bawahnya dengan ketebalan
(gully erosion) (Foto 2.14). Gully erosion merupakan erosi berbentuk saluran
dengan ukuran lebar tidak lebih dari 1 meter dan telah mengalami pelebaran ke
26
Foto 2.14 Kenampakan gully erosion pada Litologi Batugamping difoto arah
N 30o E pada stasiun 6 (daerah Pohorua)
Proses sedimentasi yang ada pada satuan bentangalam ini yaitu adanya
endapan sungai berupa point bar (Foto 2.15) dan channel bar (Foto 2.16) dengan
Foto 2.15 Kenampakan endapan point bar difoto arah N243oE pada daerah
Lano Lebo (stasiun 19)
27
Foto 2.16 Kenampakan endapan channel bar difoto arah N340oE pada
daerah Lano Lebo (stasiun 20)
Jenis gerakan tanah yang dijumpai pada satuan bentangalam ini yaitu debris
slide (Foto 2.17). Debris slide merupakan luncuran dari campuran masa tanah dan
batuan yang sangat cepat ke arah kaki lereng dari material tanah yang tidak
terkonsolidasi (debris) dan hasil luncuran ini ditandai oleh suatu bidang rotasi
Foto 2.17 Kenampakan gerakan tanah debris slide difoto arah N35oE daerah
Pohorua (sekitar stasiun 5)
28
Foto 2.18 Pemanfaatan lahan sebagai areal perkebunan jagung. Difoto ke
arah N 95o E pada daerah Raimuna (sekitar stasiun 26)
2.2.2 Sungai
Sungai adalah tempat air mengalir secara alamiah membentuk suatu pola
didasarkan pada kandungan air yang mengalir pada tubuh sungai sepanjang
waktu. Pola aliran sungai dikontrol oleh beberapa faktor seperti kemiringan
tentang hubungan arah aliran sungai dan kedudukan batuan. Dari hasil
pembahasan di atas maka pada akhirnya dapat dilakukan penentuan stadia sungai
daerah penelitian.
dua yaitu sungai internal dan sungai eksternal. Sungai internal adalah sungai yang
alirannya berasal dari bawah permukaan seperti terdapat pada daerah karst,
29
endapan eolian, atau gurun pasir; sedangkan sungai eksternal adalah sungai yang
alirannya berasal dari aliran air permukaan yang membentuk sungai, danau, dan
rawa. Berdasarkan kandungan air pada tubuh sungai, sungai dibagi menjadi tiga
airnya tergantung pada musim, dimana pada musim hujan debit airnya menjadi
besar dan pada musim kemarau debit airnya menjadi kecil; sedangkan sungai
episodik adalah sungai yang hanya dialiri air pada musim hujan, pada musim
30
Foto 2.20 Kenampakan anak Sungai Pohorua yang merupakan jenis sungai
periodik pada stasiun 58 difoto arah N 270o E
Foto 2.21 Kenampakan anak Sungai Lebo yang merupakan jenis sungai
periodik pada stasiun 19 difoto arah N 320o E
termasuk dalam sungai eksternal dan berdasarkan kandungan airnya pada tubuh
31
2.2.2.2 Pola Aliran Sungai
Pola Aliran Sungai adalah kumpulan dari sungai yang mempunyai bentuk
sama, yang dapat menggambarkan keadaan profil dan genetik sungainya (Lobeck,
1939).
beberapa individu sungai yang saling berhubungan membentuk suatu pola dalam
kesatuan ruang (Thornbury, 1969). Pola aliran sungai sangat dikontrol oleh
Cotton (1940) menyatakan bahwa letak, bentuk dan arah aliran sungai,
dipengaruhi antara lain oleh lereng dan ketinggian, perbedaan erosi, struktur jenis
pola aliran sungai termasuk dalam pola aliran dasar (basic pattern) yaitu
merupakan pola aliran yang mempunyai karakteristik khas yang bisa dibedakan
pola aliran pada daerah penelitian termasuk dalam jenis pola aliran subdendritik.
Penyebaran pola aliran subdendritik yang meliputi Sungai Lebo, sungai Motewe
terlalu banyak.
32
Pola aliran subdendritik pada daerah penelitian mencerminkan kekerasan
batuan yang sama (homogenitas batuan) atau soil seragam, lapisan sedimen
horizontal atau miring landai. Pola aliran ini berkembang pada litologi
Tipe genetik sungai merupakan salah satu jenis sungai yang didasarkan
atas genesanya yang merupakan hubungan antara arah aliran sungai dan terhadap
Tipe genetik sungai yang terdapat pada daerah penelitian terdiri atas :
Tipe genetik sungai subsekuen merupakan tipe genetik sungai yang arah
aliran sungainya mengalir searah jurus perlapisan batuan (strike). Tipe genetik ini
dijumpai pada sungai Mutui (stasiun 19) dengan litologi batulempung (Foto 2.22)
Tipe genetik sungai konsekuen merupakan tipe genetik sungai yang arah
aliran sungainya mengalir searah dengan kemiringan lapisan batuan (dip). Tipe
genetik ini dijumpai pada sungai Motewe (stasiun 36) dengan litologi
Tipe genetik sungai obsekuen merupakan tipe genetik sungai yang arah
alirannya berlawanan dengan kemiringan lapisan batuan (dip). Tipe genetik ini
dijumpai pada sungai Motewe (stasiun 55) dengan litologi batulempung (Foto
2.24).
33
Foto 2.22 Aliran subsekuen dengan litologi batulempung pada anak
sungai Lebo difoto arah N 250o E pada stasiun 19 daerah
Latompa
34
Foto 2.24 Aliran obsekuen dengan litologi batugamping pada sungai
Motewe difoto arah N 100o E pada stasiun 55 daerah Lapole
lapangan berupa profil lembah sungai, pola saluran sungai, jenis erosi yang
Thornbury (1969) membagi stadia sungai kedalam tiga jenis yaitu sungai
muda (young river), dewasa (mature river), dan tua (old age river).Sungai muda
bebatuan, dengan dinding yang sempit dan curam, terkadang dijumpai air terjun,
aliran air yang deras, dan biasa pula dijumpai potholes yaitu lubang-lubang yang
dalam dan berbentuk bundar pada dasar sungai yang disebabkan oleh batuan yang
terbawa dan terputar-putar oleh arus sungai. Selain itu, pada sungai muda (young
river) proses erosi masih berlangsung dengan kuat karena kecepatan dan volume
air yang besar dan deras yang mampu mengangkut material-material sedimen dan
diwaktu yang sama terjadi pengikisan pada saluran sungai tersebut. Karakteristik
35
sungai dewasa (mature river) biasanya sudah tidak ditemukan adanya air terjun,
arus air relatif sedang, dan erosi yang bekerja relatif seimbang antara erosi vertikal
pula adanya dataran banjir. Sedangkan sungai tua (old age river) memiliki
karakteristik berupa profil sungai memiliki kemiringan landai dan sangat luas,
lebar lembah lebih luas dibandingkan dengan meander belts, arus sungai lemah
Sungai utama yang mengalir pada daerah penelitian yaitu Sungai Motewe,
Sugai Pohorua dan Sungai Lebo umumnya mempunyai pola aliran yang berkelok,
lebar dan bentuk profil penampang lembahnya menyerupai “U” sampai “V”
tumpul. Hal ini menandakan erosi vertikal yang diimbangi dengan erosi ke arah
lateral. Sungai ini memiliki sedimentasi sungai berupa channel bar dan point bar
36
Foto 2.26 Kenampakan Sungai Motewe dengan penampang sungai
berbentuk “U” dan terdapat point bar difoto N 193o E pada
stasiun 48 daerah Batulo
umumnya memperlihatkan pola saluran yang lurus, relatif sempit dan bentuk
profil penampang lembahnya menyerupai “V”. Hal ini menandakan bahwa erosi
37
Foto 2.28 Kenampakan Sungai Mutui dengan penampang sungai berbentuk
“V” difoto N 265o E pada stasiun 21 daerah Latompa
lapangan tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa stadia sungai pada daerah
bentuk-bentuk permukaan bumi yang dihasilkan dan didasarkan pada siklus erosi
dan pelapukan yang bekerja pada suatu daerah mulai saat terangkatnya hingga
penelitian dengan sudut lereng rata – rata 8o – 37o dan persentase sudut lereng
38
sebesar 13% – 77%. Sedangkan, pada bagian barat daerah penelitian
keterdapatan soil yang relatif tebal antara 50 – 300 cm. Ketebalan soil ini juga
penelitian sehingga dijumpai hasil gully erosion, serta gerakan tanah pada
kimia, fisika dan biologi. Tingkat pelapukan yang tinggi juga dapat dilihat melalui
sebagai daerah perkebunan. Faktor ketebalan soil yang tinggi menjadi faktor
diakibatkan oleh erosi lateral yang lebih dominan. Terdapat pula endapan sungai
pada sungai utama dengan ukuran material pasir sampai bongkah yang dijumpai
sepanjang sungai membentuk point bar dan channel bar. Sedangkan pada anak
bahwa daerah penelitian memiliki tingkat erosi relatif sedang sampai tinggi yang
bentuk melintang sungai dengan seimbangnya antara erosi lateral dan erosi
vertikal.
39
Berdasarkan analisis pada daerah penelitian yang dijumpai di lapangan
maka dapat disimpulkan bahwa stadia daerah penelitian telah berada pada stadia
40