Anda di halaman 1dari 29

BAB II

GEOMORFOLOGI

2.1. Geomorfologi Regional

Geomorfologi regional daerah penelitian dapat dibagi menjadi 4 (empat)

satuan, yaitu pegunungan, perbukitan, daerah kars dan dataran rendah

(Simandjuntak, dkk, 1993).

Daerah pegunungan tersebar di bagian barat dan bagian timur lembar peta

dan sebagian di Pulau Kabaena (Gunung Sambapalulli). Ketinggian medan antara

600 dan 1550 m di atas permukaan laut dengan lereng yang umumnya curam.

Puncaknya antara lain G. Mendoke (981 m), G. Makaleo (783 M), G. Baito (716

m), G. Todoha (858) dan G. Sambapalulli (1550). Sungai di daerah ini

membentuk banyak percabangan dan beberapa tempat membentuk pola sejajar.

Lembahnya banyak yang curam dan berbentuk V.

Perbukitan terdapat di tiga daerah. Bagian pertama berada di barat lembar

peta, terbentang hampir utara-selatan serta di bagian timur lembar yang berbanjar

barat-timur dan di Pulau Kabaena. Ketinggiannya berkisar dari 100 hingga 600 m

diatas muka laut. Pola aliran sungai umumnya memperlihatkan percabangan

dengan dasar lembah yang agak datar dan memperlihatkan pengikisan kesamping

yang lebih kuat.

Daerah Kars terdapat di beberapa bagian lembar peta, terutama diantara

Boepinang dan Toari, dekat Pudaria hingga Kolo, Teluk Wawosungu hingga

Tanjung Kolono, Lalonggosumate hingga Parasi dan sebagian di Pulau Kabaena.

Ketinggiannya mencapai hampir 700 m diatas muka laut. Kras di Pulau Kabaena

14
15

bahkan melebihi 1000 m. Satuan ini umumnya dibentuk oleh batugamping dengan

pola aliran secara umum banyak percabangan dan setempat terdapat di bawah

tanah.

Daerah dataran rendah menempati bagian tengah lembar peta, beberapa

tempat terdapat dekat pantai. Satuan ini memiliki ketinggian hingga 150 m dari

muka laut.

2.2 Geomorfologi Daerah Penelitian

Geomorfologi daerah penelitian membahas mengenai kondisi

geomorfologi meliputi pembagian satuan geomorfologi, jenis pola aliran sungai,

klasifikasi sungai, tipe genetik dan stadia sungai pada daerah penelitian yang

akhirnya dapat diketahui stadia daerah penelitian. Pembahasan terhadap unsur-

unsur geomorfologi tersebut berdasarkan pada kondisi geologi di lapangan, hasil

interprestasi peta topografi, studi literatur yang mengacu pada konsep dasar

geomorfologi yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli sehingga dapat dibuat

kesimpulan tentang stadia daerah penelitian.

Pembagian satuan geomorfologi serta analisis kondisi geomorfologi pada

daerah penelitian digunakan beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan

suatu bentangalam. Faktor tersebut adalah proses-proses geomorfologi, stadia dan

jenis batuan penyusun daerah tersebut, serta struktur geologi (Thornbury, 1969).

2.2.1 Satuan Geomorfologi

Menurut Thornbury (1969), geomofologi didefinisikan sebagai ilmu

tentang bentuk lahan. Menurut Lobeck (1939), geomorfologi juga didefinisikan


16

sebagai studi tentang bentuk lahan. Sedangkan menurut Van Zuidam et al. (1985),

geomorfologi didefinisikan sebagai studi yang mendeskripsi bentuk lahan dan

proses serta mencari hubungan antara bentuk lahan dan proses dalam susunan

keruangannya. Dari beberapa definisi para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan

bahwa geomorfologi adalah ilmu yang mendeskripsi secara genetis bentuk lahan

dan proses – proses yang dipengaruhi oleh batuannya dan mencari korelasi

hubungan antara bentuk – bentuk lahan tersebut dengan proses – proses dalam

susunan keruangannya yang membentuk bentang alam tersebut.

Proses geomorfologi merupakan perubahan-perubahan baik secara fisik

maupun kimiawi yang dialami permukaan bumi. Penyebab dari proses perubahan

tersebut dikenal sebagai agen geomorfologi, yang disebabkan oleh faktor tenaga

asal dalam (endogen) dan tenaga asal luar (eksogen). Proses endogen ini meliputi

vulkanisme, pembentukan pegunungan lipatan, patahan yang cenderung untuk

bersifat membangun (bersifat konstruktif), sedangkan proses eksogen meliputi

erosi, abrasi, gerakan tanah, pelapukan (kimia, fisika, biologi), serta campur

tangan manusia yang cenderung bersifat merusak (bersifat destruktif).

Kenampakan bentangalam dari suatu daerah merupakan hasil akhir dari proses-

proses geomorfologi yang bekerja (Thornbury, 1969).

Dasar penamaan satuan bentang alam daerah penelitian didasarkan pada dua

aspek pendekatan yaitu pendekatan morfografi dan pendekatan morfogenesa.

Pendekatan morfografi, yaitu pendekatan yang didasarkan pada bentuk permukaan

bumi yang dijumpai di lapangan yakni berupa topografi perbukitan dan

pegunungan. Aspek bentukan ini perlu memperhatikan beberapa parameter dari


17

setiap topografi seperti bentuk puncak, bentuk lembah, dan bentuk lereng yang

dijumpai di lapangan. Pendekatan morfogenesa (genetik) yaitu pendekatan

berdasarkan asal-usul pembentukan atau proses yang membentuk bentangalam di

permukaan bumi, dengan proses pembentukan yang utamanya dikontrol oleh proses

endogen. Selain itu pendekatan morfogenesa dapat pula diinterpretasikan melalui

garis kontur, dimana kontur pada peta lokasi penelitian memperlihatkan kumpulan

kontur yang mempunyai arah-arah yang memanjang. Berdasarkan pembahasan

diatas, maka dapat diinterpretasikan bahwa morfogenesa yang bekerja pada daerah

penelitian berupa struktural.

Berdasarkan kedua pendekatan diatas maka daerah penelitian dapat dibagi

menjadi dua satuan bentangalam yaitu :

1. Satuan Geomorfologi Pegunungan Struktural

2. Satuan Geomorfologi Perbukitan Denudasional

3. Satuan Geomorfologi Pedataran Fluvial

Penjelasan dari setiap satuan bentangalam akan dibahas dalam uraian

berikut ini :

2.2.1.1 Satuan Geomorfologi Pegunungan Struktural

Satuan geomorfologi pegunungan struktural menempati sekitar 20% dari

seluruh daerah penelitian dengan luas 13,11 km2. Satuan geomorfologi ini

meliputi bagian barat, dan selatan daerah penelitian yang mencakup daerah

Tangkeno dan Batusangia. Pada lampiran peta geomorfologi satuan ini ditandai

dengan warna ungu tua.


Gambar 2.1 Kenampakan bentang alam pegunungan vulkanik di daerah Bulu Sirua di foto ke arah N 320 o E

14
Secara umum kenampakan topografi untuk satuan ini dengan puncak

tertinggi 1000 meter diatas permukaan laut, bentuk puncak lancip dengan lembah,

(Gambar 2.1)

Analisis morfogenesa daerah penelitian merupakan analisis terhadap

karakteristik bentukan alam hasil dari proses-proses yang merubah bentuk muka

bumi. Adapun proses morfogenesa yang bekerja pada satuan geomorfologi ini

merupakan morfogenesa struktural.

Dapat ditandai dengan ditemukannya struktur lipatan, kekar dan sesar

berupa sesar naik. Dalam proses pembentukan geomorfologi dipengaruhi oleh

litologi, proses-proses diatropisma, struktur-struktur geologi yang dihasilkannya

dan proses pelapukan.

Proses geomorfologi yang dominan pada satuan geomorfologi ini berupa

proses pelapukan, erosi dan gerakan tanah. Jenis pelapukan yang umum djumpai

pada geomorfologi ini yaitu pelapukan kimia dan biologi. Pelapukan kimia pada

bentangalam ini ditandai dengan adanya perubahan warna pada litologi peridotit

yang semula berwarna abu-abu kehijauan berubah menjadi berwarna coklat

kemerahan (Gambar 2.2) karena adanya perubahan komposisi kimia dari batuan

tersebut dan pada akhirnya akan menjadi soil. Pelapukan biologi terjadi oleh

adanya pertumbuhan akar dan batang tumbuhan melalui retakan pada batuan dan

kemudian memberikan tekanan ke segala arah, akibatnya batuan akan pecah-

pecah menjadi fragmen- fragmen (Gambar 2.3).

14
15

Tingkat pelapukan pada daerah penelitian adalah sedang-tinggi yang

ditandai dengan ketebalan soil yang dijumpai yaitu ±1,5 meter dengan warna soil

coklat kemerahan dan jenis soil yang dijumpai adalah residual soil yang terbentuk

dari hasil lapukan batuan dibawahnya (Gambar 2.4).

Gambar 2.2 Pelapukan kimia berupa spheroidal whethering, pada


stasiun 2 difoto relatif arah N 216o E
16

Gambar 2.3 Pelapukan biologi yang menunjukkan adanya rekahan-


rekahan pada litologi breksi vulkanik yang diakibatkan
oleh pertumbuhan akar pohon pada stasiun 47 difoto
relatif arah N 279o E

Gambar 2.4 Hasil residual soil dengan tebal ± 1,5 meter pada
daerah Tangkeno difoto relatif ke arah N 240°E pada
stasiun 20

Jenis erosi yang berkembang pada satuan geomorfologi ini adalah jenis

erosi parit (gully erosion) (Gambar 2.5), merupakan erosi lateral yang bekerja

selama proses pembentukan geomorfologi pada daerah penelitian. Gully erosion

merupakan erosi berbentuk saluran dengan ukuran lebar tidak lebih dari 1 meter

dan telah mengalami pelebaran ke samping (Djauhari, 2010).

Gerakan tanah yang dijumpai berupa rock slide yang ditandai dengan

adanya gerakan batuan atau bongkah batuan yang melalui suatu bidang gelincir

dengan ukuran material bongkah hingga kerikil (Gambar 2.6).

Satuan geomorfologi ini disusun oleh litologi batusabak, peridotite, dan

sebagian marmer. Tata guna lahan pada daerah ini sebagai area pemukiman,

tempat wisata, dan hutan (Gambar 2.7 dan Gambar 2.8).


17

Gambar 2.5 Gully erosion pada timur laut desa Tirongkotua pada
stasiun 15 difoto relative arah N 200o E.

Gambar 2.6 Gejala gerakan tanah berupa rock slide pada stasiun 41 difoto
arah N 115o E.
18

Gambar 2.7 Tata guna lahan berupa pemukiman desa Tangkeno


pada stasiun 19 difoto arah N 311o E.

Gambar 2.8 Tata guna lahan berupa tempat wisata pada desa
Tangkeno pada stasiun 22 difoto arah N 256o E.

2.2.1.2 Satuan Geomorfologi Perbukitan Struktural

Satuan geomorfologi perbukitan struktural menempati sekitar 50,22% dari

seluruh daerah penelitian dengan luas 50,22km2. Satuan geomorfologi ini meliputi
19

bagian utara, dan barat daya daerah penelitian yang mencakup daerah Lamonggi,

Watuburi, Waombu dan daerah Tirongkotua. Pada lampiran peta geomorfologi

satuan ini ditandai dengan warna ungu muda.

Secara umum kenampakan topografi dari satuan ini digambarkan oleh

bentuk kontur yang renggang dan memanjang, dengan puncak tertinggi 479 meter

diatas permukaan laut, bentuk puncak cembung (tumpul) dengan lembah

berbentuk huruf “U”, (Gambar 2.9)

Gambar 2.9 Kenampakan geomorfologi perbukitan struktural difoto dari daerah Tangkeno
dengan arah foto N 600 E

Analisis morfogenesa daerah penelitian merupakan analisis terhadap

karakteristik bentukan alam hasil dari proses-proses yang merubah bentuk muka

bumi. Adapun proses morfogenesa yang bekerja pada satuan geomorfologi ini

merupakan morfogenesa struktural.

Dapat ditandai dengan ditemukannya struktur kekar dan sesar berupa sesar

geser. Dalam proses pembentukan geomorfologi dipengaruhi oleh litologi, proses-

proses diatropisma, struktur-struktur geologi yang dihasilkannya dan proses

pelapukan.
20

Proses geomorfologi yang dominan pada satuan geomorfologi ini berupa

proses pelapukan, dan erosi. Jenis pelapukan yang terjadi umumnya pelapukan

kimia dan biologi dengan tingkat pelapukan sedang hingga tinggi. Pelapukan

kimia ditandai dengan adanya perubahan warna pada litologi marmer dan litologi

sekis pada daerah penelitian. Perubahan warna pada batuan disebabkan karena

adanya perubahan komposisi kimia dari batuan tersebut dan pada akhirnya akan

menjadi soil (Gambar 2.10 dan Gambar 2.11). Pelapukan biologi terjadi oleh

adanya pertumbuhan akar dan batang tumbuhan melalui retakan pada batuan dan

kemudian memberikan tekanan ke segala arah, akibatnya batuan akan pecah-

pecah menjadi fragmen- fragmen (Gambar 2.12).

Gambar 2.10 Pelapukan kimia yang menunjukkan perubahan warna


pada litologi marmer, pada stasiun 70 difoto relatif arah N
336o E
21

Gambar 2.11 Pelapukan kimia yang menunjukkan perubahan warna


pada litologi sekis mika, pada stasiun 68 difoto relatif arah
N 240oE

Gambar 2.12 Pelapukan biologi yang menunjukkan adanya rekahan-


rekahan pada litologi batusabak yang diakibatkan oleh
pertumbuhan akar pohon pada stasiun 4 difoto relatif arah N
30o E

Tingkat pelapukan pada daerah penelitian adalah sedang-tinggi yang

ditandai dengan ketebalan soil yang dijumpai yaitu ±2 meter dengan warna soil
22

coklat kemerahan dan jenis soil yang dijumpai adalah residual soil yang terbentuk

dari hasil lapukan batuan dibawahnya (Gambar 2.13).

Jenis erosi yang berkembang pada daerah penelitian berupa erosi alur (rill

erosion) (Gambar 2.14). Rill erosion adalah erosi yang berbentuk alur yang tidak

lebih dari 50 cm dan belum mengalami pelebaran.

Gambar 2.13 Hasil residual soil dengan tebal ± 2 meter pada daerah
Lamonggi difoto relatif ke arah N 240°E pada stasiun 68
23

Gambar 2.14 Rill erosion pada selatan Desa Tirongkotua pada stasiun
4 difoto relative arah N25o E.
Proses gerakan tanah yang dapat dijumpai berupa debris slide atau

perpidahan material campuran batuan dan tanah pada bidang gelincir, land slide

atau perpindahan material yang didominasi oleh soil pada bidang gelincirnya

(Gambar 2.15). Proses gerakan tanah ini banyak ditemukan pada daerah lereng

yang relatif terjal. Hal itu disesbabkan karena pada daerah dengan lereng terjal,

kemiringan lereng akan semakin besar. Dengan bertambahnya kemiringan lereng,

maka kondisi tanah akan semakin tidak stabil, menyebabkan terjadinya gerakan

tanah.
24

Gambar 2.15 Kenampakan gejala gerakan tanah berupa debris slide


pada stasiun 45 difoto arah N 164o E.

2.2.1.2 Satuan Geomorfologi Pedataran Fluvial

Satuan geomorfologi pedataran fluvial menempati sekitar 4% dari

seluruh daerah penelitian dengan luas 2,5 km 2. Satuan geomorfologi ini meliputi

bagian Timur Laut daerah penelitian yang mencakup daerah sekitar gunung

Watuburi. Pada lampiran peta geomorfologi satuan ini ditandai dengan warna biru

muda.

Satuan geomorfologi ini dicirikan dengan kenampakan topografi yang

relatif datar, tersusun oleh material hasil sedimentasi sungai yang berukuran

lempung, pasir, hinnga bongkahan-bongkahan dan tidak tersortasi dengan baik.

Material-material tersebut berasal dari batuan-batuan yang berada di bukit-bukit

sekitar dataran ini. Hal ini dapat diketahui dengan melihat bongkahan-bongkahan

batuan yang terbawa oleh arus sungai. Umumnya batuan-batuan yang berada di

bukit-bukit sekitar pedataran ini tersusun oleh batuan metamorf berupa sekis.
25

Berdasarkan uraian karakteristik geomorfologi daerah ini maka reliefnya berupa

pedataran. (Gambar 2.16)

Gambar 2.16 Kenampakan geomorfologi pedataran fluvial pada


daerah Watuburi dengan arah foto relative N 600 E

Material hasil erosi dan pelapukan kemudian dibawa oleh aliran sungai-

sungai kecil sehingga terkumpul pada daerah yang rendah pada induk sungai

membentuk endapan endapan sungai seperti point bar atau endapan yang berada

pada tepi sungai, channel bar atau endapan yang berada di tengah-tengah aliran

sungai, dan meander bar atau endapan-endapan yang berada di kelokan-kelokan

sungai. Selain itu terendapkan pula material-material hasil luapan besar air sungai

pada tepian sungai membentuk dataran banjir. Karena kondisi reflief berupa

pedataran, daerah ini umumnya dimanfaatkan sebagai tempat menggembalakan

hewan ternak.

Jenis pelapukan pada satuan geomorfologi ini berupa pelapukan fisika

yaitu proses yang menyebabkan batuan-batuan yang berukuran besar menjadi

material yang berukuran kecil (Gambar 2.17). Proses terjadi pada bongkahan-
26

bongkahan batuan berukuran kerakal sampai lempung yang berada pada sungai di

daerah ini. Proses ini menyebabkan terbentuknya soil yang cukup tebal. yang

menyebabkan bentukan geomorfologi yang relatif datar, tingkat pelapukannya

tinggi dan tingkat erosi yang terjadi relatif sedang sampai tinggi, terjadi di

sepanjang sungai La Watuburi dengan erosi lateral lebih dominan dari erosi

vertikal sehingga dimensi dari penampang sungai semakin besar (Gambar 2.18)

dan bentuk penampang sungai menyerupai huruf “U”.

Berdasarkan kesimpulan terhadap uraian karakteristik morfogenesa pada

daerah penelitian maka asal pembentukan genetik pada daerah pedataran ini

berupa proses fluvial.

Gambar 2.17 Kenampakan tingkat pelapukan fisika pada tepian


sungai La Watuburi difoto relative arah N 142o E.
27

Gambar 2.18 Kenampakan bentuk penampang sungai menyerupai


huruf “U” pada sungai La Watuburi, difoto relative arah
N68o E.

2.2.2 Sungai

Sungai adalah tempat air mengalir secara alamiah membentuk suatu pola

dan jalur tertentu dipermukaan (Thornbury,1969). Pembahasan tentang sungai

pada daerah penelitian meliputi pembahasan tentang klasifikasi sungai yang

didasarkan pada kandungan air yang mengalir pada tubuh sungai sepanjang

waktu. Pola aliran sungai dikontrol oleh beberapa faktor seperti kemiringan

lereng, kontrol struktur, vegetasi dan kondisi iklim. Tipe genetik menjelaskan

tentang hubungan arah alian sungai dan kemiringan batuan. Pembahasan tentang

sungai yang terakhir adalah penentuan stadia sungai pada daerah penelitian.

Sungai yang mengalir pada daerah penelitian yaitu sungai Ee Eemokolo,

terdapat dibagian barat laut daerah penelitian dengan arah aliran barat laut -

tenggara, kemudian sungai La Waombu yang berada di bagian utara daerah


28

penelitian dengan arah aliran relative selatan – utara, sungai Ee Bolonta dengan

arah aliran relative utara – selatan dan sungai Ee Lakambula yang berada dibagian

selatan daerah penelitian dengan arah aliran dari utara – selatan. Pembahasan

tentang sungai yang mengalir pada daerah penelitian meliputi klasifikasi sungai,

jenis pola aliran, tipe genetik, berdasarkan struktur yang bekerja dan stadia sungai,

pembahasan tersebut akan diuraikan dibawah ini.

2.2.2.1 Jenis Sungai

Berdasarkan kandungan air pada tubuh sungai (Thornburry,1969) maka

jenis sungai dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:

 Sungai permanen, merupakan sungai yang volume airnya tetap sepanjang

tahun, tanpa dipengaruhi oleh musim.

 Sungai tidak permanen, merupakan sungai yang volume airnya terus

bertambah pada musim hujan, dan berkurang bila musim kemarau

Berdasarkan debit air pada tubuh sungai (kuantitas air sungai) (Thornbury,

1969), maka jenis sungai yang mengalir pada daerah penelitian dapat

diklasifikasikan menjadi sungai permanen dan sungai tidak permanen. Sungai

permanen memperlihatkan debit air sungai yang tetap mengalir baik musim

kemarau maupun musim penghujan. Sungai permanen berada pada daerah

Eemokolo yaitu sungai Ee Eemokolo dan pada daerah Lamonggi yaitu sungai

Lamonggi (Gambar 2.19 dan Gambar 2.20). Sungai tidak permanen

memperlihatkan adanya debit air pada saat musim hujan sedangkan pada saat

musim kemarau tidak ditemukan adanya debit air. Sungai tidak permanen
29

ditemukan pada daerah sekitar gunung Waombu yaitu sungai La Waombu

(Gambar 2.21)

Gambar 2.19 Kenampakan sungai Ee Eemokolo yang merupakan jenis


sungai permanen di foto ke arah N 48°E pada stasiun 52.

Gambar 2.20 Kenampakan sungai Lamonggi yang merupakan jenis


sungai permanen di foto ke arah N 354°E pada stasiun 67.
30

Gambar 2.21 Kenampakan sungai La Waombu yang merupakan jenis


sungai tidak permanen di foto ke arah N 126°E pada stasiun
63.

2.2.2.2 Pola Aliran Sungai

Pola aliran sungai, merupakan penggabungan dari beberapa individu

sungai yang saling berhubungan, membentuk suatu pola dalam kesatuan ruang.

Pola aliran sungai mengacu pada bentuk tertentu atau kenampakan dari setiap

individu sungai secara kolektif dan dapat dibedakan dari beberapa hal yang

membentuk alur–alur aliran dari sungai, serta hubungan antara satu dengan

lainnya (Thornburry 1954). Perkembangan pola aliran sungai yang ada pada

daerah penelitian dikontrol oleh faktor–faktor seperti kemiringan lereng, kontrol

struktur, dan stadia geomorfologi berupa vegetasi dan kondisi iklim.

Berdasarkan faktor pengontrol tersebut yang disebandingkan dengan hasil

interpretasi peta topografi dan hasil pengamatan langsung di lapangan, maka pola

aliran pada daerah penelitian termasuk dalam jenis pola aliran subdendritik.
31

Pola aliran subdendritik merupakan pola aliran yang cabang-cabang

sungainya menyerupai ranting pohon. Pola aliran ini terutama dikontrol oleh

karakteristik litologi yang homogen, yaitu umumnya melewati satuan batusabak,

selain itu adanya struktur geologi di daerah penelitian juga mempengaruhi

terbentuknya pola aliran ini (Gambar 2.22).

Gambar 2.22 Kenampakan pola aliran Subdenritik pada


daerah penelitian

2.2.2.3 Tipe Genetik Sungai

Tipe genetik sungai merupakan salah satu jenis sungai yang didasarkan

atas genesanya yang merupakan hubungan antara kedudukan perlapisan batuan

sedimen terhadap arah aliran sungai (Thornbury, 1954). Tipe genetik sungai pada

suatu daerah diakibatkan oleh adanya perubahan bentuk permukaan bumi karena

adanya pengaruh dari gaya–gaya yang bekerja dari dalam bumi (gaya endogen).

Perubahan–perubahan yang terjadi pada struktur batuan dapat menyebabkan

perubahan arah aliran sungai, hal ini diakibatkan oleh kemiringan lapisan batuan.
32

Pada daerah penelitian secara umum termasuk pada tipe genetik sungai

yang berkembang, yaitu:

a. Tipe genetik sungai obsekuen

Tipe genetik obsekuen dicirikan dengan arah aliran sungai relatif

berlawanan arah kemiringan (dip) batuan, adapun batuan penyusun daerah

penelitian yang dilalui oleh tipe genetik ini yaitu pada batuan metamorf berupa

sekis mika. Tipe genetik ini berkembang pada sungai Ee Eemokolo yang

diinterpretasi dengan melihat kedudukan batuan terhadap sungai terdekat.

(Gambar 2.23)

b. Tipe genetik sungai konsekuen

Sedangkan tipe genetik konsekuen dicirikan dengan arah aliran sungai

yang searah dengan arah kemiringan batuan (dip), adapun batuan penyusun daerah

penelitian yang dilalui oleh tipe genetik ini yaitu pada batuan metamorf berupa

marmer dan batusabak. Tipe genetik ini berkembang pada sungai Lakambula

yang diinterpretasi dengan melihat kedudukan batuan terhadap sungai terdekat

(Gambar 2.24).
33

Gambar 2.23 Foto yang memperlihatkan arah aliran sungai obsekuen


pada sungai Ee Eemokolo dengan arah aliran N326 oE,
dengan arah foto relative N6oE

Gambar 2.24 Foto yang memperlihatkan arah aliran sungai


konsekuen pada sungai Lakambula dengan arah aliran
N315oE, dengan arah foto relative N5oE
34

2.2.2.4 Stadia Sungai

Penentuan stadia sungai pada daerah penelitian didasarkan pada bentuk

lembah sungai, pola saluran sungai, bentuk aliran sungai, jenis erosi, dan

pengendapan yang bekerja sepanjang sungai.

Pada daerah penelitian sungai Ee Eemokolo dan sungai Watuburi

memberikan kenampakan profil melintang lembah berbentuk “U”. Berdasarkan

kenampakan tersebut maka erosi vertikal dan lateral yang bekerja pada sungai di

daerah penelitian bekerja bersama-sama dan berimbang. Pada umumnya proses

erosi lateral memiliki arus sungai mulai melambat dan gradient sungai yang mulai

datar. Secara umum sungai pada daerah penelitian mempunyai lebar sungai yaitu

3 – 8 meter. Proses pengendapan intensif terjadi seiring dengan melemahnya arus

sungai dan membentuk endapan-endapan pinggir sungai (Point bar (x) ), material

yang diendapkan tersebut berukuran lempung hingga bongkah (Gambar 2.25 dan

Gambar 2.26).
35

Gambar 2.25 Kenampakan point bar pada sungai Ee Eemokolo


dengan arah foto relative N 273oE.

Gambar 2.26 Kenampakan point bar pada sungai La Watuburi dengan


arah foto relative N 44oE

Aliran sungai mulai berkelok yang belum begitu luas dan belum melewati

sabuk meander (meander belt). Erosi vertikal mulai menurun dan erosi lateral

mulai meningkat. Berdasarkan ciri-ciri yang dijumpai pada daerah penelitian,


36

maka dapat disimpulkan bahwa stadia sungai pada daerah penelitian adalah stadia

dewasa.

2.2.3 Stadia Daerah Penelitian

Penentuan stadia suatu daerah harus memperhatikan hasil kerja proses-

proses geomorfologi yang diamati pada bentuk-bentuk permukaan bumi yang

dihasilkan dan didasarkan pada siklus erosi dan pelapukan yang bekerja pada

suatu daerah mulai saat terangkatnya sampai terjadi perataan bentangalam

(Thornbury,1969).

Geomorfologi pada daerah penelitian telah mengalami perubahan akibat

proses deformasi, pelapukan, dan erosi yang terjadi di daerah tersebut. Perubahan

geomorfologi yang terjadi pada daerah penelitian menghasilkan suatu bentukan

relief pedataran dan perbukitan, dengan kenampakan bentuk lembah “U” pada

relief perbukitan, bentuk penampang melintang dari lembah sungainya

memperlihatkan bentuk profil menyerupai huruf “U” dimana dijumpai adanya

dataran banjir, endapan sungai, dan tingkat pelapukan dengan ketebalan soil

antara 50 cm hingga 250 cm. Hasil sedimentasi di sekitar sungai umumnya lebih

didominasi oleh material berupa endapan pasir dan lempung yang merupakan

material–material sedimen yang dijumpai sepanjang aliran sungai membentuk

point bar.Kenampakan tersebut menunjukkan bahwa daerah penelitian memiliki

tingkat erosi yang relatif sedang sampai tinggi dimana dapat diamati pada proses

pengikisan lembah-lembah sungai, yang menghasilkan bentuk melintang sungai

dengan seimbangnya antara erosi lateral dan erosi vertikal. Erosi vertikal mulai

menurun dan erosi lateral mulai meningkat.


37

Struktur geologi yang terjadi pada daerah penelitian yaitu berupa lipatan,

kekar dan sesar, dimana kontrol struktur geologi turut membantu dalam

pembentukan satuan bentangalam pada daerah penelitian.

Berdasarkan ciri-ciri yang dijumpai, maka dapat disimpulkan bahwa

perkembangan daerah penelitian telah berada pada stadia dewasa.

Anda mungkin juga menyukai