Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TIJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional

Daerah penelitian termasuk dalam peta geologi Lembar Ujung Pandang,

Benteng, dan Sinjai oleh Sukamto & Supriatna (1982). Stratigrafi regional Bira

tersusun oleh Batugamping Selayar Formasi Walanae, dan endapan Aluvium.

Formasi Walanae (Tmpw); berumur Miosen Akhir dan Pliosen dengan

ketebalan sekitar 2.500 m. Anggota Selayar Formasi Walanae (Tmps); berumur

Miosen Akhir dan Pliosen dengan ketebalan sekitar 2.000 m. Sedimen termuda

adalah Endapan Aluvium, Rawa dan Pantai (Qac). Struktur geologi pada daerah

Bira berupa sesar naik di bagian Barat yang mengarah relatif Timur Laut

(Sukamto & Supriatna, 1982). Vulkanik Walanae diberikan untuk sekuen berlapis

baik pada perselingan antara tufa, konglomerat dan breksi vulkanik serta sisipan

sedimen dan lava yang berumur Miosen akhir dan terdapat pada bagian Selatan

lembah Walanae (Leeuwen, 1981).

Selama Miosen tengah terbentuk zona sesar pada daerah Walanae. Pada

Akhir Miosen hingga Pliosen, terbentuk depresi Walanae dengan lingkungan

masih di bawah muka air laut yang mengendapkan pasir, dan material piroklastik

dari pegunungan bagian Barat dan pegunungan Bone (Leeuwen, 2010). Pada akhir

Miosen Tengah atau awal Miosen Akhir secara regional kembali terjadi

penurunan daratan sementara di bagian Barat lengan Selatan Sulawesi sebagian

muncul di permukaan laut. Tidak adanya kegiatan tektonik pada kala ini

menyebabkan perkembangan Batugamping terumbu di sepanjang bagian Timur

6
7

laut Sulawesi Selatan. Hal ini diikuti oleh pengendapan perlapisan tebal mudstone

dan sebagian kecil batupasir pada penurunan daratan yang cepat pada cekungan

Sengkang (Leeuwen, 1981). Neogen. Bagian Barat daya masih berada di bawah

muka air laut dan menjadi pusat vulkanisme hingga akhir Miosen (Leeuwen,

1981). Sebagaimana dalam Farida, 2002 dijelaskan pebedaan morfologi daerah

Bira dimana bagian timur lebih terjal dan di bagian barat lebih landai kemudian

disebabkan oleh adanya tilling dibagian timur daerah ini.Batugamping yang ada

pada daerah penelitian merupakan Batugamping Selayar berumur 5.8-1.4 juta

tahun atau selama Miosen Akhir hingga Pleistosen Awal yang dikorelasikan

dengan Batugamping Taccipi dari anggota Formasi Walanae (Bromfield, 2013).

2.1.1 Geologi Daerah Penelitian

Pembahasan mengenai geologi daerah penelitian terdiri atas geomorfologi

daerah penelitian, stratigrafi daerah penelitian, serta struktur geologi daerah

penelitian.

2.1.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian

Penamaan satuan morfologi daerah penelitian didasarkan pada pendekatan

morfografi dan morfogenesa. Pendekatan morfografi berdasarkan kenampakan

bentuk topografinya. Adapun pendekatan morfogenesa didasarkan atas proses

yang terjadi dalam pembentukan muka bumi yang dipengaruhi oleh proses utama

yaitu proses endogen dan proses eksogen (Van Zuidam, 1985). Berdasarkan hal

tersebut daerah penelitian dengan total luas area penelitian (± 14,58 km 2) dapat

dibagi menjadi dua satuan morfologi, yaitu:


8

Satuan morfologi Perbukitan Teras Kars yang menempati sekitar 85% dari

total luas wilayah penelitian atau sekitar 13,24 km 2 di bagian Utara memanjang

dari Barat-Timur meliputi daerah Bara dan sekitarnya. Bentangalam ini terbentuk

dari litologi Batugamping yang telah mengalami proses pelarutan yang cukup

tinggi dan disertai dengan proses pengangkatan sehingga memperlihatkan teras-

teras. Pelarutan yang terbentuk ditandai dengan adanya sinkholes serta bentuk

permukaan yang tidak rata dan tajam. Rata-rata puncaknya memiliki ketinggian

110-120 m di atas permukaan laut (gambar 2.1).

Gambar 2.1 Kenampakan morfologi Perbukitan Teras Kars pada teluk


Pantai Bara
Satuan morfologi Pantai Bertebing (wave cut platform) yang menempati

sekitar 15 % dari total luas wilayah penelitian atau sekitar 1,34 km 2 pada

sepanjang garis pantai Bara sebelah Barat Daya daerah Bira. Bentangalam ini

terbentuk dari litologi Batugamping yang terabrasi membentuk tebing. Hal ini
9

ditandai dengan adanya bekas-bekas abrasi berupa notch yang melengkung ke

dalam (gambar 2.2).

Gambar 2.2 Kenampakan morfologi pantai Bertebing (Wave Cut Platform)

2.1.1.2 Stratigrafi Daerah Penelitian

Pengelompokan dan penamaan satuan batuan pada daerah penelitian

didasarkan atas litostratigrafi tidak resmi dengan bersendikan pada ciri-ciri

litologi, dominasi batuan, keseragaman gejala litologi, hubungan stratigrafi antara

batuan yang satu dengan batuan yang lain, sehingga dapat disebandingkan baik

secara vertikal maupun lateral dan dapat dipetakan dalam sekala 1:15.000 maka

daerah penelitian dapat dibagi menjadi 1 (satu) satuan batuan, yaitu Satuan

Batugamping Boundstone (Dunham, 1962).


10

Dasar penamaan satuan ini didasarkan pada kenampakan ciri fisik litologi.

Untuk penamaan litologi anggota satuan ini terbagi atas dua cara yaitu penamaan

batuan secara megaskopis dan penamaan batuan secara petrografis. Pengamatan

secara megaskopis ditentukan secara langsung terhadap sifat fisik dan komposisi

mineralnya yang kemudian penamaannya menggunakan klasifikasi Dunham

(1962). Adapun analisis petrografis dengan menggunakan mikroskop polarisasi

untuk pengamatan sifat optik mineral serta pemerian komposisi mineral secara

spesifik yang kemudian ditentukan nama batuannya dengan menggunakan

klasifikasi Dunham (1962).

Pada kenampakan lapangan satuan ini disusun oleh litologi berupa

Batugamping Grainstone (Dunham, 1962), Batugamping Packstone (Dunham,

1962), Batugamping Wackestone (Dunham, 1962) dan Batugamping Mudstone

(Dunham,1962). Berdasarkan atas dominasi di lapangan, maka satuan ini

dinamakan satuan Batugamping Boundstone (Dunham, 1962) (gambar 2.3).

Gambar 2.3 Kenampakan lapangan Batugamping Boundstone


11

Secara petrografis pada matriks batuan ini tersusun oleh skeletal grain

berkisar 40-50% berupa alga merah, fosil-fosil foraminifera berupa., Calcarina

sp., Halimeda sp., Echinoid dan Mililoid serta fosil foraminifera kecil,

Nonskeletal grain berkisar 20-25%, mud 30-40% dan kristal kalsit 10-15%, nama

batuan Packstone (Dunham, 1962).

Penyebaran satuan ini menempati seluruh daerah penelitian atau

penyebaran secara horisontal seluas 13,24 km 2. Litologi penyusun satuan ini

tersingkap dengan baik di seluruh daerah penelitian. Ketebalan dari satuan ini

pada lokasi penelitian berdasarkan hasil dari perhitungan di lapangan pada bagian

Barat Laut lebih dari 10 m sebab tidak dijumpai kontak dengan litologi di

bawahnya (gambar 2.4).

Gambar 2.4 Kenampakan tebal Batugampng sekitar 10 meter


12

2.2 Batuan karbonat

Batuan karbonat diketahui menempati sekitar 20–25% dari total batuan

sedimen dalam rekaman geologi. Batuan ini hadir mulai pada Prakambrium

hingga Kuarter. Batuan karbonat ini memiliki tekstur, struktur, dan fosil yang

bervariasi sehingga menghasilkan banyak informasi tentang lingkungan laut

purba, kondisi paleoekologi, dan evolusi bentuk kehidupan melewati ruang dan

waktu, khususnya organisme laut. Batuan karbonat juga memiliki nilai ekonomi

yang penting karena dapat dimanfaatkan pada bidang agrikultur dan industri, dan

yang paling penting adalah dapat berfungsi sebagai batuan reservoir pada industri

perminyakan (Boggs, 1995).

Ahli geologi pada awalnya menganggap batugamping merupakan batuan

kristalin dengan kandungan fosil dan garam karbonat hasil presipitasi dalam air

laut. Sekarang kita tahu bahwa batuan karbonat itu tidak hanya bertekstur

‘kristalin’ tapi juga berupa agregat karbonat yang terikat oleh semen karbonat

hasil presiptasi. Di samping itu, butirannya juga mungkin telah mengalami

transportasi mekanis sebelum diendapkan (klastik). Folk (1959) menggunakan

istilah allochem untuk jenis butiran karbonat yang tidak mengalami presipitasi

kimia normal bersama tubuh batuan. Seperti batuan sedimen lainnya butiran

karbonat juga bervariasi, ada yang berukuran lanau, pasir (lebih dari 2 mm),

bahkan partikel yang lebih besar seperti cangkang fosil juga hadir (Boggs, 1995).
13

2.3 Proses Diagenesa

Diagenesis meliputi perubahan fisik atau kimia suatu sedimen atau batuan

sedimen yang terjadi setelah pengendapan (tidak termasuk proses-proses yang

melibatkan temperatur dan tekanan yang cukup tinggi yang dikenal sebagai

metamorfisme) (Scholle dan Ulmer-Scholle, 2003). Diagenesis dapat menyimpan

informasi mengenai kenampakan primer, sejarah setelah pengendapan, komposisi

air pori dan temperatur.

Pengontrol utama diagenesis adalah komposisi dan mineralogi dari sedimen,

komposisi kimiawi fluida pori dan rata-rata aliran fluida, sejarah geologi dari

sedimen dalam hubungannya dengan burial, pengangkatan dan perubahan muka

air laut, influks perbedaan fluida pori dan ikllim (Tucker dan Wright, 1990).

Proses diagenesa mengalami perubahan baik sebelum maupun setelah

pengendapan berlangsung. Proses tersebut berlanjut ketika batuan tersingkap yang

menyebabkan berbagai perubahan mineralogi dan proses kimia terbentuk.

Proses tersebut di atas selanjutnya disebut sebagai proses diagenesa,

dengan dibatasi interval waktu yaitu segera setelah proses pengendapan dan

sebelum proses metamorfisme. Faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu tekanan

dan temperatur, stabilitas mineral, kondisi kesetimbangan, rate of water influx,

waktu dan kontrol struktur. Sedimen karbonat mengalami perubahan porositas,

mineralogi dan sifat kimia akibat proses diagenesa (Boggs, 1995).


14

1. Proses dan Produk Diagenesis

Proses-proses utama yang terjadi selama diagenesis, yaitu mikritisasi

mikrobial, dolomitisasi, sementasi, pelarutan, neomorfisme, dan kompaksi,

termasuk pressure dissolution (Tucker dan Wright, 1990).

a. Mikritisasi Mikrobial

Menurut Tucker dan Wright (1990), selaput mikrit (micrit envelope)

adalah produk dari mikritisasi mikrobial dan jika kegiatan ini intensif maka akan

menghasilkan butiran yang termikritisasikan. Sedangkan mikritisasi mikrobial itu

sendiri merupakan proses yang ditandai pada bioklas terubah selama di dasar laut

oleh organisme alga, jamur, atau bakteri. Proses ini merupakan proses yang

penting dalam lingkungan stagnant marine prheatic zone dan active marine

phreatic zone (Longman ,1980).

b. Dolomitisasi

Dolomitisasi adalah proses penggantian mineral kalsit (CaCO 3) menjadi

mineral dolomit (CaMg(CO3)2) akibat adanya kontak batugamping dengan air

yang kaya magnesium pada batuan karbonat. Ada 5 model dolomitisasi pada

lingkungan yang berbeda-beda, yaitu evaporative, seepage-reflux, mixing zone,

burial, dan seawater (Tucker dan Wright, 1990). Presipitasi dolomit dipengaruhi

oleh besarnya rasio Mg/Ca pada mineral, besarnya kandungan karbondioksida

(CO2), tingginya temperatur dan pH, rendahnya kandungan sulfat, rendahnya

kadar salinitas, serta pengaruh material organik (Longman ,1982).


15

c. Sementasi

Sementasi adalah proses pengisian pori baik di antara butiran, di dalam

butiran ataupun di dalam lubang yang dihasilkan oleh pelarutan aragonit. Jenis-

jenis semen yang hadir pada batuan karbonat, yaitu aragonit, kalsit dengan

kandungan Mg rendah, kalsit dengan kandungan Mg tinggi, dan dolomit (Tucker

dan Wright, 1990). Bentuk kristal kalsit didasarkan berdasarkan pada panjang

relatif dengan rasio lebar. Menurut Folk dalam Scholle dan Ulmer-Scholle (2003)

dibedakan dalam 3 diantaranya fibrous cements (6:1), bladed cements (6:1 sampai

1,5:1),, dan equant cement (1,5:1) (Gambar 2.5).

Gambar 2.5 Bentuk kristal kalsit berdasarkan perbandingan rasio


panjang dan lebar (Scholle dan Ulmer-Scholle, 2003)

d. Pelarutan

Proses pelarutan terjadi ketika terdapat perbedaan lingkungan diagenesis

yang menyebabkan mineral tidak stabil akan larut dan membentuk mineral lain

yang lebih stabil pada lingkungan yang baru, menurut Longman (1982), proses
16

pelarutan dapat terjadi pada lingkungan freshwater vadose maupun freshwater

phreatic. Proses pelarutan merupakan proses utama di dekat permukaan, meteorik,

dan dapat menyebabkan pembentukan karst. Akan tetapi, proses ini dapat terjadi

pada dasar laut dan selama deep burial.

Ada beberapa ahli geologi yang mencoba memberikan klasifikasi

mengenai tipe-tipe porositas tersebut. Salah satu di antaranya adalah Choquette &

Pray (1970) dalam Scholle dan Ulmer-Scholle, 2003. Klasifikasi ini mencoba

menghubungkan ukuran pori, bentuk dengan kemas dari batuan tersebut. Adapun

klasifikasi dari Choquette & Pray (1970) (Gambar 2.6) adalah sebagai berikut :

1. Porositas pada batuan karbonat, sepenuhnya dikontrol oleh kemas batuan yang

disebut sebagai fabric selective dan dibagi menjadi:

a. Interparticle : Bisa termasuk dalam porositas primer yaitu merupakan pori -

pori yang terdapat di antara partikel atau intergranular, dan biasanya tidak

mengalami sementasi Porositas ini bervariasi tergantung pada sortasi, kemas, dan

ukuran butiran.

b. Intraparticle : Pori-pori yang terdapat di dalam butiran, bisa terbentuk sebagai

porositas primer atau bisa terbentuk pada awal diagenesis, oleh proses yang

dikenal sebagai maceration, dimana material organik yang ada, dibusukkan di

antara skeletal. Jenis porositas ini juga bisa disebabkan oleh proses perpindahan

dari interior butiran yang tidak terlalu mengalami kalsitifikasi. Melalui proses ini

tertinggal bagian cortex-nya raja.


17

c. Intercrystalline : Merupakan pori-pori yang terdapat diantara kristal-kristal

yang relatif sama ukurannya, yang tumbuh karena adanya proses rekristalisasi

atau dolomitisasi.

d. Mouldic : Suatu rongga yang terbentuk karena proses pelarutan fragmen dalam

batuan. Porositas ini termasuk porositas sekunder dan termasuk dalam fabric

selective. Untuk membentuk tipe porositas ini, dibutuhkan perbedaan tingkat

kelarutan antara butiran dan struktur yang ada. Terbentuk dalam batuan

monomineralik berhubungan dengan perbedaan kristalinitas, ukuran kristal,

inklusi organik, porositas primer dan lain-lain.

e. Fenestral : Merupakan variasi dari interparticle porosity yang terbentuk pada

lingkungan yang khusus, seperti supratidal levee. Terbentuk sebagai akibat

hilangnya beberapa butir pembentuk batuan sehingga terbentuk rongga-rongga

yang besar.

f. Shelter : Merupakan variasi dari interparticle porosity, dimana adanya butiran

yang berbentuk lempeng, menjadi semacam payung bagi area di bawahnya, untuk

melindungi dari pengisian sedimen yang mengendap.

g. Growth framework : Pertumbuhan kerangka seperti kerangka koral, yang

mengakibatkan rongga yang diisi oleh koral, menjadi terbuka.

2. Porositas batuan karbonat tersebut tidak dipengaruhi atau dikontrol oleh kemas

(fabric) batuan, disebut sebagai not fabric selective, yaitu porositas:

a. Fracture : Rongga yang berbentuk rekahan, yang terbentuk akibat adanya

tekanan luar, dan biasanya terjadi setelah pengendapan, serta berasosiasi dengan
18

proses perlipatan, pensesaran ataupun salt doming. Terjadi pada batuan karbonat

yang relatif brittle, biasanya homogen, seperti kapur dan dolomit.

b. Channel : Saluran antar rongga yang terbentuk akibat pelarutan.

c. Vug : Lubang yang terbentuk sebagai akibat proses pelarutan, seperti gerowong.

d. Cavern : Pelarutan lubang yang bisa membesar, sehingga dapat dimasuki

manusia.

3. Porositas batuan karbonat yang dapat bersifat sebagai kedua-duanya, disebut

sebagai fabric selective or not. Tipe porositas ini antara lain :

a.Breccia : Terbentuk karena adanya proses retakan yang menyebabkan batuan

hancur menjadi bongkah-bongkah kecil dan terbentuklah pori-pori yang berada di

antaranya.

b.Boring : Pori-pori yang terbentuk karena adanya aktivitas pemboran oleh

organisme.

c.Burrow : Porositas yang terbentuk karena penggalian organisme.

d.Shrinkage : Penciutan, dimana sedimen yang telah diendapkan, menjadi kering

dan menciut, sehingga terjadi rekahan-rekahan yang dapat menimbulkan pori.

Gambar 2.6 Tipe porositas menurut Choquette dan Pray dalam Scholle dan
Ulmer-Scholle (2003)
19

e. Neomorfisme

Proses neomorfisme terdiri dari inversi, rekristalisasi, dan cohesive

neomorphism (aggrading/degrading neomorphism) (Tucker dan Wright, 1990).

Inversi merupakan perubahan satu mineral ke polimorf. Sebagai contoh

transformasi polimorf aragonit menjadi kalsit, alterasi kalsit Mg menjadi kalsit.

Lain halnya dengan rekristalisasi yang merupakan perubahan dalam ukuran kristal

tanpa perubahan dalam mineraloginya, misalnya membesar atau mengecilnya

ukuran kristal kalsit. Umumnya, neomorfisme pada batuan karbonat memiliki tipe

aggrading (agradasi), yaitu proses yang menghasilkan butiran spar yang lebih

besar. Proses neomorfisme menyebabkan matriks (mikrit) telah terubah menjadi

mikrospar. Proses ini dapat terjadi pada awal pemendaman freshwater phreatic

dan deep burial.

f. Kompaksi

Kompaksi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu kompaksi mekanik dan

kimia (Tucker dan Wright, 1990). Kompaksi mekanik terjadi ketika pembebanan

semakin besar menyebabkan terjadinya retakan di dalam butir, butir saling

berdekatan, porositas menurun. Sedangkan kompaksi kimia terjadi ketika

antarbutir bersentuhan sehingga mengalami pelarutan yang menghasilkan kontak

suture dan kontak concavo-convex, serta pada tahap lanjut akan menghasilkan

stylolite.
20

2. Lingkungan Diagenesis

Lingkungan diagenesis berdasarkan Tucker dan Wright (1990), yaitu

marine phreatic, mixing zone, meteoric phreatic, meteoric vadose, dan burial

(Gambar 2.7).

Gambar 2.7 Lingkungan diagenesis yang terjadi pada batuan karbonat


(Choquette and Pray dalam Moore, C.H., 1989)

1. Zona marine phreatic

Sedimen pada ligkungan ini bila semua rongga porinya terisi oleh air laut

yang normal. Umunya karbonat dienapkan dan memulai sejarah diagenesisnya

pada lingkungan marine phreatic. Lingkungan ini dapat dibagi menjadi dua yaitu

lingkungan yang berhubungan dengan sirkulasi air sedikit, dicirikan oleh

kehaidran mikritisasi dan sementasi setempat.

Lingkungan kedua berupa lingkungan yang berhubungan dengan sirkulasi

air yang baik dimana tingkat sementasi intergranular dan mengisi ronga lebih

intensif. Semen aragonit berserabut dan Mg kalsit merupakan ciri lain dari

lingkungan ini.
21

Semen pada lingkungan marine phreatic adalah kalsit dengan kandungan

Mg yang tinggi dan aragonit (Scholle dan Ulmer-Scholle, 2003). Morfologi dari

kalsit dengan kandungan Mg tinggi, yaitu microcrystalline crusts dan fibrous

sampai bladed rinds, sedangkan morfologi aragonit yaitu fibrous, mesh of needles,

dan botryoidal, seperti pada gambar 2.8.

Gambar 2.8 Morfologi semen yang dominan pada lingkungan marine


phreatic (Scholle dan Ulmer-Scholle, 2003)

2. Zona Mixing

Lingkungan mixing zone berada di antara lingkungan marine phreatic dan

freshwater phreatic yang ditandai oleh air payau. Dolomit pada mixing zone ini

berkisar pada penggantian mikrokritalin jernih pada zona penggantian dan zona

semen. Semen dolomit yang sebenarnya sangat sulit dibedakan dari hasil

dolomitisasi semen kalsit, kecuali dengan pengecekkan Cl (Scholle dan Ulmer-

Scholle, 2003). Seluruh ronga yang semua terisi air laut akan mulai tergantikan

oleh air tawar. Dolomitisasi merupakan salah satu penciri lingkungan ini jika

salinitas air sekitarnya rendah. Selinitas tinggi akan terbentuk Mg kalsit yang

menjarum.
22

3. Zona Meteoric phreatic

Lingkungan meteoric phreatic dicirikan oleh proses pencucian,

neomorfisme butir yang diikuti atau tanpa diikuti sementasi kalsit secara intensif.

Ada beberapa kenampakkan variasi tekstur pelarutan, seperti passages, channels,

dan shafts. Selain tekstur tersebut, menurut Scholle dan Ulmer-Scholle (2003),

kenampakkan lain tekstur pelarutan, seperti solution-enlarged fracture, sinkhole,

caves, dan collapse breccias. Semen pada lingkungan meteoric phreatic adalah

kalsit dengan kandungan Mg yang rendah. Morfologi semen pada lingkungan ini

adalah isopachus dan blocky (Gambar 2.9). Morfologi semen syntaxial

overgrowth dapat terbentuk pada lingkungan marine, metoric, dan burial (Scholle

dan Ulmer-Scholle, 2003).

Gambar 2.9 Morfologi semen yang dominan pada lingkungan


vadose zone dan phreatic zone (Scholle dan Ulmer-
Scholle, 2003)

4. Zona Meteoric Vadose

Lingkungan meteoric vadose ditandai dengan tidak jenuh air yang

menyebabkan air yang terdapat di lingkungan ini akan bertahan di antara butiran
23

diakibatkan gaya kapilaritas atau di bawah butiran sebagai pendant drops (Scholle

dan Ulmer-Scholle, 2003). Semen pada lingkungan meteoric vadose adalah kalsit

dengan kandungan Mg yang rendah. Morfologi semen yang dominan pada

lingkungan ini, yaitu meniscus, pendant, dan calcite equant, seperti pada

gambar 2.9.

5. Zona Burial

Lingkungan burial sangat dipengaruhi oleh temperatur dan tekanan yang

sangat mempengaruhi proses diagenesis. Lingkungan ini mewakili perubahan

yang terjadi di bawah zona sirkulasi air dekat permukaan, berada di bawah zona

pencampuran meteoric phreatic atau zona aktif sirkulasi air laut (Scholle dan

Ulmer-Scholle, 2003). Berdasarkan Scholle dan Ulmer-Scholle (2003), semen di

daerah burial, antara lain coarse calcite spar dan dolomit Fe. Terdapat empat

jenis mosaik semen coarse calcite spar pada lingkungan ini, yaitu drusy, calcite

poikilotopic, spari kalsit equant-equicrystalline mosaic dan spari kalsit syntaxial

(Gambar 2.10). Terdapat tiga jenis struktur pelarutan, yaitu fiited fabric,

dissolution seams, dan stylolites (Gambar 2.11).

Rongga yang terlarutkan pada lingkungan diagenesis burial, dapat berupa

tekstur fabric selective or not dan termasuk moldic, vugs, dan pembesaran rongga

interpartikel akibat pelarutan. Rongga non-fabric selective dimulai sebagai rongga

interpartikel atau moldic dan kemudian dengan cepat berkembang. Pelarutan di

sepanjang stylolite yang menghasilkan rongga juga merupakan bukti lingkungan

diagenesis burial ini.


24

Gambar 2.10 Morfologi semen yang dominan pada lingkungan


burial (Scholle dan Ulmer-Scholle, 2003)

Gambar 2.11 Jenis struktur pelarutan pada lingkungan burial


(Scholle dan Ulmer-Scholle, 2003)

Anda mungkin juga menyukai