Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Geologi regional

Berdasarkan geologi regional Provinsi Kalimantan Timur, wilayah PT.


Kideco Jaya Agung masuk dalam sub cekungan paser, yang tersusun oleh satuan
batuan berumur pra-tresier sampai kuarter, secara umum hampir semua satuan
batuan pengisi sub cekungan ini telah mengalami deformasi kecuali endapan yang
berumur kuarter.
Wilayah PT. Kideco Jaya Agung khususnya area Roto dan Samurangau,
mempunyai struktur geologi utama berupa struktur sinklin yang memanjang dari
Utara - Selatan sampai Timur Laut - Barat Daya, dengan kemiringan sayap lipatan
antara 10° sampai 60° dan pada beberapa tempat hampir vertical. Lipatan yang
terdapat pada daerah ini adalah lipatan asimetri dimana lipatan bagian dalam lebih
terjal dari bagian luar. Struktur sesar di daerah ini terdiri dari sesar naik dan sesar
turun. Arah sesar - sesar hampir sama dengan arah sumbu - sumbu lipatan. Untuk
area Susubang terdapat sesar geser yang memanjang dari arah Timur Laut hingga
Barat Daya.
Wilayah Roto - Samurangau memiliki bentuk topografi yang
bergelombang, yang dibentuk oleh perbukitan landai, dengan kemiringan lereng 5
– 10° dengan ketinggian antara 80 m hingga 200 m di atas permukaan laut. Sungai
yang terdapat di dalam wilayah ini berpola dendritik dan bermeander dengan
sungai utama sungai Kandilo. Sebagian kecil pola awal topografi di wilayah ini
telah mengalami perubahan akibat adanya aktivitas penambangan terbuka.

2.1.1 Geomorfologi regional

Keadaan morfologi daerah PT. Kideco Jaya Agung terdiri dari lereng -
lereng. Perbukitan yang terbentuk mengarah ke Utara - Selatan yang searah
dengan aliran sungai di Timur dan Barat dari Selatan perbukitan tersebut.

5
2.1.2 Stratigrafi regional

Urutan satuan batuan tersier yang mengisi sub cekungan Paser, di urutkan
dari muda ke tua adalah : Formasi Warukin, Formasi Berai, Formasi Pemaluan,
Formasi Kuaro, dan Formasi Tanjung. Formasi Berai mempunyai hubungan
menjemari (interfingering) dengan Formasi Pemaluan, demikian pula halnya
dengan Formasi Kuaro dan Tanjung. Formasi Kuaro dan Formasi Tanjung ini
menutupi secara tidak selaras dengan batuan dasar yang berumur Pratersier berupa
Formasi Pitap, Formasi Haruyan, dan batuan tektonik (ultramafik). Seluruh satuan
batuan ini ditutupi secara tidak selaras oleh satuan batuan berumur kuarter.

1. Formasi Warukin
Formasi warukin mengalami pengendapan pada awal susut laut (regresi).
Batuan penyusun dari formasi ini terdiri batulempung yang berselang-seling
dengan lapisan-lapisan tipis batukuarsa dan batulempung serta
batugamping. Formasi ini mulai terbentuk bersamaan dengan pengangkatan
Tinggian Meratus dibagian Timur Cekungan Barito, yang dikenal dengan
synorogenicyang mulai pada Miosen Awal Tengah.
Litologi yang terdapat pada bagian bawah Formasi Warukin tersusun atas
batu lempung dengan sisipan batubara serta lapisan batupasir kuarsa. Pada
bagian tengah formasi ini masih diendapkan batulempung, batubara dan
sisipan batupasir kuarsa. Sedangkan pada bagian atasnya, diendapkan
batulempung, sisispan batupasir kuarsa serta sisipan batubara yang tebal.
Formasi ini diendapkan didaerah laut dangkal atau litoral (Triono dan
Mulyana, 2007), sedangkan perselingan batupasir dan batulempung
menandakan adanya energi pengangkutan partikel sedimen berbeda yang
biasanya dijumpai pada dataran banjir disekitar muara sungai, sedangkan
batubara didaerah ini muncul sebagai sisipan yang memiliki ketebalan
mencapai 25 m.

6
2. Formasi Berai

Formasi ini memiliki umur Oligosen Awal – Miosen Awal dan diendapkan
secara selaras diatas Formasi Tanjung. Pada bagian bawah formasi ini
terdapat litologi berupa batulempung karbonatan. Sedangkan dibagian
tengah terbentuk litologi batugamping yang massif. Setelah itu, pada bagian
atas dari formasi ini, dindapkan kembali batulempung karbonatan.
Formasi ini memiliki ketebalan sekitar 100 m dengan pola penyebaran yang
dikontrol oleh ketinggian purba pada pembentukan cekungan yang lebih tua.
Diendapkan pada kala Miosen Awal hingga Miosen Akhir di lingkungan
neritik, dengan ciri litologi batulempung, serpih, batugamping, batulanau
dan sisipan batupasir kuarsa.

3. Formasi Pamaluan

Diendapkan pada kala Miosen Awal hingga Miosen Akhir di lingkungan


neritik, dengan ciri litologi batulempung, serpih, batugamping, batulanau
dan sisipan batupasir kuarsa.

Tabel 2. 1 Stratigrafi sub cekungan paser

7
4. Formasi Tanjung

Formasi tanjung diperkirakan memiliki umur Paleoson Akhir-Oligosen


awal, diendapkan selam awal genang laut tersier. Formasi tanjung
diendapkan secara tidak selaras diatas batuan pra-Tersier, pada lingkungan
paralis-neritik. Litologi yang terdapat pada formasi ini terdiri dari batupasir
kuarsa yang berbutir halus. Dibeberapa tempat juga terdapat konglongmerat
yang diduga berupa chanel. Ketebalan Formasi Tanjung melebihi 1000 m
dan sebarannya mengikuti pola sedimentasi berarah North West – South
East.

2.1.3 Struktur Geologi

Batuan yang terdapat di daerah penelitian hampir semuanya mengalami


deformasi, mulai dari Pratersier sampai Tersier Akhir. Akibat deformasi tersebut
terbentuklah struktur geologi yang berupa sinklin, antiklin dan sesar. Batuan
tersier yang mengalami deformasi memiliki kemiringan 10º sampai 60º,
sedangkan batuan Pratersier 40º. Pola lipatan yang terbentuk umumnya berupa
lipatan tidak simetris (unsimetris), dengan kemiringan bagian luar yang lebih
besar.
Kegiatan tektonik terjadi pada zaman Jura menyebabkan batuan yang
berumur Prajura yaitu batuan ulta mafik mengalami displacement, terlipatkan dan
tersesarkan. Kegiatan tektonik ini diikuti oleh aktivitas magma dan pengendapan
sedimen klastika serta vulkanik, yang merupakan penyusun Formasi Pintap dan
Formasi Haruyan yang berumur Kapur Atas.
Kegiatan tektonik berlanjut hingga Kapur Atas yang mengakibatkan juga
terjadinya deformasi batuan oleh sesar naik. Pengangkatan yang terjadi pada awal
Eosen, diikuti oleh pendangkalan cekungan serta proses erosi membantuk Formasi
Kuaro dan Formasi Tanjung.

8
2.2. Genesa Batubara

Menurut Badan Standarisasi Nasional dalam SNI (1997), batubara adalah


endapan yang mengandung hasil akumulasi material organik yang berasal dari
sisa-sisa tumbuhan yang telah melalui proses lithifikasi untuk membentuk lapisan
batubara, material tersebut telah mengalami kompaksi, ubahan kimia dan proses
metamorfosis oleh peningkatan panas dan tekanan selama periode geologi. Bahan-
bahan organik yang terkandung dalam lapisan batubara mempunyai berat > 50%
volume bahan organik.
Batubara berasal dari tumbuh - tumbuhan yang mengalami proses
pembentukan batubara yang terdiri dari dua tahap, yaitu tahap biokimia
(penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan).

2.3. Terjadinya Batubara

Ada dua teori yang menerangkan terjadinya batubara. Satu, teori In-situ.
Dua, teori Drift (Sukandarrumidi, 1995, hal.17).
Menurut teori in-situ, batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang
berasal dari hutan tempat batubara tersebut terbentuk. Batubara yang terbentuk
sesuai dengan teori in-situ biasanya tejadi di hutan basah dan berawa, sehingga
pohon – pohon di hutan tersebut pada saat mati dan roboh langsung tenggelam ke
dalam rawa tersebut dan sisa tumbuhan tersebut tidak mengalami pembusukan
secara sempurna dan akhirnya menjadi fosil tumbuhan yang membentuk sedimen
organik.
Batubara, menurut teori Drift, terbentuk dai tumbuhan atau pohon yang
berasal dari hutan yang bukan di tempat batubara tersebut terbentuk. Batubara
yang terbentuk sesuai dengan teori Drift biasanya terjadi di delta – delta dengan
ciri – ciri lapisan batubara tipis, ttidak menerus (splitting), banyak lapisan
(multiple seam) dan banyak pengotor (kandungan abu cenderung tinggi).
Kedua teori diatas menunjukkan bahwa kondisi lingkungan geologi
dipersyaratkan, antara lain, proses terjadi pada lingkungan berawa yang
berdekatan denga laut atau pada wilayah yang mengalami proses subsidence

9
(penurunan), sehingga akumulasi gambut dapat tertimbun oleh sedimentasi pada
saat terjadi permukaan laut naik atau permukaan tanah turun.
Proses pembentukan batubara terdiri atas dua tahap. Satu, tahap biokimia
(penggambutan). Dua, tahap geokimia (pembatubaraan).
Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap ketika sisa – sisa
tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi bebas oksigen (anaerobic)
di daerah rawa dengan system penirisan (drainage system) yang buruk dan selalu
tergenang air beberapa inci di bawah permukaan air rawa. Material tumbuhan
yang busuk tersebut melepaskan unsur H, N, O dan C dalam bentuk senyawa CO2,
H2O dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya, oleh bakteri anaerobik dan
fungi, material tumbuhan itu diubah menjadi gambut (Statch, 1982, op cit
Susilawati 1992).
Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan proses diagenesis
terhadap komponen organik dari gambut yang menimbulkan peningkatan
temperature dan tekanan sebagai gabungan proses biokimia, kimia dan fisika yan
terjadi karena pengaruh pembebanan sedimen yang menutupinya dalam kurun
waktu geologi. Pada tahap tersebut, persentase karbon akan meningkat, sedangkan
persentase hydrogen dan oksigen akan berkurang (Fischer, 1927, op cit Susilawati
1992), sehingga menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat maturitas material
organiknya.
Pembentukan batubara dimlai sejak Periode Pembentukan Karbon
(Carboniferous Period) yang dikenal sebagai Zaman Batubara Pertama yang
berlangsung selama 360 juta – 290 juta tahun lalu. Endapan tumbuhan yang
berubah menjadi gambut (peat), selanjutnya berubah menjadi batubara muda
(lignite) atau disebut pula batubara cokelat (brown coal). Setelah mendapat
pengaruh suhu dan tekanan yang terus – menerus selama jutaan tahun, amak
batubara muda akan mengalami perubahan, yang secara bertahap menambah
maturitas organiknya dan berubah menjadi batubara subbituminus (sub-
bituminous).

10
Perubahan secara kimia dan fisika terus berlangsung hingga batubara
menjadi lebih keras dan berwarna lebih hitam, sehingga membentuk bituminus
Dalam kondisi yang tepat, peningkatan aturitas organik yang semakin tinggi terus
berlangsung hingga membnetuk antrasit (anthracite).

Gambar 2.1 Proses Pembentukan Batubara (Montana State University, 2008


dalam Sunarijanto, 2008)

Dalam proses pembatubaraan, maturitas organik sebenarnya


menggambarkan perubahan konsentrasi dari setiap unsur utama pembentuk
batubara.
Selain itu, semakin tinggi peringkat batubara, maka kadar karbon akan
meningkat, sedangkan hidrogen dan oksigen akan berkurang. Karena tingkat
pembatubaraan secara umum dapat diasosiasikan dengan mutu batubara, maka
batubara dengan tingkat pembatubaraan rendah disebut pula batubara bermutu
rendah seperti lignit (lignite) dan subbituminous biasanya lebih lembut dengan
materi yang rapuh dan berwarna suram seperti tanah, memiliki tingkat
kelembaban (moisture) yang tinggi dan kadar karbon yang rendah, sehingga
kandungan energinya juga rendah. Semakin tinggi nilai kalori, abtubara umumnya
akan semakin keras dan kompak serta berwarna semakin hitam mengilat.
Kelembabannya pun akan berkurang, sedangkan kadar karbonnya akan
meningkat, sehingga kandungan energinya juga semakin besar.

11
Tabel 2.1. Tahap – tahap perkembangan gambut menjadi meta - antrasit (Thomas, 2002)

2.4. Komposisi Batubara

Pada dasarnya, terdapat dua jenis material yang membentuk batubara.


Satu, combustible material, yaitu bahan atau material yang dapat dibakar atau
dioksidasi oleh oksigen. Material tersebut umumnya terdiri atas karbon tertambat
(fixed carbon), senyawa hidrokarbon, total sulfur, senyawa hydrogen dan
beberapa senyawa lain dalam jumlah kecil. Dua, non combustible material, yaitu
bahan atau material yang tidak dapat dibakar atau dioksidasi oleh oksigen.
Material tersebut umumnya terdiri atas senyawa anorganik (SiO2, Al2O3, Fe2O3,
TiO2, Mn3O4, CaO, MgO, Na2O, K2O dan senyawa logam lain dalam jumlah
kecil) yang akan membentuk abu dalam batubara. Kandungan non combustible
material ini umumnya tidak diingini karena akan mengurangi nilai bakarnya.
Pada proses pembentukan batubara dengan bantuan faktor fisika dan kimia
alam, selulosa yang berasal dari tanaman akan mengalami perubahan menjadi
gambut, lignit subbituminus bituminus dan antrasit.

12
Untuk proses pembatubaraan fase lanjut dengan waktu yang cukup lama
atau dengan bantuan pemanasan, unsur senyawa karbon tertambat yang terbentuk
akan bertambah, sehingga grade batubara akan menjadi lebih tinggi. Pada fase
tersebut, unsur hidrogen yang terikat pada molekul air yang terbentuk akan
menjadi semakin sedikit.
Bukti bahwa batubara berasal dari sisa tumbuhan diperkuat dengan banyak
ditemukannya cetakan tumbuhan di dalam lapisan batubara. Dalam
penyusunannya, batubara diperkaya dengan bermacam polimer organic yang
berasal dari karbohidrat, lignin dan lain – lain. Tapi, komposisi polimer – polimer
tersebut bervariasi bergantung pada spesies tumbuhan penyusunnya.

2.5. Jenis - jenis Batubara

Dari tinjauan beberapa senyawa dan unsur yang terbentuk pada saat proses
pembatubaraan, secara umum, ada beberapa kelas atau tingkat. Satu, gambut
dengan karakteristik : warna cokelat, material belum terkompaksi ; memiliki
kandungan air yang sangat tinggi ; memiliki kandungan karbon tertambat sangat
rendah ; memiliki kandungan karbon terbang sangat tinggi ; sangat mdah
teroksidasi ; dan nilai panas yang dihasilkan amat rendah.
Dua, lignit dengan ciri : warna kecoklatan ; material terkompaksi, tapi
sangat rapuh ; memiliki kandungan air tinggi ; memiliki kandungan karbon
tertambat rendah ; memiliki kandungan karbon terbang tinggi ; mudah teroksidasi;
dan nilai panas yang dihasilkan rendah.
Tiga, subbituminous hingga bituminous dengan karakteristik : warna
hitam, material sudah terkompaksi, memiliki kandungan air sedang, memiliki
kandungan karbon tertambat sedang, memiliki kandungan karbon terbang sedang,
sifat oksidasi menengah, dan nilai panas yang dihasilkan sedang. Empat, antrasit
dengan ciri : warna hitam mengilat, amterial terkompaksi dengan kuat, memiliki
kandungan air rendah, memiliki kandungan karbon tertambat tinggi, memiliki
kandungan karbon terbang rendah, relatif sulit teroksidasi dan nilai panas yang
dihasilkan tinggi.

13
2.6. Peringkat Batubara (Coal Rank)

Peringkat batubara adalah klasifikasi batubara berdasarkan pada


tingkat/derajat pembatubaraan dari lignit sampai dengan antrasit. Peringkat
batubara ini dapat diukur atas dasar parameternya, yakni karbon padat (fixed
carbon), zat terbang (volatile matter), energy spesifik (specific energy) atau nilai
kalor, kadar air (moisture content) dan reflektansi vitrinit (vitrinite reflectance).
Kadar air dan energi spesifik merupakan indicator tingkat pembatubaraan
pada lignit dan batubara subbituminus, sebab selama tahap awal proses
pembatubaraan kedua batubara tersebut kehilangan kandungan air dengan cepat
oleh karena peningkatan kompaksi dan tekanan tanah penutupnya. Hilangnya air
di dalam batubara tersebut berakibat pada peningkatan energi spesifik, sebab
untuk mendorong keluar sisa – sisa air yang masih ada hanya memerlukan energy
yang kecil. Pada saat kadar air mencapai tingkat kestabilan pada angka 1% dalam
proses pembatubaraan, perannya sebagai suatu parameter peringkat batubara
menjadi kurang bermakna,karena nilai energi spesifiknya juga akan relative sama.
Batubara - batubara dengan peringkat yang berbeda mengindikasikan
tingkat kompaksinya dan perubahan tahapan fisika-kimia selama proses
pembatubaraan. Perubahan tersebut diperlihatkan oleh kemampuan maseral
vitrinit memantulkan sinar dari permukaan sayatan poles batubara. Reflektansi
vitrinit diukur berdasarkan pada tingkat sinar yang dipantulkan dari permukaan
sayatan poles batubara tersebut. Semakin tinggi nilai reflektansi vitrinitnya,
semakin tinggi pula peringkat batubaranya.

14
Sisa Tumbuhan Asli
Pembentukan Gambut/Peatification
(Fase Biokimia)
Gambut

Brown Coal

Pembentukan Batubara
Subbituminous (Fase Geokimia)

Bituminous

Peringkat Batubara (Rank of


Coal) Anthracite Penggrafitan
 Tingkat Pembatubaraan (Graphitization)
(degree of coalification)
Meta-anthracite
 Pemasakan Zat Organik
(maturity of organic matter)
 Tingkat Metamorfosis Graphite
Organik
(level or organic
metamorphism)
Gambar 2.2 Peringkat Pembentukan Batubara (JCOAL, 2005 dalam Sunarijanto, 2008)

Petrografi batubara dapat digunakan untuk menentukan peringkat batubara


(coal rank), yaitu menggunakan metode analisis reflektansi dan analisis
komposisi maseral dengan melihat besarnya nilai pemantulan vitrinit atau
vitrinite reflectance (Ro) dalam bentuk persen (%). Penentuan peringkat batubara
dengan metode analisis reflektansi maseral (vitrinit) didasarkan pada konsep
bahwa pertambahan tingkat kematangan (peringkat) suatu lapisan batubara akan
diikuti oleh peningkatan reflektansi maseralnya, sehingga analisis reflektansi
maseral (vitrinit) dapat digunakan untuk menentukan peringkat batubara (Tabel
2.2).

15
Tabel.2.2 Klasifikasi Peringkat Batubara (ASTM Standard, 1983) Dan Hubuungan
Reflektansi Vitrinit (dimodifikasi dari Meissner, 1984, dalam Nurjihan,
2011)

2.7. Klasifikasi Maseral Pada Batubara

Maseral pada batubara dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama yaitu


kelompok Vitrinit, Inertinit dan Liptinit. Pengelompokkan ini didasarkan pada
bentuk, morfologi, ukuran, relief, struktur (internal structur), kesamaan komposisi
kimia, warna pantulan dan intensitas refleksi serta tingkat pembatubaraan
(Widodo, 2008).

16
Pembagian maseral pada batubara secara umum adalah sebagai berikut :

1) Kelompok Vitrinit

Vitrinit ialah hasil dari proses pembatubaraan materi humic yang berasal
dari selulosa (C6H10O5) dan lignin dinding sel tumbuhan yang mengandung serat
kayu (woody tissues) seperti batang, akar dan daun. Vitrinite adalah bahan utama
penyusun batubara di Indonesia (> 80%). Di bawah mikroskop, kelompok maseral
ini memperlihatkan warna pantul yang lebih terang daripada kelompok liptinit,
namun lebih gelap dari kelompok interknit, berwarna mulai dari abu – abu tua
hingga abu – abu terang. Kenampakan di bawah mikroskop tergantung dari
tingkat pembatubaraannya (coal rank).

2) Kelompok Liptinit

Liptinit tidak berasal dari materi yang dapat terhumifikasikan melainkan


berasal dari sisa tumbuhan atau dari jenis tanaman tingkat rendah seperti spora,
ganggang (algae), kutikula, getah tanaman (resin) dan serbuk sari (pollen).
Berdasarkan morfologi dan bahan asalnya, kelompok liptinit dibedakan menjadi
sporinite (spora dan butiran pollen), cutinite (kutikula), resinite (resin/dammar),
exudatinite (maseral sekunder yang berasal dari getah maseral liptinite lainnya
yang keluar pada proses pembatubaraan, suberinite (kulit kayu/serat gabus),
fluorinate (degradasi dari resinite), liptodetrinite (detritus dari maseral liptinite
lainnya), alginate (ganggang) dan bituminite (degradasi material algae). Relatif
kaya dengan ikatan alifatik sehingga kaya akan hidrogen atau bisa juga sekunder,
terjadi selama proses pembatubaraan dari bitumen. Sifat optik reflektivitas rendah
dan fluoresennse tinggi, dari liptinit mulai gambut dan batubara pada peringkat
rendah sampai batubara subbituminous relatif stabil (Taylor, et al, 1998).

2.8. Fungsi Maseral Dalam Analisis Lingkungan Pengendapan

Tubuh batuan mempunyai karakteristik yang pada umumnya menunjukkan


indikasi lingkungan dimana batuan tersebut terbentuk. Karakteristik tersebut juga

17
menjelaskan lingkungan pengendapan itu sendiri, kemdian lazim disebut fasies.
Fasies batubara berhubungan dengan tipe genetik batubara yang diekspresikan
melalui komposisi maseral dan komposisi kimia serta sifat teksturnya. Maseral
diperoleh dari hasil analisis yang telah digunakan untuk mengetahui lingkungan
pengendapan pada saat pengendapan gambut (Diessel, 1986).
Fungsi maseral dalam analisis penentuan lingkungan pengendapan
batubara dapat didasarkan pada sifat – sifat yang dimilikinya, antara lain sifat
atribut dan sifat skalar. Suatu lapisan batubara mlai dari lapisan dasar (floor)
hingga atas (roof) memiliki sifat – sifat tertentu, yang mencerminkan kondisi
lingkungan pengendapannya. Sifat atribut adalah suatu sifat yang dicirikan oleh
ada atau tidaknya suatu maseral tertentu, dalam hal ini kelimpahan maseral sangat
penting untuk dijadikan penciri suatu lingkungan pengendapan saat batubara
diendapkan berdasarkan sifat – sifat atribut maseralnya
Sedangkan menurut Diessel (1986), sifat skalar dari suatu maseral bukan
didasarkan atas faktor kehadiran atau morfologi maseral tertentu, tetapi pada
hubungan kuantitatif antara tiap maseral dalam batubara, Diessel (1986),
memperkenalkan dua parameter utama dalam penentuan fasies batubara
berdasarkan komposisi maseral pada batubara yaitu ; TPI (Tissue Preservation
Index) dan GI (Gelification Index).

2.9. Diagram Fasies (TPI dan GI) Menurut Diessel (1986)

Dalam penentuan fasies lingkungan pengendapan, Diessel menggunakan


dua parameter yaitu TPI (Tissue Preservation Index) dan GI (Gelification Index).
Harga TPI ditentukan dari perbandingan antara maseral – maseral yang
terawetkan (tellinit, telecollinit, fusinit dan semifusinit) dengan maseral – maseral
yang struktur selnya tidak terawetkan dengan baik (desmocollinit, makrinit dan
inertodetrinit). Pengrusakan struktur sel oleh organisme akan sangat mudah terjadi
pada tanaman yang banyak mengandung selulosa (tumbuhan perdu dan
angiospermae), namun tanaman yang banyak mengandung lignin (tumbuhan
kayu) akan sukar dihancurkan, sehingga peningkatan TPI menunjukkan

18
peningkatan persentase kehadiran tumbuh – tumbuhan kayu. Jika harga TPI tinggi
dikarenakan banyaknya fusinit atau semifusinit maka ini menunjukkan proses
dekomposisi yang diakibatkan oleh proses oksidasi yang berlangsung dengan
cepat (Widodo, 2008).
GI (Gelification Index) merupakan perbandingan maseral yang terbentuk
karena proses gelifikasi (vitrinit dan makrinit) terhadap maseral yang terbentuk
karena proses oksidasi (fusinit, semifusinit dan inertodetrinit). Kondisi yang baik
untuk terbentuknya vitrinit dan makrinit adalah jika gambut selalu dalam kondisi
basah dan suplai oksigen terbatas yaitu jika muka air tanah berada atau sedikit
diatas permukaan gambut. Sehingga dari harga GI dapat diinterpretasikan muka
air tanah relatif tinggi terhadap permukaan gambut. Kombinasi TPI dan GI dapat
digunakan untuk memperkirakan derajat dekomposisi dan kecepatan akumlasi
tumbuh – tumbuhan.

2.10. Ground Water dan Vegetation Index (GWI – VI) Calder, 1991

Kondisi pengaruh air tanah dicerminkan melaui indeks GWI (Ground


Water Index) yang secara langsung berhubungan dengan kontinuitas air hujan dan
suplai nutrisi, ion – ion yang ada pada air.
GWI merupakan rasio perbandingan antara jumlah tumbuhan yang
tergelifikasi kuat terhadap jaringan tumbuhan yang tergelifikasi lemah.
Perbandingan ini dapat menggambarkan proses gelifikasi yang
menyimpulkan tentang keadaan suplai air dan pH dari suatu lahan gambut/mire.
Pada lingkungan rawa yang berkembang menjadi kondisi rawa di bawah pengaruh
air tanah yang semain berkurang akan menghasilkan gambut yang lebih baik
(Calder, et al, 1991). Bukti kondisi ini dapat terlihat pada lapisan batubara yang
menunjukkan perubahan tendensi umum secara vertikal. Perubahan tendensi
umum tersebut diantaranya adalah penurunan kadar sulfur dan abu, kenaikan
pengawetan jaringan tumbuhan, penurunan gelifikasi biokimia dan penurunan
maseral liptinit yang berasal dari lingkungan air (Calder, et al, 1991).

19
Selain dari pengaruh air tanah yang dalam hal ini dinyatakan dalam GWI,
aspek vegetasi (VI) juga dapat dijadikan petunjuk dalam menginterpretasikan asal
mula suatu lahan gambut (paleomire). Secara teori lahan gambut dapat dibedakan
berdasarkan tipe tumbuhan pembentuk dengan menggunakan parameter kesamaan
antarmaseral.
Tumbuhan yang kaya akan lignin ditunjukkan dengan kandungan
telovitrinit, fusinit dan semifusinit yang tinggi. Dalam hal ini, suberinit dan resinit
adalah maseral penyerta. Tumbuhan asal perdu yang kaya selulosa melalui proses
pembatubaraan akan membentuk batubara yang kaya akan detrovinit,
inertodetrinit dan liptodetrinit (Teichmuller, 1989). Sementara sporanite dan
cutinite mempunyai distribusi yang sama pada batubara yang terbentuk dari
tumbuhan bawah air.

2.11. Kualitas Batubara

Batubara yang diperoleh dari hasil penambangan pasti mengandung bahan


pengotor (impurities). Pada saat terbentuknya, batubara selalu bercampur dengan
mineral penyusun batuan yang selalu terdapat bersamaan selama proses
sedimentasi, baik sebagai mineral anorganik ataupun sebagai bahan organik. Di
samping itu, selama berlangsung proses coalification terbentuk unsur S yang tidak
dapat dihindarkan. Keberadaan pengotor dalam batubara hasil penambangan
dipeparah lagi dengan adanya kenyataan bahwa tidak mungkin
membersihkan/memilih/mengambil batubara yang bebas dari mineral. Hal
tersebut disebabkan antara lain, penambangan batubara dalam jumlah besar selalu
mempergunakan alat – alat berat antara lain bulldoser, backhoe, tracktor, truck,
belt conveyor, ponton, yang selalu bergelimang dengan tanah. Dikenal dua jenis
impurities yaitu :
1) Inherent Impurities
Merupakan pengotor bawaan yang terdapat dalam batubara. Batubara yang
sudah dicuci (washing) dan dikecilkan ukuran butirnya/diremuk (crushing)
sehingga dihasilkan ukuran tertentu, ketika dibakar habis masih

20
memberikan sisa abu. Pengotor bawaan ini terjadi bersama – sama pada
waktu proses pembentukan batubara (ketika masih berupa gelly). Pengotor
tersebut dapat berupa gipsum, anhidrit, pirit, silika, dapat juga berbentuk
tulang – tulang binatang (diketahui adanya senyawa fosfor dari hasil
analisis abu) selain mineral lainnya. Pengotor bawaan ini tidak mungkin
dihilangkan sama sekali, tetapi dapat dikurangi dengan melakukan
pembersihan. Proses ini dikenal sebagai teknologi batubara bersih.

2) External impurities

Merupakan pengotor yang berasal dari luar, timbul pada saat proses
penambangan antara lain terbawanya tanah ayng berasal dari lapisan
penutup (overburden). Kejadian ini sangat umm dan tiak dapat dihindari,
khususnya pada penambangan batubara dengan metode tambang terbuka
(open pit).

Batubara merupakan endapan organik yang mutunya angat ditentukan oleh


beberapa faktor, antara lain tempat terdapatnya cekungan batubara, umur,
banyaknya pengotor/kontaminasi. Sebagai bahan baku pembangkit energi
yang dimanfaatkan dalam industri, mutu batubara mempunyai peranan
sangat penting dalam memilih peralatan yang akan dipergunakan dan
pemeliharaan alat.

2.12. Metode Pengujian Mutu Batubara

Metode pengujian mutu batubara adalah kumpulan prosedur yang


digunakan untuk menguji parameter mutu batubara melalui proses pengujian
kimia dan atau fisika, yang terdiri atas pengambilan conto, preparasi dan analisis
parameter mutu batubara. Informasi data yang dihasilkan dari pengujian mutu
tersebut dapat dipakai sebagai salah satu dasar untuk menetapkan mutu cadangan
batubara, penanganan batubara, transaksi jual-beli dan pengklasifikasian batubara.

21
2.12.1. Analisis Proksimat

Analisis proksimat bertujuan memberikan informasi mengenai


kandungan relatif senyawa organic ringan atau zat terbang (volatile matter),
senyawa organik non volatile atau karbon tertambat (fixed carbon), kandungan air
dalam batubara dan komponen anorganik sebagai residu hasil pembakaran berupa
abu.
a) Kadar Air Total

Kadar air total (total moisture) dalam batubara ditetapkan dengan


menganalisis kandungan air bebas (free moisture atau air-dry loss) dan
kandungan air bawaan (moisture in air-dry simple atau residual
moisture).
Berdasarkan Standar American Society for Testing and Materials,
Kadar air total dihitung dengan rumus :
TM = [RM(100 – ADL)/100] + ADL
Keterangan :
TM : kadar total moisture (%)
RM : kadar residual moisture (%)
ADL : nilai air dry loss (%)
Berdasarkan British Standard, Kadar air total dihitung dengan rumus :
TM = FM + M (1 – FM/100)

b) Kadar Air Lembab

Kadar air lembab (inherent moisture) adalah kadar air yang


ditetapkan pada contoh batubara untuk analisis umum (general
analysis) dan digunakan sebagai dasar perhitungan pada basis analisis
yang berbeda.
Kadar air lembab dihitung dengan rumus :
IM = (b – c)/(b – a) x 100%

22
Keterangan :
a : berat botol timbang + tutup (g)
b : berat contoh + berat timbang + tutup sebelum dipanaskan (g)
c : berat contoh + botol timbang + tutup setelah dipanaskan (g)

c) Kadar Zat Terbang

Zat terbang merupakan senyawa organik dan anorganik ringan


dalam batubara yang terlepas selain komponen air pada pemanasan
suhu tinggi. Zat terbang ini berasal dari ikatan organik komponen
batubara ataupun pengotor organik yang terikat dalam batubara.
Kandungan zat terbang digunakan untuk mengklasifikasikan jenis
batubara.
Kadar zat terbang dihitung dengan rumus :
VM = (b – c)/(b – a) x 100%
Keterangan :
a : berat botol timbang + tutup (g)
b : berat contoh + berat timbang + tutup sebelum dipanaskan (g)
c : berat contoh + botol timbang + tutup setelah dipanaskan (g)

d) Kadar Abu

Abu dalam batubara merupakan residu anorganik yang tidak dapat


terbakar (non-combustible) sebagai sisa hasil pembakaran batubara.
Kandungan abu dalam batubara memberikan gambaran tentang
kandungan mineral residu setelah komponen zat terbang, seperti CO2
dari karbonat, SO2 dari sulfide dan H2O dihilangkan dengan
pemanasan pada suhu tinggi.
Kadar abu dihitung dengan rumus :
Kadar Abu = (c – a)/(b – a) x 100%

23
Keterangan :
a : berat botol timbang + tutup (g)
b : berat contoh + berat timbang + tutup sebelum dipanaskan (g)
c : berat contoh + botol timbang + tutup setelah dipanaskan (g)

e) Kadar Karbon Tertambat


Kandungan karbon tertambatmerupakan hasil pengurangan 100%
dikurangi kadar zat terbang (%), kadar abu (%) dan kadar air lembab
(%). Karbon tertambat menggambarkan penguraian sisa komponen
organik batubara dan mengandung sebagian kecil unsur kimia
nitrogen, belerang, hidrogen dan oksigen atau terkat secara kimiawi.
Kandungan karbon tertambat ditentukan dengan perhitungan :
FC = 100% - (IM + VM + Ash)
Keterangan :
IM : kadar air lembab (%)
VM : kadar zat terbang (%)
Ash : kadar abu (%)

2.12.2. Analisis Ultimat

Komponen organik batubara secara umum merupakan senyawa kimia


yang mengandung karbon, hidrogen, nitrogen, sulfur dan oksigen. Analisis ultimat
merupakan kegiatan untuk menentukan kandungan unsur karbon, hidrogen,
nitrogen, sulfur dan oksigen dalam batubara serta dapat digunakan untuk
menentukan peringkat batubara dalam pengklasifikasian.
a) Kadar Karbon dan Hidrogen
Karbon dan hidrogen dalam batubara membentuk senyawa
kompleks dan berikatan sebagai senyawa hidrokarbon. Berdasarkan
British Standard, kandungan karbon (C) dan hidrogen (H) ditentukan
dengan rumus :
C = 27,29 x (b – c)/a

24
Keterangan :
a : berat contoh + botol absorpsi sodium hidroksida sebelum proses (g)
b : berat contoh + botol absorpsi sodium hidroksida sesudah proses (g)
c : blanko (g)
H = 11,19 x (b-c)/a

b) Kadar Nitrogen
Nitrogen dalam batubara terikat sebagai senyawa organik. Pada
pembakaran batubara, nitrogen bereaksi dengan udara dan membentuk
nitrogen oksida yang menjadi polutan di atmosfer bumi bila tidak
dikendalikan.
Berdasarkan British Standard, kandungan nitrogen ditentukan
dengan rumus :
N = [2,8 c x (V1 – V2)/m]
Keterangan :
V1 : volume larutan asam sulfat yang digunakan dalam titrasi contoh
(ml)
V2 : volume larutan asam sulfat yang digunakan dalam titrasi blanko
(ml)
c : konsentrasi larutan asam sulfat yang dipakai dalam titrasi (mol/l)
m : berat contoh (g)

c) Kadar Belerang Total


Belerang dalam batubara terdiri atas sulfur sebagai organik, sulfur
sebagai pyrite dan sulfur sebagai sulfat. Batubara dengan kandungan
belerang yang tinggi dapat menimbulkan dampak negatif dalam
pemanfaatannya. Selain menimbulkan korosi pada boiler, belerang
dapat juga menimbulkan polusi udara bila bereaksi dengan oksigen.
Berdasarkan British Standard, kandungan belerang total ditentukan
dengan rumus :

25
S = 3,206 [c1 (V1 – V2) – c2 (V3 – V4)]/m
Keterangan :
c1 : konsentrasi larutan sodium tetraborat (mol/l)
c2 : konsentrasi larutan sodium tetraborat (mol/l)
V1 : volume larutan sodium tetraborat yang digunakan dalam titrasi
contoh (ml)
V2 : volume larutan sodium tetraborat yang digunakan dalam titrasi
blanko (ml)
V3 : volume larutan asam sulfat yang digunakan dalam titrasi contoh
(ml)
V4 : volume larutan asam sulfat yang digunakan dalam titrasi blanko
(ml)
m : berat contoh batubara (g)

d) Kadar Oksigen
Oksigen yang terkandung dalam batubara terdiri atas oksigen pada
air di dalam batubara, senyawa organik dan bahan mineral seperti clay
dan karbonat. Oksigen berperan penting dalam proses gasifikasi dan
pencairan batubara untuk menghasilkan senyawa hidrokarbon.
Berdasarkan Standar American Society for Testing and Materials
dan British Standard, rumus yang digunakan dalam basis kering-udara
(adb) adalah
0 = 100 – Ash – C – H – N – S
Keterangan :
Ash : kadar abu (%), adb
C : kadar karbon (%), adb
H : kadar hidrogen (%), adb
N : kadar nitrogen (%), adb
S : kadar belerang (%), adb.

26
2.13. Lingkungan Pengendapan Batubara

Secara umum endapan sedimen pembawa lapisan batubara di


Indonesia di endapkan di lingkungan delta plain dan rawa. Batubara berada
pada sistem sungai meander, endapannya terdiri dari :
1) Endapan Overbank, merupakan endapan limpah banjir yang diendapkan di
rawa -rawa, terdiri dari litologi fraksi halus (mudstone, shally coal,
coally shale dan batubara) . Secara umum endapan overbank di lapangan
2) tersingkap menerus dan di beberapa tempat sering dipotong oleh
endapan crevasse splay dan channel batupasir.
3) Endapan Crevasse Splay, merupakan sedimen distributary channel
berbutir kasar menerobos dinding tanggul sungai saat terjadi banjir,
terendapkan di daerah limpah banjir yaitu di rawa-rawa, pengendapan
splay deposit di rawa bisa secara lokal bahkan bisa menerus. Secara
umum litologi splay deposit terdiri batupasir halus – kasar, campuran
batulanau, massif, berlapis, struktur sedimen yang umum berkembang
climbing ripple cross-laminasi, struktur imbrikasi (orientasi fragmen),
flaser laminasi, terdapat pita-pita batubara (coal string), campuran
karbon, komposisi mineral kuarsa, feldspar, sedikit orthoklas.
4) Endapan Levee, merupakan endapan tanggul di sisi sungai dalam
system sungai meander. Ciri litologi adalah interbedded dari berbagai
variasi ukuran butir, seperti perselingan batulanau, batupasir dan
batulempung.
5) Endapan Channel, dalam sistem aliran sungai meander , channel
merupakan faktor utama dalam pembentukan jenis endapan -endapan
sepe rti tersebut di atas, khususnya terkait dengan pembentukan rawa
6) batubara. Channel dalam sistem meandering mempunyai karakteristik
khusus yaitu berpindah tempat (migrasi) secara lateral, akibat migrasi
channel menyebabkan gangguan terhadap fasies batubara yaitu
terhambatnya pertumbuhan vegetasi sehingga akumulasi gambut juga

27
7) akan terganggu. Dampak lain akibat gangguan channel adalah aliran
washout yang berupa aliran batupasir channel yang mengerosi lapisan
batubara. Ciri -ciri litologi channel adalah :
a) Struktur sedimen gradded bedding (perlapisan bergradasi),
litologinya adalah batupasir konglomeratan, batupasir kasar.
b) Struktur sedimen lateral akresi, dicirikan oleh batupasir berlapis
melengkung seperti terlipat, kemudian bagian tepinya secara
berangsur berubah litologinya menjadi mudstone atau
c) siltstone, bagian bawah struktur lateral akresi terdapat endapan lag
(gravel) terorientasi secara secara teratur.
Kriteria utama pengenalan lingkungan pengendapan telah dikemukakan
oleh Horne dkk, 1978. Identifikasi bermacam lingkungan pengendapan purba dari
sayatan stratigrafi didasarkan pada pengenalan bermacam variasi dibandingkan
dengan sistem pengendapan fluvial, delta, dan barrier modern (saat sekarang).
Selanjutnya pembahasan masing – masing lingkungan pengendapan batubara
lebih mengacu kepada pembagian yang dikemukakan oleh Horne dkk, 1978
(Gambar 2.3). Adapun lingkungan pengendapan batubara menurut Horne dkk,
(1978) dalam Riswandi (2008) dibagi menjadi 5 (lima) lingkungan, yakni sebagai
berikut :

Gambar 2.3. Model Lingkungan Pengendapan Batubara (Horne dkk, 1978 dalam
Nurjihan, 2011)

28
2.13.1. Lingkungan Barrier

Lingkungan barrier mempunyai peran penting, yaitu menutup pengaruh


oksidasi dari air laut dan mendukung pembentukan gambut dibagian dataran.
Kriteria utama mengenal lingkungan barrier adalah hubungan lateral dan
vertikal dari struktur sedimen dan pengenalan tekstur batupasirnya. Kearah laut
batupasir butirannya menjadi halus dan selang seling dengan serpih gampingan
merah kecoklatan sampai hijau. Batuan karbonat dengan fauna laut kearah darat
bergradasi menjadi serpih berwarna abu – abu gelap sampai hijau tua yang
mengandung fauna air payau.

2.13.2. Lingkungan Back-Barrier

Lingkungan ini jika kearah darat, berangsur menjadi lingkungan “lagoon


backbarrier”. Penyusun utama lingkungan ini adalah urutan perlapisan serpih abu
– abu gelap yang kaya bahan organik dan batulanau yang terus diikuti oleh
batubara yang secara lateral tidak menerus dan zona siderite yang berlubang.

2.13.3. Lower Delta Plain

Batubara yang dihasilkan relatif tipis dan terbelah (split) oleh sejumlah
endapan crevasse splay. Lapisan batubara cendrung menerus sepanjang jurus
pengendapan, tetapi sering juga tidak menerus sejajar dengan pengendapan
kerena batubara digantikan tempatnya oleh material bay fill secara anterdistribusi.
Sekuen yang terbentuk dari butiran halus atau sediment organic,
termasuk batubara mungkin sebagian mengisi channel-channel ini. Fasies lain
didalam endapan lower delta plain termasuk endapan crevasse splay yang
mengkasar keatas, biasanya ditemukan pada sekuen bay fill dan dengan
sortasi buruk, endapan irregular bedded levee yang berasosiasi dengan bagian
channel fill. Akhirnya komponen utama dari lower delta plain adalah creavase
splay. Ketebalan endapan creavase splay lebih dari 12 m dengan pelamparan
horizontal berkisar 30 m – 8 km.

29
2.13.4. Upper Delta Plain

Endapannya didominasi oleh bentuk linier, tubuh batupasir lentikuler


tebalnya 15 - 25 m dan lebarnya 1,5 - 11 km pada tubuh batupasir terdapat
gerusan dibawahnya, permukaannya terpotong tajam, tetapi lateral pada bagian
atas batupasir ini melidah dengan serpih abu-abu, batulanau dan lapisan batubara.
Mineralogi batupasir bervariasi mulai lithic grey wacke sampai arkose,
ukuran butir menengah sampai kasar. Diatas bidang gerus terdapat kerikil lepas
dan hancuran batubara yang melimpah pada bagian bawah, makin ke atas butiran
menghalus pada batupasir. Perlapisan pada batupasir masif pada bagian bawah
terdapat “festoon cross beds” tebal, keatas batupasir massif berubah menjadi
lapisan point bar yang maju (kemiringan rata-rata 17º), mengandung festoon
cross beds dengan skala yang lebih kecil. Lapisan ini ditutupi oleh batupasir
dan batulanau dengan akar tanaman dan struktur “climbing ripples”. Semua sifat
khas ini, menunjukan energi besar pada channel flank disekitar rawa kecil dan
danau – danau. Dari bentuk batupasir dan pertumbuhan lapisan point bar-nya
menunjukan bahwa hal ini dikontrol oleh meandering. Batupasir ini
memperlihatkan susunan yang enechelon masuk ke daerah rawa belakang
(backswamps).
Sekuen endapan backswamp dari bawah keatas, terdiri dari “seat earth”,
batubara, serpih dengan fosil tanaman yang melimpah dan jarang pelecypoda air
tawar, batulanau, batupasir, “seat earth” dan batubara. Batupasir secara
lateral menebal dan akhirnya bergabung dengan tubuh utama batupasir.
Batupasirnya tipis (1,5-4,5m), berbutir halus, mengkasar keatas. Sekuen ini
tipe endapan pada tubuh air terbuka, mungkin rawa dangkal atau danau.
Pelamparan lateral endapan ini antara 1,5-8 km.
Endapan levee dicirikan oleh sortasi yang buruk, perlapisan
batupasir dan batulanau yang tidak teratur hingga menembus akar. Ketebalannya
dapat mencapai lebih dari 8 m, terutama di dekat channel yang aktif dan ketebalan

30
serta ukuran buturnya akan berkurang bila menjauhi channel. Lapisan batubara
pada endapan upper delta plain cukup tebal (lebih dari 10 m), tetapi secara
lateral tidak menerus, kadang sering mencapai 150 m lapisan pembentuk endapan
alluvial plain (Gambar 2.4). Kedudukan lapisan batubaranya cendrung sejajar
dengan kemiringan pengendapan, tetapi sedikit yang menerus dibandingkan
dengan fasies lower delta plain. Sehubungan dengan sedikitnya jumlah
bagian yang teratur mengikuti channel sungai, maka lapisan - lapisannya
sangat tebal dengan jarak yang relative pendek dengan sejumlah split
(membelah) mungkin berkembang dalam hubungannya dengan endapan tanggul
(Levee) yang kontenporer. Bentuk lapisan juga dimodifikasi secara besar -
besaran oleh adanya perkembangan washout pada tingkat akhir dari proses
pengendapan.

Gambar 2.4 Penampang Singkapan dan Rekontruksi Upper Delta Plain-Fluvial


(Horne dkk, 1978 dalam Nurjihan, 2011)

31
Pada endapan upper delta plain ini juga sering terjadi kenampakan
Washout, dimana Washout ini merupakan tubuh lentikuler sedimen yang
menonjol ke bawah, biasanya barupa batupasir dan menggantikan sebagian atau
seluruh lapisan batubara yang ada. Ukurannya sangat bervariasi, baik tebal dan
pelamparannya. Sebagian besar struktur Washout ini di isi oleh batupasir,
meskipun kerikil batubara atau konglomerat kerikilan juga dapat hadir. Hal
ini mencerminkan lingkungan meander cut-off dan channel.
Washout merupakan masalah utama didalam proses penambangan, yakni
ketebalan batubara berkurang atau tidak menerusnya suatu lapisan batubara
kerena terpotong oleh Washout. Sehingga sangat mempengaruhi didalam
kepentingan perencanaan penambangan dan pengembangannya.

2.13.5 Transitional Lower Delta Plain

Zona diantara lower dan upper delta plain dijumpai zona teransisi
yang mengandung karakteristik litofasies dari kedua sekuen tersebut. Sekuen bay-
fill dicirikan butirannya halus, lebih tipis (1,5-7,5m) dari lower delta plain.
Bagaimanapun sekuen bay-fill tidaklah sama dengan sekuen upper delta plain,
zona ini mengandung fauna air payau sampai fauna marin serta struktur burrowed
yang meluas.
Endapan channel menunjukan kenampakan migrasi lateral lapisan point-
bar accretion menjadi channel pada upper delta plain. Channel pada
“Transitional delta plain” ini berbutir halus dari pada di upper delta plain.
Endapan channel ini menunjukan sekuen “single-storied” yang migrasi
lateralnya hanya satu arah, bagaimanapun batupasir channel upper delta
plain merupakan satuan “multi-stroried” yang migrasi ke berbagai arah. Levee
berasosiasi dengan channel yang menebal (1,5-4,5m) dan menembus akar secara
meluas dari pada lower delta plain. Batupasir tipis splay (1,5-4,5m) umum pada
endapan ini, tetapi sedikit lebih dari pada lower delta plain dan tidak
semelimpah di upper delta plain.

32

Anda mungkin juga menyukai