TINJAUAN PUSTAKA
Keadaan morfologi daerah PT. Kideco Jaya Agung terdiri dari lereng -
lereng. Perbukitan yang terbentuk mengarah ke Utara - Selatan yang searah
dengan aliran sungai di Timur dan Barat dari Selatan perbukitan tersebut.
5
2.1.2 Stratigrafi regional
Urutan satuan batuan tersier yang mengisi sub cekungan Paser, di urutkan
dari muda ke tua adalah : Formasi Warukin, Formasi Berai, Formasi Pemaluan,
Formasi Kuaro, dan Formasi Tanjung. Formasi Berai mempunyai hubungan
menjemari (interfingering) dengan Formasi Pemaluan, demikian pula halnya
dengan Formasi Kuaro dan Tanjung. Formasi Kuaro dan Formasi Tanjung ini
menutupi secara tidak selaras dengan batuan dasar yang berumur Pratersier berupa
Formasi Pitap, Formasi Haruyan, dan batuan tektonik (ultramafik). Seluruh satuan
batuan ini ditutupi secara tidak selaras oleh satuan batuan berumur kuarter.
1. Formasi Warukin
Formasi warukin mengalami pengendapan pada awal susut laut (regresi).
Batuan penyusun dari formasi ini terdiri batulempung yang berselang-seling
dengan lapisan-lapisan tipis batukuarsa dan batulempung serta
batugamping. Formasi ini mulai terbentuk bersamaan dengan pengangkatan
Tinggian Meratus dibagian Timur Cekungan Barito, yang dikenal dengan
synorogenicyang mulai pada Miosen Awal Tengah.
Litologi yang terdapat pada bagian bawah Formasi Warukin tersusun atas
batu lempung dengan sisipan batubara serta lapisan batupasir kuarsa. Pada
bagian tengah formasi ini masih diendapkan batulempung, batubara dan
sisipan batupasir kuarsa. Sedangkan pada bagian atasnya, diendapkan
batulempung, sisispan batupasir kuarsa serta sisipan batubara yang tebal.
Formasi ini diendapkan didaerah laut dangkal atau litoral (Triono dan
Mulyana, 2007), sedangkan perselingan batupasir dan batulempung
menandakan adanya energi pengangkutan partikel sedimen berbeda yang
biasanya dijumpai pada dataran banjir disekitar muara sungai, sedangkan
batubara didaerah ini muncul sebagai sisipan yang memiliki ketebalan
mencapai 25 m.
6
2. Formasi Berai
Formasi ini memiliki umur Oligosen Awal – Miosen Awal dan diendapkan
secara selaras diatas Formasi Tanjung. Pada bagian bawah formasi ini
terdapat litologi berupa batulempung karbonatan. Sedangkan dibagian
tengah terbentuk litologi batugamping yang massif. Setelah itu, pada bagian
atas dari formasi ini, dindapkan kembali batulempung karbonatan.
Formasi ini memiliki ketebalan sekitar 100 m dengan pola penyebaran yang
dikontrol oleh ketinggian purba pada pembentukan cekungan yang lebih tua.
Diendapkan pada kala Miosen Awal hingga Miosen Akhir di lingkungan
neritik, dengan ciri litologi batulempung, serpih, batugamping, batulanau
dan sisipan batupasir kuarsa.
3. Formasi Pamaluan
7
4. Formasi Tanjung
8
2.2. Genesa Batubara
Ada dua teori yang menerangkan terjadinya batubara. Satu, teori In-situ.
Dua, teori Drift (Sukandarrumidi, 1995, hal.17).
Menurut teori in-situ, batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang
berasal dari hutan tempat batubara tersebut terbentuk. Batubara yang terbentuk
sesuai dengan teori in-situ biasanya tejadi di hutan basah dan berawa, sehingga
pohon – pohon di hutan tersebut pada saat mati dan roboh langsung tenggelam ke
dalam rawa tersebut dan sisa tumbuhan tersebut tidak mengalami pembusukan
secara sempurna dan akhirnya menjadi fosil tumbuhan yang membentuk sedimen
organik.
Batubara, menurut teori Drift, terbentuk dai tumbuhan atau pohon yang
berasal dari hutan yang bukan di tempat batubara tersebut terbentuk. Batubara
yang terbentuk sesuai dengan teori Drift biasanya terjadi di delta – delta dengan
ciri – ciri lapisan batubara tipis, ttidak menerus (splitting), banyak lapisan
(multiple seam) dan banyak pengotor (kandungan abu cenderung tinggi).
Kedua teori diatas menunjukkan bahwa kondisi lingkungan geologi
dipersyaratkan, antara lain, proses terjadi pada lingkungan berawa yang
berdekatan denga laut atau pada wilayah yang mengalami proses subsidence
9
(penurunan), sehingga akumulasi gambut dapat tertimbun oleh sedimentasi pada
saat terjadi permukaan laut naik atau permukaan tanah turun.
Proses pembentukan batubara terdiri atas dua tahap. Satu, tahap biokimia
(penggambutan). Dua, tahap geokimia (pembatubaraan).
Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap ketika sisa – sisa
tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi bebas oksigen (anaerobic)
di daerah rawa dengan system penirisan (drainage system) yang buruk dan selalu
tergenang air beberapa inci di bawah permukaan air rawa. Material tumbuhan
yang busuk tersebut melepaskan unsur H, N, O dan C dalam bentuk senyawa CO2,
H2O dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya, oleh bakteri anaerobik dan
fungi, material tumbuhan itu diubah menjadi gambut (Statch, 1982, op cit
Susilawati 1992).
Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan proses diagenesis
terhadap komponen organik dari gambut yang menimbulkan peningkatan
temperature dan tekanan sebagai gabungan proses biokimia, kimia dan fisika yan
terjadi karena pengaruh pembebanan sedimen yang menutupinya dalam kurun
waktu geologi. Pada tahap tersebut, persentase karbon akan meningkat, sedangkan
persentase hydrogen dan oksigen akan berkurang (Fischer, 1927, op cit Susilawati
1992), sehingga menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat maturitas material
organiknya.
Pembentukan batubara dimlai sejak Periode Pembentukan Karbon
(Carboniferous Period) yang dikenal sebagai Zaman Batubara Pertama yang
berlangsung selama 360 juta – 290 juta tahun lalu. Endapan tumbuhan yang
berubah menjadi gambut (peat), selanjutnya berubah menjadi batubara muda
(lignite) atau disebut pula batubara cokelat (brown coal). Setelah mendapat
pengaruh suhu dan tekanan yang terus – menerus selama jutaan tahun, amak
batubara muda akan mengalami perubahan, yang secara bertahap menambah
maturitas organiknya dan berubah menjadi batubara subbituminus (sub-
bituminous).
10
Perubahan secara kimia dan fisika terus berlangsung hingga batubara
menjadi lebih keras dan berwarna lebih hitam, sehingga membentuk bituminus
Dalam kondisi yang tepat, peningkatan aturitas organik yang semakin tinggi terus
berlangsung hingga membnetuk antrasit (anthracite).
11
Tabel 2.1. Tahap – tahap perkembangan gambut menjadi meta - antrasit (Thomas, 2002)
12
Untuk proses pembatubaraan fase lanjut dengan waktu yang cukup lama
atau dengan bantuan pemanasan, unsur senyawa karbon tertambat yang terbentuk
akan bertambah, sehingga grade batubara akan menjadi lebih tinggi. Pada fase
tersebut, unsur hidrogen yang terikat pada molekul air yang terbentuk akan
menjadi semakin sedikit.
Bukti bahwa batubara berasal dari sisa tumbuhan diperkuat dengan banyak
ditemukannya cetakan tumbuhan di dalam lapisan batubara. Dalam
penyusunannya, batubara diperkaya dengan bermacam polimer organic yang
berasal dari karbohidrat, lignin dan lain – lain. Tapi, komposisi polimer – polimer
tersebut bervariasi bergantung pada spesies tumbuhan penyusunnya.
Dari tinjauan beberapa senyawa dan unsur yang terbentuk pada saat proses
pembatubaraan, secara umum, ada beberapa kelas atau tingkat. Satu, gambut
dengan karakteristik : warna cokelat, material belum terkompaksi ; memiliki
kandungan air yang sangat tinggi ; memiliki kandungan karbon tertambat sangat
rendah ; memiliki kandungan karbon terbang sangat tinggi ; sangat mdah
teroksidasi ; dan nilai panas yang dihasilkan amat rendah.
Dua, lignit dengan ciri : warna kecoklatan ; material terkompaksi, tapi
sangat rapuh ; memiliki kandungan air tinggi ; memiliki kandungan karbon
tertambat rendah ; memiliki kandungan karbon terbang tinggi ; mudah teroksidasi;
dan nilai panas yang dihasilkan rendah.
Tiga, subbituminous hingga bituminous dengan karakteristik : warna
hitam, material sudah terkompaksi, memiliki kandungan air sedang, memiliki
kandungan karbon tertambat sedang, memiliki kandungan karbon terbang sedang,
sifat oksidasi menengah, dan nilai panas yang dihasilkan sedang. Empat, antrasit
dengan ciri : warna hitam mengilat, amterial terkompaksi dengan kuat, memiliki
kandungan air rendah, memiliki kandungan karbon tertambat tinggi, memiliki
kandungan karbon terbang rendah, relatif sulit teroksidasi dan nilai panas yang
dihasilkan tinggi.
13
2.6. Peringkat Batubara (Coal Rank)
14
Sisa Tumbuhan Asli
Pembentukan Gambut/Peatification
(Fase Biokimia)
Gambut
Brown Coal
Pembentukan Batubara
Subbituminous (Fase Geokimia)
Bituminous
15
Tabel.2.2 Klasifikasi Peringkat Batubara (ASTM Standard, 1983) Dan Hubuungan
Reflektansi Vitrinit (dimodifikasi dari Meissner, 1984, dalam Nurjihan,
2011)
16
Pembagian maseral pada batubara secara umum adalah sebagai berikut :
1) Kelompok Vitrinit
Vitrinit ialah hasil dari proses pembatubaraan materi humic yang berasal
dari selulosa (C6H10O5) dan lignin dinding sel tumbuhan yang mengandung serat
kayu (woody tissues) seperti batang, akar dan daun. Vitrinite adalah bahan utama
penyusun batubara di Indonesia (> 80%). Di bawah mikroskop, kelompok maseral
ini memperlihatkan warna pantul yang lebih terang daripada kelompok liptinit,
namun lebih gelap dari kelompok interknit, berwarna mulai dari abu – abu tua
hingga abu – abu terang. Kenampakan di bawah mikroskop tergantung dari
tingkat pembatubaraannya (coal rank).
2) Kelompok Liptinit
17
menjelaskan lingkungan pengendapan itu sendiri, kemdian lazim disebut fasies.
Fasies batubara berhubungan dengan tipe genetik batubara yang diekspresikan
melalui komposisi maseral dan komposisi kimia serta sifat teksturnya. Maseral
diperoleh dari hasil analisis yang telah digunakan untuk mengetahui lingkungan
pengendapan pada saat pengendapan gambut (Diessel, 1986).
Fungsi maseral dalam analisis penentuan lingkungan pengendapan
batubara dapat didasarkan pada sifat – sifat yang dimilikinya, antara lain sifat
atribut dan sifat skalar. Suatu lapisan batubara mlai dari lapisan dasar (floor)
hingga atas (roof) memiliki sifat – sifat tertentu, yang mencerminkan kondisi
lingkungan pengendapannya. Sifat atribut adalah suatu sifat yang dicirikan oleh
ada atau tidaknya suatu maseral tertentu, dalam hal ini kelimpahan maseral sangat
penting untuk dijadikan penciri suatu lingkungan pengendapan saat batubara
diendapkan berdasarkan sifat – sifat atribut maseralnya
Sedangkan menurut Diessel (1986), sifat skalar dari suatu maseral bukan
didasarkan atas faktor kehadiran atau morfologi maseral tertentu, tetapi pada
hubungan kuantitatif antara tiap maseral dalam batubara, Diessel (1986),
memperkenalkan dua parameter utama dalam penentuan fasies batubara
berdasarkan komposisi maseral pada batubara yaitu ; TPI (Tissue Preservation
Index) dan GI (Gelification Index).
18
peningkatan persentase kehadiran tumbuh – tumbuhan kayu. Jika harga TPI tinggi
dikarenakan banyaknya fusinit atau semifusinit maka ini menunjukkan proses
dekomposisi yang diakibatkan oleh proses oksidasi yang berlangsung dengan
cepat (Widodo, 2008).
GI (Gelification Index) merupakan perbandingan maseral yang terbentuk
karena proses gelifikasi (vitrinit dan makrinit) terhadap maseral yang terbentuk
karena proses oksidasi (fusinit, semifusinit dan inertodetrinit). Kondisi yang baik
untuk terbentuknya vitrinit dan makrinit adalah jika gambut selalu dalam kondisi
basah dan suplai oksigen terbatas yaitu jika muka air tanah berada atau sedikit
diatas permukaan gambut. Sehingga dari harga GI dapat diinterpretasikan muka
air tanah relatif tinggi terhadap permukaan gambut. Kombinasi TPI dan GI dapat
digunakan untuk memperkirakan derajat dekomposisi dan kecepatan akumlasi
tumbuh – tumbuhan.
2.10. Ground Water dan Vegetation Index (GWI – VI) Calder, 1991
19
Selain dari pengaruh air tanah yang dalam hal ini dinyatakan dalam GWI,
aspek vegetasi (VI) juga dapat dijadikan petunjuk dalam menginterpretasikan asal
mula suatu lahan gambut (paleomire). Secara teori lahan gambut dapat dibedakan
berdasarkan tipe tumbuhan pembentuk dengan menggunakan parameter kesamaan
antarmaseral.
Tumbuhan yang kaya akan lignin ditunjukkan dengan kandungan
telovitrinit, fusinit dan semifusinit yang tinggi. Dalam hal ini, suberinit dan resinit
adalah maseral penyerta. Tumbuhan asal perdu yang kaya selulosa melalui proses
pembatubaraan akan membentuk batubara yang kaya akan detrovinit,
inertodetrinit dan liptodetrinit (Teichmuller, 1989). Sementara sporanite dan
cutinite mempunyai distribusi yang sama pada batubara yang terbentuk dari
tumbuhan bawah air.
20
memberikan sisa abu. Pengotor bawaan ini terjadi bersama – sama pada
waktu proses pembentukan batubara (ketika masih berupa gelly). Pengotor
tersebut dapat berupa gipsum, anhidrit, pirit, silika, dapat juga berbentuk
tulang – tulang binatang (diketahui adanya senyawa fosfor dari hasil
analisis abu) selain mineral lainnya. Pengotor bawaan ini tidak mungkin
dihilangkan sama sekali, tetapi dapat dikurangi dengan melakukan
pembersihan. Proses ini dikenal sebagai teknologi batubara bersih.
2) External impurities
Merupakan pengotor yang berasal dari luar, timbul pada saat proses
penambangan antara lain terbawanya tanah ayng berasal dari lapisan
penutup (overburden). Kejadian ini sangat umm dan tiak dapat dihindari,
khususnya pada penambangan batubara dengan metode tambang terbuka
(open pit).
21
2.12.1. Analisis Proksimat
22
Keterangan :
a : berat botol timbang + tutup (g)
b : berat contoh + berat timbang + tutup sebelum dipanaskan (g)
c : berat contoh + botol timbang + tutup setelah dipanaskan (g)
d) Kadar Abu
23
Keterangan :
a : berat botol timbang + tutup (g)
b : berat contoh + berat timbang + tutup sebelum dipanaskan (g)
c : berat contoh + botol timbang + tutup setelah dipanaskan (g)
24
Keterangan :
a : berat contoh + botol absorpsi sodium hidroksida sebelum proses (g)
b : berat contoh + botol absorpsi sodium hidroksida sesudah proses (g)
c : blanko (g)
H = 11,19 x (b-c)/a
b) Kadar Nitrogen
Nitrogen dalam batubara terikat sebagai senyawa organik. Pada
pembakaran batubara, nitrogen bereaksi dengan udara dan membentuk
nitrogen oksida yang menjadi polutan di atmosfer bumi bila tidak
dikendalikan.
Berdasarkan British Standard, kandungan nitrogen ditentukan
dengan rumus :
N = [2,8 c x (V1 – V2)/m]
Keterangan :
V1 : volume larutan asam sulfat yang digunakan dalam titrasi contoh
(ml)
V2 : volume larutan asam sulfat yang digunakan dalam titrasi blanko
(ml)
c : konsentrasi larutan asam sulfat yang dipakai dalam titrasi (mol/l)
m : berat contoh (g)
25
S = 3,206 [c1 (V1 – V2) – c2 (V3 – V4)]/m
Keterangan :
c1 : konsentrasi larutan sodium tetraborat (mol/l)
c2 : konsentrasi larutan sodium tetraborat (mol/l)
V1 : volume larutan sodium tetraborat yang digunakan dalam titrasi
contoh (ml)
V2 : volume larutan sodium tetraborat yang digunakan dalam titrasi
blanko (ml)
V3 : volume larutan asam sulfat yang digunakan dalam titrasi contoh
(ml)
V4 : volume larutan asam sulfat yang digunakan dalam titrasi blanko
(ml)
m : berat contoh batubara (g)
d) Kadar Oksigen
Oksigen yang terkandung dalam batubara terdiri atas oksigen pada
air di dalam batubara, senyawa organik dan bahan mineral seperti clay
dan karbonat. Oksigen berperan penting dalam proses gasifikasi dan
pencairan batubara untuk menghasilkan senyawa hidrokarbon.
Berdasarkan Standar American Society for Testing and Materials
dan British Standard, rumus yang digunakan dalam basis kering-udara
(adb) adalah
0 = 100 – Ash – C – H – N – S
Keterangan :
Ash : kadar abu (%), adb
C : kadar karbon (%), adb
H : kadar hidrogen (%), adb
N : kadar nitrogen (%), adb
S : kadar belerang (%), adb.
26
2.13. Lingkungan Pengendapan Batubara
27
7) akan terganggu. Dampak lain akibat gangguan channel adalah aliran
washout yang berupa aliran batupasir channel yang mengerosi lapisan
batubara. Ciri -ciri litologi channel adalah :
a) Struktur sedimen gradded bedding (perlapisan bergradasi),
litologinya adalah batupasir konglomeratan, batupasir kasar.
b) Struktur sedimen lateral akresi, dicirikan oleh batupasir berlapis
melengkung seperti terlipat, kemudian bagian tepinya secara
berangsur berubah litologinya menjadi mudstone atau
c) siltstone, bagian bawah struktur lateral akresi terdapat endapan lag
(gravel) terorientasi secara secara teratur.
Kriteria utama pengenalan lingkungan pengendapan telah dikemukakan
oleh Horne dkk, 1978. Identifikasi bermacam lingkungan pengendapan purba dari
sayatan stratigrafi didasarkan pada pengenalan bermacam variasi dibandingkan
dengan sistem pengendapan fluvial, delta, dan barrier modern (saat sekarang).
Selanjutnya pembahasan masing – masing lingkungan pengendapan batubara
lebih mengacu kepada pembagian yang dikemukakan oleh Horne dkk, 1978
(Gambar 2.3). Adapun lingkungan pengendapan batubara menurut Horne dkk,
(1978) dalam Riswandi (2008) dibagi menjadi 5 (lima) lingkungan, yakni sebagai
berikut :
Gambar 2.3. Model Lingkungan Pengendapan Batubara (Horne dkk, 1978 dalam
Nurjihan, 2011)
28
2.13.1. Lingkungan Barrier
Batubara yang dihasilkan relatif tipis dan terbelah (split) oleh sejumlah
endapan crevasse splay. Lapisan batubara cendrung menerus sepanjang jurus
pengendapan, tetapi sering juga tidak menerus sejajar dengan pengendapan
kerena batubara digantikan tempatnya oleh material bay fill secara anterdistribusi.
Sekuen yang terbentuk dari butiran halus atau sediment organic,
termasuk batubara mungkin sebagian mengisi channel-channel ini. Fasies lain
didalam endapan lower delta plain termasuk endapan crevasse splay yang
mengkasar keatas, biasanya ditemukan pada sekuen bay fill dan dengan
sortasi buruk, endapan irregular bedded levee yang berasosiasi dengan bagian
channel fill. Akhirnya komponen utama dari lower delta plain adalah creavase
splay. Ketebalan endapan creavase splay lebih dari 12 m dengan pelamparan
horizontal berkisar 30 m – 8 km.
29
2.13.4. Upper Delta Plain
30
serta ukuran buturnya akan berkurang bila menjauhi channel. Lapisan batubara
pada endapan upper delta plain cukup tebal (lebih dari 10 m), tetapi secara
lateral tidak menerus, kadang sering mencapai 150 m lapisan pembentuk endapan
alluvial plain (Gambar 2.4). Kedudukan lapisan batubaranya cendrung sejajar
dengan kemiringan pengendapan, tetapi sedikit yang menerus dibandingkan
dengan fasies lower delta plain. Sehubungan dengan sedikitnya jumlah
bagian yang teratur mengikuti channel sungai, maka lapisan - lapisannya
sangat tebal dengan jarak yang relative pendek dengan sejumlah split
(membelah) mungkin berkembang dalam hubungannya dengan endapan tanggul
(Levee) yang kontenporer. Bentuk lapisan juga dimodifikasi secara besar -
besaran oleh adanya perkembangan washout pada tingkat akhir dari proses
pengendapan.
31
Pada endapan upper delta plain ini juga sering terjadi kenampakan
Washout, dimana Washout ini merupakan tubuh lentikuler sedimen yang
menonjol ke bawah, biasanya barupa batupasir dan menggantikan sebagian atau
seluruh lapisan batubara yang ada. Ukurannya sangat bervariasi, baik tebal dan
pelamparannya. Sebagian besar struktur Washout ini di isi oleh batupasir,
meskipun kerikil batubara atau konglomerat kerikilan juga dapat hadir. Hal
ini mencerminkan lingkungan meander cut-off dan channel.
Washout merupakan masalah utama didalam proses penambangan, yakni
ketebalan batubara berkurang atau tidak menerusnya suatu lapisan batubara
kerena terpotong oleh Washout. Sehingga sangat mempengaruhi didalam
kepentingan perencanaan penambangan dan pengembangannya.
Zona diantara lower dan upper delta plain dijumpai zona teransisi
yang mengandung karakteristik litofasies dari kedua sekuen tersebut. Sekuen bay-
fill dicirikan butirannya halus, lebih tipis (1,5-7,5m) dari lower delta plain.
Bagaimanapun sekuen bay-fill tidaklah sama dengan sekuen upper delta plain,
zona ini mengandung fauna air payau sampai fauna marin serta struktur burrowed
yang meluas.
Endapan channel menunjukan kenampakan migrasi lateral lapisan point-
bar accretion menjadi channel pada upper delta plain. Channel pada
“Transitional delta plain” ini berbutir halus dari pada di upper delta plain.
Endapan channel ini menunjukan sekuen “single-storied” yang migrasi
lateralnya hanya satu arah, bagaimanapun batupasir channel upper delta
plain merupakan satuan “multi-stroried” yang migrasi ke berbagai arah. Levee
berasosiasi dengan channel yang menebal (1,5-4,5m) dan menembus akar secara
meluas dari pada lower delta plain. Batupasir tipis splay (1,5-4,5m) umum pada
endapan ini, tetapi sedikit lebih dari pada lower delta plain dan tidak
semelimpah di upper delta plain.
32