Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
PT Batutua Kharisma Permai – Batutua Tembaga Raya (PT BKP – BTR)
merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan khususnya
tembaga (Cu) yang menggunakan metode tambang terbuka Open Cast .
Pada kegiatan penambangan di PT BKP-BTR, excavator maupun ripper
tidak dapat mengambil ore dari depositnya diakibatkan karena tingkat kekerasan
ore tinggi, sehingga dibutuhkan pemboran dan peledakan untuk memberai ore
agar mudah diambil oleh excavator.
Proses peledakan merupakan kegiatan yang berhubungan langsung dengan
bahan peledak, yang mempunyai sensitivitas terhadap kondisi tertentu seperti
suhu. Pada PT BKP-BTR kondisi batuan banyak mengandung mineral sulfida
yang dapat teroksidasi secara alami ketika terkena atmosfir oksigen, dan
mengalami pelapukan sehingga dapat menyebabkan meningkatnya suhu dari
mineral sulfida (Kennedy and Tyson, 2001) . Dengan kondisi ini suhu lubang
ledak akan ikut meningkat, dan akan berpengaruh terhadap bahan peledak. Pada
PT BKP-BTR bahan peledak yang digunakan adalah ANFO yang dapat meledak
dengan sendirinya tanpa dipicu oleh alat pemicunya jika suhu dalam lubang ledak
lebih dari 50⸰ C (Orica Mining Service), proses ini disebut dengan Premature
Blast.
Untuk mengatasi premature blast, PT BKP-BTR tidak mengisi bahan
peledak pada lubang ledak yang memiliki suhu lebih dari 50⸰C. Dengan begitu
tidak semua lubang ledak terisi bahan peledak , maka daya ledak yang didapatkan
pada area tersebut akan lebih kecil sehingga akan berpengaruh terhadap hasil
ukuran fragmentasi dari proses peledakan yang terjadi di area tersebut. Hasil
ukuran fragmentasi yang besar , yang di tunjukan dengan banyaknya boulder akan
mempengaruhi pada proses selanjutnya, yaitu penggali, pemuatan, pengangkutan,
penghancuran, dan penggilingan sehingga memerlukan kegiatan tambahan untuk
usaha memperkecil ukuran.

1
Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji fragmentasi peledakan
di sekitar area yang berpotensi terjadi premature blast.

I.2 Perumusan Masalah

Adapun permasalahan yang dibahas pada penelitian ini , antara lain :

1. Di daerah mana sajakah yang memiliki suhu lubang ledak yang tinggi
(>50⸰C)?

2. Di daerah mana sajakah yang berpotensi terjadi premature blast ?

3. Berapakah rata-rata hasil ukuran fragmentasi batuan dari peledakan


yang dilakukan di sekitar lubang ledak yang berpotensi terjadi
Premature Blast ?

4. Bagaimana pengaruh area potensi premature blast terhadap hasil


ukuran fragmentasi batuan dari proses peledakan yang di lakukan di
sekitar area tersebut?

I.3 Tujuan Penelitian

Adapun maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui area yang memiliki suhu lubang ledak yang tinggi

2. Mengetahui area yang berpotensi terjadi premature blast

3. Mengetahui rata rata hasil ukuran fragmentasi batuan pada proses


peledakan yang dilakukan di sekitar lubang ledak yang berpotensi
terjadi premature blast

4. Menganalisis pengaruh area potensi premature blast terhadap hasil


ukuran fragmentasi batuan dari proses peledakan yang di lakukan di
sekitar area tersebut

2
I.4 Batasan Masalah

Adapun Batasan masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:

1. Lokasi penelitian dilakukan di area penambangan PT Batutua Kharisma


Permai – Batutua Tembaga Raya (PT BKP – BTR)

2. Data yang digunakan adalah data peledakan Mei – Juni 2019

3. Tidak dilakukan kajian ekonomi pada penelitian ini

I.5 Manfaat Penelitian

Membantu perusahaan dalam mengevaluasi ukuran fragmentasi dari hasil


peledakan yang telah dilakukan, apakah sudah sesuai dengan yang dinginkan
perusahaan.

3
I.6 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai area yang berpotensi terjadi premature blast pernah


dilakukan oleh Samuel Renjaan pada PT Batutua Kharisma Permai – Batutua
Tembaga Raya.

Tabel I.1
Penelitian Terdahulu
Nama Judul Penelitian Hasil Penelitian
Samuel Renjaan Kajian Pengaruh Kondisi Dari hasil penelitian ini
(2015) Geologi Terhadap menyimpulkan bahwa
Geometri Peledakan dan area yang premature
Potensi Premature Blast Di blast adalah bagian barat
PT Batutua Kharisma dari Pit, dikarenakan
Permai Pulau Wetar, berada pada area kontak
Maluku Barat Daya antara ore dan waste juga
dipengaruhi karena dekat
dengan dinding Pit, Dan
suhu maksimum lubang
ledak untuk diisi bahan
peledak setelah dilakukan
percobaan adalah 56°C.
Rata – rata melebarnya
diameter lubang ledak
adalah 20-30% dari
diameter bit yang
disebabkan oleh jenis
mineralisasi dari endapan
vulkanik sulfida masif
yang memiliki
kekompakkan yang
berbeda dan penyebaran
yang tidak merata selain
itu disebabkan hasil
cutting yang keluar dari
samping rod
menyebabkan tidak
stabilnya dinding lubang
ledak sehingga sering
terjadi rongga.

4
BAB II
TINJAUAN UMUM
II.1 Tinjauan Lapangan
II.1.1 Lokasi penelitian
Lokasi penelitian ini adalah PT Batutua Kharisma Permai – Batutua
Tembaga Raya (PT BKP – BTR) yang terletak di Pulau Wetar,, Kabupaten
Maluku Barat Daya , Provinsi Maluku.

Sumber : PT. Batutua Kharisma Permai- Batutua Tembaga Raya

Gambar II.1
Peta Lokasi Penelitian

5
II.2 Landasan Teori
II.2.1 Pemboran
Pemboran merupakan kegiatan yang di pakai dalam peledakan batuan
pada tambang terbuka (Open Pit). Kegiatan pemboran untuk peledakan hanya
pada kedalaman yang tidak sedalam kegiatan eksplorasi, kegiatan pemboran
dilakukan untuk meletakan bahan peledak dan steamingnya.

III.2.1.1 Geometri Pemboran


1. Diameter Lubang Ledak
Faktor-faktor yang memperngaruhi penentuan diameter lubang ledak adalah:
a. Volume batuan yang di bongkar
b. Tinggi jenjang dan konfirgurasi isian
c. Tingkat fragmentasi yang diinginkan
d. Mesin bor yang tersedia
e. Kapasitas alat muat yang akan menangani material hasil peledakan
2. Arah Lubang Ledak
Arah pemboran lubang ledak yang digunakan dalam peledakan jenjang adalah
lubang ledak tegak dan lubang ledak miring. Adapun keuntungan dan kerugian
dari pemboran pada lubang ledak tegak dan miring adalah sebagai berikut :
a. Lubang Tegak
Merupakan pemboran untuk lubang ledak yang arahnya 90° dengan
permukaan atau bidang bebas.
Keuntungan dari pemboran tegak adalah:
 Pada ketinggian jenjang yang sama, maka kedalaman lubang bor
vertikal lebih pendek daripada lubang bor miring, sehingga waktu
pemboran yang dibutuhkan lebih sedikit.
 Untuk menempatkan alat pada titik atau posisi batuan yang akan di
bor tidak memerlukan kecermatan yang tinggi sehingga waktu untuk
melakukan maneuver cenderung lebih cepat.
 Kecepatan penetrasi alat bor lebih cepat dikarenakan kurangnya
gesekan yang timbul dari dinding lubang bor terhadap batang bor.

6
 Cakupan daerah pelemparan batuan hasil peledakan lebih kecil atau
dekat.
Kerugian dari pemboran tegak adalah :
 Mudah terjadi longsor pada jenjang
 Kemungkinan adanya bongkahan yang besar
 Kemungkinan terjadi tonjolan atau toe pada lantai jenjang
 Waktu pemboran lebih lama

Sumber : RL Ash (1967)


Gambar II.2
Lubang Ledak Tegak

b. Lubang Miring
Pemboran miring adalah pemboran untuk membuat lubang ledak yang
dilakukan dengan membuat sudut kemiringan antara bidang bebas atau
permukaan dengan lubang.
Keuntungan pemboran miring adalah :
 Mengurangi terjadinya longsor pada jenjang
 Hasil peledakan mempunyai permukaan yang lebih rata
 Hasil Fragmentasi lebih baik

7
Kerugian pemboran miring adalah :
 Cakupan daerah pelemparan batuan hasil peledakan lebih luas atau
jauh.
 Dengan ketinggian jenjang yang sama, kedalaman lubang bor yang
dibuat lebih panjang daripada lubang bor arah vertikal sehingga
waktu pemboran yang dibutuhkan lebih lama.
 Membutuhkan ketelitian yang cukup cermat untuk menempatkan
alat bor pada titik atau posisi pada kemiringan tertentu sehingga
waktu untuk melakukan manuver cenderung lebih lama

Sumber : RL Ash (1967)


Gambar II.3
Lubang Ledak Miring

3. Pola Pemboran
Pada umumnya pola pemboran terbagi dua tipe, yaitu berdasarkan jarak
spasi dan burdennya, dan berdasarkan penempatannya. Pola pemboran
berdasarkan jarak dan spasi terbagi dua yaitu pola pemboran berbentuk bujur
sangkar (square) yang jarak dan pola pemboran persegi panjang (rectangular).
Berdasarkan penempatannya, pola pemboran juga terbagi dua yaitu pola
pemboran sejajar(parallel) dan pola pemboran zig-zag (staggered).

8
II.2.2 Peledakan
Peledakan merupakan tindakan lanjut dari kegiatan pemboran .Peledakan
adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk membongkar dan memisahkan bahan
galian dari batuan induknya dengan menggunakan bahan peledak. Tujuan
kegiatan peledakan yaitu untuk memecahkan, membongkar, dan melepaskan
batuan dari batuan induknya dengan ukuran fragmentasi tertentu, untuk
memenuhi target produksi dan memindahkan batuan yang telah hancur menjadi
tumpukan material yang siap untuk dimuat ke dalam alat angkut. Dalam
peledakan, ada faktor-faktor yang perlu diperhatikan yaitu:
 Karateristik batuan
 Sifat-sifat Bahan Peledak
 Metode Peledakan

II.2.2.1 Bahan Peledak


Tipe bahan peledak terbagi dua, yaitu bahan peledak ideal dan non-
ideal. Bahan peledak ideal mempunyai sifat-sfait yang sama (kecepatan, tekanan
detonasi) tanpa tergantung kepada diameter bentuk atau kondisi lingkungan.
Bahan peledak ideal termasuk cast primer, TNT, PETN, NG. Sedangkan bahan
peledak non-ideal sifat-sifatnya bergantung kepada diameter, temperature, dan
lain-lain. Bahan peledak non-ideal termasuk ANFO, heavy ANFO, emulsions,
water gel, slurries.

1. Sifat Fisik Bahan Peledak


a. Density
Density merupakan unit isi bahan peledak per volume, yang dinyatakan
dalam gram/cm³ (gram/cc). Density ANFO sendiri adalah kurang lebih 0,85 gr/cc.
Density yang kurang dari 1 gr/cc akan mengambang di air. Produk dengan
density yang lebih tinggi lebih muda untuk mengalami “dead pressed”
dibandingkan dengan bahan peledak yang berdensity rendah. Untuk batuan lunak
biasanya digunakan bahan peledak yang density rendah, dengan kecepatan
detonasi rendah, sebaliknya jika batuan massive yang keras, membutuhkan bahan
peledak density tinggi yang memiliki kecepatan detonasinya tinggi juga.
9
b. Kepekaan
Kepekaan antara blasting agent maupun primer terhadap detonatornya,
yang mana jika primer tidak peka terhadap detonator maka tidak terlaksannya
urutan waktu penundaan (delay) pada lubang ledak, yang mana akan berakibat
terhadap peledakan yang serentak. Namun jika peka maka peledakannya akan
berurutan sesuai dengan delay yang telah diatur.
c. Ketahanan Terhadap Air
Merupakan kesanggupan bahan peledak untuk kontak dengan air tanpa
kehilangan kepekaannya atau efesiesinya. Bahan peledak sangat bervariasi dalam
hal ketahanan air. ANFO tidak tahan terhadap air, namun emulsion water gel
memiliki ketahanan terhadap air yang baik. Jika pada saat peledakan muncul gas
nitrogen oksida maka hal tersebut menunjukan bahwa detonasi yang tidak efisien
yang mungkin disebabkan oleh bahan peledak yang basah. Ketahanan terhadap
air dapat ditingkatkan dengan penggunaan kantong plastik yang umumnya
menggunakan kondom pada lubang tembak yang basah. Biasanya digunakan pada
ANFO.
d. Kestabilan Kimiawi
Kesanggupan bahan peledak untuk tidak berubah secara kimiawi dan
mempertahankan kepekaannya bila disimpan pada kondisi-kondisi tertentu.
Bahan peledak dengan kestabilan kimiawi yang rendah memiliki umur yang lebih
pendek dan akan terurai lebih cepat dibandingkan bahan peledak yang memiliki
kestabilan kimawi tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan kimiawi
bahan peledak diantaranya suhu, kelembaban, kualitas bahan baku, kontaminasi,
kemasan, dan fasilitas penyimpanan. Tanda-tandanya terurainya produk adalah
terjadinya kristalisasi yang mana meningkatnya viskositas (kekentalan) dan
meningkatnya density. Gudang bawah tanah dapat mengurangi pengaruh siklus
suhu.
e. Sifat-sifat Gas
Bila bahan peledak terdetonasi dapat menghasilkan gas tidak beracun
seperti CO2, H2O, dan gas beracun seperti NO, NO2, dan CO. Faktor-faktor yang
meningkatkan pembentukan fume diantaranya primer yang tidak tepat, kurang
10
terkungkung, air, komposisi bahan peledak yang tidak tepat, dan reaksi dengan
batuan yang tidak menguntungkan (biji sulfida dan karbonat).

2. Sifat Detonasi Bahan Peledak


a. Kekuatan Bahan Peledak
Kekuatan bahan peledak berkaitan dengan energi yang mampu dihasilkan
oleh suatu bahan peledak. Pada umumnya, semakin besar density maka dan
kecepatan detonasi bahan peledak maka, kekuatan bahan peledak tersebut
semakin besar. Terdapat dua jenis ukuran kekuatan bahan peledak komersial yang
selalu dicantumkan pada spesifikasi bahan peledak yaitu Weight Strenght dan
Bulk Strenght.
1. Absolute Weight Strenght (AWS)
AWS (Absolute Weight Strength) merupakan energi panas bahan peledak
maksimum secara teoritis didasarkan atas bahan-bahan baku dari bahan
peledak, dinyatakan dalam kalori per gram. Nilai AWS dari adalah 3730
j/gr kalau terdiri dari campuran 94% AN dan 6% FO.
2. Relative Weight Strenght (RWS)
RWS (relative weight strength) adalah bahan peledak dibandingkan
dengan ANFO, atau dengan kata lain bahan peledak sama dengan
AWSnya dibagi dengan AWS ANFO.
3. Absolute Bulk Strenght (ABS)
ABS (Absolute Bulk Strenght) merupakan energi unit volume yang
dinyatakan dalam kalori per kubik sentimeter atau sama dengan AWS
bahan peledak dikalikan densitynya. ANFO curah sendiri absolute bulk
strengthnya adalah 3730 x 0,85 = 3170j/cc.
4. Relative Bulk Strenght (RBS)
RBS (Relative Bulk Strenght ) Adalah bulk strength bahan peledak
dibandingkan dengan ANFO. Relative bulk strength bahan peledak adalah
absolute bulk strength bahan peledak dibandingkan dengan absolute bulk
strength ANFO.

11
b. Kecepatan Detonasi
Kecepatan Detonasi atau Velocity of Detontion merupakan kecepatan dari
rambatan gelombang detonasi bahan peledak yang dinyatakan dalam meter per
detik (m/sec). Kecepatan detonasi sendiri adalah variasi antara diameter isian
bahan peledak, density bahan peledak, dan tingkat keterkungkungan bahan
peledak. Kecepatan detonasi dari ANFO berkisar 2500 sampai 4500 bergantung
pada diameter lubang ledak.
Kecepatan detonasi sendiri merupakan komponen utama dari energi kejut
dan sangat berpengaruh terhadap hasil fragmentasinya. Kecepatan detonasi dapat
diukur untuk menentukan efensiensi bahan peledak.
c. Tekanan Detonasi
Tekanan Detonasi merupakan tekanan yang dihasilkan dalam zona reaksi
dari bahan peledak yang dinyatakan dalam megapascal (Mpa). Tekanan
detonasi sama dengan density bahan peledak (gr/cc) dikalikan dengan kecepatan
detonasi bahan peledak. Faktor kunci dari tekanan detonasi ini adalah kecepatan
detonasi, jadi jika kecepatn detonasinya rendah, maka tekanan detonasinya juga
rendah, dan sebaliknya.
d. Tekanan Lubang Bor
Tekanan lubang bor merupakan tekanan pada dinding lubang temak yang
dihasilkan dari pengembangan gas detonasi, biasanya berksiar 50% dari tekanan
detonasi. Volume dan kecepatan dari terbentuknya gas dari bahan peledakan
menentukan pergerakan masa batuan.
e. Daya bahan peledak
Daya bahan peledak menentukan kekuatan dari hasil ledakan tersebut. Daya
bahan peledak bergantung pada AWS (absolute weight strength) dan kecepatan
detonasi. Bila dua bahan peledak mempunyai kecepatan detoansi yang sama,
maka yang memiliki daya lebih besar adalah bahan peledak yang memiliki AWS
lebih besar karena energy yang dilepaskan lebih banyak daripada bahan peledak
yang memiliki AWS kecil.

12
f. Energi Efektif
Merupakan total energi yang dilepaskan bahan peledak sampai semua gas
lolos ke udara, tekanan terlepas yang biasa digunakan adalah 100 Mpa atau 1000
atm.

3. Parameter Pemilihan Lapangan


a. Biaya Pemboran
Biaya pemboran yang tinggi biasanya diselesaikan dengan memperbesar
pattern pemboran yang umumnya membutuhkan penggunaan bahan peledak yang
berdensity tinggi untuk memperoleh fragmentasi yang diinginkan.
b. Jenis Batuan
Batuan keras yang massive umumnya membutuhkan bahan peledak dengan
kecepatan detonasi yang lebih tinggi untuk pemecahan optimum, selain itu juga
jika menggunakan bahan peledak dengan kecepatan detonasi yang rendah, pada
saat pengaturan isian, panjang isiannya lebih tinggi daripada panjang
stemmingnya. Untuk batuan yang strukturnya rekahan atau berongga
membutuhkan bahan peledak yang lebih untuk mencegah kekurangan bahan
peledak pada saat pengisian.
c. Diameter Lubang Ledak
Diameter lubang tembak atau lubang ledak akan berpengaruh terhadap
banyaknya isian yang digunakan. Jika diameter lubang tembak kecil maka isian
bahan peledaknya juga sedikit, namun jika diameter lubang besar maka isian
bahan peledaknya banyak.
d. Suhu Ruangan (Lubang Ledak)
Suhu ruangan sangat berpengaruh terhadap kegiatan peledakan,
dikarenakan bahan peledak primer (TNT, Dynamite, PETN dan lain-lain) tidak
tahan jika suhu lubang tembak yang tinggi (lebih dari 50°C) dan akan terjadi
premature blast jika kondisi tersebut dipaksakan untuk melakukan peledakan.
e. Air
Air sangat berpengaruh terhadap bahan peledak, maka untuk
mengantisipasinya biasa pada lubang ledak yang basah biasa menggunakan bahan
peledak yang tahan air seperti emulsi, watergel atau slurries.
13
f. Biaya Bahan Peledak
Biaya bahan peledak biasanya dijual dalam $/kg. Biaya ANFO sendiri lebih
murah dibandingkan emulsi, dikarenakan emulsi menggunakan bahan – bahan
kimia tertentu. Bahan peledak di Indonesia biasanya dijual oleh produsen-
produsen yang memiliki izin seperti PT Dahana, PT DNX, PT Kideco, dan PT
Orica.

II.2.2.2 Geometri Peledakan


Dalam kegiatan peledakan, terdapat parameter – parameter yang di
harus diketahui pada saat melakukan peledakan, parameter-parameter tersebut
antara lain adalah :
1. Diameter Pemboran
Ukuran diameter lubang ledak bergantung pada volume massa batuan yang
akan di bongkar, tinggi jenjang dan konfigurasi bahan isian peledak, tingkat
fragmentasi yang diinginkan, alat bor dan bit ( mata bor ) yang tersedia, dan biaya
pemboran.
2. Jenjang (bench)
Bentuk jenjang akan mempengaruhi kemiringan lubang ledak. Jenjang
miring akan memberikan lubang ledak miring , dan jenjang tegak akan
memberikan lubang ledak tegak.
3. Burden
Merupakan jarak muatan dimensi yang terpenting dalam peledakan.
Burden merupakan jarak dari lubang ledak terluar menuju free face dan ke arah
di mana batuan yang akan diledakan akan terlempar. Besarnya burden tergantung
dari karakteristik batuan, karakteristik bahan peledak dan lain sebagainya.
Density bahan peledak jarang sekali bernilai 1,6 atau < 0,8 gram/cc. Density
batuan yang diledakkan jarang sekali > 3,2 atau < 2,2 gram/cc. Dalam penentuan
KB ada pendekatan yang biasa digunakan di lapangan berdasarkan pengalaman,
yaitu :
 Light Explosives in dense rocks KB = 20
 Heavy Explosives in light rocks KB = 40

14
 Light Explosives in average rocks KB = 25
 Heavy Explosives in average rocks KB = 35
4. Spasi
Jarak terdekat antara dua lubang ledak yang berdekatan di dalam satu baris
(row) diukur sejajar terhadap pit wall. Interval waktu tunda :
 Long interval delay KS = 1
 Short Period delay KS = 1 – 2
 Normal KS = 1,2 – 1,8
5. Stemming
Stemming Disebut juga collar. Merupakan tempat material penutup di
dalam lubang ledak, yang letaknya di atas kolom isian bahan peledak. Yang
bertujuan untuk mengurung gas yang timbul, dan sangat menentukan stress
balance dalam lubang bor. Nilai KT standar adalah 0,7.
6. Sub-Drilling
Merupakan penambahan kedalaman pada suatu lubang bor di luar lantai
jenjang agar batuan bisa meledak secara full face serta menghindari tonjolan pada
lantai (floor), yang mana berfungsi juga untuk memudahkan peledakan
selanjutnya serta pemuatan dan pengangkutan. Nilai KJ > 0,2 atau biasa dipakai
KJ = 0,3 untuk batuan massif.
7. Kedalaman Lubang Ledak
Merupakan total antara tinggi jenjang dengan besarnya sub drilling.
Kedalaman lubang ledak harus lebih besar daripada burden untuk menghindari
overbreak.
8. Tinggi Jenjang
Secara spesifik tinggi jenjang maksimum ditentukan oleh peralatan lubang
bor dan alat muat yang tersedia. Tinggi jenjang berpengaruh terhadap hasil
peledakan seperti fragmentasi batuan, ledakan udara, batu terbang (flying rock)
dan getaran tanah (vibration). Hal ini dipengaruhi oleh jarak burden.
9. Panjang Kolom Isian
Merupakan panjang lubang ledak yang akan diisi oleh bahan peledak.

15
10. Konsentrasi Isian
Jumlah isian bahan peledak yang digunakan dalam kolom isian (PC)
lubang tembak.
11. Blasting Ratio
Merupakan hasil yang di dapat dari jumlah bahan peledak di bagi dengan
volume batuan yang diledakkan.
12. Powder Factor
Merupakan perbandingan antara jumlah material yang diledakkan terhadap
jumlah bahan peledak yang digunakan (kg).
13. Volume Setara (Eq)
Angka yang menyatakan setiap meter atau feet pemboran setara dengan
sejumlah volume atau berat tertentu material / batuan yang diledakan. Untuk
menaksir kemampuan alat bor, dapat di hitung dengan rumus :

𝐖
𝐄𝐪 = (II.1)
𝐧𝐱𝐇

Keterangan : W = Berat batuan yang diledakkan


H = Kedalaman lubang ledak
n = Jumlah lubang bor dalam pola peledakan
Berikut adalah rumus perhitungan geometri peledakan dengan
menggunakan metode R.L. Ash :
1. Burden (B)
Burden merupakan dimensi yang terpenting untuk keberhasilan suatu
peledakan. Perlu diketahui harga dari burden ratio (Kb). Batuan standar
mempunyai density 160 lb/cc ( average rock ). Bahan peledak standar mempunya
SG = 1,2 dan kecepatan detonasinya adalah 12.000 fps. Maka nilai Kb standar
adalah 30. Apabila tidak standar maka perlu menghitung AF1dan AF2 dengan
menggunakan rumus :
𝟏
𝐄𝐧𝐞𝐫𝐠𝐢 𝐏𝐨𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢𝐚𝐥 𝐁𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐥𝐞𝐝𝐚𝐤 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐃𝐢𝐠𝐮𝐧𝐚𝐤𝐚𝐧 𝟑
𝐀𝐅𝟏 = [ ] (II.2)
𝐄𝐧𝐞𝐫𝐠𝐢 𝐏𝐨𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢𝐚𝐥 𝐁𝐚𝐭𝐮𝐚𝐧 𝐒𝐭𝐚𝐧𝐝𝐚𝐫𝐭

16
𝟏
𝐁𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐧𝐢𝐬 𝐁𝐚𝐭𝐮𝐚𝐧 𝐒𝐭𝐚𝐧𝐝𝐚𝐫𝐭 𝟑
(II.3)
𝐀𝐅𝟐 = [ ]
𝐁𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐧𝐢𝐬 𝐁𝐚𝐭𝐮𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐃𝐢𝐥𝐞𝐝𝐚𝐤𝐤𝐚𝐧
𝐊𝐛 = 𝐊𝐛𝐬𝐭𝐝 × 𝐀𝐅𝟏 × 𝐀𝐅𝟐 (II.4)

Kemudian perhitungan burden dapat dilakukan dengan menggunakan rumus

𝐊𝐛 × 𝐃𝐞 (II.5)
𝐁 (𝐟𝐭) =
𝟏𝟐

Keterangan : Kb = Nilai Konstanta Burden


De = Diameter lubang ledak (inc)
B = Burden (ft)

2. Spasi (S)

𝐒(𝐟𝐭) = 𝐊𝐬 × 𝐁 (II.6)
Keterangan : Ks = Nilai Konstanta Spasi ))
Apabila lubang-lubang bor dalam satu row diledakkan secara sequence delay
maka Ks = 1 dan S = B
Apabila lubang-lubang bor dalam satu row diledakkan secara serentak. Maka
Ks = 2 dan S = 2B
3. Stemming (T)

𝐓(𝐟𝐭) = 𝐊𝐭 × 𝐁 (II.7)
Keterangan : Kt = Nilai Konstanta Stemming
4. Subdrilling (J)

𝐉 (𝐟𝐭) = 𝐊𝐣 × 𝐁 (II.8)

Keterangan : Kj = Nilai Konstanta Subdrilling


B = Burden (ft)
5. Kedalaman Lubang Ledak (H)
𝐇(𝐟𝐭) = 𝐊𝐡 × 𝐁 (II.9)

17
Keterangan : Kh = Nilai Konstanta Tinggi Jenjang
B = Burden (ft)
6. Panjang Kolom Isian (PC)

𝐏𝐂 = 𝐇 − 𝐓 (II.10)

Keterangan : H = Kedalaman Lubang Ledak


T = Stemming
7. Jumlah Isian Bahan Peledak (E)

𝐄 = 𝑳𝒐𝒂𝒅𝒊𝒏𝒈 𝑫𝒆𝒏𝒔𝒊𝒕𝒚 × 𝐏𝐚𝐧𝐣𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐬𝐢𝐚𝐧 × 𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐋𝐮𝐛𝐚𝐧𝐠 (II.11)

II.2.2.3 Pola Peledakan


Pola peledakan merupakan urutan waktu peledakan antara lubang-
lubang bor dalam satu baris dengan lubang bor pada baris berikutnya, ataupun
antara lubang bor yang satu dengan lubang bor yang lainnya. Pola peledakan ini
ditentukan berdasarkan urutan waktu peledakan serta arah runtuhan material yang
diharapkan. Berdasarkan arah runtuhan batuan, diklasifikasi sebagi berikut :
1. Box Cut, yaitu pola peledakan yang arah runtuhan batuannya ke depan dan
membentuk kotak.
2. Corner Cut, yaitu pola peledakan yang arah runtuhan batuannya ke salah satu
sudut dari bidang bebasnya.
3. V Cut, yaitu pola peledakan yang arah runtuhan batuannya kedepan dan
membentuk huruf V.

II.2.2.4 Arah Peledakan


Arah peledakan merupakan suatu penunjukan arah dimana terjadi
pemindahan batuan ataupun runtuhan batuan hasil peledakan yang kemudian
membentuk tumpukan. Arah peledakan dipengaruhi oleh struktur batuan, posisi
alat-alat dan jalan tambang serta posisi bangunan-bangunan maupun lingkungan
sekitar.
Dari segi kekar batuan, maka arah peledakan yang baik untuk
menghasilkan fragmentasi batuan yang seragam digunakan arah peledakannya
keluar sudut tumpul perpotongan antara arah umum kedua kekar utama. Apabila
18
arah peledakannya keluar sudut runcing, maka akan terjadi penerobosan energi
ledakan untuk menghancurkan batuan, sehingga terbentuk fragmentasi batuan
yang tidak seragam dan cenderung menghasilkan banyak overbreak. Sedangkan
dari segi perlapisan batuan, untuk mendapatkan fragmentasi batuan yang baik,
diterapkan arah lubang ledak yang berlawanan arah dengan bidang perlapisan
batuan kerena energi ledakan akan menekan batuan secara maksimal.

II.2.2.5 Waktu Tunda


Waktu tunda merupakan penundaan waktu peledakan untuk peledakan
antara baris yang depan dengan baris di belakangnya dengan menggunakan delay
detonator. Keuntungan melakukan peledakan dengan waktu tunda adalah :
1. Fragmentasi batuan hasil peledakan akan lebih seragam dan baik.
2. Mengurangi timbulnya getaran tanah dan flyrock.
3. Mengurangi jumlah muatan yang meledak secara bersamaan.
4. Menyediakan bidang bebas baru untuk peledakan berikutnya.
5. Arah lemparan dapat diatur.
6. Batuan hasil peledakan tidak menumpuk terlalu tinggi.
Tujuan penyalaan dengan waktu tunda adalah untuk mengurangi
jumlah muatan yang meledak dalam waktu yang bersamaan, dan memberikan
tenggang waktu pada material yang dekat dengan bidang bebas untuk dapat
meledak secara sempurna serta untuk menyediakan ruang atau bidang bebas baru
bagi baris lubang ledak berikutnya.

II.2.2.6 Mekanisme Pecahnya Batuan Akibat Kegiatan Peledakan


1. Proses Pemecahan Tahap I (Dynamic Loading)
Ketika bahan peledak meledak, tekanan yang sangat tinggi akan
menghancurkan batuan yang berada disekitar lubang ledak. Pada saat
peledakan akan muncul gelombang kejut positif yang merambat dengan
kecepatan 3000 – 5000 m/s sehingga menimbulkan tegangan tangensial yang
menjalar dari daerah lubang ledak dalam waktu 1 – 2 ms.
2. Proses Pemecahan Tahap II (Quast – Static Loading)

19
Gelombang kejut positif yang menjalar dari rekahan lubang ledak pada
tahap I bersifat meninggalkan lubang ledak dan menyebar ke segala arah.
Penyebaran gelombang kejut yang mencapai bidang lemah mengakibatkan
sebagian energi akan dipantulkan, dibiaskan dan diteruskan. Namun jika
penyebaran mencapai bidang bebas maka gelombang akan dipantulkan
kembali sehingga tekanan menurun dan berubah menjadi gelombang tarik
yang bersifat negatif sehingga menimbulkan rekahan lanjutan di dalam
batuan.
3. Proses Pemecahan Tahap III (Release of Loading)
Tekanan yang sangat tinggi dari hasil peledakan pada tahap II, rekahan
radial primer yang terbentuk akan semakin diperlebar oleh kombinasi efek
dari tegangan tarik yang disebabkan kompresi radial dan pembajian
(pneumatic wedging). Massaa batuan di depan lubang ludak apabila gagal
dalam mempertahankan posisinya dan bergerak kedepan maka tegangan tekan
tinggi yang terdapat dalam batuan akan dilepaskan. Efek lepasnya batuan ini
menimbulkan tegangan tarik tinggi dalam batuan yang akan melanjutkan
pemecahan yang telah terjadi pada tahap II.

II.2.3 Fragmentasi Batuan


Fragmentasi menggambarkan distribusi ukuran yang dihasilkan oleh
kegiatan peledakan. Fragmentasi memiliki tujuan utama untuk memecah batuan
menjadi ukuran fragmen sehingga dapat dengan mudah digunakan pada proses
selanjutnya. Fragmentasi batuan yang terbentuk dipengaruhi oleh pelepasan
energi dari massa batuan dan penggunaan jumlah isian bahan peledak yang tepat.
Ukuran fragmen batuan hasil peledakan dapat beraneka ragam, hal ini disebabkan
karena sifat dari massa batuan dan proses fragmentasi yang terlibat dalam
peledakan. Fragmen batuan yang berukuran besar (oversized) dapat menjadi
masalah besar dalam kegiatan pasca peledakan karena apabila terjadi maka
dibutuhkan penanganan lanjut yang dianggap merugikan karena dibutuhkan
secondary blasting untuk memecah batuan kembali. Maka dari itu ukuran
fragmentasi batuan yang kecil dan seragam lebih diinginkan karena penanganan
20
selanjutnya akan lebih mudah dan menguntungkan. Untuk lebih detail, umumnya
ukuran fragmentasi hasil peledakan yang diharapkan ialah tidak lebih dari ukuran
>80cm sebanyak 5% dari total peledakan.
Terdapat empat metode dalam menentukan ukuran fragmentasi hasil
peledakan (Hustrulid,1999):
1. Pengayakan
Metode ini menggunakan ayakan dengan ukuran saringan berbeda
untuk mengetahui persentase lolos fragmentasi batuan hasil peledakan.
2. Boulder Counting (Production Statistic)
Metode ini mengukur hasil peledakan melalui proses berikutnya,seperti
kendala dalam proses pengolahan dengan pengamatan digging rate,
secondary breakage dan produktivitas crusher.
3. Image Analysis (Photographic)
Metode ini menggunakan perangkat lunak (software) dalam melakukan
analisis fragmentasi.
4. Manual (Measurement)
Dilakukan pengamatan dan pengukuran secara manual di lapangan,
dalam satuan luas yang dianggap mewakili dan representatif.

II.2.3.1 Metode Analisis Fragmentasi Hasil Peledakan


1. Metode Perhitungan Teoritis Kuz-ram
Metode perhitungan teoritis dilakukan untuk mengetahui ukuran fragmentasi
hasil peledakan secara teoritis sebelum peledakan dilakukan. Peramalan
fragmentasi dengan memperhitungkan faktor geologi disamping beberapa
parameter peledakan lain biasanya dilakukan dengan cara KuzRam
(Cunningham, 1983) yang terdiri dari 2 persamaan, yaitu:

Persamaan Kuznetsov
Untuk menetukan besarnya fragmentasi batuan hasil peledakan secara teoritis
dapat dihitung dengan memakai persamaan Kuznetsov, yaitu :
𝑽𝟎 𝟎,𝟖 𝟎,𝟏𝟔𝟔𝟕
𝟏𝟏𝟓 𝟎,𝟔𝟑
𝐗 = 𝐀 ×( ) ×𝑸 ×( ) (II.12)
𝑸 𝑬

21
Keterangan : X = Rata-rata ukuran fragmen (cm)
A = Faktor batuan
V0 = Volume batuan pecah per lubang tembak
Qe = Massa bahan peledak per lubang tembak
E = Relatif Weight Strength bahan peledak, ANFO = 100, TNT =115
Menurut P.A Lily (1986) Penentuan faktor batuan (A) dinilai berdasarkan
pembobotan nilai beberapa parameter yang lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel
II.1.
Tabel II.1
Penentuan Faktor Batuan
1. Rock Mass Description (RMD) RATING

1.1 Powder/friable 10
1.2 Blocky 20
1.3 Totally massive 50
2. Joint Plane Spacing (JPS) RATING

2.1 Close (< 0,1m) 10


2.2 Intermediate (0,1 - 1,0 m) 20
2.3 Wide (>1,0 m) 50
3. Joint Plane Orientation (JPO) RATING

3.1 Horizontal 10
3.2 Dip out of face 20
3.3 Strike normal to face 30
3.4 Dip into face 40
4. Specific Gravity Influence (SGI) SGI = 25 X bobot isi - 50

5. HARDNESS (H) Rating Of 1 To 10 (Mohs Scale)

Blastibility index BI = 0.5 x (RMD + JPS + JPO + SGI + H)

Faktor Batuan A = BI x 0,15

Sumber : Lily, 1986

22
Persamaan Rosin-Rammler
Untuk menentukan fragmentasi batuan hasil peledakan digunakan persamaan
Rosin-Rammlel sebagai berikut :

𝐗 𝐧
𝐑 = 𝐞−(𝐗𝐜) (II.13)

atau
𝐱 (II.14)
𝐗𝐜 =
(𝟎, 𝟔𝟗𝟑)𝟏/𝐧

Keterangan : X = Ukuran Fragmentasi (cm)


Xc = Ukuran karakteristik (cm)
n = Index of uniformity
R = Fragment yang tidak kumulatif ukuran X , fragment kumulatif
(Y) = (100-R)
Untuk mengetahui besarnya presentase bongkahan pada hasil peledakan
digunakan rumus Indeks Keseragaman (n) dan Karakteristik Ukuran (Xc).
Perhitungan nilai index of uniformity (n) berikut :

𝐁 𝐖 (𝐀 − 𝟏) 𝐋 (II.15)
𝐧 = (𝟐, 𝟐 − 𝟏𝟒 ) (𝟏 − ) (𝟏 + )
𝐝 𝐁 𝟐 𝐇

Perhitungan nilai Karakteristik Ukuran (Xc) menggunakan persamaan berikut :

𝒙 (II.16)
𝑿𝒄 =
(𝟎, 𝟔𝟗𝟑)𝟏/𝒎

Keterangan : B = Burden (m)


d = Diameter lubang (mm)
W = Standar deviasi dari keakuratan pengeboran (m)
A = Rasio spasi / burden
L = Panjang muatan / kedalaman lubang tembak (m)
H = Tinggi jenjang (m)

23
2. Metode Image Analysis
Dalam penelitian ini , pengukuran distribusi ukuran fragmentasi batuan hasil
peledakan dengan menggunakan metode image analysis. Metode image analysis
ialah metode pengukuran fragmentasi dengan penganalisaan gambar/foto dengan
menggunakan software. Software digunakan untuk membantu menganalisis
gambar fragmen material hasil peledakan. Gambar atau foto yang diambil
mewakili material yang akan diukur ukuran fragmennya. Hasil umumnya berupa
ukuran fragmen rata-rata yang dihasilkan peledakan tersebut.
Sistem image analysis ini membutuhkan computer/laptop dan sebuah
software untuk melakukan analisa pengukuran, sedangkan untuk data input
berupa foto dari kamera digital yang hasilnya akan diolah menggunakan software
tersebut. Dalam mengambil gambar fragmentasi hasil peledakan digunakan
beberapa peralatan seperti benda pembanding dan kamera baik kamera digital
maupun kamera handphone. Disarankan menggunakan kamera dengan resolusi
tinggi sehingga gambar yang dihasilkan memiliki kualitas yang bagus.
Hasil foto yang diperoleh lalu dilakukan analisis, dimana sebelumnya alat
bantu ukur yang digunakan sebagai pembanding harus diketahui ukuran nya.
Disarankan menggunakan pembanding yang memiliki ukuran yang pasti.
Pengambilan foto ini membutuhkan intensitas cahaya yang cukup agar foto
yang dihasilkan tidak menjadi bias. Selain itu dalam pengambilan foto kamera
harus diposisikan normal di permukaan sample untuk menghindari kesalahan
perspektif memiliki blok lebih dekat terlihat lebih besar dari pada yang lebih jauh.
Ukuran fragmen di permukaan belum mewakili ukuran keseluruhan fragmentasi
muckpile. Terdapat tiga hal yang menjadi sumber error dalam proses
pengambilan gambar (Franklin and Katsabanis,1996):
1. Sampling error
Bias dari proses pengambilan gambar menjadi potensi besar dalam sumber
error, dimana hasil gambar akan terfokus pada blok tertentu pada muckpile
saja sedangkan ada blok lain yang menunjukkan ukuran batuan kecil tidak
dapat terlihat dengan jelas.

24
2. Delinasi fragmen yang buruk
Ketika pengerjaan, delinasi fragmen pun tidak luput dari sumber eror.
Delinasi muncul dari tiga kombinasi sumber kesalahan yaitu : gambar hasil
kamera yang buruk, batu yang tidak beraturan, dan delinasi fragmen yang
ditunjukkan dalam dua cara yaitu sekelompok fragmen yang berukuran
besar dianggap satu kelompok atau satu blok dan fragmen tunggal yang
dibagi satu kelompok atau satu blok.
3. Missing fines
Distribusi ukuran fragmen yang berukuran sangat kecil tidak dapat
didelinasi pada gambar, baik disebabkan karena ukuran fragmen yang
terlalu kecil sehingga sulit diselesaikan maupun fragmen yang berbeda
tepat dibelakang fragmen yang berukuran lebih besar yang membuat
fragmen berukuran kecil tertutup. Hal ini menjelaskan bahwa terdapat bias
dalam menghitung hasil distribusi ukuran fragmen.
Salah satu software yang dapat digunakan adalah Split Desktop. Split
desktop adalah program penganalisaan gambar yang dikembangkan oleh
Universitas Arizona, Amerika Serikat.

Sumber: Spliteng.com
Gambar II.4
Tampilan Software Split Desktop

25
Split Desktop menyediakan alternatif ekonomis untuk melakukan manual
sampling dan pengayakan (screening) yang diperoleh melalui photo lapangan.
Photo yang diperoleh dapat langsung diproses dengan cepat dalam hitungan menit
dan dengan analisa data yang sederhana.
Penggunaan Split Desktop juga meminimalkan personil untuk melakukan
pengambilan dan pengolahan data, sehingga data dapat diolah dan diproses
langsung dengan hasil yang akurat. Pada penelitian ini program Split Desktop
digunakan untuk membantu menganalisis gambar fragmen material hasil
peledakan, yang lebih dari 100 cm yang akan ditampilkan berupa grafik
persentase lolos material dan ukuran fragmen rata-rata yang dihasilkan dalam
suatu peledakan. Persentase lolos material hasil Split Desktop yang dianggap hasil
aktual akan dibandingkan dengan perhitungan teoritis untuk memvalidasi
keakuratannya.

II.2.4 Premature Blast


Premature blast merupakan peledakan yang terjadi dengan sendirinya
tanpa dipicu oleh alat pemicunya. Parameter terjadinya premature blast adalah
suhu dalam lubang ledak. Premature blast sendiri diakibatkan karena blasting
agent dalam hal ini ANFO dapat meledak dengan sendirinya jika suhu dalam
lubang ledak lebih dari 50°C (Orica Mining Service), dan untuk primer
boosternya dalam hal ini pentolite, komposisinya akan melebur pada suhu 80°C
dan akan meledak sendirinya pada suhu 90°C (AEL Mining Service, 2013). Selain
kedua bahan peledak utama ini, detonator cord juga dapat meledak dengan
sendirinya, jika berada pada lingkungan yang suhunya lebih dari 90°C (AEL
Mining Service,2013).
Reaksi eksoterm adalah proses yang melepaskan energi ke lingkungan,
biasanya dalam bentuk panas atau kalor. Energi juga bisa dilepaskan dalam
bentuk lain seperti suara, cahaya dll. Karena energi yang dilepaskan selama
reaksi, produk mengandung energi kurang dari reaktan. Oleh karena itu,
perubahan entalpi (ΔH) menjadi negatif.

26
Energi yang dilepaskan selama pembentukan ikatan. Jika total energi
pembentukan ikatan lebih tinggi dari energi pemecahan ikatan selama reaksi,
maka disebut eksoterm. Jika energi dilepaskan sebagai panas, suhu di sekitarnya
naik, jadi kadang-kadang reaksi bisa meledak. Reaksi eksoterm adalah spontan.
Dengan demikian, pasokan energi luar tidak diperlukan untuk reaksi eksoterm,
karena mereka menghasilkan energi yang diperlukan sebagai hasil reaksi.
Namun, untuk memulai reaksi, pasokan energi awal mungkin diperlukan.
Jika pelepasan energi ini dapat ditangkap, banyak usaha yang berguna dapat
dilakukan. Sebagai contoh, energi yang dilepaskan dari pembakaran bahan bakar
dapat diambil untuk mengoperasikan kendaraan atau mesin. Selain itu, semua
reaksi pembakaran adalah eksoterm.
Reaksi endoterm adalah proses di mana energi diperoleh dari
lingkungannya, dalam bentuk panas. Jika lingkungan sekitarnya tidak
menyediakan panas, reaksi mungkin tidak berlanjut. Bejana reaksi menjadi
dingin, karena panas yang diserap dari lingkungan sekitar, sehingga menurunkan
suhu.
Energi yang dibutuhkan untuk memecah ikatan. Dalam reaksi endoterm,
energi pemecahan ikatan reaktan lebih tinggi dari total energi pembentukan ikatan
produk. Oleh karena itu, perubahan entalpi adalah bernilai positif, dan reaksi tidak
spontan.
Jadi, untuk reaksi endoterm, harus menyediakan energi dari luar. Misalnya,
ketika melarutkan amonium klorida dalam air, gelas menjadi dingin, karena
larutan menyerap energi dari lingkungan luar. Fotosintesis merupakan reaksi
endoterm yang mengambil tempat di lingkungan alam. Untuk energi fotosintesis
disediakan oleh sinar matahari.
Suhu dalam lubang ledak yang panas (lebih dari 50°C) dapat disebabkan
karena proses kimia, panas bumi, maupun ada proses pembakaran di area sekitar
lubang ledak. Suhu ANFO akan sangat peka terhadap mineral yang mengandung
sulfida, karena, reaksi amonium nitrat dengan mineral sulfida akan menyebabkan
proses auto - katalis yang dapat menyebabkan dekomposisi eksoterm pada
ammonium nitrat itu sendiri. Selain itu juga, reaksi antara mineral sulfide dengan
27
amonium nitrat dapat menyebabkan ledakan spontan dan prematur dari satu atau
lebih blastholes kapan saja.
Kennedy and Tyson pada tahun 2001 melakukan penelitian pada AN yang
berasosiasi dengan sufida, yang terbagi menjadi 3 tahapan yaitu induction stage,
intermediate stage, dan ignition stage.
1. Induction Stage
Pada induction stage, mineral sulfida seperti pirit akan terkena atmosfir
oksigen, kemudian terjadi pelapukan oksidatif alami. Hal ini terjadi selama
berhari- hari bahkan berminggu – minggu. Hal ini biasanya terjadi di sepanjang
dinding pit, retakan-retakan dari bekas hasil peledakan, dan lubang hasil
pemboran, kemudian akan menghasilkan ferious iron dan asam. Hal ini
merupakan reaksi eksotermik dan suhu dari mineral akan meningkat sedikitnya
2°C hingga ratusan derajat tergantung reaktivitas dari mineral itu sendiri.

Iron sulphides + oxygen + water → ferrous ions + sulphuric acid

Selama induction stage, ammonium nitrat akan bereaksi dengan ferrous (Ion
Besi II) ions dan asam sulfat sehingga terjadi proses auto-catalyc :

Ammonium nitrate + iron sulphides + ferrous ions + sulphuric acid → nitric


oxide + ferric ions + heat

Nitric oxide (Nitrogen Monoksida) dan ferric ions (Ion Besi III) yang
dihasilkan dari reaksi di atas akan berekasi dengan pirit dan akan menghasilkan
ferrious ion dan asam sulfat.

Iron sulphides + nitric oxide + ferric ions → ferrous ions + sulphuric acid

Meskipun reaksi ini adalah reaksi eksotermik, laju reaksi akan berjalan lambat
karena membutuhkan konsentrasi dari katalitik agar dapat meningkat ke titik
kritis, sehingga sulit untuk mendeteksi kenaikan suhu yang signifikan.

2. Intermediate Stage
Setelah tahap induction stage (tahapan yang lambat dari reaksi kimia) selesai,
peningkatan suhu yang drastis dapat diamati bersamaan dengan meningkatnya
reaksi yang terjadi. Pada tahap ini suhu akan meningkat lebih dari 100°C hanya
28
dalam beberapa menit. Hal ini dapat dilihat dari asap yang berwarna merah –
kecoklatan akan muncul, sebelum masuk ke tahap ignition stage.

3. Ignition Stage
Pada tahap ini, reaksi akan menjadi lebih cepat. Jika bahan bakar (fuel)
mencukupi dan parameter fisik terpenuhi berkaitan dengan diameter kritis dari
lubang tembak, maka terjadi dekomposisi dari kekerasan ammonium nitrat dalam
larutan maka ledakan akan terjadi bahkan sebelum detonator dan booster belum
ditempatkan di dalam lubang ledak, dan dapat mengakibatkan deflagration dan
kebakaran pada pyrite.

Ammonium nitrate + heat → explosion

Selain itu juga ada beberapa faktor yang mempengaruhi waktu induksi dan
reaktivitas material, antara lain :
1. Moisture Content
Kadar batuan pada host rock akan mempengaruhi reaksi seperti air yang
merupakan katalis alami untuk oksidasi. Sedikit air akan hanya akan mengulang
kembali fase aqueous dari proses reaksi. Terlalu banyak air akan membantu
menipiskan reaktan dan akan mengkonsumsi panas melalui reaksi endotermik
pembubaran amonium nitrat. Kadar air yang ideal untuk mempengaruhi proses
oksidasi tergantung dari jenis batuannya namun biasanya berkisar dari 2 – 5%
(The study of Rumball 1991).
2. Acid Content
Lingkungan yang lebih asam akan mempengaruhi kecepatan laju reaski dalam
tahap induction stage (Kennedy and Tyson, 2001).
3. Mineralogy
Peningkatan dari ferrous ion akan mengakibatkan kecepatan dari laju reaksi.
Mineral yang mengandung sulfida dapat menghasilkan panas melalui
pembakaran spontan. Oksidasi parsial dari sulfida dapat menyebabkan
peningkatan potensi dari reaktivitas karena menciptakan lingkungan asam serta
ferrous ion yang diperlukan untuk mengintensifkan reaksi (Rumball, 1991).

29
4. Thermal Properties
Kaya dengan sulfida, shale, batu bara dan amonium nitrat memiliki sifat yang
buruk terhadap konduksi panas. Ini berarti bahwa mereka tidak dapat mengalirkan
panas. Karena mungkin hanya memerlukan panas yang sedikit untuk
menghasilkan peningkatan suhu, dan akan meningkatkan laju reaksi (Rumbal,
1991).
5. Ambien Temperature
Adanya hubungan antara suhu lubang bor dengan laju reaksi. Suhu yang lebih
tinggi akan meningkatkan laju reaksi (Kennedy and Tyson, 2011).
6. Temperature of The Bulk Explosive
Suhu bahan peledak yang kecil akan meningkat di dalam lubang ledak karena
mengalami proses gassing. Hal ini juga akan memberikan efek terhadap laju
reaksi antara reactive ground dan ammonium nitrat (Kennedy and Tyson, 2001).
7. Particle Size Texture
Ukuran partikel, distribusi partikel, massa reaksi, serta lapisan dari host rock
akan sangat mempengaruhi reaksi dengan ammonium nitrat akan mengakibatkan
mass transport yang lebih besar sehingga meningkatkan akumulasi dari panas
pada reaksi (Rumbal, 1991).

II.2.5 Geostatistik
Geostatistik adalah statistika yang digunakan pada bidang ilmu batuan
yang berkaitan dengan waktu pembentukannya dan spasial. Acuan dasar yang
digunakan pada statistik spatial adalah Teori Regionalized Variables yaitu teori
yang menyatakan bahwa data bersifat spasial dan saling berhubungan satu sama
lain.
Untuk mengetahui hubungan spasial antara titik-titik dalam suatu cebakan,
maka diperlukan suatu model variogram. Model variogram merupakan tahapan
awal dalam melakukan perhitungan geostatistik, perhitungan varians estimasi,
varians dispersi dan varians kriging.
Terdapat beberapa model variogram yang dimana penentuan model
variogram tersebut berdasarkan dari hasil analisis variogram eksperimental,
30
sehingga sifat-sifat yang diperoleh dari penyebaran data dapat disesuaikan dengan
model variogram yang ada. Ada beberapa macam model variogram yaitu
Spherical, Linear, Eksponensial dan Gaussian , model Variogram yang
digunakan adalah variogram model spherical , yang dapat dilihat dengan jelas
dari gambar berikut :

Sumber : Geoff Bohling, 2005


Gambar II.5
Model Variogram Spherical
Keterangan:
1. Range
Range merupakan jarak antara dua data yang saling berhubungan atau jarak
dimana variogram mencapai nilai sill.
2. Sill
Sill merupakan masa stabil suatu variogram yang mencapai rangenya atau
suatu keadaan dimana variogram yang tidak mengalami suatu kenaikan.
3. Nugget Effect
Nugget effect merupakan banyak variasi dalam data pada jarak yang dekat.
Nugget effect biasanya disebabkan oleh kesalahan sistematis, kesalahan yang

31
dibuat oleh manusia seperti kesalahan membaca alat, kesalahan sampling dan lain
sebagainya.
Nilai Variogram 𝜸(𝒉) didapat perhitungan dengan rumus sebagai berikut:
𝐧
𝟏
𝛄(𝐡) = ∑(𝐗𝐢 − 𝐗 𝐢+𝐡 )𝟐 (II.17)
𝟐𝐍
𝐢=𝟏

Keterangan : γ(h) = nilai variogram dengan jarak h


N = Jumlah Pasangan
h = Jarak antar data
i = urutan data
Nilai Nugget Effect, Sill dan Range akan digunakan untuk proses kriging,
dimana kriging adalah suatu metode untuk menganalisis data geostatistik,
menginterpolasi suatu nilai kandungan mineral berdasarkan data sampel.
Semakin jauh jarak antar data, nilai variogramnya akan semakin besar
(positiveness devineal). Dalam kriging rumus yang digunakan untuk
mendapatkan nilai variogram dengan model spherical adalah sebagai berikut :

𝟑𝐡 𝐡 𝟑
𝐔𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐡 ≤ 𝐚, 𝛄(𝐡) = 𝐂𝐨 + 𝐂 [( ) − ( ) ] (II.18)
𝟐𝐚 𝟐𝐚

𝐔𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐡 > 𝐚, 𝛄(𝐡) = 𝐂𝐨 + 𝐂 (II.19)

Keterangan: h = jarak antar data


Co+C = Sill
a = Range
Estimasi jumlah tonnase dan kadar pada sumberdaya dapat dilakukan
dengan metode Ordinary Kriging. Ordinary Kriging adalah metode geostatistika
yang digunakan untuk memprediksi data pada lokasi tertentu. Metode Ordinary
Kriging dilakukan dengan memasukkan faktor dari hasil pemodelan variogram,
sehingga diperoleh estimasi kadar dan jumlah sumberdaya serta variasi yang

32
terdapat pada setiap blok. Perhitungan estimasi sumberdaya dengan metode ini
dapat dilakukan dengan persamaan dibawah ini :

𝐘 = ∑ 𝐘𝐢. 𝐖𝐢 (II.20)

𝐘 = 𝐘𝐢. 𝐖𝟏 + 𝐘𝟐. 𝐖𝟐 + ⋯ + 𝐘𝐧. 𝐖𝐧 (II.21)

Keterangan : Yi = Nilai data Y pada titik i


Wi = Bobot pada titik i
Dari perhitungan diatas, dicari nilai Wi dengan menggunakan persamaan
matriks yang dapat dilihat pada persamaan dibawah ini :

W1γ(h11) + W2γ(h12) + W3γ(h13) + λ = γ(h1p)


W1γ(h12) + W2γ(h22) + W3γ(h23) + λ = γ(h2p)
W1γ(h13) + W2γ(h23) + W3γ(h33) + λ = γ(h3p)
W1 + W2 + W3 +0 = 1

Jumlah total W adalah 1 dan menggunakan pengali Langrange seperti


perhitungan dibawah ini :

γ(h11) γ(h12) γ(h13) W1 γ(h1p)


γ(h12) γ(h22) γ(h23) W2 = γ(h2p)
γ(h13) γ(h23) γ(h33) W3 γ(h3p)

Perhitungan kriging variasi dapat diperoleh dalam perhitungan dibawah ini:


S2 = W1 γ(h 1p) + W2 γ(h 2p) + W3 γ(h 3p) + λ (II.22)
Keterangan : S2 = variasi kriging
Wi = bobot pada titik i
γ(h1p) = jarak hasil variogram

33
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Metode Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode penelitian terapan. Metode penelitian
terapan merupakan bentuk penelitian untuk mendapatkan informasi guna
memecahkan masalah secara praktis sebagai respons terhadap suatu fenomena
yang terjadi di lapangan. Penelitian ini disajikan dalam bentuk paragraf deskriptif
dengan menggunakan analisis gabungan yakni kuantitatif dan kualitatif.

III.2 Tahapan Penelitian


Tahapan penelitian merupakan langkah-langkah yang dilakukan dari awal
hingga akhir penelitian. Berikut adalah tahapan-tahapan pelitian:
1. Studi Literatur
Studi Literatur dilakukan dengan mempelajari bahan pustaka yang dapat
menunjang penelitian. Bahan pustaka tersebut diperoleh dari buku, jurnal,
laporan penelitian terdahulu, dan lain – lain.
2. Pengamatan Lapangan
Melakukan pemantauan atau penyelidikan secara langsung agar dapat
mengetahui kondisi daerah penelitian. Sehingga dapat diketahui apa saja
yang harus dilakukan dalam penelitian ini.
3. Pengumpulan Data
Pada tahap pengumpulan data , data yang di ambil berupa data primer dan
data sekunder.
a. Data Primer merupakan data yang diperoleh dari lapangan, yaitu :
 Kelembaban
Data kelembaban diaambil menggunakan alat ukur kelembaban
udara yaitu higrometer yang dimasukan kedalam lubang ledak.
 Suhu lubang ledak
Data suhu lubang ledak diambil menggunakan alat ukur suhu yaitu
thermometer yang dimasukan kedalam lubang ledak

34
 Kedalam lubang ledak
Data kedalaman lubang ledak diambil dengan menggunakan alat roll
meter , dimana bagian ujung dari roll meter diberi pemberat seperti
batu dan di masukkan ke dalam lubang ledak.
 Jumlah isian bahan peledak
Data jumlah isian bahan peledak diambil berdasarkan desain
peledakan oleh blasting engineer yaitu panjang isian bahan peledak
, sehdapat dihitung jumlah isian bahan peledak menggunakan rumus
R.L Ash.
 Ukuran fragmentasi batuan hasil peledakan
Data ukuran fragmentasi batuan diambil dengan menggunakan
metode image analysis yaitu software split desktop.

b. Data Sekunder merupakan data yang diperoleh dari literatur atau laporan
perusahaan, yaitu :
 Peta topografi
 Peta geologi dan startigrafi
 Data curah hujan
 Rancangan geometri peledakan
4. Pengolahan Data
Di tahap ini setelah, data primer dan data sekunder yang di butuhkan
terkumpul dengan lengkap, selanjutya akan dilakukan pengelolahan
terhadap data tersebut untuk memperoleh:
a. Rata-rata suhu pada area penelitian
b. Area yang berpotensi terjadi premature blast
c. Jumlah isian bahan peledak yang dapat disi pada area penelitian
d. Ukuran rata-rata fragmentasi batuan dari hasil peledakan pada di sekitar
area yang berpotensi terjadi premature blast
5. Analisis data dan Pembahasan
Pada tahap ini dari hasil data yang telah diolah maka , selanjutnya dapat
dianalisis bagaimana pengaruh premature blast yang terjadi pada area

35
penelitian terhadap ukuran fragmentasi batuan dari hasil peledakan di area
tersebut.
6. Kesimpulan dan Saran
Dari hasil analisis dan pembahasan yang telah dikaji , dapat diambil
kesimpulan pengaruh yang terjadi pada ukuran fragmentasi batuan dari hasil
peledakan di sekitar area yang berpotensi terjadinya premature blast.
Sehingga, dapat memberikan hasil evaluasi kepada PT Batutua Kharisma
Permai – Batutua Tembaga Raya mengenai hasil fragmentasi batuan dari
proses peledakan di sekitar area yang berpotensi terjadi premature blast
tersebut.

36
Studi Literatur

Pengamatan Lapangan

Pengumpulan Data

Data Primer Data Sekunder


 Kelembaban  Peta Topografi
 Suhu lubang ledak  Peta Geologi dan
 Kedalaman lubang ledak Startigrafi
 Data Curah Hujan
 Jumlah Isian bahan
 Rancangan Geometri
peledak
Peledakan
 Ukuran fragmentasi batuan
hasil peledakan

Pengolahan Data Suhu lubang ledak dengan


menggunakan Software Geostatistika yaitu Surfer

37
A

Tidak Ya
Area potensi premature
blast (suhu > 50⸰C)

Diisi bahan peledak Tidak Diisi


bahan peledak
Jumlah Isian Bahan
Peledak

Analisis hasil fragmentasi batuan di area potensi premature


blast menggunakan software split desktop

Pembahasan

Kesimpulan dan Saran

Gambar III.1
Diagram Alir Penelitian

38
III.3 Jadwal Penelitian
Waktu pelaksanaan penelitian Skripsi akan dilaksanakan selama kurang
lebih 2 bulan, dimulai sejak bulan Mei 2019. Akan tetapi untuk kepastian waktu
dapat disesuaikan dengan kebijakan perusahaan.

Tabel III.1
Waktu dan Rencana Pelaksanaan Penelitian Skripsi

Juni Juli Agustus September


Jenis
No
Kegiatan
Kampus Lapangan

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Studi
Pustaka

2 Pengamatan
Lapangan

3 Pengambilan
Data

4 Pengolahan
dan Analisa
Data

5 Penyusunan
Laporan

39
BAB IV
PENUTUP

Demikian Proposal Skripsi ini saya susun dengan judul “KAJIAN


PENGARUH AREA POTENSI PREMATURE BLAST TERHADAP
UKURAN FRAGMENTASI HASIL PELEDAKAN DI PT BATUTUA
KHARISMA PERMAI – BATUTUA TEMBAGA RAYA, PULAU
WETAR,MALUKU BARATDAYA” mohon agar menjadi bahan pertimbangan
bagi semua pihak. Oleh karena itu, saya berharap bantuan dari semua pihak agar
dapat diberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian skripsi ini. Atas
perhatian dan bantuannya, saya ucapkan banyak terima kasih.

Jakarta, 4 Juli 2019

Christy Marian Siwabessy


NIM: 073001500027

Contact Person:

Phone : 082199409550

Email : christyria98@yahoo.com

40
DAFTAR PUSTAKA

Ash, R..L. (1963). “The Mechanics of Rock Breakage”. Cleaveland.


Ash, R.L. (1990). “Design of Blasting Round, Surface Mining”, B.A Kennedy
Editor Society For Mining, Metalurgy, and Exploration, Inc.
Bohling, Geoff. (2005). “Introduction to Geostatistics and Variogram Analysis.
Journal Geostatistics,14.
Cunningham, C.V.B., (1987), “The Kuz-ram Fragmentation Model-20 Years On”.
African Explosive Limited, Modderfontein, South Africa.
Hustrulid, William A. (1999). “Blasting Principle for Open Pit”. Rotterdam : A.A
Balkema.
J.A. Franklin dan T. Katsabanis (eds). (1996). “Measurement of Blast
Fragmentation”. Rotterdam : A.A Balkema
Kennedy, B.J. & Tyson, N. (2001). “Blasting in Reactive Ground”. Hunter Valley,
NSW.
Lily, P.A., (1986), “An Empirical Method of Assesing Rock Mass Blastability”,
AussIMM/IEAust Large Open Pit. Mining Conference, Newman, 89-92
Scott, Andrew. (1996). “Open Pit Blast Design Analysis and Optimation”. Julius

41

Anda mungkin juga menyukai