PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
PT Batutua Kharisma Permai – Batutua Tembaga Raya (PT BKP – BTR)
merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan khususnya
tembaga (Cu) yang menggunakan metode tambang terbuka Open Cast .
Pada kegiatan penambangan di PT BKP-BTR, excavator maupun ripper
tidak dapat mengambil ore dari depositnya diakibatkan karena tingkat kekerasan
ore tinggi, sehingga dibutuhkan pemboran dan peledakan untuk memberai ore
agar mudah diambil oleh excavator.
Proses peledakan merupakan kegiatan yang berhubungan langsung dengan
bahan peledak, yang mempunyai sensitivitas terhadap kondisi tertentu seperti
suhu. Pada PT BKP-BTR kondisi batuan banyak mengandung mineral sulfida
yang dapat teroksidasi secara alami ketika terkena atmosfir oksigen, dan
mengalami pelapukan sehingga dapat menyebabkan meningkatnya suhu dari
mineral sulfida (Kennedy and Tyson, 2001) . Dengan kondisi ini suhu lubang
ledak akan ikut meningkat, dan akan berpengaruh terhadap bahan peledak. Pada
PT BKP-BTR bahan peledak yang digunakan adalah ANFO yang dapat meledak
dengan sendirinya tanpa dipicu oleh alat pemicunya jika suhu dalam lubang ledak
lebih dari 50⸰ C (Orica Mining Service), proses ini disebut dengan Premature
Blast.
Untuk mengatasi premature blast, PT BKP-BTR tidak mengisi bahan
peledak pada lubang ledak yang memiliki suhu lebih dari 50⸰C. Dengan begitu
tidak semua lubang ledak terisi bahan peledak , maka daya ledak yang didapatkan
pada area tersebut akan lebih kecil sehingga akan berpengaruh terhadap hasil
ukuran fragmentasi dari proses peledakan yang terjadi di area tersebut. Hasil
ukuran fragmentasi yang besar , yang di tunjukan dengan banyaknya boulder akan
mempengaruhi pada proses selanjutnya, yaitu penggali, pemuatan, pengangkutan,
penghancuran, dan penggilingan sehingga memerlukan kegiatan tambahan untuk
usaha memperkecil ukuran.
1
Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji fragmentasi peledakan
di sekitar area yang berpotensi terjadi premature blast.
1. Di daerah mana sajakah yang memiliki suhu lubang ledak yang tinggi
(>50⸰C)?
2
I.4 Batasan Masalah
Adapun Batasan masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
3
I.6 Penelitian Terdahulu
Tabel I.1
Penelitian Terdahulu
Nama Judul Penelitian Hasil Penelitian
Samuel Renjaan Kajian Pengaruh Kondisi Dari hasil penelitian ini
(2015) Geologi Terhadap menyimpulkan bahwa
Geometri Peledakan dan area yang premature
Potensi Premature Blast Di blast adalah bagian barat
PT Batutua Kharisma dari Pit, dikarenakan
Permai Pulau Wetar, berada pada area kontak
Maluku Barat Daya antara ore dan waste juga
dipengaruhi karena dekat
dengan dinding Pit, Dan
suhu maksimum lubang
ledak untuk diisi bahan
peledak setelah dilakukan
percobaan adalah 56°C.
Rata – rata melebarnya
diameter lubang ledak
adalah 20-30% dari
diameter bit yang
disebabkan oleh jenis
mineralisasi dari endapan
vulkanik sulfida masif
yang memiliki
kekompakkan yang
berbeda dan penyebaran
yang tidak merata selain
itu disebabkan hasil
cutting yang keluar dari
samping rod
menyebabkan tidak
stabilnya dinding lubang
ledak sehingga sering
terjadi rongga.
4
BAB II
TINJAUAN UMUM
II.1 Tinjauan Lapangan
II.1.1 Lokasi penelitian
Lokasi penelitian ini adalah PT Batutua Kharisma Permai – Batutua
Tembaga Raya (PT BKP – BTR) yang terletak di Pulau Wetar,, Kabupaten
Maluku Barat Daya , Provinsi Maluku.
Gambar II.1
Peta Lokasi Penelitian
5
II.2 Landasan Teori
II.2.1 Pemboran
Pemboran merupakan kegiatan yang di pakai dalam peledakan batuan
pada tambang terbuka (Open Pit). Kegiatan pemboran untuk peledakan hanya
pada kedalaman yang tidak sedalam kegiatan eksplorasi, kegiatan pemboran
dilakukan untuk meletakan bahan peledak dan steamingnya.
6
Cakupan daerah pelemparan batuan hasil peledakan lebih kecil atau
dekat.
Kerugian dari pemboran tegak adalah :
Mudah terjadi longsor pada jenjang
Kemungkinan adanya bongkahan yang besar
Kemungkinan terjadi tonjolan atau toe pada lantai jenjang
Waktu pemboran lebih lama
b. Lubang Miring
Pemboran miring adalah pemboran untuk membuat lubang ledak yang
dilakukan dengan membuat sudut kemiringan antara bidang bebas atau
permukaan dengan lubang.
Keuntungan pemboran miring adalah :
Mengurangi terjadinya longsor pada jenjang
Hasil peledakan mempunyai permukaan yang lebih rata
Hasil Fragmentasi lebih baik
7
Kerugian pemboran miring adalah :
Cakupan daerah pelemparan batuan hasil peledakan lebih luas atau
jauh.
Dengan ketinggian jenjang yang sama, kedalaman lubang bor yang
dibuat lebih panjang daripada lubang bor arah vertikal sehingga
waktu pemboran yang dibutuhkan lebih lama.
Membutuhkan ketelitian yang cukup cermat untuk menempatkan
alat bor pada titik atau posisi pada kemiringan tertentu sehingga
waktu untuk melakukan manuver cenderung lebih lama
3. Pola Pemboran
Pada umumnya pola pemboran terbagi dua tipe, yaitu berdasarkan jarak
spasi dan burdennya, dan berdasarkan penempatannya. Pola pemboran
berdasarkan jarak dan spasi terbagi dua yaitu pola pemboran berbentuk bujur
sangkar (square) yang jarak dan pola pemboran persegi panjang (rectangular).
Berdasarkan penempatannya, pola pemboran juga terbagi dua yaitu pola
pemboran sejajar(parallel) dan pola pemboran zig-zag (staggered).
8
II.2.2 Peledakan
Peledakan merupakan tindakan lanjut dari kegiatan pemboran .Peledakan
adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk membongkar dan memisahkan bahan
galian dari batuan induknya dengan menggunakan bahan peledak. Tujuan
kegiatan peledakan yaitu untuk memecahkan, membongkar, dan melepaskan
batuan dari batuan induknya dengan ukuran fragmentasi tertentu, untuk
memenuhi target produksi dan memindahkan batuan yang telah hancur menjadi
tumpukan material yang siap untuk dimuat ke dalam alat angkut. Dalam
peledakan, ada faktor-faktor yang perlu diperhatikan yaitu:
Karateristik batuan
Sifat-sifat Bahan Peledak
Metode Peledakan
11
b. Kecepatan Detonasi
Kecepatan Detonasi atau Velocity of Detontion merupakan kecepatan dari
rambatan gelombang detonasi bahan peledak yang dinyatakan dalam meter per
detik (m/sec). Kecepatan detonasi sendiri adalah variasi antara diameter isian
bahan peledak, density bahan peledak, dan tingkat keterkungkungan bahan
peledak. Kecepatan detonasi dari ANFO berkisar 2500 sampai 4500 bergantung
pada diameter lubang ledak.
Kecepatan detonasi sendiri merupakan komponen utama dari energi kejut
dan sangat berpengaruh terhadap hasil fragmentasinya. Kecepatan detonasi dapat
diukur untuk menentukan efensiensi bahan peledak.
c. Tekanan Detonasi
Tekanan Detonasi merupakan tekanan yang dihasilkan dalam zona reaksi
dari bahan peledak yang dinyatakan dalam megapascal (Mpa). Tekanan
detonasi sama dengan density bahan peledak (gr/cc) dikalikan dengan kecepatan
detonasi bahan peledak. Faktor kunci dari tekanan detonasi ini adalah kecepatan
detonasi, jadi jika kecepatn detonasinya rendah, maka tekanan detonasinya juga
rendah, dan sebaliknya.
d. Tekanan Lubang Bor
Tekanan lubang bor merupakan tekanan pada dinding lubang temak yang
dihasilkan dari pengembangan gas detonasi, biasanya berksiar 50% dari tekanan
detonasi. Volume dan kecepatan dari terbentuknya gas dari bahan peledakan
menentukan pergerakan masa batuan.
e. Daya bahan peledak
Daya bahan peledak menentukan kekuatan dari hasil ledakan tersebut. Daya
bahan peledak bergantung pada AWS (absolute weight strength) dan kecepatan
detonasi. Bila dua bahan peledak mempunyai kecepatan detoansi yang sama,
maka yang memiliki daya lebih besar adalah bahan peledak yang memiliki AWS
lebih besar karena energy yang dilepaskan lebih banyak daripada bahan peledak
yang memiliki AWS kecil.
12
f. Energi Efektif
Merupakan total energi yang dilepaskan bahan peledak sampai semua gas
lolos ke udara, tekanan terlepas yang biasa digunakan adalah 100 Mpa atau 1000
atm.
14
Light Explosives in average rocks KB = 25
Heavy Explosives in average rocks KB = 35
4. Spasi
Jarak terdekat antara dua lubang ledak yang berdekatan di dalam satu baris
(row) diukur sejajar terhadap pit wall. Interval waktu tunda :
Long interval delay KS = 1
Short Period delay KS = 1 – 2
Normal KS = 1,2 – 1,8
5. Stemming
Stemming Disebut juga collar. Merupakan tempat material penutup di
dalam lubang ledak, yang letaknya di atas kolom isian bahan peledak. Yang
bertujuan untuk mengurung gas yang timbul, dan sangat menentukan stress
balance dalam lubang bor. Nilai KT standar adalah 0,7.
6. Sub-Drilling
Merupakan penambahan kedalaman pada suatu lubang bor di luar lantai
jenjang agar batuan bisa meledak secara full face serta menghindari tonjolan pada
lantai (floor), yang mana berfungsi juga untuk memudahkan peledakan
selanjutnya serta pemuatan dan pengangkutan. Nilai KJ > 0,2 atau biasa dipakai
KJ = 0,3 untuk batuan massif.
7. Kedalaman Lubang Ledak
Merupakan total antara tinggi jenjang dengan besarnya sub drilling.
Kedalaman lubang ledak harus lebih besar daripada burden untuk menghindari
overbreak.
8. Tinggi Jenjang
Secara spesifik tinggi jenjang maksimum ditentukan oleh peralatan lubang
bor dan alat muat yang tersedia. Tinggi jenjang berpengaruh terhadap hasil
peledakan seperti fragmentasi batuan, ledakan udara, batu terbang (flying rock)
dan getaran tanah (vibration). Hal ini dipengaruhi oleh jarak burden.
9. Panjang Kolom Isian
Merupakan panjang lubang ledak yang akan diisi oleh bahan peledak.
15
10. Konsentrasi Isian
Jumlah isian bahan peledak yang digunakan dalam kolom isian (PC)
lubang tembak.
11. Blasting Ratio
Merupakan hasil yang di dapat dari jumlah bahan peledak di bagi dengan
volume batuan yang diledakkan.
12. Powder Factor
Merupakan perbandingan antara jumlah material yang diledakkan terhadap
jumlah bahan peledak yang digunakan (kg).
13. Volume Setara (Eq)
Angka yang menyatakan setiap meter atau feet pemboran setara dengan
sejumlah volume atau berat tertentu material / batuan yang diledakan. Untuk
menaksir kemampuan alat bor, dapat di hitung dengan rumus :
𝐖
𝐄𝐪 = (II.1)
𝐧𝐱𝐇
16
𝟏
𝐁𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐧𝐢𝐬 𝐁𝐚𝐭𝐮𝐚𝐧 𝐒𝐭𝐚𝐧𝐝𝐚𝐫𝐭 𝟑
(II.3)
𝐀𝐅𝟐 = [ ]
𝐁𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐉𝐞𝐧𝐢𝐬 𝐁𝐚𝐭𝐮𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐃𝐢𝐥𝐞𝐝𝐚𝐤𝐤𝐚𝐧
𝐊𝐛 = 𝐊𝐛𝐬𝐭𝐝 × 𝐀𝐅𝟏 × 𝐀𝐅𝟐 (II.4)
𝐊𝐛 × 𝐃𝐞 (II.5)
𝐁 (𝐟𝐭) =
𝟏𝟐
2. Spasi (S)
𝐒(𝐟𝐭) = 𝐊𝐬 × 𝐁 (II.6)
Keterangan : Ks = Nilai Konstanta Spasi ))
Apabila lubang-lubang bor dalam satu row diledakkan secara sequence delay
maka Ks = 1 dan S = B
Apabila lubang-lubang bor dalam satu row diledakkan secara serentak. Maka
Ks = 2 dan S = 2B
3. Stemming (T)
𝐓(𝐟𝐭) = 𝐊𝐭 × 𝐁 (II.7)
Keterangan : Kt = Nilai Konstanta Stemming
4. Subdrilling (J)
𝐉 (𝐟𝐭) = 𝐊𝐣 × 𝐁 (II.8)
17
Keterangan : Kh = Nilai Konstanta Tinggi Jenjang
B = Burden (ft)
6. Panjang Kolom Isian (PC)
𝐏𝐂 = 𝐇 − 𝐓 (II.10)
19
Gelombang kejut positif yang menjalar dari rekahan lubang ledak pada
tahap I bersifat meninggalkan lubang ledak dan menyebar ke segala arah.
Penyebaran gelombang kejut yang mencapai bidang lemah mengakibatkan
sebagian energi akan dipantulkan, dibiaskan dan diteruskan. Namun jika
penyebaran mencapai bidang bebas maka gelombang akan dipantulkan
kembali sehingga tekanan menurun dan berubah menjadi gelombang tarik
yang bersifat negatif sehingga menimbulkan rekahan lanjutan di dalam
batuan.
3. Proses Pemecahan Tahap III (Release of Loading)
Tekanan yang sangat tinggi dari hasil peledakan pada tahap II, rekahan
radial primer yang terbentuk akan semakin diperlebar oleh kombinasi efek
dari tegangan tarik yang disebabkan kompresi radial dan pembajian
(pneumatic wedging). Massaa batuan di depan lubang ludak apabila gagal
dalam mempertahankan posisinya dan bergerak kedepan maka tegangan tekan
tinggi yang terdapat dalam batuan akan dilepaskan. Efek lepasnya batuan ini
menimbulkan tegangan tarik tinggi dalam batuan yang akan melanjutkan
pemecahan yang telah terjadi pada tahap II.
Persamaan Kuznetsov
Untuk menetukan besarnya fragmentasi batuan hasil peledakan secara teoritis
dapat dihitung dengan memakai persamaan Kuznetsov, yaitu :
𝑽𝟎 𝟎,𝟖 𝟎,𝟏𝟔𝟔𝟕
𝟏𝟏𝟓 𝟎,𝟔𝟑
𝐗 = 𝐀 ×( ) ×𝑸 ×( ) (II.12)
𝑸 𝑬
21
Keterangan : X = Rata-rata ukuran fragmen (cm)
A = Faktor batuan
V0 = Volume batuan pecah per lubang tembak
Qe = Massa bahan peledak per lubang tembak
E = Relatif Weight Strength bahan peledak, ANFO = 100, TNT =115
Menurut P.A Lily (1986) Penentuan faktor batuan (A) dinilai berdasarkan
pembobotan nilai beberapa parameter yang lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel
II.1.
Tabel II.1
Penentuan Faktor Batuan
1. Rock Mass Description (RMD) RATING
1.1 Powder/friable 10
1.2 Blocky 20
1.3 Totally massive 50
2. Joint Plane Spacing (JPS) RATING
3.1 Horizontal 10
3.2 Dip out of face 20
3.3 Strike normal to face 30
3.4 Dip into face 40
4. Specific Gravity Influence (SGI) SGI = 25 X bobot isi - 50
22
Persamaan Rosin-Rammler
Untuk menentukan fragmentasi batuan hasil peledakan digunakan persamaan
Rosin-Rammlel sebagai berikut :
𝐗 𝐧
𝐑 = 𝐞−(𝐗𝐜) (II.13)
atau
𝐱 (II.14)
𝐗𝐜 =
(𝟎, 𝟔𝟗𝟑)𝟏/𝐧
𝐁 𝐖 (𝐀 − 𝟏) 𝐋 (II.15)
𝐧 = (𝟐, 𝟐 − 𝟏𝟒 ) (𝟏 − ) (𝟏 + )
𝐝 𝐁 𝟐 𝐇
𝒙 (II.16)
𝑿𝒄 =
(𝟎, 𝟔𝟗𝟑)𝟏/𝒎
23
2. Metode Image Analysis
Dalam penelitian ini , pengukuran distribusi ukuran fragmentasi batuan hasil
peledakan dengan menggunakan metode image analysis. Metode image analysis
ialah metode pengukuran fragmentasi dengan penganalisaan gambar/foto dengan
menggunakan software. Software digunakan untuk membantu menganalisis
gambar fragmen material hasil peledakan. Gambar atau foto yang diambil
mewakili material yang akan diukur ukuran fragmennya. Hasil umumnya berupa
ukuran fragmen rata-rata yang dihasilkan peledakan tersebut.
Sistem image analysis ini membutuhkan computer/laptop dan sebuah
software untuk melakukan analisa pengukuran, sedangkan untuk data input
berupa foto dari kamera digital yang hasilnya akan diolah menggunakan software
tersebut. Dalam mengambil gambar fragmentasi hasil peledakan digunakan
beberapa peralatan seperti benda pembanding dan kamera baik kamera digital
maupun kamera handphone. Disarankan menggunakan kamera dengan resolusi
tinggi sehingga gambar yang dihasilkan memiliki kualitas yang bagus.
Hasil foto yang diperoleh lalu dilakukan analisis, dimana sebelumnya alat
bantu ukur yang digunakan sebagai pembanding harus diketahui ukuran nya.
Disarankan menggunakan pembanding yang memiliki ukuran yang pasti.
Pengambilan foto ini membutuhkan intensitas cahaya yang cukup agar foto
yang dihasilkan tidak menjadi bias. Selain itu dalam pengambilan foto kamera
harus diposisikan normal di permukaan sample untuk menghindari kesalahan
perspektif memiliki blok lebih dekat terlihat lebih besar dari pada yang lebih jauh.
Ukuran fragmen di permukaan belum mewakili ukuran keseluruhan fragmentasi
muckpile. Terdapat tiga hal yang menjadi sumber error dalam proses
pengambilan gambar (Franklin and Katsabanis,1996):
1. Sampling error
Bias dari proses pengambilan gambar menjadi potensi besar dalam sumber
error, dimana hasil gambar akan terfokus pada blok tertentu pada muckpile
saja sedangkan ada blok lain yang menunjukkan ukuran batuan kecil tidak
dapat terlihat dengan jelas.
24
2. Delinasi fragmen yang buruk
Ketika pengerjaan, delinasi fragmen pun tidak luput dari sumber eror.
Delinasi muncul dari tiga kombinasi sumber kesalahan yaitu : gambar hasil
kamera yang buruk, batu yang tidak beraturan, dan delinasi fragmen yang
ditunjukkan dalam dua cara yaitu sekelompok fragmen yang berukuran
besar dianggap satu kelompok atau satu blok dan fragmen tunggal yang
dibagi satu kelompok atau satu blok.
3. Missing fines
Distribusi ukuran fragmen yang berukuran sangat kecil tidak dapat
didelinasi pada gambar, baik disebabkan karena ukuran fragmen yang
terlalu kecil sehingga sulit diselesaikan maupun fragmen yang berbeda
tepat dibelakang fragmen yang berukuran lebih besar yang membuat
fragmen berukuran kecil tertutup. Hal ini menjelaskan bahwa terdapat bias
dalam menghitung hasil distribusi ukuran fragmen.
Salah satu software yang dapat digunakan adalah Split Desktop. Split
desktop adalah program penganalisaan gambar yang dikembangkan oleh
Universitas Arizona, Amerika Serikat.
Sumber: Spliteng.com
Gambar II.4
Tampilan Software Split Desktop
25
Split Desktop menyediakan alternatif ekonomis untuk melakukan manual
sampling dan pengayakan (screening) yang diperoleh melalui photo lapangan.
Photo yang diperoleh dapat langsung diproses dengan cepat dalam hitungan menit
dan dengan analisa data yang sederhana.
Penggunaan Split Desktop juga meminimalkan personil untuk melakukan
pengambilan dan pengolahan data, sehingga data dapat diolah dan diproses
langsung dengan hasil yang akurat. Pada penelitian ini program Split Desktop
digunakan untuk membantu menganalisis gambar fragmen material hasil
peledakan, yang lebih dari 100 cm yang akan ditampilkan berupa grafik
persentase lolos material dan ukuran fragmen rata-rata yang dihasilkan dalam
suatu peledakan. Persentase lolos material hasil Split Desktop yang dianggap hasil
aktual akan dibandingkan dengan perhitungan teoritis untuk memvalidasi
keakuratannya.
26
Energi yang dilepaskan selama pembentukan ikatan. Jika total energi
pembentukan ikatan lebih tinggi dari energi pemecahan ikatan selama reaksi,
maka disebut eksoterm. Jika energi dilepaskan sebagai panas, suhu di sekitarnya
naik, jadi kadang-kadang reaksi bisa meledak. Reaksi eksoterm adalah spontan.
Dengan demikian, pasokan energi luar tidak diperlukan untuk reaksi eksoterm,
karena mereka menghasilkan energi yang diperlukan sebagai hasil reaksi.
Namun, untuk memulai reaksi, pasokan energi awal mungkin diperlukan.
Jika pelepasan energi ini dapat ditangkap, banyak usaha yang berguna dapat
dilakukan. Sebagai contoh, energi yang dilepaskan dari pembakaran bahan bakar
dapat diambil untuk mengoperasikan kendaraan atau mesin. Selain itu, semua
reaksi pembakaran adalah eksoterm.
Reaksi endoterm adalah proses di mana energi diperoleh dari
lingkungannya, dalam bentuk panas. Jika lingkungan sekitarnya tidak
menyediakan panas, reaksi mungkin tidak berlanjut. Bejana reaksi menjadi
dingin, karena panas yang diserap dari lingkungan sekitar, sehingga menurunkan
suhu.
Energi yang dibutuhkan untuk memecah ikatan. Dalam reaksi endoterm,
energi pemecahan ikatan reaktan lebih tinggi dari total energi pembentukan ikatan
produk. Oleh karena itu, perubahan entalpi adalah bernilai positif, dan reaksi tidak
spontan.
Jadi, untuk reaksi endoterm, harus menyediakan energi dari luar. Misalnya,
ketika melarutkan amonium klorida dalam air, gelas menjadi dingin, karena
larutan menyerap energi dari lingkungan luar. Fotosintesis merupakan reaksi
endoterm yang mengambil tempat di lingkungan alam. Untuk energi fotosintesis
disediakan oleh sinar matahari.
Suhu dalam lubang ledak yang panas (lebih dari 50°C) dapat disebabkan
karena proses kimia, panas bumi, maupun ada proses pembakaran di area sekitar
lubang ledak. Suhu ANFO akan sangat peka terhadap mineral yang mengandung
sulfida, karena, reaksi amonium nitrat dengan mineral sulfida akan menyebabkan
proses auto - katalis yang dapat menyebabkan dekomposisi eksoterm pada
ammonium nitrat itu sendiri. Selain itu juga, reaksi antara mineral sulfide dengan
27
amonium nitrat dapat menyebabkan ledakan spontan dan prematur dari satu atau
lebih blastholes kapan saja.
Kennedy and Tyson pada tahun 2001 melakukan penelitian pada AN yang
berasosiasi dengan sufida, yang terbagi menjadi 3 tahapan yaitu induction stage,
intermediate stage, dan ignition stage.
1. Induction Stage
Pada induction stage, mineral sulfida seperti pirit akan terkena atmosfir
oksigen, kemudian terjadi pelapukan oksidatif alami. Hal ini terjadi selama
berhari- hari bahkan berminggu – minggu. Hal ini biasanya terjadi di sepanjang
dinding pit, retakan-retakan dari bekas hasil peledakan, dan lubang hasil
pemboran, kemudian akan menghasilkan ferious iron dan asam. Hal ini
merupakan reaksi eksotermik dan suhu dari mineral akan meningkat sedikitnya
2°C hingga ratusan derajat tergantung reaktivitas dari mineral itu sendiri.
Selama induction stage, ammonium nitrat akan bereaksi dengan ferrous (Ion
Besi II) ions dan asam sulfat sehingga terjadi proses auto-catalyc :
Nitric oxide (Nitrogen Monoksida) dan ferric ions (Ion Besi III) yang
dihasilkan dari reaksi di atas akan berekasi dengan pirit dan akan menghasilkan
ferrious ion dan asam sulfat.
Iron sulphides + nitric oxide + ferric ions → ferrous ions + sulphuric acid
Meskipun reaksi ini adalah reaksi eksotermik, laju reaksi akan berjalan lambat
karena membutuhkan konsentrasi dari katalitik agar dapat meningkat ke titik
kritis, sehingga sulit untuk mendeteksi kenaikan suhu yang signifikan.
2. Intermediate Stage
Setelah tahap induction stage (tahapan yang lambat dari reaksi kimia) selesai,
peningkatan suhu yang drastis dapat diamati bersamaan dengan meningkatnya
reaksi yang terjadi. Pada tahap ini suhu akan meningkat lebih dari 100°C hanya
28
dalam beberapa menit. Hal ini dapat dilihat dari asap yang berwarna merah –
kecoklatan akan muncul, sebelum masuk ke tahap ignition stage.
3. Ignition Stage
Pada tahap ini, reaksi akan menjadi lebih cepat. Jika bahan bakar (fuel)
mencukupi dan parameter fisik terpenuhi berkaitan dengan diameter kritis dari
lubang tembak, maka terjadi dekomposisi dari kekerasan ammonium nitrat dalam
larutan maka ledakan akan terjadi bahkan sebelum detonator dan booster belum
ditempatkan di dalam lubang ledak, dan dapat mengakibatkan deflagration dan
kebakaran pada pyrite.
Selain itu juga ada beberapa faktor yang mempengaruhi waktu induksi dan
reaktivitas material, antara lain :
1. Moisture Content
Kadar batuan pada host rock akan mempengaruhi reaksi seperti air yang
merupakan katalis alami untuk oksidasi. Sedikit air akan hanya akan mengulang
kembali fase aqueous dari proses reaksi. Terlalu banyak air akan membantu
menipiskan reaktan dan akan mengkonsumsi panas melalui reaksi endotermik
pembubaran amonium nitrat. Kadar air yang ideal untuk mempengaruhi proses
oksidasi tergantung dari jenis batuannya namun biasanya berkisar dari 2 – 5%
(The study of Rumball 1991).
2. Acid Content
Lingkungan yang lebih asam akan mempengaruhi kecepatan laju reaski dalam
tahap induction stage (Kennedy and Tyson, 2001).
3. Mineralogy
Peningkatan dari ferrous ion akan mengakibatkan kecepatan dari laju reaksi.
Mineral yang mengandung sulfida dapat menghasilkan panas melalui
pembakaran spontan. Oksidasi parsial dari sulfida dapat menyebabkan
peningkatan potensi dari reaktivitas karena menciptakan lingkungan asam serta
ferrous ion yang diperlukan untuk mengintensifkan reaksi (Rumball, 1991).
29
4. Thermal Properties
Kaya dengan sulfida, shale, batu bara dan amonium nitrat memiliki sifat yang
buruk terhadap konduksi panas. Ini berarti bahwa mereka tidak dapat mengalirkan
panas. Karena mungkin hanya memerlukan panas yang sedikit untuk
menghasilkan peningkatan suhu, dan akan meningkatkan laju reaksi (Rumbal,
1991).
5. Ambien Temperature
Adanya hubungan antara suhu lubang bor dengan laju reaksi. Suhu yang lebih
tinggi akan meningkatkan laju reaksi (Kennedy and Tyson, 2011).
6. Temperature of The Bulk Explosive
Suhu bahan peledak yang kecil akan meningkat di dalam lubang ledak karena
mengalami proses gassing. Hal ini juga akan memberikan efek terhadap laju
reaksi antara reactive ground dan ammonium nitrat (Kennedy and Tyson, 2001).
7. Particle Size Texture
Ukuran partikel, distribusi partikel, massa reaksi, serta lapisan dari host rock
akan sangat mempengaruhi reaksi dengan ammonium nitrat akan mengakibatkan
mass transport yang lebih besar sehingga meningkatkan akumulasi dari panas
pada reaksi (Rumbal, 1991).
II.2.5 Geostatistik
Geostatistik adalah statistika yang digunakan pada bidang ilmu batuan
yang berkaitan dengan waktu pembentukannya dan spasial. Acuan dasar yang
digunakan pada statistik spatial adalah Teori Regionalized Variables yaitu teori
yang menyatakan bahwa data bersifat spasial dan saling berhubungan satu sama
lain.
Untuk mengetahui hubungan spasial antara titik-titik dalam suatu cebakan,
maka diperlukan suatu model variogram. Model variogram merupakan tahapan
awal dalam melakukan perhitungan geostatistik, perhitungan varians estimasi,
varians dispersi dan varians kriging.
Terdapat beberapa model variogram yang dimana penentuan model
variogram tersebut berdasarkan dari hasil analisis variogram eksperimental,
30
sehingga sifat-sifat yang diperoleh dari penyebaran data dapat disesuaikan dengan
model variogram yang ada. Ada beberapa macam model variogram yaitu
Spherical, Linear, Eksponensial dan Gaussian , model Variogram yang
digunakan adalah variogram model spherical , yang dapat dilihat dengan jelas
dari gambar berikut :
31
dibuat oleh manusia seperti kesalahan membaca alat, kesalahan sampling dan lain
sebagainya.
Nilai Variogram 𝜸(𝒉) didapat perhitungan dengan rumus sebagai berikut:
𝐧
𝟏
𝛄(𝐡) = ∑(𝐗𝐢 − 𝐗 𝐢+𝐡 )𝟐 (II.17)
𝟐𝐍
𝐢=𝟏
𝟑𝐡 𝐡 𝟑
𝐔𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐡 ≤ 𝐚, 𝛄(𝐡) = 𝐂𝐨 + 𝐂 [( ) − ( ) ] (II.18)
𝟐𝐚 𝟐𝐚
32
terdapat pada setiap blok. Perhitungan estimasi sumberdaya dengan metode ini
dapat dilakukan dengan persamaan dibawah ini :
𝐘 = ∑ 𝐘𝐢. 𝐖𝐢 (II.20)
33
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
34
Kedalam lubang ledak
Data kedalaman lubang ledak diambil dengan menggunakan alat roll
meter , dimana bagian ujung dari roll meter diberi pemberat seperti
batu dan di masukkan ke dalam lubang ledak.
Jumlah isian bahan peledak
Data jumlah isian bahan peledak diambil berdasarkan desain
peledakan oleh blasting engineer yaitu panjang isian bahan peledak
, sehdapat dihitung jumlah isian bahan peledak menggunakan rumus
R.L Ash.
Ukuran fragmentasi batuan hasil peledakan
Data ukuran fragmentasi batuan diambil dengan menggunakan
metode image analysis yaitu software split desktop.
b. Data Sekunder merupakan data yang diperoleh dari literatur atau laporan
perusahaan, yaitu :
Peta topografi
Peta geologi dan startigrafi
Data curah hujan
Rancangan geometri peledakan
4. Pengolahan Data
Di tahap ini setelah, data primer dan data sekunder yang di butuhkan
terkumpul dengan lengkap, selanjutya akan dilakukan pengelolahan
terhadap data tersebut untuk memperoleh:
a. Rata-rata suhu pada area penelitian
b. Area yang berpotensi terjadi premature blast
c. Jumlah isian bahan peledak yang dapat disi pada area penelitian
d. Ukuran rata-rata fragmentasi batuan dari hasil peledakan pada di sekitar
area yang berpotensi terjadi premature blast
5. Analisis data dan Pembahasan
Pada tahap ini dari hasil data yang telah diolah maka , selanjutnya dapat
dianalisis bagaimana pengaruh premature blast yang terjadi pada area
35
penelitian terhadap ukuran fragmentasi batuan dari hasil peledakan di area
tersebut.
6. Kesimpulan dan Saran
Dari hasil analisis dan pembahasan yang telah dikaji , dapat diambil
kesimpulan pengaruh yang terjadi pada ukuran fragmentasi batuan dari hasil
peledakan di sekitar area yang berpotensi terjadinya premature blast.
Sehingga, dapat memberikan hasil evaluasi kepada PT Batutua Kharisma
Permai – Batutua Tembaga Raya mengenai hasil fragmentasi batuan dari
proses peledakan di sekitar area yang berpotensi terjadi premature blast
tersebut.
36
Studi Literatur
Pengamatan Lapangan
Pengumpulan Data
37
A
Tidak Ya
Area potensi premature
blast (suhu > 50⸰C)
Pembahasan
Gambar III.1
Diagram Alir Penelitian
38
III.3 Jadwal Penelitian
Waktu pelaksanaan penelitian Skripsi akan dilaksanakan selama kurang
lebih 2 bulan, dimulai sejak bulan Mei 2019. Akan tetapi untuk kepastian waktu
dapat disesuaikan dengan kebijakan perusahaan.
Tabel III.1
Waktu dan Rencana Pelaksanaan Penelitian Skripsi
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Studi
Pustaka
2 Pengamatan
Lapangan
3 Pengambilan
Data
4 Pengolahan
dan Analisa
Data
5 Penyusunan
Laporan
39
BAB IV
PENUTUP
Contact Person:
Phone : 082199409550
Email : christyria98@yahoo.com
40
DAFTAR PUSTAKA
41