Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional


Berdasarkan letak geografis, diketahui bahwa daerah penelitian terletak pada
regional Pulau Sumatera spesifik pada Geologi Lembar Tanjung Karang pada
Gambar 2.1. Peta Geologi Regional Lembar Tanjung Karang dapat dilihat terdapat
banyak sesar dan kelurusan di dalam pembentukan Geologi Regional Tanjung
Karang. Selain itu, variasi umur dan jenis formasi juga turut andil dalam
pembentukan Geologi Regional Tanjung Karang. Selain mengandung informasi
tentang jenis formasi dan umur batuan, Peta Geologi Regional Tanjung Karang juga
memiliki informasi mengenai keselarasan dan ketidakselarasan antar satuan
formasi batuan.

Gambar 2. 1 Peta Regional Lembar Tanjung Karang (Mangga dkk., 1993).

Berdasarkan Peta Geologi lembar Tanjung Karang (Mangga dkk., 1993) dapat
dilihat bahwa Geologi Regional Tanjung Karang terdiri dari Runtutan Pra-Tersier,
Runtutan Tersier, Runtutan Quarter, dan Runtutan Terobosan (Suharno dkk,. 2016).

5
Runtutan – runtutan batuan tersebut dapat dilihat pada kolom stratigrafi regional
pada Gambar 2.2 di dalam Peta Geologi Regional Lembar Tanjung Karang.
1. Runtunan Pra-Tersier, terdiri dari batuan tertua pada Kompleks Gunung Kasih.
Kompleks Gunung Kasih (Pzg) memiliki runtutan batuan yang terdiri dari sekis
kuarsa pelitik dan grafitik, pualam dan sekis gampingan, kuarsit serisit,
migmatit, sekis amfibol dan ortogenes. Dengan keterdapatan batuan tersebut
dapat diasumsikan penyebaran litologi ialah akibat dari keadaan geologi
Kompleks Gunung Kasih. Dengan asumsi tersebut, diduga bahwa runtutan
batuan beku metamorf Kompleks Gunung Kasih merupakan sisa busur magma
Paleozoikum serta sisa runtuhan sedimen – metamorf parit atau tanah muka
yang berhubungan dengan busur tersebut. Selain Kompleks Gunung Kasih,
pada Runtutan Pra-Tersier terdapat pula Formasi Menanga (Km) dengan umur
batuan Mesozoikum yang tidak mengalami metamorfisme. Formasi Menanga
terdiri dari batulempung-batupasir tufan dan gampingan, berseling dengan
serpih, sisipan batugamping, rijang dan sedikit basaltt.
2. Runtunan Tersier, terdiri dari Formasi Sabu (Tpos), Formasi Campang (Tpoc),
Formasi Tarahan (Tpot), dan Formasi Hulusimpang (Tomh) dengan runtutan
batuan gunung api busur benua dan sedimen yang diendapkan pada tepi busur
gunungapi. Formasi yang terdapat pada Runtutan Tersier rata – rata memiliki
umur batuan Paleosen sampai Oligosen. Formasi Sabu (Tpos) terendapkan pada
lingkungan Fluvial menimpa tidak selaras dengan runtutan pra-Tersier dan
tertimpa tidak selaras oleh batuan gunung api Formasi Hulusimpang yang
berumur Oligosen Akhir sampai Miosen Awal. Formasi Sabu terdiri dari breksi
konglomerat dan batupasir pada bagian bawah dan berubah menjadi
batulempung tufan dan batupasir pada bagian atas. Pada Formasi Campang
(Tpoc) dan Formasi Tarahan (Tpot) yang diendapkan secara bersamaan
memiliki sedikit kesamaan yaitu, adanya tuf dan breksi polimik. Nampak pada
Formasi Campang batuan penyusun berupa batulempung, tuf dan breksi
konglomerat polimik, sedangkan pada Formasi Tarahan memiliki batuan
penyusun berupa breksi polimik dengan sisipan rijang, tuf padu dan sedikit lava
bersusunan andesit – basaltt. Formasi Hulusimpang (Tomh) yang tidak selaras
dengan Formasi Sabu dan dikatakan hasil dari tektonik regional di Sumatera.

6
Tektonik regional di Sumatera menyebabkan Formasi Hulusimpang memiliki
batuan penyusun berupa breksi vulkanik dan tuf. Pada masa Miosen Akhir
hingga Pliosen ditemukan Formasi Surungbatang (Tmps), Formasi Kantur
(Tmpk) dan Lava Andesit (Tpv). Pada masa ini ditemukan tuf, breksi vulkanik,
batulempung karbonatan dan batulanau karbonatan dengan sisipan tuf dan lava
andesit.
3. Runtutan Kuarter, terdiri dari Formasi Lampung (Qtl), Formasi Kasai (Qtk),
Formasi Terbanggi (Qpt), Formasi Basalt Sukadana (Qbs), Endapan Gunungapi
Muda (Qhv), dan Endapan Aluvial. Runtutan Kuarter berisi batu vulkanik
klastik dengan dominasi tuf, batulempung tufan dan batupasir tufan. Pada
Formasi Lampung dan Formasi Kasai yang berisikan tuf, batulempung tufa,
batupasir, batupasir tufan dan terdapat batupasir dengan sisipan batulempung
pada Formasi Terbanggi. Formasi Basalt Sukadana dan Formasi Endapan
Gunungapi Muda di dominasi oleh lava andesit – basalt dengan breksi vulkanik
dan tuf.
4. Runtutan Terobosan, terdiri dari Formasi Granodiorit Sulan (Kgdsn), Formasi
Diorit Sekampung Terfoliasi (Kds), Formasi Granodiorit Seputih (Kgds),
Formasi Granit Kalimantan (Kgk), Formasi Granodiorit Branti (Kgdb), Formasi
Dasit Piabung (Tmda), Formasi Granit Tak Terpisahkan (Tmgr), Formasi
Granit Jatibaru (Tejg), dan Formasi Sumbat Basaltt (Tpeb). Pada Runtutan
Terobosan dapat dilihat perbedaan satuan batuan penyusun formasinya, berupa
Basalt, Diorit, Dasit, Granodiorit, dan Granit. Hal ini disebabkan karena semua
Formasi pada Runtutan Terobosan dihasilkan dari magma Mafic-Felsic yang
menerobos lapisan satuan batuan yang lebih tua.

7
Gambar 2. 2 Stratigrafi Regional Tanjung Karang (Mangga dkk., 1993).

2.2 Geologi Daerah Penelitian


Berdasarkan Peta Geologi Regional Daerah Penelitian Gambar 2.3, lokasi daerah
penelitian tepatnya di Desa Jatisari, Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung
Selatan berada pada Formasi Lampung (QTI) dimana batuan permukaan di lokasi
penelitian termasuk kedalaman batuan yang berasal dari batuan gunung api
berumur Pleistosen yang terdiri dari tufa, tuf berbatu apung, tuf riolitik, tuf padu
tufit, batulempung tufan, dan batupasir tufan. Di lapangan ditemukan batuan
penyusunnya didominasi oleh lempung tuffan, lempung dan lempung pasiran.

8
Gambar 2. 3 Peta Geologi Regional Daerah Penelitian (Mangga dkk., 1993).

2.3 Air Tanah

Air tanah adalah air yang bergerak dalam tanah yang terdapat di dalam ruang-ruang
antara butir-butir tanah yang membentuk itu dan di dalam retak-retak dari batuan
(Suyono dan Takeda. 1993). Menurut Todd (2004), air tanah adalah air yang
bergerak di dalam tanah yang terdapat di dalam ruang antar butir- butir tanah yang
meresap ke dalam tanah dan bergabung membentuk lapisan tanah yang disebut
akuifer. Air tanah (groundwater) adalah air yang menempati rongga – rongga pada
lapisan geologi dalam keadaan jenuh dan dengan jumlah yang cukup (identik
dengan akuifer) (Bisri, 1991). Air tanah dapat bergerak secara lateral maupun
vertikal yang dipengaruhi oleh keadaan morfologi, hidrologi dan keadaan geologi
setempat. Pengaruh faktor geologi antara lain adalah bentuk dan penyebaran besar
butiran, perbedaan dan penyebaran lapisan batuan dan struktur geologi, sedangkan
pengaruh hidrologi terhadap air tanah adalah kuantitas presipitasi, daya infiltrasi
serta banyaknya penguapan dan pengaruh iklim, sehingga dapat disimpulkan
banyaknya kandungan air tanah di suatu daerah tergantung pada (Suharyadi, 1984):

1. Iklim atau banyaknya curah hujan;


2. Banyak sedikitnya tumbuh-tumbuhan, misalnya hutan;

9
3. Topografi, misalnya lereng, datar;
4. Derajat kesarangan atau derajat celah batuan.

Aliran air tanah secara alami dapat berlangsung dalam zona jenuh (saturated zone)
maupun zona tidak jenuh (unsaturated zone). Proses pengaliran pada zona tidak
jenuh dapat berlangsung akibat perbedaan tekanan, perbedaan kadar lengas tanah,
tekanan kapiler maupun akibat penghisapan oleh akar tumbuhan (root water
uptake). Persamaan dasar aliran air tanah diturunkan dari hukum kekekalan massa
dan hubungan konstitutif gerakan air tanah yang dikenal sebagai hukum Darcy
(Rolia, 2011). Untuk sistem tersebut, hukum kekekalan massa menyatakan bahwa
jumlah aliran masuk dikurangi dengan jumlah aliran keluar sama dengan laju bersih
perubahan massa di dalam control volume tersebut (Rolia, 2011).

Berdasarkan kemampuan menyimpan dan meloloskan air dibedakan atas 4


perlapisan yaitu:

1. Aquifer

Adalah lapisan yang dapat menyimpan dan mengalirkan air dalam jumlah yang
besar. Lapisan ini bersifat permeabel contohnya seperti kerikil, pasir dan lain-lain.

2. Aquiclude

Adalah lapisan yang dapat menyimpan tetapi tidak dapat mengalirkan air dalam
jumlah yang besar, contohnya seperti lempung, tuff halus dan lain-lain.

3. Aquifuge

Adalah lapisan batuan yang tidak dapat menyimpan dan mengalirkan air, contohnya
seperti batuan beku yang kompak.

4. Aquitard

Adalah lapisan batuan yang dapat menyimpan air tetapi hanya dapat mengalirkan
air dalam jumlah yang sangat terbatas, seperti scoria, napal, dan serpih.

10
2.4 Lapisan Pembawa Air (Aquifer)

Pengertian akuifer berdasarkan pendapat para ahli, Todd (2004) menyatakan bahwa
akuifer berasal dari bahasa latin yaitu aqui dari kata aqua yang berarti air dan kata
ferre yang berarti membawa, jadi akuifer adalah lapisan pembawa air. Formasi-
formasi batuan yang menyimpan air tanah disebut sebagai akuifer. Jumlah air tanah
yang dapat diperoleh di setiap tergantung pada sifat-sifat akuifer yang ada di
bawahnya. Akuifer atau lapisan pembawa air atau lapisan permeabel adalah batuan
yang mempunyai susunan yang dapat mengalirkan air tanah (Indarto, 2010).
Disimpulkan bahwa akuifer adalah lapisan bawah tanah yang mengandung air dan
mampu mengalirkan air. Hal ini disebabkan karena lapisan tersebut bersifat
permeable yang mampu mengalirkan air baik karena adanya pori-pori pada lapisan
tersebut ataupun memang sifat dari lapisan batuan tertentu.

Menurut (Kruseman dkk., 1970) berdasarkan kadar kedap air dari batuan yang
melingkupi aquifer terdapat beberapa jenis aquifer, yaitu : Akuifer terkungkung
(confined aquifer), akuifer setengah terkungkung (semi confined aquifer), akuifer
setengah bebas (semi unconfined aquifer), dan akuifer bebas (unconfined aquifer).
Akuifer terkungkung adalah akuifer yang lapisan atas dan bawahnya dibatasi oleh
lapisan yang kedap air. Akuifer setengah terkungkung adalah akuifer yang lapisan
di atas atau di bawahnya masih mampu meloloskan atau dilewati air meskipun
sangat kecil (lambat). Akuifer setengah bebas merupakan peralihan antara akuifer
setengah terkungkung dengan akuifer bebas. Lapisan bawahnya yang merupakan
lapisan kedap air, sedangkan lapisan atasnya merupakan material berbutir halus,
sehingga pada lapisan penutupnya masih dimungkinkan adanya gerakan air.
Akuifer bebas lapisan atasnya mempunyai permeabilitas yang tinggi, sehingga
tekanan udara di permukaan air sama dengan atmosfer. Air tanah dari akuifer ini
disebut air tanah bebas (tidak terkungkung) dan akuifernya sendiri sering disebut
water-table aquifer. Jenis-Jenis akuifer seperti ditunjukkan pada Gambar 2.4.

11
Gambar 2. 4 Jenis-jenis Akuifer (Shiddiqy, 2014).

2.5 Geolistrik

Geolistrik adalah salah satu metode dalam geofisika yang mempelajari sifat aliran
listrik di kerak bumi. Pendeteksian di atas permukaan meliputi pengukuran medan
potensial, arus, dan elektromagnetik yang terjadi baik secara alamiah maupun
akibat penginjeksian arus listrik ke bawah permukaan. Metode geolistrik yang
terkenal antara lain: metode potensial diri (SP), arus telluric, magnetotelluric, IP
(induced polarization), dan resistivitas (hambatan jenis).

Metode geolistrik resistivitas (hambatan jenis) merupakan suatu metode pendugaan


kondisi bawah permukaan bumi dengan memanfaatkan injeksi arus listrik ke dalam
bumi melalui dua elektroda arus. Beda potensial yang terjadi diukur dengan
menggunakan dua elektroda potensial. Hasil pengukuran arus dan beda potensial
untuk jarak elektroda tertentu, dapat ditentukan variasi harga hambatan jenis
masing-masing lapisan di bawah titik ukur.

Berdasarkan konfigurasi elektroda arus dan tegangan dapat dibedakan atas tiga
macam, yakni Vertical Electrical Sounding (VES), Constant Separation Traversing
(CST), dan kombinasi keduanya. Tersedianya peralatan komputer yang semakin
canggih, saat ini di beberapa tempat telah dikembangkan metode geolistrik
tomografi. Metode ini dapat menggambarkan kondisi bawah permukaan secara tiga
dimensi (Hadi dan Robinson, 2009).

12
Prinsip dasar yang digunakan dalam metode geolistrik resistivitas adalah Hukum
Ohm. Untuk mengeluarkan energi yang tersimpan dalam baterai diperlukan
penghubung (konduktor) diantara kedua terminalnya. Apabila ditambahkan sebuah
resistor maka akan terjadi perubahan potensial pada ujung–ujung hambatan
tersebut. Hubungan antara resistor, arus dan beda potensial mengikuti Hukum Ohm
yang dinyatakan dalam persamaan 2.1:

𝑉
𝐼=𝑅 (2.1)

dimana,

I = Arus (A)

V = Beda Potensial (V)

R = Hambatan (Ω)

Besar arus listrik yang mengalir pada suatu penghantar, berbanding lurus dengan
beda potensial antara kedua ujung penghantar, dan dipengaruhi oleh jenis
penghantarnya.

2.6 Metode Vertical Electrical Sounding (VES)

Metode Vertical Electrical Sounding (VES) adalah metode pengukuran resistivitas


1D yg dipakai untuk memperoleh variasi resistivitas bawah permukaan secara
vertikal. Pada metode VES ini, pengukuran suatu titik sounding dilakukan dengan
cara mengubah jarak elektroda, dari jeda elektroda kecil lalu membesar secara
gradual. Jarak elektroda harus sebanding dengan kedalaman lapisan batuan yang
terdeteksi. Semakin besar jarak elektrodanya, maka semakin dalam pula lapisan
batuan yang terdeteksi. Hasil yang diperoleh menurut pengukuran VES merupakan
kurva resistivitas. Pada dasarnya metode VES dikenal terdapat enam jenis kurva
yaitu kurva H, A, K, Q, HK, KH. Bentuk kurva H, A, K, Q, HK, KH bisa dicermati
dalam Gambar 2.5. Setiap bentuk kurva memberikan informasi tentang jumlah
lapisan, ketebalan lapisan, dan nilai resistivitas menurut setiap lapisan batuan.

13
Gambar 2. 5 Kurva Vertical Electrical Sounding secara umum (Telford dkk., 1990).

Gambar 2.5. merupakan kurva sounding, kurva ini menggambarkan hubungan


antara jarak elektroda arus (AB/2), nilai resistivitas semu (ρa), nilai resistivitas
sebenarnya (ρ), serta distribusi kedalaman dan ketebalan lapisan-lapisan nilai
resistivitas sebenarnya (ρ). Kurva VES dapat membantu dalam representasi hasil
interpretasi tabel nilai resistivitas sebenarnya. Hubungan antara jenis dan susunan
material bawah permukaan bumi terhadap variabel-variabel VES akan tampak lebih
mudah dipahami melalui representasi dari hasil interpretasi tabel nilai resistivitas
sebenarnya pada kurva VES.

2.7 Resistivitas Semu

Resistivitas merupakan kemampuan suatu material untuk menghambat arus listrik.


Material yang memiliki banyak pori dan memiliki fluida elektrolit di dalamnya
biasanya memiliki nilai resistivitas yang rendah hal ini diakibatkan oleh material
dapat mengalirkan arus listrik dengan baik atau dalam kata lain material tersebut
konduktif. Metode geolistrik resistivitas didasarkan pada anggapan bahwa bumi
mempunyai sifat homogen isotropis. Pada asumsi ini, resistivitas yang terukur
merupakan resistivitas yang sebenarnya dan tidak tergantung pada spasi elektroda.
Pada kenyataannya bumi tersusun atas lapisan-lapisan dengan resistivitas yang
berbeda-beda, sehingga potensial yang terukur merupakan pengaruh dari lapisan-
lapisan tersebut. Sebab, harga resistivitas yang diukur seolah merupakan harga
resistivitas untuk satu lapisan saja. Resistivitas yang terukur sebenarnya adalah

14
resistivitas semu (ρa). Adapun persamaan 2 resistivitas semu dapat dirumuskan
sebagai berikut :

∆𝑉
𝜌𝑎 = 𝐾 (2.2)
𝐼

Dimana :
ρa : Resistivitas Semu (Ωm)
K : Faktor Geometri (m)
∆𝑉 : Beda Potensial pada MN (V)
I : Kuat Arus (A)

Harga tahanan jenis (resistivitas) batuan tergantung pada macam-macam


materialnya, densitas, porositas, ukuran dan bentuk pori-pori batuan, kandungan
air, serta kualitas dan suhu. Maka tidak ada kepastian harga tahanan jenis untuk
setiap macam batuan yang terdiri dari material lepas (Todd, 2004).
2.8. Resistivitas Batuan

Nilai resistivitas yang terukur pada elektroda potensial dapat menjadi gambaran
tentang kondisi lapisan batuan yang berada di bawah permukaan bumi.
Pendugaan lapisan tersebut merupakan pendugaan keadaan bawah permukaan
bumi dalam tahap pengolahan dan interpretasi data geolistrik. Nilai resistivitas
batuan yang terdapat di bawah permukaan bumi ditunjukkan oleh Tabel 2.1.
(Telford dkk., 1990).

15
Tabel 2. 1 Nilai resistivitas batuan (Telford dkk., 1990).

Nilai Resistivitas
Material (Ωm)
Lempung 1 - 100
Pasir 1 - 1000
Lanau 10 - 200
Batu Lumpur 3 - 70
Batu Pasir 50 - 500
Batu Kapur 100 - 500
Air Permukaan 10 - 100
Air Tanah 0.5 - 300
Air Laut 0.2
Breksi 75 - 200
Tufa Vulkanik 20 - 100
Tanah (17.3% air) 0.6

2.9 Konfigurasi Schlumberger

Dalam metode geolistrik resistivitas terdapat beberapa konfigurasi. Konfigurasi


tersebut memiliki perhitungan masing-masing dalam menentukan nilai
resistivitas dan ketebalan lapisan batuan. Pada penelitian ini, pengukuran
dilakukan dengan menggunakan konfigurasi Schlumberger. Konfigurasi
Schlumberger bisa diterapkan untuk menentukan ketebalan dan kedalaman suatu
lapisan batuan. Hal ini diakibatkan oleh konfigurasi ini lebih sensitif terhadap
pengukuran vertikal (kedalaman) dibandingkan dengan konfigurasi lainnya.
Susunan elektroda konfigurasi Schlumberger dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Pengukuran dengan menggunakan konfigurasi Schlumberger dilakukan dengan
memindahkan elektroda arus sedang elektroda potensial tetap sampai jarak yang
ditentukan untuk pemindahan potensial arus. Apabila elektroda arus telah sampai
batas yang ditentukan maka jarak elektroda potensial diubah dan dilakukan
pengukuran kembali dengan memindahkan potensial arus sampai batas yang
ditentukan. Hal seperti ini dilakukan sampai elektroda potensial sampai titik
maksimum yang telah disesuaikan dengan panjang lintasan pengukuran.

16
Gambar 2. 6 Konfigurasi Schlumberger (Broto dan Afifah, 2008).

Adapun kelemahan dari konfigurasi Schlumberger ini adalah pada pembacaan


tegangan elektroda MN lebih kecil terutama ketika jarak antara AB relatif lebih
jauh, sehingga dibutuhkan alat ukur berupa multimeter yang mempunyai ciri-ciri
impedansi tinggi dengan cara mengatur tegangan minimal 4 atau 2 digit di
belakang koma atau bisa juga dengan cara peralatan dihubungkan dengan arus
yang memiliki tegangan listrik DC yang sangat tinggi. Keunggulan dari
konfigurasi ini karena memiliki kemampuan yang dapat mendeteksi adanya sifat
yang tidak homogen dari lapisan batuan pada permukaan yang dilakukan dengan
cara membandingkan nilai resistivitas semu ketika jarak antar elektroda MN/2
mengalami perubahan (Broto dan Afifah, 2008).

Konfigurasi metode geolistrik memiliki faktor geometri (K). Dimana faktor


geometri ini memiliki peran yang sangat penting untuk pendugaan tahanan jenis,
karena faktor geometri (K) merupakan besaran untuk koreksi letak kedua
elektroda potensial terhadap jarak kedua elektroda arus. Adapun persamaan
Faktor geometri yang digunakan pada konfigurasi Schlumberger adalah sebagai
berikut :
2𝜋
𝐾 = 1 1 1 1 (2.3)
( − − + )
𝑟1 𝑟2 𝑟3 𝑟4

Berdasarkan persamaan 2.3, maka didapatkan persamaan di bawah ini


2𝜋
𝐾 = 1 1 1 1 (2.4)
( − − + )
𝑛𝑎−𝑎 𝑎+𝑛𝑎 𝑎+𝑛𝑎 𝑛𝑎−𝑎

2 𝜋 ( 𝑛𝑎2 − 𝑎2 )
𝐾 = (2.5)
4𝑎

Maka persamaan faktor geometri untuk konfigurasi Schlumberger yaitu


𝜋 ( 𝑛𝑎2 − 𝑎2 )
𝐾 = (2.6)
2𝑎

17
Persamaan resistivitas semu merujuk pada persamaan (2.2), dituliskan kembali
menjadi
∆𝑉
𝜌𝑎 = 𝐾 𝐼
(2.7)

Subtitusikan nilai K pada persamaan (2.6), sehingga didapatkan


𝜋 ( 𝑛𝑎2 − 𝑎2 ) ∆𝑉
𝜌𝑎 = ( 2𝑎
) 𝐼
(2.8)

Dimana,
K : Faktor geometri (m)

I : Kuat Arus (A)

ΔV : Tegangan yang diukur (V)

ρa : Resistivitas Semu (Ωm)

r1 : Jarak C1 ke P1 (m)

r2 : Jarak C2 ke P1 (m)

r3 : Jarak C1 ke P2 (m)

r4 : Jarak C2 ke P2 (m)

na : Jarak antara titik tengah ke C1 atau C2 (m)

a : Jarak antara titik tengah ke P1 atau P2 (m)

2.10 Pemodelan Inversi (Inverse Modelling)


Inverse Modelling sering dikatakan sebagai "kebalikan" dari pemodelan ke depan
karena dalam pemodelan inversi parameter model didapatkan secara langsung dari
data. Menurut Menke (1984) teori inversi didefinisikan sebagai suatu kesatuan
metode matematika dan statistika untuk memperoleh informasi yang berguna
mengenai sistem fisika berdasarkan observasi terhadap sistem tersebut.

Pemodelan Inversi sering disebut sebagai data fitting karena dalam prosesnya dicari
parameter model yang menghasilkan respons fit dengan data pengamatan,
kesesuaian antara respons model dengan data pengamatan dinyatakan oleh suatu
fungsi objektif yang harus diminimumkan. Proses pencarian minimum fungsi

18
objektif berasosiasi dengan proses pencarian model optimum. Secara lebih umum,
model dimodifikasi hingga respons model menjadi fit dengan data. Proses tersebut
pemodelan inversi hanya dapat dilakukan jika hubungan antara data dan parameter
model pada pemodelan kedepan telah diketahui (Grandis, 2009).

2.11 Inversi Non-Linear Dengan Pendekatan Global


Umumnya solusi inversi non-linear dengan pendekatan linear tidak unik. Solusi
yang dilakukan inversi untuk menghindari ketidak-unikan dengan pendekatan
global dengan mengevaluasi secara sistematik harga fungsi objektif setiap model
pada ruang model. Cara tersebut merupakan cara yang paling mudah untuk
memperoleh dikarenakan hanya memerlukan pemodelan kedepan (Grandis, 2009).

2.12 Algoritma Genetik (Genetic Algorithm)


Algoritma Genetik diilhami oleh Teori Darwin mengenai evolusi dan penyelesaian
masalah menggunakan algoritma genetik selanjutnya dikembangkan oleh Goldberg
(1989). Algoritma Genetika dimulai oleh sekumpulan solusi yang direpresentasikan
oleh populasi. Solusi dari suatu populasi diambil kemudian digunakan untuk
membentuk sebuah populasi yang baru dengan harapan populasi yang baru akan
menjadi lebih baik dari populasi yang lama. Solusi yang terpilih untuk membentuk
solusi yang baru atau keturunan (offspring) dipilih berdasarkan kecocokan (fitness)
yang akan diulang sampai mencapai kondisi yang dianggap paling memuaskan.

Algoritma genetik populasi direpresentasikan oleh sejumlah model, sedangkan


fitness dinyatakan oleh kesesuaian antara respons model dengan data. Maka dari itu
fitness yang tinggi berasosiasi dengan misfit yang rendah. Pemodelan inversi
dengan algoritma genetika istilah pada individu dan model dapat dipertukarkan
dimaksud untuk memberikan gambaran jelas hubungan antara konsep dari genetika
dan inversi (Grandis, 9).

2.13 Kelebihan dan Kekurangan Algoritma Genetik


Algoritma genetika mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan dibandingkan
dengan algoritma lainnya, menurut Berlianty & Arifin (2010) menjelaskan tentang
kelebihan dan kekurangan algoritma genetika, yaitu sebagai berikut:

19
2.13.1 Kelebihan algoritma genetika
1. Algoritma genetika bekerja dengan memanipulasi kode-kode set parameter,
bukan dengan hasil manipulasi nilai parameter itu sendiri;
2. Algoritma genetika bebas untuk mengkodekan masalah dengan berbagai cara
sehingga algoritma genetika tidak dibatasi dengan batasan dari metode lainnya;
3. Algoritma genetika bekerja dengan populasi titik, bukan satu titik;
4. Algoritma genetika menggunakan informasi fungsi tujuan, bukan informasi
turunan dan lainnya;
5. Algoritma genetika menggunakan aturan perpindahan probabilistik, bukan
deterministik;
6. Algoritma genetika memerlukan iterasi yang berulang-ulang dan dalam jumlah
yang relatif banyak, sehingga algoritma ini perlu dibangun dalam sebuah
program aplikasi komputer untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.

2.13.2 Kekurangan algoritma genetika


1. Algoritma genetika bekerja dengan bilangan acak pada kromosom awal,
sehingga memungkinkan kromosom terbaik tidak terlibat dalam proses;
2. Algoritma genetika menggunakan pembangkitan bilangan random dalam setiap
pemilihan kromosom baik untuk induk, proses persilangan maupun mutasi;
3. Solusi yang dihasilkan belum tentu merupakan solusi yang optimal, karena
sangat dipengaruhi oleh bilangan acak yang dibangkitkan.

2.14 Struktur Umum Algoritma Genetik


Algoritma Genetik sangat tepat digunakan untuk menyelesaikan masalah optimasi
yang kompleks dan sukar diselesaikan dengan menggunakan metode konvensional
(Supriyanto, 2010). Sebagaimana halnya dengan proses evolusi di alam, suatu
algoritma genetika yang sederhana umumnya terdiri dari struktur umum dari suatu
Algoritma Genetika yaitu :

2.14.1 Membangkitkan Populasi Awal


Diawali membangkitkan sejumlah individu secara acak atau melalui prosedur
tertentu. Ukuran populasi tergantung pada masalah yang akan dipecahkan dan jenis
operator genetika yang akan diimplementasikan. Setelah ukuran populasi
ditentukan, selanjutnya dilakukan inisialisasi terhadap kromosom yang terdapat

20
pada populasi tersebut. Inisialisasi kromosom dilakukan secara acak, namun harus
tetap memperhatikan domain solusi dan kendala pada permasalahan yang ada
(Kusumadewi, 2003). Proses pembangkitan populasi awal diawali dari pengkodean
gen dari kromosom. Satu gen biasanya merepresentasikan satu variabel. Gen dapat
diwakili dalam bentuk bilangan real, bit, daftar aturan, elemen permutasi, elemen
program, atau representasi lainnya yang dapat diimplementasikan untuk operator
genetika. Teknik pengkodean ini tergantung pada pemecahan masalah yang
dihadapi seperti bilangan acak, pendekatan tertentu, dan permutasi gen.

2.14.2 Seleksi
Pada proses seleksi sepasang individu induk dipilih berdasarkan (atau dengan
bobot) fitness nya (Michalewicz, 1996). Seleksi digunakan untuk memilih individu-
individu mana saja yang akan dipilih untuk proses crossover dan mutasi. Masing-
masing individu yang diseleksi akan diberikan probabilitas reproduksi tergantung
dari nilai objektif dirinya sendiri terhadap nilai objektif dari semua individu dalam
seleksi tersebut. Nilai fitness inilah yang nantinya akan digunakan pada tahap
seleksi berikutnya.

2.14.3 Kawin Silang (Crossover)


Crossover merupakan salah satu operator genetik yang digunakan untuk
menggabungkan dua genetik dari sepasang induk dalam suatu generasi. Proses ini
identik dengan reproduksi seksual dalam kehidupan. Dalam proses ini sepasang
induk dipilih berdasarkan fitness-nya dan turunan (offspring) merupakan hasil
penyilangan karakteristik atau parameter induk yang dipilih secara acak.
Probabilitas crossover bernilai 0,4 sampai 0,8 (Coley, 1998). Dalam hal inversi
proses penyilangan ini merepresentasikan kerja sama individu untuk sampai pada
titik lain dalam sampel ruang model secara langsung tanpa melalui pertubasi sedikit
demi sedikit.

2.14.4 Mutasi
Pada proses mutasi, karakteristik atau parameter pada suatu individu dapat berubah
secara acak dengan harapan akan diperoleh individu yang lebih baik. Tidak setiap
individu dalam suatu generasi mengalami proses mutasi. Umumnya proses mutasi
memiliki probabilitas yang sangat rendah. Algoritma genetika, individu umumnya

21
dikodekan sebagai bilangan biner (0 dan 1) pada sejumlah "bit" tertentu yang
merepresentasikan harga setiap parameter model. Pada kasus pengkodean biner,
mutasi dilakukan dengan mengubah salah satu nilai "bit" menjadi kebalikannya.
Parameter probabilitas mutasi digunakan untuk mengatur tingkat kejadian mutasi
pada suatu populasi (Grandis, 2009).

Proses mutasi dilakukan dengan cara mengganti satu gen yang terpilih secara acak
dengan suatu nilai baru yang didapat secara acak. Langkah pertama adalah
menghitung panjang total gen yang ada dalam satu populasi. Jika peluang mutasi
terlalu kecil, banyak gen yang mungkin berguna tidak pernah dievaluasi. Tetapi jika
peluang mutasi terlalu besar, maka akan terlalu banyak gangguan acak, sehingga
anak akan kehilangan kemiripan dari induknya dan algoritma kehilangan
kemampuan untuk belajar dan melakukan pencarian (Supriyanto, 2010).

2.14.5 Evaluasi Solusi


Langkah ini akan mengevaluasi setiap populasi dengan menghitung nilai fitness
dari setiap kromosom hingga kriteria menjadi terpenuhi. Namun karena seleksi
dilakukan secara acak maka diperlukan langkah untuk menjaga agar individu
bernilai fitness terbaik tidak hilang selama proses evolusi. Proses ini dikenal dengan
nama elitism (Kusumadewi, 2003). Bila kriteria berhenti belum terpenuhi maka
akan dibentuk lagi generasi baru dengan mengulangi langkah sebelumnya tetapi
tetap menyertakan individu yang disimpan dalam proses elitism sehingga hasil
perhitungan dapat konvergen.

Tahapan pada proses Genetic Algorithm (GA) dibagi menjadi 2 (dua) tahapan yaitu
tahapan pembentukan populasi awal dan tahapan proses Genetic Algorithm (GA).
Tahapan pembentukan populasi awal ditunjukkan pada gambar 2.8.

22
Mulai

Gen Resistivitas
sebenarnya, Gen
ketebalan lapisan

Pembentukan
kromosom

Kromosom

Populasi

Selesai

Gambar 2. 7 Proses pembentukan populasi awal.

Populasi awal dibentuk dari beberapa kromosom yang terbentuk atas beberapa gen.
Pada penelitian ini, kromosom terdiri atas gen resistivitas semu dan gen panjang
bentangan. Tahapan proses Genetic Algorithm (GA), ditunjukkan pada gambar 2.8.

23
Mulai

Populasi

Nilai fitness

Seleksi

Crossover
Proses Elitism

Mutasi

Menggantikan populasi
lama dengan populasi
yang baru

Tidak
Iterasi
selesai?

Resistivitas
sebenarnya dan
ketebalan lapisan

Ya
Selesai

Gambar 2. 8 Proses Genetic Algorithm (GA).

2.14 Penelitian Yang Sudah Pernah Dilakukan


Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Rizka dan Satiawan (2018) yang
berjudul “Bedrock Investigation using Resistivity Method as an effort to Provide
Subsurface Data at ITERA Campus”, Didapatkan hasil resistivitas 1D kampus
ITERA tersusun pada lapisan batuan yang menyusunnya. Berdasarkan nilai
resistivitas yang dikorelasikan dengan peta geologi, kampus ITERA adalah
tersusun dari batuan tufa (nilai resistivitas > 100 Ωm), batupasir tuffan (nilai
resistivitas 10 - <100 Ωm), dan batulempung tuffan (<10 Ωm). Berdasarkan peta

24
iso-resistivitas dan resistivitas, persilangan bagian timur ITERA memiliki tufa yang
tebal. Tuf menjadi batuan dasar yang dapat digunakan untuk berat konstruksi
konstruksi. Namun bagian barat ITERA memiliki batuan lunak yang tebal
(batulempung tuffan) dan dapat digunakan untuk konstruksi ringan atau area
penghijauan. Dapat diketahui bahwa penelitian tersebut dilakukan di Kampus
Institut Teknologi Sumatera yang mana berada di Formasi Lampung, dengan
demikian jurnal tersebut digunakan sebagai acuan dalam pembuatan Tugas Akhir
ini.

25

Anda mungkin juga menyukai