OLEH:
MAHYUDI
Batuan induk yang berbeda mempunyai komposisi mineral yang berbeda dan
penting dalam proses pembentukan tanah selanjutnya (Foth, 1991; Tan, 1992; Sutanto,
2005). Menurut Tafakresnanto dan Prasetyo (2001), bahwa untuk mengetahui tingkat
cadangan sumber hara dari suatu jenis tanah, diperlukan analisis susunan mineral primer
dari tanah tersebut. Contoh tanah yang susunan mineralnya didominasi oleh mineral
mudah lapuk dapat diartikan bahwa contoh tanah tersebut mempunyai cadangan sumber
hara tanah yang tinggi. Kecepatan pelepasan unsur-unsur hara dari batuan sangat
Kusdarto, 2006).
Intensitas pelapukan selain dipengaruhi oleh iklim dan batuan induk, juga
atau memperlambat intensitas pelapukan (van Breemen dan Buurman, 2003; Schaetzl dan
pada setiap profil tanah yang terbentuk pada keragaman topografi mulai dari lereng atas
sampai lereng bawah, yang nantinya juga ikut mempengaruhi tingkat kesuburan tanah
yang tebentuk.
berbeda dengan Pulau Sumatera dan Jawa (pengaruh lempung Indo-Australia) (Katili dan
Marks, 1965; Tailor, 2005), memiliki potensi batuan yang cukup bervariasi (terdapat 16
formasi geologi) dengan umur yang berbeda-beda. Formasi kompleks ultrabasa (Ku)
termasuk formasi batuan tua yang terbentuk pada masa Mesozoikum sekitar zaman
kapur/cretaceous (127 juta tahun yang lalu) yang terdiri atas batuan hasburgit, dunit,
sepentinit, gabro, peridotit, wherlit, dan basal (Rusmana et al., 1993; Simandjuntak et al.,
1993). Batuan ini dari aspek pertambangan dinilai sangat ekonomis karena mengandung
deposit bahan tambang seperti nikel, besi dan krom sehingga mempengaruhi kebijakan
Pertambangan. Batuan ini dari aspek pertanian secara potensial menarik untuk dikaji
karena selain kandungan SiO2 yang rendah, secara nisbi kaya akan Fe, Ca dan Mg yang
Provinsi Sulawesi Tenggara termasuk salah satu daerah yang memiliki sebaran
formasi geologi kompleks ultrabasa yang cukup luas (325.556 ha) dari dua belas
kabupaten/kota yang ada, enam diantaranya terdapat formasi geologi kompleks ultrabasa
dengan iklim dan penggunaan lahan yang beragam. Informasi tentang karakteristik tanah
yang berkembang di atas batuan ultrabasa telah banyak diteliti diberbagai negara, namun
khusus di Indonesia informasi ini masih terbatas (Hardjowigeno et al., 1989; Sunarminto,
toposekuen yang berbeda, sehingga kajian mengenai tingkat perkembangan tanah dari
tanah ?
1.3. Tujuan dan Kegunaan
informasi tentang tingkat perkembangan tanah dari lapukan batuan ultrabasa pada
makalah ini yaitu agar dapat lebih bermanfaat terhadap bidang pertanian khususnya
masyarakat yang bercocok tanam di atas tanah yang berkembang dari lapukan batuan
ultrabasa.
II. TINJAUAN PUSTAKA
kandungan FeO tinggi, kandungan kalium rendah dan umumnya kandungan mafiknya
>90%. Kelompok batuan peridotit terdiri dari: Dunit (terdiri dari olivin, dengan sedikit
kanndungan enstatit piroksin dan kromit); Harzburgit (terdiri dari olivin, enstatit dan kromit);
Lherzolit (terdiri dari olivin, enstatit diopsid serta sedikit kromit dan pyrope garnet);
pyroxenit (terdiri dari orthopyroxen dan clinopyroxen, dengan sejumlah kecil kandungan
olivin, garnet dan spinel), (Coleman, 1971 dalam Alexander et al., 2007).
Peridotit adalah batuan beku dalam yang berukuran butir menengah, berwarna
gelap, mengandung sedikitnya 10% olivin, besi serta mineral yang kaya akan magnesium
(biasanya pyroxenes) dan tidak lebih dari 10% feldspar. Kelompok batuan peridotit tidak
umum tersingkap di permukaan dan sangat tidak stabil. Batuan peridotit yang tersingkap
umumnya telah berubah menjadi serpentinit akibat mineral piroksin dan olivin berubah
menjadi serpentin dan amfibol, proses perubahan ini (hidrasi) diikuti dengan perubahan
volume yang mengakibatkan terjadinya perubahan (deformasi) dari tekstur awalnya (Tim
Paleozoikum sampai Kuarter. Berdasarkan himpunan batuan dan pencirinya, geologi Pra-
Tersier di Lembar Lasusua-Kendari dapat dibedakan dalam dua lajur geologi yaitu Lajur
Tinondo dan Lajur Hialu. Lajur Tinondo dicirikan dengan batuan endapan paparan benua
dan Lajur Hialu oleh kerak samudera/ofiolit dan secara garis besar kedua mendala dibatasi
Batuan yang terdapat di Lajur Tinondo yang merupakan batuan alas yaitu Batuan
Malihan Paleozoikum (Pzm) dan diduga berumur Karbon; terdiri dari sekis mika, sekis
kuarsa, sekis klorit, batusabak dan genes. Pualam Paleozoikum (Pzmm) menjemari
dengan Batuan Malihan Paleozoikum terutama terdiri dari pualam dan batugamping
terdaunkan. Pada Permo-Trias di daerah ini diduga terjadi kegiatan magma yang
menghasilkan terobosan aplit kuarsa, latit kuarsa dan andesit TPR (ga), yang menerobos
Batuan Malihan Paleozoikum. Formasi Meluhu (TRJm) yang berumur Trias Tengah
sampai Jura, secara takselaras menindih Batuan Malihan Paleozoikum. Formasi ini terdiri
dari batu pasir kuarsa yang termalihkan lemah dan kuarsit yang setempat bersisipan
dengan serpih hitam dan batugamping yang mengandung Halobia sp. dan Daonella sp.
serta batusabak pada bagian bawah. Pada zaman yang sama terendapkan Formasi
Tokala (TRJt), terdiri dari batugamping berlapis dan serpih bersisipan batupasir.
Hubungannya dengan Formasi Meluhu adalah menjemari. Lajur ini terjadi pengendapan
Formasi Salodik (Tems) pada masa Eosen hingga Miosen Tengah yang terdiri dari
Batuan yang terdapat di Lajur Hialu adalah batuan ofiolit (Ku) yang terdiri dari
peridotit, harsburgit, dunit dan sepentinit. Batuan ofiolit ini tertindih takseleras oleh Formasi
Matano (Km) yang berumur kapur akhir dan terdiri dari batugamping berlapis pada bagian
bawahnya.
Formasi Pandua (Tmpp), terdiri dari konglomerat aneka bahan dan batupasir besisipan
lanau. Formasi ini menindih takselaras semua formasi yang lebih tua, baik dari Lajur
Tinondo maupun Lajur Hialu. Batugamping terumbu koral (QI) dan Formasi Allangga
(Qpa) terbentuk pada masa Plistosen Akhir yang terdiri dari batupasir dan konglomerat.
Batuan termuda di wilayah ini yaitu Aluvium (Qa) terdiri dari endapan sungai, rawa dan
Sebaran batuan ultrabasa di Indonesia cukup luas, mulai dari Aceh, Sumatera
Sulawesi Tengah, NTT, Maluku, Irian Jaya Barat dan Papua. Luas sebaran keseluruhan
yaitu mencapai 3 juta Hektar. Dari sekian banyak sebaran batuan ultrabasa, diantaranya
yang dekat aksesibilitasnya dengan aktivitas manusia (kota) adalah sebaran batuan yang
sebagian telah mengalami serpentinisasi dan berwarna hijau tua. Tebal satuan ini sekitar
2.500 m mempunyai kontak langsung dengan batuan sekitarnya. Umur satuan ini
diperkirakan berumur Trias. Komposisi kimia batuan ultrabasa yaitu: SiO2 (35,48-40,04%);
Batuan ofiolit (Ku : Kompleks ultrabasa) termasuk kelompok batuan beku yang
ada di Sulawesi Tenggara, meliputi peridotit, harsburgit, dunit, serpentinit, gabro dan
amfibolit. Peridotit dicirikan oleh warna hitam, kehijauan, kecoklatan, berbutir sedang
sampai kasar, fanerik, hablur penuh, sebagian terserpentinkan, tersusun oleh piroksen,
Harsburgit dicirikan oleh warna hijau kehitaman atau kelabu tua-kehijauan dan
hitam kehijauan bila lapuk, berbutir menengah, hablur penuh, fanerik, hipidiomorfik dan
(3%) dan bijih. Pada beberapa singkapan terdapat serpentinit dan asbes yang merupakan
ubahan dari olivin. Hablur piroksin mencapai ukuran 0,5 cm. Pada permukaan yang lapuk
Dunit dicirikan oleh warna hijau tua, berbutir halus sampai sedang, setempat
(anhedral), terdiri dari olivin (90%) dengan sedikit piroksin, plagioklas dan bijih.
Serpentinit dicirikan oleh warna kelabu kehijauan atau hijau kotor dan hitam
kehijauan, agak keras (keras tapi rapuh dan mudah pecah), mineral penyusun utamanya
serpentin, piroksin dan olivin. Di samping mineral ikutan seperti bijih, setempat
Gabro dicirikan oleh warna kelabu tua hingga kehitaman, hablur penuh, berbutir
kasar hingga pegmatik, fanerik, hipidiomorfik granular, hablur hampir sempurna, terlihat
adanya pengarahan karena pengaruh tekanan. Gabro mineral penyusunnya terdiri dari
plagioklas (labradorit 60%), piroksen (15%) dan sisanya olivin serta klorit dan sedikit serisit
dan kuarsa.
putih oleh kuarsa dan feldspar, pejal, mineral penyusun utamanya yaitu amfibol (60-70%),
plagioklas (5-15%), feldspar (5%), kuarsa (10%), muskovit (5%), epidot, klorit dan bijih.
Batuan ultrabasa daerah ini umumnya telah mengalami pelapukan cukup kuat
yang menghasilkan lapisan laterit yang mencapai ketebalan sampai belasan meter.
Mineral garnierit, magnesit dan oksida besi sering dijumpai di daerah ini. Satuan ini adalah
batuan asal kerak samudera yang merupakan batuan dasar Lajur Hialu. Batuan ultrabasa
ini tertindih takselaras oleh Formasi Matano yang berumur Kapur Akhir, sehingga umur
batuan diduga daripada Kapur Akhir (Rusmana et al., 1993). Nama lain yang pernah
digunakan untuk satuan ini adalah batuan ultrabasa dan basa (Sukamto, 1975) dan
ultramafic rocks (Kartaadipoetra dan Sudiro, 1973 dalam simandjuntak et al., 1994).
Batuan ultrabasa ini tersebar luas di sekitar Konawe Utara termasuk Pulau
Buhubulu, serta sedikit di pantai barat (Teluk Bone) yaitu di Tanjung Ladongi, Wolo,
Kolaka, dan Tanjung Lelewano dan Tanjung Tobuso Kolaka Utara. Kompleks Ultrabasa
juga tersebar luas di Kabupaten Kolaka bagian Selatan yaitu Pomalaa, Baula, Tangketada,
Kompleks ultrabasa juga terdapat di Kabupaten Konawe yaitu Pondidaha dan Puriala.
Karakteristik tanah adalah sifat-sifat yang dapat diukur seperti jenis dan ketebalan
kandungan bahan organik, kandungan unsur hara, macam mineral lempung, struktur
tanah, konsistensi dan sifat-siifat tanah yang lainnya. Karakteristik tersebut tidak lain
merupakan hasil kesudahan interaksi antara faktor-faktor pembentuk tanah (Maas, 1997).
Komposisi tanah (bahan mineral, bahan organik, air dan udara) tidak tercampur
begitu saja, tetapi tersusun sebagai tubuh yang teroganisasi (pedon) dengan struktur dan
sifat fisika-kimia sebagai hasil pencerminan sifat dari masing-masing partikel yang
terususun sebagai sistem tanah (pedosistem). Sifat tanah yang berbeda merupakan hasil
proses yang terjadi di dalam suatu lingkungan dan sistem pengelolaan yang dilaksanakan
(Sutanto, 2005).
Mineral adalah bagian padatan anorganik yang terdiri atas kumpulan unsur
dengan struktur yang spesifik dan merupakan bahan penyusun tanah utama yang berasal
dari kristalisasi magma, atau terbentuk karena hasil reaksi unsur kimia di dalam tanah.
Mineral di dalam tanah dapat dikelompokkan menjadi dua jenis berdasarkan ukuran dan
proses terjadinya, yaitu mineral primer dan mineral sekunder. Mineral primer merupakan
mineral penyusun batuan yang belum mengalami pelapukan, di dalam tanah umumnya
berukuran pasir dan debu. Mineral sekunder merupakan hasil dari pelapukan mineral
Penyusun mineral alam yang utama adalah oksigen (40-60%), silicon (20-28%), aluminium
(6-8%), besi (5%) dan lainnya (hidrogen, kalsium, natrium, kalium) masing-masing tidak
a. Mineral Primer
Mineral primer yang sering kita jumpai didalam tanah pada berbagai tingkat
perkembangan tanah atau tersingkap ke permukaan bumi antara lain yaitu kuarsa, kalsit,
dimensi yang padat tanpa pori-pori atau celah, sehingga secara kimiawi mineral kuarsa ini
dapat diakatan sebagai mineral inert (tidak mampu bereaksi). Sifat inert ini disebabkan
adanya sifat saling meniadakan antar muatan yang ada di dalam mineral kuarsa, sehingga
bermuatan netral. Oleh karena itu, kuarsa dapat dianggap sebagai soil sceleton (kerangka
tanah). Mineral primer lainnya, meskipun jumlahnya di dalam tanah secara nisbi kecilo,
namun penting artinya sebagai cadangan berbagai unsur yang mutlak diperlukan tanaman
(Radjagukguk, 1991).
mineral mudah lapuk (weatherable mineral) dan mineral tahan lapuk (resistant mineral).
Mineral mudah lapuk adalah jenis mineral yang dapat melapuk dan melepaskan unsur-
unsur penyusunnya ke dalam tanah pada waktu proses pembentukan tanah. Mineral tahan
lapuk adalah mineral yang sulit melapuk seiring dengan proses pembentukan tanah (Shaw
Mineral mudah lapuk banyak dijumpai di Indonesia yaitu plagioklas, amfibol dan
piroksin. Mineral mudah lapuk dapat mengalami proses pelapukan secara cepat dan hasil
pelapukannya berupa unsur hara seperti Ca, Mg, Na, K dan Fe. Mineral tahan lapuk (opak,
konkresi besi dan kuarsa) resisten terhadap pelapukan, sehingga walaupun tanah telah
mengalami tingkat pelapukan tanah lanjut, mineral tahan lapuk masih tetap ada (Prasetyo
et al., 2004). Mineral primer umumnya berasal dari mineral-mineral batuan yang
bersumber dari batuan beku (igneous rocks). Batuan ini berasal dari magma yang
mengalami pendinginan sehingga membeku. Magma dapat dipilahkan menjadi dua bagian
kandungan Na dan K yang relatif tinggi, tetapi kandungan Fe, Mg dan Ca yang rendah.
2. Basic/basaltic magma, mengandung <50% SiO2 dan secara nisbi kaya akan
Komposisi mineral kasar untuk suatu jenis tanah tertentu sangat tergantung pada
ukuran butir/partikelnya. Partikel berukuran besar umumnya dirajai oleh mineral primer
sedangkan partikel yang lebih halus umumnya dirajai oleh mineral sekunder (Sutanto,
2005).
Tabel 2.1. Beberapa jenis mineral primer yang banyak dijumpai di Indonesia
Unsur
Jenis Mineral Sumber batuan
utama
(1) (2) (3) (4)
MDL Olivin Mg, Fe Batuan volkanis dan ultrabasis
MDL Mika (biotit, muskovit) K, Mg, Fe Batuan granit dan metamorf
MDL Piroksin (augit, hipersten) Mg, Fe, Ca Batuan volkanis dan ultrabasis
MDL Amfibol (hornblende) Fe, Mg, Ca Batuan volkan intermedier dan
ultrabasis
MDL Plagioklas (albit, andesin, Na, Ca Batuan volkan intermedier hingga
anorit, labradorit, oligoklas) basis
MDL K-feldspar (ortoklas, sanidin) K Batuan masam
MDL Gelas vokan Si Batuan volkan masam, intermedier,
Unsur
Jenis Mineral Sumber batuan
utama
(1) (2) (3) (4)
basis
TLP Opak Fe Batuan volkanik
TLP Kuarsa Si Batuan yang bersifat masam
MDL = mudah lapuk; TLP = tahan lapuk
Sumber : Tafakresnanto dan Prasetyo (2001); Prasetyo et al. (2004); Sutanto (2005).
b. Mineral Sekunder
Mineral lempung dan senyawa amorf berbutir halus (ukuran lempung), biasanya
sebagai fraksi lempung. Namun demikian, perlu dicatat bahwa mineral primer dapat
dijumpai sebagai fraksi lempung pada beberapa tanah. Mineral lempung sebaliknya dapat
dijumpai dalam fraksi debu dan lempung pada tanah-tanah yang lain. Lempung
aluminosilikat berlapis membentuk bagian utama fraksi lempung pada kebanyakan tanah.
Tanah yang terlapuk lanjut juga ada bahan dengan jumlah yang nyata, yaitu sejenis oksida
Mineral lempung utama di daerah tropika dapat dibagi dalam dua kelompok besar
yaitu mineral lempung yang bermuatan tetap dan bermuatan berubah-ubah. Mineral yang
muatannya tetap yaitu mineral silikat lapis 2:1 (montmorillonit, vermikulit, illite) dan silikat
lapis 2:2 (klorit) dan dalam jumlah yang lebih kecil silikat lapis 1:1 (kaolinit, halloysite).
mineral 2:1 dengan hidroksida besi dan hidroksida aluminium), berbagai jenis oksida dan
hidroksida aluminium dan besi baik yang berbentuk kristal maupun amorf (Sanchez, 1992).
dan mengkerut. Kaolinit, illit dan klorit tergolong mineral lempung yang tidak mengembang
(non-expanding), sedangkan yang lain termasuk golongan mineral yang mempunyai sifat
mengembang dan mengkerut tinggi. Kaolinit memiliki ikatan (bonding) kuat karena ikatan
H-OH yang kuat antar lapisan. Ikatan yang kuat antar lapisan (interlayer) pada illit
disebabkan oleh adanya ion K+. Montmorilonit dan vermikulit mempunyai ikatan yang
lemah sampai sangat lemah karena adanya berbagai ikatan kation di dalam ruang antar
pada kondisi basah. Ikatan sedang sampai kuat pada klorit terjadi karena adanya lapisan
Kapasitas pertukaran kation (KPK) di dalam dan antar kelompok mineral cukup
seragam. Sebagai contoh, KPK kaolinit, illit, dan klorit rendah, sedangkan KPK
montmorillonit dan vermikulit tinggi. Terdapat dua mekanisme yang menentukan KPK,
disebabkan tidak terpuaskannya valensi pada tepi patahan lembaran silika dan alumina.
Selain itu, permukaan luar yang datar mempunyai gugus oksigen dan hidroksil yang
tersingkap, yang berlaku sebagai tapak bermuatan negatif. Hidrogen dari hidroksil pada pH
tinggi sedikit terdisosiasi, sedangkan oksigen pada permukaan koloid menjadi bermuatan
negatif. Hidrogen pada tanah masam sedang sampai sangat masam ternyata diikat kuat
dan tidak mudah ditukar oleh kation lain. Besarnya muatan tergantung pH ini berbeda
sesuai dengan tipe koloid lempung. Muatan pada mineral tipe 1:1 hampir sama tergantung
pH, sedangkan pada mineral tipe 2:1 hanya mengandung sekitar seperempatnya (Tan,
Mengetahui jenis-jenis mineral dari suatu tanah amat penting karena setiap jenis
mineral sifatnya dapat berbeda dalam hal sifat-sifat kimia, fisika maupun fisiko-kimia.
Tanah yang kaya akan mineral tipe 2:1 seperti kelompok montmorilonit memiliki nilai tukar
kation yang lebih besar dibandingkan dengan mineral tipe 1:1 seperti kaolinit. Daya simpan
unsur hara pada tanah mineral tipe 2:1 lebih besar dibandingan dengan tipe 1:1 (Tan,
bersambung. Tahapan pertama pembentukan bahan induk tanah dari bahan litosfer atau
bahan biosfer. Tahapan kedua pengubahan bahan induk tanah menjadi bahan tanah.
Tahapan ketiga penyusunan bahan tanah menjadi suatu tubuh tanah dengan organisasi
Bahan mineral dan organik atau disebut dengan bahan induk tanah (bahan
pratanah) akan mengalami perubahan karena pengaruh faktor lingkungan sesuai dengan
S= f (c, o, p, r, t,....)
Artinya, sifat suatu jenis tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang paling penting
diantaranya yaitu iklim (c), organisme (o), bahan induk (p), timbulan (r), dan waktu (t). Titik-
titik menunjukkan bahwa faktor yang kurang penting dalam kondisi tertentu mungkin
mempengaruhi sifat tanah seperti perolehan mineral dari atmosfer, garavitasi, atau
perubahan mineralogi akibat kebakaran. Bahan induk dan relief menentukan kondisi awal
Menurut Joffe (1949), dari kelima faktor pembentuk tanah tersebut dapat
dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu: a) faktor positif (bahan induk, topografi dan
waktu) merupakan sumber massa pembentukan tanah dan kondisi-kondisi pasif yang
energi yang bekerja di atas massa pembentuk tanah untuk melangsungkan proses
pembentukan tanah. Salah satu faktor dalam pembentukan tanah dapat mempunyai
peranan yang menonjol daripada yang lain, sehingga tanah dapat mempunyai keragaman
tinggi meskipun berkembang dari bahan yang sama, tergantung energi yang bekerja.
salah satunya adalah iklim. Iklim adalah keadaan dimana suhu, presipitasi, kelembaban
dan hal-hal yang terkait dengan cuaca hanya dapat berubah dalam waktu yang panjang
dan meliputi daerah yang luas. Iklim merupakan salah satu faktor yang mepengaruhi
kecepatan pembentukan tanah. Terdapat dua unsur iklim yang terpenting yang
mempengaruhi proses pembentukan tanah, yaitu curah hujan dan suhu, yang
berpengaruh besar pada kecepatan proses kimia dan fisika, yaitu proses yang
Tanah berasal dari bahan-bahan induk baik yang organik maupun mineral yang
terbentuk melalui berbagai macam proses. Bahan induk yang membentuk tanah berasal
dari batuan yang ada dipermukaan bumi yang mengalami proses pelapukan. Suhu
merupakan salah satu faktor yang mendorong terjadinya pelapukan pada batuan sehingga
terbentuklah tanah. Proses pelapukan batuan oleh suhu dinamakan pelapukan mekanis
atau fisik. Pada siang hari yang notabene suhu permukaan bumi akan tinggi atau panas
akan menyebabkan batuan memuai, sedangkan pada malam hari suhu permukaan bumi
rendah atau dingin sehingga menyebabkan batuan menjadi mengkerut karena proses
pendinginan. Pemuaian dan pengkerutan batuan tersebut sebenarnya tidak begitu berarti,
tetapi akan memberi dampak nyata jika terjadi secar konstan dan berkali-kali (Sutedjo,
2005). Setelah batuan mengalami pelapukan secara fisika, batuan yang telah hancur akan
pencucian tanah berlangsung cepat sehingga pH tanah tidak terlalu basa. Reaksi-reaksi
kimia yang terjadi pada tanah meliputi: a) Solution, yaitu terlarutnya bahan padat menjadi
ion yang dikelilingi oleh molekul cairan; b) Hidrolisis, yaitu reaksi suatu substansi dengan
air yang membentuk hidroksida dan substansi baru lain yang lebih mudah larut daripada
substansi asalnya. Hidrolisis merupakan salah satu reaksi pelapukan yang menyebabkan
perubahan profil tanah; c) Karbonasi, yaitu reaksi suatu senyawa dengan asam karbonat.
Hidrolisis dan karbonasi merupakan proses pelapukan kimia yang paling efektif dalam
proses pembentukan tanah; d) Reduksi, yaitu proses kimia dimana muatan negatif naik,
sedangkan muatan positif menurun. Misalnya CaSO4 (keras) yang dilarutkan dalam air
hingga membentuk CaSO4.2H2O( lebih lunak); e) Oksidasi, yaitu kehilangan elektron atau
Tanah berasal dari bahan induk, maka tanah yang masih muda mempunyai sifat
yang sangat dipengaruhi oleh bahan induknya. Hal ini dijumpai pada tanah-tanah di
daerah yang memiliki iklim atau vegetasi yang kurang intensif dalam pembentukan tanah
(Notohadiprawiro dan Suparwono, 1978). Hal senada diungkapkan oleh Birkeland (1974)
bahwa pengaruh bahan induk terhadap sifat tanah hanya dapat terlihat jelas pada tanah
yang baru berkembang ataupun tanah yang berkembang di daerah kering/arid. Tanah-
tanah di daerah humid dan berkembang lanjut, pengaruh sifat bahan induk terselubung
seperti kaolinit lebih banyak dipengaruhi oleh besarnya curah hujan. Batuan basalt dan
juga gabro berwarna gelap karena mengandung mineral kelam (kaya Fe dan Mg),
kandungan kuarsa (SiO2) rendah serta umumnya banyak mengandung plagioklas basa
menghasilkan tanah dengan kejenuhan basa dan pH yang relatif tinggi serta kandungan Al
dapat ditukar rendah atau tidak ada. Kandungan kuarsa yang rendah menyebabkan tanah
yang terbentuk mempunyai kadar pasir yang rendah. Warna tanah biasanya merah tua
atau coklat tua karena kandungan besi bebas tinggi (Buol et al., 1980; Hardjowigeno,
1993). Jenis mineral lempung yang ditemukan berupa kaolinit dan haloisit jika drainase
tanah baik, sedangkan di tempat yang memiliki drainase yang buruk atau di tempat yang
memiliki musim kering yang jelas, dapat terbentuk montmorilonit (Duchaufour, 1982).
melalui kaitannya dengan keadaan tata air, curah hujan, sebaran sinar matahari, sebaran
hara dan vegetasi, kemungkinan terjadi run-off atau erosi, maupun adanya suasana yang
dapat mempengaruhi sifat tanah melalui kemiringan lereng, panjang lereng, bentuk
daerah berlereng menjadi lebih kering (infiltrasi kecil, run off besar) sedangkan tanah di
kaki lereng lebih lembab (infiltrasi besar, run off kecil) sehingga proses pencucian menjadi
sangat intensif. Relief dengan demikian dapat mengubah pengaruh bahan induk dan waktu
misalnya dengan proses erosi dan deposisi, demikian pula relief dapat merubah pengaruh
iklim dan organisme misalnya akibat aspek (arah) lereng, dalam atau dangkalnya air
tanah Oxisol di daerah humida. Oxisol yang berada di punggung atau lahan atasan
mengalami reaksi pelapukan dan proses perkembangan tanah secara wajar. Bagian
lereng dan lahan bawahan mengalami penambahan sejumlah besar lengas tanah yang
berasal dari lahan atasan. Deretan tanah-tanah yang pembentukannya dikuasai oleh faktor
pembentuk tanah yang sejenis kecuali timbulan, dinamakan toposequence atau cetana
Proses pelapukan merupakan proses yang rumit, menyertakan air, udara, bahan
organik/kegiatan jasad hidup. Proses pelapukan fisikan (disintegrasi) mengubah sifat fisik
(dipengaruhi oleh suhu); pemanasan dan pendinginan (selain dipengaruhi oleh suhu juga
dipengaruhi oleh susunan mineral di dalam batuan); perubahan cuaca yang ekstrem;
pelapukan fisik oleh mahluk hidup (vegetasi); karena erosi (oleh air dan angin). Proses
sangat dipengaruhi oleh kedaan iklim pada suatu tempat, terutama iklim dengan curah
hujan yang tinggi dan vegetasi lebat mempercepat rekasi kimiawi. Reaksi kimia yang
terjadi selama proses dekomposisi antara lain hidrolisa, oksidasi, hidratasi, karbonatasi
dan kilasi. Dalam proses kimia tersebut terlihat peranan air yang sangat besar, karena
hampir semua reaksi hanya dapat terjadi apabila terdapat air. Kedua proses ini di alam
bersama-sama dan saling melengkapi (Buol et al., 1980; Notohadiprawiro dan Suparnowo,
1978).
yang selanjutnya akan mengalami proses lanjutan membentuk tubuh tanah dengan
struktur yang jelas serta sifat fisiko-kimia yang khas. Proses utama yang terjadi yaitu alih
tempat (translokasi) bahan dalam tubuh tanah, meliputi pemindahan, pencampuran dan
sortasi bahan (Schroeder, 1984). Proses alih tempatt disebabkan oleh adanya gerakan air
yang masuk kedalam tubuh tanah sehingga dapat melarutkan bahan tanah atau
pembentuk suspensi, kemudian diangkut oleh air perkolasi secara vertikal ke bagian tubuh
tanah yang lain dan diendapkan. Proses pemindahan tersebut dinamakan illuviasi dan
yang disebabkan oleh bahan penyatu/perekat berupa lempung atau humus, agen
sementasi (besi dan aluminium serta silisium), metabolisme mesofauna (cacing), akar
Proses kimia meliputi hidrasi, komponen tanah menyerap air membentuk komponen baru
yang bebeda dengan aslinya; hidrolisis, merupakan pergantian kation struktur mineral
dengan hidrogen dari larutan tanah dengan membentuk gugus hidroksil pada mineral
yang kondisi oksidatifnya berbeda dengan kondisi reduktifnya dapat menyebabkan proses
pelapukan (misalnya besi, mangan, sulfur). Pembentukan mineral lempung terjadi apabila
aluminium dan silica terombak dari bahan utama kemudian bergabung kembali menjadi
mineral baru. 3) proses biologi meliputi translokaksi, perpindahan atau pemutaran bagian
bawah tanah menjadi bagian atas oleh kegiatan biologi tanah. Humifikasi, perombakan
bahan organik segar menjadi humus. Nitrifikasi oleh nitrosomonas, nitrococcus dan
section) yang telah dilakukan oleh Alam S. (2011), mengemukakan bahwa batuan induk
sebagai bahan induk tanah yang terdapat di beberapa lokasi di Sulawesi Tenggara
termasuk kelompok batuan beku ultrabasa khususnya jenis peridotit dan serpentinit baik di
daerah Puriala maupun Lasusua. Hasil pengamatan petrografis sayatan tipis batuan induk
dari masing-masing profil pewakil menunjukkan adanya perbedaan, baik morfologi maupun
Grim (1986), mengemukakan bahwa komposisi dan tekstur bahan induk sangat
penting pada tahap awal pelapukan dalam pembentukan tanah, sedangkan Mohr et al.
Menurut Grim (1986), peran bahan induk tersebut akan semakin menurun dengan
lamanya proses pekapukan. Tanah yang mengandung kaolinit dan smektit keduanya
dapat berkembang dari bahan induk yang sama di bawah kondisi iklim, topografi dan
waktu yang berbeda. Demikian pula pada tanah yang memiliki tipe mineral lempung yang
sama dapat berasal dari bahan induk yang mempunyai komposisi dan struktur yang
berbeda, setelah mengalami proses pedogenesis yang lama. Steila (1978) menambahkan
bahwa lamanya proses pedogenesis tersebut bersifat relatif. Lingkungan pelapukan yang
sangat kondusif untuk pelindian menyebabkan proses tersebut dapat dicapai dalam waktu
Tanah yang berkembang dari lapukan batuan ultrabasa berbeda seiring dengan
variasi tibulan (relief) sebagai salah satu faktor pembentuk tanah meskipun pada iklim
yang sama. Untuk mempelajari pengaruh iklim terhadap tingkat perkembangan tanah,
perlu dilakukan pengamatan profil pada beberapa toposekuen dengan bahan induk yang
sama (ultrabasa) dengan iklim yang berbeda serta berdasarkan posisi di lereng yaitu
fisika tanah di daerah penelitian mempunyai sebaran fraksi tanah yang cukup beragam
meskipun terbentuk dari bahan induk yang sama walau berbeda dalam umur
intensitas pelapukan dan perkembangan tanah setiap horison. Sebagai contoh horison
yang mempunyai kandungan lempung yang lebih tinggi dan rasio (Sa+Si)/C yang lebih
berasal dari hasil translokasi lapisan di atasnya daripada hasil lapukan batuan induknya.
reduksi dan pelarutan. Proses hidratasi sebagai proses awal yang melunakkan batuan,
diikuti dengan hidrolisis yang menghancurkan struktur mineral batuan ultrabasa, reduksi
yang meningkatkan mobilitas ion tertentu seperti Fe dan Mn, oksidasi meningkatkan
konsentrasi ion (mobilitas ion berkurang) dalam tanah, pelarutan menyatukan ion-ion ke
dalam larutan tanah sehingga ion-ion yang mudah terlarut mudah terlindi keluar tubuh
tanah.
Batuan ultrabasa di bawah pengaruh curah hujan tahunan yang cukup tinggi
(Udic) sebagai penyedia air untuk keberlansungan proses pelapukan, diselingi dengan
kondisi kering dan suhu udara yang cukup tinggi (Isohypertermic) mengakibatkan
pembentukan tubuh tanah. Pelapukan lebih lanjut bahan tanah yang melibatkan proses
hidratasi, hidrolisis, pelarutan, oksidasi dan reduksi yang terus terjadi secara intensif
akibatnya karakteristik tanah yang terbentuk mencirikan terjadinya pelapukan yang intensif
dalam tubuh tanah. Sedangkan, jika pelapukan batuan ultrabasa dalam kondisi yang
kurang basis, kandungan Al yang tinggi terlarut bersama ion Si dan diduga kedua ion ini
bereaksi membentuk mineral smektit (2:1) atau kaolinit (1:1), sedangkan ion Fe yang
terlarut segera membentuk mineral lempung gutit melalui reaksi cepat hidrolisis-oksidasi.
Mobilitas mineral lempung smektit dan kaolinit lebih tinggi daripada mineral gutit (Buol et
al., 1980; Tan, 1992), perbedaan ini mengakibatkan mineral lempung smektit atau kaolinit
Proses perkembangan tanah yang terjadi di atas batuan ultrabasa meliputi proses
penyusunan bahan-bahan tanah hasil proses pelapukan menjadi suatu tubuh tanah,
dijalankan oleh empat proses utama yaitu penambahan, penghilangan, alih tempat dan
alih rupa.
Hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Alam S., 2011), menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan karakteristik tubuh tanah yang terbentuk dari lapukan batuan
ultrabasa pada iklim dan sekuen topografi yang berbeda. Perbedaan karakteristik tubuh
tanah yang terbentuk menunjukkan adanya perbedaan proses perkembangan tanah yang
terjadi.
terjadi. Pengaruh perbedaan iklim yang bekerja pada bahan induk yang sama (kompleks
ultrabasa) dan topografi yang beragam. Peran faktor iklim ditunjukkan oleh perbedaan
curah hujan, sedangkan peran faktor topografi lebih ditunjukkan dengan perbedaan posisi
pada suatu sekuen lereng baik pada curah hujan yang sama maupun kondisi curah hujan
tanah.
Curah hujan yang lebih tinggi cenderung mengarahkan terjadinya pelapukan yang
lebih intensif pada posisi sekuen yang sama. Hal ini dibuktikan oleh perbedaan komposisi
mineral lempung yang terbentuk. Pada curah hujan yang lebih rendah didominasi oleh
mineral lempung smektit, sedangkan tanah yang terbentuk pada kondisi curah hujan yang
berkembang pada bahan induk dan iklim yang sama. Karakteristik tanah yang terbentuk
pada lereng bawah diantaranya mempunyai kandungan kation basa yang lebih rendah dan
terjadi akumulasi Fe dan atau Al. Intensitas pelapukan yang tinggi pada lereng bawah
lebih lanjut yang ditunjukkan dengan defferensiasi horiosn yang lebih lengkap dan jeluk
yang lebih tebal, nilai nisbah debu/lempung yang lebih rendah, ΔpH yang cenderung lebih
besar atau positif, nilai nisbah mineral mudah lapuk/resisten yang cenderung lebih rendah,
nisbah kuarsa/feldspar yang cenderung lebih tinggi serta kandungan mineral mudah lapuk
cenderung berkurang.
Hasil penelitian Alam S., (2011) menunjukkan bahwa di daerah yang memiliki
curah hujan yang rendah faktor yang paling berpengaruh dalam perkembangan tanah yaitu
faktor iklim. Tanah yang baru berkembang menampakkan karakteristik yang masih
mewarisi bahan induknya, terutama dari komposisi mineralogi. Sedangkan untuk daerah
yang memiliki curah hujan yang tinggi tingkat perkembangan tanahnya sudah memasuki
fase lanjut yang ditunjukkan oleh kenampakan karakteristik tanah dan mineralogi yang
berbeda dengan bahan induknya. Begitupun juga dari aspek topografi, meskipun tanah
berasal dari bahan induk yang sama (umur awal pembentukan sama) namun
menghasilkan tanah dengan tingkat perkembangan yang berbeda, baik karena perbedaan
topografi (toposekuen) pada iklim yang sama maupun pada iklim yang berbeda.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
sebagai berikut:
perkembangan yang lebih lanjut pada daerah yang memiliki curah hujan yang tinggi
dibandingkan dengan tanah yang berkembang pada daerah yang memiliki curah hujan
yang rendah.
(Entisol),kemudian Vertisol, disusul Inceptisol, diikuti Alfisol dan yang terakhir Oxisol
yang paling lanjut atau berdasarkan toposekuen mulai dari lereng tengah, selanjutnya
4.2. Saran
Perlu dilakukan pengkajian mengenai berbagai variasi kondisi iklim, batuan dan
Alam, S. 2011. Tingkat Perkembangan dan Kesuburan Tanah dari Lapukan Batuan
Ultrabasa pada Beberapa Toposekuen di Sulawesi Tenggara. Tesis S2
Program Pascasrjana FP UGM. Yogyakarta.
Alexander, E.B., R.G. Coleman, T. Keeler-Wolf, and S. Harrison. 2007. Serpentine
Geoecology of Western North America : Geologi, Soil and Vegetation. Oxford
University Press. New York. 512p.
Birkeland, P.W. 1974. Pedology, Weathering and Geomorphologyycal Research. Oxford
University Press. New York. 285p.
Buol, S.W., F.D. Hole, and R.J. Mc Cracken. 1980. Soil Genesis and Classification. Iowa
State University Press. Ames Iowa. 360p.
Darmawijaya, M.I. 1997. Klasifikasi Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
411pp.
Fitzpatrick, E.A. 1980. Soil : The Formation, Classification and Distribution. Longman.
London and New York.
Foth, H.D. 1991. Dasar-dasar Ilmu Tanah Edisi Ketujuh. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 782p.
Graha, D.S. 1987. Batuan dan Mineral. Nova. Bandung. 259p.
Hardjowigeno, S., Darmawan, dan Widiatmaka. 1989. Genesis dan Sifat-Sifat Mineralogi
Tanah dengan Liat Aktivitas Rendah. LPPM IPB. Bogor.
Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akapress. Jakarta. 274p.
Hemon, M.T. 2011. Genesis Tanah di Atas Batuan Induk Ultramafik serta Kesesuaian
Lahannya untuk Kelapa Sawit dan Cengkeh di Kecamatan Langgikima,
Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Disertasi Program Pascasrjana FP UGM.
Yogyakarta.
Jenny, H. 1941. Factors of Soil Fornation. A system of Quantitative Pedology. McGraw-Hill
Book Company, inc. New York. 281p.
Jenny, H. 1980. The Soils Resource, Origin and Behaviour. Springer-Verlag. New York.
377p.
Joffe, J. S. 1949. Pedology. The Smorset Press, Inc., Somerville, N.J. 662p.
Kusdarto. 2006. Potensi Agromineral di Indonesia Salah Satu Alternatif Pengganti Pupuk
Buatan. Subdit Mineral Logam, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral,
Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Sumber
Daya Energi dan Mineral. Jakarta.
Maas, A. 1997. Tanah dan Lingkungan. Program Matrikulasi. Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 50p.
Mohr, E.J.C., P. Buurman, and Jan D.J. van Doesburg. 1972. Tropical Soils. A
Comprehensive Study of Their Genesis. Geuze Deudrecht. Netherlands. 481p.
Notohadiprawiro, T. 2000. Tanah dan Lingkungan. Pusat Studi Sumber Daya Lahan UGM.
Yogyakarta. 187p.
Notohadiprawiro, R.M.T. dan S.H. Suparnowo. 1978. Asas-asas Pedology (Pedogenesis).
Departemen Ilmu Tanah Faperta UGM. Yogyakarta. 139p.
Pramuji dan M. Bastaman. 2009. Teknik Analisis Mineral Tanah untuk Menduga Cadangan
Sumber Hara. Buletin Teknik Pertanian 14(2):80-82.
Prasetyo, B.H., J.S. Adiningsih, K. Subagyono, dan R.D.M. Simanungkalit. 2004.
Mineralogi, Kimia, Fisika dan Biologi Lahan Sawah. Dalam F, Agus (Ed.).
Tanah Sawah dan Teknik Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Bogor.
Rachim, D. A. 2007. Dasar-dasar Genesis Tanah. Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan Faperta IPB. Bogor. 364p.
Radjagukguk, B. 1991. Ilmu Kimia Tanah Lanjutan. Program Pascasrjana UGM.
Yogyakarta. 208p.
Rusmana, E., Sukido, D. Sukarna, E. Haryanto dan T.O. Simandjuntak. 1993. Keterangan
dan Pete Geologi Lembar Lasusua-Kendari, Sulawesi Skala 1:250.000.
Puslitbang Geologi. Bandung.
Sanchez, P. A. 1992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika Buku 1. ITB. Bandung. 397p.
Schaetzl, R. and S. Anderson. 2005. Soils Genesisi and Geomorphology. Cambridge
University Press. New York. 817p.
Simandjuntak, 1993. T.O. Surono, dan Sukido. Keterangan dan Peta Geologi Lembar
Kolaka, Sulawesi Skala 1:250.000. Puslitbang Geologi. Bandung.
Siradz, S. A. 2003. Genesis, Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Jurusan Tanah Faperta
UGM. Yogyakarta. 92p.
Sunarminto, B.H. 2000. Genesis Oxisol dan Ultisol di Atas Batuan Dunit (Ultrabasis) di
Daerah Malili, Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 2(1):43-
52.
Sutanto, R. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Kanisius. Yogyakarta. 208p.
Tafakresnanto dan B.H. Prasetyo. 2001. Peranan Data Mineral Tanah dalam Menunjang
Interpretasi Sumber Daya Tanah. Jurnal Tanah dan Air 2(1):47-56.
Tan, K.H. 1992. Dasar-dasar Kimia Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
295p.
Taylor, B. 2005. Batuan, Mineral dan Fosil. Erlangga. Jakarta. 120p.
Tim Kajian Ultrabasa. 2007. Kajian Potensi Batuan Ultrabasa di Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan untuk Menanggulangi Emisi Karbondioksida. Kelompok Program
Penelitian Mineral. Pusat Sumber Daya Geologi. Bandung.
van Breemen, N. dan P. Buurman. 2003. Soil Formation. Second Edition. Kluwer
Academic Publisher. New York, Boston, Dordrecht, London, Moscow. 404p.