Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

TINGKAT PERKEMBANGAN TANAH YANG BERKEMBANG DARI LAPUKAN BATUAN


ULTRABASA

OLEH:

MAHYUDI

PROGRAM STUDI ILMU TANAH


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2018
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Batuan induk yang berbeda mempunyai komposisi mineral yang berbeda dan

penting dalam proses pembentukan tanah selanjutnya (Foth, 1991; Tan, 1992; Sutanto,

2005). Menurut Tafakresnanto dan Prasetyo (2001), bahwa untuk mengetahui tingkat

cadangan sumber hara dari suatu jenis tanah, diperlukan analisis susunan mineral primer

dari tanah tersebut. Contoh tanah yang susunan mineralnya didominasi oleh mineral

mudah lapuk dapat diartikan bahwa contoh tanah tersebut mempunyai cadangan sumber

hara tanah yang tinggi. Kecepatan pelepasan unsur-unsur hara dari batuan sangat

tergantung pada intensitas faktor-faktor yang mempengaruhi pelapukan (Tan, 1992;

Kusdarto, 2006).

Intensitas pelapukan selain dipengaruhi oleh iklim dan batuan induk, juga

dipengaruhi keragaman topografi (Jenny, 1941). Peranan topografi dapat mempercepat

atau memperlambat intensitas pelapukan (van Breemen dan Buurman, 2003; Schaetzl dan

Anderson, 2005). Peranan topografi terhadap intensitas pelapukan dan tingkat

perkembangan tanah ditunjukkan dengan keragaman karakteristik tanah yang dihasilkan

pada setiap profil tanah yang terbentuk pada keragaman topografi mulai dari lereng atas

sampai lereng bawah, yang nantinya juga ikut mempengaruhi tingkat kesuburan tanah

yang tebentuk.

Daratan Sulawesi Tenggara terbentuk karena pengaruh lempeng Eurasia yang

berbeda dengan Pulau Sumatera dan Jawa (pengaruh lempung Indo-Australia) (Katili dan

Marks, 1965; Tailor, 2005), memiliki potensi batuan yang cukup bervariasi (terdapat 16

formasi geologi) dengan umur yang berbeda-beda. Formasi kompleks ultrabasa (Ku)
termasuk formasi batuan tua yang terbentuk pada masa Mesozoikum sekitar zaman

kapur/cretaceous (127 juta tahun yang lalu) yang terdiri atas batuan hasburgit, dunit,

sepentinit, gabro, peridotit, wherlit, dan basal (Rusmana et al., 1993; Simandjuntak et al.,

1993). Batuan ini dari aspek pertambangan dinilai sangat ekonomis karena mengandung

deposit bahan tambang seperti nikel, besi dan krom sehingga mempengaruhi kebijakan

pemerintah untuk menetapkan Sulawesi Tanggara sebagai Kawasan Ekonomi Khusus

Pertambangan. Batuan ini dari aspek pertanian secara potensial menarik untuk dikaji

karena selain kandungan SiO2 yang rendah, secara nisbi kaya akan Fe, Ca dan Mg yang

jika dikembangkan dapat dijadikan sebagai bahan pembenah tanah.

Provinsi Sulawesi Tenggara termasuk salah satu daerah yang memiliki sebaran

formasi geologi kompleks ultrabasa yang cukup luas (325.556 ha) dari dua belas

kabupaten/kota yang ada, enam diantaranya terdapat formasi geologi kompleks ultrabasa

dengan iklim dan penggunaan lahan yang beragam. Informasi tentang karakteristik tanah

yang berkembang di atas batuan ultrabasa telah banyak diteliti diberbagai negara, namun

khusus di Indonesia informasi ini masih terbatas (Hardjowigeno et al., 1989; Sunarminto,

2000), apalagi kajiannya mencakup aspek mineralogi yang ditinjau berdasarkan

toposekuen yang berbeda, sehingga kajian mengenai tingkat perkembangan tanah dari

lapukan batuan ultrabasa menjadi perlu untuk dilakukan

1.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dari pembuatan makalah ini yaitu:

1. Bagaimana tingkat perkembangan tanah dari lapukan batuan ultrabasa

2. Bagaimana pengaruh toposekuen terhadap tingkat perkembangan dan kesuburan

tanah ?
1.3. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu diharapkan dapat memberikan

sumbangan ilmu pengetahuan terhadap pihak-pihak yang relevan yang membutuhkan

informasi tentang tingkat perkembangan tanah dari lapukan batuan ultrabasa pada

beberapa toposekuen. Sedangkan kegunaan (faedah yang diharapkan) dari peenyusunan

makalah ini yaitu agar dapat lebih bermanfaat terhadap bidang pertanian khususnya

masyarakat yang bercocok tanam di atas tanah yang berkembang dari lapukan batuan

ultrabasa.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Batuan Ultrabasa

Batuan ultrabasa merupakan batuan beku yang kandungan silikatnya rendah,

kandungan FeO tinggi, kandungan kalium rendah dan umumnya kandungan mafiknya

>90%. Kelompok batuan peridotit terdiri dari: Dunit (terdiri dari olivin, dengan sedikit

kanndungan enstatit piroksin dan kromit); Harzburgit (terdiri dari olivin, enstatit dan kromit);

Lherzolit (terdiri dari olivin, enstatit diopsid serta sedikit kromit dan pyrope garnet);

pyroxenit (terdiri dari orthopyroxen dan clinopyroxen, dengan sejumlah kecil kandungan

olivin, garnet dan spinel), (Coleman, 1971 dalam Alexander et al., 2007).

Peridotit adalah batuan beku dalam yang berukuran butir menengah, berwarna

gelap, mengandung sedikitnya 10% olivin, besi serta mineral yang kaya akan magnesium

(biasanya pyroxenes) dan tidak lebih dari 10% feldspar. Kelompok batuan peridotit tidak

umum tersingkap di permukaan dan sangat tidak stabil. Batuan peridotit yang tersingkap

umumnya telah berubah menjadi serpentinit akibat mineral piroksin dan olivin berubah

menjadi serpentin dan amfibol, proses perubahan ini (hidrasi) diikuti dengan perubahan

volume yang mengakibatkan terjadinya perubahan (deformasi) dari tekstur awalnya (Tim

Kajian Ultrabasa, 2007).

2.1.1. Litologi, umur dan stratigrafi

Batuan-batuan yang tersingkap di Sulawesi Tenggara berumur mulai dari

Paleozoikum sampai Kuarter. Berdasarkan himpunan batuan dan pencirinya, geologi Pra-

Tersier di Lembar Lasusua-Kendari dapat dibedakan dalam dua lajur geologi yaitu Lajur

Tinondo dan Lajur Hialu. Lajur Tinondo dicirikan dengan batuan endapan paparan benua
dan Lajur Hialu oleh kerak samudera/ofiolit dan secara garis besar kedua mendala dibatasi

oleh Sesar Lasolo (Rusmana et al., 1993).

Batuan yang terdapat di Lajur Tinondo yang merupakan batuan alas yaitu Batuan

Malihan Paleozoikum (Pzm) dan diduga berumur Karbon; terdiri dari sekis mika, sekis

kuarsa, sekis klorit, batusabak dan genes. Pualam Paleozoikum (Pzmm) menjemari

dengan Batuan Malihan Paleozoikum terutama terdiri dari pualam dan batugamping

terdaunkan. Pada Permo-Trias di daerah ini diduga terjadi kegiatan magma yang

menghasilkan terobosan aplit kuarsa, latit kuarsa dan andesit TPR (ga), yang menerobos

Batuan Malihan Paleozoikum. Formasi Meluhu (TRJm) yang berumur Trias Tengah

sampai Jura, secara takselaras menindih Batuan Malihan Paleozoikum. Formasi ini terdiri

dari batu pasir kuarsa yang termalihkan lemah dan kuarsit yang setempat bersisipan

dengan serpih hitam dan batugamping yang mengandung Halobia sp. dan Daonella sp.

serta batusabak pada bagian bawah. Pada zaman yang sama terendapkan Formasi

Tokala (TRJt), terdiri dari batugamping berlapis dan serpih bersisipan batupasir.

Hubungannya dengan Formasi Meluhu adalah menjemari. Lajur ini terjadi pengendapan

Formasi Salodik (Tems) pada masa Eosen hingga Miosen Tengah yang terdiri dari

kalkernit dan setempat batugamping.

Batuan yang terdapat di Lajur Hialu adalah batuan ofiolit (Ku) yang terdiri dari

peridotit, harsburgit, dunit dan sepentinit. Batuan ofiolit ini tertindih takseleras oleh Formasi

Matano (Km) yang berumur kapur akhir dan terdiri dari batugamping berlapis pada bagian

bawahnya.

Batuan sedimen tipe Molasa berumur Miosen Akhir-Pliosen Awal membentuk

Formasi Pandua (Tmpp), terdiri dari konglomerat aneka bahan dan batupasir besisipan
lanau. Formasi ini menindih takselaras semua formasi yang lebih tua, baik dari Lajur

Tinondo maupun Lajur Hialu. Batugamping terumbu koral (QI) dan Formasi Allangga

(Qpa) terbentuk pada masa Plistosen Akhir yang terdiri dari batupasir dan konglomerat.

Batuan termuda di wilayah ini yaitu Aluvium (Qa) terdiri dari endapan sungai, rawa dan

pantai (Rusmana et al., 1993).

2.1.2. Sebaran, deposit dan potensi

Sebaran batuan ultrabasa di Indonesia cukup luas, mulai dari Aceh, Sumatera

Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi selatan, Sulawesi Tenggara,

Sulawesi Tengah, NTT, Maluku, Irian Jaya Barat dan Papua. Luas sebaran keseluruhan

yaitu mencapai 3 juta Hektar. Dari sekian banyak sebaran batuan ultrabasa, diantaranya

yang dekat aksesibilitasnya dengan aktivitas manusia (kota) adalah sebaran batuan yang

ada di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,

Sulawesi Tengah dan Papua (Tim Kajian Ultrabasa, 2007).

Sebagian besar batuan ultrabasa di Indonesia merupakan batuan peridotit yang

sebagian telah mengalami serpentinisasi dan berwarna hijau tua. Tebal satuan ini sekitar

2.500 m mempunyai kontak langsung dengan batuan sekitarnya. Umur satuan ini

diperkirakan berumur Trias. Komposisi kimia batuan ultrabasa yaitu: SiO2 (35,48-40,04%);

Al2O3 (0,55-1,21%); Fe2O3 (7,54-8,03%); CaO (0,00-0,16%); MgO (37,90-40,77); Na2O

(0,00-0,13%); K2O (0,20%); TiO2 (0,03%); MnO (0,08-0,11%); P2O5 (0,01-0,03%).

Batuan ofiolit (Ku : Kompleks ultrabasa) termasuk kelompok batuan beku yang

ada di Sulawesi Tenggara, meliputi peridotit, harsburgit, dunit, serpentinit, gabro dan

amfibolit. Peridotit dicirikan oleh warna hitam, kehijauan, kecoklatan, berbutir sedang
sampai kasar, fanerik, hablur penuh, sebagian terserpentinkan, tersusun oleh piroksen,

olivin dan sedikit plagioklas serta bijih.

Harsburgit dicirikan oleh warna hijau kehitaman atau kelabu tua-kehijauan dan

hitam kehijauan bila lapuk, berbutir menengah, hablur penuh, fanerik, hipidiomorfik dan

berbutir seragam. Susunan mineralnya olivin (70-80%), ortopiroksin (7%), klinopiroksin

(3%) dan bijih. Pada beberapa singkapan terdapat serpentinit dan asbes yang merupakan

ubahan dari olivin. Hablur piroksin mencapai ukuran 0,5 cm. Pada permukaan yang lapuk

terbentuk laterit yang mengandung oksida besi.

Dunit dicirikan oleh warna hijau tua, berbutir halus sampai sedang, setempat

terbreksikan, umumnya terkekarkan, granular dengan bentuk kristal tidak sempurna

(anhedral), terdiri dari olivin (90%) dengan sedikit piroksin, plagioklas dan bijih.

Serpentinit dicirikan oleh warna kelabu kehijauan atau hijau kotor dan hitam

kehijauan, agak keras (keras tapi rapuh dan mudah pecah), mineral penyusun utamanya

serpentin, piroksin dan olivin. Di samping mineral ikutan seperti bijih, setempat

mengandung asbes, biasanya terdapat pada lajur sesar.

Gabro dicirikan oleh warna kelabu tua hingga kehitaman, hablur penuh, berbutir

kasar hingga pegmatik, fanerik, hipidiomorfik granular, hablur hampir sempurna, terlihat

adanya pengarahan karena pengaruh tekanan. Gabro mineral penyusunnya terdiri dari

plagioklas (labradorit 60%), piroksen (15%) dan sisanya olivin serta klorit dan sedikit serisit

dan kuarsa.

Amfibolit dicirikan dengan warna kelabu kehitaman mengkilap dan bergaris-garis

putih oleh kuarsa dan feldspar, pejal, mineral penyusun utamanya yaitu amfibol (60-70%),

plagioklas (5-15%), feldspar (5%), kuarsa (10%), muskovit (5%), epidot, klorit dan bijih.
Batuan ultrabasa daerah ini umumnya telah mengalami pelapukan cukup kuat

yang menghasilkan lapisan laterit yang mencapai ketebalan sampai belasan meter.

Mineral garnierit, magnesit dan oksida besi sering dijumpai di daerah ini. Satuan ini adalah

batuan asal kerak samudera yang merupakan batuan dasar Lajur Hialu. Batuan ultrabasa

ini tertindih takselaras oleh Formasi Matano yang berumur Kapur Akhir, sehingga umur

batuan diduga daripada Kapur Akhir (Rusmana et al., 1993). Nama lain yang pernah

digunakan untuk satuan ini adalah batuan ultrabasa dan basa (Sukamto, 1975) dan

ultramafic rocks (Kartaadipoetra dan Sudiro, 1973 dalam simandjuntak et al., 1994).

Batuan ultrabasa ini tersebar luas di sekitar Konawe Utara termasuk Pulau

Buhubulu, serta sedikit di pantai barat (Teluk Bone) yaitu di Tanjung Ladongi, Wolo,

Kolaka, dan Tanjung Lelewano dan Tanjung Tobuso Kolaka Utara. Kompleks Ultrabasa

juga tersebar luas di Kabupaten Kolaka bagian Selatan yaitu Pomalaa, Baula, Tangketada,

Watubangga, Ladongi, Pulau Padamarang, Pulau Maniang dan Pulau Lambasina.

Kompleks ultrabasa juga terdapat di Kabupaten Konawe yaitu Pondidaha dan Puriala.

Ultrabasa di Kabupaten Konawe Selatan tersebar di Pallangga, Laonti dan Kolono.

Sementara itu, ultrabasa di Kabupaten Bombana tersebar luas di Pulau Kabaena.

2.2. Karakteristik Tanah

Karakteristik tanah adalah sifat-sifat yang dapat diukur seperti jenis dan ketebalan

epipedon, endopedon, horison-horison utama, sebaran besar butir, warna tanah,

kandungan bahan organik, kandungan unsur hara, macam mineral lempung, struktur

tanah, konsistensi dan sifat-siifat tanah yang lainnya. Karakteristik tersebut tidak lain

merupakan hasil kesudahan interaksi antara faktor-faktor pembentuk tanah (Maas, 1997).
Komposisi tanah (bahan mineral, bahan organik, air dan udara) tidak tercampur

begitu saja, tetapi tersusun sebagai tubuh yang teroganisasi (pedon) dengan struktur dan

sifat fisika-kimia sebagai hasil pencerminan sifat dari masing-masing partikel yang

terususun sebagai sistem tanah (pedosistem). Sifat tanah yang berbeda merupakan hasil

proses yang terjadi di dalam suatu lingkungan dan sistem pengelolaan yang dilaksanakan

(Sutanto, 2005).

2.2.1. Karakteristik Mineralogi Tanah

Mineral adalah bagian padatan anorganik yang terdiri atas kumpulan unsur

dengan struktur yang spesifik dan merupakan bahan penyusun tanah utama yang berasal

dari kristalisasi magma, atau terbentuk karena hasil reaksi unsur kimia di dalam tanah.

Mineral di dalam tanah dapat dikelompokkan menjadi dua jenis berdasarkan ukuran dan

proses terjadinya, yaitu mineral primer dan mineral sekunder. Mineral primer merupakan

mineral penyusun batuan yang belum mengalami pelapukan, di dalam tanah umumnya

berukuran pasir dan debu. Mineral sekunder merupakan hasil dari pelapukan mineral

primer yang telah mengalami proses rekristalisasi, umumnya berukuran lempung.

Penyusun mineral alam yang utama adalah oksigen (40-60%), silicon (20-28%), aluminium

(6-8%), besi (5%) dan lainnya (hidrogen, kalsium, natrium, kalium) masing-masing tidak

lebih daari 3% (Maas, 1997).

a. Mineral Primer

Mineral primer yang sering kita jumpai didalam tanah pada berbagai tingkat

perkembangan tanah atau tersingkap ke permukaan bumi antara lain yaitu kuarsa, kalsit,

dolomit, feldspar (orthoklas, plagioklas), Mika (biotit, muskovit), amfibol, piroksin

(hipersten, augit), olivin, leusit dan apatit (Darmawijaya, 1997).


Mineral primer yang paling umum dijumpai di dalam tanah yaitu kuarsa, karena

ketahanan/resistensinya terhadap pelapukan sangat kuat. Silikat mempunyai ukuran tiga

dimensi yang padat tanpa pori-pori atau celah, sehingga secara kimiawi mineral kuarsa ini

dapat diakatan sebagai mineral inert (tidak mampu bereaksi). Sifat inert ini disebabkan

adanya sifat saling meniadakan antar muatan yang ada di dalam mineral kuarsa, sehingga

bermuatan netral. Oleh karena itu, kuarsa dapat dianggap sebagai soil sceleton (kerangka

tanah). Mineral primer lainnya, meskipun jumlahnya di dalam tanah secara nisbi kecilo,

namun penting artinya sebagai cadangan berbagai unsur yang mutlak diperlukan tanaman

(Radjagukguk, 1991).

Mineral primer berdasarkan kemudahan dalam melapuknya dapat dibedakan atas

mineral mudah lapuk (weatherable mineral) dan mineral tahan lapuk (resistant mineral).

Mineral mudah lapuk adalah jenis mineral yang dapat melapuk dan melepaskan unsur-

unsur penyusunnya ke dalam tanah pada waktu proses pembentukan tanah. Mineral tahan

lapuk adalah mineral yang sulit melapuk seiring dengan proses pembentukan tanah (Shaw

et al., 1973 dalam Pramuji dan Bastaman, 2009).

Mineral mudah lapuk banyak dijumpai di Indonesia yaitu plagioklas, amfibol dan

piroksin. Mineral mudah lapuk dapat mengalami proses pelapukan secara cepat dan hasil

pelapukannya berupa unsur hara seperti Ca, Mg, Na, K dan Fe. Mineral tahan lapuk (opak,

konkresi besi dan kuarsa) resisten terhadap pelapukan, sehingga walaupun tanah telah

mengalami tingkat pelapukan tanah lanjut, mineral tahan lapuk masih tetap ada (Prasetyo

et al., 2004). Mineral primer umumnya berasal dari mineral-mineral batuan yang

bersumber dari batuan beku (igneous rocks). Batuan ini berasal dari magma yang
mengalami pendinginan sehingga membeku. Magma dapat dipilahkan menjadi dua bagian

berdasarkan kandungan silikanya yaitu:

1. Acid/granitic magma, komposisinya terdiri dari >60% SiO2 serta mempunyai

kandungan Na dan K yang relatif tinggi, tetapi kandungan Fe, Mg dan Ca yang rendah.

2. Basic/basaltic magma, mengandung <50% SiO2 dan secara nisbi kaya akan

kandungan Fe, Ca dan Mg.

Menurut Graha (1987), berdasarkan kandungan silikanya batuan dapat

dikelompokkan menjadi 4 yaitu :

1. Acid rocks (batuan asam/granit) jika mengandung >66% SiO2

2. Intermediate rocks (batuan menengah/granodiorit) mengandung 52-66% SiO2

3. Basic rocks (batuan basa/gabro) jika mengandung 45-52% SiO2

4. Ultrabasic rocks (batuan ultrabasa/peridotit) jika mengandung <45% SiO2

Komposisi mineral kasar untuk suatu jenis tanah tertentu sangat tergantung pada

ukuran butir/partikelnya. Partikel berukuran besar umumnya dirajai oleh mineral primer

sedangkan partikel yang lebih halus umumnya dirajai oleh mineral sekunder (Sutanto,

2005).

Tabel 2.1. Beberapa jenis mineral primer yang banyak dijumpai di Indonesia
Unsur
Jenis Mineral Sumber batuan
utama
(1) (2) (3) (4)
MDL Olivin Mg, Fe Batuan volkanis dan ultrabasis
MDL Mika (biotit, muskovit) K, Mg, Fe Batuan granit dan metamorf
MDL Piroksin (augit, hipersten) Mg, Fe, Ca Batuan volkanis dan ultrabasis
MDL Amfibol (hornblende) Fe, Mg, Ca Batuan volkan intermedier dan
ultrabasis
MDL Plagioklas (albit, andesin, Na, Ca Batuan volkan intermedier hingga
anorit, labradorit, oligoklas) basis
MDL K-feldspar (ortoklas, sanidin) K Batuan masam
MDL Gelas vokan Si Batuan volkan masam, intermedier,
Unsur
Jenis Mineral Sumber batuan
utama
(1) (2) (3) (4)
basis
TLP Opak Fe Batuan volkanik
TLP Kuarsa Si Batuan yang bersifat masam
MDL = mudah lapuk; TLP = tahan lapuk
Sumber : Tafakresnanto dan Prasetyo (2001); Prasetyo et al. (2004); Sutanto (2005).

b. Mineral Sekunder

Mineral lempung dan senyawa amorf berbutir halus (ukuran lempung), biasanya

sebagai fraksi lempung. Namun demikian, perlu dicatat bahwa mineral primer dapat

dijumpai sebagai fraksi lempung pada beberapa tanah. Mineral lempung sebaliknya dapat

dijumpai dalam fraksi debu dan lempung pada tanah-tanah yang lain. Lempung

aluminosilikat berlapis membentuk bagian utama fraksi lempung pada kebanyakan tanah.

Tanah yang terlapuk lanjut juga ada bahan dengan jumlah yang nyata, yaitu sejenis oksida

besi hidrous dan gibsit (Rachim, 2007).

Mineral lempung utama di daerah tropika dapat dibagi dalam dua kelompok besar

yaitu mineral lempung yang bermuatan tetap dan bermuatan berubah-ubah. Mineral yang

muatannya tetap yaitu mineral silikat lapis 2:1 (montmorillonit, vermikulit, illite) dan silikat

lapis 2:2 (klorit) dan dalam jumlah yang lebih kecil silikat lapis 1:1 (kaolinit, halloysite).

Mineral yang muatannya berubah-ubah merupakan mineral bentuk peralihan (campuran

mineral 2:1 dengan hidroksida besi dan hidroksida aluminium), berbagai jenis oksida dan

hidroksida aluminium dan besi baik yang berbentuk kristal maupun amorf (Sanchez, 1992).

Mineral lempung memperlihatkan perbedaan dalam hal kapasitas mengembang

dan mengkerut. Kaolinit, illit dan klorit tergolong mineral lempung yang tidak mengembang

(non-expanding), sedangkan yang lain termasuk golongan mineral yang mempunyai sifat

mengembang dan mengkerut tinggi. Kaolinit memiliki ikatan (bonding) kuat karena ikatan
H-OH yang kuat antar lapisan. Ikatan yang kuat antar lapisan (interlayer) pada illit

disebabkan oleh adanya ion K+. Montmorilonit dan vermikulit mempunyai ikatan yang

lemah sampai sangat lemah karena adanya berbagai ikatan kation di dalam ruang antar

lembaran, sehingga memperlihatkan kemampuan mengembang yang lebih kuat terutama

pada kondisi basah. Ikatan sedang sampai kuat pada klorit terjadi karena adanya lapisan

oktahedral yang bermuatan positif (Siradz, 2003).

Tael 2.2. Ringkasan sifat-sifat beberapa mineral lempung


Mineral Hidrous
Kaolinit Montmorilonit Vermikulit Klorit
Sekunder mika
1:1 non 2:1 2:1 2:1 non 2:1:1 non
Tipe
expanding expanding expanding expanding expanding
Lack of Weak
Interlayer Very weak Partial loss of Moderate
interlayer bonding,
condition/ bonding, great K, strong to strong
surface, strong great
bonding expansion bonding bonding
bonding expansion
KPK
3-15 80-150 100-150 10-40 10-40
(cmol/kg)
Sweling
Almost none High High Low None
potential
Spesific
serface 5-20 700-800 500-700 50-200 -
area (m2/g)
Basal
spacing 0.72 0.98-1.8+ 1.0-1.5+ 1.0 1.4
(nm)
Sumber: Siradz (2003)

Kapasitas pertukaran kation (KPK) di dalam dan antar kelompok mineral cukup

seragam. Sebagai contoh, KPK kaolinit, illit, dan klorit rendah, sedangkan KPK

montmorillonit dan vermikulit tinggi. Terdapat dua mekanisme yang menentukan KPK,

keduanya berkaitan dengan muatan negatif lempung silikat. Mekanisme pertama

disebabkan tidak terpuaskannya valensi pada tepi patahan lembaran silika dan alumina.

Selain itu, permukaan luar yang datar mempunyai gugus oksigen dan hidroksil yang

tersingkap, yang berlaku sebagai tapak bermuatan negatif. Hidrogen dari hidroksil pada pH
tinggi sedikit terdisosiasi, sedangkan oksigen pada permukaan koloid menjadi bermuatan

negatif. Hidrogen pada tanah masam sedang sampai sangat masam ternyata diikat kuat

dan tidak mudah ditukar oleh kation lain. Besarnya muatan tergantung pH ini berbeda

sesuai dengan tipe koloid lempung. Muatan pada mineral tipe 1:1 hampir sama tergantung

pH, sedangkan pada mineral tipe 2:1 hanya mengandung sekitar seperempatnya (Tan,

1992; Siradz, 2003; Sutanto, 2005).

Mengetahui jenis-jenis mineral dari suatu tanah amat penting karena setiap jenis

mineral sifatnya dapat berbeda dalam hal sifat-sifat kimia, fisika maupun fisiko-kimia.

Tanah yang kaya akan mineral tipe 2:1 seperti kelompok montmorilonit memiliki nilai tukar

kation yang lebih besar dibandingkan dengan mineral tipe 1:1 seperti kaolinit. Daya simpan

unsur hara pada tanah mineral tipe 2:1 lebih besar dibandingan dengan tipe 1:1 (Tan,

1992; Sutanto, 2005).

2.3. Faktor-Faktor Pembentuk Tanah

Pembentukan tanah dapat dipersepsikan baerlangsung pada tiga tahapan

bersambung. Tahapan pertama pembentukan bahan induk tanah dari bahan litosfer atau

bahan biosfer. Tahapan kedua pengubahan bahan induk tanah menjadi bahan tanah.

Tahapan ketiga penyusunan bahan tanah menjadi suatu tubuh tanah dengan organisasi

keruangan tertentu (Notohadiprawiro, 2000).

Bahan mineral dan organik atau disebut dengan bahan induk tanah (bahan

pratanah) akan mengalami perubahan karena pengaruh faktor lingkungan sesuai dengan

perubahan waktu. Jenny (1941), mengemukakan hipotesis mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi sifat-sifat tanah yang terbentuk sebagai berikut:

S= f (c, o, p, r, t,....)
Artinya, sifat suatu jenis tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang paling penting

diantaranya yaitu iklim (c), organisme (o), bahan induk (p), timbulan (r), dan waktu (t). Titik-

titik menunjukkan bahwa faktor yang kurang penting dalam kondisi tertentu mungkin

mempengaruhi sifat tanah seperti perolehan mineral dari atmosfer, garavitasi, atau

perubahan mineralogi akibat kebakaran. Bahan induk dan relief menentukan kondisi awal

dalam perkembangan tanah, iklim dan organisme menentukan percepatan

berlangsungnya reaksi di dalam tanah, sedangkan waktu menentukan masa

keberlangsungan dari reaksi tersebut (Siradz, 2003).

Menurut Joffe (1949), dari kelima faktor pembentuk tanah tersebut dapat

dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu: a) faktor positif (bahan induk, topografi dan

waktu) merupakan sumber massa pembentukan tanah dan kondisi-kondisi pasif yang

mempengaruhinya; b) faktor aktif (iklim dan organisme) merupakan agen-agen sumber

energi yang bekerja di atas massa pembentuk tanah untuk melangsungkan proses

pembentukan tanah. Salah satu faktor dalam pembentukan tanah dapat mempunyai

peranan yang menonjol daripada yang lain, sehingga tanah dapat mempunyai keragaman

tinggi meskipun berkembang dari bahan yang sama, tergantung energi yang bekerja.

a. Pengaruh iklim dalam pembentukan tanah

Proses terbentuknya tanah dipermukaan bumi dipengaruhi oleh beberapa faktor,

salah satunya adalah iklim. Iklim adalah keadaan dimana suhu, presipitasi, kelembaban

dan hal-hal yang terkait dengan cuaca hanya dapat berubah dalam waktu yang panjang

dan meliputi daerah yang luas. Iklim merupakan salah satu faktor yang mepengaruhi

kecepatan pembentukan tanah. Terdapat dua unsur iklim yang terpenting yang

mempengaruhi proses pembentukan tanah, yaitu curah hujan dan suhu, yang
berpengaruh besar pada kecepatan proses kimia dan fisika, yaitu proses yang

mempengaruhi perkembangan profil tanah.

Tanah berasal dari bahan-bahan induk baik yang organik maupun mineral yang

terbentuk melalui berbagai macam proses. Bahan induk yang membentuk tanah berasal

dari batuan yang ada dipermukaan bumi yang mengalami proses pelapukan. Suhu

merupakan salah satu faktor yang mendorong terjadinya pelapukan pada batuan sehingga

terbentuklah tanah. Proses pelapukan batuan oleh suhu dinamakan pelapukan mekanis

atau fisik. Pada siang hari yang notabene suhu permukaan bumi akan tinggi atau panas

akan menyebabkan batuan memuai, sedangkan pada malam hari suhu permukaan bumi

rendah atau dingin sehingga menyebabkan batuan menjadi mengkerut karena proses

pendinginan. Pemuaian dan pengkerutan batuan tersebut sebenarnya tidak begitu berarti,

tetapi akan memberi dampak nyata jika terjadi secar konstan dan berkali-kali (Sutedjo,

2005). Setelah batuan mengalami pelapukan secara fisika, batuan yang telah hancur akan

mengalami pelapukan secara kimia. Pelapukan kimia akan menyebabkan mineral-mineral

yang terkandung dalam batuan mengalami pelarutan yang mengakibatkan struktur

mineralnya berubah. Setelah mineral mengalami pelarutan, presipitasi akan

mempengaruhi proses selanjutnya. Dengan adanya air hujan, maka proses

pencucian tanah berlangsung cepat sehingga pH tanah tidak terlalu basa. Reaksi-reaksi

kimia yang terjadi pada tanah meliputi: a) Solution, yaitu terlarutnya bahan padat menjadi

ion yang dikelilingi oleh molekul cairan; b) Hidrolisis, yaitu reaksi suatu substansi dengan

air yang membentuk hidroksida dan substansi baru lain yang lebih mudah larut daripada

substansi asalnya. Hidrolisis merupakan salah satu reaksi pelapukan yang menyebabkan

perubahan profil tanah; c) Karbonasi, yaitu reaksi suatu senyawa dengan asam karbonat.
Hidrolisis dan karbonasi merupakan proses pelapukan kimia yang paling efektif dalam

proses pembentukan tanah; d) Reduksi, yaitu proses kimia dimana muatan negatif naik,

sedangkan muatan positif menurun. Misalnya CaSO4 (keras) yang dilarutkan dalam air

hingga membentuk CaSO4.2H2O( lebih lunak); e) Oksidasi, yaitu kehilangan elektron atau

penggabungan suatu senyawa dengan oksigen. Mineral yang teroksidasi meningkat

volumenya karena penambahan oksigen dan umumnya lebih lunak.

b. Pengaruh bahan induk dalam pembentukan tanah

Tanah berasal dari bahan induk, maka tanah yang masih muda mempunyai sifat

yang sangat dipengaruhi oleh bahan induknya. Hal ini dijumpai pada tanah-tanah di

daerah yang memiliki iklim atau vegetasi yang kurang intensif dalam pembentukan tanah

(Notohadiprawiro dan Suparwono, 1978). Hal senada diungkapkan oleh Birkeland (1974)

bahwa pengaruh bahan induk terhadap sifat tanah hanya dapat terlihat jelas pada tanah

yang baru berkembang ataupun tanah yang berkembang di daerah kering/arid. Tanah-

tanah di daerah humid dan berkembang lanjut, pengaruh sifat bahan induk terselubung

oleh faktor tanah yang lain.

Bahan induk jenis ultrabasa (banyak mengandung basa-basa) dapat

menyebabkan pembentukan mineral lempung montmorilonit. Terbentuknya mineral lain

seperti kaolinit lebih banyak dipengaruhi oleh besarnya curah hujan. Batuan basalt dan

juga gabro berwarna gelap karena mengandung mineral kelam (kaya Fe dan Mg),

kandungan kuarsa (SiO2) rendah serta umumnya banyak mengandung plagioklas basa

(Ca-plagioklas feldspar). Mineral-mineral tersebut merupakan mineral mudah lapuk,

menghasilkan tanah dengan kejenuhan basa dan pH yang relatif tinggi serta kandungan Al

dapat ditukar rendah atau tidak ada. Kandungan kuarsa yang rendah menyebabkan tanah
yang terbentuk mempunyai kadar pasir yang rendah. Warna tanah biasanya merah tua

atau coklat tua karena kandungan besi bebas tinggi (Buol et al., 1980; Hardjowigeno,

1993). Jenis mineral lempung yang ditemukan berupa kaolinit dan haloisit jika drainase

tanah baik, sedangkan di tempat yang memiliki drainase yang buruk atau di tempat yang

memiliki musim kering yang jelas, dapat terbentuk montmorilonit (Duchaufour, 1982).

c. Pengaruh timbulan (relief/topografi) dalam pembentukan tanah

Timbulan (topografi/relief) atau bentuk muka bumi berperanan dalam pedogenesa

melalui kaitannya dengan keadaan tata air, curah hujan, sebaran sinar matahari, sebaran

hara dan vegetasi, kemungkinan terjadi run-off atau erosi, maupun adanya suasana yang

mendukung proses pengendapan (Notohadiprawiro dan Suparwono, 1978). Timbulan

dapat mempengaruhi sifat tanah melalui kemiringan lereng, panjang lereng, bentuk

permukaan (kekasaran, kecembungan/kecekungan dari lereng), kiblat lereng dan

perbedaan ketinggian tempat (Jenny, 1980).

Pengaruh relief terhadap proses pembentukan tanah menyebabkan air selalu

bergerak ke lereng bawah, sehingga menyebabkan erosi, perubahan relief, tanah di

daerah berlereng menjadi lebih kering (infiltrasi kecil, run off besar) sedangkan tanah di

kaki lereng lebih lembab (infiltrasi besar, run off kecil) sehingga proses pencucian menjadi

sangat intensif. Relief dengan demikian dapat mengubah pengaruh bahan induk dan waktu

misalnya dengan proses erosi dan deposisi, demikian pula relief dapat merubah pengaruh

iklim dan organisme misalnya akibat aspek (arah) lereng, dalam atau dangkalnya air

tanah, run off dan sebagainya (Hardjowigeno, 1993).

Kedudukan dalam suatu topografi akan mempengaruhi perkembangan beberapa

tanah Oxisol di daerah humida. Oxisol yang berada di punggung atau lahan atasan
mengalami reaksi pelapukan dan proses perkembangan tanah secara wajar. Bagian

lereng dan lahan bawahan mengalami penambahan sejumlah besar lengas tanah yang

berasal dari lahan atasan. Deretan tanah-tanah yang pembentukannya dikuasai oleh faktor

pembentuk tanah yang sejenis kecuali timbulan, dinamakan toposequence atau cetana

(Notohadiprawiro dan Suparnowo, 1978).

2.4. Proses Pembentukan dan Perkembangan Tanah

Proses pelapukan merupakan proses yang rumit, menyertakan air, udara, bahan

organik/kegiatan jasad hidup. Proses pelapukan fisikan (disintegrasi) mengubah sifat fisik

bahan tanpa perubahan komposisi meliputi proses pembekuan dan pencairan

(dipengaruhi oleh suhu); pemanasan dan pendinginan (selain dipengaruhi oleh suhu juga

dipengaruhi oleh susunan mineral di dalam batuan); perubahan cuaca yang ekstrem;

pelapukan fisik oleh mahluk hidup (vegetasi); karena erosi (oleh air dan angin). Proses

dekomposisi (pelapukan kimia) mengakibatkan perubahan susunan kimia maupun

konsistensi (keteguhan) bahan sehingga memudahkan proses pelapukan selanjutnya dan

sangat dipengaruhi oleh kedaan iklim pada suatu tempat, terutama iklim dengan curah

hujan yang tinggi dan vegetasi lebat mempercepat rekasi kimiawi. Reaksi kimia yang

terjadi selama proses dekomposisi antara lain hidrolisa, oksidasi, hidratasi, karbonatasi

dan kilasi. Dalam proses kimia tersebut terlihat peranan air yang sangat besar, karena

hampir semua reaksi hanya dapat terjadi apabila terdapat air. Kedua proses ini di alam

bersama-sama dan saling melengkapi (Buol et al., 1980; Notohadiprawiro dan Suparnowo,

1978).

Pelapukan dan perombakan bahan induk akan membentuk bahan-bahan baru

yang selanjutnya akan mengalami proses lanjutan membentuk tubuh tanah dengan
struktur yang jelas serta sifat fisiko-kimia yang khas. Proses utama yang terjadi yaitu alih

tempat (translokasi) bahan dalam tubuh tanah, meliputi pemindahan, pencampuran dan

sortasi bahan (Schroeder, 1984). Proses alih tempatt disebabkan oleh adanya gerakan air

yang masuk kedalam tubuh tanah sehingga dapat melarutkan bahan tanah atau

pembentuk suspensi, kemudian diangkut oleh air perkolasi secara vertikal ke bagian tubuh

tanah yang lain dan diendapkan. Proses pemindahan tersebut dinamakan illuviasi dan

membentuk tubuh tanah (horison) illuvial. Kedua proses tersebut akan

menganekaragamkan tubuh tanah menjadi horison-horison tanah yang khas.

Fitzpatrick (1980) mengemukakan bahwa terdapat 3 proses dalam pembentukan

dan perkembangan tanah, yaitu 1) proses fisika meliputi agregasi/pembentukan agregat

yang disebabkan oleh bahan penyatu/perekat berupa lempung atau humus, agen

sementasi (besi dan aluminium serta silisium), metabolisme mesofauna (cacing), akar

tanaman, proses kembang-kerut (montmorilonit), pembekuan dan pencairan, kegiatan

mikroorganisme, keberadaan kation tertukarkan dan aktivitas pertanaman/kultivasi. 2)

Proses kimia meliputi hidrasi, komponen tanah menyerap air membentuk komponen baru

yang bebeda dengan aslinya; hidrolisis, merupakan pergantian kation struktur mineral

dengan hidrogen dari larutan tanah dengan membentuk gugus hidroksil pada mineral

tersebut; oksidasi-reduksi, perubahan suasana pada mineral yang mengandung unsur

yang kondisi oksidatifnya berbeda dengan kondisi reduktifnya dapat menyebabkan proses

pelapukan (misalnya besi, mangan, sulfur). Pembentukan mineral lempung terjadi apabila

aluminium dan silica terombak dari bahan utama kemudian bergabung kembali menjadi

mineral baru. 3) proses biologi meliputi translokaksi, perpindahan atau pemutaran bagian

bawah tanah menjadi bagian atas oleh kegiatan biologi tanah. Humifikasi, perombakan
bahan organik segar menjadi humus. Nitrifikasi oleh nitrosomonas, nitrococcus dan

nitrobacter, fiksasi nitrogen oleh azotobacter dan clostridium.


III. ISI DAN PEMBAHASAN

3.1. Komposisi Batuan Induk Ultrabasa

Berdasarkan hasil penelitian identifikasi lapangan dan analisa petrografi (thin

section) yang telah dilakukan oleh Alam S. (2011), mengemukakan bahwa batuan induk

sebagai bahan induk tanah yang terdapat di beberapa lokasi di Sulawesi Tenggara

termasuk kelompok batuan beku ultrabasa khususnya jenis peridotit dan serpentinit baik di

daerah Puriala maupun Lasusua. Hasil pengamatan petrografis sayatan tipis batuan induk

dari masing-masing profil pewakil menunjukkan adanya perbedaan, baik morfologi maupun

komposisi mineral penyusunnya.

Grim (1986), mengemukakan bahwa komposisi dan tekstur bahan induk sangat

penting pada tahap awal pelapukan dalam pembentukan tanah, sedangkan Mohr et al.

(1972) menambahkan pentingnya faktor struktur batuan terhadap laju pelapukannya.

Menurut Grim (1986), peran bahan induk tersebut akan semakin menurun dengan

lamanya proses pekapukan. Tanah yang mengandung kaolinit dan smektit keduanya

dapat berkembang dari bahan induk yang sama di bawah kondisi iklim, topografi dan

waktu yang berbeda. Demikian pula pada tanah yang memiliki tipe mineral lempung yang

sama dapat berasal dari bahan induk yang mempunyai komposisi dan struktur yang

berbeda, setelah mengalami proses pedogenesis yang lama. Steila (1978) menambahkan

bahwa lamanya proses pedogenesis tersebut bersifat relatif. Lingkungan pelapukan yang

sangat kondusif untuk pelindian menyebabkan proses tersebut dapat dicapai dalam waktu

yang relatif singkat.


3.2. Karakteristik Tanah (Morfolgi, Fisik dan Kimia)

Tanah yang berkembang dari lapukan batuan ultrabasa berbeda seiring dengan

variasi tibulan (relief) sebagai salah satu faktor pembentuk tanah meskipun pada iklim

yang sama. Untuk mempelajari pengaruh iklim terhadap tingkat perkembangan tanah,

perlu dilakukan pengamatan profil pada beberapa toposekuen dengan bahan induk yang

sama (ultrabasa) dengan iklim yang berbeda serta berdasarkan posisi di lereng yaitu

lereng atas, tengah dan lereng bawah.

Berdasarkan hasil penelitian Alam S., (2011) mengemukakan bahwa karakteristik

fisika tanah di daerah penelitian mempunyai sebaran fraksi tanah yang cukup beragam

meskipun terbentuk dari bahan induk yang sama walau berbeda dalam umur

pembentukannya. Perbedaan struktur dan kelas ukuran butir menunjukkan perbedaan

intensitas pelapukan dan perkembangan tanah setiap horison. Sebagai contoh horison

yang mempunyai kandungan lempung yang lebih tinggi dan rasio (Sa+Si)/C yang lebih

rendah daripada horison lainnya, menunjukkan kandungan lempungnya lebih dominan

berasal dari hasil translokasi lapisan di atasnya daripada hasil lapukan batuan induknya.

3.3. Pelapukan Bahan Induk Tanah

Menurut Hemon (2011), menyatakan bahwa pelapukan batuan ultrabasa

(harsburgit, serpentinit, websterit olivin) mencakup proses hidratasi, hidrolisis, oksidasi,

reduksi dan pelarutan. Proses hidratasi sebagai proses awal yang melunakkan batuan,

diikuti dengan hidrolisis yang menghancurkan struktur mineral batuan ultrabasa, reduksi

yang meningkatkan mobilitas ion tertentu seperti Fe dan Mn, oksidasi meningkatkan

konsentrasi ion (mobilitas ion berkurang) dalam tanah, pelarutan menyatukan ion-ion ke
dalam larutan tanah sehingga ion-ion yang mudah terlarut mudah terlindi keluar tubuh

tanah.

Batuan ultrabasa di bawah pengaruh curah hujan tahunan yang cukup tinggi

(Udic) sebagai penyedia air untuk keberlansungan proses pelapukan, diselingi dengan

kondisi kering dan suhu udara yang cukup tinggi (Isohypertermic) mengakibatkan

intensifnya pelapukan batuan ultrabasa dalam menyediakan bahan tanah untuk

pembentukan tubuh tanah. Pelapukan lebih lanjut bahan tanah yang melibatkan proses

hidratasi, hidrolisis, pelarutan, oksidasi dan reduksi yang terus terjadi secara intensif

akibatnya karakteristik tanah yang terbentuk mencirikan terjadinya pelapukan yang intensif

dalam tubuh tanah. Sedangkan, jika pelapukan batuan ultrabasa dalam kondisi yang

kurang basis, kandungan Al yang tinggi terlarut bersama ion Si dan diduga kedua ion ini

bereaksi membentuk mineral smektit (2:1) atau kaolinit (1:1), sedangkan ion Fe yang

terlarut segera membentuk mineral lempung gutit melalui reaksi cepat hidrolisis-oksidasi.

Mobilitas mineral lempung smektit dan kaolinit lebih tinggi daripada mineral gutit (Buol et

al., 1980; Tan, 1992), perbedaan ini mengakibatkan mineral lempung smektit atau kaolinit

lebih mudah terlindi dibandingkan mineral lempung gutit.

3.4. Perkembangan Tanah

Proses perkembangan tanah yang terjadi di atas batuan ultrabasa meliputi proses

penyusunan bahan-bahan tanah hasil proses pelapukan menjadi suatu tubuh tanah,

dijalankan oleh berbagai proses perkembangan tanah. Proses perkembangan tanah

dijalankan oleh empat proses utama yaitu penambahan, penghilangan, alih tempat dan

alih rupa.
Hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Alam S., 2011), menunjukkan

bahwa terdapat perbedaan karakteristik tubuh tanah yang terbentuk dari lapukan batuan

ultrabasa pada iklim dan sekuen topografi yang berbeda. Perbedaan karakteristik tubuh

tanah yang terbentuk menunjukkan adanya perbedaan proses perkembangan tanah yang

terjadi.

Faktor pembentuk tanah sangat menentukan proses pembentukan tanah yang

terjadi. Pengaruh perbedaan iklim yang bekerja pada bahan induk yang sama (kompleks

ultrabasa) dan topografi yang beragam. Peran faktor iklim ditunjukkan oleh perbedaan

curah hujan, sedangkan peran faktor topografi lebih ditunjukkan dengan perbedaan posisi

pada suatu sekuen lereng baik pada curah hujan yang sama maupun kondisi curah hujan

yang berbeda terhadap kemampuannya dalam mengendalikan proses pembentukan

tanah.

Curah hujan yang lebih tinggi cenderung mengarahkan terjadinya pelapukan yang

lebih intensif pada posisi sekuen yang sama. Hal ini dibuktikan oleh perbedaan komposisi

mineral lempung yang terbentuk. Pada curah hujan yang lebih rendah didominasi oleh

mineral lempung smektit, sedangkan tanah yang terbentuk pada kondisi curah hujan yang

lebih tinggi didomonasi oleh lempung gutit.

Keragaman kelerengan menghasilkan karakteristik tanah yang berbeda meskipun

berkembang pada bahan induk dan iklim yang sama. Karakteristik tanah yang terbentuk

pada lereng bawah diantaranya mempunyai kandungan kation basa yang lebih rendah dan

terjadi akumulasi Fe dan atau Al. Intensitas pelapukan yang tinggi pada lereng bawah

sekaligus mengarahkan terbentuknya tubuh tanah dengan tingkat perkembangan yang

lebih lanjut yang ditunjukkan dengan defferensiasi horiosn yang lebih lengkap dan jeluk
yang lebih tebal, nilai nisbah debu/lempung yang lebih rendah, ΔpH yang cenderung lebih

besar atau positif, nilai nisbah mineral mudah lapuk/resisten yang cenderung lebih rendah,

nisbah kuarsa/feldspar yang cenderung lebih tinggi serta kandungan mineral mudah lapuk

cenderung berkurang.

Hasil penelitian Alam S., (2011) menunjukkan bahwa di daerah yang memiliki

curah hujan yang rendah faktor yang paling berpengaruh dalam perkembangan tanah yaitu

faktor iklim. Tanah yang baru berkembang menampakkan karakteristik yang masih

mewarisi bahan induknya, terutama dari komposisi mineralogi. Sedangkan untuk daerah

yang memiliki curah hujan yang tinggi tingkat perkembangan tanahnya sudah memasuki

fase lanjut yang ditunjukkan oleh kenampakan karakteristik tanah dan mineralogi yang

berbeda dengan bahan induknya. Begitupun juga dari aspek topografi, meskipun tanah

berasal dari bahan induk yang sama (umur awal pembentukan sama) namun

menghasilkan tanah dengan tingkat perkembangan yang berbeda, baik karena perbedaan

topografi (toposekuen) pada iklim yang sama maupun pada iklim yang berbeda.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. Tanah yang berkembang dari lapukan batuan ultrabasa umumnya mengalami

perkembangan yang lebih lanjut pada daerah yang memiliki curah hujan yang tinggi

dibandingkan dengan tanah yang berkembang pada daerah yang memiliki curah hujan

yang rendah.

2. Urutan tingkat perkembangan tanah dari yang baru mulai berkembang

(Entisol),kemudian Vertisol, disusul Inceptisol, diikuti Alfisol dan yang terakhir Oxisol

yang paling lanjut atau berdasarkan toposekuen mulai dari lereng tengah, selanjutnya

lereng atas dan yang terakhir lereng bawah.

4.2. Saran

Perlu dilakukan pengkajian mengenai berbagai variasi kondisi iklim, batuan dan

timbulan/relief dalam mengungkap seberapa besar pengaruh genesis tanah terhadap

tingkat kesuburan tanah yang dihasilkannya.


DAFTAR PUSTAKA

Alam, S. 2011. Tingkat Perkembangan dan Kesuburan Tanah dari Lapukan Batuan
Ultrabasa pada Beberapa Toposekuen di Sulawesi Tenggara. Tesis S2
Program Pascasrjana FP UGM. Yogyakarta.
Alexander, E.B., R.G. Coleman, T. Keeler-Wolf, and S. Harrison. 2007. Serpentine
Geoecology of Western North America : Geologi, Soil and Vegetation. Oxford
University Press. New York. 512p.
Birkeland, P.W. 1974. Pedology, Weathering and Geomorphologyycal Research. Oxford
University Press. New York. 285p.
Buol, S.W., F.D. Hole, and R.J. Mc Cracken. 1980. Soil Genesis and Classification. Iowa
State University Press. Ames Iowa. 360p.
Darmawijaya, M.I. 1997. Klasifikasi Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
411pp.
Fitzpatrick, E.A. 1980. Soil : The Formation, Classification and Distribution. Longman.
London and New York.
Foth, H.D. 1991. Dasar-dasar Ilmu Tanah Edisi Ketujuh. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 782p.
Graha, D.S. 1987. Batuan dan Mineral. Nova. Bandung. 259p.
Hardjowigeno, S., Darmawan, dan Widiatmaka. 1989. Genesis dan Sifat-Sifat Mineralogi
Tanah dengan Liat Aktivitas Rendah. LPPM IPB. Bogor.
Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akapress. Jakarta. 274p.
Hemon, M.T. 2011. Genesis Tanah di Atas Batuan Induk Ultramafik serta Kesesuaian
Lahannya untuk Kelapa Sawit dan Cengkeh di Kecamatan Langgikima,
Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Disertasi Program Pascasrjana FP UGM.
Yogyakarta.
Jenny, H. 1941. Factors of Soil Fornation. A system of Quantitative Pedology. McGraw-Hill
Book Company, inc. New York. 281p.
Jenny, H. 1980. The Soils Resource, Origin and Behaviour. Springer-Verlag. New York.
377p.
Joffe, J. S. 1949. Pedology. The Smorset Press, Inc., Somerville, N.J. 662p.
Kusdarto. 2006. Potensi Agromineral di Indonesia Salah Satu Alternatif Pengganti Pupuk
Buatan. Subdit Mineral Logam, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral,
Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Sumber
Daya Energi dan Mineral. Jakarta.
Maas, A. 1997. Tanah dan Lingkungan. Program Matrikulasi. Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 50p.
Mohr, E.J.C., P. Buurman, and Jan D.J. van Doesburg. 1972. Tropical Soils. A
Comprehensive Study of Their Genesis. Geuze Deudrecht. Netherlands. 481p.
Notohadiprawiro, T. 2000. Tanah dan Lingkungan. Pusat Studi Sumber Daya Lahan UGM.
Yogyakarta. 187p.
Notohadiprawiro, R.M.T. dan S.H. Suparnowo. 1978. Asas-asas Pedology (Pedogenesis).
Departemen Ilmu Tanah Faperta UGM. Yogyakarta. 139p.
Pramuji dan M. Bastaman. 2009. Teknik Analisis Mineral Tanah untuk Menduga Cadangan
Sumber Hara. Buletin Teknik Pertanian 14(2):80-82.
Prasetyo, B.H., J.S. Adiningsih, K. Subagyono, dan R.D.M. Simanungkalit. 2004.
Mineralogi, Kimia, Fisika dan Biologi Lahan Sawah. Dalam F, Agus (Ed.).
Tanah Sawah dan Teknik Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Bogor.
Rachim, D. A. 2007. Dasar-dasar Genesis Tanah. Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan Faperta IPB. Bogor. 364p.
Radjagukguk, B. 1991. Ilmu Kimia Tanah Lanjutan. Program Pascasrjana UGM.
Yogyakarta. 208p.
Rusmana, E., Sukido, D. Sukarna, E. Haryanto dan T.O. Simandjuntak. 1993. Keterangan
dan Pete Geologi Lembar Lasusua-Kendari, Sulawesi Skala 1:250.000.
Puslitbang Geologi. Bandung.
Sanchez, P. A. 1992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika Buku 1. ITB. Bandung. 397p.
Schaetzl, R. and S. Anderson. 2005. Soils Genesisi and Geomorphology. Cambridge
University Press. New York. 817p.
Simandjuntak, 1993. T.O. Surono, dan Sukido. Keterangan dan Peta Geologi Lembar
Kolaka, Sulawesi Skala 1:250.000. Puslitbang Geologi. Bandung.
Siradz, S. A. 2003. Genesis, Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Jurusan Tanah Faperta
UGM. Yogyakarta. 92p.
Sunarminto, B.H. 2000. Genesis Oxisol dan Ultisol di Atas Batuan Dunit (Ultrabasis) di
Daerah Malili, Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 2(1):43-
52.
Sutanto, R. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Kanisius. Yogyakarta. 208p.

Tafakresnanto dan B.H. Prasetyo. 2001. Peranan Data Mineral Tanah dalam Menunjang
Interpretasi Sumber Daya Tanah. Jurnal Tanah dan Air 2(1):47-56.
Tan, K.H. 1992. Dasar-dasar Kimia Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
295p.
Taylor, B. 2005. Batuan, Mineral dan Fosil. Erlangga. Jakarta. 120p.

Tim Kajian Ultrabasa. 2007. Kajian Potensi Batuan Ultrabasa di Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan untuk Menanggulangi Emisi Karbondioksida. Kelompok Program
Penelitian Mineral. Pusat Sumber Daya Geologi. Bandung.
van Breemen, N. dan P. Buurman. 2003. Soil Formation. Second Edition. Kluwer
Academic Publisher. New York, Boston, Dordrecht, London, Moscow. 404p.

Anda mungkin juga menyukai