Anda di halaman 1dari 10

PALEOKLIMATOLOGI BERDASARKAN ANALISIS MIKROPALEONTOLOGI

PADA DAERAH JAYAPURA DAN SEKITARNYA KABUPATEN JAYAPURA


PROVINSI PAPUA

oleh

1) Prof. Dr. Ir. C. Danisworo, M.Sc, 2) Ir. Achmad Subandrio, MT, 3) Theodora
Ngaderman, MT, dan 4) Angelina Majesty Randa, ST

ABSTRAK

Studi paleoklimatologi (paleoclimate) merupakan studi tentang bagaimana iklim yang


terjadi pada masa lampau. Para peneliti dalam paleoklimatologi ini juga mempunyai slogan
the past is the key to the present and the future artinya adalah bagaimana data iklim yang
terjadi pada waktu lampau dapat menjadi pedoman untuk memahami kondisi iklim sekarang
dan memprediksi iklim di masa datang. Penelitian dilakukan dengan metode pemetaan
(mapping), pengukuran stratigrafi detail (measured section), analisis petrografi dan
mikropaleontologi. Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Maret tahun 2016 hingga sekarang.
Daerah Jayapura memiliki jenis batuan yang sangat kompleks, salah satunya yaitu batuan
sedimen dengan komposisi kimia karbonat yang cakupan wilayahnya cukup luas. Penelitian
lebih berfokus pada satuan batuan Formasi Jayapura (Qpj), merupakan formasi yang
mengandung batugamping. Selanjutnya dilakukan pengamatan pada fosil foraminifera untuk
menentukan umur dan lingkungan pengendapannya. Berdasarkan dari geologi regional umur
satuan batuan ini adalah Plistosen (N.22) yang terendapkan pada zona batial hingga abisal,
yaitu pada laut terbuka yang tak ada lagi bahan rombakan daratan; menindih tak selaras
formasi yang lebih tua. Ini menunjukkan bahwa memasuki kala Miosen akhir hingga
Plistosen daerah penelitian yang sebelumnya berada pada lingkungan litoral berubah menjadi
lingkungan batial, hal ini dikarenakan muka air laut menjadi naik sehingga lingkungan
pengendapan menjadi dalam.

Kata kunci : paleoklimatologi, mikropaleontologi, foraminifera, formasi jayapura

PENDAHULUAN
Paleoklimatologi menjadi salah satu ilmu yang penting dan menjadi isu yang menarik
untuk diangkat pada akhir-akhir ini, dan yang dimaksud paleoklimatologi adalah suatu ilmu
yang mempelajari perubahan iklim di seluruh rentang waktu sejarah bumi. Paleoklimatologi
merupakan salah satu bidang ilmu mempelajari iklim masa lampau dengan skala waktu
puluhan sampai ribuan tahun yang lalu, beserta implikasinya terhadap perubahan yang terjadi
dalam ekosistem bumi. Pertanyaan yang muncul sekarang adalah mengapa kita mempelajari
paleoklimatologi? Apa kaitannya dengan perubahan iklim yang terjadi saat ini dan apa
urgensinya dalam memprediksikan perubahan iklim di masa mendatang?
Iklim di setiap periode bumi mengalami perubahan,oleh karena itu paleoklimatologi
menjadi hal yang menarik untuk dipelajari. Para ahli paleoklimat berpendapat bahwa
perubahan iklim tidak hanya terjadi pada saat ini, namun perubahan iklim juga terjadi di masa
lampau. Selain itu, apabila kita mengetahui iklim di masa lampau kita juga bisa
memprediksikan iklim yang akan ada di masa yang akan datang.
Jayapura memiliki jenis batuan yang sangat kompleks, salah satunya yaitu batuan
sedimen dengan komposisi kimia karbonat yang cakupan wilayahnya cukup luas. Salah satu
daerah dengan kandungan batuan karbonat yang cukup banyak dan luas yaitu pada daerah
Polimak. Pada daerah ini ditemukan tebing-tebing yang merupakan singkapan batugamping
yang besar dan luas menambah keistimewaan daerah tersebut.
Formasi Jayapura (Qpj), merupakan formasi yang mengandung batugamping koral-
ganggang, kalsidurit, kalkarenit; setempat batugamping kapuran, batugamping napalan dan
napal, berlapis jelek, setempat berstruktur terumbu; setempat berselingan dengan
batugamping pelagos. Fosil foraminifera kecil bentos dan pelagos, koral, moluska dan
ganggang. Umur satuan batuan ini adalah Plistosen yang terendapkan pada laut terbuka yang
tak ada lagi bahan rombakan daratan; menindih tak selaras formasi yang lebih tua. Memiliki
kemiringan landai ke arah selatan baratdaya dengan undak nyata. Terangkat lebih kurang 700
m di atas permukaan laut. Satuan ini memiliki ketebalan hingga 400 m (Suwarna dan Noya,
1995).
Kondisi geologi saat ini mampu memberikan informasi keadaan masa lampau yang
terjadi pada bumi, salah satunya adalah kondisi iklim. Ilmu Paleoklimat memiliki arti penting
karena dapat menginterpretasi bagaimana kondisi suatu lingkungan dan bagaimana fluktuasi
perubahan iklim di masa lalu, mengetahui kondisi iklim saat ini, untuk kemudian dapat
dipakai untuk memprediksi perubahan iklim yang terjadi di masa depan. Hal inilah yang
membuat peneliti sangat tertarik untuk mengungkap kondisi iklim purba pada daerah
tersebut.
Pemahaman tentang perubahan iklim sangat penting untuk dikaji, terutama untuk
daerah Papua, mengingat daerah Papua merupakan satu dari dua tempat di wilayah
khatulistiwa, yang memiliki salju abadi. Pemahaman perubahan iklim purba (paleoclimate)
terutama pada Zaman Kuaternari, diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan untuk turut
mengkampanyekan penyelamatan salju abadi di Papua.

BAHAN DAN METODE


Lokasi daerah penelitian berada di sepanjang pesisir Pantai utara - selatan Jayapura.
Jayapura memiliki jenis batuan yang sangat kompleks, salah satunya yaitu batuan sedimen
dengan komposisi kimia karbonat yang cakupan wilayahnya cukup luas. Salah satu daerah
dengan kandungan batuan karbonat yang cukup banyak dan luas yaitu tersebar sepanjang
pesisir pantai utara – selatan daerah Jayapura. Pada daerah ini ditemukan tebing-tebing yang
merupakan singkapan batugamping yang besar dan luas menambah keistimewaan daerah
tersebut.
Gambar 1. Peta Tunjuk Lokasi Penelitian

Penelitian ini membahas mengenai paleoklimatologi berdasarkan analisis


mikropaleontologi pada daerah Jayapura dan sekitarnya Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.
Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini,
dengan melakukan pemetaan lapangan (mapping), pengamatan stratigrafi secara detil
(measuring section), analisis petrografi dan mikropaleontologi. Aspek fisik dan biologi
sebagai dasar untuk memahami paleoekologi. Perkembangan iklim purba sangat dikontrol
dengan perubahan-perubahan paleoekologinya. Perubahan paleoekologi terutama iklim
purbanya dapat terekam secara baik pada batuan-batuan yang menyusun stratigrafi daerah
tersebut. Dengan pengamatan secara detil, membuat korelasi dari beberapa stratigrafi detil
(measured sections) maupun profil singkapan, diharapkan dapat dilakukan rekonstruksi
paleoekologi dan iklim purbanya.
Metode penelitian dengan melakukan “Measuring section”, yaitu membuat penampang
terukur dengan mengadakan pengukuran ketebalan unit lapisan dan pendeskripsian batuan
secara detail pada suatu lintasan yang dianggap representatif. Untuk mempermudahkan cara
pendeskriptian suatu batuan, dibuat lintasan yang relatif tegak lurus terhadap jurus perlapisan
batuan. Sedangkan analisis di dalam laboratorium berupa analisi mikropaleontologi Berguna
untuk penentuan lingkungan pengendapan dan suhu pengendapan dari tiap lapisan batuan
sedimen berdasarkan atas kandungan fosil foraminifera bentonik dan koral yang dijumpai
pada setiap lapisan, dan analisis petrografi dilakukan untuk mengetahui nama batuan dan
kandungan fosil foraminifera dan jenis koral yang terdapat pada sayatan tipis.

KAJIAN PUSTAKA
Perubahan iklim menjadi perbincangan yang hangat sekarang ini, hal tersebut karena
peranan media juga dalam menggulirkan isu soal pemanasan global / global warming.
Sekarang kita kita akan membahas soal pemasanan global seperti yang diberitakan tetapi kita
akan mencoba meliahat bagaimana kontribusi dari ilmu geologi khususnya mikropaleontologi
dalam aplikasinya di bidang klimatologi.
Dalam geologi dikenal istilah the present is the key to the past artinya adalah
bagaimana pemahaman kita tentang suatu gejala atau kondisi di alam menjadi alat kita dalam
memahami gejala atau kondisi bahkan proses yang terjadi di alam waktu yang lampau bahkan
pada waktu belum ada manusia hadir di dunia. Kita misalkan, bagaimana kondisi disungai
sekarang mulai dari hulu sampai hilir memberikan bentukan alam yang bermacam-macam
tentunya dalam hal ini bentukan hasil aktifitas manusia tidak dimasukkan dalam kategori
tersebut.

FISIOGRAFI
Berdasarkan data geologi yang ditemukan, secara regional morfologi wilayah Jayapura
dapat dibagi menjadi empat satuan, yaitu Satuan morfologi yang terdapat di daerah penelitian
dapat dikelompokkan menjadi 4 satuan morfologi (Gambar 4) yaitu; satuan morfologi
perbukitan bergelombang kuat denudasional, satuan morfologi bergelombang lemah
denudasional, satuan morfologi dataran aluvial dan satuan morfologi dataran pantai. (Van
Zuidam, 1983). Satuan morfologi perbukitan kuat denudasional yang mana faktor dominan
yang bekerja dengan ciri dilapangan seperti erosi, pelapukan; litologi terdiri dari batuan beku
dan metamorf, menempati bagian tengah dan utara peta.Satuan morfologi bergelombang lemah
denudasionl yang mana banyak dijumpai sungai; litologi terdiri dari batugamping, menempati bagian
tengah dan timur peta. Satuan morfologi dataran aluvial; litologi terdiri dari endapan pasir kerikil,
kerakal, rawa, dan breksi yang belum terkonsolidasi menempati bagian tengah peta. Satuan morfologi
dataran pantai; litologi terdiri dari endapan pasir karbonat, yang belum terkonsolidasi menempati
bagian tengah dan utara peta.
Batuan yang menyusun daerah Jayapura sangat kompleks terdiri dari batuan gunung
api, batuan sedimen karbonat, batuan sedimen turbidit, batuan mafik dan batuan ultramafik.
Daerah penelitian termasuk dalam kelompok malihan Cyloop (pTmc), Ultramfik (Um),
Formasi Numbay (Tomn), Formasi Makats (Tmm), Formasi Jayapura (Qpj), Alluvium dan
Endapan Pantai (Qa). Stratigrafi daerah penelitian dapat dibedakan atas enam satuan yakni
berturut-turut dari satuan yang paling tua sampai yang termuda adalah Satuan Sekis, Satuan
Ultramafik, Satuan Batugamping Miosen, Satuan Napal, Satuan Batugamping Kuater, dan
Satuan Aluvial. Satuan Sekis dan Satuan Ultramafik terbentuk pada masa pra-Tersier.
Selanjutnya satuan ini ditumpangi tidak selaras oleh Satuan Batugamping Miosen yang
berumur Oligosen–Miosen Tengah. Batugamping Miosen ini menjemari dengan dengan
Satuan Napal yang berumur Miosen Tengah – Miosen Akhir. Selanjutnya memasuki kala
Plistosen terbentuk Satuan Batugamping Kuarter yang kemudian ditindih tidak selaras oleh
Satuan Aluvial.
Penyusun utama Satuan Sekis adalah Sekis Hijau, sedangkan Satuan Ultramafik
penyusunnya serpentinit, piroksenit dan dunit. Satuan Batugamping Miosen tersusun oleh
batugamping bersisipan biomikrit, napal, batupasir halus, grewak gampingan, tuf, setempat
bersisipan kalkarenit dan kalsipelit. Satuan Napal tersusun atas grewak berselingan dengan
batulanau dan batulempung; sisipan napal dan konglomerat; lensa dan buncak batugamping;
bagian bawah bersisipan tufa dan breksi gunungapi. Satuan Batugamping Kuarter tersusun oleh
batugamping koral – ganggang, kalsirudit, kalkarenit, setempat batugamping kapuran,
batugamping napalan dan napal, dan berlapis jelek. Sedangkan Satuan Aluvial tersusun kerikil,
kerakal, pasir, lanau dan lumpur di lingkungan rawa dan pantai. Endapan pantai mengandung
pecahan koral Resen.

Gambar 2. Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian

Struktur geologi yang terdapat di Jayapura berupa kekar, sesar turun, dan sesar geser.
Kekar lebih berkembang pada batuan metamorf, batuan beku dan sedimen klastika kasar.
Kelurusan berarah umum hampir searah struktur regional, yakni barat laut-tenggara.
Beberapa berarah utara selatan dan timur laut-barat daya. Sesar turun berarah barat - barat
laut – timur - tenggara, timur laut- barat daya serta hampir utara-selatan, menyesarkan batuan
ultramafik dan batugamping. Sesar geser berarah timur laut-barat daya, merupakan batas
sentuhan batuan ultramafik dan batugamping.

DATA DAN ANALISIS


Berdasarkan analisis fosil yang diambil dari titik lokasi yang mewakili cekungan
Jayapura, yaitu di Polimak, dimana pada daerah ini termasuk dalam Formasi Jayapura (Qpj)
yang berdasarkan geologi regional menunjukkan umur Plio – Plistosen. Dimana peneliti
berasumsi bahwa dari batugamping yang termasuk dalam Formasi Jayapura ini bisa
menunjukkan perubahan iklim purba yang dikaitkan dengan peristiwa glacial pada Kala Plio-
Plistosen. Adapun model perubahan lingkungan pengendapannya akan terjadi secara
perlahan-lahan seiring dengan naiknya permukaan air laut.

Aspek Biologi

Dari 10 conto batuan yang dianalisa, hanya 3 conto batuan (AG06 Atas, AG06 tengah
dan AG06 bawah) yang dijumpai adanya kandungan fosil. Foraminifera yang dijumpai
berupa foraminifera plantonik dan bentonik. Fosil didapatkan pada satuan batugamping
Jayapura.
Aspek Fisik

Satuan batugamping Jayapura pada daerah telitian merupakan batugamping koral, berlapis
jelek dan tidak memiliki kedudukan yang jelas. Ciri megaskopis dari batugamping ini adalah
putih keabuan, masif, dan dijumpai fosil foram dan moluska.

Gambar 3. Fosil moluska yang terkandung pada Satuan batugamping Kuarter

Paleoekologi dan Iklim Purba

Hasil analisis dari beberapa conto batuan (7 conto) umumnya tidak memiliki
kandungan fosil (barren sample). Hanya 3 conto yang masih dijumpai adanya fosil, berupa
fosil foram plantonik dan foram bentonik. Fosil foraminifera plantonik yang sama berupa
Globigerina praebulloides, Globigerinoides ruber, fosil ini menunjukkan kisaran umur Plio
Pleistosen. Fosil foram bentonik yang dijumpai pada bagian bawah yaitu Textularia
agglutinans, Pyrgo lucernula, Dorothia scabra, Textularia sagittula, Ammobacilutes
cylindricus, Dorothia bradyana Siphotextularia sp. yang menunjukkan lingkungan batimetri
bathial atas – bawah, dan bagian atas yaitu Hastigerina aequilateralis, Orbulina universa,
Globigerinoides ruber yang menunjukkan lingkungan batimetri abisal. Dari kedua data ini,
dapat dilihat adanya perubahan kedalaman lingkungan batimetri ke arah yang lebih dalam.
Hal ini ditafsirkan sebagai adanya kenaikan muka air laut akibat dari perubahan iklim.
Aspek kimia dari cangkang fosil foraminifera sangat bermanfaat karena
mencerminkan sifat kimia perairan tempat foraminifera ketika hidup. Sebagai contoh,
perbandingan isotop oksigen stabil tergantung dari perbedaan suhu air, karena air bersuhu
tinggi cenderung lebih cepat menguapkan banyak isotop yang lebih ringan. Pengukuran
isotop oksigen stabil pada cangkang foraminifera plangtonik dan bentonik yang berasal dari
ratusan batuan teras inti dasar laut di seluruh dunia telah dimanfaatkan untuk memetakan
permukaan dan suhu dasar perairan masa lampau.
Mikroorganisme sangat terpengaruh hidupnya oleh lingkungan tempat tinggalnya.
Beberapa kondisi yang mempengaruhi kehidupan mikroorganisme yang hidup di laut
khususnya foraminifera, yaitu : temperatur air laut, salinitas, turbulensi/ gelombang air,
turbidit dan kekeruhan air laut, asal sedimen, ukuran butir, stabilitas dan kecepatan
sedimentasi, aspek geologi tertentu seperti vulkanisme, jumlah makanan yang tersedia, dan
dominasi predator.

KESIMPULAN
1. Cekungan Jayapura pernah mengalami perubahan iklim dari iklim yang hangat
menjadi dingin ini dapat dikaitkan dengan peristiwa glacial pada Kala Plio-Plistosen.
Adapun model perubahan lingkungan pengendapannya akan terjadi secara perlahan-
lahan seiring dengan naiknnya permukaan air laut, ditemukannya fosil foraminifera
yang dapat hidup pada iklim dingin membuktikan daerah penelitian pernah
mengalami perubahan iklim.
2. Adanya perubahan lingkungan batimetri fosil foraminifera bentonik dari batimetri
bathial menjadi satuan batimetri abisal pada satuan batugamping Jayapura
menunjukkan bahwa pada masa Plio – Pleistosen telah terjadi kenaikan muka air laut

UCAPAN TERIMAKASIH
Secara khusus penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Ketua Jurusan
Magister Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasiona
“Veteran” Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melakukan
penelitian ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.

DAFTAR PUSTAKA
Alfred R. Leoblich, Jr and Tappan, H., 1988, Foraminiferal Genera and Their Classification-
Plates. Van Nostrand Reinhold, New York.

Bandy,O.L., 1967, Foraminifera Indices In Paleocology, Esso Production Research


Company, Houston, Texas.

Bauman,P.,1971, Summaries of Lectures In Larger Foraminifera, LEMIGAS, Dept. of


Geology, Jakarta.

Cushman, J. A., 1983, An Illustrated Key to the Genera of the Foraminifera, Sharon,
Massachusetts, U.S.A.

Ikatan Ahli Geologi Indonesia, 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia, Komisi Sandi Stratigrafi
Indonesia, Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Bandung.

Kambu, M. R., 2014, Jurnal Geologi Dan Karakteristik Batuan Beku Ultramafik Sebagai
Bahan Baku Konstruksi Di Daerah Lembah Sunyi Kelurahan Angkasapura, Kota Jayapura
Provinsi Papua. Magister Teknik Geologi UPN “Veteran” Yogyakarta.

Pettijohn, F. J., 1969, Sedimentary Rocks Second Edition, Oxford & IBH Publisihing Co.,
New Delhi, Bombay, Calcutta.
Postuma, J. A., 1971, Manual of Planktonic Foraminifera, Elsevier Publishing Company,
Amsterdam, Netherlands.

Suwarna, N., Noya, Y., 1995, Peta Geologi Lembar Jayapura (Pegunungan Cycloops). Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Van Zuidam, R.A., 1985. Aerial Photo-Interpretation In Terrain Analysis and
Geomorphologic Mapping, Smits Publisher The Hagne, Netherlands.
KORELASI SATUAN PETA
CORRELATION OF MAP UNITS
ENDAPAN PERMUKAAN BATUAN SEDIMEN DAN GUNUNG API TEKTONIK
SURFICIAL DEPOSITS SEDIMENTARY AND VOLCANIC ROCKS TECTONIC
UMUR
MASA ZAMAN KALA (juta thn)
ERA PERIOD EPOCH Age (m.y)
Qcl Qmd
HOLOSEN Qa

QUATERNARY
HOLOCENE Qf

KUARTER
0,01 Qc
PLISTOSEN
Qpj
PLEISTOCENE

1,6
PLIOSEN QTu
PLIOCENE
Tmpa Tmpb
5,3
Akhir
Late
Tmm
11,2

MIOCENE
KENOZOIKUM

MIOSEN
CENOZOIC
Tengah
Middle

TERTIARY
TERSIER
16,6
Awal
Early

23,7
Tomn
Tema
OLIGOSEN
OLIGOCENE

Gambar 1. Lokasi Daerah Penelitian EOSEN


EOCENE
36,6

57,6
PALEOGEN
PALEOCENE
66,4

pra TERSIER m um pTmc


pre TERTIARY

Qa
Qa : ALUVIUM DAN ENDAPAN PANTAI Qtu : FORMASI UNK m : BATUAN MAFIK

Qf : KIPAS ALUVIUM Tmpa : FORMASI AURUMI um : ULTRAMAFIK

Qcl : FORMASI JAYAPURA Tmpb : FORMASI BENAI pTmc : KELOMPOK MALIHAN


CYCLOOPS

Qpj : ENDAPAN LUMPUR Tmm : FORMASI MAKATS

Qmd : ENDAPAN LUMPUR Tomn : FORMASI NUBAI

: BATUAN CAMPURADUK Tema : FORMASI AUWEWA


Qc

Gambar 3. Kolom Stratigrafi Regional Jayapura (Suwarna


Gambar 2. Tektonik Seting pada Lempeng Papua (Dow et
and Noya, 1995)
all, 1988)

Gambar 4. Satuan Sekis Hijau Gambar 5. Singkapan Batuan Serpentin di Lokasi


Pantai Base G
Gambar 6. Batugamping Miosen pada Lokasi Jaya Asri Gambar 7. Kontak antara batuan Napal dan Batugamping

Gambar 8. Kenampakan Satuan Batugamping Kuarter Gambar 9. Satuan Aluvial pada Lokasi Pantai Base G
pada Lokasi Gunung Tiarnum

Gambar 10b. Microfossils pada Satuan Gambar 10c. Microfossils pada Satuan
Gambar 10a. Microfossils pada Satuan Batugamping Kuarter (Bagian Tengah) Batugamping Kuarter (Bagian Bawah)
Batugamping Kuarter (Bagian Atas)

Anda mungkin juga menyukai