PENDAHULUAN
Saat ini bidang ilmu geologi mulai memiliki peranan sangat penting di
berkembang di daerah tersebut. Dari perkembangan dan kemajuan ilmu ini akan
yang terjadi dalam suatu daerah. Oleh sebab itu masih diperlukan suatu penelitian
yang lebih detail guna melengkapi data geologi yang telah ada mencakup kondisi
menyeluruh tentang Geologi Pulau Jawa masih terbatas dan perlu dikaji lebih
yang masih perlu dikaji tentang Cekungan Banyumas, baik masalah stratigrafi,
daerah penelitian karena memiliki tatanan geologi yang sangat kompleks baik dari
1
geologi yang sangat menarik untuk dipelajari guna menerapkan ilmu-ilmu geologi
ini khususnya dari segi umur batuan serta keterdapatan foraminifera terutama
pada daerah tersebut yang tersingkap tiga Formasi, yaitu Formasi Pemali, Formasi
Halang dan Formasi Kumbang yang menarik untuk diteliti. Selain itu munculnya
Brebes Propinsi Jawa Tengah dengan judul Geologi Daerah Tambakserang Dan
regional meliputi daerah penelitian dan sekitarnya antara lain tentang umur dari
Formasi Pemali yaitu Miosen Tengah (Van Bemmelen, 1949), Miosen Tengah
Suparyono, 1974) dan adanya penelitian terbaru oleh Lunt pada tahun 2008
menyatakan bahwa umur dari formasi Pemali jauh lebih muda yaitu N18-N21
regional meliputi daerah penelitian dan sekitarnya antara lain tentang umur dari
Formasi Halang yaitu berumur N15-N18 atau Miosen Tengah sampai Pliosen
2
Miosen Tengah-Miosen Akhir (Sujanto dan Roskamil, 1975), N17-N19 atau
Roskamil, 1975), Selaras (Suparyono dan Sumarso, 1974), Selaras dalam Peta
Geologi Lembar Banyumas (Asikin drr., 1992), Selaras dalam Peta Geologi
Ditinjau dari hubungan stratigrafi di daerah ini terlihat tidak ada masalah
Pemali - Formasi Halang adalah selaras dan Umur dari Formasi Halang lebih
muda dari Formasi Pemali yaitu N15-N19 atau Miosen Tengah - Pliosen Awal
dan Formasi Pemali N16 Miosen Awal - Miosen Tengah, namun jika umur
Formasi Pemali yang digunakan menurut (Lunt, 2008) bahwa umur pemali N18-
1.2 Tujuan
3
5. Mengetahui potensi bencana dan potensi geologi daerah penelitian.
penelitian berada di sebelah barat dari Kabupaten Tegal, dan sebelah utara
4
Gambar 1.1 Lokasi daerah penelitian (Sumber: Peta Geologi Regional Majenang oleh Kastowo,
1975)
transportasi darat, waktu yang ditempuh dari Kota Purwokerto adalah + 1,5 jam.
dalam waktu +2 jam perjalanan dari Kampus Teknik Unsoed, Purbalingga. Sarana
transportasi menuju daerah penelitian cukup memadai berupa jalan aspal dan jalan
permukaan laut (mdpl) dengan topografi yang tidak begitu beragam. Daerah ini
memiliki kemiringan lereng dari 100 hingga 450. Sebagian besar lahan di daerah
5
penelitian dimanfaatkan untuk lahan persawahan, pemukiman dan hutan. Mata
geologi, dan penceritaan sejarah geologi. Selain itu yang menjadi masalah utama
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
disebabkan beberapa keadaan satu diantaranya adalah iklim tropis, disamping itu
panjangnya pulau, dari tepi satu ke tepi yang lainnya. Sifat relief yang disebabkan
oleh iklim tropis sudah diketahui dan dipetakan di Indonesia. Curah hujan yang
besar dan temperatur yang tinggi menyebabkan pelapukan yang cepat dan
7
Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi enam zona
fisiografi, yaitu:
2. Gunungapi Kuarter
kuarter di Jawa Tengah antara lain Gunung Slamet, Gunung Sindoro, Gunung
Muria.
Zona Serayu Utara memiliki lebar 30-50 km. Di selatan Tegal Zona ini
ditutupi oleh produk gunung api kuarter dari Gunung Slamet, di bagian tengah
zona ini ditutupi oleh produk gunungapi dari Gunung Rogojembangan, Gunung
Ungaran dan Gunung Dieng. Zona ini menerus hingga ke Jawa Barat menjadi
Zona Bogor dengan batasan antara keduanya terletak di sekitar Prupuk, Bumiayu
hingga Ajibarang, daerah ini merupakan daerah yang terletak di bagian barat
Sebagian merupakan dataran pantai dengan lebar 10-25 km. Morfologi dataran
pantai ini cukup kontras apabila dibandingkan dengan pantai selatan Jawa Barat
dan Jawa Timur yang relatif lebih terjal. Pegunungan Serayu Selatan terletak
8
diantara Zona Depresi Jawa Tengah yang membentuk kubah dan punggungan.
membentuk morfologi pantai yang terjal, namun di Jawa Tengah zona ini terputus
Stratigrafi daerah Jawa Tengah sebagian besar tersusun oleh batuan yang
berumur dari Tersier hingga Kuarter berikut ini merupakan kolom stratigrafi
9
Daerah penelitian merupakan bagian dari Zona Pegunungan Serayu
Selatan di bagian tengah dari zona ini. Menurut Van Bemmelen (1949), serta
Asikin (1996) menyatakan bahwa batuan tertua yang terdapat di daerah ini adalah
batuan yang berumur dari Tersier hingga Kuarter. Berdasarkan Kastowo (1975)
penelitian berumur Tersier atau susunan formasi dari tua ke muda, yang terdiri
keabu-abuan dan hijau keabu-abuan. Jarang sekali berlapis baik, terdapat sisipan
Pada Formasi ini terdiri dari batuan sedimen jenis turbidit dengan struktur-
struktur sedimen yang jelas. Dibagian utara peta lebih banyak terdapat bahan
Terdiri dari breksi gunungapi, pejal dan tidak berlapis, termasuk beberapa
aliran lava dan retas yang bersusunan sama, tufa berwarna abu-abu dan batupasir
tufaan mengandung konglomerat dan sisipan lapisan tipis magnetit. Breksi yang
10
Formasi Tapak (Tpt/Tptl)
Bagian bawah terdiri dari batupasir kasar kehijauan yang kearah atas
Gambar 2.3 Korelasi Stratigrafi Daerah Jawa Tengah (Sujanto & Sumantri, 1977)
pada dasarnya memiliki tiga arah kelurusan struktur yang dominan (seperti dapat
11
Jawa Tengah diwakili dari pola penyebaran singkapan batuan pra-Tersier di
dan juga tercermin dari pola konfigurasi Tinggian Karimun Jawa, Tinggian
2. Pola struktur kedua yang dominan dijabarkan oleh sesar-sesar berarah utara-
selatan yang dikenal dengan Pola Sunda. Pola Sunda di bagian barat tampak
Cekungan Asri, Cekungan Sunda dan Cekungan Arjuna. Pola Sunda pada
diketahui memiliki umur mulai dari Eosen Akhir hingga Oligosen Akhir.
3. Pola struktur ketiga atau disebut juga Pola Jawa mempunyai arah struktur
bagian barat diwakili oleh sesar-sesar naik seperti Sesar Baribis dan sesar-
sesar dalam Cekungan Bogor. Di bagian tengah tampak pola dari sesar-sesar
yang terdapat pada zona Serayu Utara dan Serayu Selatan. Di bagian timur
ditunjukkan oleh arah Sesar Pegunungan Kendeng yang berupa sesar naik.
Data seismik menunjukkan bahwa pola sesar naik dengan arah barat-timur
12
Gambar 2.4. Pola Struktur Pulau Jawa dan sekitarnya
merupakan pola yang paling tua. Sesar-sesar yang termasuk dalam pola ini
berumur Kapur sampai Paleosen dan tersebar dalam jalur tinggian Karimun Jawa
menerus melalui Karang Sambung hingga di daerah Cimandiri Jawa Barat. Sesar
Pola Sunda lebih muda dari Pola Meratus, data seismik menunjukkan Pola
Sunda telah mengaktifkan kembali sesar-sesar yang berpola Meratus pada Eosen
Akhir hingga Oligosen Akhir. Pola Jawa menunjukkan pola termuda dan
mengaktifkan kembali seluruh pola yang telah ada sebelumnya (Pulunggono dan
membentuk sesar normal dan strike-slip, sedangkan pada Trend Jawa umumnya
13
Jawa Tengah, yang memiliki morfologi dan bentuk pulau yang cukup unik
dan berbeda bila dibandingkan dengan Jawa Barat dan Jawa Timur. Bentuk dan
morfologi dari Jawa Tengah yang unik dan berbeda ini disebabkan oleh fenomena
Pada bagian utara dan selatan dari Jawa Tengah, bagian ini mengalami
merupakan ekspresi dari gejala tektonik yang berlaku di Pulau Jawa. Gejala
menimbulkan zona sesar anjakan yang berkembang menjadi Zona strike-slip fault
Cilacap.
Dua sesar utama ini di interpretasikan sebagai mega shear akibat gejala
tektonik yang berlangsung pada masa Paleogene, (dapat dilihat pada Gambar 2.5).
baratlaut.
14
Gambar 2.5. Pola Indentasi Struktur Geologi di Jawa Tengah
15
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
penggunaan metode survei dengan metode ex post facto. Metode survei adalah
metode penelitian yang dilakukan pada jumlah besar maupun kecil, tetapi data
yang dipelajari adalah data yang diambil dari sample tersebut, sehingga
variabel. Sedangkan metode ex post facto adalah suatu penelitian yang dilakukan
untuk menyelidiki peristiwa yang terjadi dan kemudian merunut kebelakang untuk
Sedangkan data yang diambil yaitu data dengan jenis kualitatif dan kuantitatif,
yaitu data diambil menggunakan sketsa, gambar, angka, kalimat dan skema.
survei yaitu suatu metode penelitian yang diadakan untuk memperoleh fakta dari
gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan secara faktual di lapangan. Objek
sumberdaya alam.
serta sumberdaya alam yang ada pada daerah penelitian tersebut. Secara rinci
16
1. Geomorfologi: meliputi morfogenetik, morfologi, dan morfometri yang
stratigrafi dengan tatanama tidak resmi yang digunakan untuk pembuatan Peta
Geologi.
3. Fosil: foraminifera planktonik, bentonik serta fosil moluska dan yang lainnya
batuan.
4. Unsur struktur geologi, yang dapat digunakan untuk menentukan jenis serta
c) Kompas geologi, untuk menentukan lokasi singkapan pada peta dasar dan
d) Palu geologi, meliputi palu batuan beku dan palu batuan sedimen untuk
mengambil sampel.
komparator mineral.
17
f) Larutan HCl 0,1 N, digunakan untuk menguji kandungan karbonat contoh
i) Alat tulis (buku catatan lapangan, pensil, pensil warna, busur derajat, karet
e) Oven.
g) Mikroskop binokuler.
i) Kamera.
18
b) Mikroskop polarisasi
dipetakan, yaitu dengan skala 1:12.500. Peta ini dibuat menggunakan perangkat
lunak pada komputer dalam program Map Info yang copy dari peta topografi yang
Studi kepustakaan yang dikaji dari peneliti terdahulu ataupun sumber yang
penelitian yang lebih rinci lagi, yang nantinya juga akan digunakan sebagai dasar
penelitian.
19
aksesibilitas jalan menuju lokasi pengamatan. Lintasan wajib yang harus di lalui
adalah lintasan sungai dan jalan, karena singkapan banyak tersingkap di sungai
dan jalan.
3. Pengambilan sampel.
selanjutnya jika pada tahap ini ditemukan beberapa kekurangan data penelitian,
20
batuan sedimen daerah penelitian dilakukan dengan menggunakan Biozonasi
Blow (1969).
dengan mengambil sampel pada bagian atas, tengah dan bawah pada satu satuan
batuan di lapangan. Dan untuk studi khusus, sampel batuan diambil pada batuan
fresh dalam jarak sekitar 7 m. Contoh batuan (sample), yang diperoleh dari
bertujuan untuk penentuan umur relatif batuan dan sebagai indikator dalam
(minimal 6 jam).
Cuci Sampel yang telah menjadi butiran dengan detergen selama 24 jam
pisahkan untuk tiap butiran (60 mm, 100 mm dan 140 mm) lalu
21
Masukkan wash residu ke dalam oven bertemperatur 100C-120C
Wash residu siap untuk dianalisis dibawah mikroskop, pisahkan tiap fosil
literatur.
polarisasi untuk mengetahui komposisi dan jenis mineral dari setiap batuan
batuan secara mikroskopis dari sayatan tipis. Analisis data petrografi dilakukan
bentuk butir, besar butir, matriks, semen, jenis mineral dan kandungan fosilnya.
Data petrografi ini diambil dari data batuan pada tempat tertentu yang mewakili
batuan tertentu yang kemudian dijadikan sayatan tipis sehingga lebih mudah
diamati di bawah mikroskop. Hal ini dilakukan untuk mendukung hasil analisis
data-data sebelumnya.
lapangan dan tiap litologi batuan diambil 2 sampel untuk dianalisis untuk
22
selanjutnya di analisis menggunakan mikroskup polarisasi. Cara analisis sayatan
batuan :
batuan.
presentase relatif dari kandungan kuarsa, feldspar, dan lithic fragmen dengan
bantuan mikroskop. Gambaran tiga dimensi dari diagram klasifikasi adalah untuk
batuan ini dinamakan wacke, dan apabila kandungan matriksnya lebih dari 75%
dinamakan mudrock.
23
(a) (b)
Gambar 3.1. (a) Klasifikasi batupasir dan batulempung menurut Pettijohn (1975, dalam
Sedimentology and Stratigraphy, 1999), (b) Klasifikasi batuan beku vulkanik menurut Streckeisen
(1978).
dan diolah lebih lanjut dalam pekerjaan studio yang meliputi hal-hal sebagai
berikut:
Analisis foto udara dan citra satelit dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui data pola kelurusan dan juga bentuk morfologi daerah penelitian,
24
1). Morfografi
berupa pengenalan bentuk lahan, yang tampak dari tampilan kerapatan kontur,
kegiatan tektonik yang ada di daerah penelitian. Pola pengaliran sangat mudah
dikenal dari peta topografi atau foto udara, pola pengaliran berhubungan erat
dengan jenis batuan, struktur geologi, kondisi erosi dan sejarah bentuk bumi.
Howard (1967) dalam Van Zuidam 1985 yang ditunjukkan pada gambar 3.2
dengan penjelasannya pada tabel 3.1, membagi pola pengaliran menjadi dua yaitu,
pola pengaliran dasar dan pola pengaliran modifikasi. Pola dasar merupakan pola
yang terbaca dan dapat dipisahkan dengan pola lain. Pola pengaliran modifikasi
Gambar 3.2.
25
Tabel 3.1.Klasifikasi Tipe pola pengaliran dasar (Howard, 1967 dalam Van
Pola Karakteristik
Pengaliran
subsekuen.
26
Daerah vulkanik, kerucut (kubah) intrusi dan sisa-sisa erosi.
lelehan.
2). Morfogenetik
yaitu proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen merupakan proses yang
dipengaruhi oleh iklim dikenal sebagai proses fisika dan proses kimia, sedangkan
proses yang dipengaruhi oleh biologi biasanya terjadi akibat dari lebatnya
dari dalam kerak bumi, sehingga merubah bentuk permukaan bumi. Proses dari
dalam kerak bumi tersebut antara lain kegiatan tektonik yang menghasilkan
bedakan menjadi bentuk asal struktural, vulkanik, fluvial, marine, karst, aeolian,
dan denudasi.
27
3) Pembagian Klasifikasi Geomorfologi (BMB)
dataran pantai, delta dan laut, gurun dan glasial) yang kemudian dibagi ke
dalam satuan bentuk muka bumi lebih detil yang dipengaruhi oleh proses-
proses eksogen.
adalah lembah dan dataran yang bisa dibentuk baik oleh proses endogen
c. Pembagian lembah dan bukit adalah batas atau titik belok dari bentuk
dan/atau alluvial.
d. Penamaan satuan paling sedikit mengikuti prinsip tiga kata, atau paling
28
Kaldera Maninjau, Perbukitan Menara Karst Maros, Dataran Teras
Tabel 3.2. Klasifikasi Bentuk Muka Bumi Pegunungan Lipatan (Brahmantyo dan Bandono, 2006)
satuan batuan didasarkan pada satuan litostratigrafi tidak resmi, yaitu penamaan
satuan batuan didasarkan pada ciri fisik batuan yang dapat diamati dilapangan,
meliputi jenis batuan, keseragaman gejala litologi dan posisi stratigrafinya (Sandi
1. Batas satuan litostratigrafi adalah sentuhan antara dua satuan yang berlainan
29
2. Batas satuan ditempatkan pada bidang yang nyata perubahan litologinya
atau dalam hal perubahan tersebut tidak nyata, batasnya merupakan bidang
stratigrafi dapat bersifat tajam ataupun berangsur. Ada tiga macam sentuh
stratigrafi, yaitu :
pengangkatan.
atas jenis litologi yang paling dominan dalam satuan tersebut. Pengamatan
warna batuan baik warna segar maupun warna lapuknya, ukuran butir,
30
bentuk butir, kemas, pemilahan, kekerasan, mineral tambahan, struktur
Pendahuluan terutama tentang pola struktur daerah penelitian. Pola struktur yang
didapatkan dari analisis ini dibantu dengan peta geologi regional dipakai sebagai
(bidang perlapisan) maupun struktur sekunder (kekar dan sesar) yang diperoleh
Gambar 3.3. Pemodelan Sesar berdasarkan Moody dan Hill (1959, dalam
Sukendar Asikin,1977)
Secara teoritis, hasil interpretasi struktur dapat pula didukung pula oleh
ciri-ciri dari penyesaran mendatar yang besar dapat membentuk struktur penyerta
dan juga teori permodelan sesar berdasarkan Moody dan Hill (1959, dalam
31
Disamping itu, kedudukan atau letak regional daerah penelitian yang
berada di Pulau Jawa juga dapat didukung dengan menggunakan teori simple
shear menurut Harding (1973) yang dapat dilihat pada gambar 3.4.
Lipatan merencong (en chelon folds) kedudukan poros lipatan sejajar sumbu
elipsoid tegasan.
Sesar turun atau kekar tarikan kedudukan jurus tegak lurus sumbu panjang
elipsoid tegasan.
lapangan juga didukung dari teori klasifikasi sesar menurut Rickard (1972,
32
Gambar 3.5 Klasifikasi sesar menurut Rickard, 1972
geologi yang disusun secara berurutan berdasarkan kejadiannya, dimulai dari yang
pertama terbentuk hingga yang terakhir ataupun yang sekarang tengah terjadi. Hal
tersebut didapat dari gabungan dari umur batuan, struktur yang telah dan sedang
penelitian.
gambar 3.5) selanjutnya adalah penyusunan laporan yang dilakukan dalam dua
1. Pembuatan laporan yang meliputi bab satu, dua, dan tiga, dilakukan
2. Pembuatan laporan yang meliputi bab empat, lima dan seterusnya, berupa
33
geomorfologi, dan peta geologi, kolom stratigrafi serta peta potensi
pekerjaan lapangan.
Geologi Regional
Sejarah Geologi
Laporan TA
34
BAB IV
4.1. Geomorfologi
bumi yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses eksogen dan endogen yang
membentuk relief muka bumi menjadi kondisi saat ini. Proses endogen bersifat
konstruktif yang berupa struktur geologi yang pada umumnya terjadi di bawah
proses eksogen bersifat destruktif yang berupa pengerosian serta pelapukan yang
proses-proses geologi yang terjadi pada daerah penelitian. Data tersebut diolah
lapangan. Hasil yang didapatkan antara lain berupa data pola punggungan dan
lembah, jurus dan kemiringan lapisan, sumbu lipatan dan arah penunjamannya,
serta gejala sesar (Lampiran peta geologi). Selain itu, analisis yang dilakukan juga
berlangsung seperti denudasi, erosi dan pengendapan, serta sejauh mana proses-
seperti sekarang.
pengamatan peta kontur, citra Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) dan
35
pengamatan langsung di lapangan adalah berupa bentangan alam bergelombang,
yang terdiri dari punggungan dan lembah. Titik tertinggi yaitu 887,5 meter
diatas permukaan laut (mdpl) berada di bagian atas daerah penelitian (Meliputi
Desa Citimbang dan Terlaya), sedangkan titik terendah yaitu 100 meter diatas
permukaan laut (mdpl) berada di bagian utara dan tengah daerah penelitian (Desa
besar dikontrol oleh struktur geologi. Selain itu, litologi penyusun juga berperan,
khususnya di bagian utara berupa satuan breksi yang cenderung lebih bersifat
resisten terhadap proses erosional. Pada daerah Ciomas dan Jipang ditemukan
gejala struktur geologi berupa rekahan (shear fracture dan tension fracture) dan
bagian selatan merupakan hasil manifestasi dari struktur sesar. Pada bentang alam
perbukitan yang disusun oleh batupasir, terlihat adanya air terjun yang
batuan lainnya serta dikontrol oleh struktur yang memungkinkan air mampu
Bentang alam dataran rendah merupakan sebagai zona lemah yang disusun
oleh litologi berupa batuan relatif lunak dan tidak resisten terhadap pelapukan
serta erosi, seperti batulempung. Selain itu lembah di bagian utara terdapat
36
Tata guna lahan daerah penelitian adalah sebagai areal perkebunan,
dan galian C berada di bagian selatan daerah penelitian memanjang kearah barat
(Gambar 4.1) dengan lembah sungai yang relatif sempit dan erosi yang dominan
beberapa tempat.
Selain itu terdapat sungai muda menuju dewasa yang terdapat di sungai
Ciraja di bagian timur daerah penelitian (Gambar 4.1). Sungai yang terbentuk
37
Gambar 4.1 Sungai berbentuk U (atas) dan Sungai berbentuk V (bawah)
homogen dan tidak terkontrol oleh struktur, umumnya pada batuan sedimen
yang berada pada bagian tengah dan selatan peta. Tipe genetik sungai yang
subsekuen di bagian tengah dan sungai obsekuen di bagian utara dan barat sungai
Ciraja (Howard, 1967). Hal ini dipengaruhi dengan arah dip di daerah penelitian
yang mengarah dominan ke utara pada bagian utara dan ke arah selatan pada
bagian selatan.
38
Gambar 4.2 Tipe genetik sungai di daerah penelitian
gejala struktur yang terdapat pada lokasi penelitian. Pola tersebut mengikuti
pola Meratus, yang menurut dari data stratigrafi dan tektonik diketahui bahwa
pola Meratus adalah pola yang paling tua. Sesar-sesar yang termasuk dalam
pola ini berumur Kapur sampai Paleosen, terdapat pula pola kelurusan yang
Sumatera yang terbentuk bersamaan dengan pola meratus, dan arah barat-
timur yang mengikuti pola Jawa yang terbentuk pada Miosen Awal Akhir,
diasumsikan bahwa arah ini merupakan struktur muda yang terbentuk. Pola
39
Jawa yang dominan ini merupakan struktur tua yang ter-aktivasi kembali
sehingga struktur tua ini juga terdapat pada batuan yang umurnya lebih muda
bawah sistem busur kepulauan Sumatra dan Jawa. Daerah ini juga termasuk
ke dalam satuan tektonik cekungan Jawa utara, yang terdiri dari cekungan
Jawa baratlaut (NW Java Basin) dan cekungan Jawa timurlaut (NE Java
Basin).
Brahmantyo dan Bandono (1999). Klasifikasi ini didasarkan oleh tipe genetik atau
proses, faktor penyebab bentuk morfologi dan lokasi geografis dari satuan
40
Perbukitan Homoklin Citimbang, Satuan Perbukitan Antiklin Tambakserang dan
Satuan ini mencakup sekitar 20% daerah penelitian yang terdapat di bagian
utara daerah penelitian. Pada peta geomorfologi ditunjukan dengan warna merah.
Satuan ini merupakan satuan geomorfologi yang berada dibagian atas. Berada
pada elevasi antara 275 - 887,5 meter diatas permukaan laut (mdpl) dengan
kemiringan lereng 65% dan klasifikasi kelerangan menurut Van Zuidam (1985)
masuk ke dalam kelas lereng sangat curam. Merupakan daerah sungai muda
Pola aliran sungai yang terdapat pada satuan ini yaitu dendritik. Terbentuk pada
lapisan agak tegak sedimen-sedimen satu jenis, atau batuan yang memiliki
resistensi yang sama. Bentuknya seperti cabang pohon. Litologi penyusun pada
Selain itu satuan ini juga digunakan oleh penduduk setempat untuk
41
Gambar 4.4 Satuan Perbukitan Homoklin Citimbang
Satuan ini mencakup sebagian besar daerah penelitian yaitu sebesar 44%
yang menempati bagian tengah dan bagian selatan daerah penelitian. Pada peta
kemiringan lereng yang curam. Terdiri dari sebagian besar daerah perbukitan
sedang dengan ketinggian antara 75 462,5 meter di atas permukaan laut (mdpl).
menurut Van Zuidam (1985) berada pada kelas lereng sangat curam. (Gambar 4.5)
42
Pada umumnya satuan ini berada pada daerah yang memiliki kontrol
struktur sesar. Atas dasar penjelasan tersebut, satuan ini dinamakan dengan Satuan
struktur berupa antiklin yang terjadi di bagian selatan peta. Hal ini dibuktikan
bagian utara dan selatan. Serta terdapat sesar mendatar yang berarah relatif barat-
yang berbentuk daerah dataran perbukitan, tersusun dari batuan sedimen yang
membentuk struktur sesar dan antiklin berupa perbukitan. Sungai yang terdapat di
daerah tersebut merupakan sungai subsekuen di mana aliran sungai searah dengan
43
Gambar 4.5 Satuan Perbukitan Antiklin Tambakserang
Satuan ini mencakup sebagian besar daerah penelitian yaitu sebesar 36%
luas daerah penelitian. Pada peta geomorfologi di atas ditunjukkan dengan warna
kuning yang terletak di bagian utara dan mengerucut ke bagian selatan (Gambar
4.6). Terdiri dari sebagian besar perbukitan rendah dengan ketinggian antara 50 -
250 meter diatas permukaan laut (mdpl). Kemiringan lereng 21 % dan klasifikasi
bergelombang-berbukit.
penamaan satuan ini adalah Satuan Lembah Homoklin. Satuan ini mencakup
aliran sungai yang terdapat pada satuan ini yaitu dendritik. Terbentuk pada lapisan
44
agak tegak sedimen-sedimen satu jenis atau batuan yang memiliki resistensi yang
sama. Bentuknya seperti cabang pohon. Sedangkan tipe genetik sungai yang
mengalir pada satuan ini adalah subsekuen dan konsekuen. Sungai-sungai pada
satuan ini umumnya pada tahapan dewasa dengan litologi batuan penyusun adalah
Erosi yang paling dominan menempati hampir seluruh dari satuan ini
karena satuan ini dilewati sungai utama (Sungai Ciraja). Sungai disatuan ini
secara umum merupakan sungai yang memiliki erosi lateral dengan tahapan
geomorfik dewasa dengan bentuk lembah berbentuk U serta arus yang cukup
tenang.
Satuan Lembah Homoklin Jipang ini memiliki pola kontur agak rapat di
bagian selatan dan merenggang makin ke arah utara. Pada umumnya satuan ini
45
digunakan sebagai lahan perkebunan, areal persawahan, tegalan/ladang, jalan,
pada satuan litostratigrafi tidak resmi. Dalam hal ini, penamaan satuan batuan
didasarkan pada ciri fisik batuan yang dapat diamati di lapangan yang meliputi
Stratigrafi Indonesia, 1996; pasal 15). Berdasarkan hal tersebut, penulis membagi
penelitian, yaitu Formasi Pemali yang terdiri dari batulempung dengan sisipan
perselingan batulempung, Formasi Halang yang terdiri dari endapan khas turbidit
Kumbang yang terdiri dari breksi vulkanik, serta Satuan Intrusi Andesit. Semua
46
Gambar 4.7 Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian
47
penampang didapatkan ketebalan +792 m. Keadaan litologi yang tidak tetap
menghadap ke utara dan selatan menghadap ke selatan daerah penelitian. Hal ini
batuan yang segar karena lebih resisten terhadap pelapukan yang terjadi sehingga
pemilahan baik, sortasi baik, porositas baik, kompak-lapuk, besar butir pasir
48
halus-pasir kasar. Ketebalan batupasir mencapai 60 - 600 cm. Batulempung pada
satuan ini memiliki ciri makroskopis abu-abu terang, karbonatan, klastik, semen
besar butir lempung. Ketebalan lapisan pada batulempung antara 20 100 cm.
(a) (b)
Gambar 4.9 (a) Kenampakan batupasir (b) Kenampakan batulempung secara makroskopis pada
satuan batupasir sebagai sisipan
(61%) yang terdiri dari Felspar (22%), tidak berwarna/transparan, ukuran 0,1-2,44
mm, agak lapuk, subhedral-anhedral, zoning dan sebagian telah terubah menjadi
halus, bentuk membundar tanggung, tidak ada belahan dan kembaran, hadir
subhedral, piroksen (3%), warna hijau terang, ukuran 0,2-2,85 mm, agak lapuk-
mika dan mineral opak, Fragmen batuan (20%), terang kecoklatan, agak lapuk,
teroksidasi, ukuran 0,3-2,38 mm, terdiri dari sisa fragmen batuan beku andesitik
dan basaltik, sebagian hadir berupa fragmen batuan sedimen batupasir dan
49
0,05-0,5 mm, bentuk subhedral-anhedral, hadir mengubah mineral mafic. Matriks
sebagian telah teroksidasi, hadir berupa mineral lempung. Semen (5%), berwarna
coklat kekuningan, berbutir sangat halus, hadir mengikat antar butiran dan
fragmen berupa oksida besi, Fragmen Fosil (6%), berbutir halus, interfernsi
kuning terang, terdiri dari sisa cangkang fragmen foraminifra planktonik dan
bentonik, sebagian cangkang sudah tidak utuh lagi. Dari komposisi terebut maka
petrografi).
butiran (86%) yang terdiri dari Felspar (46%), tidak berwarna/transparan, ukuran
0,1-2,52 mm, agak lapuk, subhedral-anhedral, zoning dan sebagian telah terubah
berukuran halus, bentuk membundar tanggung, tidak ada belahan dan kembaran,
anhedral-subhedral, piroksen (5%), warna hijau terang, ukuran 0,2-2,5 mm, agak
50
mineral mika dan mineral opak, Fragmen batuan (10%), terang kecoklatan, agak
lapuk, teroksidasi, ukuran 0,3-0,38 mm, terdiri dari sisa fragmen batuan beku
andesitik basaltic dan rhyolit, sebagian terdiri dari fragmen batuan sedimen
mineral mafic. Matriks (10%), warna coklat kekuningan, fibrous, isotrop, terdapat
dan sisa lumpur karbonat. Semen (4%), berwarna coklat kekuningan, berbutir
sangat halus, hadir mengikat antar butiran dan fragmen berupa mikrospary kalsit,
ukuran 0,3-0,38 mm, terdiri dari sisa fragmen batuan beku andesitic, basaltic dan
rhyolit, sebagian terdiri dari fragmen batuan sedimen hadir berupa batupasir dan
matriks sebesar 68%, hadir berupa mineral lempung dan sedikit sisa lumpur, maka
51
disebut mudrock (Pettijohn 1975 dalam Sedimentology and Stratigraphy, 1999)
(lampiran petrografi).
dengan kisaran umur N17 yang didapat dari analisis fosil mikropaleontologi yang
ada di sampel batuan (Lampiran fosil). Dan dari hasil pengamatan foraminifera
convolute lamination, flute cast, dan sebagainya. Formasi ini memiliki umur
Hal ini bisa diamati dengan jelas, misalnya dengan melihat banyaknya struktur
52
perselingan Batupasir-Batulempung yang monoton memperlihatkan sequen
Bouma (1962), yang secara teoritis sudah diterima secara luas sebagai
Sequen Bouma pada satuan ini dilakukan oleh Haryono (1981), yang
menyimpulkan bahwa satuan ini secara spesifik diendapkan di kipas tengah (mid
sayatan petrografi dan keberadaan fosil yang terdapat pada satuan batupasir ini
batuan yang paling tua. Hal ini didukung dengan bukti fosil foraminifera dan dari
hasil analisis fosil foraminifera planktonik yang terdapat di batuan tersebut yang
menunjukan bahwa satuan ini memiliki umur paling tua dan dapat di lihat dari
arah kemiringan pada satuan tersebut pada sayatan peta geologi (lampiran peta).
ada di daerah penelitian. Hal tersebut didukung oleh data kemiringan batuan yang
penelitian. Satuan ini memiliki luasan 18% daerah penelitian dan memiliki
ketebalan +100 m. Batuan yang tersingkap kebanyakan lapuk dan tererosi akibat
dari batuan dasar berupa batulempung yang kurang resisten terhadap pelapukan.
53
Gambar 4.13 Singkapan batulempung pada satuan batulempung
menghadap ke utara.
kemas tertutup, klastik, semen karbonatan, sortasi baik, porositas baik, kompak-
lapuk, besar butir pasir halus-pasir kasar. Ketebalan batupasir mencapai 5-20 cm.
54
(a) (b)
Gambar 4.14 (a) Kenampakan batulempung dengan struktur Load cast (b) Kenampakan
tanggung, tidak ada belahan dan kembar, Feldspar (7%) tidak berwarna/transparan
tertanam dalam matriks. Fragmen fosil (6%) berbutir halus, relief bergelombang,
pleokroisme rendah, terdiri dari sisa cangkang fragmen foraminifera bentonik dan
abu-abu pucat, interferensi kuning terang, relief rendah, terdiri dari mineral
lempung dan karbonat tersebar dalam batuan, yang sebagian telah mengalami
antar butiran dan fragmen terdiri dari sisa lumpur dan oksida besi. Dari komposisi
Stratigraphy, 1999).
55
Gambar 4.15 Sayatan petrografi batulempung
(13%) yang terdiri dari kuarsa monokristalin berukuran pasir sangat halus (0,125
mm), tidak berwarna (colorless), membundar tanggung, tidak ada belahan dan
hadir mengubah felspar dan sebagian hasil rekristalisasi. mineral tambahan berupa
teroksidasi, hadir sebagai mikrokristalin kalsit dan sisa lumpur karbonat. Semen
antar butiran dan fragmen berupa mikrospary kalsit. Felspar (46%), tidak
zoning, terubah menjadi kalsit. maka disebut felspatik arenite (Pettijohn 1975
56
Gambar 4.16 Sayatan petrografi batupasir sebagai sisipan
dengan kisaran umur N17-N18 yang didapat dari analisis fosil mikropaleontologi
yang ada di sampel batuan. Dari analisis sampel batuan secara detail dengan
interval jarak 7 meter dan dilakukan sepanjang 500 meter yang mewakili satuan
batuan. Dan dari hasil pengamatan foraminifera bentonik di sampel batuan yang
tersebut. Hal ini bisa diamati dengan jelas, misalnya, dengan melihat adanya
tenang dan monoton yang secara teoritis sudah diterima secara luas sebagai
Sequen Bouma pada satuan ini dilakukan oleh Haryono (1981), yang
57
menyimpulkan bahwa satuan ini secara spesifik diendapkan di kipas luar (lower
Formasi Pemali terdiri dari serpih, napal, dan batupasir gampingan. napal
dijumpai lapisan tipis Kalsit yang tegak lurus dengan kemiringan lapisan. Banyak
sayatan petrografi dan keberadaan fosil yang terdapat pada satuan batulempung
ini dapat disimpulkan bahwa satuan ini masih termasuk ke dalam Formasi Pemali,
tapi Formasi Pemali bagian atas. Hal yang menyebabkan umur Formasi Pemali ini
menjadi lebih muda dari umur Formasi Pemali menurut regional adalah
disebabkan karena tercampurnya material yang lebih muda yaitu material yang
dalam Formasi Pemali yang terangkat akibat proses pengaruh struktur berupa
sesar naik.
batuan yang lebih muda dari satuan batupasir dan terendapkan secara selaras
58
diatas satuan batupasir. Hal ini didukung dengan bukti kemiringan lapisan dan
merata memanjang dari arah barat ke timur dan terletak di bagian utara daerah
penelitian.
pemilahan buruk, porositas dan permeabilitas buruk, fragmen terdiri dari andesit
dan basal, matriks pasir tufaan dan semen silika. Breksi ini merupakan breksi
polimik (memiliki lebih dari satu jenis fragmen batuan). Satuan ini pada peta
59
Gambar 4.17 Singkapan Breksi
primernya terdiri dari plagioklas (33%), piroksen (17%), dan massa gelas (40%).
Sementara itu, mineralogi sekundernya ditempati oleh mineral opak (3%) dan
mineral lempung (4%) yang hadir mengisi bagian tepi dari rongga (3%) didalam
sayatan. Merujuk pada klasifikasi batuan beku Streckeisen (1967), maka sayatan
60
Gambar 4.19. Sayatan petrografi matriks breksi
mineral angular dengan ukuran 0,3-1.0 mm. fragmennya terdiri dari litik
andesit (38%), plagioklas (7%), dan piroksen (3%). Matriksnya berupa tuff
menunjukkan ciri litologi dari satuan ini dapat dijumpai di sekitar Desa Citimbang
dan Terlaya. Pada satuan ini juga terdapat breksi dengan massa dasar basalt dan
struktur vesikuler.
permeabilitas buruk, fragmen terdiri dari andesit dan basal, matrik pasir tufaan
61
(a) (b)
Gambar 4.20 (a) Kenampakan singkapan megaskopis breksi (b) Kenampakan makroskopis breksi
umur satuan ini mengacu pada peneliti terdahulu. Karena tidak didapatkan
maka Satuan Breksi Vulkanik ini dapat disetarakan dengan breksi Formasi
pejal dan tidak berlapis, termasuk beberapa aliran lava dan retas yang bersusunan
sama; tufa berwarna abu-abu dan batupasir tufaan mengandung konglomerat dan
sisipan lapisan tipis magnetit. Breksi yang mengalami propilitisasi (Tpkp) terdapat
sayatan petrografi dan penentuan umur satuan ini mengacu pada peneliti terdahulu
maka Satuan Breksi vulkanik ini dapat disetarakan dengan Breksi Formasi
62
4.2.3.4 Hubungan Stratigrafi
yang terendapkan secara selaras di atas satuan batulempung. Hal ini didukung
daerah penelitian. Satuan ini hadir menerobos satuan batupasir yang terbentuk
Singkapan yang menunjukkan karakteristik satuan ini dapat diamati secara jelas di
63
Gambar 4.22 Kenampakan singkapan megaskiopis Intrusi Andesit
Andesit di goa Kurawa, Desa Pangebatan ini, dapat dideskripsi bahwa sayatan
Mineralogi primer yang dijumpai pada sayatan berupa plagioklas seri oliglokas
(33%), piroksen (2%), dan massa gelas (53%). Mineral sekundernya ditempati
oleh mineral opak (2%), serta mineral lempung (2%). Berdasarkan klasifikasi
64
4.2.4.2 Umur Batuan dan Lingkungan Pengendapan
aktivitas vulkanisme pada Pliosen Akhir berupa Intrusi Andesit (Asikin dkk,
1992).
lapisan, shear fracture, kekar gerus, dan offset. Data struktur yang lain yang sangat
menunjang diperoleh dari peta kontur dan citra SRTM yang memberikan
struktur diambil dari nama sungai atau nama desa tempat didapatkannya atau
Hasil analisis kelurusan lereng dari peta citra SRTM menunjukan dua arah
umum yang dominan pada daerah penelitian yaitu barat timur dan timurlaut
kekar yang berhubungan dengan struktur sesar naik dan sesar geser. Arah umum
berhubungan dengan struktur sesar geser yang terjadi di daerah penelitian serta
Struktur geologi yang terdapat pada daerah penelitian berupa lipatan dan
sesar. Struktur lipatan yang terdiri dari antiklin, sedangkan struktur sesar terdiri
65
dari sesar geser dan sesar naik. Struktur sesar diamati di lapangan dengan gejala-
gejala seperti perbelokan sungai, sungai yang memotong bukit, offset, dan kekar
gerus. Analisa kinematika dilakukan untuk mengetahui pergerakan dari sesar yang
Sungai Ciraja dibagian selatan daerah penelitian. Hal tersebut dapat diindikasikan
dengan kemiringan lapisan yang saling membelakangi pada bagian utara dan
selatan sungai. Dari analisis penampang dapat diketahui bahwa struktur lipatan ini
berbentuk antiklin dan berarah barat-timur. Gaya utama yang mengontrol struktur
dengan adanya tanda-tanda struktur seperti Shear Fracture dan offset perlapisan di
zona sesar. Dari hasil pengukuran menggunakan stereonet yang diambil dari data
breksiasi dan shear fracture (lampiran) di daerah penelitian. Dari analisis tersebut
dapat diketahui arah sesar N22E dengan bidang sesar 60 dan besar pitch 7.
Merujuk pada klasifikasi sesar yang dibuat oleh Rickard (1972), maka sesar
66
Gambar 4.24 Kenampakan rekahan-rekahan (shear fracture) dan pengisian (tension) di daerah
(SW-NE) dengan arah breksiasi sebesar N200E. Sesar ini melewati anak sungai
Ciraja yang berada di Desa Jipang, Bangbayang, dan menerus ke barat sampai
Terlaya. Berdasarkan hasil analisis data shear fracture pada singkapan batupasir
di sungai Ciraja (Gambar 4.17), maka didapatkan kedudukan bidang sesar sebesar
N800E/660 dengan nilai pitch 400, dan net-slip 220, N1020E (Lampiran C).
67
Merujuk pada klasifikasi sesar yang dibuat oleh Rickard (1972), maka sesar
kontak antara Satuan Batupasir dan Batulempung yang menerus dari timur sampai
ke barat. Sesar ini diperkirakan terbentuk pada kala Miosen Akhir setelah kedua
satuan batuan (Satuan Batupasir dan Satuan Batulempung) diendapkan. Sesar naik
ini juga yang menjadi penyebab batulempung naik dan terendapkan secara selaras
68
4.3.4 Mekanisme Pembentukan Struktur Geologi
Struktur geologi yang terbentuk di daerah penelitian berupa sesar naik dan
pola struktur dengan arah tegasan yang membentuknya, yaitu dengan tiga arah
sumbu utama. Jika material yang terpengaruh oleh sumbu-sumbu tersebut bisa
bertahan dan reaksinya melewati batas plastisitas material tersebut, maka gaya-
gaya utama yang akan bekerja pada bidang horizontal (1 dan 3) akan
membentuk sesar mendatar. Sedangkan jika gaya-gaya utama bekerja pada bidang
vertikal (1 dan 3), maka yang terbentuk adalah sesar normal atau sesar naik.
model yang memperlihatkan hubungan antara gaya kompresi maksimum dan jenis
struktur geologi yang akan dihasilkannya (Gambar 4.18). Arah tegasan gaya
arah datangnya gaya kompresi utama berhadapan dengan sudut lancip yang
69
Gambar 4.28 Hubungan antara jenis sesar dan stress yang bekerja di dalamnya berdasarkan
klasifikasi Anderson (1951, dalam Sapiie dan Harsolumakso, 2008)
Dari hasil analisis data shear fracture di lokasi penelitian yang disesuaikan
dengan model Anderson (1951, dalam Sapiie dan Harsolumakso, 2008) di atas,
maka penulis dapat memprediksi bahwa arah gaya kompresi (1) yang bekerja di
dapat dipisahkan dengan aktivitas tektonik dan magmatisme pada Miosen Akhir
sampai Pliosen Awal (Asikin dkk., 1992) yang diakibatkan oleh adanya subduksi
Asia Tenggara. Apabila gaya yang bekerja tersebut melewati batas plastisitas
batuan, maka akan terbentuk struktur-struktur berupa sesar, baik sesar normal,
sesar naik, maupun sesar mendatar. Pada daerah Tambakserang dan sekitarnya,
struktur geologi yang dijumpai berupa sesar naik menganan berarah relatif barat -
timur (W-E) dan sesar geser kiri berarah baratlaut - tenggara (NW-SE).
70
Sesar Naik Menganan Jipang terbentuk pertama kali dengan arah relatif
barat - timur (W-E) yang kemudian dipotong oleh Sesar Geser Kiri Bantarkawung
dengan arah relatif baratlaut - tenggara (NW-SE). Kedua sesar yang terbentuk di
daerah Tambakserang dan sekitarnya terbentuk pada fase tektonik yang sama
sebagai sebuah kompensasi dari gaya utama yang berarah relatif utara - selatan
sehingga pembentukan tanah yang tidak kompak sangat tebal dan di beberapa
tempat terdapat lereng yang memilik kecuraman sangat curam. Hal ini dapat
memicu terjadi longsor, di beberapa tempat sudah terjadi lonsor di bagian selatan
dan tengah dari lokasi penelitian tepatnya di Desa Pangebatan dan Desa Ciomas.
Dalam hal ini terjadi karena kemiringan lereng yang curam dan komposisi dari
lereng tersebut berupa tanah yang tebal karena bagian atasnya dimanfaatkan
sebagai perkebunan sehingga dengan kondisi seperti itu apabila tanah tersebut
curam dan memiliki kemiringan di atas 500. Hal tersebut diperoleh dari analisis
dengan aktifitas masyarakat sekitar karena dekat dengan jalan umum untuk
perlintasan sehari-hari.
71
minyak yang keluar dari singkapan batuan di daerah tersebut. Hal ini tersebut bisa
terjadi karena:
menentukan Formasi Pemali sebagai batuan induk (Source Rock) yang baik
atau tidak.
Pemali di daerah penelitian didominasi oleh Napal dan Struktur Antiklin pada
Gambar 4.29 Potensi daerah penelitian (a) dan (b) Bencana longsor,
72
BAB V
FORMASI PEMALI
5.1. Pendahuluan
oleh interaksi antara faktor-faktor fisika, kimia dan biologi dimana sedimen
sedimen yang bersangkutan (Reineck and Singh, 1973 dalam Walker dan James,
1992).
mengetahui umur detail dari Formasi tersebut berdasarkan keberadaan fosil yang
ada pada sampel batuan di lapangan. Nama Formasi Pemali mula-mula diusulkan
oleh ter Haar (1935) dengan lokasi tipe di Sungai Pemali yang mengalir ke barat
dan terletak di utara Bumiayu Jawa Tengah (Pada Peta Geologi Lembar Majenang
Lokasi Penelitian berada dari sekitar lokasi tipe Sungai Pemali, mengacu
pada Peta Geologi Lembar Majenang (Kastowo, 1975), di daerah penelitian yaitu
73
Peneliti terdahulu, Lunt (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
umur Formasi Pemali adalah N18-N21 (Miosen Akhir - Piosen Akhir), yang
Miosen Awal. Armandita et al. (2009) yang mendukung pernyataan dari Lunt
(2008) bahwa umur Formasi Pemali yang lebih muda dari sebelumnya dan lebih
muda dari Formasi Halang dipengaruhi oleh struktur regional Sesar Mendatar
Menganan yang berarah NW-SE yang disebut dengan Zona Sesar Pamanukan-
daerah Majenang, zona sesar yang terbentuk duplex yang menyebabkan adanya
kegiatan vulkanisme di Miosen Akhir, dan material piroklastik ini yang menjadi
sumber suplai untuk turbidit Halang pada Akhir Miosen. Pada Mio-pliosen
struktural. Sedimen Pemali diendapkan setelah itu di cekungan yang diapit oleh
Daerah Penelitian
74
Dengan adanya penyempitan dari cekungan secara terus menerus, Formasi
Pemali tua tercampur dengan material yang ada di pinggir cekungan yang jatuh
dan mengendap kembali dengan Formasi Pemali (Lunt et al., 2008), sehingga
Umur Formasi Pemali menjadi lebih muda dari perkiraan umur peneliti terdahulu,
Formasi Pemali ini masih menarik untuk diteliti, karena adanya perdebatan dari
peneliti terdahulu mengenai tatanan stratigrafi dan umur dari unit batuan ini.
Formasi Pemali di daerah penelitian ini juga penting dari segi sistem minyak bumi
diantaranya dengan radioaktif untuk umur absolut suatu batuan dan melalui umur
fosil yang terdapat pada suatu batuan untuk mengetahui umur relatif. Dan yang
akan dibahas di tugas akhir ini adalah mengetahui umur batuan suatu formasi
75
mikropaleontologi sendiri adalah mikrofosil. Mikrofosil adalah fosil yang sifat,
(Jones, 1963).
bentonik pertama mulai hidup sejak Zaman Kambrium sampai saat ini, sedangkan
foraminifera planktonik hidup dari Zaman Jura sampai saat ini. Foraminifera,
yang sangat komplek. Foraminifera dibagi menjadi 12 subordo oleh Loeblich dan
Tappan (1984) dan lebih dari 60,000 spesies telah terindentifikasi hidup selama
Fanerozoikum (Phanerozoic, dari sekitar 542 juta tahun yang lalu sampai
sekarang).
76
foraminifera planktonik sangat cocok untuk penentuan umur suatu batuan
terdiri atas Biozonasi Bolli (1966), Biozonasi Blow (1969), Biozonasi Postuma
(1971), dan Biozonasi Bolli & Saunders (1985). Dalam biozonasi, semua
mengacu pada awal kemunculan dan akhir kemunculan dari spesies fosil.
foraminifera planktonik
77
5.2.2.2 Foraminifera Bentonik
kondidi lingkungan tertentu pula. Oleh karena itu foraminifera bentonik berfungsi
memiliki range kedalaman hidupnya yang dilakukan seperti pada penentuan umur
relatif foraminifera planktonik. Dari kumpulan fosil foram bentonik yang ada di
batuan dapat dicari kedalaman yang sebenarnya. Banyak peneliti yang membahas
78
Tabel 5.2 Klasifikasi lingkungan laut menurut Tipsword et al. (1966)
7. Abyssal >2000 m
survei yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan untuk memperoleh fakta
geologi dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan secara faktual
lingkungan pengendapannya.
79
bentonik yang terdapat dalam batuan serta Pengukuran Penampang Stratigrafi
(Gambar 5.4)
dan lingkungan pengendapan dari tiap sampel dengan mencari umur awal
Tabel 5.3 Korelasi fosil indeks Blow (1969), Postuma (1971) dan Bolli (1966)
80
5.4. Pembahasan
5.4.1. Susunan Batuan
Penyebaran Formasi Pemali memanjang dari timur-barat sepanjang sekitar
daerah penelitian. Sementara bagian atas Formasi Pemali ditindih secara selaras
oleh breksi Formasi Halang (Simanjuntak dan Surono, 1992). Dari peneliti
1. Harr (1935) merinci bahwa Formasi Pemali terdiri dari batulempung yang
biru keabu-abuan.
81
5. Simanjuntak dan Surono (1992) dalam Peta Geologi Lembar Pangandaran
kalkarenit.
sisipan kalkarenit.
batupasir.
sebagai sisipan, warna abu-abu terang, ukuran butir pasir sedang - halus,
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
Gambar 5.4 Kolom Stratigrafi PPS Detail Daerah Penelitian
regional meliputi daerah penelitian dan sekitarnya antara lain tentang umur dari
Formasi Pemali yaitu van Bemmelen (1949), Sujanto dan Roskamil (1975),
95
siakensis, Globoquadrina altispira dan Orbulina universa, yang menunjukan
umur Miosen Tengah. Sumarso dan Suparyono (1974) menemukan fauna, yaitu
dan Puleniatina, yang menunjukan umur N17-N21 atau Miosen Akhir Pliosen
didapat dari sampel batuan daerah penelitian, dinyatakan bahwa Formasi Pemali
memiliki umur relatif antara N17-N18 (Miosen Akhir) yang mengacu pada zonasi
N14-N19. Sedangkan untuk fosil indeks termuda di bagian atas formasi dengan
yang ada di daerah penelitian terbagi menjadi tiga. Diawali dengan zona
96
Spaeroidinella subdehiscens (kode sampel AS 1.45-AS 1.1) dengan adanya
keterdapatan fosil tersebut yang berumur dari N14-N19. Dilanjutkan dengan zona
obliquus (N8-N18) pada kode sampel AS 1.28 dan dilanjutkan dengan zona
Fosil indeks lain yang terdapat di sampel batuan daerah penelitian yaitu
Tabel 5.4. Perbandingan Umur Formasi Pemali Hasil penelitian terdahulu dan penelitian sekarang
97
10 Peneliti 2014 Miosen Akhir N17-N18
menemukan gejala flysch yang merupakan penciri dari arus turbidit dan juga
Sedimen Turbidit, dan menurut Lunt (2008) Formasi Pemali tersusun oleh
model turbidit pada kipas laut dalam (Walker, 1984). Sistem kipas laut dalam
merupakan suatu sistem pengendapan yang berada di zona slope pada kipas laut
dalam yang meliputi feeder chanel, kipas laut dalam bagian atas (upper fan), kipas
laut dalam bagian tengah (middle fan), kipas laut dalam bagian luar (lower fan),
98
Gambar 5.5. Perbandingan model fasies turbidit (Bouma, 1962)
99
Perkiraan lingkungan pengendapan dari endapan ini adalah kipas laut
dalam bagian luar (lower fan). Hal tersebut dikarenakan adanya struktur sedimen
butir lempung. Dominasi tersebut disisipi oleh batupasir yang terdapat pada
beberapa titik yang mewakili endapan arus traksi yang terbentuk saat
penelitian berasal dari material-material yang berada disekitar sungai Ciraja dan
sekitarnya.
Dari hasil foraminifera bentonik yang ada dalam sampel batuan, didapat
menuju zona Neritik Luar. Namun, kembali berubah pada bagian atas formasi
keterdapatannya +75% dari total foraminifera yang ada pada sampel, mendukung
dkk. (1984) yaitu zona bathial. Selain itu, keterdapatan beberapa fosil bentonik
penciri zona slope yang terdapat pada sampel batuan berupa Stilostomella
100
BAB VI
gambaran yang terjadi pada ruang dan waktu. Penentuan ini didasarkan kepada
foraminifera planktonik yang didapat bahwa Satuan Batupasir ini terbentuk pada
terdapat di sampel batuan pada Satuan Batupasir, diperoleh data satuan ini
berkisar antara N17 (Miosen Akhir). Pengendapan terjadi secara fluktuatif yang
mekanisme arus turbidit dan diendapkan pada kipas tengah (mid fan) pada sistem
kipas bawah laut (Submarine fan) karena adanya kenaikan muka air laut dan juga
slope pada kipas bawah laut bergeser menuju ke laut dangkal. Hal ini diakibatkan
101
oleh arus laut yang semakin tenang sehingga sedimen yang diendapkan berubah
menjadi lebih halus, ini dibuktikan dengan adanya struktur sedimen yaitu graded
bedding. Pada satuan setelahnya terdapat struktur sedimen load cast yang menjadi
penciri adanya penurunan cekungan menjadi lebih dalam akibat pembebanan dari
atas. Hal ini mengakibatkan pembentukan satuan ini lebih dangkal dibanding
satuan batulempung yang juga di dukung oleh data analisis foraminifera bentonik.
Dari analisis diperoleh hasil satuan ini diendapkan pada zona Neritik Luar.
Satuan ini terbentuk secara selaras di atas Satuan Batupasir. Hal tersebut
struktur sedimen yang ada di beberapa tempat seperti Parallel Lamination, Cross
bagian luar (lower fan) pada sistem kipas bawah laut (Submarine fan).
Satuan ini terbentuk pada zona Bathial Atas. Hal tersebut dibuktikan
102
6.3. Pembentukan Satuan Breksi
umur satuan ini mengacu pada peneliti terdahulu. Karena tidak didapatkan
maka Satuan Breksi Vulkanik ini dapat disetarakan dengan Breksi Formasi
Kumbang yang berumur Pliosen (Asikin dkk, 1992). Ketebalan breksi vulkanik di
yang tersingkap di daerah penelitian. Satuan ini terletak pada satuan geomorfologi
satuan ini dapat diamati secara jelas di Kali Cacaban, Desa Pangebatan (Gambar
4.22).
lipatan berupa antiklin dan setelah itu terjadi struktur sesar berupa sesar naik serta
sesar geser. Umur struktur geologi didasarkan pada umur satuan batuan yang
paling muda yang terpengaruh oleh struktur geologi yaitu Satuan Batulempung
103
Setelah semua satuan batuan terbentuk, Pada kala Pliosen akhir daerah ini
daerah ini, selain terjadinya pengangkatan, daerah ini juga menghasilkan Struktur
Geologi berupa Struktur Lipatan dan Struktur Sesar. Struktur Lipatan, yaitu
berupa Struktur Lipatan Antiklin yang terjadi pada Satuan Batupasir. Struktur
Sesar yang terdapat pada daerah ini merupakan Sesar Naik Menganan dan Sesar
Geser Kiri.
secara fluktuatif yang dibuktikan dengan adanya variasi batuan berupa dominasi
Pada Miosen Akhir sampai Pliosen Awal kegiatan tektonisme dan vulkanisme
aktif kembali dengan arah gaya kompresi berarah relatif utara selatan yang
lingkungan pengendapan Bathial Atas. Setelah itu terjadi sesar naik yang
104
diakibatkan oleh adanya subduksi di selatan jawa dimana Lempeng Indo-Australia
menyusup ke bawah Lempeng Asia Tenggara. Sesar naik ini terbentuk karena
sebagai kompensasi dari aktivitas tektonisme serta vulkanisme yang cukup stabil
tektonik aktif kembali dan menyebabkan ketiga satuan batuan tersebut mengalami
deformasi berupa sesar. Sesar yang terbentuk di daerah penelitian berupa Sesar
pada batupasir (Asikin dkk., 1992) melalui zona-zona lemah yang dikendalikan
dari sebelumnya, dan lebih muda dari Formasi Halang dipengaruhi oleh struktur
regional Sesar Mendatar Menganan yang berarah NW-SE yang disebut dengan
dikontrol oleh kegiatan vulkanisme di Miosen Akhir dan material piroklastik ini
yang menjadi sumber suplai untuk turbidit halang pada kala Akhir Miosen. Pada
105
tinggian struktural. Sedimen pemali diendapkan setelah itu di cekungan yang di
Pemali tua tercampur dengan material yang ada di pinggir cekungan yang jatuh
megaskopis, sayatan petrografi dan keberadaan fosil yang terdapat pada satuan
Formasi Pemali, tapi Formasi Pemali bagian atas. Hal yang menyebabkan umur
Formasi Pemali ini menjadi lebih muda dari umur Formasi Pemali menurut
regional adalah disebabkan karena tercampurnya material yang lebih muda yaitu
material yang dihasilkan dari proses sedimentasi Formasi Halang yang sedang
berlangsung ikut terendapkan ke dalam Formasi Pemali yang pada saat yang sama
sehingga didapat umur Formasi Pemali menjadi lebih muda dari perkiraan umur
106
BAB VII
KESIMPULAN
A. Satuan Batupasir
B. Satuan Batulempung
C. Satuan Breksi
107
D. Penerobosan Satuan Andesit pada kala Pliosen Akhir
108
DAFTAR PUSTAKA
Armandita. C., Satyana, A.H., dan Mukti, M.M., 2009. Intra-Arc Trans-Tension
Duplex Of Majalengka To Banyumas Area: Profilitik Petroleum Seeps And
Opportunities In West-Central Java Border: Proceedings Indonesian
Petroleum Association, 33rd annual Convention and Exibition, May 2009.
Asikin, S., 1977. Dasar - Dasar Geologi Struktur. Bandung: ITB.
Asikin, S., 1992. Peta Geologi Lembar Banyumas, Skala 1:25.000, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Djuri, M., Samodra, H., Amin, T.C., dan Gafoer, S. 1996. Geologi Lembar
Purwokerto dan Tegal, Jawa, Skala 1:100.000. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Bandung.
Indarto, S., 1982, Geologi Daerah Gumelar, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah,
Thesis Sarjana Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta. tak diterb.
Kastowo dan Suwarna, N., 1996, Peta Geologi Bersistem Indonesia, Lembar
Majenang, Skala 1:100.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
Bandung.
Lunt, P., Burgon, G., Baky, A. 2008, The Pemali Formation of Central Java and
equivalents: Indicators of sedimentation on an active plate margin, Elsevier
Ltd.
Pettijohn, F.J, 1965, Sedimentary Rocks, Harper and Row Publisher Inc., New
York.
Pettijohn, F.J, 1975, Sedimentary Rocks, Third Edition. Harper & Row Publishers,
New York-Evanston-San Fransisco-London.
109
Pulunggono, A., dan Martodjojo, S., 1994.Perubahan Tektonik Paleogen
Neogen Merupakan Peristiwa Tektonik Terpenting di Jawa, Prosiding
Geologi dan Geotektonik Pulau Jawa, Jakarta.
Rickard, J.I. 1972. Geological Structure and Maps. Pergamon Press.
Sapiie, B. dan Harsolumakso, A.H. 2008. Prinsip Dasar Geologi Struktur.
Laboratorium Geodinamik, Program Studi Teknik Geologi ITB, Bandung.
Satyana. A.H., 2006. Pola Indentasi Struktur Geologi di Jawa Tengah. Presentasi
Seminar Nasional Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Simanjuntak, T.O. dan Surono, 1992. Peta Geologi Lembar Pangandaran, Jawa,
Skala 1:25.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung
Streckeisen.1978. Volcanic Igneous Rocks Petrographic. Harper & Row
Publishers, New York-Evanston-San Fransisco-London.
Sujanto, F.X., Roskamil, 1975, The Geology and Hydrocarbon Aspect of South
Central Jawa, Pertamina Unit III, Jakarta
Van Bemmelen, R. W., 1949. The Geology of Indonesia. Vol I-A, The Hague,
Martinus Nijhoff, V, I-A.
Walker, R.G., dan James, 1992. Facies Model, Response to Sea Level Change,
Geological Association of Canada, Kanada.
110