Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN

PRAKTIKUM GEOLOGI MINYAK BUMI


ANALISIS KUALITATIF

Disusun Oleh :
Mei Dey Tiara
21100113120003

LABORATORIUM SEDIMENTOLOGI,
STRATIGRAFI, DAN GEOLOGI MINYAK BUMI
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
MARET 2016

LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Praktikum Geologi Minyak Bumi, Acara : Analisis Kualitatif

yang

disusun oleh praktikan bernama Mei Dey Tiara, disahkan pada:


hari

tanggal

pukul

Sebagai tugas laporan praktikum mata kuliah Geologi Minyak Bumi.

Semarang,

Maret 2016

AsistenAcara,

Praktikan,

Analisis Kualitatif

Mei Dey Tiara


NIM. 21100113120003

PEMBAHASAN
Pada praktikum Geologi Minyak Bumi acara analisis kualitatif pada tanggal
8 Maret 2016 dan 18 Maret 2016 pada pukul 16.00 di ruang GS 302 Gedung
Pertamina Sukowati Teknik Geologi UNDIP, dilaksanakan korelasi batuan
berdasarkan data wireline log dari empat buah sumur yang diambil dari Formasi
Talang Akar Bawah (Low TAF).
1. Korelasi Depth Structure
Korelasi depth structure adalah metode yang digunakan untuk
menghubungkan

atau

men-korelasi-kan

satuan

litologi

yang

sama

berdasarkan posisi kedalaman yang sama. Korelasi depth structure ini


berfungsi untuk mengetahui kondisi litologi bawah permukaan saat ini baik
berupa pola pengendapan maupun struktur geologi. Penarikan garis korelasi
didasarkan pada penentuan jenis batuan yang sama yang ditunjukan oleh pola
gamma ray, NPHI, dan RHOB. Pola gamma ray pada kolom log menunjukan
jenis litologi berdasarkan ukuran butir. Pola NPHI pada kolom log
menunjukan jumlah neutron yang kembali ke alat yang diakibatkan oleh
keberadaan hidrogen dalam batuan, sedangkan pola RHOB menunjukan nilai
densitas atau kerapatan batuan yang menggambarkan porositas batuan.
Berdasarkan hasil korelasi dengan metode depth structure diperoleh
gambaran litologi bawah permukaan dimana terlihat penyebaran lapisan
batuan antara sumur magmadipa 3 dan magmadipa 2 mengalami penebalan
lapisan dan terlihat adanya penyebaran yang membentuk penebalan ke arah
bawah menyerupai cekungan di litologi shale pada kedalaman 6706 m pada
sumur magmadipa 1 dan 6710 ft pada sumur magmadipa 3. Penyebaran
litologi ini disertai beberapa sisipan yang tidak menerus seperti ditunjukan
pada lapisan shale pada kedalaman 6706 ft sumur magmadipa 3 yang
memiliki beberapa sisipan batupasir tipis yang tidak menerus dan juga sisipan
batubara yang menerus pada kedalaman 6640 ft, sedangkan litologi shale
yang sama pada sumur magmadipa 2 pada kedalaman 6710 ft hanya terdapat
sisipan batubara yang berkorelasi dengan batubara pada kedalaman 6640 ft di
sumur magmadipa 3. Penyebaran litologi antara sumur magmadipa 2 dan

magmadipa 1 memiliki perbedaan yang sangat mencolok dimana terjadi


perubahan posisi dengan sudut yang sangat curam. Penyebaran litologi antara
sumur magmadipa 2 dan sumur magmadipa 1 ini hampir sama dengan
penyebaran yang ada di antara sumur magmadipa 2 dan sumur magmadipa 1
yang terdiri atas perlapisan antara batupasir dan shale yang terdapat sisipan
batubara yang tipis dan juga terdapat sisipan-sisipan batupasir dan shale
yang tipis dan tidak menerus. Penyebaran litologi antara sumur magmadipa 1
dan sumur magmadipa 4 memiliki posisi yang hampir sama dengan
penyebaran yang ada di antara sumur 2 dan sumur 1 dimana posisi lapisan
memiliki sudut yang sangat curam namun terdapat penebalan lapisan batuan
seperti yang ditunjukan oleh lapisan batupasir pada kedalaman 6575 ft dan
6925 ft serta lapisan shale pada kedalaman 6740 m. Pada penyebaran litologi
ini terdapat perbedaan pada sisipan batubara dimana pada sumur magmadipa
4 sisipan batubara terletak pada bagian atas sumur yang berbeda dengan
sumur magmadipa 3, 2, dan 1 yang memiliki sisipan batubara pada bagian
tengah sumur.

Gambar 1.1. Korelasi Depth Structure

Perbedaan posisi lapisan batuan yang mencolok ini adanya kontrol


gaya pada batuan. Berdasarkan kenampakan posisi lapisan dimana pada
sumur magmadipa 1 memiliki elevasi yang sangat rendah dibandingkan

sumur magmadipa 2 dan magmadipa 4 diinterpretasikan adanya rezim gaya


tarik atau extensional stress dari arah utara dan selatan yang membuat bagian
sumur magmadipa 1 mengalami penurunan akibat gaya gravitasi yang
dominan. Jika tingkat elastisitas batuan lebih besar dibandingkan gaya maka
struktur yang terbentuk berupa struktur ductile yaitu lipatan. Jika tingkat
elastisitas sama dengan kekuatan gaya maka struktur yang terbentuk adalah
struktur britle seperti kekar dan sesar. Rezim tarikan umumnya akan
membentuk struktur britle. Berdasarkan perubahan posisi batuan pada hasil
korelasi ini diinterpretasikan bahwa struktur yang terbentuk adalah sesar atau
struktur rekahan batuan yang telah mengalami pergeseran dimana pada hasil
korelasi indikasi bidang sesar dilambangkan oleh garis putus-putus berwarna
merah dimana lapisan batuan pada sumur magmadipa 1 yang turun sehingga
struktur sesar yang terbentuk diinterpretasikan berada pada bagian kanan dan
kiri yang membentuk graben atau adanya bagian yang turun di antara dua
tinggian. Hasil interpretasi struktur ini juga didukung dengan data geologi
regional formasi talang akar bawah yaitu half graben. Dalam lingkup indrustri
minyak struktur sesar memiliki peranan penting dalam petroleum system.
Rekahan pada struktur dapat menjadi jalur migrasi hidrokarbon. Selain itu
sesar juga dapat menjadi trap zone atau zona perangkap hidrokarbon untuk
terakumulasi.

Gambar 1.2. Ilustrasi Graben dan Half graben

Gambar 1.3. Ilustrasi normal fault trap

Cekungan Sumatera Selatan dan Cekungan Sumatera Tengah


merupakan jenis cekungan back arc basin atau cekungan belakang busur.
Dalam proses perkembangannya terdapat tiga fase tektonik yaitu Fase Rifting,
Fase Sagging dan Fase Kompresi. Cekungan Sumatera Selatan tersusun atas 7
jenis formasi. Formasi pertama yaitu sebagai base rock yaitu batuan berumur
pratersier, kemudian di atasnya terendapkan formasi lahat yang komposisinya
didominasi batuan vulkanik. Di atas formasi lahat diendapkan formasi talang
akar yang tersusun atas batupasir kuarsa, lanau, batubara, serpih, dan
batulempung karbonan. Di atas formasi talang akar terendapkan formasi
baturaja yang komposisinya didominasi batugamping. Formasi selanjutnya
yaitu formasi gumai yang tersusun atas batuan vulkanik berupa tuff, breksi
dan juga ada napal. Formasi di atas formasi gumai adalah air benakat yaitu
formasi yang disusun oleh batugamping bagian bawah dan batupasir yang
karbonatan dimana semakin ke atas semakin berlimpah glaukonit. Formasi
selanjutnya merupakan formasi muara enim yang didominasi oleh batubara
yang kemudian di atasnya terendapkan formasi kasai. Bagian paling atas
adalah satuan alluvial. Korelasi batuan yang dilakukana merupakan batuan
dari formasi talang akar. Pada formasi talang akar bawah struktur yang
terbentuk berupa half graben berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal.
Pada umur ini fase tektonik yang terjadi adalah fase sagging yaitu fase yang
dikontrol oleh penyeimbangan isostasi yang menghasilkan bentukan-

bentukan depresi. Pada Oligosen Akhir hingga miosen awal terjadi perubahan
iklim dari basah ke kering sehingga terjadi penurunan muka air laut yang
membuat pengendapan yang semakin mendangkal. Dari hasil korelasi
digambarkan dengan terjadinya penipisan shale dan penebalan batupasir
dengan sisipan batubara ke bagian atas sumur.

Gambar 1.4. Penampang Skematik Cekungan Sumatera Selatan

Batuan sedimen merupakan batuan yang sangat berkaitan dengan


keberadaan fluida baik itu air maupun fluida hidrokarbon. Fluida hidrokarbon
merupakan fluida hasil akumulasi hidrokarbon yang terbentuk dari material
organik yang terdapat dalam batuan. Sistem hidrokarbon dalam batuan
disebut dengan petroleum system. Dalam petroleum system terdapat 5
komponen penyusunnya yaitu source rock, reservoar, cap rock, fluida dan
trap atau zona perangkap. Source rock merupakan batuan yang menghasilkan
hidrokarbon. Batuan yang dijadikan sebagai source rock umumnya adalah
batuan dengan kandungan material organik yang banyak mengandung
hidrokarbon. Batuan yang biasanya dijadikan sebagai batuan sumber adalah
shale atau serpih, batugamping, dan batubara. Hidrokarbon yang dihasilkan
oleh source rock ini akan terakumulasi dan mengisi ruang antar butir pori.
Batuan yang menyimpan dan mengalirkan fluida ini disebut batuan reservoar.
Batuan reservoar inilah menjadi target dalam industri minyak. Batuan
resservoar yang baik adalah batuan yang memiliki porositas yang besar
sehingga dapat menyimpan fluida serta memiliki permeabiilitas yang besar
sehingga dapat mengalirkan fluida. Batuan sedimen yang sangat baik sebagai

reservoar adalah batupasir. Batupasir memiliki tingkat keseragaman butir,


porositas, serta permeabilitas yang paling baik dibandingkan dengan batuan
lainnya namun tidak menutup kemungkinan batuan lain dapat menjadi batuan
reservoar seperti batuan kristalin. Batuan kristalin juga dapat dijadikan
sebagai reservoar jika pada batuan tersebut terdapat struktur sehingga fluida
dapat bermigrasi melalui celah struktur. Cap rock atau batuan tudung adalah
batuan yang berfungsi sebagai tudung dari batuan reservoar agar fluida dapat
terakumulasi. Batuan yang umumnya menjadi cap rock adalah batulempung
dan shale. Batuan ini bersifat impermeable atau kedap fluida sehingga fluida
dapat tertampung dan terakumulasi di reservoar. Trap zone atau zona
perangkap merupakan komponen petroleum system yang berperan sebagai
zona tempat terakumulasinya fluida. Trap umumnya terbentuk dari struktur
baik itu lipatan maupun sesar. Fluida adalah komponen terpenting dalam
petroleum system. Dalam petroleum system terdapat tiga jenis fluida yaitu air,
minyak, dan gas. Dalam trap zone susunan posisi ketiga fluida ini dari bawah
ke atas yaitu air, minyak dan gas yang didasarkan pada massa jenis fluida itu
sendiri. Dalam grafik wireline log keberadaan hidrokarbon dapat dilihat dari
grafik gamma ray, density, neutron, dan resistivity. Pada grafik gamma ray
zona hidrokarbon terdapat pada batuan dengan gamma ray rendah atau batuan
dengan ukuran butir yang kasar seperti pasir. Hal ini dikarenakan batuan
dengan ukuran butir besar akan membentuk porositas yang besar sehingga
dapat menampung dan menyimpan fluida. Pada grafik density keberadaan
hidrokarbon ditunjukan dengan nilai RHOB yang rendah. Hal ini dikarenakan
batuan yang dapat menyimpan fluida adalah batuan yang memiliki tingkat
porositas yang tinggi sehingga memiliki tingkat kerapatan butir atau density
yang rendah. Pada grafik neutron zona ini ditunjukan dengan nilai NPHI yang
kecil. Pada saat pengujian log neutron dilakukan penembakan hidrogen ke
batuan dimana nilai yang dihitung adalah jumlah hidrogen yang kembali dan
terekam alat. Keberadaan fluida di dalam batuan dapat mengikat hidrogen
yang ditembakan ke batuan sehingga hidddrogen yang kembali ke alat
menjadi lebih sedikit dan nilai NPHI menjadi kecil, sedangkan pada log

resitivity jenis fluida dapat dilihat ddari nilai resistivity. Jika fluida air maka
nilai resitivitasnya akan ditunjukan dengan nilai yang rendah karena air
memiliki nilai konduktivitas yang tinggi, sedangkan minyak memiliki nilai
resistivitas yang lebih tinggi dari air dan gas memiliki resistivitas paling
tinggi dibandingkan dengan kedua fluida lainnya.
Pada hasil korelasi data keempat sumur maka dapat diinterpretasikan
bahwa zona reservoar hidrokarbon terdapat pada lapisan pasir yang
ditunjukan pada kedalaman 6640 ft dan 6880 ft pada sumur magmadipa 2 dan
lapisan batupasir pada kedalaman 6775 ft dan 7090 ft

pada sumur

magmadipa 4. Kedua lapisan pada sumur yang berbeda ini merupakan dua
lapisan yang saling terhubung. Penyebab keberadaan zona prospek
hidrokarbon yang terdapat pada sumur magmadipa 2 dan 4 sedangkan pada
sumur magmadipa 3 yang berada di antaranya tidak terdapat indikasi
hiddrokarbon diinterpretasikan oleh migrasi hiddrokarbon dari tekanan yang
lebih tinggi ke tekanan yang lebih rendah dan didukung adanya struktur yang
membentuk trap membuat lapisan ini menjadi tempat terakumulasinya
hidrokarbon.

Migrasi
Migrasi

Gambar 1.5. Zona Prospek Hidrokarbon

2. Korelasi Litostratigrafi

Korelasi
menghubungkan

Litostratigrafi
atau

adalah

metode

men-korelasi-kan

yang

satuan

digunakan

litologi

yang

untuk
sama

berdasarkan litologi yang sama. Korelasi litostratigrafi ini berfungsi untuk


mengetahui kondisi litologi bawah permukaan saat pertama kali diendapkan.
Penarikan garis korelasi didasarkan pada penentuan jenis batuan yang sama
yang ditunjukan oleh pola gamma ray, NPHI, dan RHOB. Pola gamma ray
pada kolom log menunjukan jenis litologi berdasarkan ukuran butir. Pola
NPHI pada kolom log menunjukan jumlah neutron yang kembali ke alat yang
diakibatkan oleh keberadaan hidrogen dalam batuan, sedangkan pola RHOB
menunjukan nilai densitas atau kerapatan batuan yang menggambarkan
porositas batuan.
Pembuatan korelasi ini didasarkan pada kesamaan litologi dengan
menarik garis dari titik yang dianggap sama atau disebut datum. Penentuan
datum ini berdasarkan kesamaan pola gamma ray. Kesamaan pola gamma ray
yang membentuk paket susunan litologi yang sama dan terdapat di setiap
sumur. Pada hasil korelasi, datum diambil dari paket pola gamma ray
batupasir berpola blocky yang disisipi serpih atau shale. Berdasarkan hasil
interpretasi dan geologi regional daerah korelasi ini tersusun atas tiga jenis
batuan yaitu batupasir, shale, dan batubara. Batubara tidak dapat dijadikan
datum karena keberadaannya hanya sebagai sisipan di antara batuan lain dan
jumlahnya sangat sedikit. Batupasir dan shale merupakan batuan sedimen
klastik yaitu batuan sedimen yang terbentuk dari hasil rombakan batuan lain
yang terakumulasi dan mengalami proses litifikasi. Akumulasi material terjadi
dalam sebuah cekungan. Cekungan merupakan morfologi depresi yang
berbentuk seperti mangkuk. Jika material terakumulasi dalam suatu cekungan
maka akan membentuk morfologi mangkuk dimana sedimentasi batuan akan
membentuk lenkungan di bagian bawah dan horizontal di bagian atas. Hal
inilah yang menjadi dasar penarikan korelasi datum dari top formation atau
bagian atas lapisan batuan. Lapisan yang dijadikan datum yaitu lapisan
batupasir pada kedalaman 6650 ft pada sumur magmadipa 3, 6644 ft pada
sumur magmadipa 2, 7002 ft pada sumur magmadipa 1, dan 6572 ft pada

sumur magmadipa 4. Setelah dilakukan penarikan datum, kemudian


dilakukan korelasi setiap lapisan. Dari hasil korelasi, dapat terlihat arah
pengendapan batuan berdasarkan pola penyebaran batuannya. Pengendapan
material sedimen ke sebuah cekungan akan membentuk penyebaran lapisan
sedimen yang tipis dibagian hulu dan semakin ke bagian hulu akan semakin
menebal mengisi cekungan. Pada daerah yang dilakukan korelasi ini terlihat
arah pengendapan material sedimen dari arah selatan ke utara dimana
tergambar pada bagian selatan yaitu sumur magmadipa 3 lapisan batuan
memiliki ketebalan paling kecil dibandingkan sumur lainnya dan semakin
menebal ke arah utara atau ke arah sumur magmadipa 4. Pola penyebaran ini
membentuk bentukan cekungan ke arah utara.

Datum

Arah
Pengendapan

Bentukan
Cekunga
n
Gambar 2.1. Korelasi Litostratigrafi

Persebaran litologi pada hasil korelasi dapat menggambarkan proses


pengendapan material sedimen baik itu arah, kondisi arus, ruang akomodasi
dan suplai material. Pada bagian bawah dari hasil korelasi terdapat batupasir
dan shale yang memiliki ketebalan yang relatif sama dan saling berselingan
dengan pola agradasi. Pola seperti ini diinterpretasikan terbentuk pada kondisi
ruang akomodasi dan suplai sedimen seimbang yang artinya perubahan muka
air laut yang seimbang dengan jumlah suplai sedimen. Saat pengendapan ini
terjadi diinterpretasikan sedang terjadi tahap Transgressive System Tract
(TST). Penyebaran lapisan batuan yang menurun ke arah selatan
menggambarkan bentukan penampang channel. Semakin ke bagian atas

lapisan batupasir mulai menipis hingga menghilang dan terdapat shale atau
serpih yang sangat tebal. Serpih merupakan batuan sedimen yang memiliki
ukuran butir berukuran lanau hingga lempung atau <1/256 -1/64 mm
(Wentworth, 1922). Batuan sedimen dengan ukuran sekecil ini sangat sulit
untuk terendapkan pada arus yang kencang, sehingga adanya lapisan serpih
yang sangat tebal mengindikasikan kondisi arus yang sangat tenang. Arus
yang tenang umumnya terdapat pada kedalaman yang cukup besar yang tidak
terpengaruh oleh gelombang. Jika shale yang tebal terendapkan pada kondisi
arus yang tenang maka diinterpretasikan terjadinya pendalaman atau kenaikan
muka air laut sehingga ruang akomodasi menjadi lebih besar dari suplai
sedimen. Saat terjadi pengendapan ini diinterpretasikan sedang terjadi tahap
Maximum Flooding Surface (MFS) atau kondisi dimana terbentuk batas
system tract yang menggambarkan kondisi muka air laut yang naik dan
terjadinya pengendapan lempung yang tebal. Semakin ke bagian atas
keberadaan serpih mulai menipis bahkan hanya sebagai sisipan sedangkan
batupasir terendapkan sangat tebal dengan pola coarsening upward atau
mengkasar ke atas. Pola seperti ini mengindikasikan perubahan arus yang
semula tenang menjadi kuat dimana batua pasir terendapkan. Perubahan arus
ini dapat juga mengindikasikan terjadinya pendangkalan atau menurunnya
muka air laut yang membuat suplai sedimen lebih besar dibandingkan ruang
akomodasi. Pola ini diinterpretasikan terjadi pada tahap HST atau Highstand
System Tract dimana terjadinya pendangkalan. Adanya pendangkalan ini juga
didukung dengan adanya lapisan batubara yang dari sumur magmadipa 3
hingga sumur magmadipa 1 namun tidak ada di sumur magmadipa 4. Tidak
adanya lapisan batubara di sumur magmadipa 4 juga memperkuat asumsi
dimana semakin ke arah utara semakin ke arah hilir. Perubahan lingkungan
pengendapan juga terlihat dari pola pengendapan. Dari adanya lapisan serpih
tebal yang menunjukan lingkungan yang lebih ke arah laut yang kemudian
adanya lapisan batubara yang enunjukan lingkungan pengendapan berubah
mmenjadi lebih ke arah darat. Kemudian bagian atasnya terendapkan lapisan
serpih yang menebal kembali yang mengindikasikan terjadinya pendalaman

kembali atau kenaikan muka air laut. Setelah terjadinya pendalaman,


kemudian bagian paling atas dari daerah korelasi ini terendapkan batupasir
dengan sisipan batubara pada sumur magmadipa 4 yang diinterpretasikan
terjadinya pendangkalan kembali hingga mencapai ke sumur magmadipa 4.
Selain perubahan jenis litologi yang mengindikasikan perubahan muka air
laut, perubahan pola penyebaran juga dapat menggambarkan kondisi
cekungan. Pada bagian bawah pola penyebaran sebelah selatan tersusun atas
litologi yang tipis dan menebal ke arah utara dan semakin ke atas pola
penyebaran yang semuala menurun menjadi lebih mendatar. Kondisi seperti
ini diinterpretasikan bahwa bagian bahwa menunjukan bagian chanel dari
cekungan dan semakin ke bagian atas hasil korelasi berubah menjadi bagian
point bar.
HST
MFS
HST

MFS

U
TST
Gambar 2.2. Pola Pengendapan Korelasi Litostratigrafi

Gambar 2.3. System Tract

Anda mungkin juga menyukai