Anda di halaman 1dari 22

Nama : Sherina Novita Yusuf

NIM : F 121 18 038

UTS GEOKIMIA KELAS A

1. Geokimia Batubara
a. Analisa Geokimia Dalam Batubara
Analisa Geokimia dalam Batubara Geokimia batubara adalah suatu cara untuk
mengetahui kandungan kimia yang terdapat didalam batubara yang nantinya dapat
digunakan sesuai dengan pemanfaatannya. Kualitas batubara merupakan indikasi dari
tingkat kematangan yang sangat dipengaruhi oleh kenaikan suhu, dan tekanan serta
dipengaruhi lamanya waktu pembentukan dalam hal ini waktu geologi. Batubara tingkat
tinggi akan terbentuk pada temperatur yang lebih tinggi dibandingkan batubara
tingkat rendah. Sumber panas yang menyebabkan kenaikan suhu dapat diperoleh dari
akibat aktifitas magmatik ataupun akibat gradient geothermal sehingga terjadi
perubahan penimbunan sedimen diatasnya (overburden). Tekanan pada pembentukan
batubara merupakan fungsi linier dari perubahan waktu dan ketebalan /volume sedimen
penutup. Dalam menentukan kualitas batubara yang potensial sebagai sumber energi
dilakukan beberapa analisa. Dalam analisa geokimia batubara lebih ditekankan pada
analisa yang bersifat kimiawi yang kemudian diketahui sifat-sifat kualitas geokimianya.
Adapun analisa geokimia batubara adalah:
- Analisa Proksimat
Analisa yang meliputi kandungan air (as analyzed moisture), kandungan zat
terbang (volatile matter), kandungan abu (ash) dan kandungan karbon tetap
(fixed carbon). Hasil analisa proksimat adalah rata-rata dari dua pekerjaan
(duplo), dinyatakan sampai 1 desimal dalam % untuk kandungan air, zat terbang
dan abu.
- Analisa Ultimat
Analisa Ultimat meliputi penentuan kandungan karbon (C), kandungan hidrogen
(H), kandungan belerang (S), kandungan oksigen (O). Dari perhitungan
ditentukan pula kandungan CO2 dan bentuk belerang untuk dikoreksi. Analisa
ultimat dapat disajikan dalam berbagai basis diantaranya as analyzed basis dry
atau dry ash free basis. Dalamas analyzed basis dry hasil analisa hanya
melaporkan saja bersama kandungan air (M) dan kandungan abu (A). Dalam
dry basis semua hasil analisa harus diubah dengan faktor 100 : (100-M) dan
hasil analisa disajikan tanpa kandungan air. Dalam dry ash free basis (daf) hasil
analisa diubah dengan faktor 100 (100-M-A) dan menyajikan hasil tanpa
kandungan air dan abu. Akan tetapi sebelum mengubah hasil dengan faktor diatas,
kandungan karbon perlu dikoreksi dahulu dengan karbon sebagai CO2 dan
belerang total dengan belerang sulfat. Dalam basis terakhir ini hasil analisa
ultimat yang disajikan adalah kandungan C, H, N, S “O + error” sebagai selisih
dengan 100%. Pemanfaatan suatu jenis batubara tertentu perlu diketahui suatu set
data kualitas batubara yang diperlukan untuk suatu keperluan tertentu. Data ini
dapat diperoleh dari hasil suatu analisa pengujian. Beberapa parameter kualitas
yang akan sangat mempengaruhi dalam hal pemanfaatannya adalah
(Sukandarrumidi, 1995): Kandungan air, Kandungan abu, Zat terbang (volatile
matter). Kandungan karbon tetap.

b. Sifat-Sifat Kimia Fisika Batubara


1. Sifat Fisik
Sifat fisik batubara tergantung kepada unsur kimia yang membentuk batubara
tersebut, semua fisik yang dikemukakan dibawah ini mempunyai hubungan erat satu
sama lain.
- Berat jenis
Berat jenis (specific gravity) batubara berkisar dari 1,25g/cm3 sampai 1,70 g/cm3,
pertambahannya sesuai dengan peningkatan derajat batubaranya. Tetapi berat
jenis batubara turun sedikit dari lignit (1,5g/cm3) sampai batubara bituminous
(1,25g/cm3), kemudian naik lagi menjadi 1,5g/cm3 untuk antrasit sampai grafit
(2,2g/cm3). Berat jenis batubara juga sangat bergantung pada jumlah dan jenis
mineral yang dikandung abu dan juga kekompakan porositasnya. Kandungan
karbon juga akan mempengaruhi kualitas batubara dalam penggunaan. Batubara
jenis yang rendah menyebabkan sifat pembakaran yang baik.
- Kekerasan
Kekerasan batubara berkaitan dengan struktur batubara yang ada. Keras atau
lemahnya batubara juga terkandung pada komposisi dan jenis batubaranya. Uji
kekerasan batubara dapat dilakukan dengan mesin Hardgrove Grindibility Index
(HGI). Nilai HGI menunjukan niali kekersan batubara. Nilai HGI berbanding
terbalik dengan kekerasan batubara. Semakin tinggi nilai HGI , maka batubara
tersebut semakin lunak. Dan sebaliknya, jika nilai HGI batubara tersebut semakin
rendah maka batubara tersebut semakin keras.
- Warna
Warna batubara bervariasi mulai dari berwarna coklat pada lignit sampai warna
hitam legam pada antrasit. Warna variasi litotipe (batubara yang kaya akan
vitrain) umumnya berwarna cerah.
- Goresan
Goresan batubara warnanya berkisar antara terang sampai coklat tua. Pada lignit,
mempunyai goresan hitam keabu-abuan, batubara berbitumin mempunyai warna
goresan hitam, batubara cannel mempunyai warna goresan dari coklat sampai
hitam legam.
- Pecahan
Pecahan dari batubara memperlihatkan bentuk dari potongan batubara dalam sifat
memecahnya. Ini dapat pula memeperlihatkan sifat dan mutu dari suatu batubara.
Antrasit dan batubara cannel mempunyai pecahan konkoidal. Batubara dengan zat
terbang tinggi, cenderung memecah dalam bentuk persegi, balok atau kubus.

2. Sifat Kimia
Sifat kimia dari batubara sangat berhubungan langsung dengan senyawa penyusun
dari batubara tersebut, baik senyawa organik ataupun senyawa anorganik. Sifat kimia
dari batubara dapat digambarkan sebagai berikut :
- Karbon
Jumlah karbon yang terdapat dalam batubara bertambah sesuai dengan
peningkatan derajat batubaranya. Kenaikan derajatnya dari 60% sampai 100%.
Persentase akan lebih kecil daripada lignit dan menjadi besar pada antrasit dan
hamper 100% dalam grafit. Unsur karbon dalam batubara sangat penting
peranannya sebagai penyebab panas. Karbon dalam batubara tidak berada dalam
unsurnya tetapi dalam bentuk senyawa. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah karbon
yang besar yang dipisahkan dalam bentuk zat terbang.
- Hidrogen
Hidrogen yang terdapat dalam batubara berangsur-angsur habis akibat evolusi
metan. Kandungan hidrogen dalam liginit berkisar antara 5%, 6% dan 4.5% dalam
batubara berbitumin serta sekitar 3% smpai 3,5% dalam antrasit.
- Oksigen
Oksigen yang terdapat dalam batubara merupakan oksigen yang tidak reaktif.
Sebagaimana dengan hidrogen kandungan oksigen akan berkurang selam evolusi
atau pembentukan air dan karbondioksida. Kandungan oksigen dalam lignit
sekitar 20% atau lebih, dalam batubara berbitumin sekitar 4% sampai 10% dan
sekitar 1,5% sampai 2% dalam batubara antrasit.
- Nitrogen
Nitrogen yang terdapat dalam batubara berupa senyawa organik yang terbentuk
sepenuhnya dari protein bahan tanaman asalnya jumlahnya sekitar 0,55% sampai
3%. Batubara berbitumin biasanya mengandung lebih banyak nitrogen daripada
lignit dan antrasit.
- Sulfur
Sulfur dalam batubara biasanya dalam jumlah yang sangat kecil dan kemungkinan
berasal dari pembentuk dan diperkaya oleh bakteri sulfur. Sulfur dalam batubara
biasanya kurang dari 4%, tetapi dalam beberapa hal sulfurnya bisa mempunyai
konsentrasi yang tinggi. Sulfur terdapat dalam tiga bentuk yaitu :
• Sulfur Piritik (piritic Sulfur)
Sulfur Piritik biasanya berjumlah sekitar 20% - 80% dari total sulfur yang
terdapat dalam makrodeposit (lensa, urat, kekar, dan bola) dan mikrodeposit
(partikel halus yang menyebar).
• Sulfur Organik
Sulfur Organik biasanya berjumlah sekitar 20% - 80% dari total sulfur, biasanya
berasosiasi dengan konsentrasi sulfat selama pertumbuhan endapan.
• Sulfat Sulfur
Sulfat terutama berupa kalsium dan besi, jumlahnya relatif kecil dari seluruh
jumlah sulfurnya.

c. Karakteristik Geokimia Organik Batubara


Batubara merupakan material organik dengan unsur utama karbon yang terbentuk melalui
pemadatan sisa tumbuhan yang dikenal dengan penggambutan. Batubara diklasifikasikan
menjadi batubara humat dan batubara sapropelat. Batubara humat sebagian besar berasal dari
sisa tumbuhan berpembuluh. Penampilannya cenderung mengkilau berwarna hitam/cokelat
gelap, terbagi beberapa tingkatan, dan terbentuk melalui tahap penggambutan yang
melibatkan humifikasi (Killops dan Killops, 2005). Batubara sapropelat tidak dapat
dibedakan secara makroskopis, cenderung homogen, dan berwarna lebih pudar dibandingkan
batubara humat. Batubara tersebut terbentuk dari lingkungan berlumpur di perairan dangkal
yang kekurangan oksigen. Pembentukan batubara ini tidak melalui tahap penggambutan,
tetapi mengikuti jalur diagenesis dari kerogen kaya hidrogen (kerogen tipe I). Komponen
organik batubara sapropelat didominasi oleh alga dan sejumlah produk degradasi dari
tumbuhan rawa. Batubara sapropelat terbagi menjadi batubara cannel dan batubara boghead
(torbanite). Batubara boghead mengandung sejumlah besar sisa alga dan beberapa material
jamur, sedangkan batubara cannel didominasi oleh spora (Killops dan Killops, 2005).

- Teori In-situ :
Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari hutan dimana
batubara tersebut terbentuk. Batubara yang terbentuk sesuai dengan teori in-situ
biasanya terjadi di hutan basah dan berawa, sehingga pohon-pohon di hutan tersebut
pada saat mati dan roboh, langsung tenggelam ke dalam rawa tersebut, dan sisa
tumbuhan tersebut tidak mengalami pembusukan secara sempurna, dan akhirnya
menjadi fosil tumbuhan yang membentuk sedimen organik.
- Teori Drift :
Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari hutan yang bukan di
tempat dimana batubara tersebut terbentuk. Batubara yang terbentuk sesuai dengan
teori drift biasanya terjadi di delta-delta, mempunyai ciri-ciri lapisan batubara tipis,
tidak menerus (splitting), banyak lapisannya (multiple seam), banyak pengotor
(kandungan abu cenderung tinggi). Proses pembentukan batubara terdiri dari dua
tahap yaitu tahap biokimia (penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan).
Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap dimana sisa-sisa tumbuhan yang
terakumulasi tersimpan dalam kondisi bebas oksigen (anaerobik) di daerah rawa
dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman 0,5 -
-[10 meter. Material tumbuhan yang busuk ini melepaskan unsur H, N, O, dan C
dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh
bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi gambut (Stach, 1982, op cit Susilawati
1992).
Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses biologi, kimia, dan
fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang menutupinya,
temperatur, tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari gambut (Stach,
1982, op cit Susilawati 1992). Pada tahap ini prosentase karbon akan meningkat,
sedangkan prosentase hidrogen dan oksigen akan berkurang (Fischer, 1927, op cit
Susilawati 1992). Proses ini akan menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat
kematangan material organiknya mulai dari lignit, sub bituminus, bituminus, semi
antrasit, antrasit, hingga meta antrasit.

Ada tiga faktor yang mempengaruhi proses pembetukan batubara yaitu: umur, suhu
dan tekanan.
Mutu endapan batubara juga ditentukan oleh suhu, tekanan serta lama waktu
pembentukan, yang disebut sebagai 'maturitas organik. Pembentukan batubara
dimulai sejak periode pembentukan Karbon (Carboniferous Period) dikenal sebagai
zaman batubara pertama yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun
yang lalu. Proses awalnya, endapan tumbuhan berubah menjadi gambut/peat
(C60H6O34) yang selanjutnya berubah menjadi batubara muda (lignite) atau disebut
pula batubara coklat (brown coal). Batubara muda adalah batubara dengan jenis
maturitas organik rendah.
Setelah mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan
tahun, maka batubara muda akan mengalami perubahan yang secara bertahap
menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda menjadi batubara
sub-bituminus (sub-bituminous). Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung
hingga batubara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam sehingga membentuk
bituminus (bituminous) atau antrasit (anthracite). Dalam kondisi yang tepat,
peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga
membentuk antrasit.
Dalam proses pembatubaraan, maturitas organik sebenarnya menggambarkan
perubahan konsentrasi dari setiap unsur utama pembentuk batubara.
Disamping itu semakin tinggi peringkat batubara, maka kadar karbon akan
meningkat, sedangkan hidrogen dan oksigen akan berkurang. Karena tingkat
pembatubaraan secara umum dapat diasosiasikan dengan mutu atau mutu batubara,
maka batubara dengan tingkat pembatubaraan rendah disebut pula batubara bermutu
rendah seperti lignite dan sub-bituminus biasanya lebih lembut dengan materi yang
rapuh dan berwarna suram seperti tanah, memiliki tingkat kelembaban (moisture)
yang tinggi dan kadar karbon yang rendah, sehingga kandungan energinya juga
rendah. Semakin tinggi mutu batubara, umumnya akan semakin keras dan kompak,
serta warnanya akan semakin hitam mengkilat. Selain itu, kelembabannya pun akan
berkurang sedangkan kadar karbonnya akan meningkat, sehingga kandungan
energinya juga semakin besar.

d. Karakteristik Geokimia Anorganik Batubara


Menurut Stach dkk., (1982), material anorganik dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok berdasarkan asalnya:
1. Mineral dari tanaman asli.
2. Mineral yang terbentuk pada tahap pertama proses pembatubaraan atau mineral yang
terbawa oleh media air dan angin ke dalam akumulasi gambut selama proses
pembatubaraan.
3. Mineral yang terbentuk pada tahap kedua proses pembatubaraan, setelah konsolidas,
reaksi larutan yang masuk ke dalam cracks, fissures, cavities, atau akibat alterasi
mineral lainnya.
Mineral yang umum dijumpai pada batubara adalah mineral lempung, sulfida, dan oksida.
Mineral lempung, merupakan mineral yang paling sering dijumpai pada batubara dengan
kelimpahan sekitar 60-80% dari keseluruhan mineral matter. Mineral lempung hadir dalam
batubara karena terbawa oleh media air selama proses akumulasi. Mineral lempung yang
umum dijumpai adalah kaolinite, illite, dan sericite. Mineral ini terbentuk seiring dengan
proses pembatubaraan, dari proses penggambutan hingga proses pembatubaraan sebagai
pengisi rekahan dalam batubara. Mineral sulfida yang paling umum terdapat di batubara
adalah pirit, markasit, dan melnikovit-pirit. Pada kondisi tersebut, sebagian besar lapisan
batubara mengandung sphalerite, galena, dan chalcopyrite dalam jumlah kecil (Stach, 1941;
Mackowsky, 1943; Balme, 1956 dalam Stach dkk., 1982). Terdapat dua jenis pirit
berdasarkan genesanya, pirit syngenetik dan pirit epigenetik. Pirit syngenetik adalah pirit
yang terbentuk saat proses penggambutan, sedangkan pirit epigenetik adalah pirit yang
terbentuk setelah proses pembatubaraan. Pirit terbentuk sebagai hasil reduksi sulfur primer
oleh organisme dan air tanah yang mengandung ion besi, reduksi tersebut akan menghasilkan
pirit framboidal (Annisa, 2016). Terbentuknya pirit epigenik berkaitan dengan jumlah
rekahan pada batubara, karena ion besi dalam bentuk larutan akan mengisi rekahan dan
bereaksi dengan sulfur primer membentuk pirit masif. Win dkk., (2013), menjelaskan
mengenai tipe-tipe pirit, tipe pirit dapat dibedakan menjadi framboidal pyrite, euhedral
pyrite, massive pyrite, anhedral pyrite, dan epigenetic pyrite (Gambar 1).
a. Framboidal pyrite, beberapa penulis menjelaskan bahwa framboidal pyrite berasal
dari piritisasi bakteri sulfur. Framboids adalah bentuk pirit yang umum dijumpai
di lingkungan anoxic, seperti laut, lakustrin, dan rawa (Wilkin dan Barnes, 1997).
b. Euhedral pyrite, dikenal juga sebagai kristal pirit. Sebagian besar euhedral pyrite
bersifat syngenetik dan dihasilkan selama pengendapan gambut atau pada awal
humifikasi. Secara umum kristal pirit euhedral berukuran kecil dan tersebar di
dalam batubara.
c. Massive pyrite, biasanya ditemukan sebagai cleat (kekar), cellfillings, cementing
atau coating framboids dan mineral detrital. Massive pyrite juga ditemukan
sebagai pengganti bahan organik dalam berbagai mineral. Massive pyrite
homogen umumnya berpori dan tidak padat karena terisi oleh sisa bahan organik
dan mineral lempung selama proses kristalisasi.
d. Anhedral pyrite, pirit jenis ini terbentuk dari mineralisasi sisa tumbuhan selama
proses penggambutan hingga pembatubaraan, selain itu terbentuk oleh hasil
ubahan dari massive pyrite.
e. Epigenetic pyrite, pirit jenis ini merupakan pirit yang mengisi cleat dan fracture.
Mineral oksida yang paling umum dijumpai adalah kuarsa, terdapat dua proses
pembentukan kuarsa dalam batubara yaitu kuarsa yang terbawa oleh air atau
udara (clastic quartz) dan kuarsa yang terbentuk dari larutan hasil pengendapan
batubara (finelycrystalline quartz).

2. Geokimia Isotop
a. Isotop stabil dan isotop radioaktif
Isotop stabil adalah berbagai bentuk atom dari unsur yang sama. Tersusun dari jumlah
proton yang sama dalam nukleusnya dan memiliki nomor atom yang sama. Hal ini
dikarenakan atom dari unsur yang sama memiliki nomor atom yang sama. Tetapi jumlah
neutron yang ada di inti mereka berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, massa atom
isotop berbeda satu sama lain. Beberapa isotop unsur kimia tertentu stabil di mana isotop
lainnya tidak stabil. Untuk menjadi stabil, isotop yang tidak stabil ini mengalami
peluruhan radioaktif. Namun, perilaku kimia isotop dari unsur kimia tertentu adalah sama
karena semua isotop memiliki jumlah elektron yang sama dan struktur atom yang sama
sehubungan dengan konfigurasi elektronik. Tetapi memiliki sifat fisik yang berbeda
karena perbedaan massa atomnya.
Radioisotop adalah isotop yang tidak stabil dari unsur kimia yang dapat mengalami
peluruhan radioaktif. Karena isotop ini tidak stabil, mereka mengalami peluruhan
radioaktif agar menjadi stabil. Isotop paling stabil tidak menunjukkan radioaktivitas.
Pembusukan radioaktif menyebabkan emisi radiasi. Isotop yang tidak stabil memiliki
jumlah neutron atau proton yang tinggi dalam nukleusnya. Isotop yang kaya neutron
dapat memancarkan radiasi dengan mengubah neutron menjadi partikel yang berbeda.
Dalam isotop proton-kaya, proton diubah menjadi partikel yang berbeda. Partikel-partikel
ini dipancarkan sebagai radiasi. Ada tiga jenis radiasi utama yang dapat dipancarkan
radioisotop. Mereka adalah radiasi alfa, radiasi beta, dan radiasi gamma. Radiasi ini dapat
membahayakan tubuh kita dengan menembus kulit.

b. Metode/proses analisis kimia Radioisotop/radioaktif dalam penentuan umur


batuan
Dalam analisis kimia untuk menentukan umur batuan menggunakan Metode
Radiometric Dating atau 14-C Dating. Metode ini sangat umum dilakukan oleh ahli
arkeolog, yang pada intinya adalah menghitung perbandingan unsur tertentu pada
specimen fosil untuk kemudian dibandingkan dengan kandungan unsur yang sama pada
atmosfir dengan prinsip waktu paruh peluruhan atom. Metode ini dikembangkan
oleh profesor kimia di Amrik bernama Willard Libby di akhir 1940an yang
akhirnya menjadi metode standard bagi para arkeolog di seluruh dunia. Fosil
mengandung isotop dari unsur-unsur yang terakumulasi dalam organisme sewaktu masih
hidup. Misalnya, karbon dalam organisme hidup mencakup isotop karbon yang paling
umum, kabon-12, selain sebuah isotop radioaktif, karbon-14. Sewaktu mati, organisme
berhenti mengakumulasikan karbon, dan jumlah karbon-12 dalam jaringannya tidak
berubah meskipun waktu berlalu. Akan tetapi, karbon-14 yang dikandungnya sewaktu
mati pelahan-lahan meluruh dan menjadi unsur lain, nitrogen-14. Oleh sebab itu, dengan
mengukur perbandingan karbon-14 dengan karbon-12 dalam suatu fosil, kita dapat
menentukan umur fosil. Metode ini bisa diterapkan pada fosil yang umurnya lebih dari
75.000 tahun; fosil yang lebih tua dari itu mengandung karbon-14 yang terlalu sedikit
untuk dideteksi dengan teknik-teknik masa kini. Isotop radioaktif dengan waktu-paruh
yang lebih lama digunakan untuk menentukan umur fosil yang lebih tua. Penanggalan
radiokarbon adalah metode yang dikenal sebagai "Absolute Dating". Tetapi tidak
memberikan umur absolut dari bahan organik - tetapi perkiraan usia, biasanya dalam
kisaran beberapa tahun. Metode lainnya adalah "Relative Dating" yang memberikan
urutan peristiwa tanpa memberikan usia yang tepat. Ada tiga isotop karbon yang terjadi
sebagai bagian dari proses alamiah bumi; yaitu adalah karbon-12, karbon-13 dan karbon-
14. Sifat karbon 14 yang tidak stabil (dengan waktu paruh yang tepat sehingga mudah
untuk diukur) membuatnya ideal sebagai metode penanggalan absolut. Dua isotop
lainnya dalam perbandingan lebih umum daripada karbon-14 di atmosfer tetapi
meningkat seiring dengan pembakaran bahan bakar fosil yang membuatnya kurang dapat
diandalkan untuk dipelajari (2); karbon-14 juga meningkat, tetapi kelangkaan relatifnya
berarti peningkatannya dapat diabaikan. Waktu paruh isotop 14C adalah 5.730 tahun,
disesuaikan dari 5.568 tahun yang semula dihitung pada tahun 1940-an; batas atas
penanggalan berada di wilayah 55-60.000 tahun, setelah itu jumlah 14C dapat diabaikan.
Saat ini, metode penanggalan radiokarbon-14 digunakan secara luas dalam ilmu
lingkungan dan ilmu manusia seperti arkeologi dan antropologi. Kelemahan metode ini
ialah:
1) Sampelnya harus mengandung material organik;
2) Untuk sampel arkeologis dibutuhkan ukuran yang besar;
3) sampel dan lokasi pengambilannya harus benar-benar terhindar dari kontaminasi
karbon di atmosfer;
4) Tidak terlalu akurat pada endapan yang relatif baru karena memiliki keterbatasan
atas dan bawah yang signifikan akibat tingkat peluruhannya yang logaritmik.

c. Jelaskan mengapa konsep unsur isotope dapat digunakan dalam penentuan


umur batuan
Pada atom-atom radioaktif ini, terjadi peluruhan alias emisi partikel yang jenisnya
tergantung sama jumlah proton dan neutronnya. Jika jumlah protonnya lebih tinggi, yang
dikeluarkan adalah partikel bermuatan positif seperti partikel alfa (α), positron (b +) atau
proton (p). Sebaliknya, jika jumlah neutronnya lebih tinggi, yang dikeluarkan adalah
yang negatif (b–) atau netral (n). Half-life (paruh waktu) adalah waktu yang dibutuhkan
untuk sejumlah atom radioaktif meluruh setengahnya. Konsep waktu paruh yang
kemudian diaplikasikan pada karbon untuk mengetahui umur fosil. Karbon memiliki
15 isotop, mulai dari C-8 sampe C-22. Kebanyakan dari isotop karbon ini sangat tidak
stabil atau bisa di katakana waktu paruhnya terlalu cepat. Tapi, ada satu isotop yang
memiliki paruh waktu yang lebih panjang, yaitu C-14 dengan waktu paruh 5.730 tahun.
C-14 ini terbentuk di atmosfer, dari N-14 yang bereaksi dengan cosmic ray atau radiasi
dari luar tata surya. Sementara itu, fosil yang di jadikan sebagai sampel berupa makhluk
organik pada masa lampau, entah itu tanaman atau hewan. Tanaman menggunakan
CO2 ini untuk proses fotosintesis, sehingga C-14 tadi masuk ke tanaman, dan juga ke
hewan yang memakan tanaman, lalu hewan karnivora yang makan hewan
herbivora. Karena semua makhluk hidup berhubungan langsung dengan atmosfer dalam
siklus karbon, kadar C-14 di tubuh makhluk hidup akan hampir sama dengan yang di
atmosfer, yaitu 10-12. Tapi, waktu makhluk itu mati, dia langsung terputus dari siklus
karbon dengan atmosfer. Dari momen inilah kita bisa menghitung waktu yang dilewati
fosil tersebut setelah mati berdasarkan perbandingan waktu paruh dari kadar karbon C-14
dengan kadar C-14 yang ada di atmosfer saat ini. Ketika makhluk hidup mati, tanaman
tidak berfotosintesis lagi, hewan herbivora tidak memakan tanaman berisi C-14 lagi, yang
karnivor tidak memakan hewan berisi C-14 lagi. C-14 yang tersisa di sisa tanaman atau
hewan tersebut mulai menghilang karena peluruhan tadi, dan kadar C-14 di sisa tersebut
mulai berkurang. Umur fosil bisa kita hitung dengan persamaan berikut ini:
 t = waktu yang udah lewat setelah organisme ini mati
 T = waktu paruh C-14, alias 5.730 tahun
 N0 = kadar C-14 atmosfer sekarang
 N(t) = kadar C-14 pada sampel

Metode ini tidak selalu berpatokan pada karbon, karena terdapat banyak bahan kimia
lain yang menjadi indikator karena unsur C-14 ini memiliki „keterbatasan‟ tersendiri
yaitu batas umur sampel fosil dan perubahan kadar C-14 di atmosfer yang kerap berubah
karena ulah manusia. Pertama, umur fosil yang sudah amat sangat tua,
menyebabkan kadar C-14 nya menjadi sangat kecil (makin banyak waktu yang dilewatin
untuk meluruh), sehingga ada batasan umur fosil yang bisa dianalisa dengan memakai
metode carbon dating ini. Biasanya, batas itu adalah 50.000 tahun, yang artinya fosil
yang lebih tua dari 50.000 tahun akan kurang akurat jika dianalisa menggunakan carbon
dating ini.
Kedua, kadar C-14 di atmosfer kadang berubah secara drastis dikarenakan
pembakaran bahan bakar fosil (yang tidak memiliki C-14) yang mengurangi kadar C-14
di atmosfer, dan sebaliknya tes nuklir yang dilakukan beberapa negara mengakibatkan
kadar C-14 atmosfer naik dua kali lipat antara 1950 sampai 1963. Maka dari itu, kadar C-
14 atmosfir tahun 1950 selalu jadi patokan kadar C-14 „sekarang‟, dan angkanya selalu
jadi referensi dalam penghitungan.

3. Geokimia Panas Bumi


Energi panas bumi adalah energi panas yang terdapat dan terbentuk di dalam kerak
Bumi. Temperatur di bawah kerak Bumi bertambah seiring bertambahnya kedalaman. Suhu
di pusat Bumi diperkirakan mencapai 5400 °C. Menurut Pasal 1 UU No.27 tahun 2003
tentang Panas Bumi Panas Bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air
panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik
semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi dan untuk pemanfaatannya
diperlukan proses penambangan. Energi panas bumi ini berasal dari aktivitas tektonik di
dalam Bumi yang terjadi sejak planet ini diciptakan. Panas ini juga berasal dari panas
matahari yang diserap oleh permukaan Bumi. Selain itu sumber energi panas bumi ini diduga
berasal dari beberapa fenomena:
 Peluruhan elemen radioaktif di bawah permukaan Bumi.
 Panas yang dilepaskan oleh logam-logam berat karena tenggelam ke dalam pusat
Bumi.
 Efek elektromagnetik yang dipengaruhi oleh medan magnet Bumi.

Geokimia Panas Bumi/Geotermal mempelajari komposisi fluida panas bumi (air dan uap)
dan proses-proses yang mempengaruhinya untuk mengetahui kondisi dan karakteristik fluida
reservoir. Geokimia panas bumi, dimaksudkan untuk mengetahui jenis manifestasi,
pengukuran temperatur, pH, debit. Kimia air, gas, temperatur, pH, Hg tanah dan CO2 udara
tanah untuk interpretasi geokimia panas bumi. Evaluasi data kimia dilakukan melalui
klasifikasi tipe air panas, pendugaan temperatur bawah permukaan berhubungan dengan
reservoir panas bumi.
Geokimia air panas bumi memiliki komposisi yang beragam dan komposisi tersebut
mencerminkan kondisi geologi dan system panas bumi pada daerah tersebut. Analisis
geokimia perlu dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan jenis dari daerah panas bumi
tersebut, sehingga dapat mendukung tahap eksplorasi yang akan dilakukan. Jenis-jenis fluida
hidrotermal dapat diketahui dari sampling geokimia air dan diklasifikasikan berdasarkan
komposisi anion. Beberapa jenis fluida panasbumi antara lain:
1. Air Klorida
Air klorida merupakan fluida yang palingdominan pada kebanyakan lapangan panas
bumi. Air klorida bersifat netral ataudapat pula sedikit asam atau sedikit basa. Pada
manifestasi permukaan dicirikan oleh kenampakannya yang jernih sering berasosiasi
dengan endapan sinter silika. Air klorida didekat permukaan sering mengandung CO2.
H2S dan sulfat yang signifikan, sedangkandi dalam reservoir perbandingan atau rasio
Cl/SO4 tinggi.
2. Air sulfat
Air sulfat memiliki kandungan klorida yangrendah, kandungan sulfat tinggi, Al dan
Fecukup tinggi (hasil pelarutan batuan). Air sulfat umumnya terdapat pada sistem panas
bumi didaerah vulkanik, dengan uap air berkondensasi ke air tanah. Kandungan sulfat
yang tinggi berasal dari oksidasi H2S pada zona vados. Karena terbentuk pada zona
vados maka airasam sulfat hanya dapat memberikan sangat sedikit informasi tentang
bagian dalam sistem panas bumi. Ciri fisik fluida jenis ini biasanya berwarna keruh
akibat pelarutan batuan samping oleh fluida yang reaktif, sering berasosiasi dengan kola
m lumpur dan collapse creater.
3. Air bikarbonat
Fluida jenis ini dicirikan dengan kandungan Cl yang rendah, kandungan sulfat juga
rendah dan bikarbonat (HCO3) sebagai anion utamanya. Pada sistem
yang berasosiasi dengan batuan vulkanik biasanya air bikarbonat terbentuk pada bagian y
ang dangkal ditepi lapangan oleh kondensasi uap di bawah mukaairtanah. Pada sistem
yang berasosiasi dengan batuan sedimen pembentukan
fluida jenis ini dikontrol oleh keberadaan batugamping. Air bikarbonat cenderung sedikit
asam bisa juga netral atau sedikit basa.
4. Air Meteorik
Air tanah biasanya mengandung Ca, Mg, Na, K, SO4, HCO3 dan Cl selain itu
terdapat pula Fe, SiO2 dan Al. Selain itu air tanah juga biasanya mengandung gas terlarut
berupa O2dan N2. Air sungai mempunyai anion utama HCO3 dan kation utama adalah
Ca, sedangkan air hujan mempunyai anion utama Cl dan kation utama Na.

Proses interaksi fluida panas bumi dengan batuan yang dilaluinya menjadi indicator
sangat penting untuk menentukan temperatur dari reservoir panasbumi. Konsep ini dikenal de
ngan Geotermometer yaitu pendekatan yang dilakukan untuk menentukan temperature
reservoir panasbumi berdasarkan kelarutan unsur unsur yang berada di fluida panas
bumi dengankonsentrasi unsur-unsur tersebut merupakan fungsi dari suhu.Asumsi yang
digunakan dalam Geotermometer ini adalah apanila fluida bergerak dengancepat ke
permukaan, fluida akan mempertahankan komposisi kimianya selama perjalanan
darireservoir ke permukaan karena tidak atau diasumsikan sedikit sekali mengalami
pencampuran. Namun keyataannya fluida dapat mengalami perubahan dalam perjalan dari re
servoir ke permukaan melalui proses pelarutan batuan samping, pencampuran, dilution,
sehingga perhitungan geotemometer harus mempertimbangkan factor-faktor tersebut serta
pemilihan unsuryang tepat untuk analisis geokimia.

a. Geotermometer Silika (Fournier, 1977)


Geotermometer silika dibuat berdasarkan kelarutan berbagai jenis silika dalam airsebagai
fungsi dari temperatur yang ditentukan dengan percobaan atau eksperimen.Pada
kebanyakan sistem panasbumi fluida di kedalaman mengalami ekuilibrium dengan
kuarsa. Pada fluida dengan reservoir bersuhu > 220˚C kuarsa dapat mengendap akibat
pendinginan perlahan, apabila pendinginan berlangsung dengan sangat cepat(misalnya
pada mulut mata air) maka yang terbentuk atau mengendap adalah silikaamorf. Dari
konsentrasi fluida kita bias tahu konsentrasi fluida dalam sampel danmengetahui taksiran
dari temperature reservoir.

Diagram kelarutan silika terhadap temperatur ( Fournier,1977)


Geotermometer kuarsa umumnya baik digunakan untuk reservoir bertemperatur >150˚
C, karena untuk suhu di bawah 150˚ C kandungan silika dikontrol oleh kalsedon.

b. Geotermometer Na-K ( Fournier,1979,Giggenbach,1988 )


Geotermometer Na-K dapat diterapkan untuk reservoir air klorida dengan suhu >180˚C.
Geotermometer ini punya keunggulan yaitu tidak banyak terpengaruh oleh
dilution ataupun steam loss. Geotermometer ini kurang bagus untuk suhu < 100˚ C juga
untuk air yang kaya Ca yang banyak berasosiasi dengan endapan travertine.
Tabel Geotermometer Na-K ( Fournier,1979,Giggenbach,1988 )

c. Geotermometer Na – K – Mg
Dengan menggunakan perbandingan unsur-unsur Na, Mg, dan K kita dapat
mengetahuitemperature dari reservoir berdasarkan unsur-unsur tersebut yang larut dalam
fluidageothermal. Na/K mewakili proses kesetimbangan reaksi di dalam reservoir yang
bersifat lambat,.K-Mg mewakili proses kesetimbangan yang cepat pada daerah yang
mendekati permukaan. Keduanya dapat digunakan untuk mengevaluasi di dalam
reservoirmaupun di level dekat permukaan
DAFTAR PUSTAKA

Lestari S Dessy, Asy‟Ari M. Amril, Hidayatullah Rachmat . Juni 2016. “Geokimia Batubara
Untuk Beberapa Industri”. https://www.neliti.com/id/publications/126911/geokimia-
batubara-untuk-beberapa-industri.

https://wawasanpertambangan.blogspot.com/2014/03/sifat-sifat-fisik-batubara-1.html

20/Dec/2014. http://www.ptba.co.id/id/berita/detail/562/the-occurence-of-coal

Qadaryati Nurakhmi, Praditya Dendi Tantra, Hidajat Wahju Krisna, Martiningtyas Indriyani.
November 2019. Penentuan Lingkungan Pengendapan Batubara Berdasarkan Karakteristik
dan Maseral Batubara di PT X, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.

Anoname. 2018. “Perbedaan Isotop dan Radioisotop”.


https://perbedaan.budisma.net/perbedaan-isotop-dan-radioisotop.html. Diakses pada Senin,
23 November 2020 pukul 23.42 WITA.

Mason, Matthew.____. “How Does Radiocarbon-14 Dating Work?”.


https://www.environmentalscience.org/how-radiocarbon-14-dating-works. Diakses pada
Senin, 23 November 2020 pukul 23.55 WITA.

Wikipedia. 2020. “Energi Panas Bumi”. https://id.wikipedia.org/wiki/Energi_panas_bumi.


Diakses pada Selasa, 24 November 2020 pukul 2.11 WITA

Anda mungkin juga menyukai