Anda di halaman 1dari 83

SKRIPSI

GEOLOGI DAN ANALISIS POTENSI BAHAYA LONGSOR


DAERAH TENANG WARAS DAN SEKITARNYA,
KABUPATEN MUARA ENIM, SUMATERA SELATAN

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat


Untuk Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Teknik Geologi

Oleh :
Muhammad Ardiansyah
NIM. 03071181419013

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS SRIWIJAYA
JANUARI, 2019
. HALAMAN PENGESAHAN

1. Judul Penelitian : Geologi dan Analisis Potensi Bahaya Longsor Daerah


Tenang Waras dan Sekitarnya, Kabupaten Muara Enim
Sumatera Selatan
2. Biodata Peneliti
a. Nama : Muhammad Ardiansyah
b. Jenis Kelamin : Laki-laki
c. NIM : 03071181419013
d. Alamat Tinggal : Komplek Persada Blok AB No.1 Indralaya, Ogan ilir
e. No. HP/e-mail : 082282866751/ardy.mhd0104@gmail.com
3. Nama Penguji I : Prof. Ir. Edy Sutriyono, M.Sc. Ph.D ( )

4. Nama Penguji II : Budhi Setiawan, S.T. M.T. Ph.D ( )

5. Nama Penguji III : Elisabet Dwi Mayasari, S.T. M.T. ( )

6. Jangka Waktu Penelitian


a. Persetujuan lapangan : (28-12-2017)
b. Sidang sarjana : (14-01-2019)
7. Pendanaan
a. Sumber dana : Mandiri
b. Besar dana : Rp. 7.120.000,-

Indralaya, Januari 2019


Menyetujui
Pembimbing Peneliti

Dr. Ir. Endang Wiwik Dyah Hastuti, M.Sc. Muhammad Ardiansyah


NIP. 19590205 198803 2002 NIM. 03071181419013

Mengetahui
Ketua Program Studi Teknik Geologi

Dr. Ir. Endang Wiwik Dyah Hastuti, M.Sc.


NIP. 19590205 198803 2002

ii
HALAMAN PERSEMBAHAN

Syukur Alhamdulillah saya ucapkan atas terselesaikannya skripsi ini


Allahuakbar Walillahilham, Skripsi ini merupakan salah satu wujud hasil kerja
keras selama berkuliah di Geologi Unsri, Manjadda Wajada, suatu kata yang
simpel namun memiliki makna yang kuat membuat keyakinan selalu hadir dalam
diri saya. Orang tuaku, ayah dan mama, skripsi ini kuselasaikan dengan motivasi
terkuat darimu, kedua orang yang telah bersama membesarkanku sedari aku kecil,
oleh karena itu salah satu bentuk wujud kerja kerasmu aku persembahkan skripsiku
yang tidak sebanding dengan pengorbananmu yah ma, Terima kasih Ayah Mama.
Tak lupa pula untuk keluargaku Toto, Encik, Neng, Ayuk, Edo, semoga Ardi bisa
menjadi harapan keluarga seperti ayuk – ayuk kelak Aamiin Yra.
Teruntuk Dosen Pembimbing Tugas akhirku ibu Dr. Ir. Endang Wiwik
Dyah Hastuti, M,Sc, Terima kasih banyak bu atas bimbingannya selama satu tahun
kebelakang saya merasa sangat bersyukur berada dibawah bimbingan Ibu. Kepada
Dosen Pembibing Akademikku Prof. Ir. Edy Sutriyono, M.Sc. PhD. Salah satu
dosen yang memberiku motivasi terbanyak ketika awal perkuliahan hingga
sekarang, terima kasih banyak Prof atas saran dan nasehatnya selama perkuliahan.
Seluruh staf dosen PSTG Unsri, Bu Idar, Bu Nani, Bu Eli, Bu Falisa, Pak Budhi
Kuswan, Pak Budhi Setiawan dan Pak Stevanus.N. Dosen – dosen yang saya
hormati atas ilmunya, yang selalu memberikan yang terbaik pada saat teori
diruangan maupun dilapangan. Semoga hasil skripsi yang saya buat ini dapat
berguna bagi nusa dan bangsa serta dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

iii
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.
Kemudian tak lupa shalawat serta salam dihaturkan kepada nabi besar kita, Nabi
Muhammad SAW yang telah membebaskan umatnya dari zaman jahiliyah. Dalam
kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya
kepada orang-orang disekitar penulis yang telah membantu, membimbing, dan
memberikan dukungan kepada penulis, atas keberhasilan penulis dalam
menyelesaikan Laporan Tugas Akhir (TA) yang merupakan syarat dalam kelulusan
Strata Satu (S1) Program Studi Teknik Geologi Universitas Sriwijaya.

(1) Ketua Program Studi Teknik Geologi Universitas Sriwijaya sekaligus


Dosen Pembimbing saya Dr. Ir. Endang Wiwik Dyah Hastuti, M.Sc. yang
telah memberikan ilmu yang bermanfaat dan luar biasa banyaknya kepada
penulis sedari awal masuk perkuliahan hingga saat ini.
(2) Dosen Pembimbing Akademik Prof. Ir. Edy Sutriyono, M,Sc. Ph.D, yang
meluangkan waktu untuk saya dalam konsultasi akademik perkuliahan.
(3) Staff dosen PSTG Unsri yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat dan
luar biasa hingga penulis bisa sampai di titik ini.
(4) Pak Sekdes dan Buk Sekdes, Kak Adi & Yuk Else, Nadin, Qyla, Nenek
serta seluruh penduduk di Desa Bedegung, Desa Tenang Waras, Desa
Tenam Duduk dan sekitarnya yang telah membantu penulis selama
pengambilan data di lapangan.
(5) Rekan-rekan angkatan PSTG Unsri 2013-2018.
(6) Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Teknik Geologi (HMTG) “Sriwijaya”.
(7) Teman-teman Hardrock Mapping Team Yuniar, Nurwinda, Finka, Ekky,
Aidil, Fajar, Akmal, Laode, Munthe dan Fazri yang menjadi partner
mapping dan selalu memberikan keceriaan selama di camp
(8) Yang mengisi ruang hati, My Y.N.
(9) Angkatanku Tercinta Geo14, see you on top Guys
(10) Orang tuaku, Mama dan Ayah serta Toto, Encik, Neng, Ayuk I’a dan adek
Edo yang selalu memberikan nasihat, restu, semangat motivasi kepadaku.

Indralaya, Januari 2019

Muhammad Ardiansyah
NIM. 03071181419013

iv
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : Muhammad Ardiansyah
NIM : 03071181419013
Judul :Geologi dan Analisis Potensi Bahaya Longsor Daerah Tenang
Waras dan Sekitarnya, Kabupaten Muara Enim, Sumatera
Selatan

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang sepengetahuan


saya di dalam naskah skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan
oleh pihak lain untuk mendapatkan karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diikuti dalam naskah ini
dan disebut dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila ternyata di dalam naskah skripsi ini dibuktikan terdapat unsur-
unsur jiplakan, saya bersedia skripsi ini digugurkan dan gelar akademik yang telah
saya peroleh (S1) dibatalkan, serta di proses sesuai dengan peraturan yang berlaku
(UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 55 Ayat 2 dan Pasal 70).

Indralaya, Januari 2019

Muhammad Ardiansyah
NIM. 03071181419013

v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

Yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : Muhammad Ardiansyah
NIM : 03071181419013
Judul :Geologi dan Analisis Potensi Bahaya Longsor Daerah Tenang
Waras dan Sekitarnya, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan

Memberikan izin kepada Pembimbing dan Universitas Sriwijaya untuk


mempublikasikan hasil penelitian saya untuk kepentingan akademik apabila dalam
waktu 1 (satu) tahun tidak mempublikasikan karya penelitian saya. Dalam kasus
ini saya setuju untuk mendapatkan Pembimbing sebagai penulis korespondensi
(corresponding author).

Indralaya, Januari 2019

Muhammad Ardiansyah
NIM. 03071181419013

vi
ABSTRAK
Secara administratif daerah penelitian terletak di daerah Tenang Waras dan Sekitarnya,
Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim. Secara geografis terletak
pada koordinat S 4 03 30.1 T 103 38 35.0 & S 4 07 18.5 T 103 42 21.9. Daerah
penelitian secara regional terletak pada sisi Timur Laut dari Bukit Barisan yang
terbentuk pada Oligeosen akhir hingga Miosen Awal, keberadaan Bukit Barisan ini
dikontrol oleh adanya aktvitas struktur berupa Sesar Semangko yang berarah Barat Laut
– Tenggara, fase dari vulkanisme yang terjadi pada daerah penelitian berlanjut hingga
Plio – Plistosen akibat dari proses kompresi dan pengangkatan pada Cekungan
Sumatera Selatan, sehingga menjadikan keseluruhan daerah penelitian tersusun dari
material vulkanik baik lava maupun piroklastik serta adanya pengaruh pola struktur
yang berorientasi Barat Laut –Tenggara. Metode yang menyusun penelitian ini, yaitu
Studi Pustaka, Pelaksanaan Pemetaan Geologi, Analisa Laboratorium, Analisa Studio
Serta Analisis Potensi Bahaya Longsor Dengan Metode AHP. Berdasarkan metode
tersebut diketahui bahwa daerah penelitian dari sisi geomorfologi didapatkan 3 jenis
satuan geomorfik, yaitu perbukitan tinggi terdenudasi dengan lereng datar – sangat
curam (PD), perbukitan tinggi terdenudasi dengan lereng agak curam – sangat curam
(PC) dan kanal sungai (KS), daerah penelitian tersusun oleh 1 Formasi yaitu Formasi
Qhv dan 4 satuan batuan, yaitu Satuan Batuan Lava Andesit, Lava Autobreksi, Breksi
Tufa serta Satuan Batuan Lapili Tufa. Berdasarkan analisa struktur geologi didapatkan
struktur kekar dan sesar, struktur sesar yang ditemukan berjenis sesar geser dengan
pergerakan menganan naik. Berdasarkan hasil analisis potensi bahaya longsor pada
daerah penelitian terdapat 4 kategori bahaya longsor yang termasuk pada daerah
penelitian, yaitu rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi.

Kata Kunci : Bahaya Longsor, Metode AHP, Batuan Vulkanik, Gunung Api Kuarter.

vii
ABSTRACT
Administratively, the research area is located in Tenang Waras and its surrounding
area, Semende Darat Laut Sub-district, Muara Enim District. Geographically, it is
located at the coordinates of S 4 03 30.1 E 103 38 35.0 & S 4 07 18.5 E 103 42 21.9.
Regionally, the research area is located at the North-eastern part of Barisan Mountain
which formed on Late Oligocene until Early Miocene, the Barisan Mountain is
controlled by the structural activity which is Semangko Fault with the direction of
Northeast – Southwest, the volcanic phase which happen in the research area continue
until Plio – Pleistocene as the result of compressional and uplifting process on the
South Sumatera Basin. This phenomena makes the whole of research area composed of
volcanic material either lava or pyroclastic and there is also structural influence which
oriented of Northeast – Southwest. The methods which build up this research are
literature study, geological mapping, laboratory analysis, studio analysis and also the
analysis of landslide danger potential by using AHP Methods. Based on those methods
can be obtain that the research area from geomorphological side consists of 3 types of
geomorphic such as high denudational hills with flat-very steep of slope (PD,) high
denudational hills with moderately-very steep of slope (PC) and river channel (KS),
from stratigraphy, the research area is composed of 1 formation which is Qhv
Formation and 4 rock units, which are Andesitic Lava, Autobreccia Lava, Tuff Breccia
and also Lapilli Tuff. Based on the structural analysis, obtained severaly structure of
jointing and faulting, the type of fault which located in the research area is strike slip
fault with the movement of Dextral Up. Based on the analysis of landslide danger
potential of research area there are 4 categorizes which include into the research area,
which are low, medium, high and very high.

Keywords : Landslide Danger, AHP Methods, Volcanic Rocks, Quartenary Volcano.

viii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ................................................................................................................ i
Halaman Pengesahan ...................................................................................................... ii
Halaman Persembahan .................................................................................................... iii
Ucapan Terima Kasih ..................................................................................................... iv
Halaman Pernyataan Orisinalitas .................................................................................... v
Halaman Persetujuan Publikasi ...................................................................................... vi
Abstrak ............................................................................................................................ vii
Daftar Isi ......................................................................................................................... ix
Daftar Tabel ..................................................................................................................... xi
Daftar Gambar ................................................................................................................. xii
Daftar Lampiran ............................................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1


1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Maksud dan Tujuan .................................................................................................. 1
1.3 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 1
1.4 Batasan Masalah ....................................................................................................... 2
1.5 Kesampaian Daerah .................................................................................................. 2
BAB II GEOLOGI REGIONAL ................................................................................. 4
2.1 Tatanan Tektonik Regional ....................................................................................... 4
2.2 Stratigrafi Regional ................................................................................................... 5
2.3 Struktur Geologi Regional ........................................................................................ 7
BAB III METODE PENELITIAN .............................................................................. 9
3.1 Metode Penelitian Geologi ...................................................................................... 9
3.1.1 Studi Pustaka ........................................................................................................9
3.1.2 Pelaksanaan Pemetaan .......................................................................................... 10
3.1.3 Analisa Laboratorium ........................................................................................... 12
3.1.4 Kerja Studio .......................................................................................................... 13
3.2 Metode Penelitian Analisis Potensi Bahaya Longsor .............................................. 17
BAB IV GEOLOGI DAERAH PENELITIAN .......................................................... 21
4.1 Geomorfologi Daerah Penelitian .............................................................................. 21
4.1.1 Aspek Geomorfik .................................................................................................. 21
ix
4.1.2 Satuan Geomorfik ................................................................................................. 26
4.2 Stratigrafi Daerah Penelitian .................................................................................... 29
4.2.1 Satuan Batuan Lava Andesit ................................................................................. 34
4.2.2 Satuan Batuan Lava Autobreksi Andesit .............................................................. 36
4.2.3 Satuan Batuan Breksi Tufa ................................................................................... 37
4.2.4 Satuan Batuan Lapili Tufa ................................................................................... 39
4.3 Struktur Geologi Daerah Penelitian ......................................................................... 41
4.3.1 Analisa Pola Kelurusan Struktur........................................................................... 41
4.3.2 Analisa Pola Struktur Kekar ................................................................................. 42
4.3.3 Sesar Geser Pancuringkih ...................................................................................... 44
BAB V ANALISIS POTENSI BAHAYA LONGSOR .............................................. 47
5.1 Dasar Teori .............................................................................................................. 47
5.2 Pemetaan Titik Kelongsoran .................................................................................... 48
5.3 Pembobotan & Penilaian Parameter Dengan Metode AHP ..................................... 49
5.4 Parameter Penyebab Kelongsoran ........................................................................... 54
5.4.1 Litologi.................................................................................................................. 54
5.4.2 Curah Hujan .......................................................................................................... 54
5.4.3 Kemiringan Lereng ............................................................................................... 56
5.4.4 Penggunaan Lahan ................................................................................................. 56
5.4.5 Elevasi.................................................................................................................... 57
5.5 Analisis Bahaya Longsor ......................................................................................... 57
BAB VI SEJARAH GEOLOGI ................................................................................... 60
BAB VII KESIMPULAN ............................................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 66
LAMPIRAN

x
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1.1 Koordinat Lokasi Penelitian .................................................................................... 2
3.1 Klasifikasi kemiringan lereng oleh Widyatmanti dkk, 2016 ................................... 14
3.2 Klasifikasi elevasi dalam meter oleh Widyatmanti dkk, 2016 ................................ 15
3.3 Contoh Tabel Pengukuran Struktur ......................................................................... 16
3.4 Pembobotan skala menurut Saaty (1990) ................................................................ 18
4.1 Daerah penelitian termasuk ke Khuluk Lumut Balai Tua, aliran lava Ltl2 dan
endapan longsoran Ltlg berdasarkan Primulyana (2012) ........................................ 30
4.2 Kolom stratigrafi daerah penelitian menunjukkan 4 jenis satuan batuan ................ 34
5.1 Perbandingan nilai intensitas tiap parameter (Rincon dkk, 2018) ........................... 50
5.2 Normalisasi perbandingan tiap parameter (Rincon dkk, 2018). .............................. 52
5.3 Pembobotan tiap parameter (Rincon dkk, 2018) ..................................................... 52
5.4 Penjumlahan parameter tertimbang dan konsistensi parameter ............................... 53
5.5 Bobot parameter bahaya longsor ............................................................................. 54
5.6 Bobot dan skor untuk parameter litologi. ................................................................ 54
5.7 Bobot dan skor untuk parameter curah hujan .......................................................... 55
5.8 Bobot dan skor berdasarkan parameter kemiringan lereng ..................................... 56
5.9 Bobot dan skor berdasarkan parameter penggunaan lahan. ..................................... 56
5.10 Bobot dan skor berdasarkan parameter elevasi...................................................... 57
5.11 Tingkat kategori bahaya longsor............................................................................ 58

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1.1 Peta Administratif wilayah Sumatera Selatan yang menunjukkan daerah
penelitian (petakan berwarna merah) Sumber: Peta Tematik Indonesia, 2015 ......... 3
2.1 Peta yang disimpilifikasi menunjukkan bagian fore arc basin, volcanic arc,
serta back arc bain dari Pulau Satera, daerah penelitian terletak pada
Cekungan Sumatera Selatan (Barber dkk, 2005) ...................................................... 5
2.2 Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan (Barber dkk, 2005) ..................................... 7
2.3 Distribusi Struktur Geologi Regional pada Cekungan Sumatera Selatan
(Barber dkk, 2005) .................................................................................................... 8
3.1 Diagram Alir Metode Penelitian ............................................................................... 9
3.2 Diagram Alir Studi Khusus ....................................................................................... 17
3.3 Hasil interpolasi titik curah hujan (mm/tahun) pada daerah penelitian .................... 20
4.1 Bentukan 3 dimensi memperlihatkan bentukan perbukitan tinggi yang
mendominasi, klasifikasi elevasi dibagi berdasarkan Widyatmanti dkk,
2016 ........................................................................................................................... 22
4.2 Diagram roset pola aliran dendritik yang menunjukkan arah umum gaya pada N
85 E hingga N 90 E ................................................................................................... 25
4.3 Pola aliran radial yang memancar dari pusatnya yang berbentuk kubah
biasanya gunung ataupun bukit (Noor, 2014) ........................................................... 25
4.4 Diagram roset pola aliran radial yang menunjukkan arah umum gaya pada N
355 E hingga N 5 E ................................................................................................... 26
4.5 Salah satu titik longsor pada daerah penelitian yang terdapat pada sisi kiri
Sungai Enim ............................................................................................................. 26
4.6 Satuan perbukitan tinggi terdenudasi dengan kelerengan landai .............................. 27
4.7 Bentang alam yang menunjukkan satuan perbukitan tinggi terdenudasi
dengan kelerengan curam pada daerah penelitian ..................................................... 28
4.7 Bentang alam yang menunjukkan satuan perbukitan tinggi vulkanik
terdenudasi dengan kelerengan curam pada daerah penelitian ................................. 28
4.9 Aliran Sungai Enim yang termasuk kedalam satuan kanal sungai ............................ 29
4.10 Peta Geologi Baturaja, Insert: Hasil plot yang menunjukkan posisi dari
daerah penelitian dengan Peta Geologi Gunung Api Lumut Balai
(Primulyana, 2012) ................................................................................................. 32

xii
4.11 Interpretasi fasies dan sumber material vulkanik pada daerah penelitian dengan
menggunakan Peta DEM ........................................................................................ 33
4.12 Struktur kekar berlembar yang ditemukan pada singkapan LP 67 yang
merupakan satuan batuan lava andesit pada daerah penelitian .............................. 35
4.13 Kenampakan mikrografi dari satuan batuan lava andesit LP 96, p.4x .................... 35
4.14 Kenampakan karakteristik autobreksi yang terlihat pada permukaan satuan
batuan lava autobreksi andesit pada LP 3 .............................................................. 36
4.15 Kenampakan mikrografi dari LP 17 yang merupakan batuan lava
autobreksi andesit dengan perbesaran 4x ............................................................... 37
4.16 Kenampakan singkapan breksi tufa pada daerah penelitian LP 91 menunjukkan
struktur massif dan dipengaruhi vegetasi yang kuat .............................................. 38
4.17 Kenampakan mikrografi dari batuan Breksi Tufa pada LP 35 daerah
penelitian ................................................................................................................ 39
4.18 Kenampakan batuan lapilli tufa pada LP 33 yang terlapuk cukup kuat dan
memiliki tingkat resistensi yang rendah ................................................................. 40
4.19 Kenampakan mikrograf dari LP 47 dengan perbesaran 4x ..................................... 40
4.20 Pola Kelurusan dari petakan (kotak kuning) daerah penelitian dan area
sekitarnya menunjukkan gaya utama daerah penelitian berpola Baratlaut –
Tenggara dengan arah utama gaya berkisar N 310o E – N 320o E ......................... 41
4.21 Struktur kelurusan negatif yang terdapat pada daerah penelitian ........................... 42
4.22 Data kekar berupa shear joint yang didapatkan dilapangan.................................... 43
4.23 Proyeksi stereografis dari data kekar dilapangan pada singkapan sesar
pancuringkih, pembuatan proyeksi dilakukan dengan menggunakan software
Dips ........................................................................................................................ 43
4.24 Kenampakan kekar tarik pada LP 31 di daerah penelitian memiliki arah utama N
317o E / 78o ............................................................................................................. 44
4.25 Kenampakan indikasi sesar yang didapatkan dilapangan, ...................................... 45
4.26 Kenampakan struktur gores garis yang terlihat seperti mengatas, setelah
diukur gores garis tersebut memiliki nilai pitch 25o .............................................. 45
4.27 Hasil plot data struktur pitch dan kedudukan dari sesar geser menggunakan Software
WinTensor ............................................................................................................... 46
4.28 Diagram Gultaf (2014) ............................................................................................ 46
5.1 Titik-titik longsor yang terdapat pada daerah penelitian ........................................... 51
5.2 Histogram dari data rata-rata curah hujan perbulan pada daerah penelitian ............. 55

xiii
5.3 Grafik Perubahan Nilai Skor Akhir, nilai grafik horizontal menunjukkan nilai
urutan data sedangkan nilai grafik vertikal menunjukkan nilai skor akhir .............. 57
6.1 Ilustrasi peningkatan aktivitas vulkanisme disekitar daerah penelitian .................... 60
6.2 Ilustrasi dari terbentuknya gugusan bukit intrusi pada daerah penelitian dan
sekitarnya .................................................................................................................. 61
6.3 Ilustrasi dari pengendapan lava andesit yang mengendapkan materialnya
secara keseluruhan hingga ke daerah penelitian .................................................... 62
6.4 Ilustrasi dari terendapnya material piroklastik akibat longsoran pada daerah
penelitian ................................................................................................................ 62
6.5 Ilustrasi Sesar Geser Pancuringkih yang terdapat pada daerah penelitian ................ 63
6.6 Ilustrasi dari daerah penelitian dengan berbagaiaspek geologinya saat ini ............... 64
6.7 Keadaan geologi daerah penelitian dengan luasan 7x7 Km ...................................... 64

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Tabulasi Data Lapangan


Lampiran 2. Peta Lintasan Pengamatan
Lampiran 3A. Peta Elevasi Morfologi
Lampiran 3B. Peta Kemiringan Lereng
Lampiran 3C. Peta Pola Pengaliran
Lampiran 3D. Peta Geomorfologi
Lampiran 4. Tabulasi Data Struktur
Lampiran 5. Peta Penampang Stratigrafi
Lampiran 6. Analisa Petrografi
Lampiran 7. Peta Geologi
Lampiran 8A. Peta Litologi Daerah Tenang Waras
Lampiran 8B. Peta Kemiringan Lereng Daerah Tenang Waras
Lampiran 8C. Peta Penggunaan Lahan Daerah Tenang Waras
Lampiran 8D. Peta Elevasi Daerah Tenang Waras
Lampiran 8E. Peta Overlay Parameter Bahaya Longsor Daerah Tenang Waras
Lampiran 8F. Peta Bahaya Longsor Daerah Tenang Waras

xv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kegiatan penelitian ini dimaksudkan untuk menerapkan ilmu dasar dan prinsip-
prinsip geologi yang telah didapatkan selama perkuliahan berlangsung dengan cara
melakukan pemetaan aspek – aspek geologi di lapangan, pengambilan sampel data dari
lapangan dan melakukan analisa laboratorium lanjutan untuk membantu dalam
interpretasi penelitian tersebutPenelitian dilakukan di Desa Tenang Waras dan
sekitarnya, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, pemilihan daerah
tersebut karena dianggap memenuhi syarat secara geologi untuk melakukan penelitian
tugas akhir seperti memiliki karakteristik sedimentologi, petrologi, stratigrafi, struktur
geologi dan geomorfologi. Judul yang diangkat pada penelitian kali ini adalah Geologi
dan Analisis Potensi Bahaya Longsor Daerah Tenang Waras dan Sekitarnya. Hal yang
melatarbelakangi pemilihan studi tersebut adalah tingkat perhatian dari penulis yang
menyadari bahwa pada daerah penelitian terdapat cukup banyak lokasi tanah yang
mengalami kelongsoran sehingga peneliti tertarik untuk mendalami mengenai faktor-
faktor penyebab kelongsoran pada daerah penelitian dan membuat peta rawan longsor
berdasarkan metode penginderaan jauh dan pembobotan selain itu daerah penelitian
juga memiliki variabel-variabel yang mendukung untuk dilakukannya penelitian
mengenai kelongsoran.

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi penyebaran dan batas-batas litologi daerah penelitian.
2. Mengklasifikasikan bentuk lahan daerah penelitian berdasarkan kenampakan
morfologi di lapangan
3. Mengidentifikasi keterdapatan struktur geologi pada daerah penelitian dengan
melakukan pengukuran struktur geologi di lapangan.
4. Menganalisis bahaya longsor pada daerah penelitian dengan menggunakan metode
penentuan AHP

1.3 Rumusan Masalah


Penelitian geologi lapangan dilakukan untuk mengumpulkan informasi geologi
yang terjadi pada daerah Batanghari dan sekitarnya. Informasi geologi yang dimaksud
adalah pengambilan langsung data lapangan yang dilakukan pada saat pemetaan geologi
berlangsung dan analisa laboratorium lanjutan yang dilakukan pada beberapa sampel
batuan yang telah dipilih. Berikut rumusan masalah untuk menghimpun data lapangan
tersebut:
1. Litologi apa saja yang terdapat pada daerah Tenang Waras dan sekitarnya?
2. Bentukan geomorfologi apa saja yang terdapat pada daerah Tenang Waras dan
sekitarnya?

1
3. Struktur geologi apa saja yang berkembang pada daerah Tenang Waras dan
sekitarnya?
4. Area mana saja yang memiliki potensi bahaya longsor pada daerah Tenang Waras
dan sekitarnya?

1.4 Batasan Masalah


Dalam melakukan penelitian terdapat beberapa hal yang membatasi dari
rumusan masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, seperti:
1. Penelitian secara keseluruhan dilakukan pada daerah Tenang Waras dan sekitarnya,
Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan dengan luas 7x7 km, dengan wilayah
geografis S 4 03 30.1 E 103 38 35.0 & S 4 07 18.5 E 103 42 21.9.
2. Penelitian studi khusus dilakukan dengan mengacu beberapa variabel penyebab
longsor yang kemudian dilakukan pembobotan sesuai dengan interpretasi pengaruh
terhadap tingkatan kelongsoran yang dapat terjadi.
3. Penelitian studi khusus terbatas pada pembahasan dari segi aspek bahaya (hazard)
longsor pada daerah penelitian dengan dasar bahwa aspek ini dapat menjadi bahasan
analisa tersendiri.

1.5 Kesampaian Daerah


Lokasi penelitian terletak di desa Tenang Waras, Kabupaten Muara Enim,
Sumatera Selatan Daerah penelitian ini memiliki luas 7 km x 7 km, terdapat 3
kecamatan yang termasuk ke dalam area penelitian yaitu Kecamatan Tanjung Agung,
Kecamatan Semende Darat Laut yang keduanya termasuk ke dalam Kabupaten Muara
Enim dan satu lagi Kecamatan Ulu Ogan yang termasuk ke dalam Kabupaten Ogan
Komering Ulu namun hanya mencakup sedikit sekali dari daerah penelitian sehingga
saya simpulkan kabupatennya tetap termasuk ke dalam Kabupaten Muara Enim saja.
Lokasi geografis dari daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.1 dibawah
Kesampaian lokasi menuju daerah penelitian ditempuh sekitar 6 – 7 jam dari kota
Palembang, jenis transportasi yang dapat digunakan adalah sepeda motor dan mobil,
dapat pula ditempuh dengan menggunakan kereta api namun tetap memerlukan
transportasi lanjutan berupa sepeda motor atau mobil untuk menuju area penelitian
(Gambar 1.1)

Tabel 1.1. Koordinat lokasi penelitian


No. E S
1. 103 38’ 35.0”
o
4 03’ 30.1”
o

2. 103 42’ 21.9”


o
4o 03’ 30.1”
3. 103o 42’ 21.9” 4o 07’ 18.5”
4. 103o 38’ 35.0” 4o 07’ 18.5”

2
Gambar 1.1. Peta Administratif wilayah Sumatera Selatan yang menunjukkan daerah
penelitian (petakan berwarna merah), sumber: Peta Tematik Indonesia, 2015.

3
BAB II
GEOLOGI REGIONAL

2.1 Tatanan Tektonik Regional


Daerah penelitian yaitu Tenang Waras dan sekitarnya, kabupaten Muara Enim,
Sumatera Selatan secara Tektonik terletak di pulau Sumatera yang merupakan zona
subduksi pertemuan dua lempeng besar, yaitu lempeng Indo-Australia dan lempeng
Eurasia. Pulau Sumatera terbentuk karena adanya konvergensi, akresi dan suturasi
antara bagian blok Timur dan bagian blok Barat Sumatera, di mana blok Timur berasal
dari Lempeng Asia Tenggara dan blok Barat Sumatera berasal dari Gondwana (Barber
dkk, 2005). Tumbukan antar lempeng tektonik Indo-Australia dan lempeng Eurasia
berhasil membentuk suatu zona subduksi yang memanjang dari pantai barat Sumatera
sampai ke selatan Nusa Tenggara pada masa Paleogen selain menghasilkan barisan
pegunungan atau yang dikenal dengan Bukit Barisan yang berjajar dari Northwest –
Southeast Pulau Sumatera, efek subduksi tersebut juga menghasilkan rangkaian busur
pulau (forearch island) yang bersifat non-vulkanik berupa Pulau Simeulue, Nias,
Banyak, Batu, hingga Pulau Enggano.
Secara umum, Pulau Sumatera terbagi atas Fore-arc Basin, Magmatic Arc, dan
Back-arc Basin, bagian fore arc basin merupakan bagian Southwest dari barisan
perbukitan yang dikenal sebagai bukit barisan, magmatic arc pulau Sumatera terletak
pada barisan pegunungan yang memanjang sejajar dengan gaya utama yang membentuk
Pulau Sumatera, bagian back-arc basin merupakan tempat terendapkannya sedimen di
berbagai cekungan di Pulau Sumatera, daerah penelitian ini terletak pada bagian back-
arc basin, walaupun terdapat banyak pegunungan yang terdapat di bagian selatan daerah
penelitian namun daerah penelitian termasuk ke dalam perbatasan antara volcanic arc
dan back-arc basin sehingga tidak termasuk ke dalam bukit barisan yang merupakan
volcanic arc, sehingga dapat diketahui bahwa daerah penelitian terletak pada bagian
back-arc basin atau cekungan busur belakang Cekungan Sumatera Selatan (Gambar
2.1). Cekungan Sumatera Selatan sendiri berada di sepanjang kaki Pegunungan Bukit
Barisan yang merupakan hasil depresi dari basement rock. Secara tektonik, Cekungan
Sumatera Selatan ini dipengaruhi oleh 2 fase tektonik, yaitu fase yang membentuk
basement dengan blok sesar yang berarah Timur Laut – Barat Daya pada Tersier Awal
dan fase terjadinya proses orogenik yang kemudian membentuk pegunungan-
pegunungan di Pulau Sumatera dan menghasilkan struktur sesar geser (strike slip fault)
pada Plio – Pleistosen. Subduksi ini juga diperkirakan telah menyebabkan rotasi
Lempeng Eurasia dan berdampak pada perubahan rotasi Pulau Sumatera yang
sebelumnya berarah East-West menjadi Southeast-Northwest pada Eosen-Oligosen.
Subduksi oblique ini, serta pengaruh sesar mendatar Sumatera menjadikan kompleksitas
rezim stress dan pola strain pada Pulau Sumatera (Darman dan Sidi, 2000).
Menurut De Coster (1974) dalam Barber dkk (2005), struktur Cekungan
Sumatera Selatan didominasi oleh singkapan batuan Pra-Tersier di Bukit Tigapuluh
yang berbatasan dengan Pegunungan Duabelas di bagian utara dan di sepanjang Bukit

4
Barisan sampai ke Barat daya. Batuan Pra Tersier tersebut dibatasi oleh singkapan unit
Tersier tertua di cekungan ini, yaitu Fomasi Lemat dan Lahat yang menunjukkan
adanya pengangkatan basement. Struktur lipatan antiklin pada cekungan ini
terkonsentrasi pada tiga antiklinorium, yaitu Antiklinorium Palembang, Antiklinorium
Pendopo, dan Antiklinorium Muaraenim, dimana endapan sedimen Tersier paling tebal
yaitu berada ditengah cekungan.

Gambar 2.1 Peta yang disimplifikasi menunjukkan bagian fore-arc basin, volcanic arc
serta back-arc basin dari Pulau Sumatera, daerah penelitian terletak pada Cekungan
Sumatera Selatan (Barber dkk, 2005)

2.2 Stratigrafi Regional


Cekungan Sumatera Selatan dikenal sebagai salah satu cekungan sedimenter
utama yang terdapat di Pulau Sumatera, stratigrafi sedimenter dari cekungan ini disusun
oleh dua fase utama, yaitu suatu fase transgresi dan diikuti oleh regresi. Barber dkk,
2005 menyatakan terdapat berbagai macam kelompok formasi yang terbentuk selama
fase trangresi atau kenaikan muka air laut, hal ini dikelompokkan menjadi Kelompok
Telisa yang terdiri dari Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, dan Formasi Gumai
adapun Formasi yang terbentuk selama fase regresi atau penurunan muka air laut
dikelompokkan menjadi Kelompok Palembang yang terdiri dari Formasi Air Benakat,
Formasi Muara Enim, dan Formasi Kasai). Sedangkan Formasi yang terbentuk sebelum
adanya pengaruh muka air laut atau Formasi yang terbentuk sebelum fase transgresi
utama yaitu Formasi Lemat dan older Lemat (Kelompok Pra-Tersier) stratigrafi regional
menurut Barber dkk, 2005 dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Formasi yang termasuk pada kelompok Pra-Tersier adalah batuan yang berupa
batuan dasar atau basement rock dari Cekungan Sumatera Selatan, batuan ini tersusun

5
dari batuan metamorf Paleozoikum, batuan beku Mesozoikum, dan batuan karbonat
yang telah mengalami proses metamorfisme. Kemudian dilanjutkan dengan
pengendapan Formasi Lahat yang merupakan batuan tertua pada cekungan ini yang
terdiri dari batupasir tufaan, konglomerat breksi, dan lempung, batuan-batuan yang
terdapat pada formasi ini diinterpretasikan sebagai bagian dari siklus sedimentasi
continent, akibat aktivitas vulkanik dan tektonik pada Akhir Kapur – Awal Tersier
selanjutnya terendapkan Formasi Talang Akar pada awal fase transgresi secara tidak
selaras (unconformity) di atas Formasi Lahat yang diinterpretasikan sebagai
paraconformity karena tidak ditemukannya jarak waktu yang pasti pada proses
pengendapannya hal ini juga dapat diinterpretasikan tidak ditemukannya zona erosi
yang menghubungkan antar kedua formasi. Formasi Talang Akar terdiri dari batulanau
batupasir, batuserpih, batupasir kuarsa, batubara dengan sisipan batulempung karbonat
dan konglomerat. Di atas dari formasi Talang Akar ini, terendapkan Formasi Baturaja
Setelah dilakukan analisa mengenai umur dari Formasi Baturaja, diketahui bahwa
formasi ini berumur Miosen hal ini diketahui dari analisa umur fosil yang didapatkan
bahwa formasi ini berumur N6-N7, diatas dari Formasi Baturaja ini, diendapkan
Formasi terakhir yang terendapkan selama fase transgresi, yaitu Formasi Gumai,
formasi ini diendapkan pada zaman Tersier, merupakan diketahui sebagai formasi yang
terbentuk saat kenaikan muka air laut maksimum (maximum transgression). Formasi ini
terdiri dari napal fossiliferous dengan banyak mengandung foram plankton dan sisipan
batugamping pada bagian bawah. Beberapa spesies plankton yang ditemukan pada
Formasi ini adalah, Globogerinotella insueta, Orbulina satiralis, Globigerinoides
sicanus dari analisa fosil dapat diketahui bahwa Formasi berumur Miosen Awal –
Miosen Tengah dengan lingkungan pengendapan laut terbuka, yaitu Neritik.
Setelah terbentuknya fase transgresi yang ditandai dengan berakhirnya fase
transgresi maksimum dari Formasi Gumai selanjutnya berlaku fase regresi yang
merupakan fase penurunan muka air laut, fase ini disusun oleh beberapa formasi yang
terendapkan selama fase ini, yaitu Formasi Air Benakat, Formasi Muara Enim, dan
Formasi Kasai. Formasi Air Benakat terdiri dari batupasir dengan ciri khusus yaitu
mempunyai tekstur glaukonitan, batulanau, batulempung. Formasi ini berumur Miosen
Tengah dengan lingkungan pengendapan laut dangkal, sehingga walaupun telah masuk
ke fase regresi namun formasi ini pada umumnya masih terendapkan pada lingkungan
marine, diatas dari Formasi Air Benakat, terendapkan Formasi Muara Enim yang terdiri
dari batupasir, batulempung, dan lapisan batubara. Formasi ini terkenal sebagai formasi
pembawa lapisan batubara di Cekungan Sumatera Selatan. Formasi ini berumur Miosen
Akhir – Pliosen dengan lingkungan pengendapan laut dangkal – brackist, delta plain,
dan lingkungan non marine, litologi yang terbentuk pada formasi ini pada umumnya
merupakan batulempung dan batupasir, serta batubara yang memiliki ketebalan
bervariasi. Lalu formasi terakhir yang terendapkan pada fase regresi adalah Formasi
Kasai yang diendapkan selama orogenesa pada Plio-Pleistosen atau pengangkatan
Pegunungan Barisan dan dihasilkan dari proses erosi Pegunungan Barisan dan
Tigapuluh. Formasi ini terdiri dari beberapa litologi seperti batupasir tufaan, lempung,
serta beberapa lapisan batubara yang tidak terlalu tebal apabila dibandingkan dengan

6
batubara pada Formasi Muara Enim. Formasi ini diinterpretasikan berumur Plio-
Pleistosen dengan lingkungan pengendapan darat. Pada fase regresi tepatnya setelah
pengendapan dari Formasi Kasai hampir usai terjadi peningkatan aktivitas gunung api
pada Holosen menyebabkan terbentuknya Formasi Qhv (Quarter Holocene Volcanic),
yang merupakan satuan batuan breksi gunung api tuf. Berdasarkan peta geologi lembar
Baturaja, Sumatera Selatan yang disusun oleh S. Gafoer dkk, 1993, Formasi Qhv ini
terdiri dari batuan breksi gunung api, lava aliran dan tuf bersusunan andesit-basal yang
berasal dari berbagai sumber, seperti Bukit Benatan, Bukit Punggur, Gununug Raya,
Bukit Nanti, Bukit Jambul, Gunung Kukusan, Bukit Lumut, dan Bukit Balai. Formasi
Qhv merupakan tempat dari penelitian tugas akhir dari penulis berlangsung.

Gambar 2.2 Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan (Barber dkk, 2005)

2.3 Struktur Geologi Regional


Daerah Penelitian terletak pada Cekungan Sumatera Selatan yang dibatasi oleh
tinggian lampung pada bagian timur cekungan yang memanjang hingga ke bagian utara
dari cekungan dibatasi oleh adanya Pulau Bangka dan Belitung, pada bagian barat daya
dari cekungan dibatasi oleh adanya Bukit Barisan yang terangkat oleh basement pada
beberapa bagian dari bukit barisan ini ada yang tertutupi oleh produk – produk dari
batuan vulkanik kuarter. Sejarah dari struktur geologi regional Cekungan Sumatera
Selatan dimulai Kala akhir Eosen hingga awal Oligosen, terdapat batuan dasar pra-
tersier yang terkena struktur sesar berarahkan Barat Laut – Tenggara Timur serta adanya
struktur amblesan pada rift graben, yang mana pada cekungan sumatera selatan
keterdapatan struktur ini digambarkan hanya dengan Sesar Kikim dan beberapa bagian
dari Sesar Lembak yang memotong Antiklinorium Pendopo – Limau (Pulunggono,

7
1986), setelah adanya fase rifting kemudian berlaku fase thermal subsidence yang
membentuk sag phase, fase ini menyebabkan terendapkannya endapan sedimen laut
yang terendapkan pada daratan, fase ini disebut juga transgresi yang terus terjadi hingga
terbentuknya Formasi Gumai, terdapat studi mikrofosil pada Formasi Baturaja dan
Gumai menunjukkan bahwa pengendapan dari batuan karbonat bersifat diachronous
dan bergerak dari bagian barat ke timur (Pannetier, 1994).
Sistem penujaman lempeng yang telah terbentuk membuat aktivitas vulkanik
dan pengangkatan batuan dasar di Bukit Barisan membuat terbentuknya fase regresi
yang pengendapannya dimulai pada pertengahan Miosen yang terus menerus terjadi
hingga Pleistosen, fase pengangkatan batuan dasar ini dipengaruhi oleh gaya kompresi
yang berarah Timur Laut – Barat Daya, akibat dari gaya ini pula menyebabkan
reaktivasi kembali dari sesar – sesar di batuan dasar, pengangkatan blok batuan dasar
dan membentuk kembali lipatan yang telah terbentuk sebelumnya dan berarah Barat
Laut – Tenggara, sehingga hal tersebutlah yang membuat banyaknya terbentuk
anticlinorium yang terdapat di Cekungan Sumatera Selatan terutama anticlinorium yang
terbentuk pada Formasi Airbenakat dan Muaraenim (Pulunggono, 1986). Peta Struktur
Geologi regional Cekungan Sumatera Selatan dapat dilihat pada Gambar 2.3 di bawah.

Gambar 2.3 Distribusi Struktur Geologi Regional pada Cekungan Sumatera Selatan
(Barber dkk, 2005)

8
BAB III
METODE PENELITIAN

Pemetaan geologi ini dilakukan dengan menggunakan metode pemetaan geologi


permukaan (surface mapping). Pengambilan data sendiri dibagi atas empat tahapan
utama yaitu, tahap studi pustaka, tahap pelaksanaan pemetaan, tahap analisa
laboratorium dan tahap kerja studio. Tahap studi pustaka terdiri dari mempelajari serta
memahami kondisi geologi regional daerah penelitian, kemudian membuat peta dasar
dan melakukan survei tinjau lapangan, tahap pelaksanaan pemetaan dengan melakukan
pengamatan singkapan dan pengumpulan data lapangan, pengamatan geomorfologi dan
pengukuran struktur geologi, selanjutnya tahap analisa laboratorium yang terdiri dari
analisa petrografi dan paleontologi, terakhir tahap kerja studio yang terdiri dari kegiatan
pembuatan peta dan penampang, analisa struktur geologi, pembuatan model geologi dan
pembuatan laporan akhir (skripsi). Untuk memperjelas alur penelitian telah dibuat
diagram alurnya pada gambar 3.1 di bawah.

Gambar 3.1. Diagram Alir Metode Penelitian

3.1 Metode Penelitian Geologi

3.1.1 Studi Pustaka


Tahapan studi pustaka dilakukan untuk mempersiapkan kegiatan pemetaan
geologi secara rinci agar lebih terarah dalam kegiatan pelaksanaan pemetaan nanti. Pada
tahap ini juga peneliti dapat mempelajari terlebih dahulu tentang geologi regional
daerah telitian, sehingga dapat menjadi gambaran umum saat melakukan tahap
lapangan, kegiatan ini menjadi salah satu yang terpenting karena menjadi dasar acuan
dari penulis mengenai kondisi lapangan yang akan diteliti nantinya. Tahapan studi
pustaka ini terdiri dari:

9
3.1.1.1 Pembuatan Proposal Penelitian
Pembuatan proposal ini ditujukan kepada pihak Program Studi Teknik Geologi
Universitas Sriwijaya, selaku instansi yang mengawasi kegiatan penelitian sekaligus
sebagai syarat untuk dapat melakukan tugas akhir. Proposal penelitian ini juga dapat
menjadi lampiran untuk mendapatkan izin melakukan kegiatan pemetaan di daerah
penelitian yang terletak di Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan.

3.1.1.2 Studi & Pembuatan Peta Pendahuluan


Studi pendahuluan dilakukan untuk mengetahui gambaran umum daerah
penelitian, terutama yang berkenaan dengan data geologi untuk menjadi acuan bagi
penelitian dan mempermudah bagi peneliti untuk menginterpretasi saat pengambilan
data lapangan secara langsung. Studi pendahuluan dapat dilakukan dengan cara
mengkaji geologi, stratigrafi serta struktur regional kemudian juga mempelajari hasil
penelitian terdahulu yang berhubungan dengan daerah penelitian.
Peta pendahuluan ini dimaksudkan untuk menjadi gambaran kondisi daerah
penelitian dengan menggunakan citra satelit, database peta Rupa Bumi Indonesia (RBI),
dan peta lembar geologi terdahulu. Peta ini dibuat dengan skala 1 : 25.000 dengan luas
daerah penelitian 49 KM. Adapun peta yang dihasilkan yaitu peta geologi pendahuluan
yang diambil dari peta geologi regional, peta pola pengaliran pendahuluan, peta
geomorfologi yang diinterpretasikan dari kenampakan kontur dan pola pengaliran yang
terdapat di daerah tersebut, peta kemiringan lereng pendahuluan dibuat dengan
menggunakan klasifikasi Van Zuidam (1985), peta kelurusan yang dibuat dengan data
DEM, dan peta rencana lintasan yang berfungsi sebagai rencana lintasan pada saat
kegiatan lapangan.

3.1.1.3 Survei Lapangan


Tahapan survei lapangan bertujuan untuk mendapatkan izin dapat melakukan
kegiatan pemetaan pada daerah penelitian dan memastikan bahwa daerah yang telah
dipilih dari studi regional dapat dikatakan mumpuni untuk dapat dijadikan lokasi
penelitian. Adapun kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini, yaitu pengajuan proposal
penelitian kepada pemerintah daerah terkait, penentuan lokasi tempat tinggal selamat
melakukan penelitian, dan pengecekan lapangan awal lokasi penelitian.

3.1.2 Pelaksanaan Pemetaan


Tahapan pemetaan geologi merupakan kegiatan yang dilakukan dengan cara
melakukan pengumpulan data lapangan dari daerah penelitian secara langsung, kegiatan
ini merupakan yang paling vital karena kehadiran berbagai data di lapangan harus dapat
diinterpretasi dengan mumpuni dengan cara yang baik dan benar, data yang baik dan
diambil dengan cara yang benar akan menghasilkan hasil penelitian yang baik dan
bermanfaat pula oleh karena itu kegiatan ini memegang peran vital. Adapun kegiatan
dari pelaksanaan pemetaan meliputi:

3.1.2.1 Pengamatan dan Evaluasi Lintasan


Kegiatan pengamatan dan evaluasi lintasan dapat dilakukan dengan cara
beberapa hal berikut seperti melakukan penentuan lokasi pengamatan berdasarkan peta

10
rencana lintasan yang telah dibuat, melakukan kegiatan orientasi lapangan dan
pengamatan singkapan batuan, melakukan pengambilan foto lokasi pengamatan disertai
parameter yang memadai dan sesuai, pembuatan sketsa dan profil singkapan, kemudian
melakukan pengamatan dan pendeskripsian batuan pada lokasi pengamatan, kemudian
juga melakukan pengukuran kontak batuan jika dapat diinterpretasi, melakukan marking
GPS dan plotting peta lintasan, melakukan pengukuran struktur geologi yang terdapat
pada setiap singkapan jika ada, serta melakukan pengambilan data morfologi daerah
penelitian.

3.1.2.2 Pengukuran Stratigrafi Terukur dan Profil Batuan


Kegiatan pengukuran stratigrafi terukur ini dilakukan untuk mengetahui
ketebalan sebenarnya dari suatu lapisan serta mengetahui urut-urutan lapisan tersebut
dari tua ke muda pada lintasan yang telah ditentukan. Pada daerah penelitian tidak
ditemukannya lokasi yang mumpuni untuk dilakukan kegiatan pengukuran stratigrafi
terukur ini, karena untuk melakukan kegiatan ini diperlukan dan sepatutnya dilakukan
pada daerah yang tidak terganggu oleh struktur geologi yang dapat merusak urutan
stratigrafi seperti lipatan rebah (overtuned), sebaiknya dilakukan pada lintasan yang
berada di kontak formasi, agar didapatkan kontak formasi secara detail, pada daerah
penelitian tidak ditemukannya kontak batuan yang mencirikan kontak formasi secara
khusus sehingga menimbulkan keraguan untuk melakukan kegiatan ini, kemudian juga
minimnya variasi litologi yang didapatkan pada setiap lokasi pengamatan di daerah
penelitian
Berdasarkan beberapa hal di atas sehingga pengambilan data lebih dikuatkan
pada pengambilan data profil batuan tiap lokasi pengamatan, kegiatan profil batuan ini
lebih sederhana dibandingkan dengan kegiatan stratigrafi terukur namun juga
memerlukan tingkat ketelitian serta deskripsi tiap perubahan material penyusun litologi
suatu lokasi pengamatan secara fisik yang lebih ditekankan sehingga dapat dijadikan
acuan yang kuat dalam penarikan hubungan antar satuan batuan dan data ini dapat
diperkuat dengan juga memperhatikan kegiatan analisa laboratorium berupa analisa
petrografi dari batuannya.

3.1.2.3 Sampling Batuan


Metode ini dilakukan dalam pengambilan contoh batuan dari setiap lokasi
pengamatan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan deskripsi batuan agar lebih jelas dan
detail. Kemudian beberapa sampel batuan yang telah dipilih untuk mewakili daerah
penelitian tersebut dilakukan uji laboratorium seperti analisis petrografi dan
paleontologi. Sampling batuan untuk petrografi tidak terbatas untuk jenis batuan
apapun, sehingga seluruh batuan dapat dilakukan analisa petrografi, ukuran besaran dari
sampel petrografi ini tidak terlalu besar minimal sekepalan tangan saja sedangkan untuk
analisa paleontologi terbatas hanya pada batuan sedimen sehingga dikarenakan pada
daerah penelitian tidak terdapat batuan sedimen makan tidak diambil sampel batuan
paleontologi, untuk ukuran dari batuannya harus lebih besar dibandingkan analisa
petrografi hal ini dikarenakan semakin besar ukuran sampel batuannya maka fosil yang
ditemukan juga dapat lebih melimpah.

11
Dalam pengambilan sampel untuk analisis petrografi maupun analisis
paleontologi harus pada bagian batuan atau singkapan yang segar, maksudnya bagian
batuan yang belum mengalami proses pelapukan, untuk mendapatkan sampel yang
segar ini dapat dilakukan dengan mengambil sampel pada bagian dalam yang belum
terekspos keluar. Kegiatan ini patut diperhatikan karena akan sangat mempengaruhi
data pada saat dilakukan pendeskripsian dan pengambilan thin section untuk melihat
komposisi batuan tersebut, pemilihan sampel juga diharapkan pada lokasi pengamatan
yang dapat mewakili sehingga dapat dijadikan acuan untuk melakukan penarikan satuan
batuan.
3.1.3 Analisa Laboratorium
Analisis laboratorium adalah kegiatan yang dilakukan dengan menganalisis
sampel yang telah didapat pada saat pengamatan lapangan. Analisa laboratorium ini
dilakukan untuk mendukung dalam penarikan satuan batuan pada peta geologi serta
memastikan jenis litologi pada suatu lokasi pengamatan di peta lintasan Data yang
berguna sebagai penunjang hasil lapangan yang telah didapatkan sebelumnya, dalam hal
ini analisa yang dilakukan ialah analisa petrografi dan analisa paleontologi.
3.1.3.1 Analisa Petrografi
Analisa petrografi pada daerah penelitian dilakukan pada 8 sampel batuan yang
telah dipilih untuk mewakili keseluruhan lokasi penelitian kedelapan sampel ini juga
dipilih karena sudah mencukupi untuk dapat membantu dalam proses penarikan satuan
batuan. Sampel batuan yang akan dianalisis petrografi disayat dengan ketebalan 0,03
mm, kemudian analisa dilakukan secara mikroskopi dengan menggunakan mikroskop
polarisasi. Analisa batuan beku menggunakan diagram klasifikasi dari IUGS (1976)
yang proses input datanya juga menggunakan persentase dari tiap – tiap mineral,
sedangkan pada batuan vulkanik menggunakan klasifikasi Fischer (1966) yang berguna
untuk menginterpretasi jenis batuan berdasarkan kenampakan fisik di lapangan yang
kemudian dikombinasikan dengan klasifikasi dari Schmid (1981) yang berguna untuk
menginterpretasi dari persentase mineralnya dalam kenampakan sayatan petrografi.
Pada daerah penelitian tidak ditemukan batuan sedimen sehingga tidak diperlukan
diagram klasifikasi untuk batuan sedimen. Analisa petrografi ini memiliki peran vital
yaitu untuk dapat menentukan nama batuan dengan cara menginterpretasi kandungan
komposisi penyusun batuan yang terdiri dari fragmen, matriks dan semen selain itu
dapat pula digunakan untuk menginterpretasikan proses diagenesis dari suatu batuan.

3.1.3.2 Analisa Fosil


Analisis ini dilakukan pada sampel batuan yang diinterpretasikan memiliki
kandungan fosil, namun pada daerah penelitian tidak ditemukan adanya batuan yang
dicirikan memiliki kandungan fosil hal ini dikarenakan keseluruhan dari batuan yang
didapatkan pada daerah penelitian merupakan batuan vulkanik sehingga tidak mungkin
untuk ditemukannya fosil foraminifera plankton ataupun bentos, sehingga analisa fosil
tidak dilakukan pada daerah penelitian.

12
3.1.4 Kerja Studio
Kegiatan kerja studio ini merupakan tahap akhir dari metode yang dikerjakan
dalam penelitian tugas akhir, tujuan dari metode ini adalah untuk dapat
merepresentasikan hal – hal yang didapatkan di lapangan seperti litologi batuan,
kenampakan morfologi, data struktur geologi batuan dan berbagai macam hal lainnya
supaya dapat disajikan dengan sebaik – baiknya serta informatif bagi seluruh khalayak
umum dan bagi akademisi dibidang keilmuan kebumian khususnya, tahap kerja studio
ini terdiri dari beberapa hal berupa pembuatan peta – peta seperti peta lintasan, peta
geologi, peta geomorfologi, peta pola pengaliran, peta kemiringan lereng, dan peta
penunjang lainnya apabila dibutuhkan. Dalam pembuatan peta geologi dan peta
geomorfologi harus disertakan dengan pembuatan penampang berguna untuk
mengetahui kondisi bawah permukaan serta bagaimana bentukan morfologi dari daerah
penelitian, kemudian juga pembuatan model pengendapan yang berguna untuk berbicara
mengenai sejarah geologinya dan yang terakhir adalah pembuatan laporan tugas akhir.

3.1.4.1 Pembuatan Peta


Pembuatan peta merupakan salah satu komponen penting yang harus dilakukan
dalam tahapan kerja studio, kegiatan pembuatan peta ini bertujuan untuk
menggambarkan secara jelas dan ringkas serta informatif dan komunikatif mengenai
keadaan geologi secara keseluruhan pada daerah penelitian, seperti yang telah
disebutkan sebelumnya terdapat beberapa peta yang dapat dibuat seperti peta lintasan,
peta geologi, peta geomorfologi, peta pola pengaliran, peta kemiringan lereng, dan
berbagai peta penunjang lainnya.
1. Peta Lintasan: Peta lintasan berasal dari peta dasar yang telah dibuat ditambah
berbagai macam data yang didapat dari lapangan, keseluruhan data yang dapat
dimasukkan ke dalam peta lintasan ini berupa data lokasi pengamatan, data
kedudukan tiap lokasi pengamatan, data pengambilan sampel batuan untuk analisa
petrografi, data struktur geologi baik berupa kekar maupun sayap lipatan (limb)
yang masing-masing untuk analisa sesar maupun lipatan. Pembuatan peta lintasan
dilakukan secara manual terlebih dahulu dengan memasukkan data dari GPS ke peta
dasar yang telah tercetak, kemudian setelah didapatkan kepastian barulah data
tersebut dibuat dengan menggunakan komputer dengan berbagai macam aplikasi
pendukung berupa, Map Source, Global Mapper, ArcGIS dan Corel Draw.
2. Peta Geologi: Peta geologi merupakan peta yang merepresentasikan berbagai
macam satuan batuan yang didapatkan pada daerah penelitian, semakin kecil
perbandingan skala yang digunakan dalam pembuatan peta geologi maka akan
semakin detil pula pembagian satuan batuan yang didapat, pada penelitian tugas
akhir ini, skala yang digunakan adalah 1:25.000, untuk membuat peta geologi
didasarkan pada data – data lokasi pengamatan yang didapatkan di lapangan dan
dimasukkan pada peta lintasan seperti yang telah dijelaskan di atas, dari data lokasi
pengamatan tersebut dilakukan analisa penarikan satuan batuan yang berdasarkan
kaidah hukum V dan penarikan kontur struktur, dalam penarikan satuan batuan
harus diperhatikan juga jenis litologi yang seragam ataupun mayoritas, ciri fisik

13
batuan dan petrografi yang sama antar lokasi pengamatan. Dalam pembuatan peta
geologi juga diperlukan adanya penampang geologi yang memiliki tujuan untuk
menggambarkan keadaan di bawah permukaan, beberapa hal penting yang perlu
ditonjolkan pada peta geologi adalah simbol kedudukan batuan, kontak antar
formasi atau satuan batuan baik yang tegas maupun interpretatif yang digambarkan
masing-masing dengan garis tegas dan garis putus – putus, pewarnaan satuan batuan
agar dapat dibedakan serta penyesuaian hal – hal lainnya yang berfungsi sebagai
estetika agar peta semakin informatif, penarikan satuan batuan pada peta geologi ini
juga baiknya dilakukan secara manual dengan menggunakan tulisan tangan baru
kemudian kalau sudah pasti dibuat dengan menggunakan komputer menggunakan
software ArcGIS dan Corel Draw.
3. Peta Geomorfologi: Pembuatan peta geomorfologi dilakukan dengan
memperhatikan jenis bentukan lahan yang terdapat pada daerah penelitian, bentukan
lahan yang terdapat pada daerah penelitian kemudian diinterpretasi berdasarkan
klasifikasi Wheaton dkk, 2015 serta Widyatmanti dkk, 2016 dengan berbagai
modifikasi untuk menyesuaikan dengan bentukan lahan pada daerah penelitian,
digunakannya kedua klasifikasi tersebut diperuntukkan dua bentukan lahan yang
berbeda, Wheaton dkk, 2015 untuk klasifikasi bentuk sungai sedangkan
Widyatmanti dkk, 2016 diperuntukkan dalam mengklasifikasikan bentuk lahan
denudasional. Sama seperti pembuatan peta lintasan dan geologi, pembuatan peta
geomorfologi baiknya dilakukan secara manual menggunakan tulisan tangan, dan
kemudian dibuat versi softfile dengan menggunakan software Corel Draw.
4. Peta Kemiringan Lereng: Peta kemiringan lereng dikerjakan langsung dengan
menggunakan aplikasi ArcGIS untuk acuan dalam pengelompokan nilainya
dilakukan berdasarkan klasifikasi dari Widyatmanti dkk, 2016. Klasifikasi
Widyatmanti ini memiliki kesamaan dengan klasifikasi Van Zuidam, 1985 dengan
sedikit penyesuaian namun pada dasarnya merujuk pada kerapatan kontur,
klasifikasi dari Widyatmanti dkk, 2016 dapat dilihat pada Tabel 3.1 di bawah.

Tabel 3.1. Klasifikasi kemiringan lereng oleh Widyatmanti dkk, 2016


Kelas Lereng Keterangan
0–2% Datar
3–7% Lereng Sangat Landai
8 – 13 % Lereng Landai
14 – 20 % Lereng Curam
21 – 55 % Lereng Agak Curam
56 – 140 % Lereng Sangat Curam

> 140 % Tegak

14
5. Peta Pola Pengaliran: Peta pola pengaliran dibuat untuk mengetahui arah umum
dari pola pengaliran sungai pada daerah penelitian. Peta pola pengaliran dibuat
dengan menggunakan software ArcGIS, kegiatan analisa pola pengaliran ini
dilakukan secara manual dengan menggunakan tulisan tangan langsung kemudian
untuk memudahkan mengetahui arah umumnya maka dapat ditampilkan dalam
Diagram Rose, setelah dianalisa arah umumnya kemudian dilakukan analisa jenis
pola pengaliran menggunakan klasifikasi Twidale, 2004. Penentuan jenis pola
pengaliran ini dilakukan didasarkan pada bentukan pola sungai yang terdapat pada
daerah penelitian.
6. Peta Morfologi DEM: Peta morfologi DEM ini lebih familier dengan sebutan
sebagai peta elevasi morfologi, karena memang menggambarkan pembagian elevasi
dari daerah penelitian, pembuatan peta morfologi DEM ini menjadi basis dari
pembuatan peta geomorfologi, oleh karena itu acuan dari pembagian elevasi ini
sama dengan yang digunakan pada peta geomorfologi yaitu Widyatmanti dkk, 2016
dengan klasifikasi seperti yang dapat dilihat pada Tabel 3.2 di bawah. Pembuatan
peta morfologi DEM dilakukan secara langsung dengan bantuan software ArcGIS.
Tabel 3.2. Klasifikasi elevasi dalam meter oleh Widyatmanti dkk, 2016
Elevasi (Meter) Keterangan
<50 Dataran Rendah
50-200 Perbukitan Rendah
200-500 Perbukitan
500-1000 Perbukitan Tinggi
>1000 Pegunungan

3.1.4.2 Pembuatan Penampang


Pembuatan penampang dilakukan pada peta geologi dan geomorfologi maka
sesuai dengan namanya, data yang digunakan dalam proses pembuatan penampang ini
adalah data peta geologi dan geomorfologi, kegunaan dalam pembuatan penampang ini
adalah untuk mengetahui kondisi bawah permukaan dengan berdasar data permukaan
yang di rekonstruksi berdasarkan data kedudukan lapisan (penampang geologi) ataupun
mengetahui bentukan morfologi di daerah penelitian (penampang geomorfologi).
1. Penampang Geologi: Pembuatan penampang bawah permukaan geologi berguna
untuk mengetahui kondisi bawah permukaan, seperti mengetahui kemenerusan
batuan, bentukan struktur geologi yang tidak dapat digambarkan dengan jelas dari
peta geologi biasa, serta bentukan antar satuan batuan seperti ketidakselarasan, dan
lain – lain. Pembuatan penampang geologi ini murni berdasarkan data dari
kedudukan yang didapat pada kegiatan lapangan. Metode yang digunakan untuk
merekonstruksi kedudukan pelapisan di bawah permukaan adalah dengan
menggunakan Kink Method, namun dikarenakan keterbatasan jumlah kedudukan

15
yang ditemukan pada daerah penelitian sehingga metode ini tidak dapat
diaplikasikan.
2. Penampang Geomorfologi: Penampang geomorfologi berguna untuk
merepresentasikan pembagian bentukan lahan pada peta geomorfologi ke dalam
bentuk penampang sehingga dapat tergambarkan dengan baik kenampakan bentukan
lahannya, pembuatan penampang ini didasarkan pada kontur ketinggian dari daerah
penelitian.

3.1.4.3 Model Geologi


Pembuatan model geologi berhubungan dengan berbagai disiplin ilmu di bidang
geologi seperti sedimentologi & stratigrafi, geologi struktur, dan diagenesis. Model
geologi ini berupa bentukan 3 dimensi mengenai proses – proses pembentukan dan
pengendapan dari daerah penelitian jadi secara umum, model geologi ini berguna untuk
merepresentasikan sejarah geologi pada suatu daerah penelitian ke dalam bentuk model
sehingga lebih informatif dan lebih mudah dipahami.

3.1.4.4 Analisa Struktur


Analisis struktur dilakukan untuk mengetahui hasil dari bentukan pergerakan
tektonik yang berkembang pada daerah penelitian selain hal tersebut, analisa struktur ini
juga berfungsi untuk menjelaskan proses dan mekanisme perkembangan bentukan
struktur pada daerah penelitian dengan berdasarkan model struktur oleh Gultaf, 2014.
Analisis struktur selain dilakukan dengan melakukan pengambilan data struktur yang
didapat di lapangan data struktur dapat berupa Kekar (Shear dan Tension) dan Sesar
(Rake, Bidang Sesar) data struktur yang didapat, dapat dimasukkan kedalam contoh
tabulasi data pada Tabel 3.3 di bawah. Setelah didapatkan data strukturnya kemudian
dilakukan analisa dengan menggunakan software Dips untuk menganalisis data kekar
secara stereografi, dan software Win-Tensor untuk mengolah data sesar.
Tabel 3.3. Contoh Tabel Pengukuran Struktur
No. Strike (N/E) Dip Keterangan (Tension / Shear)
o o
1. N 315 E 50 Tension Joint
2.
dst.

3.1.4.5 Pembuatan Laporan


Tahap Laporan merupakan kegiatan penggarapan hasil analisa dan interpretasi
data lapangan. Tahapan laporan beriringan dengan tahapan analisa dan interpretasi. Dari
tahapan ini akan dihasilkan output berupa laporan akhir, peta, serta data analisa struktur
dan hasil analisa laboratorium. Dalam tahapan ini, bimbingan dan diskusi akan sering
dilakukan oleh mahasiswa dan dosen pembimbing untuk kevalidan data.

16
3.2 Metode Penelitian Analisis Potensi Bahaya Longsor
Dalam menganalisis potensi bahaya longsor yang menggunakan penggabungan
beberapa parameter – parameter penyebab kelongsoran dibutuhkan suatu metode yang
tepat serta memiliki tingkat batasan kesalahan yang rendah, oleh karena itu Kumar
(2015) memilih untuk menggunakan Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) yang
dikembangkan oleh Saaty (1990). Metode AHP ini dikenal sebagai metode yang umum
digunakan dalam analisis berbagai permasalahan yang membutuhkan ketepatan yang
tinggi dari beberapa parameter dengan pendekatan yang dipermudah dan fleksibilitas
tinggi (Kumar, 2015). Diagram alir dari studi khusus dapat dilihat pada Gambar 3.2 di
bawah.
Metode AHP dikembangkan oleh Saaty (1990), merupakan metode pembobotan
yang membandingkan antar kriteria atau parameter dari tiap – tiap matriks perbandingan
berpasangan dimana nilai dari satu kriteria lainnya ditetapkan. Skala pembobotan yang
telah ditentukan oleh Saaty (1990) dapat dilihat pada Tabel 3.4 di bawah, berdasarkan
tabel tersebut, Saaty membagi tingkatan intensitas dari matriks dengan nilai minimal 1
dan nilai maksimal 9 sehingga dengan banyaknya nilai intensitas ini mencerminkan
tingkat fleksibilitas yang tinggi.

Gambar 3.2 Diagram Alir Studi Khusus

17
Tabel 3.4. Pembobotan skala menurut Saaty (1990).
Nilai Intensitas Keterangan
1 Sama pentingnya
2 Sama hingga sedang pentingnya
3 Sedang pentingnya
4 Sedang hingga kuat pentingnya
5 Kuat pentingnya
6 Kuat hingga sangat kuat pentingnya
7 Sangat kuat pentingnya
8 Sangat kuat hingga ekstrem pentingnya
9 Ekstrem pentingnya

Penentuan parameter yang menyebabkan kelongsoran pada daerah penelitian


diadaptasi dari Basofi dkk (2017) bahwa terdapat lima faktor yang menjadi penyebab
longsor, kelima faktor tersebut dipilih karena pengaruhnya yang kuat dalam
menyebabkan kelongsoran, kelima faktor tersebut adalah litologi, curah hujan,
kemiringan lereng, penggunaan lahan dan yang terakhir adalah elevasi. Tiap – tiap
faktor tersebut kemudian diberikan nilai intensitas berdasarkan tabel Saaty (1990) pada
Tabel 3.3 di atas. Ditentukan bahwa kemiringan lereng memiliki nilai intensitas yang
paling kuat yaitu 5, kemudian litologi dan curah hujan dengan nilai intenstitas sama
yaitu 4, kemudian penggunaan lahan dengan nilai intensitas 3 dan yang paling rendah
adalah elevasi dengan nilai intensitas 2. Ditentukan nilai maksimalnya sebagai 5
dikarenakan jumlah faktor penyebab longsor yang digunakan ada 5 juga.
Pemilihan faktor kemiringan lereng dengan nilai intensitas yang paling kuat
didasarkan dari hasil pemetaan titik-titik longsoran pada daerah penelitian, diketahui
bahwa berdasarkan hasil pemetaan titik-titik longsor tersebut diketahui terdapat 4 titik
kelongsoran dengan longsor yang cukup besar dan berdasarkan hasil plot ke dalam peta
kemiringan lereng, 4 titik itu termasuk ke dalam kelerengan curam hingga sangat curam
dan berarti kemiringan lereng sangat berpengaruh terhadap terjadinya longsor pada
daerah penelitian, kemudian pemilihan faktor elevasi dengan nilai intensitas terendah
dikarenakan dari keempat titik longsoran yang ditemukan pada daerah penelitian,
terdapat titik longsor yang berada pada elevasi yang relatif paling rendah pada daerah
penelitian dan juga longsor dapat ditemukan pada elevasi yang relatif paling tinggi pada
daerah penelitian sehingga dapat disimpulkan bahwa kelongsoran dapat terjadi pada
elevasi berapapun pada daerah penelitian dan hal ini yang mendasari penulis
berargumen bahwa faktor elevasi memiliki nilai intensitas yang paling rendah
dibandingkan yang lainnya.
Analisis AHP dilanjutkan dengan melakukan pembuatan matriks perbandingan
antar parameter satu dan yang lainnya, kemudian dilakukan kegiatan normalisasi tiap
parameter yang digunakan serta menghitung bobot akhir dari tiap parameter dalam
bentuk persentase, keseluruhan hal tersebut akan dilakukan pada BAB V. Setelah
melakukan analisis AHP dengan teknik perbandingan berpasangan dan seleksi dalam
menentukan parameter yang berpengaruh terhadap bahaya longsor, kemudian dilakukan

18
pengumpulan data spasial dan non-spasial dari tiap-tiap parameter yang telah ditentukan
tadi dan kemudian seluruh dari parameternya ditimpa satu sama lain dengan
menggunakan software ArcGIS, parameter yang digunakan antara lain litologi, curah
hujan, kemiringan lereng, penggunaan lahan dan elevasi (Basofi dkk, 2017)
1. Litologi: Litologi digunakan sebagai salah satu parameter penyebab longsor
dikarenakan seringkali tiap longsor terjadi akibat bidang gelincir dari tiap jenis
batuan yang tidak dapat menahan maksimum sehingga terjadinya longsor, oleh
karena tiap-tiap batuan memiliki sifat kekompakan yang berbeda sehingga
diinterpretasikan penilaian dari tiap matriks litologi didasarkan pada tingkat
kekompakannya berdasarkan analisis fisiknya di lapangan. Peta Litologi daerah
penelitian dibuat dengan cara melakukan digitasi dari berbagai jenis batuan yang
ditemukan dengan menggunakan software ArcGIS
2. Curah Hujan: Tingkatan curah hujan juga mempengaruhi terjadinya longsor hal ini
didasarkan Basofi dkk (2017) yang berpendapat bahwa curah hujan yang tinggi
meningkatkan tingkat kandungan air dan kelembaban dari suatu daerah sehingga
dapat berpengaruh terhadap meningkatnya probabilitas terjadinya longsor. Data
curah hujan yang dipakai merupakan jumlah rata-rata tahunan dapat dilihat pada
Gambar 3.3. Kemudian diinterpolasikan menggunakan Inverse Distance Weighting
(IDW) pada software ArcGIS. Data curah hujan dibagi menjadi 4 kelas sesuai
dengan daerah penelitian.
3. Kemiringan Lereng: Peta kemiringan lereng dibuat dengan menggunakan software
ArcGIS. Pertama masukkan data kontur dengan format UTM, setelah data kontur
ditampilkan kemudian buka arctoolbox kemudian pilih spatial analyst tools,
kemudian pilih surface dan pilih slope. Setelah muncul maka atur menjadi 4 kelas
sesuai dengan daerah penelitian.
4. Penggunaan lahan: Penggunaan lahan berperan cukup kuat dalam terjadinya longsor,
pemilihan kelas untuk parameter penggunaan lahan ini ditentukan berdasarkan
Nugroho, 2010 yang berpendapat pemukiman dan sawah ditempati pada urutan
paling tinggi, hal ini dikarenakan peran manusia yang dapat menyebabkan
probabilitas terjadi longsor lebih tinggi akibat dari ulah-ulah manusia seperti
penebangan pohon sembarang dan lain sebagainya. Peta ini dibuat menggunakan
aplikasi arcgis dengan hasil interpretasi penggunaan lahan pada daerah penelitian
5. Elevasi: Seperti yang telah disebutkan bahwa elevasi menjadi parameter yang
memiliki nilai intensitas paling rendah yaitu 2, namun walau begitu elevasi juga tetap
memiliki peran penting terhadap terjadinya longsor. Peta ini dibuat dengan software
ArcGIS. Setelah data kontur ditampilkan kemudian buka arctoolbox > 3D analyst >
raster interpolation > topo to raster > raster to tin. Setelah muncul tampilan 3D
kemudian diklasifikasikan pilih manual dan masukkan 4 kelas.

19
Gambar 3.3. Hasil interpolasi titik curah hujan (mm/tahun) pada daerah penelitian

20
BAB IV
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Daerah penelitian termasuk ke dalam bagian volcanic arc hal ini diinterpretasi
karena pada daerah penelitian tersusun dari berbagai variasi geologi, terutama dari segi
jenis batuan yang keseluruhan dari daerah penelitian termasuk ke dalam jenis batuan
vulkanik, hal ini dikarenakan posisi daerah penelitian yang terletak cukup dekat
terhadap gunung api yang sampai sekarang masih aktif dan diinterpretasikan sumber
materialnya berasal dari gunung tersebut, gunung yang dimaksud adalah gunung lumut
dan gunung balai diinterpretasikan kedua gunung ini merupakan satu gunung besar
dahulunya namun terjadi erupsi yang cukup dahsyat sehingga menyisakan kaldera yang
cukup besar. Analisa dan interpretasi geologi pada daerah penelitian mencakup berbagai
macam hal seperti geomorfologi daerah penelitian, stratigrafi daerah penelitian serta
struktur geologi daerah penelitian yang ketiga hal tersebut diinterpretasi berdasarkan
hasil pemetaan geologi lapangan yang keseluruhan hasil datanya ditabulasikan ke dalam
tabulasi data lapangan pada lampiran 1 dan digambarkan dengan menggunakan peta
lintasan pengamatan yang dilampirkan pada lampiran 2 peta keseluruhan hal tersebut
akan dibahas lebih lanjut pada subbab di bawah.

4.1 Geomorfologi Daerah Penelitian


Geomorfologi merupakan studi bentang alam dengan berbagai jenis proses yang
mempengaruhinya. Interpretasi bentang lahan tersebut kemudian disajikan dengan
berdasarkan bentukan lahannya sehingga menjadi Peta Geomorfologi. Di dalam
interpretasi geomorfologi daerah penelitian perlu memperhatikan berbagai aspek yang
mendukung dalam interpretasi morfologi, aspek tersebut dikenal sebagai aspek
geomorfik (Huggett, 2011), aspek ini kemudian dibagi menjadi aspek fisik dan aspek
dinamik. Aspek fisik adalah segala kenampakan dari bentang alam yang memiliki dua
jenis variabel atau aspek utama yaitu morfografi dan morfometri, sedangkan aspek
dinamik merupakan aspek yang menjelaskan mengenai proses yang mempengaruhi
pembentukan dari bentang alam tersebut. Proses – proses yang mempengaruhi bentukan
dari bentang alam tersebut dikenal sebagai aspek morfogenesis, aspek morfogenesis ini
yang berperan membentuk relief di permukaan tersebut baik dari dalam maupun dari
luar, proses yang berasal dari dalam bumi dan bersifat membangun seperti proses
vulkanisme dan tektonisme, sedangkan proses dari luar ini mempengaruhi hasil
pembentukan dari dalam sebelumnya, secara umum proses ini merupakan proses
pelapukan atau erosional.

4.1.1 Aspek Geomorfik


Aspek geomorfik dibagi menjadi aspek fisik dan aspek dinamik. Secara garis
besar aspek fisik ini dikenal juga dengan aspek morfologi merupakan aspek yang
memiliki hubungan yang erat dengan relief atau bentukan dari bentang alam, aspek ini
dibagi kembali menjadi morfografi dan morfometri. Morfografi merupakan
kenampakan bentukan alam yang menunjukkan relief dari permukaan bumi, untuk dapat
menampakkan morfografi ini diperlukan bentuk 3 dimensi dari satuan elevasi pada

21
daerah penelitian, selanjutnya aspek morfometri, merupakan aspek yang
penggambarannya lebih tepat menggunakan peta kemiringan lereng sehingga dapat
terlihat lebih jelas perbedaan derajat kelerengannya dalam bentuk angka. Setelah aspek
fisik, terdapat juga aspek dinamik, aspek ini merupakan aspek yang menggambarkan
proses pembentukan dari aspek geomorfik dibagi menjadi aspek morfogenesis.

4.1.1.1 Morfografi
Keadaan morfografi pada daerah penelitian dapat dianalisis dengan
menggunakan batuan peta elevasi morfologi (Lampiran 3A), elevasi pada daerah
penelitian sangat bervariasi dimulai dari 418 mdpl hingga 932 mdpl, terbentuknya
elevasi yang beragam ini dikarenakan kontrol litologi dan kegiatan denudasional.
Bentukan morfografi pada daerah penelitian dibagi menjadi satu yaitu bentukan
perbukitan tinggi, interpretasi bentukan ini didasarkan oleh klasifikasi Widyatmanti,
dkk (2016) yang dapat dilihat di Tabel 3.2 pada BAB III sebelumnya. Bentukan
perbukitan tinggi pada daerah penelitian memiliki elevasi mulai dari 418 – 932 mdpl,
pada beberapa area di daerah penelitian memiliki bentukan bentang alam yang landai
sehingga tidak membentuk bentukan seperti bukit atau perbukitan namun, dengan
mengacu pada klasifikasi Widyatmanti, dkk (2016), beberapa bagian area yang tidak
membentuk perbukitan tersebut tetap diinterpretasikan sebagai perbukitan tinggi karena
elevasinya yang mencapai lebih dari 500 Mdpl.
Kenampakan perbukitan tinggi pada daerah penelitian didominasi oleh bentukan
perbukitan akibat proses vulkanisme hal ini dikarenakan keseluruhan daerah penelitian
tersusun dari batuan piroklastik maupun lava yang merupakan batuan vulkanik,
pendistribusian material vulkanik ini yang sangat mempengaruhi elevasi pada daerah
penelitian hal ini terlihat pada bagian selatan dan barat daerah penelitian yang memiliki
elevasi lebih tinggi dibandingkan bagian timur dan utara peta sehingga hal ini dapat
menginterpretasikan bahwa arah pengendapan dari material vulkanik ini berasal dari
selatan dan barat peta. Untuk memperjelas analisa morfografi ini telah dibuat peta 3
dimensi dari daerah penelitian seperti yang terlihat pada Gambar 4.1 di bawah

Gambar 4.1. Bentukan 3 dimensi memperlihatkan bentukan perbukitan tinggi yang


mendominasi, klasifikasi elevasi dibagi berdasarkan Widyatmanti dkk, 2016.

22
4.1.1.2 Morfometri
Kegiatan analisa morfometri pada daerah penelitian dilakukan dengan
menggunakan peta kemiringan lereng (Lampiran 3B), karena morfometri sendiri
merupakan penggambaran dari derajat kelerengan dari tiap - tiap bentukan lahan yang
terdapat pada daerah penelitian sehingga untuk merepresentasikan hal tersebut
digunakan peta kemiringan lereng yang menggambarkan besaran derajat kelerengan
dengan menggunakan angka dan satuan tertentu. Dalam menginterpretasikan
kemiringan lereng pada daerah penelitian, digunakan klasifikasi menurut Widyatmanti,
dkk (2016) sebagai acuan. Pada daerah penelitian tentunya memiliki kerapatan kontur
yang berbeda – beda hal ini diinterpretasikan sebagai akibat dari proses denudasional
yang sangat berpengaruh pada daerah penelitian.
Pada daerah penelitian juga memiliki pendistribusian kerapatan kontur yang
tersebar tidak merata dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya sangat dipengaruhi
oleh proses erosional berupa aliran sungai dan juga aktivitas vulkanisme. Kelerengan
dengan lereng curam hingga tegak mendominasi bagian utara wilayah penelitian akibat
adanya aliran dari Sungai Enim yang melintang alirannya dari sisi barat menuju sisi
timur peta, aliran dari Sungai Enim ini sangat deras sehingga dapat memotong batuan
yang keras dan kompak yaitu autobreksi lava sehingga di sepanjang aliran dari sungai
enim ini terdapat lereng yang curam hingga tegak pada sisi kiri dan kanan aliran sungai
tersebut.
Pendistribusian kelerengan yang curam hingga sangat curam juga mendominasi
pada bagian barat daya peta tepatnya pada Bukit Tinggal seperti yang terlihat jelas pada
peta kemiringan lereng pada Lampiran 3B, pada bagian puncak dari Bukit Tinggal ini
memiliki kelerengan yang datar hingga sangat landai hal ini diinterpretasi akibat dari
proses denudasional yang mengikis bagian puncak dari bukit sehingga memiliki
kelerengan tersebut.
Secara umum pada daerah penelitian tetap didominasi oleh kelerengan datar
hingga lereng landai hal ini dapat terlihat pada peta kemiringan lereng daerah penelitian,
yang hampir 70 % dari keseluruhan daerah penelitian didominasi oleh warna hijau tua
(lereng datar) sampai hijau muda (lereng landai), penyebaran kelerengan datar hingga
landai mencakup di beberapa daerah seperti di Desa Tenang Waras, Dusun Talang
Jawa, Desa Pancuringkih dan Dusun Tenam Duduk.

4.1.1.3 Morfogenesis
Aspek dinamik merupakan gambaran aspek berikutnya selain dari aspek fisik,
aspek dinamik sendiri merupakan aspek yang menyatakan gambaran secara keseluruhan
terhadap proses – proses yang membentuk permukaan bumi, morfogenesis ini termasuk
ke dalam aspek dinamik, proses yang membentuk dari morfogenesis ini berasal dari
dalam dan permukaan bumi, yang kedua proses ini masing-masing memiliki peran
sendiri dan sangat vital. Salah satu prosesnya berasal dari dalam permukaan bumi dan
bersifat membangun, kegiatan ini menyebabkan adanya proses – proses yang kemudian
mempengaruhi permukaan bumi, bentuk proses tersebut dapat berupa kegiatan tektonik
yang menyebabkan pergerakan lempeng antar benua dan samudra serta tidak tinggal
juga kegiatan vulkanik yang penyebabnya juga bisa berhubungan dengan aktivitas

23
tektonik lempeng yang bergerak sehingga menyebabkan pembentukan pegunungan atau
perbukitan akibat dari proses subduksi contohnya seperti pada perbukitan barisan yang
pembentukannya disebabkan oleh pergerakan tektonik lempeng. Kegiatan vulkanik
sangat erat melekat pada daerah penelitian hal ini dapat dilihat dari keseluruhan jenis
litologi yang terdapat di daerah penelitian yang keseluruhannya termasuk ke dalam jenis
batuan piroklastik dan lava andesit. Aktivitas vulkanik yang terjadi pada daerah
penelitian membuat satuan batuan dari formasi – formasi yang telah terendapkan
sebelumnya menjadi tertutupi karena aktivitas vulkanik ini, hal ini dikarenakan jarak
daerah penelitian yang cukup dekat dengan sumber materialnya berupa gunung api yang
berada di selatan daerah penelitian, diinterpretasikan berasal dari gunung lumut – balai.
Proses morfogenesis selanjutnya yaitu aktivitas yang terjadi di permukaan bumi
pada daerah penelitian terjadi cukup dominan dan menyebabkan proses pelapukan yang
cukup kuat, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa proses ini merupakan
proses yang berasal dari permukaan bumi dan bersifat mengubah dari bentukan awal
suatu bentukan lahan yang awal mulanya telah terbentuk terlebih dahulu akibat proses
dari dalam. Proses yang mendominasi pada daerah penelitian adalah denudasional,
akibat dari proses denudasional ini dapat diinterpretasi dari tingkat kekompakan batuan
yang didapatkan pada hampir keseluruhan singkapan bersifat sangat lapuk dan memiliki
tingkat kekompakan yang rendah, media yang paling berpengaruh akan proses
denudasional yang terjadi pada daerah penelitian didominasi oleh media air yang hadir
dalam bentuk aliran sungai.
Proses dari permukaan bumi pada daerah penelitian didominasi oleh proses
denudasional seperti yang telah dijelaskan di atas, proses tersebut didominasi oleh air
sebagai medianya oleh karena itu untuk menjelaskan lebih mendalam mengenai proses
eksogen tersebut telah dibuat peta pola pengaliran untuk dapat memudahkan dalam
proses interpretasinya, peta pola pengaliran dapat dilihat pada Lampiran 3C. Secara
umum pola aliran sungai pada daerah penelitian mengalir dari sebelah barat sebagai
hulunya menuju timur daerah penelitian sebagai bagian hilirnya. Dikarenakan posisi
dari daerah penelitian yang berada pada daerah tinggian sehingga terdapat dua aliran
sungai utama yang bagian paling hulunya terdapat pada daerah penelitian, sungai
tersebut adalah Sungai Tenang dan Sungai Talang. Selain dua aliran sungai tersebut
pada daerah penelitian juga terdapat aliran utama lainnya yaitu Sungai Enim, Sungai
Sawat dan Sungai Kambas ketiganya memiliki hulu sungai pada bagian barat dan
selatan dari daerah penelitian. Aliran sungai pada daerah penelitian secara umum
bersifat relatif membujur dari selatan menuju ke utara daerah penelitian hal ini dapat
menginterpretasikan bahwa jenis batuan pada daerah penelitian yang relatif seragam.
Aliran dari sungai yang membujur diinterpretasikan sesuai dengan arah dari kedudukan
perlapisan batuan piroklastik pada saat proses pengendapan sehingga jenis batuan yang
didapatkan relatif seragam ketika menyusuri sungai – sungai utama pada daerah
penelitian.
Analisa aliran sungai pada daerah penelitian dilakukan dengan menggunakan
peta pola pengaliran yang dilampirkan pada lampiran 3C, berdasarkan peta tersebut
dapat diinterpretasikan daerah penelitian memiliki dua jenis pola pengaliran yaitu
dendritik dan aliran radial. Pola aliran dendritik mendominasi keseluruhan daerah

24
penelitian apabila dipersentasekan dapat mencapai 90%, diinterpretasikan pola dendritik
karena membentuk seperti cabang – cabang pohon dengan sungai – sungai utama yang
menjadi pusatnya. Selain itu pada daerah penelitian juga memiliki jenis batuan dan
tanah penutup yang relatif seragam yaitu batuan piroklastik dan tanah latosol sehingga
hal ini sejalan dengan karakteristik dari pola aliran dendritik secara umum, kemudian
fakta bahwa pada daerah penelitian saya hanya menemukan satu buah jenis sesar juga
membuktikan bahwa struktur geologi pada daerah penelitian kurang berkembang,
deformasi yang terbentuk sebagian besar hanya sebatas kekar – kekar saja. Pada
Gambar 4.2 menunjukkan diagram roset dari pola aliran dendritik pada daerah
penelitian.

Gambar 4.2 Diagram roset pola aliran dendritik yang menunjukkan arah umum gaya
pada N 85 E hingga N 90 E
Pada daerah penelitian juga terdapat pola aliran radial yang memang tidak
mendominasi dengan area cakupan hanya sebesar 10 % saja dari keseluruhan daerah
penelitian. Diinterpretasikannya pola aliran ini didasari dari pola alirannya yang sesuai
dengan karakteristik dari pola aliran radial itu sendiri yaitu memiliki bentukan aliran
yang memancar dari satu titik pusat yang berasosiasi dengan tubuh gunung api atau
kubah berstadia muda (gambaran pola aliran radial dapat dilihat pada Gambar 4.3). Pola
aliran radial ini juga saya lakukan analisa untuk mengetahui arah umumnya dan
digambarkan dengan diagram roset pada Gambar 4.4 di bawah. Bentukan pola aliran
radial pada daerah penelitian diinterpretasikan belum terlalu terbentuk dan masih dalam
stadia muda hal ini dikarenakan aliran – aliran yang ditemukan pada pola aliran radial
ini termasuk ke dalam tipe sungai musiman yang mana hanya akan dialiri sungai pada
musim tertentu seperti musim hujan saja.

Gambar 4.3 Pola aliran radial yang memancar dari pusatnya yang berbentuk kubah
biasanya gunung ataupun bukit (Noor, 2014)
25
Gambar 4.4 Diagram roset pola aliran radial yang menunjukkan arah umum gaya pada
N 355 E hingga N 5 E.
Pada daerah penelitian juga terdapat beberapa titik longsor sebagai akibat proses
denudasional tersebut, titik longsor diketahui paling banyak menyebar di sepanjang
Sungai Enim yang diketahui memiliki kelembapan, curah hujan yang sangat tinggi serta
kemiringan lereng yang mendominasi yaitu curam. Salah satu foto dari proses
denudasional longsoran tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.5 di bawah. Longsoran
yang terjadi berukuran cukup besar dengan lebar mencapai 8,5 meter dan tinggi 4 meter
dengan azimut longsor berada pada N 205o E.

Gambar 4.5 Salah satu titik longsor pada daerah penelitian yang terdapat pada sisi kiri
Sungai Enim (dalam lingkaran oranye)

4.1.2 Satuan Geomorfik


Penentuan satuan geomorfik pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan
pertimbangan aspek – aspek dari geomorfik yang telah dijelaskan sebelumnya mulai
dari aspek fisik yang terdiri dari morfografi dan morfometri serta aspek dinamik yang
terdiri morfogenesis. Dari morfografi didapatkan analisa mengenai bentukan morfologi
yang direpresentasikan dengan peta elevasi morfologi, kemudian morfometri
merupakan analisa derajat kelerengan dari tiap – tiap bentuk lahan sehingga
direpresentasikan paling tepat dengan menggunakan peta kemiringan lereng, kemudian
dari morfogenesis didapatkan analisa gaya yang mempengaruhi dari dalam permukaan

26
bumi seperti tektonik dan vulkanik serta tenaga yang berasal dari luar permukaan bumi
seperti denudasional dengan media air, dan lain sebagainya.
Keseluruhan aspek morfografi pada paragraf di atas menjadi pertimbangan
dalam membuat peta geomorfologi daerah penelitian (Lampiran 3D) sehingga
didapatkan 3 jenis satuan geomorfik pada daerah penelitian, yaitu perbukitan tinggi
vulkanik terdenudasi dengan lereng datar – sangat curam (PD), satuan perbukitan tinggi
terdenudasi dengan lereng agak curam – sangat curam (PC) dan kanal sungai (KS).
Kedua satuan geomorfik tersebut diklasifikasikan dengan berdasarkan referensi dari
Wheaton dkk (2015) dan juga klasifikasi dari Widyatmanti dkk (2016).

4.1.2.1 Satuan Perbukitan Tinggi Terdenudasi dengan Lereng Datar – Sangat


Curam
Satuan perbukitan tinggi terdenudasi dengan lereng datar – sangat curam pada
daerah penelitian mencakup hampir keseluruhan dari daerah penelitian yaitu mencapai
80%, berdasarkan peta kemiringan lereng yang telah dibuat, pada satuan ini terdiri dari
berbagai macam kelerengan mulai dari lereng datar atau sangat datar hingga lereng
sangat curam, selain hal tersebut pada daerah dengan satuan ini memiliki interval
elevasi yang cukup jauh yaitu mencapai 282 meter dan elevasi yang terbentuk antara
418 mdpl hingga 700 mdpl, dikarenakan satuan geomorfik ini hanya termasuk ke dalam
satu tubuh perbukitan sehingga tidak dapat dibagi lagi menjadi satuan perbukitan saja
walaupun berdasarkan elevasi bisa diklasifikasikan. Satuan ini tersusun dari berbagai
bukit denudasi vulkanik seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.6. pada gambar
tersebut cukup terlihat jelas bahwa perbukitannya memiliki lereng yang landai dan
ditumbuhi oleh vegetasi yang lebat berupa tumbuhan liar dan perkebunan penduduk
yang cukup mendominasi.

Gambar 4.6. Satuan perbukitan tinggi terdenudasi dengan kelerengan landai


Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa satuan geomorfik ini juga
memiliki cakupan kemiringan lereng hingga curam dan sangat curam keterdapatan
lereng tersebut didominasi pada sisi kiri dan kanan dari Sungai Enim, Kenampakan
satuan ini dapat dilihat pada Gambar 4.7 dibawah, terlihat jelas pada gambar tersebut
bahwa kelerengan yang mendominasi adalah curam, kemudian sama seperti satuan –
satuan sebelumnya pada satuan ini juga didominasi oleh vegetasi yang berkembang liar
27
namun perbandingan hutan dan perkebunan rakyat pada satuan ini jauh lebih
mendominasi hutan liarnya dibandingkan perkebunan rakyat hal ini dikarenakan akses
perkebunan yang lebih sulit akibat lereng yang terjal.

Gambar 4.7 Bentang alam yang menunjukkan satuan perbukitan tinggi terdenudasi
dengan kelerengan curam pada daerah penelitian

4.1.2.2 Satuan Perbukitan Tinggi Terdenudasi dengan Lereng Agak Curam –


Sangat Curam
Satuan perbukitan tinggi terdenudasi dengan lereng agak curam – sangat curam
mencakup sedikit sekali dari daerah penelitian yaitu hanya sekitar 15%, berdasarkan
peta kemiringan lereng yang telah dibuat, pada satuan ini terdiri dari berbagai macam
kelerengan mulai dari lereng datar atau sangat datar hingga lereng sangat curam, selain
hal tersebut pada daerah dengan satuan ini memiliki interval elevasi yang cukup jauh
juga yaitu mencapai 232 meter dan elevasi yang terbentuk antara 700 mdpl hingga 932
mdpl, pembagian satuan geomorfik ini didasarkan atas perbedaan derajat kelerengan
yang mendominasi pada daerah ini yang disebabkan oleh kerapatan kontur yang sangat
berbeda, pada satuan geomorfik ini didominasi oleh kelerengan curam menurut
Widyatmanti, dkk (2016). Satuan ini terletak pada barat daya daerah penelitian tepatnya
pada bukit tinggal seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.8 dibawah

Gambar 4.8 Bentang alam yang menunjukkan satuan perbukitan tinggi vulkanik
terdenudasi dengan kelerengan curam pada daerah penelitian

28
4.1.2.3 Satuan Kanal Sungai
Satuan kanal sungai merupakan interpretasi dari keseluruhan jenis sungai yang
terdapat pada daerah penelitian, pada daerah penelitian memiliki beberapa sungai,
seperti Sungai Enim, Sungai Tenang, Sungai Talang, Sungai Sawat dan Sungai Kambas.
Kelima sungai utama pada daerah penelitian diinterpretasikan sebagai satuan kanal
sungai dengan memakai klasifikasi menurut Wheaton dkk (2015). Satuan kanal sungai
pada daerah penelitian hanya mencakup sebesar 5 % dari total luasan daerah penelitian,
salah satu contoh dari kanal sungai dapat dilihat pada Gambar 4.9 dibawah.

Gambar 4.9 Aliran Sungai Enim yang termasuk ke dalam satuan kanal sungai

4.2 Stratigrafi Daerah Penelitian


Daerah penelitian tersusun dari berbagai macam jenis batuan namun keseluruhan
jenis batuan tersebut termasuk ke dalam jenis batuan Vulkanik, jenis-jenis batuan yang
tersusun memiliki karakteristik ataupun ciri khas masing-masing yang menjadi
keunikannya tersendiri, karakteristiknya dapat berupa tekstur yang terdapat pada
batuannya selain itu struktur yang membentuknya kemudian memiliki tingkat
kekompakan atau resistensi yang berbeda satu sama lain akibat dari pengaruh proses
denudasional dengan media air, angin dan lain sebagainya. Setelah melakukan kegiatan
pemetaan geologi pada daerah penelitian, didapatkan bahwa keseluruhan daerah
penelitian hanya tersusun dari material vulkanik baik itu piroklastik dan aliran lava.
Material vulkanik tersebut diinterpretasikan termasuk ke dalam Formasi Qhv
(Quarternary Holocene Volcanic) berdasarkan jenis batuan yang didapatkan berupa
lava andesit dan batuan piroklastik berupa lapili dan breksi yang sesuai dengan
karakteristik Formasi Qhv pada Peta Geologi Lembar Baturaja yang dibuat oleh Gafoer,
S dkk (1993).
Material – material vulkanik pada daerah penelitian diinterpretasikan berasal
dari Gunung Api Lumut Balai yang memuntahkan berbagai material vulkaniknya dalam
bentuk aliran lava dan aliran material piroklastik seperti breksi, lapili dan tufa yang
meletus pada Kala Holosen dan termasuk ke dalam satuan Khuluk Lumut Balai Tua
dengan berdasarkan stratigrafi dari Peta Geologi Gunung Api Lumut Balai, Provinsi

29
Sumatera Selatan dari kementerian energi dan sumber daya mineral dan dibuat oleh
Primulyana (2012) stratigrafi dari Gunung Api Lumut Balai tersebut dapat dilihat pada
Tabel 4.1 dibawah.
Tabel 4.1 Daerah penelitian termasuk ke Khuluk Lumut Balai Tua, aliran lava Ltl2
dan endapan longsoran Ltlg berdasarkan Primulyana (2012)

Pada tabel stratigrafi Gunung Lumut Balai di atas terdapat cukup banyak
akronim yang diberikan oleh Primulyana untuk fungsi estetika sekaligus memudahkan
dalam proses input data ke dalam tabel tersebut, berikut beberapa kepanjangan dari
akronim-akronim di atas, yang pertama adalah Arl merupakan akronim dari Satuan
Endapan Vulkanik Aremantai, Ltl1 akronim dari Satuan Aliran Lava Lumut Balai Tua,
Ltl2 merupakan Satuan Aliran Lava Lumut Balai Tua 2, Ltap merupakan akronim dari
Aliran Piroklastik Lumut Balai Tua, Ltlg merupakan Endapan Longsoran Lumut Balai
Tua, kemudian ada masing-masing Lml1 hingga Lml4 yang merupakan akronim dari
Aliran Lava Lumut Balai Muda 1 hingga 4.
Berdasarkan stratigrafi Gunung Api Lumut Balai tersebut diinterpretasikan
bahwa material lava andesit yang ditemukan pada daerah penelitian termasuk ke dalam
aliran lava Ltl2 hal ini didasari oleh kenampakan karakteristik lava andesit yang

30
didapatkan di lapangan, memiliki kesamaan karakteristik dengan material lava andesit
berdasarkan deskripsi dari satuan batuan endapan vulkanik pada Peta Geologi Gunung
Api Lumut Balai tersebut, kesamaan karakteristiknya terdapat pada warna yang sama –
sama berwarna keabuan untuk warna segarnya, kemudian memiliki struktur masif dan
memiliki vesikuler secara fisiknya dan secara petrografinya memiliki kesamaan dari
kandungan mineral – mineralnya, memiliki bentuk butir subhedral hingga anhedral serta
seluruh materialnya tersusun oleh kristal sehingga bersifat holokristalin, untuk
penjelasan lebih detail mengenai kemiripan material lava andesit pada daerah penelitian
dengan aliran lava andesit Ltl2 akan dijelaskan lebih lanjut pada subbab satuan batuan
lava andesit dibawah. Material vulkanik selain dari lava andesit yang terdapat pada
daerah penelitian seperti material piroklastik berupa lapili dan breksi piroklastik,
diinterpretasikan merupakan material dari satuan batuan Ltlg pada stratigrafi gunung api
tersebut, hal ini juga didasari oleh kenampakan fisik dan petrografi dari material
piroklastik yang didapatkan dari pemetaan geologi di lapangan, Ltlg sendiri merupakan
satuan batuan endapan longsoran lumut balai tua, yang merupakan hasil longsoran dari
endapan vulkanik lumut balai tua yang longsor ke arah utara dari Gunung Api Lumut
Balai sehingga karakteristik fisiknya memiliki kekompakan yang kurang atau tidak
terkonsolidasi dengan baik dan memiliki struktur masif.
Interpretasi dari Sumber material vulkanik pada daerah penelitian didukung oleh
Gambar 4.10 dibawah pada gambar tersebut dilakukan plotting dari posisi Peta Geologi
Gunung Api Lumut Balai dengan petakan daerah penelitian, peta geologi gunung api
terdapat pada bagian bawah sedangkan untuk petakan dari daerah penelitian terletak
diatasnya, berdasarkan skala yang dapat kita lihat pada bagian samping kanan gambar
tersebut, diketahui bahwa jarak antara daerah penelitian dengan peta geologi gunung api
tersebut kurang dari 1 kilometer apabila dihitung dari sisi terdekatnya sehingga hal ini
menjadi pendukung dalam membuktikan bahwa daerah penelitian memiliki sumber
yang berasal dari Gunung Api Lumut Balai, selain dari posisi daerah penelitian yang
dekat dengan Gunung Api Lumut Balai variabel lain yang mendukung adalah data
kedudukan lapisan yang didapatkan pada saat melakukan pemetaan geologi lapangan
yang berkisar 260o ke atas menuju kuadran 4 (posisi kedudukan dapat dilihat pada peta
lintasan, lampiran 1) membuktikan bahwa arah pengendapan dari material vulkanik
pada daerah penelitian berasal dari bagian selatan.
Interpretasi sumber dari daerah penelitian juga dilakukan dengan melakukan
interpretasi dari Peta Digital Elevation Model (DEM), seperti yang terlihat pada gambar
4.11 dibawah menunjukkan arah pengendapan material vulkanik dari Gunung Lumut
Balai arah pengendapannya menyebar hampir ke segala arah namun dominan ke arah
utara seperti yang terlihat adanya garis – garis merah yang diinterpretasikan sebagai
punggungan-punggungan yang terbentuk dari proses pengendapan material vulkanik,
selain itu pada gambar tersebut juga diinterpretasikan beberapa fasies gunung apinya,
seperti fasies sentral, fasies proksimal dan fasies medial (Bogie & Mackenzie, 1998).
Pembagian dari fasies berdasarkan Peta DEM pada Gunung Api Lumut Balai ini adalah
dengan cara memperhatikan dan menganalisis tiap bagian gunung apinya berdasarkan
data Peta Geologi Gunung Api Lumut Balai (Primulyana, 2012) serta punggungan –
punggungan material vulkanik yang terbentuk.

31
Gambar 4.10 Peta Geologi Baturaja, Insert: Hasil plot yang menunjukkan posisi dari
daerah penelitian dengan Peta Geologi Gunung Api Lumut Balai (Primulyana, 2012)

32
Gambar 4.11 Interpretasi fasies dan sumber material vulkanik pada daerah penelitian
dengan menggunakan Peta DEM
Daerah penelitian seperti yang telah disebutkan pada penjelasan diatas hanya
tersusun dari satu jenis formasi yaitu Formasi Qhv yang merupakan formasi batuan
vulkanik muda sehingga oleh karena hanya ada satu formasi maka dilakukanlah
pemetaan satuan batuan yang mana untuk satuan batuan pada daerah penelitian ini
didapatkan 4 jenis satuan batuan, yaitu Satuan Batuan Lava Andesit, Satuan Batuan
Lava Autobreksi Andesit, Satuan Batuan Breksi Tufa dan Satuan Batuan Lapili Tufa.
Keempat satuan batuan tersebut menyusun keseluruhan daerah penelitian dengan Satuan
Batuan Lapili Tufa & Satuan Batuan Breksi Tufa yang paling mendominasi mencapai
lebih dari 70% dan tersebar hampir secara keseluruhan pada daerah penelitian kecuali
pada bagian Sungai Enim yang memang didominasi oleh Satuan Batuan Lava
Autobreksi Andesit dengan cakupan hampir mencapai 20% dari total keseluruhan
daerah penelitian dan terakhir yang memiliki proporsi paling sedikit adalah Satuan
Batuan Lava Andesit yang memiliki proporsi hanya sekitar 10 % dari total keseluruhan.
Ketiga satuan batuan tersebut akan dideskripsikan berdasarkan karakteristik batuannya
di lapangan seperti warna segar dan lapuknya, kedudukan pelapisannya, jenis struktur
dan tekstur yang berkembang pada singkapan batuannya serta tingkat kekompakan
batuannya.
Urutan pengendapan stratigrafi dari satuan batuan pada daerah penelitian
seluruhnya terjadi pada Kala Holosen, dimulai dari terendapkannya material lava
andesit dengan cara aliran akibat adanya proses erupsi dari Gunung Api Lumut Balai
yang bersifat efusif, aliran lava tersebut mengalir ke segala sisi dari tubuh gunung api
terutama ke arah utara hingga menuju daerah penelitian, kemudian lava andesit tersebut
mencapai bagian utara dari daerah penelitian namun belum sepenuhnya membeku dan
sebagian besar dari material lava andesit tersebut mengalami perpecahan menjadi blok –

33
blok batuan dan membentuk kenampakan breksi pada permukaannya kemudian
membeku kembali bersama cairan lava yang tersisa pembentukan ini disebut autobreksi
lava, terakhir setelah fase pengendapan lava andesit tersebut diendapkanlah aliran
piroklastik berupa tufa, lapili dan breksi piroklastik, terdapat material piroklastik yang
terendapkan pada daerah penelitian dan diinterpretasikan endapan piroklastik tersebut
merupakan endapan longsoran dari material vulkanik Gunung Lumut Balai sehingga
dari material longsoran tersebut terendapkanlah Satuan Batuan Breksi Tufa & Lapili
Tufa pada daerah penelitian. Kolom stratigrafi daerah penelitian dapat dilihat pada
Tabel 4.2 dibawah. Selanjutnya juga akan dijelaskan tiap – tiap satuan batuannya
secara detail pada sub-bab – sub-bab berikutnya.
Tabel 4.2 Kolom stratigrafi daerah penelitian menunjukkan 4 jenis satuan batuan

4.2.1 Satuan Batuan Lava Andesit


Satuan batuan lava andesit pada daerah penelitian merupakan satuan batuan yang paling
tua dibandingkan dengan dua satuan batuan lainnya, namun untuk ukuran seberapa
tepatnya perbedaan waktu dari pengendapan dibandingkan dua satuan batuan lainnya
pada daerah penelitian maka tidak dapat diketahui secara absolut karena tidak
dilakukannya kegiatan penanggalan radiometri pada keseluruhan jenis batuan pada
daerah penelitian. Satuan batuan lava andesit ini memiliki persentase yang tidak terlalu
banyak pada daerah penelitian bahkan cenderung paling sedikit dengan luasan hanya
mencapai 10% dari total luas daerah penelitian, posisi ditemukannya singkapan –
singkapan lava andesit ini tidak menyebar di seluruh daerah penelitian hanya pada
bagian tenggara singkapan lava andesit ini akan melimpah ditemukan, penyebaran dari
lava andesit ini dapat dilihat pada peta lintasan di Lampiran 2, keterdapatan singkapan
lava andesit ini dapat ditemukan pada bagian hilir Sungai Sawat dan Sungai Kambas
dengan jumlah penyebarannya cukup luas sehingga dapat ditarik menjadi satuan batuan.
Pada peta geologi daerah penelitian yang dilampirkan pada lampiran 7, satuan
batuan ini disimbolkan dengan warna merah tua. Pada satuan batuan lava andesit ini
dilakukan analisa pengamatan di lapangan dengan cara deskripsi singkapan dan
pengambilan sampel untuk kemudian dilakukan analisa petrografi. Pada pengamatan
fisik batuan di lapangan didapatkan bahwa batuan memiliki warna hitam keabuan untuk
warna segarnya dan abu – abu kehijauan untuk warna lapuknya, memiliki karakteristik
yang sangat kompak dan pada kebanyakan singkapan batuannya memiliki struktur kekar
berlembar (sheeting joint) yang menjadi penciri bahwa lava andesit ini diendapkan
secara aliran. Foto lapangan dari satuan batuan lava andesit ini dapat dilihat pada
Gambar 4.12 dibawah.

34
Gambar 4.12 Struktur kekar berlembar yang ditemukan pada singkapan LP 67 yang
merupakan satuan batuan lava andesit pada daerah penelitian
Selain melakukan interpretasi dari fisik, dilakukan juga pengamatan mikrografi
dari sayatan batuan lava andesit, untuk pengamatan mikrografi ini dilakukan pada
sampel LP 96 yang terdapat pada bagian hilir dari Sungai Kambas pada daerah
penelitian. Secara petrografi batuan lava andesit ini memiliki warna krem cerah pada
kenampakan paralel nikolnya dan abu-abu kehitaman pada cross nikolnya, dapat dilihat
pada sayatan bahwa batuan memiliki sortasi buruk dibuktikan pada ukuran bentuk
butirnya yang tidak sama satu sama lain, selain itu juga bentukan dari butirnya yaitu
angular-sub rounded. Memiliki komposisi mineral yang terdiri dari plagioklas, kuarsa
dan piroksen. Terdapat trakitic texture, hipokristalin dan memiliki bentukan mineral
yang inequigranular. Penampakan mikrografi dari LP 96 ini dapat dilihat pada Gambar
4.13 dibawah, untuk penjelasan lebih detail mengenai petrografi dari sayatan ini dapat
dilihat pada Lampiran 6.

Gl

Op

Qz

Gambar 4.13 Kenampakan mikrografi dari satuan batuan lava andesit LP 96, p.4x

35
4.2.2 Satuan Batuan Lava Autobreksi Andesit
Satuan batuan lava autobreksi andesit yang terdapat pada daerah penelitian
merupakan satuan batuan yang masih dalam aliran yang sama dengan lava andesit yang
telah dijelaskan sebelumnya pada subbab diatas. Satuan batuan ini memiliki cakupan
yang tidak terlalu luas namun diinterpretasikan memiliki cakupan yang lebih luas
dibandingkan satuan batuan lava andesit yang hanya mendominasi bagian tenggara
daerah penelitian, luasan dari satuan batuan ini mencapai 20 % dari total keseluruhan
daerah penelitian terletak memanjang secara horizontal di sepanjang sisi kiri dan kanan
Sungai Enim, alasan kenapa hanya ditemukan pada sepanjang Sungai Enim hal ini
dikarenakan aliran dari Sungai Enim yang sangat deras dan mampu memotong batuan
dari elevasi rata – rata permukaan yang mencapai 600 mdpl dapat dipotong hingga
mencapai 400 mdpl atau selisih hingga 200 meter, hal ini menyebabkan tereksposnya
satuan batuan lava andesit yang diinterpretasikan juga berasal dari Gunung Lumut
Balai, namun satuan batuan ini memiliki karakteristik khas tersendiri yaitu memiliki
bentukan membreksi pada bagian permukaan.
Satuan lava autobreksi andesit ini juga dilakukan pengamatan lapangan dengan
mendeskripsi dan pengambilan sampel yang pada beberapa sampel dilakukan analisa
petrografi. Pada pengamatan fisik batuan di lapangan didapatkan bahwa batuan satuan
batuan ini memiliki warna segar hitam keabuan sedangkan warna lapuknya coklat
kekuningan, memiliki tingkat resistensi atau kekompakan yang cukup kompak namun
apabila dibandingkan dengan satuan batuan lava andesit sebelumnya tingkat
kekompakannya tidak sekompak batuan tersebut, hal ini dikarenakan pengaruh dari
proses denudasional yang cukup kuat mempengaruhi satuan batuan ini melalui media
aliran Sungai Enim. Karakteristik fisiknya yang khas adalah kenampakan membreksi
yang hanya terjadi di permukaannya, diinterpretasikan genesis dari pembentukan
autobreksi pada batuan ini yaitu aliran lava andesit yang belum sepenuhnya membeku
dan sebagian besar dari material lava andesit tersebut mengalami perpecahan menjadi
blok – blok batuan dan membentuk kenampakan breksi pada permukaannya kemudian
membeku kembali bersama cairan lava yang tersisa. Kenampakan batuannya dapat
dilihat pada Gambar 4.14 dibawah.

Gambar 4.14 Kenampakan karakteristik autobreksi yang terlihat pada permukaan satuan
batuan lava autobreksi andesit pada LP 3.
36
Analisa dari sampel yang diambil pada satuan batuan lava autobreksi andesit ini
dianalisis dengan menggunakan sayatan tipis dan dianalisis secara petrografi seperti
salah satu sampel yang diambil pada LP 17. Secara petrografi sampel batuan LP 17 ini
memiliki warna krem cerah pada sayatan petrografi kenampakan paralel nikolnya
sedangkan untuk warna cross nikolnya berwarna abu-abu kehitaman, memiliki
kenampakan sortasi buruk dilihat dari ukuran butir yang sangat berbeda satu sama lain,
bentuk butirnya secara umum yaitu angular-sub rounded. Memiliki komposisi mineral
yang terdiri dari plagioklas, biotit, piroksen, serisit dan mineral opak. Memiliki
kenampakan tekstur porfiritik, bersifat hipokristalin dan memiliki bentukan butir
equgiranular, gambar dari sayatan petrografi pada LP 17 ini dapat dilihat pada Gambar
4.15 dibawah.

Qz

Qz

Pg Ser

Bi
Px

Gambar 4.15 Kenampakan mikrografi dari LP 17 yang merupakan batuan lava


autobreksi andesit dengan pembesaran 4x.

4.2.3 Satuan Batuan Breksi Tufa


Pada daerah penelitian ditemukan batuan breksi tufa yang mendominasi secara
keseluruhan hingga mencapai 40% dari total daerah penelitian, keterdapatan satuan
batuan ini menyebar hampir di seluruh bagian permukaan, dan dapat ditemukan pada
seluruh singkapan sungai pada daerah penelitian seperti pada Sungai Sawat, Sungai
Kambas, Sungai Tenang dan bahkan di Sungai Enim. Diinterpretasikan satuan batuan
ini merupakan salah satu satuan yang paling muda dibandingkan satuan batuan lainnya,
dikarenakan posisi dari ditemukannya singkapan ini relatif pada elevasi yang lebih
tinggi dibandingkan satuan batuan lava andesit maupun satuan batuan lava autobreksi
andesit.
Satuan batuan ini diinterpretasikan sebagai bagian dari satuan batuan Ltlg atau
endapan longsoran vulkanik berdasarkan Peta Geologi Gunung Api Lumut Balai yang
telah dijelaskan pada subbab sebelumnya. Kenampakan secara fisik di lapangan satuan
batuan ini memiliki karakteristik sangat lapuk dan tidak kompak yang diinterpretasikan
karena endapan ini merupakan endapan longsoran sehingga tidak terendapkan dengan
37
pembebanan yang sempurna dan menyebabkan kekompakan batuan yang kurang.
Kenampakan fisik batuan breksi tufa seperti yang terlihat pada Gambar 4.16 dibawah
menunjukkan ciri fisik berwarna segar krem cerah pada matriksnya namun untuk
fragmennya yang berupa fragmen andesit memiliki warna segar abu – abu kehitaman,
batuan mengalami pelapukan yang kuat akibat dari proses denudasional berupa aliran
air selain itu juga vegetasi yang berkembang cukup kuat sehingga semakin membuat
batuan semakin lapuk, batuan breksi tufa secara umum memiliki struktur masif dengan
beberapa singkapan menunjukkan kandungan pumis.

4.16 Kenampakan singkapan breksi tufa pada daerah penelitian LP 91 menunjukkan


struktur masif dan dipengaruhi vegetasi yang kuat.
Dari analisa petrografi, untuk batu breksi tufa ini diambil dari sampel LP 35,
dari kenampakan petrografi tersebut dapat diinterpretasi memiliki warna putih
kekreman pada kenampakan paralel nikolnya dan abu-abu cerah pada nikol silangnya,
memiliki pola sortasi yang buruk, memiliki bentukan butir mineral sangat bervariasi
dari very angular-sub rounded. Memiliki komposisi mineral yang terdiri dari plagioklas,
kuarsa dan piroksen. Fragmen/litik yang terdiri dari andesit serta matriks yang terdiri
dari gelas. Terdapat rekahan pada sayatan dan diinterpretasikan mengalami ubahan
menjadi mineral lempung, diinterpretasikan sebagai mineral siderit (mineral karbonat),
namun belum terisi, sehingga bentukan ini diinterpretasikan sebagai tekstur trakitik,
merupakan tekstur yang mengalami ubahan kenampakan tekstur yang menghablur dan
memiliki sedikit rongga, gambar mikrografi dari LP 35 ini dapat dilihat pada Gambar
4.17 dibawah.

38
Pg

Px

Gambar 4.17 Kenampakan mikrografi dari batuan Breksi Tufa pada LP 35 daerah
penelitian.
4.2.4 Satuan Batuan Lapili Tufa
Pada daerah penelitian juga ditemukan batuan lapili tufa yang juga mendominasi
secara keseluruhan dari daerah penelitian seperti dari satuan batuan breksi tufa diatas,
cakupan persebarannya pada daerah penelitian mencapai 30 %. Singkapan dari batuan
lapili tufa ini juga dapat ditemukan di berbagai macam jenis sungai pada daerah
penelitian sama seperti batuan breksi tufa, seperti pada Sungai Sawat, Sungai Tenang,
Sungai Kambas serta dapat ditemukan juga beberapa singkapannya pada Sungai Enim
walaupun dalam jumlah yang sangat sedikit. Satuan batuan ini merupakan satuan batuan
termuda yang terdapat pada daerah penelitian pun apabila dibandingkan dengan satuan
batuan breksi tufa, satuan batuan ini terendapkan paling terakhir, hal ini diketahui dari
beberapa keterdapatan singkapan yang menunjukkan kontak jelas dari satuan batuan
lapili tufa ini yang berada diatas satuan batuan breksi tufa, seperti pada LP 44 & LP 34.
Selain itu posisi dari satuan batuan lapili tufa ini juga ditemukan relatif pada elevasi
yang lebih tinggi dibandingkan satuan batuan breksi tufa hal ini dapat dilihat dengan
jelas pada peta korelasi profil yang dilampirkan pada lampiran 5. Satuan batuan ini juga
diinterpretasikan sebagai bagian dari endapan longsoran vulkanik sama seperti satuan
batuan breksi tufa yang telah dijelaskan sebelumnya.
Kenampakan fisik di lapangan menunjukkan warna segar krem cerah, dan warna
lapuk yang cukup beragam mulai dari oranye kemerahan hingga hitam kecokelatan.
Seperti yang terlihat pada Gambar 4.18 dibawah menunjukkan salah satu lokasi
pengamatan (LP) dari daerah penelitian yaitu pada LP 33, pada lokasi pengamatan
tersebut menunjukkan batuan lapili tufa yang terlapukkan kuat dan memiliki
kekompakan yang rendah, struktur yang terbentuk pada singkapan ini adalah masif dan
tidak ditemukan bidang pelapisan yang jelas. Ukuran butir yang terdapat pada
singkapan ini cukup bervariasi mulai dari tufa hingga fragmen breksi yang berukuran
kecil yaitu <70 mm, namun kehadiran fragmen breksi ini sangat sedikit dan
kemungkinan merupakan hasil dari batuan breksi tufa yang tertransport menuju

39
kesingkapan ini. Batuan lapili tufa ini memiliki semen yang didominasi oleh tufa dan
juga pumis namun tidak mendominasi.

Gambar 4.18 kenampakan batuan lapili tufa pada LP 33 yang terlapuk cukup kuat dan
memiliki tingkat resistensi yang rendah.
Analisa petrografi untuk batuan lapili tufa ini direpresentasikan dengan LP 47,
pada LP ini sayatan petrografinya memiliki warna putih Abu – abu untuk paralel nikol
dan hitam cerah untuk nikol silangnya, memiliki ukuran fragmen berkisar 0.1 - 0.5 mm,
memiliki nilai sortasi yang buruk, selain itu juga memiliki bentukan kristal euhedral -
subhedral, bentuk butirnya cenderung angular-sub rounded, memiliki tekstur klastik.
Memiliki komposisi yang terdiri dari plagioklas, biotit, dan piroksen. Fragmen/litik
yang terdiri dari pumis dan andesit serta matriks yang terdiri dari debu vulkanik dan
gelas (Gambar 4.19)

Pg
Pg

Li
Pg
Pg
Li

Bi
Gl

Px

Gambar 4.19 Kenampakan mikrograf dari LP 47 dengan pembesaran 4x

40
4.3 Struktur Geologi Daerah Penelitian
Struktur geologi daerah penelitian memiliki struktur yang berkembang berupa
sesar mayor dengan arah Barat Laut – Tenggara. Jenis sesar ini termasuk sesar mayor
yang didapatkan pada batuan lava autobreksi vulkanik, dikarenakan adanya bentukan
offset yang cukup besar serta mengubah pola bentukan sungai menjadi sangat berbelok
patah, diinterpretasikan bahwa struktur sesar ini yang mengontrol struktur regional pada
daerah penelitian. Akuisisi data struktur geologi berupa sesar mayor ini dilakukan pada
saat di lapangan, data yang didapatkan berupa slicken slide atau biasa dikenal dengan
gores garis yang terdapat pada bidang sesar, data kekar shear yang berpasangan serta
data kedudukan dari strike tersebut. Sesar mayor pada daerah penelitian
diinterpretasikan sebagai sesar mendatar menganan hasil dari analisa menggunakan
klasifikasi Gultaf, 2014, sesar mendatar ini berarah Barat Laut – Tenggara dan
diinterpretasikan terbentuk pada zaman kuarter dan pada kala pleistosen, sesar mayor
yang didapatkan pada daerah penelitian diinterpretasikan merupakan satu kesatuan
dengan sesar yang terdapat pada Peta Geologi Gunung Lumut Balai yang dibuat oleh
Primulyana, 2012.

4.3.1 Analisa Pola Kelurusan Struktur


Pembentukan pola kelurusan struktur pada daerah penelitian dilakukan dengan
menggunakan data dari SRTM (Shuttle Radar Topographic Map), Bentukan dari
kelurusan ini dapat berupa kelurusan perbukitan, lembah, sungai, pergeseran batuan
(sesar), pola dari bentukan punggungan, serta pola bentukan kelurusan sungai.
Kelurusan ini diinterpretasikan terjadi akibat adanya pengaruh dari gaya tektonik yang
bekerja secara regional dari daerah penelitian, untuk ana lisa pola kelurusan dapat
dilihat pada Gambar 4.20 dibawah.

Gambar 4.20 Pola Kelurusan dari petakan (kotak kuning) daerah penelitian dan area
sekitarnya menunjukkan gaya utama daerah penelitian berpola Barat Laut – Tenggara
dengan arah utama gaya berkisar N 310o E – N 320o E
Setelah melalui analisa DEM dan perhitungan pola kelurusan, pada daerah
penelitian menunjukkan adanya pola kelurusan struktur relatif berarah Barat Laut –
Tenggara, Analisa ini membuktikan bahwa pola kelurusan yang terbentuk pada daerah

41
penelitian paralel dengan bentukan sesar utama yang terdapat di Pulau Sumatera yaitu
Semangko Fault, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa pola kelurusan struktur pada
daerah penelitian mayoritas dikontrol oleh gaya sesar utama Pulau Sumatera tersebut.
Pada bagian utara daerah penelitian terdapat struktur yang membujur dari barat
ke timur daerah penelitian, struktur ini terbentuk di sepanjang sisi kanan dan kiri Sungai
Enim, terdapat kelerengan yang curam hingga sangat curam yang terbentuk di
sepanjang keterdapatan struktur tersebut, struktur tersebut diketahui sebagai negative
lineament structure atau struktur kelurusan negatif (Meixner, 2017). Terbentuknya
struktur ini diakibatkan oleh dua faktor utama yaitu diinterpretasikan terdapatnya
berbagai jenis struktur geologi berupa sesar yang cukup besar sehingga mampu
membuat bentukan kelurusan seperti Gambar 4.21 dibawah, kemudian implikasi dari
sesar-sesar tersebut yang menjadi faktor berikutnya yaitu terbentuknya aliran sungai
yang sangat kuat sehingga mampu memotong tubuh batuan seperti yang dapat dilihat
pada Gambar 4.7 pada subbab geomorfologi sebelumnya.

Gambar 4.21 Struktur kelurusan negatif yang terdapat pada daerah penelitian

4.3.2 Analisa Pola Struktur Kekar


Daerah penelitian merupakan daerah yang dipengaruhi oleh kedua tenaga
pembentuk dari dalam (tenaga endogen) yaitu tektonik dan vulkanik, kedua gaya
pembentuk ini mempengaruhi pembentukan struktur – struktur geologi yang terdapat
pada daerah penelitian, hal ini juga termasuk struktur kekar. Struktur kekar yang
terdapat pada daerah penelitian ditemukan sebanyak tiga titik yang masing-masing
terletak pada bagian barat laut daerah penelitian, timur daerah penelitian serta tenggara
daerah penelitian, dua diantara data tersebut merupakan kekar tarik (tension joint)
sedangkan kekar yang satunya berjenis kekar gerus (shear joint), Data pengukuran dari
masing-masing kekar dapat dilihat pada Lampiran 4.
Jenis kekar yang terdapat pada bagian barat laut daerah penelitian tepatnya
dianalisis pada LP 15 didapatkan struktur kekar gerus yang memiliki bentukan saling
berpotongan satu sama lain sehingga memiliki dua buah kedudukan dari masing-masing
kekar yang saling berpotongan tersebut. Total didapatkan lebih dari 20 pasang data
kekar gerus ini namun yang dituliskan pada lampiran 4 hanya 8 pasang, hal ini
dikarenakan 12 pasang lainnya memiliki nilai pasangan yang sama persis. Dari 20
pasang kekar gerus tersebut secara umum memiliki kedudukan N 355 o E / 66o dan N

42
235o E / 68o salah satu dari bagian kekar gerus ini terkena gaya yang kuat dan bersifat
kompresional yaitu dari gaya yang berkedudukan N 355o E / 66o akibat dari gaya
kompresional yang kuat ini sehingga membentuk Sesar Geser Pancuringkih yang
merupakan sesar geser menganan naik gambaran dari kekar yang terletak pada bagian
barat laut daerah penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.22 dibawah. Kekar gerus
yang didapatkan juga dianalisis secara stereografi dengan menggunakan software Dips,
didapatkan masing-masing nilai τ (tau) sebesar 202/40 (τ 1), 028/51 (τ 2) dan 295/02 (τ
3), proyeksi stereografis dari kekar ini dapat dilihat pada Gambar 4.23 dibawah.

Gambar 4.22 Data kekar berupa shear joint yang didapatkan di lapangan

Gambar 4.23 Proyeksi stereografis dari data kekar di lapangan pada singkapan Sesar
Pancuringkih, pembuatan proyeksi dilakukan dengan menggunakan software Dips.
Selain dari kekar gerus, pada daerah penelitian juga ditemukan dua titik lokasi
yang memiliki struktur kekar tarik, keterdapatan struktur kekar tarik ini terdapat pada
LP 31 & LP 77 keduanya terdapat pada batuan breksi piroklastik, namun pada LP 31
batuannya memiliki kekompakan yang lebih baik dibandingkan LP 77. Pada LP 31
didapatkan sebanyak 22 data hasil pengukuran dari kekar tarik ini, dari keseluruhan data
tersebut diketahui kedudukan utamanya berarah N 317o E / 78o. sedangkan pada LP 77
didapatkan sebanyak 13 data hasil pengukuran dengan kedudukan utama berarah N 164o
E / 81o. kedua data kekar tarik ini terbentuk dengan cukup sempurna pada permukaan
namun pada LP 77 terdapat sedikit vegetasi dan proses pelapukan yang menutupi kekar

43
tariknya, keduanya diinterpretasikan terbentuk oleh gaya endogen yang berasal dari
dalam permukaan bumi, namun tidak diketahui secara pasti apakah akibat dari kegiatan
tektonisme atau vulkanisme. Gambaran dari salah satu kekar tarik yang didapatkan pada
daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.24 dibawah.

Gambar 4.24 Kenampakan kekar tarik pada LP 31 di daerah penelitian memiliki arah
utama N 317o E / 78o

4.3.3 Sesar Geser Pancuringkih


Kegiatan analisa struktur sesar geser ini pertama kali dilakukan kegiatan khusus
di lapangan yaitu dengan melakukan pemetaan struktur geologi secara lebih khusus,
terpisah dari kegiatan pemetaan pada umumnya. Setelah dilakukannya kegiatan
pemetaan struktur secara khusus tersebut, didapatkan beberapa data yang
mengindikasikan keterdapatan struktur sesar seperti adanya bidang sesar yang
memperlihatkan adanya gores garis, bidang sesar ini terlihat cukup jelas di lapangan
karena ada bagian dari batuan yang longsor sehingga menyebabkan bidang dari sesar
tersebut terlihat jelas, gambar mengenai analisa data di lapangan dapat dilihat pada
Gambar 4.25 dan 4.26, pada saat analisa struktur di lapangan, diinterpretasikan bahwa
jenis sesar yang terbentuk merupakan sesar geser menganan naik, hal ini terlihat jelas
dari gores garis yang terbentuk dari batuan breksi tufa.
Data gores garis yang didapatkan kemudian dilakukan pengukuran nilai pitch
sehingga didapatkan sudut sebesar 25o, kemudian dilakukan juga perhitungan
kedudukan dari struktur sesarnya yang didapatkan kedudukan N355oE/68o, selain
mengakuisisi data gores garis dan kedudukan dari struktur sesar ditemukan juga data
kekar berupa shear joint yang berpasangan, dilakukan perhitungan sebanyak 15 pasang
dari kekar ini, yang mayoritas menunjukkan angka kedudukan pada N355oE/66o dan
N235oE/68o gambar dari struktur kekar gerus ini dapat dilihat pada Gambar 4.21 pada
subbab analisa pola struktur kekar yang telah dibahas sebelumnya. Database dari data
kekar dapat dilihat pada Lampiran 4. Penjelasan lebih lanjut mengenai kekar gerus yang
didapatkan pada Sesar Geser Pancuringkih ini dapat juga dapat dilihat pada subbab
analisa pola struktur kekar sebelumnya.

44
(a) (b)

Gambar 4.25 Kenampakan indikasi sesar yang didapatkan di lapangan, pada foto (a)
merupakan foto jauh dari seberang sungai yang memperlihatkan adanya bidang sesar
serta hanging wall dan foot wall. pada foto (b) diketahui terdapat bidang sesar yang
memperlihatkan adanya struktur gores garis,

Gambar 4.26. Pada foto ini memperlihatkan adanya struktur gores garis yang terlihat
seperti mengatas, setelah diukur gores garis tersebut memiliki nilai pitch 25o.
Penentuan jenis sesar yang didapatkan di lapangan dilakukan dengan
menggunakan bantuan software WinTensor, untuk mengetahui jenis sesar dengan
menggunakan software ini, diperlukan data kedudukan dari sesar (N355oE/68o) dan data
pitch yang merupakan sudut lancip yang terbentuk dari kedudukan batuan dan gores
garis sesar (25o), kedua data ini kemudian dimasukkan ke dalam software WinTensor
dan didapatkan hasil jenis sesar pada daerah penelitian merupakan sesar geser
menganan, diagram hasil plot data dari software WinTensor ini dapat dilihat pada
Gambar 4.27 dibawah. Namun untuk meyakinkan hasil dari analisa software dilakukan
evaluasi nilai pitch yang didapatkan di lapangan dengan menggunakan diagram Gultaf,
2014 karena nilai pitch sebesar 25o sehingga setelah di plotting ke dalam diagram

45
tersebut diketahui bahwa jenis sesar tersebut adalah sesar geser menganan naik
(Gambar 4.28).

Gambar 4.27 Hasil plot data struktur pitch dan kedudukan dari sesar geser
menggunakan software WinTensor.

Gambar 4.28 Diagram Gultaf, 2014 berdasarkan hasil evaluasi pitch pada sesar geser
daerah penelitian, didapatkan jenis sesar menganan naik berdasarkan tarikan sudutnya

46
BAB V
ANALISIS POTENSI BAHAYA LONGSOR

Kelongsoran merupakan suatu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia,


terjadinya bencana longsor ini tidak dapat diprediksi secara tepat oleh ilmu pengetahuan
sekarang namun tidak menutup kemungkinan di masa depan akan terdapat penelitian
yang dapat menemukan atau memprediksi kapan terjadinya longsor pada suatu daerah,
oleh karena kemungkinan terjadinya yang tidak terduga maka bencana tanah longsor
menjadi salah satu bencana yang cukup berbahaya dan dapat mengakibatkan kerusakan
infrastruktur seperti bangunan dan bahkan jatuhnya korban jiwa. Terdapat banyak faktor
yang dapat menyebabkan terjadinya longsor baik yang terjadi secara natural maupun
karena faktor ulah manusia, pada daerah penelitian diinterpretasikan termasuk ke
wilayah dengan tingkat rawan longsor yang cukup tinggi sehingga diperlukan adanya
studi lebih lanjut mengenai kelongsoran pada daerah penelitian.
Pemilihan longsor sebagai studi khusus pada daerah penelitian dikarenakan
ditemukannya beberapa titik kelongsoran yang ditemukan. Titik-titik lokasi kelongsoran
ini umumnya ditemukan pada lereng yang sangat curam dan berada pada elevasi yang
cukup tinggi, keterdapatan longsor pada daerah penelitian diinterpretasikan karena
peristiwa alami oleh faktor-faktor alam, pada daerah penelitian juga ditemukan
beberapa perkebunan rakyat yang menanam pohon kopi pada lereng yang curam
padahal di sekitar daerah tersebut terdapat titik tanah longsor yang ditemukan dan
dikhawatirkan daerah yang ditanami oleh rakyat tersebut juga memiliki tingkat ancaman
longsor yang sama besar dengan titik tanah longsor yang ditemukan tadi, oleh karena
hal itu, masyarakat yang berkebun pada daerah tersebut tidak mengetahui bahaya yang
mengancam dan kerugian yang ditimbulkan apabila benar terjadi bencana longsor yang
menimpa perkebunannya dikarenakan kurangnya pemahaman mengenai bahaya tanah
longsor tersebut sehingga menjadi salah satu dorongan penulis untuk melakukan
penelitian potensi kelongsoran pada daerah penelitian dengan memperhatikan
parameter-parameter penyebab kelongsoran serta memetakan daerah penelitian
berdasarkan tingkat bahaya kelongsorannya.

5.1 Dasar Teori


Tanah longsor merupakan pergerakan massa batuan, tanah atau material puing
yang membentuk suatu bentukan kelerengan baik secara alami maupun buatan terhadap
bagian bawah ataupun luar lereng dari sepanjang permukaan yang bergerak dan telah
ditentukan (Agliardi, 2012). Bencana tanah longsor selain dapat terjadi karena proses
alam dapat pula terjadi karena ulah manusia yang dalam hal proses pemanfaatan lahan
tidak mengikuti kaidah-kaidah dari kelestarian lingkungan seperti mengubah hutan
menjadi lahan pertanian secara berlebihan dan membuat pemukiman di daerah dengan
kelerengan yang terjal (Zhou, 2016).
Berbicara mengenai bencana tanah longsor sangat erat kaitannya dengan tingkat
kestabilan dari suatu lereng, suatu kelerengan dapat dikatakan aman dari bencana
longsor ketika memiliki gaya penahan yang terdapat pada suatu lereng tersebut harus
lebih kuat apabila dibandingkan dengan gaya gravitasi maupun gaya yang dapat

47
menyebabkan gerakan pada suatu lereng sehingga lereng dapat selalu dalam kondisi
yang stabil. Namun tentunya ada banyak hal yang dapat menyebabkan kondisi gaya
penahan tersebut dapat menjadi lebih lemah dibandingkan gaya penggerak hal ini dapat
dipicu oleh beberapa faktor seperti curah hujan yang sangat ekstrem pada suatu wilayah
menyebabkan kandungan air yang berlebihan oleh suatu lapisan tanah dapat
meningkatkan bidang gelincir, hal ini dapat juga didukung oleh tingkat kelerengan yang
curam semakin membuat gaya penggerak yang dalam hal ini gaya gravitasi memiliki
pengaruh lebih kuat, beberapa hal tersebut merupakan penyebab dari melemahnya gaya
penahan sehingga terjadinya longsor pada suatu bidang gelincir batuan.
Penentuan faktor ataupun parameter-parameter penyebab longsor pada daerah
penelitian didapatkan berdasarkan Basofi dkk (2017) yang menyatakan terdapat 5 faktor
yang menjadi penyebab longsor yaitu litologi, curah hujan, kemiringan lereng,
penggunaan lahan dan yang terakhir elevasi, Basofi dkk (2017) berpendapat bahwa
pemilihan kelima faktor penyebab longsor ini dikarenakan kelima faktor tersebut
merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam terjadinya longsor pada suatu titik di
daerah penelitian mereka. Metode AHP telah cukup umum digunakan untuk
menganalisis longsor hal ini dibuktikan dari beberapa paper yang didapatkan dari jurnal
ilmiah internasional seperti Zhou, dkk (2016) yang melakukan analisis longsor pada
daerah Tsushima, Jepang dan juga Kumar, dkk (2015) yang melakukan analisis longsor
pada daerah Tamil Nadu, India.
Dalam analisis potensi bahaya longsor pada daerah penelitian dilakukan dengan
menggunakan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) yang telah diperkenalkan
oleh Saaty (1990), seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pemilihan metode AHP ini
dilakukan atas keuntungan serta kemudahan yang diberikan oleh metode AHP untuk
menganalisis data berbasis multivariate yang cukup rumit dengan simpel dan sederhana
serta mudah dipahami, salah satu hal yang diketahui adalah penentuan nilai intensitas,
penentuan nilai intensitas ini sangat penting untuk dijadikan acuan dalam penilaian tiap-
tiap parameter yang menjadi penyebab longsor, Saaty (1990) berhasil menyimplifikasi
nilai intensitas tersebut ke dalam tabel skala pembobotan pada Tabel 3.3 pada subbab
sebelumnya. Penggunaan metode AHP direkomendasikan juga oleh Yalcin (2008)
dalam Shams, dkk (2016) didalam jurnalnya Yalcin menyatakan bahwa metode AHP ini
memiliki tingkat konsistensi yang sangat tinggi dalam pengambilan keputusannya
namun hal tersebut berlaku apabila digunakan metode Consistency Index Value (CIV).

5.2 Pemetaan Titik Kelongsoran


Dalam melakukan pemetaan titik kelongsoran pada daerah penelitian terdapat
hal menarik yang dapat ditarik kesimpulan secara cepat yaitu pengaruh kelerengan
menjadi pengaruh yang paling kuat dalam hal penyebab longsor, hal ini dapat diketahui
setelah melakukan pemetaan area rawan longsor yang mendapatkan beberapa titik yang
memiliki longsor, total ada 6 titik utama yang kami lakukan pengambilan data berupa
foto longsor, pengukuran lebar dan tinggi serta azimut dari longsor tersebut, kegiatan
pemetaan area rawan longsor ini juga dilakukan secara menyebar ke seluruh area
penelitian sehingga secara umum dapat diinterpretasikan bahwa longsor pada daerah
penelitian secara umum terdapat pada daerah Northwest, Northeast dan Southwest, pada

48
keseluruhan titik longsor menariknya terjadi pada elevasi yang cukup jauh yaitu pada
area Northwest dan Northeast umumnya pada elevasi 420 – 450 mdpl sedangkan pada
daerah Southwest terjadi pada elevasi mencapai 800 mdpl hal ini dapat disimpulkan
bahwa pada daerah penelitian, faktor elevasi menjadi faktor yang paling tidak
berpengaruh terhadap kelongsoran terbukti dari penjelasan akan singkapan longsor yang
saya dapatkan. Titik-titik longsor dapat dilihat pada Gambar 5.1 dibawah
Pada Gambar 5.1 diperlihatkan hanya 4 titik kelongsoran dikarenakan dua titik
longsor lainnya yang berukuran minor, berdasarkan posisi titik kelongsoran yang
ditemukan pada daerah penelitian dapat diketahui bahwa letak dari titik longsornya
didominasi pada daerah di sepanjang sisi Sungai Enim. Pada foto kiri atas merupakan
longsor yang memiliki lebar 14 meter dan tinggi diperkirakan 140 meter. Pada foto
kanan atas menunjukkan longsor dengan lebar mencapai 24 meter dan tinggi mencapai
90 meter. Foto kanan bawah memiliki lebar 8,5 meter dan tinggi 4 meter sedangkan foto
kiri bawah merupakan longsor yang terjadi di Bukit Tinggal, memiliki lebar mencapai
100 meter dan tinggi 70 meter.

5.3 Pembobotan dan Penilaian Parameter Dengan Metode Analytical Hyrarchy


Process (AHP)
Analisis potensi bahaya longsor dengan menggunakan metode AHP dilakukan
pertama kali dengan menentukan nilai intensitas dari tiap-tiap parameter yang menjadi
penyebab longsor yang telah ditentukan sebelumnya, terdapat 5 parameter yang
digunakan dengan berdasarkan Basofi, dkk (2017). Kelima parameter tersebut adalah
litologi, curah hujan, kemiringan lereng, penggunaan lahan dan elevasi. Kelima
parameter tersebut kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan tabel skala
pembobotan oleh Saaty (1990). Tabel skala pembobotan tersebut telah dicantumkan
sebelumnya pada BAB III, tabel tersebut mengandung nilai intensitas yang berguna
menjadi acuan dalam memberikan penilaian dari tiap parameter yang digunakan.
Parameter dengan nilai intensitas tertinggi diberikan kepada parameter kemiringan
lereng dengan nilai 5, hal ini dikarenakan berdasarkan hasil temuan spot longsor pada
daerah penelitian diketahui bahwa longsor terjadi pada lereng yang relatif curam hingga
sangat curam sehingga berdasarkan hal tersebut membuat parameter kemiringan lereng
memiliki nilai intensitas tertinggi, kemudian parameter litologi atau jenis batuan
memiliki nilai intensitas 4, kemudian penggunaan lahan diberi nilai intensitas sebesar 3,
parameter curah hujan yang memiliki pengaruh tidak terlalu besar diberikan nilai
intensitas 2 dan yang terakhir parameter elevasi diberi nilai intensitas terendah yaitu 1,
hal ini dikarenakan juga berdasarkan hasil temuan titik-titik longsor pada daerah
penelitian bahwa longsor yang ditemukan dapat terjadi baik pada elevasi yang rendah
maupun elevasi yang tinggi. Dalam penentuan nilai intensitas ini diinterpretasikan
berdasarkan Ouma & Tateishi (2014) yang menyebutkan bahwa penentuan nilai
intensitas sebaiknya dilakukan dengan bantuan ahli dalam bidang-bidang dari parameter
yang digunakan sehingga akan didapatkan hasil yang lebih akurat dan lebih terpercaya.
Penentuan nilai intensitas ini selain mengacu dari Ouma & Tateishi (2014) juga
diinterpretasi secara ilmiah dengan mempertimbangkan hasil yang didapatkan di
lapangan sehingga menghasilkan interpretasi seperti yang telah dijelaskan diatas, serta

49
nilai intensitas dari Saaty (1990) yang digunakan adalah variabel 1-5. Kemudian
penentuan jumlah kelas atau variabel yang digunakan berdasarkan Ouma & Tateishi
(2014) adalah sebanyak 5 kelas juga namun terdapat salah satu pertimbangan berupa
pada parameter litologi yang hanya memiliki maksimal 4 kelas dan tidak dapat
ditambahkan lagi menjadi 5 kelas seperti seharusnya, hal ini dikarenakan perbedaan
karakteristik dari batuannya. Sehingga mempertimbangkan hal tersebut maka saya
memutuskan untuk membuat kelasnya menjadi 4 semua pada setiap parameter.
Setelah memberikan nilai intensitas dari tiap parameter, langkah berikutnya
adalah membangun matriks perbandingan dimana tiap parameter memiliki kepentingan
yang berbeda dengan parameter lainnya, pembuatan matriks perbandingan ini
didasarkan Rincon, dkk (2018). Tabel perbandingan nilai intensitas dari tiap parameter
dapat dilihat pada Tabel 5.1 dibawah, pada tabel tersebut menunjukkan perbandingan
antar parameter misalnya pada salah satu baris dan kolomnya merupakan tempat
pertemuan dari parameter kemiringan lereng dengan parameter curah hujan, dengan
menggunakan persamaan (1) dibawah ini berikut dengan contohnya:

𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐼𝑛𝑡𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑃𝑎𝑟𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑉𝑒𝑟𝑡𝑖𝑘𝑎𝑙


𝑃𝑒𝑟𝑏𝑎𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐼𝑛𝑡𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐼𝑛𝑡𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑃𝑎𝑟𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝐻𝑜𝑟𝑖𝑧𝑜𝑛𝑡𝑎𝑙………….(1)

Contoh perhitungan:
5
𝑃𝑒𝑟𝑏𝑎𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐾𝑒𝑚𝑖𝑟𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 𝐿𝑒𝑟𝑒𝑛𝑔 & 𝐶𝑢𝑟𝑎ℎ 𝐻𝑢𝑗𝑎𝑛 =
2
Tabel 5.1. Perbandingan nilai intensitas tiap parameter (Rincon dkk, 2018).
Perbandingan Nilai Intensitas
Parameter Curah Kemiringan Penggunaan
Litologi Elevasi
Hujan Lereng Lahan
Litologi 4/4 4/2 4/5 4/3 4/1
Curah Hujan 2/4 2/2 2/5 2/3 2/1
Kemiringan Lereng 5/4 5/2 5/5 5/3 5/1
Penggunaan Lahan 3/4 3/2 3/5 3/3 3/1
Elevasi 1/4 1/2 1/5 1/3 1/1
Σ 3,75 7,5 3 5 15
Setelah membuat matriks perbandingan tiap parameter, langkah berikutnya
adalah melakukan normalisasi tiap parameter yang digunakan, kegiatan ini dilakukan
dengan cara mendesimalkan nilai dari tahap perbandingan nilai intensitas diatas. Tabel
normalisasi perbandingan tiap parameter dapat dilihat pada Tabel 5.2 dibawah, langkah
normalisasi ini juga dilakukan berdasarkan Rincon, dkk (2018). Nilai normalisasi
didapatkan dengan menggunakan persamaan (2) dibawah berikut dengan contoh
perhitungannya:
𝐻𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑃𝑒𝑟𝑏𝑎𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑁𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 = ………………..(2)
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 (Σ)

50
Gambar 5.1 Titik-titik lokasi longsor yang terdapat pada daerah penelitian

51
Contoh Perhitungan:
1
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑁𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 = = 0,27
3,75
Tabel 5.2. Normalisasi perbandingan tiap parameter (Rincon dkk, 2018).
Normalisasi
Parameter Curah Kemiringan Penggunaan
Litologi Elevasi
Hujan Lereng Lahan
Litologi 1/3,75 0,27 0.27 0,27 0,27
= 0,27
Curah Hujan 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13
Kemiringan Lereng 0,33 0,33 0,33 0,33 0,33
Penggunaan Lahan 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20
Elevasi 0,07 0,07 0,07 0,07 0,07
Σ 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00

Setelah melakukan perbandingan nilai intensitas dan kemudian melakukan


normalisasi dari perbandingan yang didapat pada tiap parameter maka langkah
selanjutnya yang digunakan adalah melakukan perhitungan bobot dari tiap parameter,
perhitungan bobot ini dapat dilakukan dengan menjumlah hasil pada tabel normalisasi
dari tiap parameter secara horizontal kemudian dibagi lima, hal ini sesuai dengan
jumlah parameternya, hasil perhitungan dari pembobotan tiap parameter dapat dilihat
pada Tabel 5.3 dibawah, perhitungan pembobotan tiap parameter ini juga berdasarkan
Rincon, dkk (2018).
Tabel 5.3. Pembobotan tiap parameter (Rincon dkk, 2018).
Parameter Bobot
Litologi (0,27+0,27+0,27+0,27+0,27)/5 = 0,27
Curah Hujan 0,13
Kemiringan Lereng 0,33
Penggunaan Lahan 0,20
Elevasi 0,07

Metode AHP dikenal sebagai metode dengan tingkat keakurasian cukup tinggi
namun Yalcin (2008) menyatakan hal tersebut berlaku apabila telah dilakukan
perhitungan Consistency Index Value (CIV), oleh karena itu untuk membuktikan tingkat
keakurasian dari Metode AHP yang digunakan dilakukan perhitungan CIV tersebut
dengan cara menghitung jumlah parameter yang tertimbang yaitu dapat dilakukan
dengan cara mengalikan bobot dari tiap-tiap parameter yang berpasangan. Tingkat
konsistensi parameter dihitung sebagai rasio antara penjumlahan parameter tertimbang
dan bobot. Lamda (λ) merupakan rata-rata dari nilai konsistensi parameter. Nilai λ dan
jumlah parameter (n) digunakan untuk menghitung nilai CIV yang dirumuskan pada
persamaan (3) dibawah
λ−n
𝐶𝐼𝑉 = ………………………….(3)
𝑛−1
52
Dimana: CIV : Consistency Index Value
n : Jumlah Parameter
λ : Lamda
Dari rumus diatas dapat diolah kembali untuk mendapatkan nilai lamdanya, hal
ini perlu dilakukan karena nilai lamdanya sendiri belum diketahui sehingga untuk
mendapatkan dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan (4) dibawah
Total Konsistensi Penilaian
𝐿𝑎𝑚𝑑𝑎 (λ) = ……………………….(4)
𝑛
Perhitungan nilai CIV dimulai dari pencarian nilai konsistensi penilaian yang
dapat dilihat pada Tabel 5.4. pada tabel tersebut didapatkan nilai konsistensi penilaian
dari tiap parameter, nilai konsistensi ini didapat dari nilai jumlah pembobotan dari tiap
parameter dibagi nilai bobot pada Tabel 5.3 sebelumnya. Kemudian untuk mendapatkan
jumlah pembobotan tiap parameter tersebut, perlu dilakukan penjumlahan dari tiap
parameter berupa hasil perkalian antara nilai bobot pada Tabel 5.3 dengan nilai tiap
parameter secara vertikal pada Tabel 5.1. Langkah berikut dilakukan pada semua
parameter untuk mendapatkan nilai konsistensinya. Setelah nilai konsistensi pada
semua parameter didapatkan, kemudian dihitung dengan persamaan diatas untuk
mendapatkan nilai lamdanya.

Tabel 5.4. Penjumlahan parameter tertimbang dan konsistensi parameter.


Parameter Jumlah Pembobotan Parameter Konsistensi Penilaian
(0,27)x(1) + (0,13)x(2) + (0,33)x(0,8) +
Litologi 1,34/0,27 = 4,96
(0,20)x(1,33) + (0,07)x(4) = 1,34
Curah Hujan 0,67 5,16
Kemiringan Lereng 1,67 5,08
Penggunaan Lahan 1,005 5,027
Elevasi 0,334 4,78

Dari persamaan (1) pada halaman 50 sebelumnya dapat dilakukan perhitungan


untuk Nilai CIV namun sebelumnya dilakukan perhitungan untuk mencari nilai
lamdanya dengan menggunakan persamaan (2) sehingga setelah dilakukan perhitungan
didapatkan nilai dari lamdanya sebesar 5,0014. Kemudian dicari Nilai CIVnya dengan
menggunakan rumus dari persamaan (1) dan didapatkan nilai 0,00035 yang berarti hasil
perhitungan dengan menggunakan metode AHP ini memiliki tingkat akurasi yang tinggi
karena memiliki nilai <0,1 menurut Saaty (1990). Berdasarkan perhitungan yang telah
dilakukan maka didapatkan nilai bobot dalam bentuk persentase dari keseluruhan
parameter yang dapat dilihat pada Tabel 5.5 dibawah

4,96 + 5,16 + 5,08 + 5,027 + 4,78


λ= = 5,0014
5

5,0014 − 5
𝐶𝐼𝑉 = = 0,00035
5−1
53
Tabel 5.5. Bobot parameter bahaya longsor
No Parameter Bobot (%)
1 Litologi 27
2 Curah Hujan 13
3 Kemiringan Lereng 33
4 Penggunaan Lahan 20
5 Elevasi 7

5.4 Parameter Penyebab Kelongsoran


Parameter-parameter yang menjadi penyebab bencana longsor dikemukakan
oleh Basofi, dkk (2017) terbagi menjadi kelerengan, ketinggian, curah hujan, jenis tanah
dan penggunaan lahan, kelima parameter tersebut menjadi acuan saya dalam melakukan
perhitungan dengan menggunakan Metode AHP. Tiap-tiap parameter kelongsoran
dibagi menjadi 4 variabel supaya memiliki keseragaman satu sama lain, serta diberikan
warna hijau tua untuk variabel dengan tingkat bahaya rendah, warna kuning untuk
variabel sedang, warna oranye untuk tingkat bahaya tinggi dan warna merah untuk
tingkat bahaya sangat tinggi.
5.4.1 Litologi
Berdasarkan pemetaan geologi pada daerah penelitian didapatkan empat jenis
litologi yang berbeda (Lampiran 8A) hal ini tentunya menyebabkan adanya perbedaan
dari tiap sifat batuan terhadap bahaya longsor dalam hal ini saya membagi batuan-
batuan tersebut berdasarkan tingkat resistensinya, batulapili tufa diinterpretasikan
menjadi yang paling rawan longsor karena memiliki tingkat resistensi yang paling
rendah apabila dibandingkan dengan jenis batuan lainnya, kemudian lava autobreksi,
breksi piroklastik dan terakhir lava andesit. Interpretasi tingkat resistensi dari batuan
yang terdapat pada daerah penelitian dilakukan berdasarkan hasil temuan secara nyata
berdasarkan kegiatan pemetaan lapangan. Untuk masing-masing variabel tersebut
kemudian dilakukan perhitungan untuk mendapatkan skornya seperti pada Tabel 5.6,
untuk mendapatkannya dilakukan perhitungan dari tiap variabelnya dengan cara nilai
dikalikan bobot sehingga didapatkan nilai skornya, hal ini dilakukan berdasarkan
Rincon dkk, 2018 dan dilakukan pada setiap parameter yang digunakan dalam analisis
bahaya longsor pada daerah penelitian.
Tabel 5.6. Bobot dan skor untuk parameter litologi.
No. Jenis Litologi Nilai Bobot (%) Skor
1 Lava Andesit 1 27 0,27
2 Breksi Tufa 2 27 0,54
3 Autobreksi Lava 3 27 0,81
4 Lapili Tufa 4 27 1,08

5.4.2 Curah Hujan


Curah hujan memiliki nilai kepentingan yang sama dengan litologi, hal ini
didasarkan atas interpretasi berupa tingkat curah hujan yang tinggi dapat meningkatkan
titik jenuh ataupun saturasi batuan, yang berefek semakin besar pula kemungkinan

54
untuk terjadi longsor, berdasarkan hal tersebut juga pembagian nilai pada curah hujan
berdasarkan besaran rata-rata curah hujannya yang dikelompokkan menjadi setiap 3
bulan, semakin besar rata-rata curah hujannya maka probabilitas longsornya juga akan
semakin meningkat. Untuk parameter curah hujan ini dibagi menjadi data rata-rata
curah hujan per-3 bulan dikelompokkan menjadi bulan Desember-Januari-Februari
(DJF), Maret-April-Mei (MAM), Juni-Juli-Agustus (JJA) dan September-Oktober-
November (SON), pengelompokkannya dapat dilihat pada Tabel 5.7 untuk bobot dan
skornya.
Tabel 5.7 Bobot dan skor untuk parameter curah hujan.
No. Rata-Rata Curah Hujan (mm/3 bulan) Nilai Bobot (%) Skor
1 81,672 (MAM) 1 13 0,13
2 90,328 (JJA) 2 13 0,26
3 164,6727 (SON) 3 13 0,39
4 231,1637 ( DJF) 4 13 0,52

Penggunaan data curah hujan yang dikelompokkan menjadi per-3 bulan


dilakukan atas dasar efektivitas data dimana apabila dilakukan pembagian data curah
hujan per wilayah pada daerah penelitian maka akan didapatkan hasil yang tidak terlalu
jauh antar kelasnya sehingga akan menghasilkan data yang tidak efektif dan tidak tepat
sasaran yang pada akhirnya membuat datanya tidak bisa digunakan. Pembagian data
curah hujan per-3 bulan ini didapatkan dari kegiatan pemilihan data curah hujan yang
dilakukan dengan melakukan plotting data koordinat curah hujan kedalam aplikasi
ArcGIS setelah dilakukan plotting maka dapat diketahui data curah hujan mana saja
yang dapat digunakan yang sesuai dengan daerah penelitian, setelah diketahui angka-
angka tiap bulannya kemudian dikelompokkan data curah hujan perbulannya sesuai
dengan ketentuan diatas, setelah dikelompokkan tentukan nilai rata dari curah hujan
perbulannya seperti yang saya dapatkan pada Gambar 5.2 dibawah, setelah didapatkan
rata-rata perbulannya baru kemudian dicari rata-ratanya lagi dari data rata-rata tiap
bulannya tadi. Hasil rata-rata per-3 bulan tersebutlah yang digunakan sebagai data pada
parameter curah hujan seperti yang ditampilkan pada Tabel 5.7 diatas.
500
450
Mm (milimeter)

400
350
300
250
200
150
100
50
0

Bulan

Gambar 5.2 Histogram dari data rata-rata curah hujan perbulan pada daerah penelitian.

55
Data curah hujan direpresentasikan dalam bentuk histogram untuk
mempermudah dalam melihat besaran frekuensi curah hujan yang terjadi pada daerah
penelitian, berdasarkan histogram pada Gambar 5.2 sebelumnya diketahui bahwa curah
hujan memiliki frekuensi tertinggi pada bulan Desember dan Januari. Setelah dilakukan
plotting data curah hujan dan diberikan bobotnya pada aplikasi ArcGIS diketahui bahwa
hasil peta bahaya longsor yang terbentuk selalu sama baik itu pada bulan DJF, MAM,
JJA maupun SON yang menandakan curah hujan tidak berpengaruh secara langsung
pada penyebab kelongsoran. Berdasarkan histogram pada Gambar 5.2 sebelumnya dapat
ditarik kesimpulan bahwa pada bulan DJF merupakan bulan terjadinya curah hujan yang
paling tinggi dan dengan tingginya curah hujan pada tiga bulan tersebut pada akhirnya
tetap akan membuat tingkat saturasi dari batuan akan meningkat dengan seiringnya
waktu dan berujung pada terbentuknya longsor pada suatu daerah tersebut.
5.4.3 Kemiringan Lereng
Nilai intensitas tertinggi jatuh pada parameter ini hal ini seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa parameter kemiringan lereng memiliki pengaruh yang
sangat besar dalam terjadinya bencana longsor, hal ini dibuktikan dari hasil pemetaan
spot-spot longsor pada daerah penelitian yang mayoritas terjadi pada daerah dengan
kelerengan yang curam, pembagian variabel kemiringan lereng berdasarkan
Widyatmanti, 2016 namun dengan modifikasi untuk menyesuaikan dengan Metode
AHP. Bobot dan skor parameter kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 5.8,
Gambaran berupa peta terdapat pada Lampiran 8B.
Tabel 5.8 Bobot dan skor berdasarkan parameter kemiringan lereng.
No. Slope (%) Nilai Bobot (%) Skor
1 0-18 1 33 0,33
2 18-36 2 33 0,66
3 37-55 3 33 0,99
4 >55 4 33 1,32

5.4.4 Penggunaan Lahan


Penentuan penggunaan lahan sebagai salah satu variabel penyebab bencana
longsor didasari tingkatan seberapa besar suatu lahan tersebut dapat terpengaruh apabila
terjadi longsor pada daerah tersebut. Pada Daerah penelitian dibagi empat jenis lahan,
yaitu tubuh air, hutan, ladang dan sawah & pemukiman (Lampiran 8C), untuk lebih
jelas mengenai pembagiannya dapat dilihat pada Tabel 5.9 dibawah. Digunakannya
parameter penggunaan lahan ini juga berdasarkan Basofi, dkk (2018).
Tabel 5.9 Bobot dan skor berdasarkan parameter penggunaan lahan.
No. Penggunaan Lahan Nilai Bobot (%) Skor
1 Tubuh Air 1 20 0,20
2 Hutan 2 20 0,40
3 Perkebunan 3 20 0,60
4 Sawah & Pemukiman 4 20 0,80

56
5.4.5 Elevasi
Pada daerah penelitian, parameter elevasi dipilih karena semakin tinggi elevasi
maka tingkat kelembapan suatu daerah akan semakin meningkat yang pada akhirnya
menyebabkan proses denudasi oleh media air berlangsung lebih intens dibandingkan
dengan daerah yang memiliki elevasi yang lebih rendah, daerah penelitian memiliki
range ketinggian antara 418-932 mdpl hal tersebut menjadi acuan dalam membagi
nilainya, pembagiannya dapat dilihat pada Tabel 5.10 dibawah. Daerah dengan elevasi
803,5-932m diberi nilai 4, 803,5-675m diberi nilai 3, 546,5-675m diberi nilai 2, dan 418-
546,5m diberi nilai 1. Gambaran parameter elevasi dapat dilihat pada Lampiran 8D.
Tabel 5.10 Bobot dan skor berdasarkan parameter elevasi.
No. Elevasi (m) Nilai Bobot (%) Skor
1 418-546,5 1 7 0,07
2 546,5-675 2 7 0,14
3 675-803,5 3 7 0,21
4 803,5-932 4 7 0,28

5.5 Analisis Bahaya Longsor


Pada subbab ini kita telah memasuki fase terakhir dalam menganalisis bahaya
longsor pada daerah penelitian, langkah selanjutnya adalah membuat tingkatan kategori
bahaya longsor untuk daerah penelitian, hal ini dapat dilakukan dengan cara membuat
grafik untuk mempermudah dalam melihat adanya anomali dalam perubahan nilainya,
grafik yang dibuat dapat simpel saja yaitu menggunakan bantuan Software Microsoft
Excel. Data yang di input kedalam grafik tersebut adalah berupa keseluruhan data yang
didapatkan dari hasil overlay dari tiap parameter dengan menggunakan Software
ArcGIS, hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 665 data hasil
overlay kemudian selain data keseluruhan hasil overlay, data berikutnya yang di input
adalah keseluruhan data skor akhir yang diurutkan dari yang terkecil hingga yang paling
besar, berdasarkan hasil perhitungan dari Software ArcGIS, diketahui bahwa skor
terendah adalah 2,24 dan skor tertinggi adalah 4,18. Kedua data tersebut dimasukkan
kedalam grafik sehingga didapatkanlah grafik seperti pada Gambar 5.3 dibawah
.

5
4
Skor Akhir

3
2
1
0
1 66 131 196 261 326 391 456 521 586 651
Urutan Data

Gambar 5.3 Grafik Perubahan Nilai Skor Akhir, nilai grafik horizontal menunjukkan
nilai urutan data sedangkan nilai grafik vertikal menunjukkan nilai skor akhir

57
Berdasarkan data yang dihasilkan oleh grafik sebelumnya, diketahui bahwa tidak
terdapat perubahan yang signifikan antar data yang dihasilkan sehingga cara diatas tidak
dapat dipakai karena tidak memungkinkan untuk menghasilkan nilai kategorinya,
sehingga oleh karena hal tersebut digunakanlah cara berikutnya yaitu dengan
memanfaatkan nilai skor tertinggi, skor terendah serta jumlah kategorinya yaitu dengan
menggunakan persamaan berikut:
𝑆𝑚𝑎𝑥 − 𝑆𝑚𝑖𝑛
𝑆𝑆 =
𝑛
Dimana 𝑆𝑠 ∶ 𝑆𝑒𝑙𝑎𝑛𝑔 𝑆𝑘𝑜𝑟
𝑆𝑚𝑎𝑥 : 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖
𝑆𝑚𝑖𝑛 ∶ 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑛𝑑𝑎ℎ
𝑛 ∶ 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑡𝑒𝑔𝑜𝑟𝑖

4,18 − 2,24
𝑆𝑠 = = 0,485
4
Skor tertinggi dan skor terendah didapatkan dari software ArcGIS setelah
dilakukan proses tumpang tindih atau overlay dari setiap parameter, hasil dari proses
tumpang tindih tersebut dapat dilihat pada Lampiran 8E yang menggambarkan hasil
proses overlay secara keseluruhan. Setelah dilakukan perhitungan dengan menggunakan
persamaan diatas, maka didapatkan nilai selang skor sebesar 0,485. Nilai 0,485 tersebut
menjadi acuan untuk membagi kategori – kategori bahaya longsor pada daerah
penelitian sebagai contoh untuk kategori sangat rendah memiliki nilai terendah sebesar
2,24 kemudian ditambah nilai selang skor sebesar 0,485 sehingga untuk kategori rendah
memiliki selang skor 2,24-2,725, kemudian untuk kategori berikutnya juga seperti itu,
cukup dengan menambahkan nilai selang skor sebesar 0,485 sehingga didapatkan
rangenya. Tingkat kategori untuk bahaya longsor pada daerah penelitian dibagi menjadi
empat kategori yang dapat dilihat pembagiannya pada Tabel 5.11 dibawah.
Tabel 5.11. Tingkat kategori bahaya longsor.
No Kategori Selang Skor
1 Rendah 2,24-2,725
2 Sedang 2,725-3,21
3 Tinggi 3,21-3,695
4 Sangat Tinggi 3,695-4,18

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan


pembobotan dan penilaian parameter dengan Metode AHP serta penentuan analisis
bahaya longsor pada daerah penelitian dibantu dengan software ArcGIS, didapatkan
empat kategori bahaya banjir seperti yang bisa dilihat pada Tabel 5.10, tiap-tiap kategori
tersebut tersebar diseluruh daerah penelitian dengan kategori sedang dan tinggi yang
mendominasi pada daerah penelitian, untuk kategori rendah menyebar tidak banyak
diperkirakan sekitar 20% dari daerah penelitian, untuk kategori ini tersebar di bagian
barat daerah penelitian menjadi area dengan tingkat bahaya longsor yang paling rendah

58
didominasi oleh litologi breksi tufa dengan kelerengan yang relatif datar, area pada
kategori ini juga direkomendasikan untuk menjadi area pemukiman penduduk karena
memiliki tingkat bahaya longsor yang paling rendah. Kemudian untuk kategori sedang
diperkirakan lebih dari 35% dari total keseluruhan daerah penelitian, daerah sedang ini
didominasi oleh litologi berupa breksi tufa, kemudian kemiringan lereng yang tidak
terlalu terjal memiliki kisaran dari 0 hingga 38%, wilayah sedang ini cukup
direkomendasikan untuk mendirikan bangunan atau perumahan penduduk karena cukup
aman dari bahaya longsor.
Kategori berikutnya merupakan kategori tinggi yang mencapai 35% dari total
daerah penelitian, pada kategori ini didominasi oleh pemukiman penduduk berdasarkan
keadaan lapangannya oleh karena itu dikhawatirkan rumah penduduk yang termasuk ke
dalam kategori tinggi ini agar lebih waspada dan berhati-hati dan bila perlu
mengevakuasi diri sebelum terjadinya bencana longsor, area yang termasuk ke dalam
kategori tinggi ini didominasi oleh batuan lapili tufa yang memiliki tingkat resistensi
rendah dengan kelerengan yang tidak terlalu terjal. Terakhir untuk kategori sangat tinggi
memiliki cakupan yang paling sedikit yaitu diperkirakan tidak sampai 10%, namun
walaupun paling sedikit area ini patut menjadi yang paling diperhatikan berdasarkan
keadaan lapangan saya tidak menemukan adanya perumahan penduduk yang terdapat
pada area bahaya longsor sangat tinggi ini, hanya berupa hutan dan sebagian
perkebunan penduduk sehingga untuk perkebunan tersebut diperlukan pengetahuan
masyarakat sekitar untuk lebih berhati – hati dalam melakukan aktivitas perkebunan
disana dan apabila perlu hendaknya jangan melakukan kegiatan perkebunan pada area
kategori sangat tinggi tersebut. Area kategori sangat tinggi ini didominasi oleh litologi
berupa lapili tuf dan juga autobreksi vulkanik selain itu kemiringan lereng yang sangat
terjal mendominasi area untuk kategori sangat tinggi ini. Peta bahaya longsor untuk
Desa Tenang Waras & Sekitarnya dapat dilihat pada Lampiran 8F, pada peta tersebut
juga dicantumkan nama-nama daerah secara khusus supaya memudahkan dalam
mengetahui posisinya pada daerah penelitian termasuk ke dalam kategori rendah
ataupun tinggi.

59
BAB VI
SEJARAH GEOLOGI

Sejarah geologi merupakan kegiatan penggambaran rekonstruksi geologi dari


suatu daerah penelitian, rangkaian yang direkonstruksi dalam sejarah geologi ini
mencakup stratigrafi atau urut – urutan pengendapan dari berbagai satuan batuan dan
formasi pada daerah penelitian, kemudian kehadiran struktur geologi yang berkembang
serta menyangkut juga aktivitas vulkanik dan tektonik pada suatu daerah penelitian.
Kegiatan rangkaian rekonstruksi ini dilakukan dengan berdasarkan hasil dari kegiatan
pemetaan geologi lapangan yang menghasilkan berbagai data yang diperlukan dalam
melakukan interpretasi sejarah geologi. Interpretasi sejarah geologi dilakukan dengan
visualisasi yang membuat pembaca dapat memahami dengan mudah dan memiliki
tampilan yang cukup menarik sehingga salah satu cara yang diterapkan adalah membuat
rekonstruksinya dalam bentuk 3 dimensi.
Pada daerah penelitian, dalam menginterpretasi sejarah geologi selain
menggunakan data lapangan seperti yang telah dijelaskan diatas juga menggunakan data
interpretasi sumber material vulkanik seperti yang telah dijelaskan pada subbab
stratigrafi pada BAB IV sebelumnya, hal ini dapat dikatakan sangat penting karena
keseluruhan dari daerah penelitian terdiri dari batuan vulkanik baik berupa lava maupun
endapan piroklastik. Interpretasi sejarah geologi pada daerah penelitian terjadi dimulai
pada Zaman Kuarter, tepatnya pada Kala Holosen. Pada kala ini terjadi aktivitas
vulkanik yang cukup intens sehingga menyebabkan kegiatan erupsi gunung api yang
sangat aktif dan keseluruhan produk dari gunung api yang terjadi pada daerah penelitian
dan sekitarnya termasuk ke dalam satuan Formasi Qhv (Quartenary Holocene
Volcanic). Ilustrasi dari periode ini dapat dilihat pada Gambar 6.1 dibawah

Gambar 6.1 Ilustrasi peningkatan aktivitas vulkanisme di sekitar daerah penelitian


60
Kegiatan erupsi yang terjadi pada daerah penelitian berlanjut hingga pada suatu
waktu diinterpretasikan terdapat adanya intrusi dari lava akibat dari aktivitas vulkanik
yang intens, namun intrusi yang terjadi ini tidak terlalu besar dan bersifat minor serta
masih dalam bagian dari jajaran Gunung Api Lumut Balai, interpretasi dari kegiatan
intrusi lava ini dengan menggunakan data dari DEM, dan memiliki efek pada daerah
penelitian yaitu terhadap pembentukan Bukit Tinggal yang diinterpretasikan terbentuk
dari proses intrusi yang telah menerobos formasi batuan dasar sebelumnya (Gambar
6.2), namun keberadaan bukit ini tertutupi oleh aliran lava sebagai produk hasil erupsi
Gunung Api Lumut Balai dan terakhir benar – benar tertutup secara keseluruhan akibat
material piroklastik yang akan dijelaskan pada paragraf selanjutnya sehingga
keterdapatan jejak yang ditinggalkan dari gugusan intrusi ini seperti kehadiran backing
effect akibat dari proses intrusi lava tersebut tidak dapat diidentifikasi kehadirannya.

Gambar 6.2 Ilustrasi dari terbentuknya gugusan bukit intrusi pada daerah penelitian dan
sekitarnya

Kegiatan erupsi yang semakin intens pada berbagai gunung api disekitar daerah
penelitian, juga membuat salah satu gunung api yang terdekat dari daerah penelitian dan
diinterpretasikan sebagai sumber dari material gunung api yang terdapat pada daerah
penelitian yaitu Gunung Api Lumut Balai juga mengalami peningkatan aktivitas
vulkanik yang diinterpretasikan bersifat efusif sehingga akibat dari aktivitas tersebut
Gunung Api Lumut Balai memuntahkan material lava namun dengan intensitas yang
cukup besar dan sangat kuat yang mengalir hampir di seluruh sisi dari gunung api
tersebut terutama ke bagian utara menuju ke daerah penelitian hingga akhirnya
menyelimuti batuan yang telah terendapkan sebelumnya pada daerah penelitian
sehingga keseluruhan dari daerah penelitian tertutupi material vulkanik berupa lava
andesit. Periode aktivitas vulkanik ini terjadi pada kala holosen. Ilustrasi dari periode ini
dapat dilihat pada Gambar 6.3 dibawah.
61
Gambar 6.3 Ilustrasi dari pengendapan lava andesit yang mengendapkan materialnya
secara keseluruhan hingga ke daerah penelitian
Proses erupsi lava secara efusif pada Gunung Api Lumut Balai kemudian
mengalami penurunan intensitas dan lama kelamaan semakin habis, namun proses
erupsi efusif tersebut kemudian mengalami pergantian material menjadi material
piroklastik, pergantian material letusan ini diinterpretasikan masih dalam periode waktu
yang sama dan dalam jangka waktu yang tidak terlalu berjauhan, letusan dari Gunung
Api Lumut Balai kemudian melontarkan material piroklastik seperti debu vulkanik,
lapili hingga yang berukuran bomb dan block yang diinterpretasikan nantinya menjadi
satuan batuan Breksi Tufa dan Lapili Tufa pada daerah penelitian. Material piroklastik
dari Gunung Api Lumut Balai memiliki penyebaran yang tidak terlalu jauh dan lama
kelamaan mengalami penumpukan material piroklastik kemudian diinterpretasikan
material piroklastik yang mengalami penumpukan tersebut mengalami peristiwa longsor
yang sangat masif, hal ini diinterpretasikan berdasarkan Peta Geologi Gunung Api
Lumut Balai (Primulyana, 2012). Longsoran tersebut kemudian menutupi keseluruhan
daerah penelitian termasuk juga menutupi kubah intrusi andesit yang telah terbentuk
sebelumnya (Gambar 6.4)

Gambar 6.4 Ilustrasi dari terendapnya material piroklastik akibat longsoran pada daerah
penelitian
62
Aktivitasi vulkanisme pada daerah penelitian semakin menurun setelah
terjadinya pengendapan material piroklastik tersebut, rangkaian peristiwa vulkanisme
yang terjadi pada daerah penelitian diinterpretasikan merupakan bagian proses orogenik
yang kemudian membentuk pegunungan-pegunungan di Pulau Sumatera dan
menghasilkan struktur sesar geser (strike slip fault) (Darman & Sidi, 2000).
Diinterpretasikan proses orogenik inilah yang menjadi pemicu meningkatnya aktivitas
vulkanisme pada daerah penelitian dan sekitarnya, pada pernyataan menurut Darman &
Sidi, 2000 diatas juga menyebutkan bahwa kegiatan orogenik ini juga membentuk sesar
geser dan diinterpretasikan sesar geser yang ditemukan pada daerah penelitian
merupakan hasil bentukan dari kegiatan orogenik tersebut, sesar geser menganan naik
yang terdapat pada daerah penelitian dapat diidentifikasi berdasarkan observasi
lapangan yang dengan menggunakan data kekar, bidang sesar serta gores garis yang
terbentuk di batuan breksi piroklastik. Ilustrasi dari keterdapatan sesar geser ini dapat
dilihat pada Gambar 6.5 dibawah.

Gambar 6.5 Ilustrasi Sesar Geser Pancuringkih yang terdapat pada daerah penelitian
Aktivitas vulkanik dan tektonik yang mempengaruhi daerah penelitian berangsur
berkurang dan lama kelamaan hanya aktivitas vulkanik saja yang masih aktif dan itupun
dalam skala yang sangat kecil sehingga menjadikan Gunung Api Lumut Balai sebagai
gunung yang masih aktif kegiatan vulkanismenya hingga sekarang. Kemudian setelah
itu berlangsung kegiatan denudasional yang aktif akibat adanya tenaga dari luar bumi
yang disebut eksogen (Hugget, 2011) mengakibatkan proses erosi yang terjadi pada
daerah penelitian, proses erosional tersebut mencakup oleh media angin dan air, namun
media air menjadi yang paling berpengaruh seperti yang diketahui bahwa pada daerah
penelitian terdapat aliran air sungai yang cukup mendominasi bahkan terdapat satu
sungai yaitu Sungai Enim yang memiliki kekuatan aliran yang sangat deras sehingga
berhasil memotong berbagai satuan batuan dibawahnya. Proses denudasional ini juga
mengakibatkan tersingkapnya lava andesit yang sebelumnya tertutupi oleh endapan
piroklastik hasil dari proses longsoran sebelumnya, segala hasil proses denudasional
tersebutlah yang membentuk daerah penelitian hingga menjadi seperti sekarang ini.
Berikut ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 6.6 dan 6.7 dibawah
63
Gambar 6.6 Ilustrasi dari daerah penelitian dan sekitarnya dengan berbagai aspek
geologinya saat ini

Gambar 6.7 Keadaan Geologi Daerah Penelitian dengan luasan 7x7 Km

64
BAB VII
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil studi secara keseluruhan pada daerah penelitian dengan judul
skripsi “Geologi dan Analisis Potensi Bahaya Longsor Daerah Tenang Waras dan
Sekitarnya, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan”, dapat ditarik beberapa
kesimpulan dari sisi geomorfologi, stratigrafi, struktur, studi khusus serta sejarah
geologi daerah penelitian dalam beberapa poin berikut, yaitu:
1. Berdasarkan analisa geomorfologi didapatkan 3 jenis satuan geomorfik pada daerah
penelitian, yaitu perbukitan tinggi terdenudasi dengan lereng datar - sangat curam
(PD), perbukitan tinggi terdenudasi dengan lereng agak curam -sangat curam (PC)
dan kanal sungai (KS).
2. Analisa sumber dari material vulkanik pada daerah penelitian diinterpretasikan
berasal dari Gunung Api Lumut Balai, analisa sumber ini dilakukan berdasarkan data
DEM dengan mengidentifikasi pungunggan-punggungan aliran gunung api serta
melakukan interpretasi kesesuaian data yang didapatkan di lapangan dengan satuan
batuan Peta Geologi Gunung Api Lumut Balai oleh Primulyana, 2012.
3. Analisa Stratigrafi pada daerah penelitian didapatkan satu jenis formasi yaitu
Formasi Qhv (Quartenary Holocene Volcanic) yang terdiri dari empat satuan batuan
yang diurutkan dari tua ke muda sebagai berikut, yaitu satuan batuan lava andesit,
satuan batuan lava autobreksi andesit, satuan batuan breksi tufa dan yang paling
muda satuan batuan lapili tufa.
4. Analisa struktur geologi daerah penelitian dilakukan dengan menganalisa pola
kelurusan struktur pada data DEM yang didapatkan pola kelurusan struktur berarah
Barat Laut – Tenggara, kemudian dilakukan juga analisa struktur sesar yaitu
didapatkan sesar geser pancuringkih, yang bersifat Dextral (arah pergerakan ke
kanan) dan berdasarkan kenampakan gores – garis menunjukkan sesar geser ini
selain menganan juga memiliki pergerakan ke atas sehingga disebut sesar geser
menganan naik.
5. Berdasarkan analisis bahaya longsor daerah penelitian diketahui bahwa terdapat 4
kategori bahaya longsor yang termasuk pada daerah penelitian, yaitu rendah, sedang,
tinggi dan sangat tinggi.

65
DAFTAR PUSTAKA

Agliardi, F, 2012, Landslides: definitions, classification, causes. In 2012 Educational


Project Geological Fieldtrip and Workshop, Koefels – Suedtirol – Matrei.
Barber, A.J, Crow, M.J, Milsom, J.S., 2005, Sumatra,Geology: Resources and Tectonic
Evolution, Geological Society Memoir No.31, The Geological Society, London.
Basofi dkk. 2017. Landslide Susceptibility Mapping using Ensemble Fuzzy Clustering:
A Case study in Ponorogo, East Java, Indonesia. 2nd International Conferences
on Information Technology, Information Systems and Electrical Engineering
(ICITISEE), p.412-416.
Bogie, I., Mackenzie, K. M., 1998, The Application of A Volcanic Facies Model To An
Andesitic Stratovolcano Hosted Geothermal, System at Wayang Windu, Java,
Indonesia, Proceedings of the 20th New Zealand Geothermal Workshop, p.265-
270.
Darman, H. & Sidi, F.H., 2000, An Outline of The Geology of Indonesia, Ikatan Ahli
Geologi Indonesia.
Fisher R.V, 1966, Rocks composed of volcanic fragments and their classification.
Earth Sci Rev 1(4), p.287–298.
Gafoer, S., dkk, 1993, Peta Geologi Lembar Baturaja. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi. Bandung, Skala 1:250.000, 1 lembar.
Gultaf H, 2014, Analisa Kinematik Sesar Gerindu Didaerah Pacitan Dan Sekitarnya,
Tesis Magister, Institut Teknologi Bandung. (unpublished Master Thesis).
Huggett, R. J. 2011. Fundamental of Geomorphology (3rd edition). USA and Canada:
Routledge
Kumar, dkk. 2015. Mapping of Landslide Susceptibility Using Analytical Hierarchy
Process at Kothagiri Taluk, Tamil Nadu, India. International Journal of Applied
Engineering Research, p.5503-5523
Meixner, J. 2017. Comparison of Different Digital Elevation Models and Satellite
Imagery for Lineament Analysis: Implications for identification and Spatial
Arrangement of Fault Zones in Crystalline Basement Rocks of the Southern
Black Forest (Germany). Journal of Structure Geology 2017.
Noor, D, 2014, Geomorfologi, Ed.1, Cet. 1, Yogyakarta: Deepublish.
Nugroho, dkk. 2010. Pemetaan Daerah Rawan Longsor Dengan Penginderaan Jauh dan
Sistem Informasi Geografis. Institut Teknologi Sepuluh Nopember (Unpublished
Undergraduate Thesis).
Ouma, Y.O. dan Tateishi, R. 2014. Urban Flood Vulnerability and Risk Mapping Using
Integrated Multi-Parametric AHP and GIS : Methodological Overview and Case
Study Assesment. 6, 1.515-1.545.
Pannetier, 1994, Diachronism of drowning event on Baturaja limestone in the Tertiary
Palembang sub-basin, South Sumatra, Indonesia, Journal of Asian Earth
Sciences 10 (3-4): p.143-157.
66
Peta Tematik Indonesia, 2015, Peta Administrasi Provinsi Sumatera Selatan,
https://petatematikindo.files.wordpress.com/2013/03/administrasi-sumatera-
selatan-a1-1.jpg. Diakses Pada 11 November 2018.
Primulyana, 2012, Peta Geologi Gunung Api Lumut Balai, S.12-12, PVMBG,
Bandung, Jawa Barat.
Pulunggono, A., 1986, Tertiary Structural Features Related to Extensional and
Compressive Tectonics in The Palembang Basin, South Sumatra, 15th Indonesian
Petroleum Association (IPA) Proceedings, I, p.187-214.
Rincon, D., Khan, U.T., dan Armenakis, C. 2018. Flood Risk Mapping Using GIS and
Multi-Criteria Analysis : A Greater Toronto Area Case Study.
Saaty, T.L. 1990. How to Make a Decision: The Analytic Hierarchy Process. Eur. J.
Oper. Res, 48, 9–26.
Schmid, 1981, Descriptive nomenclature and classification of pyroclastic deposits and
fragments: Recommendations of the IUGS Subcommission on the Systematics
of Igneous Rocks
Shams, dkk. 2016. Application of Analytical Hierarchy Process (AHP) to Landslide
Susceptibility Mapping at Korek Anticline, Northeast of Iraq. International
Journal of Science and Research (IJSR), p.972-977.
Sulistiarto, B. 2008. Studi Tentang Identifikasi Longsor dengan Menggunakan Citra
Landsat dan Aster. Surabaya: Program Studi Teknik Geomatika FTSP – ITS.
Twidale, C.R., 2004, River Patterns and Their Meaning. Earth-Science Reviews, 67,
p.159-218.
Wheaton, 2015, Geomorphic Mapping and Taxonomy of Fluvial Landforms, Elsevier,
Geomorphology 248 (2015) p.273-295.
Widyatmanti dkk, 2016, Identification of Topographic Elements Composition Based
on Landform Boundaries From Radar Interferometry Segmentation
(Preliminary Study on Digital Landform Mapping), IOP Conference Series
Earth and Environmental Science 37(1):012008.
Yalcin. 2008. GIS-Based Landslide Susceptibility Mapping Using Analytical Hierarchy
Process and Bivariate Statistics in Ardesen (Turkey): Comparisons of Results
and Confirmations. Catena, 72, 1-12. http://dx.doi.org/10.1016/j.catena.20
07.01.003.
Zhou dkk. 2016. GIS-Based Integration of Subjective and Objective Weighting
Methods for Regional Landslides Susceptibility Mapping. Open Access Article
by MDPI, Basel, Switzerland.
Zuidam, R.A. van, 1985, Aerial Photo Interpretation in Terrain Analysis and
Geomorphological Mapping, Netherland: Smith Publishers, The Hague.

67
LAMPIRAN

68

Anda mungkin juga menyukai