Anda di halaman 1dari 73

SKRIPSI

ANALISIS MORFOTEKTONIK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP


LONGSOR DAERAH TANJUNG SAKTI DAN SEKITARNYA KABUPATEN
LAHAT, SUMATERA SELATAN

Diajukan sebagai syarat memperoleh gelar


Sarjana teknik (ST)

Oleh:
Yuananda Anggi Meliani
NIM. 03071181722008

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2022

i
HALAMAN PENGESAHAN
1.Judul Penelitian : Analisis Morfotektonik dan Implikasinya Terhadap Longsor
Daerah Tanjung Sakti dan Sekitarnya, Kabupaten Lahat,
Sumatera Selatan
2. Biodata Peneliti
a. Nama : Yuananda Anggi Meliani
b. NIM : 03071181722008
c. Kelas : Indralaya
d. Nomor HP : 082278127379
e. Alamat Tinggal : Dusun Pagar Jaya, Kelurahan Nendagung, Kecamatan
Pagaralam Selatan, Kota Pagaralam, Provinsi Sumatera
Selatan
3. Nama Penguji I :
4. Nama Penguji II :
5.Jangka Waktu Penelitian : 30 Hari
a. Persetujuan Lapangan :
b. Sidang Sarjana : -
6. Pendanaan :
a. Sumber Dana : Mandiri
b. Besar Dana : Rp. 2.000.000,00.-

Menyetujui, Palembang, 14 September 2022


Pembimbing Peneliti

Prof. Dr. Ir. Edy Sutriyono, M.Sc. Yuananda Anggi Meliani


NIP 195812261988111001 NIM 03071181722008

Menyetujui,
Ketua Program Studi

Elisabet Dwi Mayasari, S.T., M.T.


NIP 198705252014042001

ii
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan
berkat,rahmat dan karunia-Nya. Dalam penulisan laporan ini, penulis mengucapkan
terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Edy Sutriyono, M.Sc. atas segala bantuan, bimbingan,
danmotivasi sehingga saya dapat menyelesaikan laporan penelitian ini. Selain itu, saya
jugaingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak diantaranya :
1. Elisabet Dwi Mayasari, S.T., M.T. sebagai Ketua Program Studi Teknik
Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya.
2. Pembimbing Akademik Ibu Harnani, S.T., M.T., dan tim dosen lainya yang
telah memberikan ilmunya, saran bagi penulis selama penyusunan laporan dan
dalam perkuliahan.
3. Masyarakat Desa Gunung Kembang yang sentantiasa membantu dan telah
menyediakan tempat penginapan selama kegiatan pengambilan data di lapangan.
4. Orang yang paling aku cintai yaitu diriku sendiri, terima kasih sudah selalu
bertahan dalam segala macam keadaan, yes you can and you are strong.
5. Teman satu pembimbing Astria, Feqqi, Risa, Clara, Siska, Anissa, Mia, Ishmi,
Vira, Muthia dan Agung yang telah berjuang bersama dan saling mendukung
dalam penyusunan laporan.
6. Grup Sarjana, My Darling dan Mapel squad yang tak pernah berhenti
memberikan semangat dan hiburan serta masukan kepada penulis.
7. Kak Firdah yang telah membantu memecahkan masalah dalam proses
penyusunan laporan.
8. Teman-teman Teknik Geologi Universitas Sriwijaya angkatan 2017 yang selalu
memberikan semangat dan dukungannya.
9. Kedua orangtua tercinta, Sudiro dan Suparni yang senantiasa melangitkan doa-
doa, yang telah banyak berkorban keringat dan batinnya, selalu memberikan
nasehat, kasih sayang serta semangatnya. Terima kasih telah menjadi orangtua
yang sempurna.
Penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat dan memotivasi rekan-rekan
pembaca serta dapat digunakan sebagai sumber referensi dan bahan bacaan demi
peningkatan ilmu pengetahuan geologi. Penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
memperbaiki laporan ini.

Palembang, September 2022


Penulis

Yuananda Anggi Meliani


NIM 03071181722008

iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya
di dalam naskah skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh pihak
lain untuk mendapatkan karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh
orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebut dalam
sumber kutipan dan daftar pustaka.

Apabila ternyata di dalam naskah skripsi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-
unsur jiplakan, saya bersedia laporan skripsi ini digugurkan dan gelar akademik yang
telah saya peroleh (S1) dibatalkan, serta diproses sesuai denganperaturan yang berlaku
(UU No 20 Tahun 2003 Pasal 25 Ayat 2 dan Pasal 70).

Palembang, September 2022


Penulis

Yuananda Anggi Meliani


NIM 03071181722008

iv
ABSTRAK

Lokasi penelitian terletak di Desa Tanjung Sakti, Kecamatan Tanjung Sakti Pumi,
Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Daerah ini termasuk ke dalam Cekungan Bengkulu
dengan kondisi tektonik yang masih aktif. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi dan memperoleh data tingkat aktivitas tektonik dengan menggunakan
pendekatan geomorfologi kuantitatif. Parameter morfometri yang digunakan yaitu
parameter Drainage Denstiy (Dd), Hypsometric Integral and Hypsometric Curva (HI),
Asymmetry Factor (Af),Mountain Front Sinousity (Smf), dan parameter Valley Fllor
Widht to Height Ratio (Vf).Hasil analisis nilai Dd berkisar 1,179 km/km2-4,724
km/km2, nilai HI sebesar 0,54, nilai Af sebesar 51,889, nilai Smf yaitu 1,845dan nilai
Vf sebesar 0,4. Selanjutnya hasil dari kelima parameter tersebut digabungkan dengan
menggunakan analisis Index of Active Tectonic (IAT) yaitu untuk mengetahui tingkat
aktivitas tektonik pada daerah penelitian. Hasil perhitungan IATdi dapat nilai 1-1,25
yang berarti termasuk dalam tektonik tingkat tinggi (tektonik kelas 2) (El Hamdouni,
2008).Berdasarkan perhitungan analisis dan hasil analisis morfotektonik, daerah
penelitian termasuk dalam tingkat aktivitas yang tinggi. Hal itu juga dipengaruhi oleh
proses permukaan yaitu seperti proses erosi serta denudasi yang mempengaruhi dalam
proses pembentukan morfologi daerah penelitian. Satuan pada Formasi Qhv dan
Formasi Granit ini yang mendasari adanya longsoran pada lokasi penelitian, hal ini
dibuktikan dengan adanya longsoran hasil pelapukan pada batuan vulkanik dan granit
pada daerah penelitian.

Kata Kunci: Morfotektonik, Morfometri, Kabupaten Lahat.

Menyetujui, Palembang, September 2022


Pembimbing Peneliti

Prof. Dr. Ir. Edy Sutriyono, M.Sc. Yuananda Anggi Meliani


NIP 195812261988111001 NIM 03071181722008

Menyetujui,
Ketua Program Studi

Elisabet Dwi Mayasari, S.T., M.T.


NIP 198705252014042001

v
ABSTRACT

The research is located in the Tanjung Sakti village, Lahat District, South Sumatera.
Including the Bengkulu Basin with active tectonic conditions. Study aims to evaluate
and obtain data on the level of tectonic activity a quantitative geomorphological. The
parameters morphometry used in this study include Drainage Density (Dd),
Hypsometric Integral (HI), Asymmetry Factor (Af), Mountain Front Sinuosity (Smf),
and Valley Fllor Widht to Height Ratio (Vf). The results of the Air Manna sub-
watershed research show that the Drainage Density (Dd) value is 1,179km/km2-4,724
km/km2, the Hypsometric Integral (HI) value is 0.54,the Asymmetry Factor (Af)value is
51,889, the Mountain Front Sinuosity (SMF) value is 1,845, and the Vf value is 0,4.
Then the results are compared using IAT (Index of Active Tectonic) to analyze the level
of tectonic activity in the research area. The results of the IAT calculation get a value of
1-1,25 which means it is included in the high level tectonic (class 2)(El Hamdouni,
2008).Based on the results of the analysis and calculations of morphotectonic analysis,
the research location has a morphology with a high level of tectonic activity. In
addition, surface processes such as erosion and denudation also affect the morphology
of the research site. The units in the Qhv Formation and the Granite Formation are the
basis for the landslides at the study site, this is evidenced by the avalanches resulting
from weathering of volcanic and granite rocks in the study area.

Keywords: Morphotectonic, Morphometry, Lahat District.

Menyetujui, Palembang, September 2022


Pembimbing Peneliti

Prof. Dr. Ir. Edy Sutriyono, M.Sc. Yuananda Anggi Meliani


NIP 195812261988111001 NIM 03071181722008

Menyetujui,
Ketua Program Studi

Elisabet Dwi Mayasari, S.T., M.T.


NIP 198705252014042001

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................................... ii


UCAPAN TERIMA KASIH...................................................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS...................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................................................... v
ABSTRACT ................................................................................................................................ vi
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
1.3 Maksud dan Tujuan ................................................................................................ 2
1.4 Batasan Masalah ..................................................................................................... 2
1.5 Lokasi dan kesampaian ........................................................................................... 3
BAB II MORFOLOGI DAN AKTIVITAS TEKTONISME .................................................. 4
2.1 Konsep Morfotektonik ............................................................................................ 4
2.1.1 Drainage Density (Dd) ..................................................................................... 6
2.1.2 Asymmetry Factor (AF)................................................................................... 7
2.1.3 Hypsometric Curve dan Hypsometric Integral (HI) ........................................ 7
2.1.4 Mountain Front Sinuosity (Smf) ...................................................................... 9
2.1.5 Valley Fllor Widht to Height Ratio (Vf) ....................................................... 10
2.2 Komponen dan Fitur Tektonik .............................................................................. 10
2.2.1 Kekar (Joint) .................................................................................................. 11
2.2.2 Sesar (Faults) ................................................................................................. 11
2.2.3 Kelurusan (Lineaments) ................................................................................. 12
2.2.4 Gempa bumi (Earthquake) ............................................................................ 12
2.2.5 Mikrostruktur (Petrofabrics) ......................................................................... 12
2.3 Tektonik Cekungan Bengkulu .............................................................................. 13
2.3 Pergerakan Tanah Longsor ................................................................................... 14
BAB III METODE PENELITIAN .......................................................................................... 17
3.1 Studi Literatur ....................................................................................................... 18

vii
3.2 Pengumpulan Data ................................................................................................ 18
3.3. Pengolahan Data .................................................................................................. 20
3.3.1 Deliniasi Daerah Aliran Sungai ..................................................................... 20
3.3.2 Analisis Morfometri ....................................................................................... 23
3.3.3. Pembuatan Peta ............................................................................................. 29
3.4. Penulisan Laporan................................................................................................ 29
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................................... 30
4.1. Geologi Lokal Daerah Penelitian ......................................................................... 30
4.2. Hasil ..................................................................................................................... 34
4.2.1. Daerah Aliran Sungai.................................................................................... 34
4.2.2. Paremeter Analisis Morfometri .................................................................... 36
4.3. Pembahasan ......................................................................................................... 43
4.3.1. Indikasi Tingkat Aktivitas Tektonik ............................................................. 44
4.3.2. Pertitungan Index of Active Tectonic (IAT) ................................................. 47
4.3.3. Analisis Morfotektonik Daerah Tanjung Sakti ............................................. 48
4.3.4. Implikasi dari Analisis Morfotektonik Terhadap Potensi Longsor .............. 48
4.3.5. Diskusi .......................................................................................................... 56
BAB V KESIMPULAN ............................................................................................................ 58
KESIMPULAN.......................................................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 59

viii
DAFTAR TABEL
Tabel3.1 Data DEMNAS yang ada pada lokasi penelitian ........................................ 18
Tabel3.2 Klasifikasi tekstur Dd pada sub-DAS Air Manna (Sukiyah, 2009) ........... 23
Tabel3.3 Klasifikasi kelas kerapatan aliran DAS (Soewarno, 1991) ........................ 24
Tabel3.4 Klasifikasi kelas tektonik berdasarkan nilai AF (El Hamdouni, 2008) ...... 26
Tabel3.5 Perbandingan kelas tektonik berdasarkan nilai Vf dan Smf . ..................... 28
Tabel3.6 Klasifikasi kelas tektonik aktif berdasarkan nilai IAT. .............................. 29
Tabel4.1 Hasil analisis perhitungan nilai Drainage Density (Dd). ........................... 36
Tabel4.2 Hasil analisis perhitungan nilai Asymmetry Factor (Af). ........................... 39
Tabel4.3 Hasil analisis perhitungan nilai Smf. .......................................................... 40
Tabel4.4 Hasil analisis perhitungan nilai Vf ............................................................. 40
Tabel4.5 Hasil analisis perhitungan nilai Index Of Active Tectonic(IAT). ................ 42
Tabel4.6 Hasil analisis dari setiap parameter ............................................................ 48

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta lokasi dan ketersampaian daerah penelitian .................................... 3


Gambar 2. 1 DEM (Digital Elevation Model) dan Pola kelurusan .............................. 6
Gambar 2. 2 Model kurva hipsometrik (Strahler, 1957) ............................................. 8
Gambar 2. 3 Model kurva hipsometrik sungai pada fase dewasa (Strahler, 1952) ..... 8
Gambar 2.4 Metode perhitungan lekukan Smf (Keller dan Pinter 1996) ................... 9
Gambar 2.5 Ilustrasi metode Vf (Bull dan McFadden, 1977) .................................. 10
Gambar 2.6 Contoh kekar gerus pada batuan granit di Desa Tanjung Sakti ............ 11
Gambar 2.7 Kenampakan sesar naik di Sungai Pino ................................................ 12
Gambar 2.8 Struktur Cekungan Sumatera (Barber dan Crow, 2003) ..................... 14
Gambar 2.9 Model klasifikasi longsor menurut Varnes dan Curden (1996) ............ 15
Gambar 3. 1 Diagram alur penelitian tugas akhir ...................................................... 17
Gambar 3. 2 Website Indonesia Geospasial Portal .................................................... 19
Gambar 3. 3 Website resmi Geospasial Indonesia ..................................................... 20
Gambar 3. 4 Tools Flow Direction dalam proses deliniasi DAS pada ArcGis .......... 21
Gambar 3. 5 Tools con yang digunakan dalam proses deliniasi DAS pada ArcGis .. 21
Gambar 3. 6 Stream to feature yang digunakan dalam proses deliniasi DAS .......... 22
Gambar 3. 7 Hasil akhir analisis DAS menggunakan ArcGis ................................... 22
Gambar 3. 8 Pembagian orde sungai dengan metode segmentasi (Strahler, 1954) ... 23
Gambar 3. 9 Tingkat resistensiBatuan (Saad et al., 2012) ........................................ 24
Gambar 3. 10 Rumus perhitungan HIpada ArcGis ...................................................... 25
Gambar 3. 11 Pembuatan kurva hipsometrik menggunakan ArcGis ........................... 25
Gambar 3. 12 Perhitungan Af dan penarikan nilai Ar (Keller dan Pinter, 2000) ........ 26
Gambar 3. 13 Perhitungan nilai Lmf menggunakan aplikasi Global Mapper............. 27
Gambar 3. 14 Perhitungan nilai Ls menggunakan aplikasi GlobalMapper ................ 27
Gambar 4. 1 bentuk lahan DR, PRD, PD, dan PTC .................................................. 30
Gambar 4. 2 Peta geomorfologi Daerah Tanjung Sakti dan sekitarnya .................... 31
Gambar 4. 3 Kolom Stratigrafi Daerah Tanjung Sakti dan sekitarnya . .................... 32
Gambar 4. 4 Peta geologi Daerah Tanjung Sakti dan sekitarnya. ............................. 33
Gambar 4. 5 Peta pembagian orde sungai daerah Tanjung Sakti dan sekitarnya ...... 34
Gambar 4. 6 Peta pembagian segmen DAS daerah Tanjung Sakti dan sekitarnya ... 35
Gambar 4. 7 Kurva hipsometrik pada ke-4 segmen sub-DAS ................................... 37
Gambar 4. 8 Peta kelas HI daerah Tanjung Sakti dan sekitarnya .............................. 38
Gambar 4. 9 Peta kelas AF daerah Tanjung Sakti dan sekitarnya ............................. 39
Gambar 4. 10 Peta tektonik VF dan SMF daerah Tanjung Sakti dan sekitarnya ........ 41
Gambar 4. 11 Kenampakan struktur sesar di lokasi penelitian ................................... 42
Gambar 4. 12 Kenampakan struktur kekar di lokasi penelitian ................................... 43
Gambar 4. 13 Kenampakan sungai bentuk U-V di lokasi penelitian........................... 43
Gambar 4. 14 Peta pola pengaliran daerah Tanjung Sakti dan sekitarnya .................. 44
Gambar 4. 15 Kurva hipsometrik kelerengan daerah Tanjung Sakti dan sekitarnya .. 45
Gambar 4. 16 Peta kelerengan daerah Tanjung Sakti dan sekitarnya .......................... 49
Gambar 4. 17 Kenampakan pelapukan batuan pada daerah penelitian ....................... 50

x
Gambar 4.18 Peta data struktur geologi dan lokasi pengamatan longsor ................... 51
Gambar 4.19 Kenampakan longsor di Desa Tanjung Sakti ........................................ 51
Gambar 4.20 Kenampakan longsor di Desa PulauTimun........................................... 52
Gambar 4.21 Kenampakan longsor di Desa Penandingan .......................................... 52
Gambar 4.22 Kenampakan longsor di Desa Masam Bulau ........................................ 53
Gambar 4.23 Kurva hipsometrik kemiringan lerengpadasegmen ke-3 ...................... 54

xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Tabulasi Data Sungai Daerah Penelitian.
Lampiran B. Data Perhitungan Hypsometric Index.
Lampiran C. Peta Index Of Active Tectonic (IAT) Daerah Tanjung Sakti dan sekitarny

xii
BAB I
PENDAHULUAN

Penelitian ini membahas mengenai analisis morfotektonik yang dipengaruhi oleh


aktivitas tektonik pada Daerah Tanjung Sakti dan sekitarnya, Kabupaten Lahat, Provinsi
Sumatera Selatan. Penelitian ini merupakan tahap lanjutan dari penelitian sebelumnya
yaitu pemetaan geologi pada Daerah Tanjung Sakti. Pada bab ini akan disampaikan latar
belakang yang merupakan landasan kegiatan penelitian, rumusan masalah, maksud dan
tujuan, batasan masalah, juga kesampaian daerah penelitian.
1.1 Latar Belakang
Penelitian ini dilakukan di Daerah Tanjung Sakti dan sekitarnya, Kabupaten
Lahat, Provinsi Sumatera Selatan yang termasuk dalam Cekungan Bengkulu. Analisis
morfotektonik adalah analisis yang dilakukan untuk mengetahui berbagai macam
informasi yang berkaitan dengan aktivitas tektonik pada daerah penelitian. Analisis
morfotektonik dipengaruhi oleh berbagai aktivitas seperti proses permukaan yaitu
pelapukan, pengikisan maupun adanya aktivitas yang terjadi di bawah permukaan yang
menyebabkan adanya tektonik lempeng yang dapat membentuk struktur geologi karena
pergerakan tektonik tersebut.
Aspek-aspek yang berkaitan dengan proses morfologi diantaranya aspek
morfografi yang merupakan aspek yang berkaitan dengan gambaran secara deskriptif
bentuk lahan, aspek morfometri berkaitan dengan nilai atau bersifat kuantitatif seperti
kemiringan lereng serta proses erosi dan aspek morfogenesa berkaitan dengan proses
pembentukan bentang alam. Ketiga aspek di atas tersebut digunakan dalam proses
penelitian ini, akan tetapi lebih ditekankan pada analisis aspek morfometri yang bersifat
terukur atau kuantitatif. Analisis morfometri mencakup pengukuran yang ada pada
bentang alam seperti pengukuran panjang dan lebar sungai, pengukuran ketinggian pada
puncak perbukitan dan pengukuran kedalam suatu lembah. Beberapa parameter ini
kemudian digabungkan untuk mendapatkan hasil gambaran morfologi suatu daerah.
Daerah yang masuk dalam penelitian ini diantaranya mencakup beberapa
kecamatan yaitu Kecamatan Tanjung Sakti Pumi, Kecamatan Tanjung Sakti Pumu,
Kecamatan Ulu Manna, Kecamatan Air Nipis, dan Kecamatan Pino. Kecamatan
tersebut masuk dalam Sub-DAS yang sama yaitu aliran Sub-DAS Manna. Daerah
penelitian termasuk dalam Cekungan Bengkulu yang merupakan daerah dengan
tektonik yang aktif dikarenakan oleh adanya Sesar Mentawai di wilayah offshore dan
Sesar Semangko di wilayah daratan, adanya aktivitas tersebut menyebabkan struktur
geologi pada lokasi tersebut berkembang. Struktur geologi yang berkembang pada
lokasi penelitian mencakup struktur sesar dan kekar. Formasi yang menyusun Sub-DAS
tersebut diantaranya Formasi Hulusimpang (Tomh), Formasi Seblat (Toms), Granit
(Tmg), Formasi Lemau (Tml), Formasi Simpangaur (Tmps) dan batuan breksi gunung
api (Qhv).

1
Pada daerah dengan tingkat tektonik aktif menyebabkan adanya pergerakan
tanah serta beberapa bencana lainnya. Oleh Sebab itu, penelitian yang dilakukan di
lokasi penelitian ini untuk mengetahui tingkat aktivitas tektonik dan implikasinya
terhadap longsor. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi
untuk masyarakat sekitar tentang keadaan morfologi daerah tersebut dan mengurangi
dampak yang mungkin akan terjadi di Daerah Tanjung Sakit dan sekitarnya.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan geologi yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitumenitikberatkan
kepada kondisi geologi yang ada pada Daerah Tanjung Sakti, Kecamatan Tanjung Sakti
Pumi dan sekitarnya, untuk mendapatkan data geologi permukaan. Permasalahan yang
akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana bentuk lahan, stratigrafi dan struktur geologi pada daerah penelitian
?
2. Bagaimana menentukan tingkat aktivitas tektonik pada daerah penelitian?
3. Bagaimana pengaruh aktivitas tektonik terhadap perubahan bentuk topografi dan
implikasinya terhadap longsor pada deareh penelitian?
1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk melakukan tugas akhir dengan mempelajari
kondisi morfologi Daerah Tanjung Sakti dan kaitanya dengan aktivitas tektonik yang
terjadi. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menginterpretasikan dan menganalisis bentuk lahan, stratigrafi dan struktur
geologi pada daerah penelitian.
2. Menginterpretasikan dan menganalisis tingkat aktivitas tektonik dengan
menggunakan aspek morfografi atau kuantitatif morfologi yang ada pada daerah
penelitian.
3. menganalisis perubahan topografi daerah penelitian akibat aktivitas tektonik
danimplikasinya terhadap longsor pada daerah penelitian..
1.4 Batasan Masalah
Batasan masalah dari penelitian ini mengacu kepada permasalahan yang akan
dibahas dan dibatasi oleh luasan daerah penelitian di daerah Kecamatan Tanjung Sakti
Pumi, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatra Selatan dengan luas daerah ± 81 km 2 dan
data permukaan yang di dapat selama kegiatan penelitian berlangsung, yang di
dalamnya mencakup:
1. Aspek geologi yang meliputi satuan bentuk lahan, stratigrafi regional dan
struktur geologi daerah penelitian.
2. Aspek morfometri yang mencakup beberapa parameter diantaranya Drainage
Density (Dd), Hypsometric Curve and Hypsometric Integral (HI),Asymmetry
Factor (Af), Mountain Front Sinuosity(Smf), dan Valley FllorWidht to Height
Ratio (Vf).
3. Interpretasi adanya aktivitas tektonik dan implikasinya terhadap longsor pada
daerah penelitian.

2
1.5 Lokasi dan kesampaian
Secara Geografis lokasi penelitian berada pada S 040 08` 44,2``- pada S 040 13`
34,0`` dan E I030 01` 35,3`` - E I030 01` 37,6`` . Letak administratif daerah penelitian di
Daerah Tanjung Sakti, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan (Gambar 1.1) Luas
wilayah 703,828 km2 dengan skala peta 1:100.000. Secara Regional daerah telitian
termasuk dalam peta geologi lembar Manna Enggano(T.C Amin, 1993).
Kesampaian daerah penelitian membutuhkan waktu kurang lebih tujuh jam (jarak
tempuh 277 km) jika menggunakan jalur darat dengan keberangkatan dimulai dari
Indralaya Utara, Sumatera Selatan lalu menuju ke Tanjung Sakti, Kabupaten Lahat,
Provinsi Sumatera Selatan.

Gambar 1.1. Lokasi dan ketersampaian daerah penelitian (Sumber : peta administratif
Kabupaten Lahat menggunakan ArcGis).

3
BAB II
MORFOLOGI DAN AKTIVITAS TEKTONISME

Pembahasan pada bab ini menjelaskan tentang studi morfotektonik yang


berkaitan dengan aktivitas tektonik dan struktur geologi yang menarik untuk diteliti.
Studi ini diperoleh dari beberapa kajian pustaka, meliputi jurnal, buku dan penelitian
yang telah dilakukan sebelumnya. Kajian pustaka digunakan sebagai acuan dalam
mengidentifikasi kondisi morfologi pada daerah penelitian yang dipengaruhi oleh
aktivitas tektonik. Berdasarkan parameter kuantitatif yang telah diperoleh dari daerah
penelitian, bab ini dibagi menjadi beberapa sub-bab, diantaranya studi morfotektonik,
elemen dan fitur tektonik, tektonik Cekungan Bengkulu dan pergerakan tanah longsor.
2.1 Konsep Morfotektonik
Secara umum, geomorfologi merupakan ilmu yang mengkaji tentang bentuk
permukaan bumi serta proses perubahan bentang alam. Menurut Hugget (2007)
Geomorfologi berasal dari bahasa Yunani (Geomorphology) yang terdiri dari tiga kata
Geo (bumi), morpho (bentuk), dan logos (ilmu). Geomorfologi merupakan salah satu
cabang ilmu kebumian yang membahas mengenai proses dan perkembangan bentuk
bentang alam. Dalam pengumpulan data geomorfologi dibutuhkan konsep dasar
geologi, data geomorfologi dapat digunakan untuk merekonstruksikan keadaan geologi
di sekitar.
Aspek-aspek geomorfologi yang digunakan dalam analisis morfologi bentang
alam meliputi morfogenesa, morfografi, dan morfometri. Morfogenesa mengkaji
tentang proses serta perkembangan bentuk bentang alam, morfografi yang merupakan
aspek yang berkaitan dengan gambaran secara deskriptif bentuk lahan, aspek
morfometri berkaitan dengan nilai atau bersifat kuantitatif seperti kemiringan lereng
serta proses erosi. Ketiga aspek di atas tersebut digunakan dalam proses penelitian ini,
akan tetapi lebih ditekankan pada analisis aspek morfometri yang bersifat terukur atau
kuantitatif. Analisis morfometri mencakup pengukuran yang ada pada bentang alam
seperti pengukuran panjang dan lebar sungai, pengukuran ketinggian pada puncak
perbukitan dan pengukuran kedalam suatu lembah. Beberapa parameter ini kemudian
digabungkan untuk mendapatkan hasil gambaran morfologi suatu daerah.
Morfologi sangat erat kaitanya dengan proses tektonik, faktor yang
mempengaruhi morfologi seperti proses erosional. Pada daerah yang memiliki
kemiringan lereng yang terjal memiliki tingkat erosional yang tinggi, erosi yang
disebabkan oleh aliran air juga dapat mempengaruhi proses pembentukan bentang alam
pada daerah tersebut dimana air mengikis batuan yang memiliki resistensi yang rendah
dan membawa material hasil pengikisan tersebut menuju dengan zona yang lemah dan
terendapkan di tempat yang lebih rendah. Rangkain proses geologi yang terjadi pada
daerah telitian menyebabkan bentukan morfologi seperti pada keadaan sekarang. Proses
sekarang yang terus berlangsung yaitu proses permukaan, berupa erosi dan pelapukan
batuan. Selain erosi dan pelapukan batuan, penyebab terbentuknya bentang alam juga
dipengaruhi oleh aktivitas tektonik.

4
Literatur morfotektonik mengkaji tentang kaitan antara geomorfologi dan
struktur geologi yang terdapat di suatu daerah (Sukiyah, 2010). Terjadinya aktivitas
tektonik dapat memicu pergerakan pada seluruh bagian kerak bumi. Intensitas
pergerakan ini disebabkan oleh adanya energi yang hadir pada bagian dalam bumi, yang
mana semakin besar intensitas pergerakannya maka akan memberikan bahaya yang
mengancam kehidupan (Sukiyah, 2010). Kegiatan tektonik adalah seluruh aktivitas
yang berasal dari pergerakan lempeng-lempeng yang ada pada kerak bumi. Gerakan ini
kemudian akan mempengaruhi permukaan yang memiliki tingkat resistensi rendah dan
mudah patah karena gaya yang terjadi di bawahnya. Adanya kelurusan, patahan, lipatan,
hingga kelokan-kelokan sungai dapat menjadi bukti adanya kegiatan tektonik pada
suatu daerah. Aktivitas tektonik terjadi akibat adanya tektonik aktif yang terjadi.
Tektonik aktif diartikan sebagai pergerakan lempeng aktif yang terjadi dalam kurun
waktu yang panjang atau lama. Oleh karena itu, cabang ilmu yang mengkaji tentang
morfologi dan tektonik dikenal dengan morfotektonik.
Morfotektonik membahas mengenai perkembangan serta proses pada bentang
alam yang berkaitan dengan aktivitas tektonik aktif, baik yang terjadi dimasa lampau
atau sekarang ini. Analisis morfotektonik dilakukan untuk mengetahui tingkat tektonik
aktif yang terjadi di lokasi penelitian serta proses tektonik yang mempengaruhi
pembentukan dan perkembangan bentang alam. Menurut Doornkamp (1986) ilmu
morfotektonik ini berkembang dengan sangat cepat dengan didukung adanya teknologi
yang canggih untuk menganalisis keadaan morfologi dengan lebih akurat dan detail.
Adanya bentang alam yaitu gawir sesar, kelurusan pada perbukitan, lembah, pola
pengaliran dan lain sebagainya merupakan ciri khas dari fenomena tektonik. Tektonik
berperan penting dalam pembentukan bentang alam dari setiap cekungan pengaliran
yang tergambar dengan baik oleh fluvial, struktural serta parameter morfotektonik.
Menurut Bhatt (2007) daerah yang mengalami deformasi yang diakibatkan oleh
tektonik digambarkan oleh sifat dari litologi yang mudah tererosi yang dapat
menghasilkan kerapatan pengaliran sungai yang dominan lebih tinggi dibandingkan
dengan daerah yang densitasnya relatif stabil.
Geomorfometri berperan penting dalam proses analisis dan pemodelan
permukaan. Proses pengamatan geomorfometri saat ini didukung dengan pengamatan
melalui satelit udara dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Pengamatan dengan
berbasis aplikasi ini dapat mempermudah dalam pengambilan data geomorfometri
secara digital. Dalam penggunaan aplikasi SIG berkaitan dengan Digital Elevation
Model (DEM ) (Gambar 2.1) dan Global Positioning System (GPS), ketiganya berkaitan
dan mempermudah dalam proses pengamatan data geomorfometri (Hugget, 2007).
DEM digunakan untuk menggambarkan relief medan dalam bentuk tiga dimensi serta
memberikan informasi yang berkaitan dengan deretan angka yang mewakili distribusi
spasial dari suatu ketinggian yang nantinya digunakan untuk memberikan angka-angka
perkiraan pada perhitungan geomorfometri, terutama pada komponen-komponen
topografi dari morfologi.
Dalam morfotektonik, proses geomorfik yang terbaca dari hasil pengukuran
geomorfometri nantinya akan berpengaruh pada tingkat aktivitas tektonik yang terjadi

5
yang didukung oleh komponen-komponen seperti kekar, sesar, serta lipatan. Hasil dari
perhitungan geomorfometri akan memberikan informasi tentang proses pembentukan
bentang alam yang bisa kita lihat sekarang ini.

Gambar 2.1.Digital Elevation Model(DEM) dan pola kelurusan.

2.1.1 Drainage Density (Dd)


Drainage Density (Dd) didefinisikan sebagai salah satu parameter morfometri
yang digunakan untuk mengidentifikasi DAS yang berhubungan dengan perubahan
iklim serta kondisi geologi. Tingkat kerapatan drainase merupakan hasil dari adanya
lapisan di bawah permukaan yang bersifat impermeabel (tidak dapat meloloskan air),
tingkat kerapatan vegetasi yang rendah dan relief–relief yang tinggi (Gentana, 2018).
Dd atau kerapatan pengaliran dapat dinyatakan dalam jarak antara sungai dalam
suatu DAS atau Sub-DAS. Kemudian dirumuskan menggunakan perbandingan antara
jumlah panjang segmen sungai menggunakan luas DAS atau Sub-DAS dalam suatu
daerah tersebut. Kerapatan pengaliran pula adalah suatu angka indeks yang
menampakan banyaknya anak sungai pada suatu DAS. Nilai Dd bisa diperoleh melalui
rumus hitungan yang diciptakan oleh Horton (1945), yaitu:

Dd=∑ L/A

6
Keterangan:
Dd : Kerapatan Pengaliran pada suatu DAS
∑L : Panjang seluruh DAS sungai
A : Luas Area pada DAS

2.1.2 Asymmetry Factor (AF)


Asymmetry Factor (AF) tak jarang dipakai pada analisis morfotektonik untuk
menerima informasi tentang tingkat aktivitas tektonik menurut kemiringan suatu DAS.
AF menghasilkan tingkat intensitas menurut suatu DAS. Hasil perhitungan AF
menandakan arah menurut kemiringan DAS tersebut.
Menurut Keller dan Pinter (2002) AF merupakan salah satu parameter yang
digunakan untuk menganalisis kemiringan tektonik dalam suatu DAS. Perhitungan ini
dilakukan dengan membandingkan luas sisi kanan (Ar) dan luas seluruh area DAS (At)
kemudian dikalikan dengan 100. Dapat dilihat pada rumus di bawah ini:

𝐴𝑟
𝐴𝑟
AF=
AF=𝐴𝑡𝐴𝑡xx100
100
Keterangan :
AF : Faktor Asimetri
Ar : Luas area kanan DAS sungai dari bagian hilir sungai utama
At : Luas Area keseluruhan DAS

2.1.3 Hypsometric Curve dan Hypsometric Integral (HI)


Kurva hipsometrik dapat digunakan untuk mengukur kondisi geomorfologi
menurut suatu DAS. DAS atau sub-DAS yang sudah mengalami perubahan ditunjukkan
dengan garis grafik ketinggian dengan luas area yang dominan berbeda dari kondisi
awalnya (Harton, 1945). Hal ini dapat digambarkan dari kurva hipsometrik yang sesuai.
Kurva hipsometrik ini digunakan untuk menganalisis tingkat perkembangan dari suatu
DAS sungai (Keller dan Pinter, 2002; Rebai, 2013). Dari kurva hipsometrik tersebut
bisa dianalisis bentuk lahan yang mencirikan stadia muda, menengah, dan tua. Bentuk
lahan stadia muda bisa menjelaskan adanya deformasi tektonik dengan relief yang
kasar, untuk bentuk lahan tingkat stadia menengah dapat mempresentasikan bahwa
suatu wilayah tersebut mengalami proses deformasi dan erosi. Kemudian bentuk lahan
tingkat stadia tua menjelaskan bahwa bentuk lahan di suatu daerah mengalami proses
erosi yang lebih dominan dengan dicirikan oleh relief yang halus. Model kurva
hipsometrik (Gambar 2.1) dari sebuah DAS atau sub-DAS menggambarkan area relatif
di bagian atas maupun di bagian bawah dari suatu ketinggian (Strahler 1957; Rebai,
2013). Dan menggambarkan sungai pada fase dewasa (Gambar 2.2)

7
Gambar 2.2. Model Kurva hipsometrik (Strahler, 1957)

Gambar 2.3. Kurva hipsometrik sungai pada fase dewasa (Strahler, 1957)

Nilai Integral bervariasi yaitu antara nol sampai satu, apabila nilai mendekati
angka nol, maka daerah tersebut mengalami tingkat tererosi yang tinggi, sedangkan jika

8
nilai mendekati angka satu, maka daerah tersebut memiliki tingkat erosi yang relatif
rendah. HI dihitung dengan menggunakan rumus (Keller dan Pinter, 2002; Rebai,
2013):
𝐻𝑚𝑒𝑎𝑛 − 𝐻𝑚𝑖𝑛
𝐻𝐼 =
𝐻𝑚𝑎𝑥 − 𝐻𝑚𝑖𝑛

Keterangan :
HI :Hypsometric Integral
Hmean : Ketinggian rata-rata DAS
Hmax : Ketinggian Maximum DAS
Hmin : Ketinggian Minimum DAS

2.1.4 Mountain Front Sinuosity (Smf)


Sinusitas muka gunungan (Smf) dikenalkan pertama kali oleh Bull dan
McFadden (1977). Smf dapat didefinisikan sebagai deretan pegunungan yang dipakai
untuk memperkirakan adanya aktivitas tektonik yang relatif di sepanjang depan muka
gunung. Smf bisa digunakan untuk mengetahui proporsi kakuatan gaya atau erosi yang
mengarah dengan membagi lengkungan muka pada pegunungan. Smf bisa dihitung
dengan menggunakan rumus:

𝐿𝑚𝑓
𝑆𝑚𝑓 =
𝐿𝑠
Keterangan :
SMF : Sinusitas Muka Gunungan
Lmf : Panjang bagian lekukan muka gunungan pada bagian bawah
La : Jarak garis lurus muka gunungan

Gambar 2.4. Metode perhitungan Smf (Keller dan Pinter, 1996)

9
2.1.5 Valley Fllor Widht to Height Ratio (Vf)
Bull dan McFadden (1977) orang yang pertama kali memperkenalkan Valley
Fllor Widht to Height Ratio (Vf). Vf dipakai untuk mengidentifikasi atau membuat
bandingan antara lembah dasar sungai dengan berbentuk huruf U dengan lembah dasar
sungai yang berbentuk V. Rasio perbandingan lantai lembah ini juga digunakan untuk
memperkirakan ada atau tidaknya aktivitas deformasi pada suatu DAS. Vf dapat
dihitung dengan menggunakan rumus :

2𝑉𝑓𝑤
𝑉𝐹 =
𝐸𝑙𝑑 − 𝐸𝑠𝑐 + (𝐸𝑟𝑑 − 𝐸𝑠𝑐)

Keterangan :
Vf : Rasio lebar dan tinggi lembah sungai
Vfw : Lebar lantai lembah pada suatu DAS
Eld :Elevasi tertinggi di bagian kiri lembah
Esc : Elevasi lantai lembah
Erd : Elevasi tertinggi di bagian kanan lembah

Gambar 2.5. Ilustrasi metode Vf (Bull dan McFadden, 1977)

2.2 Komponen dan Fitur Tektonik


Aktivitas tektonik adalah setiap aktivitas yang terjadi sebagai akibat dari
pergerakan lempeng-lempang di kerak bumi. Gerakan ini kemudian mempengaruhi
permukaan, yang memiliki resistensi rendah dan mudah dipatahkan oleh gaya. Adanya
pola kelurusan, patahan, hingga kelokan sungai dapat menjadi tanda adanya aktivitas
tektonik di suatu daerah yang mengalami aktivitas tektonik. Aktivitas tektonik terjadi
sebagai akibat dari peristiwa aktif. Tektonik aktif didefinisikan sebagi pergerakan aktif
lempeng yang terjadi dalam jangka aktu lama.

10
Menurut Scheidegger (2008) fitur dari tektonik itu sendiri terdiri dari lima
diantaranya, kekar (joint), sesar (fault), kelurusan (lineament), Gempa bumi
(Earthquake) dan Petrofabrics. Komponen-komponen tersebut berkaitan erat dengan
aktivitas tektonik sehingga mengakibatkan terbentuknya serta adanya perubahan pada
morfologi.

2.2.1 Kekar (Joint)


Kekar atau joint merupakan salah satu fitur yang berkaitan dengan tektonik.
Kekar itu sendiri dapat didefinisikan sebagai rakahan atau retakan pada batuan yang
berukuran 5 cm sampai beberapa meter (Scheidegger, 2008) (Gambar 2.6). Kekar
banyak ditemukan di seluruh jenis batuan seperti batuan beku, sedimen dan metamorf.
Kekar akibat tektonik dibagi menjadi tiga macam yaitu kekar gerus (shear joint),
tension joint dan extension joint. Kekar gerus merupakan rekahan atau retakan yang
membentuk pola saling berpotongan dengan membentuk sudut lancip dengan arah gaya
utama. Kekar tarik merupakan rekahan atau retakan yang memiliki pola sejajar dengan
arah gaya utama dan umumnya jenis kekar ini memiliki bentuk rekahan yang bersifat
terbuka. Extension joint merupakan rekahan atau retakan yang membentuk pola tegak
lurus dengan arah gaya utama dan bentuk rekahan tersebut umumnya bersifat terbuka.

Gambar 2.6. Contoh kekar gerus pada batuan granit di sungai Simpur Desa Tanjung
Sakti (Meliani, 2022).

2.2.2 Sesar (Faults)


Sesar secara geologi merupakan bidang rekahan yang mengalami pergeseran,
jarak pergeseran tersebut dapat berukuran milimeter bahkan bisa sampai kilometer,
sedangkan bidang sesar mulai berukuran centimeter sampai kilometer. Sesar yang
ditemukan dengan ukuran yang besar dapat disebabkan oleh tektonik yang diakibatkan
oleh pergerakan lempeng, seperti zona subduksi pada pertemuan dua lempeng. Sesar
dibagi menjadi tiga jenis dilihat dari arah pergerakan batuan terhadap bidang sesar
diantaranya, Sesar turun (Normal Fault), Sesar naik (Reserve Fault) dan Sesar mendatar
(Strike-Slip Fault). Sesar turun merupakan sesar yang terjadi akibat gaya tekan yang
mencapai gaya maksimum secara vertikal sehingga salah satu bidang bergerak ke
bawah. Reserve Fault merupakan sesar yang dicirikan dengan salah satu bidang batuan

11
bergerak keatas, sesar ini biasanya memiliki sudut kemiringan yang kurang dari 45
derajat. Strike-Slip Fault merupakan sesar yang arah pergerakannya sejajar, sesar ini
juga dibagi menjadi 2 yaitu sesar mendatar dextral dan sesar mendatar sinistral.
Menurut Scheidegger (2008) Sesar didefinisikan sebagai kekar yang tidak
berkemenerusan dari dalam bumi yang dapat mencapai ke permukaan bumi. Sesar
berkaitan dengan tektonik langsung hal ini karena sesar merupakan hasil dari kegagalan
kerak bumi yang menahan tekanan diakibatkan oleh tektonik.

Gambar 2.7. Kenampakan sesar naik di Sungai Pino (Meliani, 2022)

2.2.3 Kelurusan (Lineaments)


Kelurusan merupakan salah satu fitur atau komponen dari morfotektonik.
Kelurusan merupakan fitur linier dipermukaan bumi yang dapat ditentukan pada peta
(peta topografi dan peta DEM), foto udara atau citra satelit (Scheidegger, 2008). Garis
kontur yang juga didefinisikan sebagai garis yang dibentuk oleh bentuk lahan yang
dapat mengungkap arsiktektur tersembunyi yang terbentuk pada batuan (Hobbs, 1912).
Meskipun garis kelurusan dapat dilihat melalui gambar, sifat dan kepastianya tidak
dapat dengan mudah dinilai, sehingga pengamatan secara langsung di lapangan
diperlukan untuk mendukung interpretasi gambar (Scheidegger, 2008). Kelurusan dapat
ditentukan secara visual melalui peta topografi atau data pengindraan jarak jauh. Selain
identifikasi visual, kontur dapat diidentifikasi menggunakan aplikasi Sistem Informasi
Grografis (SIG).

2.2.4 Gempa bumi (Earthquake)


Gempa bumi secara langsung dapat mempengaruhi morfologi seperti gerak
perpindahan sesar yang aktif. Menurut Scheidegger (2008), terbentuknya rekahan-
rekahan karena adanya fenomena yang terjadi di pusat gempa bumi yang dianalogikan
dengan daerah di sekitar titik gempa, yang membelah sepanjang bidang sesar. Oleh
karena itu, untuk setiap gempa yang terjadi, arah tegangan utama dapat ditentukan
untuk menentukan bidang sesar.

2.2.5 Mikrostruktur (Petrofabrics)


Struktur mikro yang terdapat pada batuan, disebabkan oleh tekanan yang besar
terjadi didalam dari aktivitas tektonik yang dapat mengubah struktur batuan. Struktur
12
yang sesuai adalah komposisi batu. Sebagai contoh, konglomerat yang mengalami
deformasi yang cukup kuat akan mempengaruhi bentuk butir bahan penyusunnya akibat
tegangan yang diberikan (Scheidegger, 2008). Sehingga struktur batuan dapat
memberikan informasi tentang paleostress yang sudah lama terjadi dan di
rekontruksikan dalam waktu geologi. Dengan demikian dapat memberikan gambaran
umum tentang proses tektonik yang bertanggung jawab atas pembentukan morfologi.
2.3 Tektonik Cekungan Bengkulu
Cekungan Bengkulu termasuk dalam fore arc basin yang terbentuk sejakEosen-
Oligosen. Cekungan berbentuk relatif opal yang menyebar sepanjang barat laut-
tenggara pada bagian barat Sumatera yang dibatasi oleh Tinggian Mentawai-Enggano di
bagian barat, Tinggian Bukit Barisan di bagian timur, Busur Kean Pini dibagian barat
laut, dan di tenggara berbatasan langsung dengan Selat Sunda. Wilayah cekungan
melebar dari batasan Cekungan Sumatera Selatan sampai Mentawai yang berada
diantara dua sistem sesar utama berupa Sesar Mentawai dan Sesar Semangko.
Cekungan muka busur terbentuk di paparan Bengkulu pada Paleogen. Cekungan
Bengkulu terbagi menjadi dua fase, yaitu Neogen dan Paleogen (Hall et al., 1993).
Cekungan ini awalnya merupakan bagian cekungan Sumatera Selatan dan kemudian
terpisah karena pegunungan bukit barisan mengalami pengangkatan pata pertengahan
Miosen. Menurut Hall et al (1993) ada kekuatan besar atau gaya besar yang membentuk
half graben di pantai Bengkulu. Di Daerah Bengkulu telah mengalami proses upflit dan
erosi pada Paleogen, sedangkan mengalami penurunan pada awal Miosen. Kemudian
pada pertengahan Miosen terjadi pengangkatan tinggi yang menyebabkan aktivitas
magmatic di daerah tersebut. Menurut Yulianto et al (1995) proses penurunan cekungan
berakhir pada akhir Miosen-Pleistosen.
Tektonik di daerah Bengkulu didominasi oleh pergerakan Sesar Sumatera. Sesar
Sumatera di sepanjang Cekungan Bengkulu dibagi menjadi beberapa segmen, dari
Selatan yaitu Segmen Kumering, Manna, Musi, dan Segmen Ketaun (Sieh et al, 2000).
Struktur geologi Cekungan Bengkulu yang terbagi atas dua arah umum, yaitu arah barat
laut-tenggara dan timur laut-barat daya. Struktur berarah NW-SE adalah sesar Tanjung
Sakti dan Sesar Ketuan. Sesar ini berhubungan langsung dengan pola Sesar Semangko
dan pola Sesar Mentawai (Yulihanto et al., 1995). Struktur utama yang berorientasi
timur laut-barat daya adalah Sesar Bengkenang di tenggara dan Sesar Bengkulu di barat
laut Cekungan (Gambar 2.8).

13
Gambar 2.8. Struktur Cekungan Sumatera (Hamilton (1979) dalam Barber dan Crow,
2003)

2.3 Pergerakan Tanah Longsor


Longsor atau gerakan tanah didefinisikan sebagai peristiwa geologi yang terjadi
disebabkan oleh pergerakan massa batuan yang berupa material campuran seperti tanah,
batu dan bahan rombakan. Material tersebut bergerak ke bawah disebabkan oleh faktor
ketidakstabilan lereng, longsor dapat terjadi karena kapasitas air yang diserap oleh tanah
sehingga menyebabkan bobot tanah menjadi bertambah, lalu menembus hingga ke
bidang gelincir, sehingga menyebabkan material bergerak keluar.
Menurut Sharpe (1938) mendefinisikan longsor dengan beberapa tipe yaitu
Sliding (luncuran) dan Falling (jatuhan) yang diakibatkan oleh gravitasi dari batuan
tersebut. Blij dan Muller (1993) menyatakan bahwa gerakan massa batuan terjadi akibat
adanya kerusakan pada material batuan tersebut. Menurut Varnes (1988) membagi longsor
berdasarkan mekanisme perpindahan dan pergerakan material tersebut dengan beberapa
tipe longsor yaitu Topple (robohan), slide (luncuran), fall (jatuhan), flow (aliran),
complex movement (gerakan majemuk) dan lateral spread (gerakan lateral) (Gambar 2.9).

14
Gambar 2.9. Model klasifikasi longsor menurut Varnes dan Curden (1988).

Terdapat beberapa faktor penyebab longsor atau pergerakan tanah diantaranya,


faktor geologi yang mencakup sifat fisik dan kimia, struktur geologi, stratigrafi serta
batuan yang telah mengalami pelapukan yang menyebabkan tanah menjadi kehilangan
kestabilan dan bergerak ke bawah. Faktor selanjutnya yaitu morfologi yang
menggambarkan kemiringan lereng di suatu daerah. Serta faktor intensitas curah hujan
yang dapat menyebabkan tanah mengalami penambahan bobot sehingga tanah tidak

15
stabil dan menembus hingga ke bidang gelincir dan akhirnya material bergerak keluar.
Faktor yang terakhir yaitu penggunaan lahan yang menjadikannya sebagai lahan dan
vegetasi. Di bawah ini merupakan penjelasan mengenai jenis-jenis longsor:
1. Topple (robohan) longsoran ini memiliki karakteristik yaitu robohnya batuan
dengan berputar dengan menghadap ke depan pada titik sumbu yang disebabkan
oleh kandungan air dalam tanah atau rekahan tanah dan adanya gravitasi.
2. Slide (longsoran) longsoran ini dibagi menjadi tiga tipe yaitu longsoran translasi,
longsoran blok dan longsoran rotasi. Longsoran translasi adalah adanya gerakan
batuan dan soil yang dicirikan dengan sedikit miring ke belakang pada bidang
gelincir dengan bentuk yang datar atau rata. Selanjutnya longsoran blok
didefinisikan sebagai longsoran dengan pergerakan massa batuan yang bergerak
dari blok-blok koheren. Sedangkan longsoran rotasi merupakan longsoran yang
disebabkan oleh adanya gerakan massa batuan dan soil yang dicirikan dengan
pergerakan longsor yang berputar pada satu sumbu atau sejajar dengan
permukaan tanah pada bidang gelincir.
3. Rockall (runtuhan batu) longsoran ini dicirikan dengan gerakan massa yang
terjun bebas serta menggelinding yang dipengaruhi oleh faktor gravitasi,
pelapukan dan intensitas air di batuan. Longsoran ini disebabkan oleh
pergerakan tanah yang secara tiba-tiba dari bongkahan batuan yang jatuh ke
tebing dengan kemiringan tebing yang curam.
4. Debris flow (aliran bahan rombakan) longsoran ini dicirikan dengan gerakan
massa tanah yang bergerak dengan didorong oleh air. Kelajuan aliran
dipengaruhi oleh jenis material, kelerengan, tekanan air dan volume. Longsoran
ini dapat terjadi hingga ratusan meter dan gerakanya terjadi di sepanjang lembah
pada sungai dan aliran jenis ini dapat menimbulkan korban.
5. Lateral Spread (gerakan lateral) tipe longsoran ini dicirikan dengan kelerengan
yang datar. Gerakan massa tanah yang terjadi diakibatkan oleh pembebanan
massa di atasnya sehingga massa tanah mengalami pelapukan dan bergerak
secara translasi atau bidang yang bergerak dengan arah dan jarak yang sama.
.

16
BAB III
METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini akan digunakan untuk membantu dalam tahap


mengumpulkan data pada penelitian. Dalam pembahasan studi literatur morfotektonik,
metode penelitian yang dilaksanakan dibagi menjadi empat tahap diantaranya, yaitu
studi literatur, pengumpulan data penelitian, pengolahan data, dan penyusunan laporan
akhir atau alur penelitian digambarkan secara sistematik pada diagram alur penelitian
seperti pada gambar di bawah ini (Gambar 3.1).

Gambar 3. 1 Diagram alur penelitian tugas akhir

17
3.1 Studi Literatur
Studi literatur bertujuan untuk menentukan lokasi mana yang mempunyai
fenomena dan potensi sesuai dengan fokus penelitian. Proses yang dilakukan dengan
mengumpulkan dan mencari beberapa referensi peneliti terdahulu sekaligus
memberikan gambaran secara umum lokasi penelitian. Pengumpulan literatur tersebut
akan membantu dalam memahami, mengidentifikasi, dan menganalisis informasi yang
berkaitan dengan lokasi penelitian. Sehingga penulis mempunyai gambaran dalam
menyusun maupun menentukan metode dan hasil penelitian. Literatur tersebut
berdasarkan informasi yang telah dipublikasikan seperti buku, jurnal, proceeding, dan
lain-lain. Jurnal yang dijadikan referensi dapat diakses pada Research Gate, DOAJ,
Scribd, dan lain sebagainya.
3.2 Pengumpulan Data
Pengumpulan data lapangan merupakan suatu kegiatan pendataan informasi-
informasi geologi permukaan. Pengumpulan data ini untuk memperoleh bukti-bukti
geologi dari penginderaan jauh. Tahap ini dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap
pengumpulan data lapangan dan pengumpulan data spasial. Pengumpulan data lapangan
dilakukan pada penelitian terdahulu yaitu pemetaan geologi, pengumpulan data berupa
hasil pengukuran secara langsung serta pengamatan secara dekat maupun jauh,
pengumpulan informasi-informasi geologi permukaan tersebut pada umumnya
diperoleh melalui pengamatan (deskripsi) singkapan-singkapan batuan. Proses
pengumpulan ini dilakukan untuk mengumpulkan bukti-bukti foto yang berhubungan
dengan studi literatur seperti pengumpulan bukti foto morfologi, bentukan sungai yang
akan memperkuat analisis morfometri sesuai dengan parameter yang akan diterapkan.
Sedangkan tahap pengumpulan data spasial dilakukan secara digital yaitu
dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk membuat model analisis
morfometri. Data spasial tersebut menjadi informasi dasar yang digunakan dalam
menginterpretasi beberapa aspek morfometri. Selanjutnya data yang digunakan
diantaranya yaitu data geologi lokasi penelitian, DEMNAS, Mapsource, Arcgis, Global
Mapper, dan Shp sungai dengan menggunakan format file yang bervariasi, seperti dxf,
dem, shp, dan tiff.
Digital Elevation Model Nasional (DEMNAS) adalah data yang
menggambarkan bentuk permukaan bumi yang memperlihatkan adanya titik-titik
elevasi. Data DEMNAS tersebut memperlihatkan data seluruh daerah Indonesia dan
biasanya digunakan untuk analisis berbasis SIG. DEM bersumber dari beberapa data
yang meliputi data TERRASAR-X (resolusi 5 m), IFSAR (resolusi 5 m), dan ALOS
PALSAR (resolusi 11.25 m). DEMNAS yang digunakan pada penelitian ini diunduh
pada tanggal 14 Maret 2022, data DEM tersebut dapat memberikan informasi mengenai
elevasi, topografi, dan relief permukaan. Dalam penelitian ini digunakan 4 data
DEMNAS (tabel 3.1)

18
Tabel 3.1 Data DEMNAS yang ada pada lokasi penelitian
No Digital Elevation Model Nasional (DEMNAS)
1. DEMNAS_0911-52_v1.0
2. DEMNAS_0911-54_v1.0
3. DEMNAS_0911-61_v1.0
4. DEMNAS_0911-64_v1.0
Tahapan dalam mencari data DEMNAS yaitu dengan masuk situs resmi
Geospasial Indonesia kemudian pilih format DEMNAS. Selanjutnya login akun yang
sudah terdaftar, jika belum mendaftar akun, maka dilakukan registrasi pada email
terlebih dahulu. Kemudian login menggunakan alamat email yang sudah terdaftar dan
masukan password yang telah dibuat. Setelah akun telah terverifikasi, login kembali dan
download data DEMNAS mana yang dibutuhkan. Adapun data DEMNAS diperoleh
melalui website http://tides.big.go.id/DEMNAS/#info. Berikut adalah tampilan website
DEMNAS (Gambar 3.2)

Gambar 3. 2 Website Indonesia Geospasial Portal (Sumber:


http://tanahair.indonesia.go.id).
Data administrasi daerah juga digunakan dalam penelitian ini seperti data
sungai, jalan, kontur, desa, dan sebagainya. Format yang nantinya diunduh memiliki
format shp. Tahapan awal untuk mengunduh data administrasi ini kita perlu masuk
dalam situs resmi Geospasial Indonesia https://tanahair.indonesia.go.id/portal-web.
Kemudian perlu melakukan verifikasi akun terlebih dahulu dengan menggunakan email,
jika sudah melakukan registrasi, maka sudah bisa mengunduh data yang dibutuhkan,
pilih skala 1:50.000. Setelah mengklik unduh akan secara otomatis tersimpan dalam
data Laptop, di dalam penelitian ini dibutuhkan data administrasi daerah Kabupaten
Empat Lawang dan Bengkulu Selatan (Gambar 3.3)

19
Gambar 3. 3 Website resmi Geospasial Indonesia (Sumber:
http://tanahair.indonesia.go.id).

3.3. Pengolahan Data


Pengolahan data ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memodelkan data-
data yang diperoleh dari setiap parameter. Pengolahan data diantaranya data lapangan
dan data spasial. Akan tetapi, pengolahan data ini berfokus pada pengolahan data
spasial dan data lapangan digunakan untuk memperkuat hasil data spasial. Pengolahan
data ini menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) meliputi aplikasi
ArcGIS, Global Mapper, CorelDraw, Microsoft Excel dan Mapsource. Data yang
dihitung dalam pengolahan data ini mencakup perhitungan luas, panjang, dan lebar pada
DAS, pegunungan, pola pengaliran sungai, dan sebagainya. Menurut Keller dan Pinter
(2002), hasil perhitungan dari setiap parameter tersebut selanjutnya dapat digunakan
untuk mengidentifikasi tingkat aktivitas tektonik yang terjadi di daerah penelitian.

3.3.1 Deliniasi Daerah Aliran Sungai


Menurut Supirin (2002), daerah aliran sungai (DAS) merupakan bagian sungai
yang saling terhubung satu sama lain, dalam DAS terdapat cabang-cabang sungai yang
mengalir pada satu induk sungai yang sama. Cabang-cabang sungai disebut sebagai sub-
DAS. Setiap das dapat memiliki puluhan hingga ratusan sub-DAS. DAS dibatasi oleh
bentuk alam seperti pegunungan, punggungan dan perbukitan. Pola-pola pengaliran
yang terlihat dari suatu DAS menggambarkan litologi dan mengindikasikan kehadiran
struktur geologi. Selain itu, lembah-lembah dan tinggian pada suatu DAS juga dapat
memberikan informasi mengenai tektonik yang telah terjadi pada daerah tersebut. Hal
inilah yang mengakibatkan hampir dalam setiap pembahasan tentang morfotektonik
selalu menghadirkan DAS sebagai data penguat untuk mengumpulkan informasi yang
dibutuhkan.
DAS dapat dikelompokkan secara otomatis, dibuat dengan software ArcGis
10.4.1. menggunakan aplikasi ArcGIS dan menggunakan tools yang ada pada
ArcToolbox, Spatial Analyst Tools dan Hydrology . Tahapan awal yang harus dilakukan
20
dalam mendelinasi DAS tersebut yaitu menyiapkan data lokasi penelitian dengan format
DEM. Lalu mengklik ArcToolbox, Hydrology pilih fill. Fiil tersebut memiliki fungsi
untuk memperbaiki pixel yang ada pada data DEM. Selanjutnya akan dilakukan analisis
untuk aliran sungai dengan cara pilih flow direction dan input raster hasil fiil (Gambar
3.4). Kemudian mengakumulasi aliran sungai menggunakan tools flow accumulation
dan input raster flow direction. Setelah itu dapat dilakukan pendelinasian untuk semua
DAS dengan menggunakan tools basin, input raster flow direction, dan output file jenis
raster. Setelah selesai melakukan pendelinasian, tahap selanjutnya yaitu menentukan
orde sungai pada tools con (Gambar 3.5). Kemudian pilih stream to order dan stream to
feature (Gambar 3.6). Selanjutnya, pilih DAS yang terdapat di daerah penelitian, yaitu
dengan klik select polygon pada toolbar. Pilih clip pada setiap tools yang diperoleh.
Selanjutnya akan didapatkan DAS daerah penelitian (Gambar 3.7).

Gambar 3.4. Tools Flow Direction yang digunakan dalam proses deliniasi DAS secara
otomatis di ArcGis 10.4.

Gambar 3.5. Tools con yang digunakan dalam proses deliniasi DAS secara otomatis di
ArcGis 10.4.
21
Gambar 3.6. stream to feature yang digunakan dalam proses deliniasi DAS secara
otomatis di ArcGis 10.4

Gambar 3.7. Hasil akhir analisis DAS secara otomatis di ArcGis 10.4.
Memodifikasi cara pemberian orde sungai dari Strahler (1954), sungai yang
termasuk orde 1 bertemu dengan sungai orde 1 maka sungai tersebut menjadi orde 2,
dan seterusnya. Semakin banyak orde sungai, maka lokasi tersebut memiliki intensitas
tektonik yang lebih tinggi (Sukiyah, 2017). Penentuan orde sungai pada setiap sub-DAS
dan DAS pada suatu lokasi dapat dilakukan dengan menggunakan metode Strahler
(1954) yang biasa disebut dengan metode segmentasi (Gambar 3.8).

22
Gambar 3.8. Pembagian orde sungai menggunakan metode segmentasi Strahler (1954)

3.3.2 Analisis Morfometri


Studi morfotektonik berkaitan dengan analisis morfometri untuk mengukur dan
mengidentifikasi aktivitas dan tingkat tektonik di suatu daerah, analisis morfometri ini
akan menghasilkan data berupa angka atau nilai. Untuk mempermudah pembagian data-
data dalam proses analisis, dalam analisis morfotektonik terdapat beberapa parameter
yang digunakan, setiap parameter morfometri memiliki fungsi yang berbeda, data DEM
juga diperlukan dalam analisis ini karena mempermudah dalam pembacaan data atau
informasi. Parameter-parameter yang digunakan dalam analisis morfometri ini
diantaranya yaitu Drainage Density (Dd), Hypsometric Curve and Hypsometric Integral
(HI),Asymmetry Factor (Af), Mountain Front Sinuosity(Smf), dan Valley Fllor Widht to
Height Ratio (Vf).

3.3.2.1 Drainage Density (Dd)


Menurut Sukiyah (2009), densitas drainase dibagi menjadi enam kelas (Tabel
3.2), klasifikasi ini digunakan untuk mengetahui dengan nilai yang mendekati jenis dari
suatu tekstur bentang alam. Dd digunakan pada sub-DAS atau DAS untuk melihat
hubungan antara kondisi geologi dan perubahan iklim suatu wilayah (Gentana, 2018).
Selain itu juga, kerapatan pengaliran sungai dalam DAS bisa dikontrol oleh litologi
batuan yang terdapat di daerah penelitian (Tabel 3.3) (Soewarno, 1991).
Tabel 3.2Klasifikasi tekstur Dd pada sub-DAS Air Manna (Sukiyah, 2009)
No Tekstur Dd (km/km2)
1 Sangat Kasar 0,00 - 1,37
2 Kasar 1,38 - 2,75
3 Sedang 2,76 - 4,13
4 Agak Halus 4,14 - 5,51

23
5 Halus 5,52 - 6,89
6 Sangat Halus 6,90 - 8,27

Tabel 3.3Kelas kerapatan aliran sungai dan hubungannya dengan litologi DAS
(Soewarno, 1991)
No Dd Nilai Kerapatan Keterangan
1 <0,25 Rendah Aliran sungai melalui batuan taraf
resisten keras.
2 0,25- Sedang Aliran yang melalui batuan yang
10 memiliki taraf kekuatan brittle.
3 10-25 Tinggi taraf resistensi batuan brittle.
4 <25 Sangat Tinggi Dd rendah sehingga melalui batuan
permeabilitas yang besar.

Resistensi batuan merupakan tingkat ketahanan batuan terhadap aktivitas baik


dari aktvitas luar permukaan ataupun dalam permukaan. Resistensi batuan memiliki
kaitan erat dengan kontur. Resistensi batuan lemah disebabkan oleh topografi yang
landai, resistensi batuan sedang ditandai dengan kemiringan lereng yang agak curam
sehingga struktur batuanya mulai mengalami penguatan. Resistensi batuan kuat ditandai
dengan lereng yang curam, struktur batuanya dapat dikatakan sudah kuat, keras atau
baik dan resistensi batuan sangat kuat ditandai dengan kelerengan yang curam, kontur
yang sangat rapat.

Gambar 3.9. Tingkat resistensiBatuan (Saad et al., 2012)


Perhitungan nilai Dd atau kerapatan sungai menggunakan aplikasi software
ArcGIS dan data shp sungai serta data DEM dengan menggunakan satuan meter.
Langkah awalyang dapat dilakukan untuk perhitungan Dd yaitu melakukan perhitungan
luas sungai (DAS) dibagi per segmen DAS dengan cara membuat polygon pada ArcGIS.
Pembuatan kotak polygon tersebut dimaksudkan untuk mengetahui luas area segmen
tersebut. Tahap selanjutnya yaitu dengan menghitung panjang sungai yang ada pada
setiap segmen. Hasil dari luas dan panjang daerah aliran setiap segmen tersebut

24
kemudian dimasukkan ke dalam rumus dan diklasifikasikan berdasarkan Sukiyah
(2009).

3.3.2.2 Hypsometric Curve (HI)


Perhitungan nilai HI dilakukan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel,
dimana telah didapatkan data otomatis dari analisis pada aplikasi ArcGis. Pada ArcGis
dilakukan perhitungan HI dengan menggunakan beberapa tools yaitu reclassify dan
dissolve (Gambar 3.10). Selanjutnya dilakukan perhitungan dengan menggunakan
toolscalculate geometry yang digunakan untuk menghitung perubahan elevasi (Gambar
3.11). Langkah selanjutnya yaitu mengubah data tabelmenjadi data excel pada aplikasi
ArcGIS untuk memudahkan perhitungan. Selanjutnya data yang sudah diperoleh dari
perhitungan di ArcGIS diolah ke dalamMicrosoft Excel yang isinya mencakup data
panjang dari sungai, panjang, luas dan elevasi per tiap segmen (Lampiran B).

Gambar 3.10. Rumus perhitungan HI pada toolsreclassify dan dissolve di ArcGis 10.4.

Gambar 3.11. Pembuatan kurva hipsometrik menggunakan aplikasi ArcGis 10.4.

25
3.3.2.3 Assymetry Factor (Af)
Perhitungan nilai AF dilakukan dengan menggunakan aplikasi ArcGIS. Tahap
awal yang dilakukan yaitu dengan menentukan Ar dan At (Gambar 3.12). Kemudian
buat polygon untuk mendigitasi daerah Ar dan At. Setelah melakukan digitasi,
selanjutnya dilakukan perhitungan calculate geometry untuk mengetahui luasan daerah
tersebut. Terakhir yaitu dengan melakukan perhitungan kemudian dimasukkan ke dalam
rumus dan diklasifikasikan berdasarkan El Hamdouni (2008) (Tabel 3.4).

Gambar 3.12 a). Perhitungan faktor asimetri b). Ilustrasi penarikan Ar (Keller dan
Pinter, 2002).
Tabel 3.4Kelas tingkat aktivitas tektonik berdasarkan nilai AF (Hamdouni, 2008)
Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3
(Aktivitas Tektonik (Aktivitas Tektonik (Aktivitas Tektonik
Tinggi) Sedang) Rendah)
AF > 35 atau AF < 65 35 < AF < 43 atau 43 ≤ AF ≤ 57
57 < AF < 65

Menurut Keller dan Pinter (2002), jika nilai AF kurang dari 50, maka
kemiringan DAS diinterpretasikan miring ke arah kiri jika pengamatan dilakukan dari
hilir sungai utama, sebaliknya jika nilai AF lebih 50 maka DAS diinterpretasikan miring
ke arah kanan jika diamati dari hilir sungai utama.

3.3.2.4 Mountain Front Sinuosity (Smf)


Sinusitas muka gunung (Smf) pertama kali dipopulerkan oleh Bull dan
McFadden (1977). Bull dan McFadden (1997) mengklasifikasikan nilai Smf menjadi
tiga kelas berdasarkan aktif atau tidaknya tektonik yang berkembang. Kelas 1 tektonik
aktif (Smf 1,2-1,6) dapat berupa bentang alam dengan dataran yang sempit dan lereng
bukit yang curam. Kelas 2 kurang aktif (1,8-3,4) dapat berupa bentang alam yang
memiliki kelerengan yang cukup curam dan dataran banjir sempit hal ini
mengindikasikan bahwa tektonik pada suatu daerah kurang aktif atau lemah. Kelas ke 3
(Smf 2-7), biasanya berupa bentuk dari bentang alam saling berhubungan dengan
perbukitan, yang berarti mengindikasikan bahwa tektonik pada daerah tersebut tidak
aktif.
Hamdouni et al (2008) mengklasifikasian nilai smf menjadi dua kelas
berdasarkan tektonik tingkat aktif dan tektonik yang tidak aktif lagi. Jika nilai Smf
26
kurang dari 1,5 maka suatu DAS dapat termasuk ke dalam daerah yang aktif secara
tektonik, sedangkan nilai lebih dari 3,0 maka DAS dapat dikategorikan ke dalam kelas
tektonik tingkat rendah atau aktivitas tektonik yang tidak aktif lagi.
Perhitungan nilai Smf dilakukan menggunakan perangkat lunak Global Mapper,
dimana telah didapatkan data otomatis dari analisis pada aplikasi Global Mapper. Untuk
mencari nilai Lmf (panjang muka gunung) dan Ls (panjang garis lurus yang ditarik dari
muka gunung) dengan menggunakan metode Keller dan Pinter (2002). Penarikan garis
Lmf dilakukan di sepanjang kelurusan selanjutnya dilihat nilai total tada setiap muka
gunung atau tinggian (Gambar 3.13) dan untuk mencari nilai Ls pun langkah-langkah
nya sama dengan mencari nilai Lmf (Gambar 3.14). Selanjutnya data keseluruhan yang
sudah diperoleh dari perhitungan di Global Mapper, maka lakukan perhitungan mencari
nilai Smf dengan menggunakan rumus yang telah ditentukan.

Gambar 3.13 Perhitungan nilai Lmf menggunakan aplikasi Global Mapper

Gambar 3.14 Perhitungan nilai Ls menggunakan aplikasi Global Mapper

27
3.3.2.5 Valley Fllor Widht to Height Ratio (Vf).
Keller dan Pinter (2002), Hamdouni (2008) dan Sukiyah (2015)
mengklasifikasikan nilai Vf kedalam beberapa kelas diantaranya, tektonik kelas 1
memiliki nilai Vf kurang dari 0,5 maka termasuk kedalam tingkat pengangkatan aktif,
tektonik kelas 2 dengan nilai Vf dengan nilai lebih dari 0,5 sampai kurang dari 1 maka
termasuk dalam tingkat tektonik sedang dan tektonik kelas 3 dengan nilai Vf dengan
nilai lebih dari 1 termasuk dalam tingkat pengangkatan yang rendah. Doornkamp (1986)
juga membagi nilai Smf menjadi tiga kelas tektonik, sedangkan Silva et al (2003),
membagi nilai Smf dan Vf menjadi tiga kelas tektonik (Tabel 3.5).
Perhitungan nilai Vf dilakukan menggunakan perangkat lunak Global Mapper,
dimana telah didapatkan data otomatis dari analisis pada aplikasi Global Mapper. Pada
Global Mapper dilakukan perhitungan Vf dengan menghitung lebar dasar lembah
(Vfw), elevasi sebelah kiri (Eld), elevasi sebelah kanan (Erd), dan elevasi dasar (Esc)
dengan menggunakan metode Bull dan McFadden (1997). Selanjutnya diklasifikasikan
berdasarkan El Hamdouni (2008).
Tabel 3.5 Perbandingan kelas tektonik berdasarkan nilai Smf dan Vf.
Klasifikasi Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3
Tektonik Tinggi Tektonik Tektonik
Sedang Rendah
El hamdouni (2008) Vf < 0,5 Vf < 0,5 - < 1 Vf < 1
Silva et al (2003) Smf < 1,53 Smf 1,8 – 1,3 Smf 2,8 – 3,5
Vf < 0,60 Vf 0,3 – 0,8 Vf 0,8 – 1,2
Doornkamp (1986) Smf 1,8 – 1,6 Smf 1,8 – 3,4 Smf 2,0 – 7,0
Rockwell et al (1985) Vf < 1 - Vf > 1
Bull dan McFadden (1977) Vf 0,055 – 0,5 Vf 0,5 – 2 Vf 2 - 47

3.3.2.6 Index Of Active Tektonic (IAT)


Indeks Of Active Tectonic (IAT) adalah kumpulan dari beberapa parameter yang
digunakan dalam analisis morfometri. IAT digunakan untuk mendapatkan hasil akhir
berupa kelas atau tingkat aktivitas tektonik. Dalam analisis ini, digunakan parameter
gemorfik Dd, HI,Af,Smf, dan Vf. Kelima parameter tersebut digunakan karena
berhubungan erat dengan morfotektonik dan berperan sangat penting untuk menentukan
tingkat aktivitas tektonik di suatu daerah. IAT dirumuskan sebagai berikut (Sulaksana et
al, 2017)

S
IAT =
N
Keterangan :
IAT :Indeks Aktif Tektonik
S :Jumlah masing-masing kelas parameter yang digunakan
N :Jumlah parameter yang digunakan

28
El Hamdouni (2008) dan Dehbozorgi et al (2010) mengklasifikasikan
perhitungan IAT dalam 4 kelas untuk menentukan tingkat aktivitas tektonik di suatu
daerah (Tabel 3.6). Perhitungan nilai IAT dilakukan manual yaitu langkah yang harus
dilakukan dengan menjumlahkan dari tiap parameter yang didapat, selanjutnya
membagi antara Jumlah masing-masing kelas parameter yang digunakan (S) dan Jumlah
parameter yang digunakan (N). Kemudian dimasukan dalam klasifikasi El Hamdouni
(2008) dan Dehbozorgi et al (2010), langkah terakhir pembuatan peta IAT yang dapat
dilihat pada (Lampiran C).
Tabel 3.6 Klasifikasi kelas tektonik aktif berdasarkan nilai IAT.
Kelas Tingkat Tektonik IAT
Kelas 1 Tektonik Sangat Tinggi 1,0 ≤ IAT < 1,5
Kelas 2 Tektonik Tinggi 1,5 ≤ IAT < 2,0
Kelas 3 Tektonik Sedang 2,0 ≤ IAT < 2,5
Kelas 4 Tektonik Rendah 2,5 ≤ IAT

3.3.3. Pembuatan Peta


Pembuatan peta dilakukan dengan menggunakan software SIG seperti
Mapsource, ArcGis, Global Mapper, CorelDraw. Peta yang dibuat dalam penelitian ini
terdiri dari peta geologi, peta geomorfologi, peta segmen DAS, peta orde sungai, peta
kelas tektonik Smf, HI, AF, Vf dan IAT. Pembuatan peta tersebut bertujuan untuk
menampilkan informasi yang dapat membantu dalam penulisan laporan dengan
mengidentifikasi kelas tektonik aktif di lokasi penelitian.
3.4. Penulisan Laporan
Tahap penyusunan laporan merupakan tahapan akhir pada penelitian dan dibuat
setelah semua data yang telah dianalisis. Pada tahapan ini, semua data dijelaskan secara
terperinci dan dihubungkan dengan penelitian terdahulu untuk memperkuat interpretasi
yang akan menghasilkan kesimpulan dari keseluruhan hasil penelitian. Selanjutnya,
semua data yang dibuat akan diwujudkan dalam bentuk laporan ilmiah berupa skripsi
yang akan dipresentasikan pada sidang akhir. Penyusunan dan penyajian data dilakukan
dengan sistematis mengikuti prosedur dan kaidah penulisan yang telah ditetapkan oleh
Program Studi Teknik Geologi Universitas Sriwijaya, sehingga hasil laporan ini dapat
dipahami.

29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini menjelaskan geologi lokal lokasi penelitian dan hasil analisis morfometri
yang dilakukan. Geologi lokal tersebut berkitan dengan penelitian yang dilakukan
sebelumnya didaerah Tanjung Sakti dan sekitarnya oleh Meliani (2022) pada skala
1:25.000. Dan untuk pembahasan hasil analisis morfometri memaparkan hasil analisis
morfometri yang dilakukan untuk mengetahui kekuatan dan peran tektonik dalam
proses pembentukanya, berdasarkan analisis indikator topografi sungai di daerah
penelitian. Studi morfotektonik ini hanya berfokus pada analisis morfometri di daerah
Tanjung Sakti dan sekitarnya pada skala1:100.0000.
4.1. Geologi Lokal Daerah Penelitian
Geologi lokal menjelaskan mengenai geomorfologi, stratigrafi, dan struktur
geologi. Geomorfologi menjelaskan bentuk lahan dan proses geomorfik yang terjadi,
stratigrafi mendeskripsikan urutan satuan batuan berdasarkan umur dan lingkungan
pengendapan, struktur geologi menjelaskan kondisi geologi akibat dari proses tektonik
yang terjadi di suatu daerah. Geologi lokal ini dijadikan acuan untuk menjelaskan
kondisi geologi daerah penelitian dan merujuk pada penelitian pemetaan geologi
terdahulu oleh Meliani (2022).

Gambar 4.1. a). bentuk lahan Dataran Rendah (DR) dan Perbukitan Rendah
Denudasional (PRD), b). bentuk lahan Perbukitan Tinggi Curam (PTC) dan c). bentuk
lahan Perbukitan Denudasional (PD).

30
Pembagian satuan geomorfik dilihat dari berbagai aspek parameter, antara lain
kemiringan lereng (Widyamanti et al., 2016) dan bantukan morfologi (Huggett, 2017).
Keempat bentuk lahan tersebut diantaranya Dataran rendah (DR), Perbukitan rendah
denudasional (PD), Perbukitan denudasional (PD), dan Perbukitan tinggi curam (PTC)
(Gambar 4.1). Geomorfologi daerah penelitian dibagi menjadi empat bentuk lahan yang
ditentukan berdasarkan pengamatan secara langsung di lapangan dan interpretasi data
DEM (Gambar 4.2).

Gambar 4.2. Peta Geomorfologi daerah Tanjung Sakti dan sekitarnya.


Stratigrafi Sub-DAS pada lokasi penelitian menunjukan bahwa lokasi ini terdiri
dari enam Formasi yang diklasifikasikan dari urutan muda ke urutan tua,yaitu Formasi
Breksi Gunungapi (Qhv), Formasi Simpangaur (Tmps), Formasi Lemau (Tml), Granit
31
(Tmg), FormasiSeblat (Toms), dan Formasi Hulusimpang (Tomh) (Gambar 4.3).
Penelitian yang dilakukan sebelumya oleh Meliani (2022), daerah penelitian terdiri dari
empat formasi, yaitu Formasi Hulusimpang (Tomh) satuan andesit merupakan satuan
batuan tertua pada daerah penelitian yang terendapkan selama Oligosen-Miosen Awal,
Formasi Seblat (Toms) ini terendapkan di atas satuan batuan andesit Formasi
Hulusimpang berumur MiosenAwal sampai Miosen Tengah, terdiri dari satuan
batupasir dan batuserpih serta batulempung. Formasi Granit (Tmg) memiliki umur
relatif pada masa Miosen Tengah dan Formasi Qhv terendapkan secara tidak selaras di
atas Formasi Granit pada kala Plistosen-Holosen, tersusun atas litologi tuff dan breksi
vulkanik. Satuan pada Formasi Qhv dan Formasi Granit ini yang mendasari adanya
longsoran pada lokasi penelitian, hal ini dibuktikan dengan adanya longsoran hasil
pelapukan pada batuan vulkanik dan granit.

Gambar 4.3 Kolom Stratigrafi Daerah Tanjung Sakti dan sekitarnya.


Daerah penelitian dikontrol oleh struktur geologi dengan arah umum barat laut-
tenggara serta timur laut-barat daya. Analisis struktur geologi dikerjakan dengan
analisis DEM dan penelitian sebelumnya (Meliani, 2022). Berdasarkan hasil penelitian,
keberadaan struktur geologi di daerah penelitian berkembang aktif dan mempengaruhi
perkembangan morfologi daerah penelitian serta dapat diamati berdasarkan pola
kelurusan yang terlihat pada DEM daerah penelitian (Gambar 4.4). Struktur geologi
yang berkembang di daerah penelitian yaitu kekar dan sesar. Mekanisme struktur
geologi pada kala Pliosen Akhir-Plistosen terbentuksesar naik dan pada kala Plistosen-
Resen terjadi pelepasan gaya dan menyebabkan terbentuknya sesar mendatar.

32
Gambar 4.4. Peta geologi daerah Tanjung Sakti dan sekitarnya.

33
4.2. Hasil
Hasil dari penelitian ini adalah hasil data yang dihitung dengan data observasi
lapangan. Hasil penelitian ini menunjukan analisis dilakukan pada sub-DAS seluas
703.828.718 km2. Analisis ini dilakukan dengan cara membandingkan dan merata-
ratakan nilai dari masing-masing analisis kemudian dimasukan ke dalam klasifikasi. Hal
ini dilakukan untuk mengetahui kehadiran tektonik aktif di daerah penelitian.

4.2.1. Daerah Aliran Sungai


Di lokasi penelitian, pembagian daerah aliran sungai (DAS) dilakukan dengan
menggunakan program ArcGIS di ArcToolbox pada bagian spatial analyst tools
hydrology. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa lokasi penelitian memiliki satu
sub-DAS yaitu DAS Air Manna. Selain itu, sub-DAS daerah penelitian memiliki orde
sungai dengan nilai antara <3 datau >5 (Gambar 4.5). Sukristiyani (2008) memaparkan
bahwa ruas sungai dapat dijelaskan dari banyaknya jumlah orde sungai. Semakin rendah
orde sungai maka ruas sungai itu akan semakin banyak.

Gambar 4. 5. Peta pembagian orde sungai daerah Tanjung Sakti dan sekitarnya.

34
Selain itu, pembagian segmen sub-DAS membantu dalam memperoleh data
analisis yang lebih rinci dengan mempertimbangkan tingkat aktivitas tektonik di lokasi
penelitian. Penentuan segmen ini didasarkan pada morfologi yang ditemukan di lokasi
penelitian. Dari pembagian segmen tersebut, lokasi penelitian dibagi menjadi empat
segmen yaitu perbukitan tinggi (S4), lalu (S3) merupakan bagian perbukitan, bagian
perbukitan rendah (S2) dan bagian dataran (S1) di barat daya-selatan (Gambar 4.6).

Gambar 4.6. Peta pembagian segmen DAS pada Daerah Tanjung Sakti dan
sekitarnya.

35
4.2.2. Paremeter Analisis Morfometri
Parameter yang dipakai dalam melakukan analisis morfometri di lokasi
penelitian adalah Kerapatan Drainase (Dd), Faktor Asimetri (Af), Hypsometric curve
and Hypsometric Integral (HI), Sinusitas Muka Gunung (Smf), Valley Fllor Widht to
Height Ratio (Vf). Hasil dari analisis DAS ini selanjutnya digabungkan untuk
memberikan nilai Indexof Active Tectonic (IAT) untuk menganalisis kelas aktivitas
tektonik di lokasi penelitian. Perhitungan Dd pada sub-DAS Air Manna memilikinilai
berkisar 1,473 km/km2-4,724 km/km2 (Tabel 4.1). Hasil dariperhitungan Ddnantinya
digunakan untuk mengidentifikasi tekstur permukaan. Di lokasi penelitian, cekungan
memiliki tekstur yang sedikit lebih halus dan perbukitan memiliki tekstur yanglebih
kasar. Menurut Sukiya (2017), pengaliran dengantekstruyangkasar (low density),
tingkat Dd yang rendah menggambarkan alur sungai yang melalui batuan yang
membawa dedimen dalamjumlah yang besar dan meskipun kerapatan vegetasi lebih
tinggi, rendah akan resiko banjir akan tetapi rentan terhadap longsor.
Tabel 4.1 Hasil analisis perhitungan nilai drainage density (Dd).
Segmen Luas Sub-DAS Panjang Dd Tekstur
Sungai Sungai
Segmen 1 293,832208 km2 1388,272 km2 4,724 Agak
km/km2 Halus
Segmen 2 281,636981 km2 1141,762 km2 4,054 Sedang
km/km2
Segmen 3 131,314871 km2 2548,451 km2 1,940 Kasar
km/km2
Segmen 4 65,466057 km2 964,485 km2 1,473 Kasar
km/km2

Kurva hipometrik dapat digunakan untuk menentukan tingkat erosi padasuatu


DAS. Di daeran penelitian,DAS dibagi menjadi empat segmen dengan kurva yang
relatif cekung (Gambar 4.7). Bentuk kurva cekung menunjukan bahwa DAS di daerah
penelitian masuk ke dalam tahap dewasa hingga tua (Strahler, 1952). Dibagian kurva
yang cekung menandakan bahwa lereng tersebut curam atau terjal.
Terdapat bukti aktivitas tektonik sedang hingga tinggi berdasarkan hasil
perhitungan HI pada sub-DAS Air Manna (Lampiran A). Hal ini disesuaikan
berdasarkan klasifikasi El Hamdouni (2008) dalam menentukan kelas tektonik aktif.
Klasifikasi tersebut dibagi menjadi tiga kelas, yaitu tektonik tinggi dengan HI 0,5
termasuk kelas 1, tektonik sedang dengan nilai HI 0,4 ≤ HI ≥ 0,5 masuk dalam kelas 2,
kelas 3 termasuk tektonik rendah dengan nilai HI < 0,4.

36
Gambar 4.7. Kurva hipsometri pada ke-4 segmen di sub-DAS Manna.
37
Gambar 4.8. Peta Kelas Hypsometric Indeks (HI) pada Daerah Tanjung Sakti
dan sekitarnya.

Faktor asimetri (Af) dapat menunjukan bahwa suatu lokasi telah mengalami
proses penurunan dan pengangkatan. Dilihat dari hilir sungai, jika suatu DAS
mengalami kemiringan pengaliran pada bagian kiri maka memiliki nilai AF > 50.
Begitupun sebaliknya, jika suatu DAS mengalami kemiringan pada bagian kanan maka
nilai AF < 50 (Sukiyah, 2015). Nilai AF didapat dari hasil perhitungan sub-DAS Air
Manna dan didapat nilai AF sebesar 51.889 (Tabel 4.2). Jika nilai Af mendekati angka 1
bentuk DAS tersebut akan semakin berbentuk bulat. Hasil ini diterapkan pada
klasifikasi Sukiyah (2015) dan El Hamdouni (2008) hal ini menunjukan bahwa lokasi
penelitian masuk dalam kelas 1 yaitu tektonik kelas tinggi yang digambarkan dalam
peta AF (Gambar 4.9).
38
Tabel 4.2. Hasil analisis perhitunganasymmetry factor (Af).
Segmen Sungai Ar At AF
Sub-DAS 271,81 km2 419,76 km2 51,889 km2

Gambar 4.9. Peta Kelas Asymmetric Factor (AF) pada Daerah Tanjung Sakti
dan sekitarnya.

Selanjutnya untuk perhitungan nilai Smf dilakukan di enam lokasi penelitian


sepanjang zona muka pegunungandan tinggian (Table 4.3). Menurut El Hamdouni
(2008) membagi nilai sinusitas muka gunung jadi tiga kelas, yakni (Smf <1,5) masuk
kelas 1, ( 1,5 ≤ Smf ≤ 3) masuk kelas 2dan (Smf >3)masuk kelas 3.Analisis smf pada
daerah penelitian berada pada tinggian sub-DAS Manna, masing-masing

39
memilikirentang nilai 1,84 -2,47. Hasil perhitungan nilai smf tersebut masuk kedalam
klasifikasi kelas 2yang menggambarkan daerah penelitian berada padabentang alam
dengan dataran yang sempit dan lereng bukit yang curam.
Tabel 4.3 Hasil analisis perhitungan nilai Smf.
Sub-DAS Lmf Ls Smf
1. 39,95 km 20,694 km 1,930
2. 24,17 km 10,43 km 2,317
3. 51,068 km 27,673 km 1,845
4. 65,833 km 26,556 km 2,479
5. 61,981 km 31,987 km 1,937
6. 39,18 km 29,72 km 1,986

Selanjutnya analisis yang dilakukan yaitu analisis rasio atau perbandingan lebar
lembah dan tinggi lembah(Vf). Analisis ini dilakukan untuk mendapatkan nilai tingkat
pengangkatan dan mengidentifikasi getaran tektonik yang saat ini terjadi di DAS (Bhatt,
2007). Hasil sub-DAS Air Manna memberikan nilai sebesar 0,22-0,43 (Tabel 4.4).
Berdasarkan klasifikasi Bull & McFadden (1977), Rockwell et al (1985) dan El
Hamdouni (2008), daerah penelitian termasuk ke dalamkelas tektonik 1 (tektonik
tinggi). Hasil analisis Vf dan Smf selanjutnya digambarkan dalam peta kelas tektonik
untuk memberikan gambaran aktivitas tektonik yang mungkin terjadi di lokasi
penelitian (Gambar 4.10).
Tabel4.4. Hasil analisis perhitungan nilai Valley Fllor Widht to Height Ratio (Vf)
Lembah Vfw Eld Erd Esc Vf
Perbukitan Sub- 62 389 379 250 0,43
DAS Manna
Lembah Sub- 41 273 276 105 0,22
DAS Manna

40
Gambar 4.10. Peta Tektonik VF dan SMF di Daerah Tanjung Sakti dan sekitarnya.
Dari hasil analisis dapat ditarik kesimpulan tentang tingkat aktivitas tektonik di
daerah penelitian dengan Indexof Active Tectonic (IAT) (Lampiran B). Pada dasarnya,
IAT adalah pengelompokan yang dilakukan dengan cara membandingkan beberapa
parameter yang sebelumnya digunakan sampai pada hasil akhir.Hasil perhitungan
(Tabel 4.5) sub-DAS Manna termasuk kedalam kelas tektonik tingkat 2 atau tingkat
aktivitas tektonik tinggi (El Hamdouni, 2008).
Tabel 4.5. Hasil analisis perhitungan nilai Indexof Active Tectonic (IAT).
Segmen HI AF SMF VF IAT Kelas
sub-DAS
Segmen 1 2 1 2 1 1,5 2
Segmen 2 2 1 2 1 1,5 2
Segmen 3 1 1 2 1 1 1
Segmen 4 1 1 2 1 1 1

41
Gambar 4.11 Overlay peta setiap parameter pada analisis morfotektonik

42
4.3. Pembahasan
Sub bab bagian ini menjelaskan tahapan lanjutan hasil perhitungan di setiap
parameter sun-DAS. Di mana di setiap parameter memberikan ringkasan mengenai
tingkat aktivitas tektonik. Adanya aktivitas tektonik tersebut dapat menghasilkan satuan
bentuk lahan, seperti perbedaan ketinggian, kelerengan yang terjal yang biasanya
memiliki batuan yang resisten dan erosi pada batuan yang relatif kurang resisten,
Daerah penelitian memiliki morfologi relief yang kasar, hal ini dapat dikenali
dari bentuk perbukitan yang tinggi dengan kemiringan yang curam. Permukaan relief
yang tidak rata menjadi bukti bahwa tektonik berperan penting dalam pembentukan
morfologi daerah penelitian. Morfologi yang tidak rata tersebut merupakan salah satu
produk dari struktur geologi yang berkembang. Sebagai hasil dari penelitian
sebelumnya, struktur geologi yang berkembang dilapangan adalah sesar dan kekar seta
diperkuat oleh lineaments yang dapat dilihat dari DEM. Struktur geologi yang
berkembang di daerah penelitian memiliki kecenderungan umum barat laut-tenggara.
Struktur sesar yang ditemukan antara lain Sesar Marang Batu dan Sesar Pulau Timun
(Gambar 4.12).

Gambar 4.12.a). Kenampakan pergeseran dua blok batuan azimuth N 165˚ E dan b).
Cermin sesar yang menunjukkan adanya pergeseran pada blok batuanyang ditemukan
pada lokasi penelitian di Desa Tanjung Sakti pada sungai Marang Batu.

Gambar 4.13. a). Kenampakan struktur kekar pada batu Andesit pada Sungai Air Buluh
Desa Pulau Timun, b). dan kekar pada Granit di Desa Tanjung Sakti pada Sungai
Simpur.

43
4.3.1. Indikasi Tingkat Aktivitas Tektonik
Hasil perhitungan lima parameter analisis morfometri antara lain Dd, HI, AF,
Smf dan Vf dengan pendekatan geomorfologi kuantitatif dapat memberikan gambaran
singkat mengenai aktivitas dan kelas tektonik di daerah penelitian. DAS di daerah
penelitian adalah DAS Air Manna yang merupakan sungai berkelok-kelok dan lembah
sungai yang menyerupai huruf U (Gambar 4.14). Akibat pembelokan sungai yang tidak
beraturan, terjadi pemisahan aliran yang mengakibatkan terjadinya erosi pada bagian
tepi sungai. Proses erosi yang terjadi pada titik ini biasanya vertikal dengan stadia
sungai dewasa hingga stadia tua.

Gambar 4.14. a). Kenampakan Sungai Meander di sungai Manna, b).lembah


berbentukhuruf U di Sungai Manna,c). lembah berbentuk huruf V di Sungai Anak
kemang Desa Tanjung Sakti .

Pola aliran dendritik merupaka pola aliran yang mengontrol sub-DAS Air
Manna (Twidale, 2004) (Gambar 4.15). Pola aliran dendritik merupakan bentuk aliran
yang dominan di lokasi penelitian, yang mana cabang dari aliran sungai tersebut
bebentuk seperti percabangan pohon. Secara umum, litologi batuanya seragam dengan
tingkat resistensi rendah (mudah tererosi), dan bentuk lembahnya seperti huruf V.

44
Gambar 4.15. Peta pola pengaliran Daerah Tanjung Sakti yang diinterpretasikan sebagai
polaaliran dendritik.
Perhitungan dari analisis density drainage (Dd) menghasilkan nilai yang sedang,
sehingga dapat diartikan bahwa daerahpenelitian memiliki tekstur permukaan atau
bentangalam yang agak kasar. Tekstur permukaan ini menunjukkan morfologi dengan
lereng yang cukup curam,selain itu juga menggambarkan daerah dengan vegetasi yang
sangat rapat sehinggamemiliki potensi longsor yang cukup tinggi pula. Nilai densitas
yang rendah hinggasedang ini mengartikan bahwa daerah tersebut terhindar dari
kategori rawan banjir,karena memiliki lapisan bawah permukaan yang permeabel.
Selanjutnya analisis hipsometrik digunakan untuk mengetahui tingkat erosi pada
suatu daerah aliran sungai. Menurut El Hamdouni (2008), umtuk nilai HI dapat menjadi
faktor penentu tingkat tektonik, yang utamanya dibagi menjadi tiga kelas, kelas 1
45
(tektonik tinggi HI ≥ 0,5), kelas 2 (tektonik sedang HI 0,4 ≤ HI ≤ 0,5), dan kelas 3
(tektonik rendah HI < 0,4). Hasil perhitungan HI di sub-DAS Air Manna memberikan nilai
0,54. Sehingga menunjukan bahwa sub-DAS air manna memiliki tingkat erosi sedang dan
tingkat aktivitas yang tinggi (El Hamdouni, 2008).
Pada Gambar 4.16, kurva hipsometri menunjukan bahwa sub-DAS Air Manna
memiliki kurva yang cekung. Menurut Strahler (1952), kurva dengan bentuk yang cekung
mengindikasikan jika lokasi penelitan tersebut termasuk dalam dewasa hingga tua, tingkat
erosi yang relative stabil dikendalikan oleh kondisi tektonik, denudasi dan kemiringan yang
curam. Dengan demikian dapat diinterpretasikan jika daerah penelitian berada pada fase
stadia dewasa hingga tua, dengan mrnunjukan relief permukaan yang kasar hingga sedang.
Perbedaan setiap kurva juga dapat menjelaskan variasi litologi batuan penyusunya.

Gambar 4.16. Kurva hipsometri menunjukan lereng dan stadia sungai di Daerah
Tanjung Sakti dan sekitanya.
Faktor asimetri (Af) digunakan untuk menentukan aktivitas tektonik dengan
memperhatikan kemiringan cekungan dari hilir ke hulu. Nilai Af untuk perhitungan sub-
DAS Air Manna adalah 51.889 km2. Berdasarkan nilai tersebut, sub-DAS Air Manna
masuk dalam cekungan asimetri (Rebai, 2013) dan kemiringan cekungan cenderung ke
kiri (Keller dan Pinter, 2002). Nilai Af tersebut kemudian diklasifikasikan untuk
menentukan kelas tektonik DAS. Berdasarkan klasifikasi El Hamdouni (2008), sub-
DAS daerah penelitian termasuk tingkat tektonik tinggi yaitu kelas 1.
Smf digunakan untuk memperkirakan aktivitas tektonik yang relative di
sepanjang muka gunung dan juga Smf memberikan informasi mengenai adanya
ketiakberaturan pada tinggian maupun pegunungan, ketidakberaturan tersebut

46
disebabkan oleh aktivitas tektonik dan proses erosi. Berdasarkan hasil analisis
ketinggian dan punggungan, diperoleh nilai smf, 1,264, 1,318, 1,358, 1,431, 1,441,
1,576. Sehingga sub-DAS Air Manna memiliki rentang nilai Smf berkisar 1,264-1,576.
Dari hasil tersebut, Sehingga dapat diinterpretasikan daerah penelitian masih dalam
pengaruh tektonik yang tinggi (kelas 1) dan berasosisasi terhadap lereng yang curam
dengan dataran banjir lebih sempit daripada lembah sungai(Bull dan McFadden, 1997;
El Hamdouni, 2008).
Data pendukung terakhir yakni analisis perbandingan lebar dan tinggi lembah
atau valley floor width to height ratio (Vf), analisis ini digunakan untuk mengetahui
lembah sungai berbentuk V atau U yang terjadi akibat pengangkatan maupun kontrol
tektonik lainnya. Nilai Vf yang tinggi (>1) akan menggambarkan lembah sungai
berbentuk huruf U dan rendahnya aktivitas sungai yang berasosiasi dengan kecepatan
pengangkatan yang rendah, sedangkan nilai Vf yang rendah (<1) mencerminkan
aktivitas sungai yang bertambah akibat dari tingkat aktivitas tektonik yang tinggi dan
lembah sungai yang dalam berbentuk V (Keller dan Pinter, 1996). Pada daerah
penelitian, hasil analisis Vf didapatkan nilai sebesar 0,4. Kemudian dapat diinterpretasi
bahwa kedua das termasuk kedalam nilai Vf yang rendah yakni <1, dimana adanya
kontrol tektonik berupa pengangkatan yang mempengaruhi bentukan sungai. Menurut
El Hamdouni (2008) dari hasil analisis diatas daerah penelitian merupakan daerah
dengan tingkat tektonik yang tinggi (kelas 1).

4.3.2. Pertitungan Index of Active Tectonic (IAT)


Perhitungan IAT dapat dilakukan setelah menentukan kelas aktivitas untuk
setiap parameter. Perhitungan IAT berfungsi untuk memberikan gambaran peta IAT
(Lampiran B) dari lokasi penelitian, yang mencerminkan kondisi morfologi saat ini.
Parameter yang digunakan dalam perhitungan IAT adalah AF, Vf dan Smf. Hasil
perhitungan AF daerah penelitian menunjukan bahwa lokasi tersebut termasuk kelas
dengan tektonik tinggi. Selain itu, sub-DAS dearah penelitian menunjukan kemiringan
cekungan yang cenderung kekirir atau cekungan asimetri. Gentana (2018) menunjukan
bahwa suatu daerah dengan cekungan asimetri, maka diinterpretasikan sebagai produk
dari struktur geologi yang mempengaruhi pembentukan sungai dan lembah sehingga
tidak merata. Selain itu, daerah Tanjung Sakti dan sekitarnya menunjukan aktivitas
tektonik yang tinggi (kelas 1) berdasarkan perhitungan Smf.Keadaan tersebut memiliki
keterkaitanterhadap hasil analisis Vf yang menunjukkan daerah penelitian dikontrol
oleh tektonik yang tinggi (kelas 1) dengan nilai yang rendah. Nilai Vf yang rendah
diinterpretasikan bahwa kondisi morfologi daerah penelitian mengalami pengangkatan
sehingga membentuk sungai dan lembah sempit.
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, perhitungan nilai IAT dengan
menjumlahkan kelas tektonik kemudian dibagi dengan jumlah parameter yang
digunakan saat penelitian. Dengan demikian, hasil yang diperoleh menunjukan bahwa
daerah Tanjung Sakti dan sekitanya masuk dalam aktivitas tektonik kelas sangat tinggi
(kelas 1) (Dehbozorgi et al (2010); El Hamdouni, 2008).

47
4.3.3. Analisis Morfotektonik Daerah Tanjung Sakti
Berdasarkan hasil analisis masing-masing paremeter, lokasi penelitian
dipengaruhi oleh tingginya tingkat aktivitas tektonik. Hal ini terlihat dari pola kelurusan
yang cenderung rapat serta nilai densitas yang cenerung rendah, sehingga tekstur
permukaan atau bentang alam menjadi kasar. Nilai densitas yang rendah menunjukan
adanya lapisan yang mengindikasi adanya kontrol struktur yang mempengaruhi bantang
alam dan tekstur permukaan daerah penelitian. Hasil analisis Dd menjelaskan bahwa
adanya kesamaan dengan daerah penelitian, yakni tekstur sedang-kasar yang didominasi
oleh perbukitan, dengan tingkat pelapukan dan denudasional lebih mempengaruhi
morfologi lokasi tersebut. Pola aliran dendritik merupaka pola aliran yang mengontrol
sub-DAS Air Manna (Twidale, 2004) (Gambar 4.14).
Pola aliran dendritik merupakan bentuk aliran yang dominan di lokasi penelitian,
yang mana cabang dari aliran sungai tersebut bebentuk seperti percabangan pohon.
Secara umum, litologi batuanya seragam dengan tingkat resistensi rendah (mudah
tererosi).
Nilai hipsometri daerah penelitian menunjukan nilai sedang. Hasil HI pada sub-
DAS menunjukan angka sedang-tinggi, artinya nilai HI yang tinggi dapat
mengindikasikan terjadinya eroai sungai akibat keterlibatan kontrol tektonik dalam
proses erosi sungai. Selain itu, kurva hipsometri menunjukan bentuk cekung yang
mencirikan bahwa daerah ini masuk ke dalam stadia sungai dewasa hingga tua, proses
erosi yang relative stabil dengan dikontrol oleh kelerengan yang curam serta pelapukan.
Hasil analisis perhitungan Af menunjukan bahwa nilai tinggi lokasi penelitian
termasuk kedalam cekungan asimetri. Selain itu, pada daerah penelitian cekungan
pengaliran menunjukan kemiringan ke kiri. Artinya, kemeringan pada arah kiri
menunjukan kesamaan dengan hasil analisis HI.
Untuk menganalisis tingkat aktivitas tektonik saat ini (Recent) pada daerah
penelitian termasuk dalam kelas 1 atau tinggi berdasarkan analisis Smf dan kelas 1
berdasarkan analisis Vf yang artinya tinggi. Hasil ini juga tergambar dari kondisi
morfologi pada saat ini yang memiliki bentukan lembah V serta dapat dijumpai struktur
geologi yang mengontrol pembentukan sungai. Namun, aktivitas tektonik yang tinggi
ini juga dapat mengakibatkan terjadinya bencana geologi. Sehingga bencana yang kerap
terjadi akibar lereng yang curam yakni longsor. Untuk selanjutnya diperlukan penelitian
yang lebih lanjut guna mengantisipasi bencana tersebut.
Selanjutnya dapat ditarik kesimpulan bahwa Daerah Tanjung Sakti dan
sekitarnya terbentuk oleh aktivitas tektonik yang cenderung tinggi, sehingga dapat juga
mempengaruhi pembentukan morfologi yang dijumpai pada saat ini.

4.3.4. Implikasi dari Analisis Morfotektonik Terhadap Potensi Longsor


Hasil analisis morfotektonik (Table 4.6) dapat ditarik kesimpulan bahwa lokasi
penelitian memiliki tingkat aktivitas tektonik yang tinggi dengan morfologi perbukitan
tinggi tepatnya pada Segmen 3 dan Segmen 4, sedangkan tingkat tektonik aktif sedang
berada pada daerah dengan morfologi Perbukitan bagian cekungan (Segmen 1 dan 2).

48
Analisis morfometri yang berhubungan dengan longsoran pada lokasi iniadalah
kerapatan drainase (Dd) (Bull, 1968) dan Hipsometri Indeks (HI) (Strahler, 1952).
Paremeter tersebut dapat digunakan untuk mengetahui tingkat erosi dilokasi penelitian.
Studi ini hanya berfokus pada segmen 3 di lokasi penelitian Tanjung Sakti dan
sekitarnya.
Daerah penelitian terletak pada segmen 3 di bagian perbukitan daerah penelitian,
yang terdiri dari litologi batuan andesit pada Formasi Hulusimpang (Tomh), batupasir,
batulempung, batulanau pada Formasi Seblat (Toms), Granit (Tmg)dan Formasi Qhv.
Batuan yang terdapat di daerah penelitian menunjukan bahwa daerah tersebut memiliki
permukaan dengan tekstur halus hingga kasar.
Tabel 4.6 Hasil analisis dari setiap parameter.

49
Gambar 4.17. Peta kelerengan Daerah Tanjung Sakti dan sekitarnya pada skala
1:100.000

50
Kemiringan lereng di lokasi penelitian memiliki tingkat kemiringan antara
landai (13%) sampai curam (40%) (Widyatmanti et al., 2016). Tingkat kemiringan
lereng ini ditentukan dari identifikasi peta kelerengan di daerah penelitian dan hasil
analisis perhitungan morfometri menunjukan aktivitas tektonik di daerah penelitian
menunjuak IAT sebesar 1. Hasil peta IAT menjelaskan bahwa tingkat aktivitas tektonik
daerah penelitian masuk ke dalam kelas 1 yang artinya daerah tersebut memiliki tingkat
aktivitas tektonik yang sangat tinggi (El Hamdouni, 2008). Kemiringan lereng yang
curam (Gambar 4.17) di daerah penelitian disebabkan karena adanya gerakan batuan
dan menghasilkan struktur geologi yang berkembang seperti kekar dan sesar. Selain itu
juga, dapat diinterpretasikan pelapukan di lokasi penelitian yang terjadi cukup tinggi
(Gambar 4.18) .

Gambar 4.18.a dan b). Pelapukan batuserpih di Formasi Seblat, c dan d). Pelapukan
batuan vulkanik pada Formasi Qhv.

Adanya pola kelurusan dapat mengambarkan keberadaan struktur geologi yang


hadir di lapangan contonya sesar. Di lokasi penelitian, ditemukan berupa sesar yaitu
sesar Marang Batu, kondisi litologi di lapangan memperlihatkan litologi granit. Selain
itu, ditemukan juga sesar Pulau Timun yang berkembang pada batupasir dari Formasi
Seblat (Gambar 4.19). Data yang dihimpun sebagian besar dari sub-DAS Manna
menunjukkan adanya sesar naik dan sesar mendatar di sekitar Daerah Tanjung Sakti.
Sehingga dapat diinterpretasikan longsor pada lokasi pengamatan 1 dan 4 akibat dari
kehadiran struktur geologi seperti sesar yang berkembang pada daerah penelitian.
Struktur tersebut terbentuk dengan orientasi relatif tenggara-barat laut. Sedangkan untuk
pengamatan pada titik longsor 2 dan 3 lokasi pengamatan tersebut berada sedikit jauh

51
dari kehadiran struktur dansebagian diakibatkan oleh faktor seperti intensitas hujan,
vegetasi, suhu, litologi batuan dan lain sebagianya.

Gambar 4.19.Peta struktur geologi dan lokasi pengamatan longsor.

4.3.4.1. Lokasi Pengamatan Longsor 1


Lokasi pengamatan longsor 1 berada di Desa Tanjung Sakti tepatnya di pinggir
jalan. Longsor tersebut dapat diinterpretasikan memiliki tipe Flowatau biasa disebut
sebagai jatuhan (Varnes, 1996).Jenis longsor yang terjadi ketika massa tanah bergerak
didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, jenis material,
volume dan tekanan air.Pergerakan tanah tersebut dapat diakibatkan adanya proses
erosional dan denudasional. Selain itu juga, pergerakan tersebut dapat pula disebabkan
adanya kikisan air hujan dan air tanah yang terdapat pada suatu lokasi. Lokasi penelitian
memiliki litologi granit lapuk, dimana dapat diinterpretasikan bahwa banyak terjadi
peresapan air di dalam lereng (Gambar 4.20). Akibat adanya peresapan air tersebut,
berat massa batuan akan bertambah sehingga longsor dapat terjadi pada lokasi yang
tanahnya kurang padat atau kompak. Kehadiran longsor juga diinterpretasikan karena

52
pengaruh dari struktur geologi yang berkembang dilokasi penelitian,struktur yang
berkembang berupa sesar yaitu Sesar Marang Batu.

Gambar 4.20. Kenampakan longsor tipe Flow di Desa Tanjung Sakti.

4.3.4.2. Lokasi Pengamatan Longsor 2


Lokasi pengamatan longsor 2 terdapat di Desa Pulau Timun tepatnya di sungai
Buluh. Bukti longsoran ini memiliki tipe Flow dengan azimuth longsor N 0560E dan
Singkapan lokasi penelitian di desa Pulau Timun memiliki tinggi ± 10 meter. Longsoran
ini termasuk dalam kelas curam dan berada pada elevasi 563 mdpl yang menunjukkan
bahwa morfologinya perbukitan (Widyatmanti, 2016). Material runtuhan berupa soil.
Seperti yang terlihat pada (Gambar 4.21).Singkapan longsor ditemukan di Formasi
Seblat ini dalam kondisi lapuk, kondisi tersebut diakibatkan oleh perubahan cuaca dan
vegetasi yang tumbuh di sekitarnya. Lokasi pengamatan longsor 2 ini tidak terlalu dekat
dengan struktur sesar yang ada dilokasi penelitian.

Gambar 4.21. Kenampakan longsor tipe Flowdi Desa Pulau Timun.

53
4.3.4.3. Lokasi Pengamatan Longsor 3
Lokasi pengamatan longsor 3 terdapat di Desa Penandingan tepatnya di
sungai Penandingan. Longsor tersebut dapat diinterpretasikan memiliki tipe Flowatau
biasa disebut sebagai aliran dan longsoran memiliki tinggi ± 3,5 meter. Singkapan
longsor ditemukan di Formasi Qhvmemiliki litologi batuan vulkanik dengan kondisi
lapuk, kondisi tersebut diakibatkan oleh perubahan cuaca dan vegetasi yang tumbuh di
sekitarnya. Akibat adanya peresapan air tersebut, berat massa batuan akan bertambah
sehingga longsor dapat terjadi pada lokasi yang tanahnya kurang padat atau kompak.
Longsoran ini termasuk dalam kelas curam dan berada pada elevasi 600 mdpl yang
menunjukkan bahwa morfologinya perbukitan tinggi (Widyatmanti, 2016). Singkapan
longsor ditemukan di Formasi Seblat ini dalam kondisi lapuk, kondisi tersebut
diakibatkan oleh perubahan cuaca dan vegetasi yang tumbuh di sekitarnya. Lokasi
pengamatan longsor 3 ini tidak terlalu dekat dengan struktur sesar yang ada dilokasi
penelitian.

Gambar 4.22. Kenampakan longsoran tipe Flow di Desa Penandingan.

4.3.4.4. Lokasi Pengamatan Longsor 4


Lokasi pengamatan longsor 4 berada di Desa Lubuk Dalam tepatnya di sungai
Masam Bulau. Longsor tersebut dapat diinterpretasikan memiliki tipe Flow(Varnes,
1996). Memiliki azimuth longsor N 1100E dan Singkapan longsor memiliki tinggi ± 3,5
meter. Longsoran ini termasuk dalam kelas curam dan berada pada elevasi 600 mdpl
yang menunjukkan bahwa morfologinya perbukitan tinggi (Widyatmanti, 2016).
Longsor terjadi akibat adanya peresapan air tersebut, berat massa batuan akan
bertambah sehingga longsor dapat terjadi pada lokasi yang tanahnya kurang padat atau
kompak (Gambar 4.23). Kehadiran longsor pada lokasi ini masih berdekatan dengan
struktur sesar yang berkembang di daerah penelitian. Sehingga diinterpretasikan
longsoran terjadi karena pengaruh struktur.

54
Gambar 4.23. Kenampakan longsoran tipe Flow di Desa Lubuk Dalam, Sungai Bunge
Mutung.

Tabel 4.7 Perbandingan longsor didaerah penelitian

55
4.3.5. Diskusi
Longsoran yang ditemukan di lokasi penelitian ditemukan di Formasi Qhv dan
Granit. Terjadinya longsor disebabkan oleh struktur yang berkembang di daerah
penelitian dan didukung juga dengan faktor lainya seperti litologi batuan penyusun,
intensitas hujan dan kelerengan yang curam. Karena potensi longsor akibat erosi tanah
pada lereng terjal tinggi, makan semakin besar luas lereng terjal maka semakin besar
pula resiko terjadinya longsor.
Berdasarkan hasil analisis Dd (Kerapatan drainase) dan HI (Hypsometric Index)
yang dilakukan pada segmen 3 daerah penelitian, terlihat bahwa nilai Dd rendah (1,940
km/km2) yang artinya memiliki tekstur permukaan halus sampai kasar. Sukiyah (2015)
menjelaskan bahwa daerah dengan nilai kerapatan rendah hingga sedang dicirikan
dengan relief yang tidak begitu kasar. Tekstur permukaan ini terbentuk karena aktivitas
tektonik yang membentuk struktur geologi dalam skala yang luas atau besar, contohnya
gawir sesar dan megafold. Nilai kerapatan juga menggambarkan lapisan bawah
permukaan yang mudah menyerap fluida dan bersifat permeable. Lapisan yang
permeable cenderung mudah mengalami pergerakan tanah.
Selain itu, hasil analisis HI daerah Tanjung Sakti dan sekitarnya
menggambarkan adanya tingkat reosi lereng dan sungai. Nilai HI di lokasi penelitian
pada segmen 3 sebesar 0,54. Dengan demikian dapat diartikan kurva (Gambar 4.24)
cenderung cekung. Artinya kurva cekung menandakan bahwa lokasi peneitian masuk
dalam cekungan pengaliran stadia dewasa hingga tua.

56
Gambar 4.24. Kurva hipsometrik yang menggambarkan tingkat kemiringan lereng pada
segmen 3 sub-DAS lokasi penelitian.
Berdasarkan analisis data dapat ditarik kesimpulan bahwa daerah Tanjung Sakti
Pumi dan Sekitarnya memiliki komponen batuan yang mudah menyerap melalui pori-
pori atau rekahan. Lereng adalah salah satu penyebab utama terjadinya longsor atau
pergerakan tanah. Longsor dapat terjadi di daerah penelitian sebagai akibat dari proses
permukaan yaitu erosi dan denudasi. Proses tersebut memilii persentase yang tinggi jika
dilihat dari buktu-bukti di lapangan. Jika dilihat dari kurva hipsometri bahwa laju reosi
di daerah Tanjung Sakti dan sekitarnyamemiliki pengaruh yang relative lebih cepat
terhadap terjadinya longsor. Artinya daerah penelitian memiliki potensi longsor yang
relative tinggi.

57
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian pada Daerah Tanjung Sakti Kabupaten Lahat


ProvinsiSumatera Selatan, dapat disimpulkan :
1. Geologi lokal lokasi penelitian merujuk Meliani (2022) yang memperlihatkan
bentuk lahan Dataran Rendah (DR), Perbukitan Rendah Denudasional (PRD),
dan Perbukitan Denudasional (PD), dan Perbukitan Tinggi Curam (PTC).
Stratigrafi daerah penelitian dari tua ke muda terbagi menjadi 4 Formasi, yaitu :
Formasi Hulusimpang, Formasi Seblat, Formasi Granit dan Qhv. Formasi
Hulusimpang terdiri dari batuan andesit yang berumur Oligosen-Miosen Awal,
Formasi Seblat terdiri dari satuan batupasir, batuserpih dan batulanau berumur
Miosen Awal-Miosen Tengah yang berada pada lingkungan neritik. Selanjutnya
Formasi Granit terbentuk pada Miosen Tengah dan pada holosen terbentuk
Formasi Qhv.
2. Analisis aktivitas tektonik berdasarkan yang dilakukan di daerah Tanjung Sakti
dan sekitarnya menghasilkan sub-DAS Air Manna yang mengalir dari utara -
barat daya lokasi penelitian. Penentuan sub-DAS tersebut menggunakan analisis
morfometri dengan beberapa parameter, diantaranya yaitu Drainage Density
(DD), Asymmetry Factor (AF), Hypsometric Curve and Hypsometric Integral
(HI), Mountain Front Sinuosity (Smf), Valley Floor Widht and Height Ratio
(Vf), dan Index of Active Tectonic (IAT) dengan hasil perhitungan pada sub-
DAS Air Manna terbagi menjadi empat segmen, yaitu segmen bagian cekungan
(segmen 1 dan segmen 2), dan segmen bagian perbukitan (segmen 3 dan segmen
4).
3. Berdasarkan hasil analisis dan perhitungan analisis morfotektonik, lokasi
penelitian memiliki morfologi dengan tingkat aktivitas tektonik tinggi. Selain itu
juga, proses permukaan seperti erosi dan denudasi juga mempengaruhi dalam
pembentukan morfologi lokasi penelitian. Sehingga menyebabkan lokasi
penelitian memiliki topografi seperti saat ini dengan potensi longsor atau
pergerakan tanah yang memungkinkan dapat terjadi.

58
DAFTAR PUSTAKA
Amin, T.C., Kusmana, Rustandi, E., dan Gafoer, S., 1993.Peta Geologi Lembar Manna
dan Enggano Skala (1:25.000),Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi:
Bandung.
Barber, A.C., Crow M.J., dan Milsom, J.S., 2005.Sumatra: Geology, Resources and
Tectonic Evolution: Geological Society Memoirs,p. 282.
Bhatt, C.M., Chopra, R., dan Sharma, P.K., 2007.Morphotectonic Analysis In
Anandpur Sahib Area, Punjab (India) Using Remote Sensing And Gis
Approach. Journal of the Indian Society of Remote Sensing, v.35, no.2,
2007.
Bull W.B., 2007.Tectonic geomorphology of mountains: A New approach to
Paleoseismology. Wiley-Blackwell, Oxford,p.328.
Bull W.B., 2009.Geomorphic responses to climatic change, Blackburn Press, New
Jersey, p.326.
Bull, W.B., and MC. Fadden, L.M., 1977.Tectonic geomorphology north and south of
the Garlock Fault. California. J. of Geomorphology,p.15-32.
Dehbozorgi, M., Poukermani, M., Arian, M., Matkan, A.A., Motamedi, A., dan
Hosseiniasi, A., 2010.Quantitative analysis of relative tectonic activity in The
Sarvestan Area, Central Zagros, Iran. Geomorphology, p.1-13.
Doornkamp, J.C., 1986.Geomorphological Approaches to The Study of Neotectonics.
Journal of The Geological Society, v.143, p.335-342.
El Hamdouni, R., Irigay, C., Fernandes, T., Chacon, J., dan Keller, E. A., 2008,
Assessment of Relative Active Tectonics, Southwest Border of Sierra Nevada
(Southern Spain), Geomorphology, v.96, p.150-173.
Eyles, N. danScheidegger, A. E., 1999.Neotectonic Jointing Control on Lake Ontario
Shoreline Orientation at Scarborough,Geoscience Canada, p.26.
Fossen, H., 2010. Structural Geology. New York: Cambridge University Press.
Gentana, D., Sulaksana, N., 2018.Index of Active Tectonic Assessment: Quantitative-
based Geomorphometric and Morphotectonic Analysis at Way Belu Drainage
Basin, Lampung Province, Indonesia. International Journal On Advance Science
Engineering Information Technology.
Hall, D.M., Buff, B.A., Courbe, M.C., Seubert, B.W., Silahan, M., dan Wirabudi, A.D.,
1993.The Southern Fore-Arc Zone of Sumatra: Cenozoic Bain Forming
Tectonism And Hydrocarbon Potential. Proceedings 22nd Annual Convention,
IPA, p.97-116.
Hamilton, W., 1979.Tectonics of the Indonesia Region: United States Geological.
Survey Professional, p.1078.
Horton, R.E., 1941.Sheet Erosion-Present and Past, Am. Geophys. Union, Tr
Symposium on Dynamics of Land Erosion, p.299-305.
Horton, R. E., 1945.Erosional Development of Streams and Their Drainage Basins;
Hydrophysical approach to Quantitative Morphology.Geol. Soc. Am., Bull.,
v.56,p.275-370.

59
Hugget, R.J., 2007.Fundamentals of Geomorphology. Advances in neonatalcare
:Official Journal of The National Association of Neonatal Nurses, v.11, p. 52-
59.
Keller, E.A., dan Pinter, N., 2002.Active Tectonics: Earthquakes, Uplift and
Landscapes. Prentice Hall. New Jersey, p.338.
Keller, E.A., dan Pinter, N., 1996.Active tectonics,Upper Saddle River, NJ:
Prentice Hall, v.19.
Meliani, Y.A., 2022. Geologi Daerah Penandingan dan sekitarnya, Kabupaten Lahat,
Provinsi Sumatera Selatan. Universitas Sriwijaya: Palembang (Unpublished)
Muller, J.E., 1968.An introduction to the hydraulic and topographic sinuosity indexes.
Annals Association of American Geographers, v.58, p.371-385.
Rebai, N.,2013.DEM and GIS Analysis of Sub-Watersheds to Evaluate Relative
Tectonic Activity. A Case Study of The North–South Axis (Central Tunisia).
Earth Sci Inform, Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Rickard, M.J., 1972. Fault Classification And Discussion. Geological Society of
America Bulletin, v.83, p.2545-2546.
Saad, R., Tonnizam, E., 2012.Groundwater Detection in Alluvium Using 2-D Electrical
Resistivity Tomography (ERT),v.17, p.371-372.
Scheidegger, Carlos.2008.Revisiting Histograms and Isosurface Statistics. Science
Foundation Ireland
Sharpe, C.F.S., 1983.Landslide and Related Phenomena. Columbia University Press.
Silva, P.G., 1994.Evolución geodinámica de la depresión del Guadalentín desde el
Mioceno superior hasta la Actualidad: Neotectónica geomorfología. Ph.D.
Dissertation, Complutense University, Madrid.
Suripin. 2002. Pengelolaan Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta: Andi.
Strahler AN., 1952.Hypsometric (area-altitude) analysis of erosional topography. Geol
Soc, v.63, p.1117–1142.
Strahler I., 1964.Quantitative geomorphology of drainage basins and channel
networks, Handbook of Applied Hydrology: Ed. By Ven Te Chow, McGraw
Hill Book Company. New York, p.39-76.
Soewarno. 1991. Hidrologi: Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai
(Hidrometri), Bandung: Nova.
Sukristiyanti. 2018. Analisis Morfometri DAS di Daerah Rentan Gerakan Tanah.
Seminar Nasional Geomatika.
Sukiyah, Emi. 2009. The erosion model of the Quaternary volcanic terrain in southern
part of Bandung basin. Postgraduate Program. Padjadjaran University:
Bandung.
Sukiyah, E., Sulaksana, N., Hendarmawan, dan Rosana, M.F. 2010.Peran
Morfotektonik DAS dalam Pengembangan Potensi Energi Mikro, Hidro di
Cianjur-Garut Bagian Selatan. Penelitian Andalan, LPPM,UNPAD.
Sulaksana, N., Sukiyah, E., Sudradjat, A., Sjafrudin, A., Haryanto, Edi Tri., 2011.
Karakteristik morfotektonik DAS Cimanuk bagian hulu dan implikasinya

60
terhadap intensitas erosi-sedimentasi di wilayah pembangunan Waduk Jatigede.
Penelitian KILAB, LPPM, UNPAD.
Sukiyah, E., 1993. Identifikasi Zona Kerentanan Lahan Berdasarkan Analisis
Kelurusan dari Foto Udara Daerah Curug Agung dan Sekitarnya
Kabupaten Subang Jawa Barat. Jatinangor: Skripsi. Jurusan Geologi,
FMIPA, Universitas Padjadjaran, Pp. 117.
Twidale, C.R., 2004.River Patterns And Their Meaning. Earth-Science Reviews 67,
p.159– 218.
Widyamanti, Wirastuti dan Prima,D.R.S., 2016.Identification Of Topographic
Elements Composition Based On Landform Boundaries From Radar
Interferometry Segmentation (Preliminary Study On Digital Landform
Mapping). IOP Conference Series: Earth and Environmental Science.
Wilcox, R.E., Harding, T.P., dan Seely, D.R., 1973, Basic wrench tectonics,
American Association of Petroleum Geologists (AAPG) Bulletin, v.57, no.1,
p.74-96.
Yulihanto, B., Situmorang, B., Nurdjajadi, A., dan Sain, B., 1995.Structural Analysis of
The Onshore Bengkulu Forearc Basin and its Implication For Future
Hydrocarbon Exploration Activity. Proceedings 24th Annual Convention, IPA
p.85-86.

61

Anda mungkin juga menyukai