Anda di halaman 1dari 65

GEOLOGI DAERAH PENANDINGAN DAN SEKITARNYA, KECAMATAN

TANJUNG SAKTI PUMI, KABUPATEN LAHAT, PROVINSI SUMATERA


SELATAN

Laporan ini adalah bagian dari mata kuliah Pemetaan Geologi, dan
merupakan penelitian tahap pertama dari Tugas Akhir untuk
memperoleh gelar Sarjana Teknik (ST) Geologi
pada Program Studi Teknik Geologi

Oleh :
Yuananda Anggi Meliani
03071181722008

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2022
i
UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh Bismillahirrahmanirrahim.


Segala puji bagi Allah SWT, berkat karunia dan kasih sayang-Nya, saya dapat
menyelesaikan laporan ini dengan tepat waktu meskipun disana sini dijumpai
kekurangan. saya menyadari bahwa banyak pihak yang terlibat dan turut membantu
dalam penyelesaian laporan ini. Melalui kesempatan yang baik ini, penulis bermaksud
menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Elisabet Dwi Mayasari, S.T., M.T. sebagai Ketua Program Studi Teknik Geologi,
Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya.
2. Prof. Dr. Ir. Edy Sutriyono, M.Sc. sebagai dosen pembimbing yang telah
memberikan ilmu dan bimbingan kepada penulis.
3. Pembimbing Akademik Ibu Harnani, S.T., M.T dan tim dosen lainnya yang
telah memberikan ilmunya, saran bagi penulis selama menyusun laporan dan
dalam perkuliahan.
4. Kedua orangtua tercinta, Sudiro dan Suparni yang senantiasa melangitkan doa-
doa, yang telah banyak berkorban keringat dan batinnya, selalu memberikan
nasehat, kasih sayang serta semangatnya. Terima kasih telah menjadi orangtua
yang sempurna.
5. Orang yang paling aku cintai yaitu diriku sendiri, terima kasih sudah selalu
bertahan dalam segala macam keadaan, yes you can and you are strong.
6. Teman seperjuangan pemetaan Ghofurul Muminin, yang telah berjuang bersama
dalam suka dan duka saat sebelum pemetaan hingga setelah pemetaan
7. Teman satu pembimbing Astria, Feqqi, Risa, Clara, Siska, Anissa, Mia, Ishmi,
Vira dan Agung yang telah berjuang bersama dan saling mendukung dalam
penyusunan laporan.
8. Grup Sarjana dan Ubur-ubur squad yang tak pernah berhenti memberikan
semangat serta masukan kepada penulis.
9. Teman-teman Teknik Geologi Universitas Sriwijaya angkatan 2017 yang selalu
memberikan semangat dan dukungannya.
Penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat dan memotivasi rekan-rekan
pembaca serta dapat digunakan sebagai sumber referensi dan bahan bacaan demi
peningkatan ilmu pengetahuan geologi. Penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
memperbaiki laporan ini.

Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh, Terima Kasih.

Palembang, 14 Februari 2022


Penulis

Yuananda Anggi Meliani


NIM 03071181722008

ii
PERNYATAAN ORISINALITAS PEMETAAN GEOLOGI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya di


dalam naskah pemetaan geologi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan
oleh pihak lain untuk mendapatkan karya atau pendapat yang telah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip (dalam naskah ini dan
disebut dalam sumber kutipan dan daftar pustaka).

Apabila ternyata dalam naskah laporan pemetaan geologi ini dapat dibuktikan adanya
unsur-unsur plagiat, saya bersedia laporan ini digugurkan dan tidak diluluskan pada
mata kuliah pemetaan geologi, serta diproses sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 25 Ayat 2 dan Pasal 70).

Palembang, 14 Februari 2022

Yuananda Anggi Meliani


NIM 03071181722008

iii
ABSTRAK

Lokasi penelitian berada di daerah Penandingan dan sekitarnya, Kecamatan


Tanjung Sakti PUMI, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan dengan total area 81 km2
(9x9 km2). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur
berdasarkan penelitian yang telah dipublikasikan oleh peneliti sebelumnya, observasi
lapangan langsung, analisis geomorfologi, stratigrafi, pencatatan data kedudukan
lapisan, pengerjaan peta-peta analisis struktur geologi dan analisis laboratorium berupa
analisis petrografi dan analisis paleontologi. Satuan geomorfologi daerah penelitian
dibagi menjadi tiga satuan yaitu perbukitan tinggi denudasional dengan lereng curam
(PTC), perbukitan tinggi denudasional dengan lereng datar-miring (PTM) dan Channel
Irreguler Meander (CIM). Kondisi litologi dibagi menjadi 5 unit batuan, yaitu Satuan
Batuan Hulusimpang (Tomh), Satuan Batuan Seblat (Toms), Satuan Granit (Tmg), di
atas satuan Granit yaitu Tuff lapili (Qhv) dan breksi gunungapi (Qhv). Struktur geologi
yang berkembang didaerah penelitian yaitu Sesar Pulau Timun dan Sesar Marang Batu
Sedangkan analisis petrografi dilakukan sebanyak 8 sampel meliputi batuan beku yaitu
granit, andesit dan breksi gunungapi, sampel batuan sedimen meliputi batupasir.

Kata Kunci: Geologi, struktur, petrografi

iv
ABSTRACT

The study sites are in the Penandingan area and surrounding, Tanjung Sakti
PUMI District, Lahat Regency, South Sumatra with 81 km2 (9x9 km2). The method
used in this research is a literature study based on research that has been published by
previous researchers, direct field observations, geomorphological analysis,
stratigraphy, recording of the rock layer’s position, processing maps of geological
structure analysis, and laboratory analysis in the form of petrographic analysis and
paleontological analysis. Geomorphological units of the study area are divided into
three units, namely denudational high hills with steep slopes (PTC), denudational high
hills with flat-sloping slopes (PTM), and Channel Irregular Meander (CIM). The
lithology condition is divided into five rock units, namely the Hulusimpang Unit
(Tomh), Seblat Rock Unit (Toms), Granite Unit (Tmg), above the Granite unit, namely
Lapilli Tuff (Qhv) and breccia (Qhv, The geological structure developed in the study
area is the Pulau Timun Fault and Marang Batu Fault. While the petrographic analysis
was carried out on as many as eight samples, including igneous rock, namely granite,
andesite and breccia, samples Rock sedimentary is sandstone.

Keywords : Geology, Structure, Petrography

v
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................................... i
UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................................i
PERNYATAAN ORISINALITAS PEMETAAN GEOLOGI................................... iii
ABSTRAK.......................................................................................................................iv
ABSTRACT..................................................................................................................... v
DAFTAR ISI................................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR....................................................................................................viii
DAFTAR TABEL............................................................................................................x
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Maksud dan Tujuan................................................................................................. 1
1.3 Rumusan Masalah....................................................................................................1
1.4 Batasan Masalah...................................................................................................... 2
1.5 Lokasi dan Kesampaian Daerah Telitian................................................................. 2
BAB II GEOLOGI REGIONAL....................................................................................3
II.1. Tatanan Tektonik................................................................................................... 3
II.2. Stratigrafi Regional................................................................................................ 5
III.3.Struktur Geologi.................................................................................................... 6
BAB III METODOLOGI...............................................................................................8
III.1 Tahap Persiapan..................................................................................................9
3.1.1 Kajian Pustaka............................................................................................. 9
3.1.2 Pembuatan Peta Pendahuluan...................................................................... 9
3.1.3 Survei Lapangan.......................................................................................... 9
3.1.4 Pengurusan Perizinan dan Kelengkapan Alat..............................................9
3.1.5 Pembuatan petapendahuluan.............................................................................9
3.1.6 Survei Pendahuluan............................................................................................9
III.2 Observasi Lapangan................................................................................... ......10
3.2.1 Perencanaan lintasan..........................................................................................................10
3.2.2 Observasi Singkapan.........................................................................................................10
3.2.3 Pengukuran komponen morfologi, stratigrafi dan struktur............................10

vi
3.2.4 Pemerconto............................................................................................................................12
III.3 Analisa Laboratorium...................................................................................... 13
3.3.1 Analisa Petrografi.....................................................................................13
3.3.2 Analisa Paleontologi................................................................................. 15
3.3.3 Analisa Geomorfologi...............................................................................15
3.3.4 Analisa Struktur........................................................................................ 19
III.4 Kerja Studio.......................................................................................................20
III.5 Penyusunan Laporan........................................................................................ 20
BAB IV GEOLOGI DAERAH PENELITIAN...........................................................21
IV.1 Geomorfologi..................................................................................................... 21
4.1.1 Orogen Barisan.......................................................................................... 21
4.1.2 Analisis Morfografi....................................................................................22
4.1.3 Analisa Morfometri...................................................................................24
4.1.4 Proses Geomorfik...................................................................................... 25
4.1.5 Satuan Geomorfik...................................................................................... 28
IV.2 Stratigrafi........................................................................................................... 30
4.2.1 Formasi Hulusimpang................................................................................31
4.2.2 Formasi Seblat........................................................................................... 32
4.2.3 Satuan Granit............................................................................................. 36
4.2.4 Formasi Qhv.............................................................................................. 38
IV.3 Struktur Geologi................................................................................................39
4.3.1 Sesar Naik Marang Batu............................................................................ 40
4.3.2 Sesar Naik Pulau Timun............................................................................ 41
4.3.3 Sesar Naik Pulau Timun............................................................................ 42
4.3.4 Mekanisme Pembentukan Struktur Geologi.............................................. 43
BAB V SEJARAH GEOLOGI..................................................................................... 46
BAB VI KESIMPULAN............................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... xi

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1 Lokasi administratif daerah penelitian…………………….........……………........2


Gambar 2. 1 Rekonstruksi pada 150, 110, 90 dan 50 Juta tahun lalu...............……...............4
Gambar 2. 2 Tektonik Regional Cekungan Bengkulu (Hall et al., 1993)……………....…..5
Gambar 2. 3 Stratigrafi Regional Cekungan Bengkulu…………………………………...........6
Gambar 2. 4 Struktur Cekungan Bengkulu (Yulihanto et al, 1995)…………......………….7
Gambar 3. 1 Diagram alir penelitian dari tahap awal sampai tahap akhir............................. 8
Gambar 3. 2 Pengukuran Metode Brunton and Tape (Compton, 1985)...............................11
Gambar 3. 3 Pengukuran Ketebalan Lapisan Kemiringan Lereng (Ragan,1985)........... 11
Gambar 3. 4 Teknik pengukuran bidang struktur........................................................................12
Gambar 3. 5 Diagram penamaan batuan beku (IUGS, 1973)..........................................14
Gambar 3. 6 Diagram klasifikasi batuan sedimen klastik (Pettijohn, 1975)................... 14
Gambar 3. 7 Diagram klasifikasi batuan tuff (Fisher, 1984)...........................................15
Gambar 3. 8 Klasifikasi pola aliran sungai (Twidale, 2004)...........................................17
Gambar 3. 9 Klasifikasi longsor (Highland dan Jhonson, 2004).................................... 19
Gambar 3. 10 Klasifikasi sesar berdasarkan Fossen (2010)............................................20
Gambar 3. 11 Diagram Klasifikasi Sesar menurut Rickard (1972).................................20
Gambar 4. 1 Orogen Barisan (dimodifikasi dari Simandjuntak dan Barber, 1996)........ 23
Gambar 4. 2 Peta Elevasi daerah penelitian.................................................................... 24
Gambar 4. 3 Peta kemiringan lereng daerah penelitian...................................................25
Gambar 4. 4 Proses permukaan kenampakan longsor di daerah penelitian.................... 26
Gambar 4. 5 Kenampakan andesit yang mengalami proses pelapukan...........................26
Gambar 4. 6 Sungai Simpur memperlihatkan sungai berbentuk lembah U.................... 27
Gambar 4. 7 Peta pola aliran dan diagram Rose daerah penelitian................................. 28
Gambar 4. 8 Perbukitan Miring Denudasional................................................................29
Gambar 4. 9 Bentuk lembah “V” pada bentuk lahan perbukitan tinggi lereng curam....29
Gambar 4. 10 Perbukitan Tinggi Denudasional Lereng Curam Dan Bukti longsor...... 30
Gambar 4. 11 Channel Irregular Meander (CIM)........................................................... 30
Gambar 4. 12 Kolom stratigrafi daerah penelitian.......................................................... 31
Gambar 4. 13 Singkapan Andesit LP 40 pada Sungai Anak Kemang............................ 31
Gambar 4. 14 Kenampakan mikroskopis andesit Formasi Hulusimpang LP 40 ...........32
Gambar 4. 15 Kontak Formasi Hulusimpang dan Formasi Seblat LP 17....................... 32
Gambar 4. 16 Singkapan perselingan Formasi Seblat DI sungai buluh LP 16.............. 33
Gambar 4. 17 Kenampakan mikroskopis batupasir Formasi Seblat LP 35.....................34
Gambar 4. 18 Kenampakan fosil foraminifera planktonik pada LP 35...........................34
Gambar 4. 19 Kenampakan fosil foraminifera benthonik pada LP 35............................35
Gambar 4. 20 Singkapan Granit LP 76 lokasi Sungai Bunga Mutung............................35
Gambar 4. 21 Kontak Formasi Hulusimpang dan Granit (Tmg) LP 8............................36
Gambar 4. 22 Kenampakan mikroskopis granit LP 47 .................................................. 36
Gambar 4. 23 Singkapan Satuan Tuff LP 57 lokasi Sungai Penandingan ................... 37
Gambar 4. 24 Kenampakan mikroskopis tuff LP 57 ......................................................37
Gambar 4. 25 Singkapan breksi vulkanik LP 60 Sungai Tanjung Bulan........................38

viii
Gambar 4. 26 Kenampakan mikroskopis breksi vulkanik Formasi Qhv.........................39
Gambar 4. 27 Pola kelurusan tanpa skala daerah penelitian........................................... 39
Gambar 4. 28 Kenampakan Sesar mendatar di sungai Marang batu...............................40
Gambar 4. 29 Hasil Analisis stereografis Sesar Marang Batu........................................ 41
Gambar 4. 30 Kenampakan Sesar naik di sungai Pino....................................................41
Gambar 4. 31 Hasil Analisis stereografis Sesar Pulau Timun.........................................42
Gambar 4. 32 Kenampakan Sesar naik di sungai Manna................................................42
Gambar 4. 33 Hasil Analisis stereografis Sesar Pulau Timun bawah ............................ 43
Gambar 4. 34 Simple shear model daerah penelitian (Harding et al., 1974).................. 43
Gambar 4. 35 Mekanisme perkembangan struktur di daerah penelitian......................... 44
Gambar 4. 36 Mekanisme perkembangan struktur di daerah penelitian......................... 44
Gambar 5. 1 Pengendapan Formasi Hulusimpang pada Oligosen – Miosen Awal.........44
Gambar 5. 2 Pengendapan Formasi Seblat pada Miosen Awal – Miosen Tengah..........45
Gambar 5. 3 Terbentuknya intrusi granit pada Miosen Tengah......................................46
Gambar 5. 4 Perkembangan struktur sesar pada Pliosen Akhir-Plistosen.......................47
Gambar 5. 5 Perkembangan struktur sesar pada Plistosen.............................................. 47
Gambar 5. 6 Terbentuknya Formasi Qhv pada Holosen................................................. 48
Gambar 5. 7 Keadaan geologi daerah telitian pada keadaan sekarang............................49

ix
DAFTAR TABEL
Table 3. 1 Klasifikasi Kemiringan Lereng Widyatmanti et. al (2016)............................16
Table 3. 2 Klasifikasi morfografi berdasarkan elevasi (Widyatmanti dkk, 2016).......... 16
Tabel 3. 3 Klasifikasi pola aliran sungai (Twidale, 2004)...............................................17

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Tabulasi Data Lapangan


Lampiran B. Peta Lintasan Lokasi Penelitian
Lampiran C. Peta Geomorfologi
Lampiran D. Analisis Petrografi
Lampiran E. Analisis Paleontologi
Lampiran F. Analisis Struktur Geologi
Lampiran G. Profil Stratigrafi
Lampiran H. Peta Geologi Daerah Penelitian

xi
BAB I
PENDAHULUAN

Kegiatan yang dilakukan di Desa Penandingan, Kecamatan Tanjung Sakti Pumi,


kabupaten Lahat, provinsi Sumatera Selatan merupakan kegiatan pemetaan geologi
untuk data permukaan. Data penelitian ini merupakan hasil dari observasi lapangan dan
beberapa analisis laboratorium yang diambil dari beberapa lokasi pengamatan.
Kemudian, bab ini menjelaskan mengenai latar belakang, maksud dan tujuan, rumusan
masalah, batasan masalah, serta ketersampaian daerah.

I.1 Latar Belakang


Penelitian ini dilakukan di desa Penandingan, Kecamatan Tanjung Sakti Pumi,
Provinsi Sumatera Selatan. Cekungan Bengkulu merupakan salah satu cekungan muka
busur (fore arc basin) batuan Tersier di Pulau Sumatera dengan kondisi tektonik yang
masih aktif. Cekungan tersebut diapit oleh dua sistem sesar besar yang memanjang di
sebelah barat Sumatera, yaitu Sesar Semangko di daratan dan Sesar Mentawai di
wilayah offshore (Hidayat W., 2012). Cekungan ini terbentuk sebelum Miosen Tengah
atau Paleogen. Pada waktu itu Cekungan Bengkulu masih merupakan bagian barat
Cekungan Sumatera Selatan. Kemudian pada periode setelah Miosen Tengah atau
Neogen, Pegunungan Busur naik, yang menyebabkan Cekungan Bengkulu dipisahkan
dari Cekungan Sumatera Selatan dan pada saat itu Cekungan Bengkulu menjadi fore arc
basin.

I.2 Maksud dan Tujuan


Maksud dari penelitian ini adalah untuk melakukan pemetaan geologi permukaan
didaerah Penandingan, Kecamatan Tanjung Sakti Pumi. Adapun maksud dan tujuan dari
perpetaan geologi ini adalah :
1. Pengamatan bentang alam di daerah penelitian untuk menyusun klasifikasi
geomorfologi.
2. Pengamatan dan pengukuran singkapan batuan untuk menyusun stratigrafi lokal.
3. Mengidentifikasi dan pengukuran elemen-elemen struktur untuk
menginterpretasikan mekanisme deformasi yang terjadi pada batuan.
4. Menyusun sejarah geologi di daerah studi.
I.3 Rumusan Masalah
Permasalahan geologi yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu
menitikberatkan kepada kondisi geologi yang ada pada Daerah Penandingan,
Kecamatan Tanjung Sakti Pumi dan Sekitarnya, untuk mendapatkan data geologi
permukaan. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu :
1. Apa saja bentuk lahan dan bagaimana proses geomorfologi yang ada pada
daerah penelitian?
2. Bagaimana struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian serta urut-
urutan stratigrafi yang menyusun daerah penelitian?

1
3. Menganalisis komponen struktur serta hubungannya dengan proses tektonik
pada daerah telitian?
4. Bagaimana skema sejarah geologi pada daerah penelitian?

I.4 Batasan Masalah


Batasan masalah dari penelitian ini mengacu kepada permasalahan yang akan
dibahas dan dibatasi oleh luasan daerah penelitian dan data permukaan yang di dapat
selama kegiatan penelitian berlangsung, yang di dalamnya mencakup:
1. Geomorfologi, terdiri atas pembagian bentuk lahan berdasarkan data permukaan
berupa aspek morfologi yang meliputi morfografi dan morfometri, dan aspek
morfogenesa yang meliputi morfogenesa aktif, morfogenesa pasif, dan
morfodinamik, sehingga dapat diketahui kondisi geomorfik pada daerah
penelitian.
2. Struktur geologi, terdiri atas pendeskripsian struktur geologi dan gaya tektonik
yang bekerja berdasarkan data permukaan yang di dapat pada daerah penelitian.
3. Stratigrafi, terdiri atas hubungan antar satuan batuan yang meliputi urut-urutan
pengendapan, karakteristik fisik batuan secara megaskopis dan mikroskopis,
umur batuan, dan lingkungan pengendapan dari setiap satuan batuan
berdasarkan data permukaan.
4. Sejarah geologi, direkonstruksi dengan berlandaskan kepada data permukaan
seperti data geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi. Ketiga parameter
tersebut dijadikan dasar dalam menyinggung sejarah geologi daerah penelitian.

I.5 Lokasi dan Kesampaian Daerah Telitian


Secara Geografis lokasi penelitian berada pada S 040 08` 44,2``- pada S 040 13`
34,0`` dan E I030 01` 35,3`` - E I030 01` 37,6`` . Letak administratif daerah penelitian di
Desa Penandingan, Kecamatan Tanjung Sakti Pumi, Provinsi Sumatera Selatan (gambar
1.1) Luas wilayah pemetaan geologi 9x9 km dengan skala peta 1:50.000. Secara
Regional daerah telitian termasuk dalam peta geologi lembar Manna Enggano (T.C,
Amin dkk, 1993).
Kesampaian daerah telitian membutuhkan waktu kurang lebih tujuh jam (jarak
tempuh 277 km) jika menggunakan jalur darat dengan keberangkatan dimulai dari
Inderalaya Utara, Sumatera Selatan lalu menuju ke desa Penandingan, Kecamatan
Tanjung Sakti Pumi.

Gambar 1.1 Lokasi dan Ketersampaian Daerah Penelitian.

2
BAB II
GEOLOGI REGIONAL

Geologi regional merupakan keadaan geologi dalam wilayah yang lebih luas
baik itu jenis, struktur dan urutan pembentukannya. Geologi regional digunakan sebagai
acuan untuk menginterpretasikan keadaan geologi secara total yang lebih spesifik.
Keadaan geologi regional mencakup tatanan tektonik, geomorfologi, stratigrafi, dan
struktur geologi.

II.1. Tatanan Tektonik


Hall (2016) menyatakan bahwa Indonesia dikelilingi oleh zona subduksi.
Subduksi terdapat pada batas antar lempeng yang bersifat konvergen sehingga terdapat
perbedaan massa jenis antara kedua jenis lempeng tersebut, maka lempeng yang lebih
besar massa jenisnya menunjam ke bawah lempeng lainnya mengakibatkan sering
terjadi gempa yang kuat dan terbentuknya gunung berapi yang masih beraktivitas
(Gambar 2.1). Indonesia pada bagian timur terdapat zona subduksi ditahap
perkembangan yang berbeda ada yang dekat pada hubungan antara subduksi dan
ekstensional, menyebabkan ketinggian tanah membentuk pegunungan serta penurunan
muka air laut yang dicitrakan oleh seismik dan set data.
Menurut Hall (2014) secara umum perkembangan Sundaland dibagi menjadi
dua fase. Fase pertama Permian - Trias, sejak awal sampai akhir Permian terjadi
pergerakan Sibumasu menuju Malaya Timur dan pada waktu bersamaan subduksi terus
terjadi hingga memasuki awal Trias terjadi tumbukan (kolisi) antara blok Sibumasu
dengan Malaya Timur yang menyebabkan banyak proses magmatisme granitoid pada
area ini lalu periode setelah Trias terjadi penunjaman ke arah barat pada lempeng
Pasifik di bagian Asia Timur hingga awal Cretaceous akhir menghasilkan kompleks
akresi. Hall (2014) juga menginterpretasikan bahwa SW Borneo bagian dari Banda dan
kerak yang melandasi Sabah bagian timur Sulawesi berpisah dari Australia pada masa
Jura lalu mengalami akresi dengan Sundaland pada awal Cretaceous sekitar 115 dan
110 Juta tahun lalu. East Java - West Sulawesi (EJWS) dan Blok Sabah - NW Sulawesi
bersatu dengan Asia Tenggara sekitar 90 Juta tahun yang lalu yang ditandai oleh suture
memanjang dari barat Jawa melalui Pegunungan Meratus ke arah utara (Hamilton,
1979), dalam waktu yang bersamaan Woyla intra - oceanic arc mengalami tumbukan
dengan Sumatera bagian barat Sundaland (Barber et al., 2005). Periode setelah Jura
mengalami proses subduksi pada sebagian Indochina hingga ke selatan, dimasa ini
aktivitas vulkanisme berlangsung cukup masif ditandai dengan ketidakselarasan
regional (Clements et al., 2011).
Tahap terakhir pembentukan bagian dari Sundaland seperti pada (Gambar 2.1).
Batuan - batuan yang berada dibawah ketidakselarasan regional berumur Cretacous atau
batuan yang relatif lebih tua dibandingkan batuan yang berada diatas ketidakselarasan
(berumur Eosen atau lebih muda) akan memiliki umur lebih muda, dimana jeda waktu
pada ketidakselarasan ini lebih dari 80 juta tahun (Clements et al., 2011). Batuan -
batuan yang ditemukan sangat terbatas namun memberikan informasi seperti pada
daerah Sarawak dan NW Borneo didominasi oleh endapan klastik terrestrial lingkungan

3
sungai, kecuali bagian ekstrem wilayah Sarawak, Sabah, Barat Sulawesi dan offshore
bagian timur Jawa ditemukan bukti - bukti tipe endapan laut dalam.

Gambar 2.1 Rekonstruksi pada 150, 110, 90 dan 50 Juta tahun lalu. A ialah Argo yang
menjadi East Java – West Sulawesi (EJ – WS), B ialah Banda yang menjadi SW Borneo
(SWB), C ialah Inner Banda yang menjadi Sabah – NW Sulawesi (S – NWS) dan D
ialah Blok Luconia dan Dangerous Ground (Hall 2012, dimodifikasi oleh Hall, 2014).

Cekungan muka busur mulai berkembang di paparan Bengkulu pada Paleogen.


Cekungan Bengkulu merupakan cekungan yang terbentuk pada saat itu. Cekungan
Bengkulu dibedakan menjadi dua fase yaitu Neogen dan Paleogen (Hall et al., 1993).
Cekungan ini pada awalnya merupakan bagian dari Cekungan Sumatera Selatan
kemudian terpisahkan karena Pegunungan Bukit Barisan mengalami penaikan pada
Miosen Tengah. Menurut Hall et al (1993), terdapat adanya gaya ekstensional yang
membentuk half graben di lepas pantai Bengkulu. Di wilayah Bengkulu ini mengalami
pengangkatan dan proses pengikisan pada Paleogen. Sedangkan cekungan ini
mengalami penurunan secara perlahan pada Miosen Awal. Kemudian pada Miosen
Tengah mengalami pengangkatan yang menyebabkan adanya aktivitas magmatic di
sekitarnya. Menurut Yulianto et al (1995) proses penurunan cekungan berakhir pada
Miosen Akhir-Plistosen.
Tektonik di daerah Bengkulu didominasi oleh pergerakan Sesar Sumatera. Sesar
Sumatera di sepanjang Cekungan Bengkulu dibagi menjadi beberapa segmen, dari
selatan yaitu Segmen Kumering, Manna. Musi, dan Segmen Ketaun (Sieh et al, 2000).

4
Gambar 2. 2 Tektonik Regional Cekungan Bengkulu (Hall et al., 1993)

II.2. Stratigrafi Regional


Secara regional Cekungan Bengkulu masuk dalam Zona Jajaran Barisan yang
dicirikan oleh batuan sedimen dan gunungapi tua. Pola pengendapan di Cekungan
Bengkulu di bagi menjadi 2 bagian, yaitu kelompok barisan dan kelompok bengkulu.
Kelompok barisan tediri dari Formasi. Hulusimpang, Batuan Intrusi, Formasi Ranau dan
Batuan Vulkanik, Kelompok Bengkulu terdiri dari Formasi. Seblat, Formasi Lemau,
Formasi Simpangaur, Formasi Bintunan, dan Batuan vulkanik kuarter yang kemudian
dikorelasikan stratigrafi darat dan lepas pantai. Formasi yang terbentuk pada periode
Neogen berurutan dari tua ke muda adalah Formasi Hulusimpang, Formasi Seblat,
Formasi Lemau, Formasi Simpang Aur, dan Formasi Bintunan.
Urutan stratigrafi Cekungan Bengkulu dari tua ke muda menurut Yulihanto et al.
(1995), yaitu Batuan Dasar, Formasi Hulusimpang, Formasi Seblat, Formasi Lemau,
Formasi Simpangaur, Formasi Bintunan/Formasi Ranau, dan Alluvium. Batuan Dasar
Cekungan Bengkulu yang terdiri dari batuan beku granit, granodiorit dan batuan
metamorf merupakan produk Pra-Tersier (Yulihanto et al., 1995). Formasi tertua di
Cekungan Bengkulu menurut Amin et al. (1993), adalah Formasi Hulusimpang yang
tersusun dari batuan lava, breksi vulkanik dan tuff. Formasi ini terendapkan di
lingkungan transisi pada Oligosen Akhir-Miosen Awal (Yulihanto et al., 1995). Formasi
Seblat yang berupa perselingan batuan lempung, lempung karbonatan dan batuan pasir
dengan sisipan batugamping terendapkan selaras di atas Formasi Hulusimpang (Amin et
al., 1993). Lingkungan pengendapan Formasi Seblat berada di laut dangkal hingga laut
dalam pada Miosen Awal-Tengah (Yulihanto et al., 1995). Amin et al. (1993),
menyatakan bahwa batuan lempung, lempung karbonatan, lapisan batubara, batupasir,
konglomerat dan breksi dari Formasi Lemau terendapkan selaras di atas Formasi Seblat.
Formasi Lemau terendapkan di lingkungan transisi hingga laut dangkal pada Miosen
Tengah-Akhir (Yulihanto et al., 1995). Setelah Formasi Lemau, terendapkan secara
selaras Formasi Simpangaur dengan susunan litologi batuan pasir konglomeratan,
batupasir, batulempung mengandung cangkang moluska, dan batupasir tufan (Amin et

5
al., 1993). Keterdapatan batupasir dengan cangkang moluska cukup melimpah pada
Formasi Simpangaur (Heryanto, 2007). Yulihanto et al. (1995), menyatakan bahwa
Formasi Simpangaur terendapkan pada lingkungan transisi yang terjadi pada Miosen
Akhir-Pliosen.
Menurut Yulihanto et al. (1995), Formasi Bintunan yang berupa batupasir tufan,
konglomerat polimik, tuf dan batulempung tufan dengan sisipan lignit dan sisa
tumbuhan menindih secara tidak selaras Formasi Simpangaur. Formasi Bintunan yang
terbentuk pada Pliosen-pleistosen merupakan endapan air tawar dan payau, serta pada
beberapa bagian lingkungan transisi (Yulihanto et al., 1995). Perbandingan stratigrafi
dari Kusnama et al. (1992), Yulihanto et al. (1995) dan Heryanto (2007) yang
dimodifikasi dari Yulihanto et al. (1995) dapat dilihat pada (Gambar 2.2). Satuan
litologi yang tersingkap di daerah penelitian terdiri dari Formasi Seblat, Formasi
Hulusimpang, Satuan granit, breksi, Satuan tuff dan Qhv.

Gambar 2. 3 Stratigrafi Regional Cekungan Bengkulu


(Modifikasi dari Yulianto et al., 1995; Heryanto, 2007).

III.3. Struktur Geologi


Menurut Benyamin et al (2015) sistem graben di Cekungan Bengkulu dikontrol
oleh sesar normal yang berarah NW-SE, N-S, NE-WS yang merupakan pengontrol dari
pembentukan Graben Pagarjati dan Graben Kedurang. Graben Pagarjati terbentuk
selama Oligo-Miosen dengan gerakan dekstral sepanjang Sesar Semangko (Sesar
Ketaun, Sesar Tanjung Sakti, dan Sesar Manna). Pada periode pertama transtensional
terjadi di Miosen Awal-Tengah dimana terbentuk Formasi Hulusimpang dan
berhubungan secara menjari dengan Formasi Seblat yang berlangsung pada saat
transgresi. Kemudian pada Miosen Tengah-Akhir fase tektonik berkembang yang
menyebabkan pengaktifan sesar-sesar tensional. Akibatnya, terisi Formasi Lemau
dengan lingkungan pengendapan laut dangkal menuju laguna. Selanjutnya, terjadi

6
penurunan cekungan pada Miosen Akhir-Pliosen yang menghasilkan Formasi
Simpangaur. Setelah itu, terjadi pengangkatan Pegunungan Barisan dan vulkanisme
yang membentuk Formasi Bintunan pada Plio-Plistosen. Dengan adanya peristiwa
tersebut, Cekungan Bengkulu menjadi fore arc.
Perbandingan antara daratan dan lepas pantai juga memperlihatkan bahwa struktur
geologi telah berkembang. Pada zona daratan, Sesar Napal dengan arah Utara-Selatan
berkembang menjadi Sesar Manna dengan arah Barat Laut-Tenggara (Yulianto, at al,
1995). Perkembangan sistem graben asimetris yang cukup luas berorientasi Barat Laut-
Tenggara berkembang di sekitar Sistem Sesar Mentawai yang berada kea rah Selatan
lepas pantai.
Struktur geologi Cekungan Bengkulu yang terbagi atas dua arah umum, yaitu arah
Barat Laut-Tenggara dan Timur Laut-Barat Daya. Struktur yang berarah Barat Laut-
Tenggara yaitu sesar Tanjung Sakti dan Sesar Ketaun. Sesar-sesar tersebut berhubungan
langsung dengan pola Sesar Semangko dan pola Sesar Mentawai (Yulihanto et al, 1995).
Sedangkan untuk struktur utama dengan arah Timur Laut-Barat Daya adalah Sesar
Bengkenang di bagian Tenggara dan Sesar Bengkulu di Barat Laut cekungan (Gambar
2.3).

Gambar 2. 4 Struktur Cekungan Bengkulu (Yulihanto et al, 1995)

7
BAB III
METODOLOGI

Metode penelitian menggunakan beberapa tahapan dari pra-pemetaan – selama


pemetaan dan setelah pemetaan (Gambar 3.1). Penelitian pada daerah telitian dengan
luasan 9 km x 9 km ini berada pada Lembar Geologi Manna Enggano. Sehingga, salah
satu sumber studi geologi peneliti terdahulu adalah melalui lembar tersebut untuk
menganalisis kondisi geologi daerah telitian lebih dulu sebelum berada di lapangan.
Kemudian, selama kegiatan lapangan dilakukan pengambilan sampel, pengamatan
morfologi dan struktur, serta pengukuran kedudukan yang nantinya dapat dilakukan
tahapan-tahapan selanjutnya, seperti analisa di laboratorium dan melakukan
rekonstruksi geologi.

Gambar 3. 1 Diagram alir penelitian dari tahap awal sampai tahap akhir

8
III.1 Tahap Persiapan
Tahap persiapan merupakan tahap awal sebelum melakukan observasi data di
lapangan Hal ini merupakan kegiatan yang mempelajari keadaan lapangan melalui
literatur – literatur atau studi pustaka terdahulu, pembuatan peta dan survei lapangan.
3.1.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka bertujuan untuk memahami tatanan tektonik di daerah penelitian
serta geomorfologi, stratigrafi dan geologi struktur sekaligus memberikan gambaran
umum sebelum dilakukannya penelitian di lapangan.
3.1.2 Pembuatan Peta Pendahuluan
Peta pendahuluan digunakan sebagai petunjuk lokasi data di lapangan.
Pembuatan peta ini dilakukan menggunakan beberapa aplikasi geologi, antara lain :
MapSource, Globbal Mapper, ArcGIS, dan juga aplikasi grafis seperti : CorelDRAW.
Selain itu, bahan yang digunakan selama pembuatan peta adalah data SRTM sesuai
dengan lokasi penelitian (dalam hal ini, SRTM yang digunakan adalah SRTM 57_14)
atau dapat menggunakan data DEMNAS, koordinat petakan, data sungai, jalan, dan data
administratif lainnya yang dapat diunduh melalui tanahairindonesia.go.id Peta yang
dihasilkan nantinya adalah : peta topografi, peta geologi dan peta administrasi.
3.1.3 Survei Lapangan
Survei Lapangan merupakan tahap yang dilakukan untuk mengetahui kondisi
regional daerah penelitian. Survei lapangan ini dilakukan untuk membuktikan bahwa
kondisi lapangan yang akan di amati sesuai dengan target lokasi penelitian yang telah
dikaji melalui studi pustaka. Kondisi lapangan yang dimaksud meliputi kondisi geologi,
akses jalan menuju lokasi penelitian, tingkat keamanan lingkungan, tersedianya akses
telekomunikasi, dan proses perizinan yang harus dipenuhi sebagai syarat melakukan
penelitian
3.1.4 Pengurusan Perizinan dan Kelengkapan Alat
Tahap ini betujuan untuk Mempersiapkan surat-surat perizinan dengan
melengkapi administrasi berupa surat perizinan penelitian lapangan yang meliputi surat
persetujuan untuk melakukan survei lapangan dan juga mempersiapkan alat-alat yang
diperlukan selama di lapangan seperti : GPS (Global Position System) Garmin, lup,
kompas, meteran, scrabber, palu geologi, HCl, plastik sampel dan buku lapangan.
3.1.5 Pembuatan peta pendahuluan
Pembuatan peta dengan menggunakan beberapa aplikasi antara lain Mapsource,
Global Mapper, Arcgis dan peta geologi lembar Manna dan Enggano. Peta pendahuluan
berfungsi sebagai penunjuk posisi atau lokasi yang relatif dapat diambil data geologinya,
peta pendahuluan meliputi peta geologi, peta administrasi dan peta topografi.
3.1.6 Survei pendahuluan
Survei pendahuluan merupakan perencanaan atau tahapan awal kegiatan
lapangan, bertujuan untuk mengumpulkan data permukaan melalui pengamatan atau
observasi langsung di lapangan, akomodasi dan transportasi selama melakukan
penelitian, mengetahui ketercapaian lokasi sehingga dapat dibuatnya perencanaan
lintasan dan memastikan banyaknya kehadiran singkapan yang ideal untuk di teliti.

9
III.2 Observasi Lapangan
Observasi lapangan merupakan pengamatan lapangan yang dilakukan dengan
mengumpulkan data yang akan di proses untuk selanjutnya digunakan dalam
pengolahan data. Beberapa proses yang digunakan yakni dengan menyinkronisasi hasil
dari peneliti terdahulu seperti peta dan jurnal dengan kondisi lapangan pada daerah
telitian.
3.2.1 Perencanaan lintasan
Perencanaan dan pemilihan lintasan dibuat berdasarkan reconnaissance
sketchmap. Teknik ini dilakukan dengan cara memotong atau tegak lurus dengan arah
umum bidang perlapisan dan indikasi struktur geologi. Kenampakan tersebut dapat
dilihat juga dari kerapatan kontur dan pola aliran sungai. Kedua faktor tersebut, secara
umum menunjukkan adanya manifestasi dari singkapan. Selain itu, pada lokasi
penelitian dalam pembuatan lintasan perlu memperhatikan pola kelurusannya. Sebagai
acuan dasar dalam perencanaan lintasan serta struktur. Manfaatnya untuk menunjukkan
jenis struktur yang mengontrol seperti sesar, lipatan dan kekar. Adapun penentuan
lintasan pengamatan batuan menggunakan metode transverse sepanjang sungai dan
memakai teknik scanline.
3.2.2 Observasi singkapan
Observasi/pengamatan singkapan, meliputi pengamatan objek secara jauh untuk
mengetahui pola penyebaran batuan serta interpretasi pembentukannya. Untuk secara
dekat seperti fisik batuan beserta pengambilan foto singkapan litologi, morfologi,
azimuth foto dan contoh sampel.
3.2.3 Pengukuran komponen morfologi, stratigrafi dan struktur
Pengamatan morfologi dilakukan untuk mengetahui satuan bentuk lahan daerah
penelitian. Pengamatan stratigrafi bertujuan untuk mendapatkan data batas antar formasi
dengan melakukan pengukuran penampang stratigrafi menggunakan beberapa metode
sehingga dapat menunjukkan gambaran secara detail mengenai sikuen urut-urutan dari
yang paling tua dan muda perlapisan setiap satuan litostratigrafi, ketebalan, hubungan
atau korelasi antar unit batuannya, sejarah sedimentasi dan lingkungan pengendapan.
Metode ini dibagi menjadi 2 yaitu measure section (MS) dan profile. MS merupakan
pengukuran penampang stratigrafi secara horizontal dan bersifat tidak detail juga
dengan jarak yang luas hingga puluhan meter, untuk menentukan lokasi penelitian
dalam pengambilan data MS didasarkan kondisi pada saat di lapangan jika ditemukan
batas antar formasi dan terdapat struktur sedimen. Sedangkan profile bersifat lebih rinci
dan menggambarkan urutan batuan secara vertikal. Pada profile teknik pengukuran yang
dilakukan di lokasi penelitian menggunakan metode rentang tali atau disebut dengan
metode Brunto and Tape (Gambar 3.2).

10
Gambar 3. 2 Pengukuran Metode Brunton and Tape (Compton, 1985)

Pengukuran bisa secara langsung apabila singkapan telah menunjukkan tebal


sebenarnya, namun apabila singkapan tidak menunjukkan tebal sebenarnya diperlukan
koreksi tebal dengan menggunakan rumus berdasarkan data strike-dip dan kondisi
singkapan saat melakukan pengukuran di lapangan. Menurut Ragan (1985), terdapat
tujuh cara untuk memperoleh tebal lapisan dengan berbagai kemiringan lereng (Gambar
3.3).

Gambar 3.3 Pengukuran ketebalan lapisan batuan dengan berbagai kemiringan lereng
(Ragan, 1985).
Kondisi pertama, kemiringan lereng (σ) lebih kecil dari kemiringan yang
sebenarnya (δ) dan berlawanan dengan kemiringan lereng hampir tegak. Kedua,
kemiringan lereng (σ) lebih besar dari kemiringan sebenarnya (δ) yang searah dengan
lapisan batuan. Ketiga, kemiringan lereng (σ) memotong lapisan horizontal yang arah
lapisannya hampir sama. Keempat, kemiringan lereng (σ) memotong lapisan yang
hampir tegak. Kelima, kemiringan lereng (σ) memotong lapisan horizontal dengan
kemiringan sebenarnya (δ) = 0. Keenam, kemiringan lereng memotong lapisan tegak.
Terakhir, kemiringan lereng (σ) tegak lurus kemiringan lapisan.

Pengukuran struktur geologi mencakup bidang sesar (struktur bidang), struktur


garis, perpindahan keybad (offset), sumbu dan sayap lipatan serta kekar-kekar yang
berkembang. Pengukuran struktur geologi dilakukan untuk menganalisis jenis,

11
kedudukan, orientasi dari struktur dan arah gaya utama yang bekerja serta tektonik
regional daerah penelitian. Tahapan pengukuran kekar (fracture) diawali dengan
menentukan kekar tersebut bersifat fracture atau joint. Dimana ciri khas dari fracture
sendiri berada pada zona hancuran sedangkan joint berada pada bidang lapisan.
Selanjutnya, memperhatikan arah garis kekar yang dominan. Arah dominan tersebut
menunjukkan gaya dominan yang membentuk kekar tersebut. Dilanjutkan dengan
menggunakan metode scanline yaitu membentangkan tali sepanjang kekar tersebut
terbentuk dan mengukur secara detail arah garis kekar yang berlawanan dengan arah
dominan terlebih dahulu dengan cara tempelkan sisi clipboard pada kekar kemudian
tempelkan kompas dan ukur strike dan dip kekar tersebut. Apabila arah kekar yang
berlawanan telah detail diukur dilanjutkan dengan pengukuran kekar dengan arah yang
dominan.

Gambar 3.4 Teknik pengukuran kedudukan batuan (a) strike lapisan (b) nilai dan arah
kemiringan lapisan (Suppe, 1985)
Pengukuran sudut penunjaman (plunge) dengan cara menempelkan sisi “West”
kompas pada sisi atas alat bantu yang masih dalam keadaan vertikal memutar
klinometer hingga gelembung pada nivo tabung berada di tengah dan besar sudut
penunjaman (plunge) merupakan besaran sudut vertikal yang ditunjukkan oleh penunjuk
pada skala klinometer. Untuk pengukuran rake/pitch diawali membuat garis horizontal
pada bidang dimana struktur garis tersebut terdapat garis horizontal sama dengan jurus
dari bidang tersebut yang memotong struktur garis.
Pengukuran bidang sesar (struktur bidang) dimulai dengan penentuan jurus dan
strike/dip. Pengukuran strike dilakukan dengan menempelkan sisi “East” kompas pada
bidang yang diukur dalam posisi kompas horizontal (gelembung berada pada pusat
lingkaran) angka azimuth yang ditunjuk oleh jarum “North” merupakan arah strike
yang diukur dan pengukuran dip dilakukan dengan menempelkan sisi “West” kompas
pada bidang yang diukur dalam posisi kompas tegak lurus garis strike (posisi nivo
tabung berada di atas). Putar klinometer sampai gelembung berada pada pusat nivo
tabung.
3.2.4 Pemercontoh
Pengambilan sampel sangat dibutuhkan untuk mengetahui nama batuan dengan
akurasi yang lebih baik melalui analisa laboratorium. Namun, adapun cara-cara
pengambilan sampel batuan yang baik dan layak di sampel. Pertama, melihat kondisi
singkapan batuan. Batuan yang dapat disampel adalah batuan yang fresh dan batuan

12
insitu. Sehingga, batuan yang berbentuk bongkah tidak boleh disampel karena
kemungkinan besar batuan tersebut tidak berada pada singkapan tersebut (telah
mengalami transportasi). Lalu, sampel batuan dengan palu geologi sesuai dengan jenis
batuan. Jika batuan tersebut adalah hard rock maka menggunakan palu geologi batuan
beku, sedangkan jika batuan jenis soft rock bisa menggunakan palu geologi batuan
sedimen. Kemudian, sampling batuan dengan posisi palu dan lokasi sampling berada di
samping kita. Hal ini untuk meminimalisir pecahan batuan kearah kita. Sebaiknya,
sampling menggunakan kacamata untuk menghindari pecahan batuan kearah mata kita.
Pengambilan sampel batuan cukup berukuran hand-specimen dengan keadaan batuan
segar. Agar mudah dalam penganalisaan laboratorium nantinya.

III.3 Analisa Laboratorium


Analisa laboratorium merupakan tahapan pasca lapangan. Analisa ini
menggunakan sayatan atau preparasi dari batuan yang telah diambil di lapangan.
Kondisi batuan harus dalam keadaan fresh karena jika sangat lapuk akan mempengaruhi
hasil analisa tersebut. Adapun jenis analisa laboratorium, yaitu analisa paleontologi dan
analisa petrografi.

3.3.1 Analisa Petrografi


Analisa petrografi merupakan analisa batuan berdasarkan keterdapatan mineralnya.
Persentase mineral ini untuk mengetahui nama batuan. Cara melihat mineral tersebut
melalui thin section. Berikut ini adalah tahapan analisa petrografi, antara lain : Batuan
yang ingin dianalisis disayat tipis dengan ketebalan 0,03 mm. Hasil dari sayatan
tersebut dianalisis menggunakan mikroskop dengan melihat mineral dari cross nikol dan
parallel nikol. Selain itu, juga dibantu dengan keping gipsum untuk mengetahui massa
gelas dalam batuan. Kemudian putar meja mikroskop yang berguna untuk mengetahui
gelap dan terang mineral serta kembaran yang berkembang di mineral tersebut.
Selanjutnya, deskripsi mineral dengan kenampakan yang dilihat dan melakukan
penamaan batuan menggunakan grafik sesuai jenis batuannya dengan parameter dari
persentase mineral yang ada.
Dalam analisa petrografi terdapat dua jenis batuan yang dianalisis, yaitu batuan beku
dan sedimen. Sampel petrografi yang diambil harus dalam kondisi fresh (segar), yang
artinya tidak mengalami pelapukan. Kondisi batuan yang fresh dapat terlihat dari
kenampakan warna, tidak terdapatnya rekahan-rekahan baik akibat proses pembentukan,
tektonik ataupun deformasi sehingga komposisi mineral batuan tidak terganggu. Mineral
penyusunan batuan tersebut berguna untuk mengetahui sejarah pengendapan batuan tersebut.
Analisa petrografi dilakukan untuk mengklasifikasikan jenis dan penamaan dari
batuan melalui karakteristik sayatan tipis contoh batuan pada daerah penelitian yang
dilakukan dibawah mikroskop polarisasi. Batuan yang akan dianalisis terdiri dari tiga jenis
batuan, yaitu batuan beku, batuan piroklastik dan batuan sedimen. Hasil analisis dari
sayatan batuan beku meliputi ukuran butir mineral, karakteristik mineral penyusun batuan,
derajat kristalisasi yang berkaitan dengan temperatur pembentukannya.
Penamaan batuan didasarkan pada pengklasifikasian nama batuan vulkanik
berdasarkan klasifikasi diagram IUGS (1973). Pada diagram klasifikasi batuan beku
tersebut penentuan nama batuan didasarkan dengan melihat kandungan mineral quartz,

13
orthoclase, feldsphatoid dan plagioclase untuk batuan vulkanik. Setelah mendapatkan nilai
persen dari tiap mineral dilanjutkan dengan menarik garis untuk mendapatkan titik
pertemuan garis untuk penentuan nama batuan yang di analisis (Gambar 3.5).

Gambar 3. 5 Diagram penamaan batuan beku (IUGS, 1973)

Penamaan mikrosopik batuan sedimen klastik berdasarkan klasifikasi Pettijohn


(1975). Penentuan ini mengacu pada ukuran butir mineral di dalam batuan serta
komponen matriks yang melingkupinya. (Gambar 3.6)

Gambar 3. 6 Diagram klasifikasi batuan sedimen klastik (Pettijohn, 1975).

Penentuan penamaan batuan piroklastik secara pengertian merupakan batuan


vulkanik klastik yang dihasilkan oleh serangkaian proses yang berkaitan dengan letusan
gunungapi. Material penyusun tersebut terendapkan dan terbatukan/terkonsolidasikan
sebelum mengalami transportasi (reworked) oleh air atau es (William, 1982).
Klasifikasi tuf dan breksi vulkanik didasarkan pada fragmen material vulkanik yang

14
terkandung berdasarkan klasifikasi (Fisher, 1984). Menurut Fisher (1984) penentuan
nama batuan piroklastik terkhusus batuan tuf dengan melihat berapa persen kandungan
crystal, glass, dan rock fragment sehingga nantinya didapatkan tiga penamaan batuan
piroklastik tuf diantaranya: crystal tuff, vitric tuff dan lithic tuff (Gambar 3.7).

Gambar 3. 7 Klasifikasi batuan tuf/ash (Fisher, 1984)

3.3.2 Analisa Paleontologi


Analisa paleontologi ini berguna untuk mengetahui umur relatif dan batimetri
lingkungan pengendapan melalui keterdapatan fosil batuannya. Proses sebelum analisa
paleontologi ini dilakukan preparasi atau penghancuran batuan terlebih dahulu. Tahapan
analisa ini memerlukan beberapa bahan, antara lain : cairan peroksida dan akuades, kain,
serta sabun. Tahapan dalam analisa paleontologi, antara lain : Pertama, batuan yang
memiliki kondisi baik dihancurkan hingga ukuran pasir kasar-sedang. Kemudian, cairan
peroksida murni dinetralkan menggunakan cairan akuades dengan perbandingan
peroksida : akuades 1 : 3. Selanjutnya, rendam hancuran batuan tersebut kedalam
peroksida yang sudah dinetralkan selama kurang lebih 22 jam. Bilas batuan tersebut
dengan air mengalir dan sabun cair agar bersih, proses ini juga dibantu dengan kain
supaya fosil yang terdapat didalamnya tidak ikut terbuang. Lalu, keringkan batuan
tersebut dengan cara dijemur atau disangrai menggunakan kompor dan kuali. Kemudian,
ayak batuan yang sudah kering dengan ayakan yang memiliki beberapa jenis mesh,
antara lain : mesh 30, mesh 50, mesh 100, mesh 200, pan. Berikutnya, analisa
laboratorium menggunakan mikroskop dengan data setiap mesh yang dipisahkan
kedalam plate. Terakhir deskripsi dan penamaan fosil berdasarkan Barker (1960) untuk
foraminifera dan Blow (1969) untuk penamaan bentos dan penentuan kedalaman
lingkungan pengendapan.
3.3.3 Analisa Geomorfologi
Analisis satuan geomorfologi dilihat dari beberapa parameter salah satunya
menggunakan Analisa mikrotektonik dengan metode analisa linament yang
menggunakan data citra sehingga memberikan kemudahan dalam pengamatan awal dan
secara lebih luas mengenai lokasi pengamatan tersebut. Analisis ini lebih terfokus

15
dengan arah kelurusan dari kenampakan DEM yang didapat. Hasil kenampakan arah
kelurusan-kelurusan dari data DEM yang menunjukkan morfologi yang searah dengan
arah lembah yang sama sehingga menunjukan arah-arah tertentu yang nantinya dapat
ditentukan arah dominan melalui diagram Rose, adanya sesar dan kelurusan berfungsi
sebagai saluran preferensial untuk air yang mengalir di permukaan sehingga diketahui
arah dominan pergerakan tektonik yang ada pada daerah tersebut (Radaideh, Omar M.A.
dkk, 2016).
Analisis satuan geomorfologi juga dapat dilihat dari beberapa parameter yang
menunjukkan perbedaan bentuk lahan dengan ciri khas masing – masing. Perbedaan
dari bentukkn lahan tersebut dapat dilihat dari perubahan elevasi, kemiringan lereng,
bentuk pola aliran, dan juga dapat didukung dengan resistensi batuan. Penggolongan
bentukkan lahan ini dapat dibedakan dengan klasifikasi Widyatmanti 2016 (Tabel 3.1)
Tabel 3. 1 Klasifikasi Kemiringan Lereng Widyatmanti et. al (2016)
No. Persentase Kelas Lereng
1. 0–2% Datar – Hampir Datar
2. 3–7% Landai
3. 8 – 13 % Miring
4. 14 – 20 % Miring Menengah
5. 21 – 55 % Curam
6. 56 – 140 % Sangat Curam
7. > 140 % Tegak

Tabel 3. 2 Klasifikasi morfografi berdasarkan elevasi (Widyatmanti dkk, 2016).


Elevasi Morfografi
<50 m Dataran Rendah
50 - 200 m Perbukitan Rendah
200 – 500 m Perbukitan
500 – 1000 m Perbukitan Tinggi
>1000 m Pegunungan

Pada klasifikasi Twidale menggunakan parameter pola pengaliran sungai, parameter


tersebut dapat menguatkan interpretasi satuan bentuk lahan. Hal ini dikarenakan
kehadiran pola aliran sungai dapat mengindikasikan tingkat erosional sungai serta arah
perkembangan sungai sehingga dapat merefleksikan perkembangan bentuk lahan daerah

16
penelitian. Data yang dianalisis berasal dari Digital Elevation Model Nasional dan
Badan Indonesia Geospasial yang diolah menggunakan aplikasi ArcGis.
Parameter klasifikasi Hugget menjelaskan mengenai proses geomorfik dari
pembentukan hingga perkembangan morfologi daerah penelitian. Pembentukan
morfologi disebabkan proses geologi akibat dari kegiatan tektonik tekanan maupun
regangan dari arah tertentu yang bersifat konstruktif, sedangkan perkembangan
morfologi disebabkan proses permukaan berupa erosi dan longsor yang bersifat
destruktif.

Gambar 3. 8 Klasifikasi pola aliran sungai (Twidale, 2004)


Pola aliran sungai menurut Twidale (2004), dibedakan menjadi beberapa macam. Tiap
macam pola pengaliran dapat bervariasi yang disebabkan oleh adanya struktur dan jenis
litologi.
Tabel 3.3 Klasifikasi pola aliran sungai (Twidale, 2004)
Pola Pengaliran Sungai Karakteristik
Dendritic Pola aliran yang percabangannya menyerupai struktur pohon.
Aliran mengikuti kemiringan lereng dengan dipengaruhi pula
oleh tingkat resistensi batuan yang cenderung mudah
mengalami proses erosi.

17
Parallel pola aliran sungai yang arahnya sejajar. Pola ini sering
dijumpai pada daerah yang lerengnya mempunyai kemiringan
relatif curam dan berkembang pada batuan yang bertekstur
halus.
Radial pola aliran yang mempunyai pola memusat atau menyebar
dengan satu titik pusat yang dikontrol oleh kemiringan
lerengnya
Centrifugal pola aliran sungai pada kerucut gunung berapi atau dome
yang baru mencapai stadium muda dan arah alirannya
menuruni lereng.

Centripetal pola aliran yang terdapat pada kawah atau kaldera gunung
berapi atau depresi lainnya.
Distributary pola aliran sungai yang bentuknya menyerupai kipas dan
terdapat pada kipas aluvial dan delta.
Angular pola pengaliran yang anak sungainya membentuk sudut tegak
lurus dengan sungai utamanya. Umumnya terbentuk pada
daerah patahan yang bersistem (teratur).

Trellis pola aliran yang umumnya terbentuk pada batuan sedimen


berselang-seling memiliki resistensi rendah dan tinggi. Sungai
utama biasanya memanjang searah dengan jurus perlapisan
batuan. Dan anak sungai akan dominan
terbentuk hasil dari erosi pada batuan sedimen dengan
resistensi yang rendah.
Annular pola aliran yang mempunyai penyebaran dengan bentuk
melingkar pada sungai utama dan anak sungai. Pola
berbentuk melingkar karena mengikuti jurus perlapisan
batuan. Sering dijumpai pada daerah kubah berstadia dewasa.

Selain mengetahui jenis pola aliran yang berkembang di daerah penelitian, pola
kelurusan sungai juga diperlukan. Kelurusan sungai merupakan cerminan morlogi
sungai yang teramati di permukaan bumi dan merupakan hasil dari gaya geologi dari
dalam bumi. Untuk menganalisis kelurusan sungai membutuhkan citra satelit berupa
DEM dan kenampakan aliran sungai yang kemudian di plot pada diagram Rose
sehingga diketahui arah utama gaya yang bekerja.
Dalam pengklasifikasian bentuk longsor menggunakan klasifikasi longsor menurut
Highland dan Johnson (2004) Jenis –jenis longsor dibedakan berdasarkan ukuran
material yang bergerak. Bila material halus yang bergerak disebut mud (lumpur), jika
berupa butiran (pasir dsb.) disebut debris, sedangkan bongkahan besar disebut rock.

18
Berdasarkan bidang dan kecepatan pergerakannya dibedakan menjadi fall (jatuh), flow
(mengalir) dan creep (merayap). Bila material bergerak dalam jumlah besar disebut
avalance. Berikut klasifikasi longsor menurut Highland dan Johnson (Gambar 3.9).

Gambar 3. 9 Model Klasifikasi Longsor Menurut Highland dan Johnson (2004).


3.3.4 Analisa Struktur
Analisis kajian struktur dilakukan untuk menentukan jenis struktur geologi yang
bekerja dan menentukan pengaruh tektonik pada daerah penelitian seperti adanya sesar.
Untuk melakukan analisis struktur selain melakukan pengamatan secara langsung juga
harus memiliki data penunjang yaitu data pengukuran struktur. Dapat diawali
berdasarkan kenampakan pola kelurusan pada DEMNAS daerah penelitian, kemudian
menghimpun data pola kelurusan dan dilakukan analisa menggunakan diagram roset
untuk mengidentifikasi tegasan maksimum ( 1), medium ( 2), dan minimum ( 3) yang
bekerja pada daerah penelitian. Selain itu dilakukan analisa pada data kekar, bidang
sesar, gores garis, dan lain sebagainya menggunakan metode stereografi serta aplikasi
Stereonet dan Dips. Hal tersebut guna mengidentifikasi dinamika dan kinematika dari
struktur yang terbentuk. Berikut ini klasifikasi sesar dan lipatan menurut Fossen (2010).

19
Gambar 3. 10 Klasifikasi sesar berdasarkan Fossen (2010)

Dalam penamaan sesar juga menggunakan klasifikasi menurut (Rickard, 1972).


Cara merekonstruksi menggunakan pergeseran sesar berdasarkan dari net slipnya,
apakah naik atau turun dan kiri atau kanan. Misal slipnya adalah kiri - turun, maka pada
diagram Rickard yang ditutup pada bagian kanan dan naik. Kemudian data dip sesar
dan rake net slip dimasukkan. Nama sesar dibaca sesuai dengan nomor yang terdapat
pada kotak (Gambar 3.11)

Gambar 3. 11 Diagram Klasifikasi Sesar menurut Rickard (1972)

20
III.4 Kerja Studio
Kerja studio ini merupakan kegiatan pengolahan data-data dari lapangan dan juga
peta berdasarkan data dari lapangan yang nantinya direkonstruksikan. Sehingga, dapat
membantu dalam penentuan sejarah geologi pada lokasi penelitian. Berikut ini adalah
rangkaian dari kerja studio, antara lain pembuatan peta, penampang dan model geologi.
Pembuatan peta ini dilakukan menggunakan beberapa aplikasi geologi, antara lain :
MapSource, Globbal Mapper, ArcGIS, dan juga aplikasi grafis seperti : CorelDRAW.
Selain itu, bahan yang digunakan selama pembuatan peta adalah data DEMNAS sesuai
dengan lokasi, koordinat petakan, data sungai, jalan, dan data administratif lainnya yang
dapat diunduh melalui tanahairindonesia.go.id Peta yang dihasilkan nantinya adalah :
peta topografi, peta geomorfologi (menggunakan klasifikasi Widyatmanti (2016), peta
kelurusan, peta pola aliran sungai, peta kemiringan lereng, dan peta geologi.
Pembuatan penampang dilakukan berdasarkan dengan data yang ada pada peta.
Sehingga, diperlukan data pendukung di dalam peta seperti : elevasi, formasi batuan
atau satuan batuan, struktur geologi dan kedudukan batuan. Berikut ini adalah tahapan
dalam pembuatan penampang, antara lain : Tarik garis panjang di peta yang mewakili
keadaan geologi. Hal ini merupakan tahapan menyayat peta yang nantinya dapat
diketahui keadaan bawah permukaannya. Kemudian, buat morfologi sepanjang sayatan
berdasarkan elevasinya. Pembuatan penampang sayatan ini dapat dilakukan secara
manual menggunakan lembar milimeter blok. Lalu, membuat morfologi dalam sayatan
dengan melihat nilai elevasi pada kontur yang melewati garis sayatan. Setelah itu,
masukkan atau tandai batas kedudukan batuan, struktur geologi dan setiap perbedaan
batuan dalam penampang. Kemudian, rekonstruksi data tersebut ke bawah permukaan
dalam penampang sayatan. Selanjutnya, rekonstruksi kedudukan batuan menggunakan
dengan system kink method.

III.5 Penyusunan Laporan


Penyusunan laporan merupakan tahapan akhir yang menyajikan semua data –
data. Data yang ditunjukkan meliputi data kajian pustaka sampai dengan hasil akhir dari
analisa laboratorium. penyajian data ini akan memperlihatkan geomorfologi, stratigrafi
dan juga struktur geologi yang terjadi di lokasi penelitian. Selain itu, output yang akan
ditunjukkan berupa peta – peta, seperti : peta lintasan, peta geomorfologi, peta pola
pengaliran, peta kemiringan lereng dan peta geologi.

21
BAB IV
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi daerah penelitian menjelaskan aspek-aspek geologi yaitu geomorfologi,


stratigrafi, dan struktur geologi. Geomorfologi menjelaskan lahan dan proses geomorfik
yang terjadi. Stratigrafi mendeskripsikan urutan satuan batuan berdasarkan umur dan
lingkungan pengendapan. Struktur geologi menjelaskan kondisi geologi akibat dari
proses tektonik yang terjadi di suatu daerah.

IV.1 Geomorfologi
Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuk-bentuk permukaan bumi.
Ilmu ini tidak hanya mengkaji tentang bentuk-bentuknya namun juga gaya dan proses
yang mengakibatkan bentuk yang demikian serta perkembangan proses dari bentuk-
bentuk tersebut (Suharini dan Palangan (2009). Proses geomorfologi adalah perubahan-
perubahan baik secara fisik maupun kimiawi yang dialami permukaan bumi. Penyebab
proses tersebut berupa air dan angin. Keduanya merupakan penyebab yang dibantu
dengan gaya berat, dan keseluruhannya bekerja bersama-sama dalam melakukan
perubahan terhadap permukaan muka bumi. Tenaga-tenaga perusak ini dapat kita
golongkan dalam tenaga asal luar (eksogen), yaitu yang datang dari luar atau dari
permukaan bumi, tenaga dari luar pada umumnya bekerja sebagai perusak, sedangkan
tenaga dalam (endogen) sebagai pembentuk.
Namun kedua tenaga ini pun bekerja bersama-sama dalam mengubah bentuk
permukaan muka bumi ini. Penerapan geomorfologi dapat dilakukan secara langsung
dan secara tidak langsung. Secara langsung yaitu dengan pengamatan langsung
kelapangan dengan melihat bentuk lahan sedangkan secara tidak langsung
menggunakan citra satelit, Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM), Digital
Elevation Model (DEM) dengan kombinasi data Sistem Informasi Geologis sehingga
lebih tepat dan akurat. Dalam pembuatan peta geomorfologi aspek-aspek yang
digunakan dengan merujuk berdasarkan penggabungan klasifikasi Hugget, R.J (2011)
dan Widyatmanti, dkk (2016).
4.1.1 Orogen Barisan
Orogen merupakan jalur pegunungan muda yang terbentuk karena interaksi
antara lempeng - lempeng tektonik. Menurut Simandjuntak dan Barber (1996) terdapat
beberapa jalur orogen di Indonesia diantaranya Orogen Barisan di sepanjang Sumatera,
Orogen Sunda di Pulau Jawa, Orogen Banda di Pulau Timor, Orogen Sulawesi di
Sulawesi, Orogen Talaud di utara laut Maluku dan Orogen Malenesia di Pulau Papua.
Peristiwa pengangkatan (uplift) bertanggungjawab terhadap pembentukan pegunungan
Barisan yang terjadi pada Akhir Neogen atau Plio - Plistosen (Simandjuntak dan Barber,
1996).
Daerah penelitian termasuk dalam “Barisan Orogen di Sumatera” dengan
konversi yang sangat miring lerengnya dan gerakan sesar mendatar utama dalam busur
magmatik, sehingga pembentukan bentangalam yang terlihat sekarang terjadi saat

22
pengangkatan Pegunungan Barisan pada Akhir Neogen. Peristiwa tektonik yang
mengakibatkan pengangkatan seperti pada Gambar 4.1.

Gambar 4. 1 Diagram skematik penampang Orogen Barisan (dimodifikasi dari


Simandjuntak dan Barber, 1996). Lokasi penelitian berada pada Forearc Basin
Gambar tersebut memperlihatkan adanya lempeng yang geraknya dari arah
berlawanan antara lempeng Samudera Indo - Australia dan lempeng kontinen
Sundaland. Lempeng saling bertumbukan sehingga menyebabkan timbulnya jalur
pegunungan. Salah satu lempeng akan menyusup ke dalam yang disebut “subduction
zone” dan terbentuk di bawah Pulau Sumatera. Kolisi kedua lempeng tersebut
menyebabkan adanya gaya kompresi yang membentuk Bukit Barisan dan inversi serta
terjadinya deformasi sikuen batuan pada Cekungan Sedimen di Sumatera. Fase orogen
pada Plio - Plistosen diinterpretasikan sebagai peristiwa yang menyebabkan
terbentuknya bentangalam saat ini (Simandjuntak dan Barber; Hall, 2014).

Selain adanya peristiwa tektonik tersebut terdapat proses yang mempengaruhi


pembentukan bentangalam, yaitu proses permukaan. Proses permukaan seperti erosi
sungai dan denudasi, proses ini menyebabkan variasi kenampakan topografi yang ada.
Erosi dan denudasi yang terjadi sangat dipengaruhi oleh tingkat resistensi batuan dan
juga zona lemah yang ditunjukkan berdasarkan struktur yang ditemukan. Daerah yang
tersusun oleh batuan dengan tingkat resistan tinggi cenderung memperlihatkan topografi
lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang memiliki tingkat resistensi batuan lebih
rendah. Daerah yang didominasi adanya struktur berupa kekar dan sesar cenderung
lebih mudah tererosi dan terdenudasi.

4.1.2 Analisis Morfografi


Analisis morfografi daerah penelitian dibuat berdasarkan analisis kelas relief
morfologi. relief topografi tersebut terbagi atas lima klasifikasi berdasarkan ketinggian
nya (elevasi), antara lain dataran (<50 meter), perbukitan rendah (50-200 meter),
perbukitan (200-500 meter), perbukitan tinggi (500-1000 meter) dan pegunungan
(>1000 meter) (Tabel 4.1) Elevasi merupakan ketinggian suatu tempat terhadap daerah
sekitarnya.

Tabel 4.1 Klasifikasi morfografi berdasarkan elevasi (Widyatmanti dkk, 2016).

Elevasi Morfografi
<50 m Dataran Rendah
50 - 200 m Perbukitan Rendah

23
200 – 500 m Perbukitan
500 – 1000 m Perbukitan Tinggi
>1000 m Pegunungan

Menurut klasifikasi Widyatmanti et al, (2016) pada (Gambar 4.1) memperlihatkan


kenampakan 2D elevasi daerah penelitian. Secara keseluruhan daerah penelitian
memiliki morfologi yang termasuk ke dalam kategori perbukitan (P) 300-500 m dan
perbukitan tinggi (PT) 501-1000 m.

Gambar 4. 2 Peta Elevasi daerah penelitian menunjukkan perbedaan elevasi setiap


25 meter, dengan dataran paling rendah yaitu 295 Mdpl dan puncak tertinggi 1000 Mdpl.
Peta diatas menunjukkan daerah perbukitan tinggi sangat mendominasi pada
daerah penelitian yaitu sebesar 75% yang membentang sepanjang utara hingga selatan
pada bagian sebelah kiri atas dan kanan peta. Kemudian, perbukitan sebesar 25% di
timur laut sampai tenggara sebelah kiri bagian bawah peta yang ditunjukkan dengan
warna hijau terang. Pada daerah perbukitan tinggi daerah penelitian cenderung dikontrol
penuh oleh faktor denudasional akibat dari aktivitas sungai yang mengerosi daerah
tersebut, kehadiran banyaknya pola percabangan akibat dari tenaga dari luar bumi ini
menjadi salah satu peran yang paling signifikan dalam membentuk morfologi.

4.1.3. Analisa Morfometri


Analisis morfometri dilakukan dengan data analisis kemiringan lereng.
Kemiringan lereng adalah kenampakan permukaan alam yang disebabkan adanya beda
tinggi antara satu tempat dengan yang lain. Kemiringan lereng merupakan salah satu
faktor yang mendukung interpretasi dalam penentuan suatu bentuk lahan geomorfologi.

24
Bentuk lereng bergantung pada proses erosi juga gerakan tanah dan pelapukan serta
dapat dilihat secara sederhana dari peta topografi dengan memperhatikan pola kontur
berdasarkan citra landsat DEM. Variasi kemiringan lereng menunjukkan pembentukan
morfologi di daerah penelitian merupakan implikasi dari struktur tektonik maupun erosi.
Beberapa komponen kelerengan yang digunakan pada aspek morfometri yaitu besar
sudut, orientasi serta panjang lereng.
Bentuk lereng pada daerah penelitian memiliki (6) kelas kelerengan yang
didominasi oleh warna oranye yaitu menggambarkan lereng curam yang mencapai 60%
daerah penelitian dan warna merah lereng datar-miring mencapai sekitar 30% daerah
penelitian dengan adanya aktivitas struktural, yang lebih dominan dan pada daerah
penelitian dijumpai longsor yang tergambar pada peta kemiringan lereng.

Gambar 4. 3 Peta kemiringan lereng daerah penelitian.


4.1.4 Proses Geomorfik
Proses permukaan merupakan semua perubahan fisik dan kimia pada permukaan
bumi yang menyebabkan bentukan bervariasi pada suatu bentuk muka bumi. Proses ini
dapat dibedakan menjadi beberapa yaitu proses pembentukan bentang alam yang
diakibatkan oleh tenaga dari luar kulit bumi pada proses ini dibagi menjadi 2 yaitu
agradasi (pembentukan yang berupa pengendapan) dan degradasi (proses yang berupa
penurunan permukaan bumi sehingga mengakibatkan rendahnya permukaan), terdapat
juga proses pembentukan bentang alam yang disebabkan dari dalam kulit bumi. Proses
ini juga terdapat beberapa proses utama yang mempengaruhi yaitu pelapukan, erosi dan
gerakan tanah (Gambar 4.4) sehingga menyebabkan bentukan lereng dan elevasi yang
bervariasi serta pola dari suatu aliran sungai. Pelapukan melemahkan batuan dan
membuatnya lebih permeabel, sehingga membuat lebih rentan terhadap proses erosional,

25
erosi dan transportasi dan gerakan tanah dengan ditandai kehadiran longsoran dan
seretan material lepas sebagai akibat berkurangnya tingkat kestabilan lereng yang
berlangsung sampai saat ini di daerah penelitian. Kemudian, tenaga dari dalam kulit
bumi yang bersifat konstruktif yang berarti menghasilkan bentang alam baru
diakibatkan adanya aktivitas tektonik dan vulkanisme. Berikut bentukan longsoran yang
tersebar di beberapa lokasi penelitian (Gambar 4.4) dengan jenis longsoran berupa
a.debris fall, b. debris fall, c.debris fall dan d.debris fall menurut Highland dan Jhonson
(2004).

Gambar 4. 4 Kenampakan longsor di daerah penelitian (A) pada Desa Pulau Timun,(B)
pada Desa Tanjung Sakti, (C) Desa Penandingan dan (D) Desa Masam Bulau
Pada daerah penelitian ditemukan pelapukan pada batuan, pelapukan ini
terjadi karena adanya perubahan suhu dari panas ke dingin sehingga kenampakannya
retak - retak. Jika proses terjadi secara terus - menerus maka batuan akan terkelupas
(Gambar 4.5).

Gambar 4. 5 Kenampakan andesit yang mengalami proses pelapukan di Air Manna


Azimuth N 25˚ E

26
Morfodinamik merupakan proses perubahan bentuk bumi yang disebabkan oleh
aktivitas di permukaan bumi seperti faktor angin, air dan lain-lain. Analisis
morfodinamik pada daerah penelitian ini menggunakan akifitas air. Pola pengaliran
sungai pada daerah penelitian memiliki aliran sungai utama dan beberapa cabang anak
sungai kecil dan alur liar. Berdasarkan aspek kontinuitas aliran, sungai dapat dibedakan
menjadi sungai permanen (tahunan) dan sungai musiman. Sungai Manna merupakan
sungai utama dan termasuk sungai permanen (tahunan) dalam daerah penelitian serta
sungai Buluh, Sungai Simpur, Sungai Marang Batu , Sungai Pino dan Sungai Anak
Kemang.
Terdapat sungai Manna yang mengalir di sepanjang lokasi penelitian dan
terletak di bagian utara-selatan lokasi penelitian, aliran sungai ini mengalir dari utara
menuju ke selatan dan bermuara dipantai Manna. Terdapat channel bar yang
merupakan endapan sungai yang terdapat pada tengah alur sungai yang terbentuk karena
adanya proses transportasi sedimen yang terbawa oleh arus dengan arus yang tenang
yang mengendap di tengah sungai. Terdapat point bar yang merupakan endapan sungai
yang terdapat pada tepi alur sungai (Gambar 4.6). Kenampakan kontur pada daerah ini
juga relatif rapat sehingga dapat diketahui kontur daerah tersebut tinggi sehingga
tebingnya curam. Umumnya semakin ke hulu aliran sungai relatif berarus tenang, jarak
dinding sungai di bagian samping berjauhan. Pada bagian sungai ini litologi batuan
berupa batupasir.

Gambar 4. 6 Sungai mana memperlihatkan adanya channel bar dan point bar
azimuth N 20˚E

Berdasarkan klasifikasi Twidale (2004) pola pengaliran yang berkembang


didaerah penelitian dibagi menjadi dua yaitu : pola pengaliran dendritik dan pararel.
Pola pengaliran dendritik mempunyai bentuk seperti cabang-cabang pohon yang
arahnya beraturan sekitar 60% pada daerah penelitian. Selanjutnya pola pengaliran
pararel yang sejajar arah alirannya dan berkembang pada batuan yang bertekstur halus
dan homogen, sekitar 40% pada daerah penelitian. (Gambar 4.7)

27
Gambar 4. 7 Peta pola aliran dan diagram Rose pola pengaliran
dendritik dan paralel daerah penelitian..
4.1.5. Satuan Geomorfik
Satuan geomorfik atau bentuk lahan daerah penelitian dibagi berdasarkan aspek
parameter, antara lain kemiringan lereng (Widyatmanti et al.,2016) dan bentukan
morfologi (Huggett, 2017). Aspek tersebut selanjutnya di korelasikan dengan data
lapangan untuk menganalisis bentang alam daerah penelitian. Klasifikasi Widyatmanti
(2016) untuk pembagian morfologi yang didasari atas hubungan kelerengan dan elevasi
didaerah penelitian terbagi menjadi tiga jenis bentuk lahan (morfografi) meliputi
perbukitan miring denudasional (PMD), perbukitan tinggi curam denudasional (PTCD),
dan Channel Irreguler Meander (CIM) (Lampiran C).

28
4.1.5.1 Perbukitan Denudasional (PD)
Satuan bentuk lahan perbukitan denudasional (PD) menempati sekitar 26% yang
disimbolkan dengan (PD) berwarna kuning , memiliki kelerengan landai (8-13%), yang
meliputi desa Pagar Jati sampai Desa Penandingan, pola pengaliran yang berkembang
pada daerah penelitian yaitu dendritik, memiliki litologi didominasi dengan batuan
piroklastik berupa tuff , lava-basalt yang dipengaruhi oleh erosi (Gambar 4.8).

Gambar 4. 8 Perbukitan Denudasional dan di Desa Pagar jati Azimuth N 210 0 E


4.1.5.2 Perbukitan Tinggi Denudasional (PTD)
Satuan bentuk lahan perbukitan tinggi denudasional simbolkan dengan huruf
(PTD) yang menempati 60% luasan daerah penelitian. Daerah penelitian dominan
berada pada bagian selatan yaitu di Desa Tanjung Sakti dan sekitarnya. Morfologi ini
berupa perbukitan berada pada elevasi 850 mdpl dengan kemiringan lereng curam
(Gambar 4.9). Daerah ini didominasi sebagian besar batuan andesit dan granit di kontrol
oleh pola pengaliran Dendritik. Pola perbukitan memanjang serta sebagian bentuk
memutar karena merupakan punggungan kemenerusan dari Bukit Barisan. Topografi
pada lahan ini memiliki pola kontur yang rapat dan berpola seragam. Bentuk lembah
“V” dan ditemukan beberapa air terjun yang menandakan stadia bentuk lahan ini
tergolong muda (Gambar 4.9).

Gambar 4. 9 Bentuk lembah “V” pada bentuk lahan perbukitan tinggi


lereng curam disungai Anak kemang. Azimuth N 50˚ E.

29
Gambar 4. 10 (A) Perbukitan Tinggi Lereng agak Curam hingga Curam (PTCD) di
desa Tanjung Sakti, azimuth foto N 046 0
E

4.1.5.3 Channel Irreguler Meander (CIM)


Channel Irreguler Meander (CIM) pada daerah penelitian ditemukan di sungai
Manna tepatnya di desa Pulau timun dengan dikelilingi oleh satuan perbukitan
denudasional disimbolkan dengan (PMD) berwarna kuning. Memiliki morfometri
kelerengan yang agak miring-miring (8-13%), pola pengaliran yang berkembang yaitu
berupa pola pengaliran paralel. Proses struktural yang berkembang yaitu dibelah barat
berupa sesar, dicirikan dengan adanya litologi batupasir (gambar 4.12).

Gambar 4. 12 Channel Irregular Meander (CIM) di Sungai Manna di desa Pulau Timun.

IV.2 Stratigrafi
Penyusun stratigrafi daerah penelitian dilakukan dengan berdasarkan ciri litologi
yang didapat dari hasil deskripsi lapangan dan laboratorium. Adapun penarikan
formasinya berdasarkan kesamaan antar jenis batuannya, sedangkan untuk mengetahui
umur batuan menggunakan analisis fosil dan disebandingkan dengan regionalnya.

30
Sikuen batuan dari tua ke muda yang tersingkap di daerah penelitian terdiri dari Formasi
Hulusimpang, Formasi Seblat dan Formasi Granit (Yulihanto et al. 1995). Hasil
penelitian lapangan di daerah penelitian memiliki litologi yang relatif berumur Kuarter
dan Tersier.

Gambar 4. 13 Kolom stratigrafi daerah penelitian.

4.2.1 Formasi Hulusimpang


Persebaran batuan andesit ini umumnya berada dekat Sungai Anak kemang dan
Sungai Airbuluh pada daerah penelitian. Satuan andesit merupakan satuan batuan tertua
pada daerah penelitian yang terendapkan selama Oligosen-Miosen Awal. Penyebaran
dari luasan daerah penelitian 40% pada peta geologi berwarna pink dengan ketinggian
650-700 mdpl dengan panjang singkapan ± 3 meter dan lebar 5 meter. Adanya vegetasi
yang membuat singkapan cepat mengalami pelapukan.

Gambar 4. 14 Singkapan Andesit LP 40 pada Sungai Anak Kemang

Karakteristik satuan andesit Hulusimpang berdasarkan pengamatan megaskopis


di lapangan berwarna segar abu-abu kehijauan dan berwarna lapuk coklat, holokristalin,
afanitik, euhedral, masif dengan komposisi mineral plagioklas felsdpar dan hornblende.
Secara mikroskopis pada LP 40 menunjukkan litologi andesit, komposisi mineral

31
berupa plagioklas, kuarsa, serisit, ortoklas dan kalsit (Gambar 4.14). Formasi
Hulusimpang memiliki hubungan yang tidak selaras terhadap formasi diatasnya.

Gambar 4. 15 petrografi andesit di sayatan tipis nikol // dan X andesit pada


LP 40 Formasi Hulusimpang sungai Anak Kemang dengan komposisi
mineral berupa plagioklas, kuarsa, serisit, ortoklas dan kalsit

Hubungan antara Formasi Hulusimpang dengan Formasi Seblat berkontak


secara tidak selaras yang diperlihatkan adanya kontak antara batupasir dan andesit
dengan jenis ketidakselarasan yaitu nonconformity (Gambar 4.16). Batupasir dengan
warna lapuk coklat kehitaman, warna segar abu kehitaman, non karbonatan, ukuran
butir 1/256 - 1/16 mm, Grain Supported Fabric, moderately sorted, dan rounded dan
Andesit memiliki warna lapuk hitam kecoklatan, warna segar hitam keabuan, tekstur
afanitik, struktur massif. Tersingkap pada ketinggian ± 650 mdpl.

Gambar 4. 16 Kontak Formasi Hulusimpang berupa andesit dan Formasi Seblat litologi
batupasir LP 17 Sungai Manna azimuth N 165˚ E

32
4.2.2 Formasi Seblat
Satuan ini tersebar dengan luasan sekitar ± 13% dari daerah penelitian, satuan ini
terendapkan diatas satuan batuan andesit Formasi Hulusimpang, tersingkap baik di aliran
Sungai Airbuluh, (Gambar 4.17). Batupasir sisipan serpih penciri litologi Formasi Seblat
terbentuk pada Miosen Awal-Miosen Tengah dengan ketinggian 400-800 mdpl. singkapan
memiliki panjang ± 4 meter dan lebar 3 meter. Adanya vegetasi yang menyebabkan batuan
cepat mengalami pelapukan.
Berdasarkan pengamatan megaskopis batupasir dengan warna segar hitam dan warna
lapuk coklat, bentuk butirannya tidak terlihat, memiliki pemilahan yang baik dan permeabilitas
yang buruk dengan kemas yang tertutup dan Batuserpih dengan warna lapuk coklat kehitaman,
warna segar abu kehitaman, karbonatan, ukuran butir 1/256 - 1/16 mm, Grain Supported Fabric,
moderately sorted, dan rounded, Hubungan stratigrafi perselingan batupasir dan sisipan serpih
pada daerah penelitian, terendapkan secara tidak selaras diatas satuan batuan andesit Formasi
Hulusimpang dibawahnya , jenis ketidakselarasan pada proses pengendapan kedua formasi ini
non-conformity .

Gambar 4. 17 Singkapan perselingan Formasi Seblat berumur Miosen


Tengah di sungai buluh LP 3, profil singkapan perselingan batupasir dan
batuserpih.
Berdasarkan hasil analisa petrografi pada sayatan batuan sedimen (perbesaran
4x)berupa batupasir ini memperlihatkan warna coklat (PPL) dan coklat kehitaman
(XPL), bentuk butiran sub rounded - rounded, dengan ukuran butir (<0,03 mm), sortasi
cukup baik, memiliki komposisi mineral utama fosil, kuarsa, mineral lempung, di
samping itu juga dijumpai mineral opak.

33
Gambar 4.18 Petrografi batupasir sayatan tipis nikol // dan X pada LP 35 dengan
persentase kuarsa 13%, opak 2% dan mineral lempung 64% dan fosil 21%, pada
Formasi Seblat sungai Pino
Penentuan umur dan lingkungan pengendapan pada formasi ini menggunakan
metode analisa fosil pada lokasi pengamatan 35 (Lampiran F). Berdasarkan hasil
analisis fosil foraminifera planktonik, didapatkan fosil berupa Globigerinoides
diminutus berumur N6 - N9 dengan kelimpahan rare, Globigerina praebulloides
berumur P16 – N16 dengan kelimpahan common, Globorotalia obesa berumur 43 –
N21 dengan kelimpahan rare dan Globorotalia mayeri berumur N9 - N13 kelimpahan
fosil rare (Gambar 4.21). Dari hasil analisis fosil foraminifera planktonik berdasarkan
klasifikasi Blow (1969), formasi ini memiliki umur N9 yaitu Miosen Tengah.

Gambar 4. 21 Kenampakan fosil foraminifera planktonik pada lokasi penelitian 35 di


sungai Pino a. Globigerinoides diminutus, b. Globigerina praebulloides, c. Globorotalia
obesa, d. Globorotalia mayeri.

Selain itu ditemukan juga keterdapatan fosil foraminifera bentonik antara lain
Streblus beccari, Clavulina pacifica, dan Pyrgo depressa. Berdasarkan hasil analisis
foraminifera benthonik, didapatkan lingkungan batimetri pada formasi ini yaitu Transisi
– Neritik Tepi berdasarkan klasifikasi Barker (1960) (Gambar 4.22).

34
Gambar 4. 22 Kenampakan fosil foraminifera benthonik pada lokasi penelitian 35 di
Sungai Pino a. Streblus beccari, b. Clavulina pacifica, c. Pyrgo depressa
4.2.3 Satuan Granit
Satuan granit pada daerah penelitian kenampakan di lapangan memperlihatkan
adanya intrusi, dan ditemukan adanya Xenolith pada singkapan. Luasan satuan ini
mencapai 14 % dari keseluruhan daerah penelitian dan ditandai dengan warna merah
pada peta geologi. Pada satuan batuan granit di daerah penelitian memiliki umur relatif
pada masa Miosen Tengah. Penyebaran granit menempati barat laut-tenggara daerah
penelitian dengan ketinggian 500-700 mdpl ditunjukkan pada LP 76 (Gambar 4.23).
Berdasarkan pengamatan secara makroskopis batu granit memiliki warna segar putih
dan warna lapuk coklat,) ukuran butir kasar, tekstur fanerik dan terdiri dari komposisi
mineral kuarsa, plagioklas, alkali feldspar. Tersingkap baik di aliran sungai bunga
mutung dengan singkapan memiliki panjang ± 4 meter dan lebar 6 meter . Singkapan
granit mengalami pelapukan yang disebabkan karena adanya vegetasi diatas singkapan
yang membuat proses pelapukan menjadi lebih cepat.

Gambar 4. 23 Singkapan Granit LP 76 lokasi Sungai Bunga Mutung.


Hubungan antara Formasi Hulusimpang dengan Granit (Tmg) berkontak secara
tidak selaras yang diperlihatkan adanya kontak antara andesit dan granit (Gambar 4.24).
Granit pada sungai simpur yang memiliki warna lapuk coklat gelap, warna terang putih
kecoklatan segar, secara megaskopis didominasi oleh mineral kuarsa dan plagioklas,
Ditemukan adanya Xenolith dengan warna hitam keabu-abuan yang di lingkupi oleh
granit dan andesit di sekitarnya. Xenolith merupakan batuan yang terbentuk sebagai
sebuah bagian batuan lain, batuan ini tidak terbentuk bersamaan dengan batuan beku.
Pada saat terjadi intrusi batuan yang di terobos mengalami peningkatan suhu yang
menyebabkan batuan menjadi terpecah-pecah sehingga bagian yang pecah tersebut
terlingkupi oleh batuan yang menerobos. Batuan ini menjadi salah satu penciri adanya

35
intrusi. Secara regional intrusi granit memiliki bentuk seperti silinder yang memanjang
secara vertikal.
Andesit

Granit

Xenolith

Gambar 4. 24 kontak formasi Hulusimpang dan Tmg pada Sungai Simpur azimuth N
150˚ E.
Berdasarkan hasil analisa petrografi pada sayatan granite (perbesaran
4x)memperlihatkan Sayatan batuan berwarna putih sampai coklat muda, sayatan tipis
granit, Hipokristalin, tekstur fanerik intergranular ,bentuk subhedral granularitas
equigranular, allotriomorfik granular, ukuran 0,5 – 4 mm, dengan komposisi mineral
Kuarsa, Biotit, Plagioklas, dan mineral lempung dan ortoklas (Gambar 4.25)

Gambar 4. 25 Petrografi di sayatan tipis nikol // dan X pada LP 35 komposisi mineral


Kuarsa, Biotit, Plagioklas, dan mineral lempung dan ortoklas Formasi Granite sungai
Marang batu.

36
4.2.4 Formasi Qhv
Berdasarkan stratigrafi regional terendapkan secara tidak selaras diatas Formasi
Granit pada kala Plistosen - Holosen (Yulihanto et al., 1995). Pada peta geologi
Formasi Qhv ditunjukkan dengan warna abu-abu muda. Tersusun dari material-material
lepas mulai dari bongkah sampai pasir sangat halus dan hanya terdapat di bagian pinggir
barat daya atas lembar peta menempati 25% luasan daerah penelitian tepatnya di Desa
Masam Bulau.
4.2.4.1 Satuan Tuff
Satuan tuff termasuk dalam formasi Qhv berdasarkan regional, tuff merupakan
material piroklastik yang menjadi penciri dari endapan vulkanik Holosen. Satuan ini
mencapai 20% daerah penelitian. Penyebaran dari satuan ini relatif pada bagian utara
baratlaut hingga mengarah utara timur laut Ketinggian litologi mencapai 700 mdpl.
Singkapan ditemui di pinggir sungai, jalan yang perkebunan dan singkapan memiliki
panjang ± 1 meter dan lebar 2,5 meter (Gambar 4.26). Berdasarkan pengamatan
langsung di lapangan tuff berwarna segar abu-abu gelap dan putih warna lapuk coklat,
mudah hancur, masif, mudah lapuk.

Gambar 4. 26 Singkapan Satuan Tuff LP 57 lokasi Sungai Penandingan Azimut foto N


2350 E

Gambar 4. 27 Petrografi di sayatan tipis nikol // dan X pada LP 57 dengan


komposisi mineral biotit, plagioklas, mineral lempung, litik Formasi Qhv
Sungai Penandingan.

37
Berdasarkan analisa petrografi, sayatan tipis dengan tekstur khusus hipokristalin,
dengan kenampakan tekstur fanerik intergranular, dengan mineral mafic, granularitas
equigranular, allotriomorfik granular, dengan ukuran mineral <2 mm-64 mm atau <2
mm - >2 mm, komposisi mineral berupa plagioklas, biotit, litik dan min lempung.
4.2.4.2 Satuan Breksi Vulkanik
Karakteristik breksi formasi Qhv yang ditemui dilapangan yaitu pada lokasi
pengamatan 60 memiliki panjang singkapan ± 2,5 meter dan lebar 2,5 meter singkapan
yang disusun atas lava andesit dan basalt serta breksi piroklastik (Gambar 4.28). Breksi
dengan fragmen andesit, matriks berupa batupasir kasar (1/2 – 1 mm) dan semen berupa
batupasir sangat halus (1/16 - 1/8 mm), ukuran fragmen breksi beragam mulai dari
cobble - coarse sand (1 – 256 mm), dengan warna segar dan lapuk yaitu berwarna putih
dan kebundaran angular. Tersingkap pada ketinggian ± 700-1000 mdpl. Adanya
vegetasi di sekitar singkapan yang mempercepat proses pelapukan batuan.

Gambar 4. 28 Singkapan breksi vulkanik LP 60 Sungai Tanjung Bulan Azimuth foto N


2570 E
Berdasarkan analisa petrografi, sayatan tipis dengan tekstur khusus hipokristalin,
dengan kenampakan tekstur fanerik intergranular, dengan mineral mafic, granularitas
equigranular, allotriomorfik granular, dengan komposisi mineral berupa plagioklas,
kuarsa, biotit, dan opak. Breksi vulkanik yang ditemukan di daerah penelitian dengan
penyebaran pada satuan relatif utara timur laut. Litologi breksi ditemukan pada
Holosen yang terendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Granite (Tmg).

38
Gambar 4. 29 Petrografi di sayatan tipis nikol // dan X pada LP 60 dengan
persentase biotit 3%, plagioklas 65%, kuarsa 9%, dan opak 5% pada Formasi
Qhv sungai Tanjung Bulan.

IV.3 Struktur Geologi


Interpretasi struktur geologi daerah penelitian dilakukan dengan cara
menggabungkan data struktur dan pola kelurusan regional yang ditemukan di lapangan.
Menganalisis pola kelurusan struktur daerah Penandingan dan sekitarnya menggunakan
data DEM.

Gambar 4. 30 Pola kelurusan tanpa skala dan arah umum pola kelurusan daerah
penelitian ditunjukkan oleh diagram roset
Dilihat dari citra landsat dan pengamatan lapangan, struktur geologi yang
dijumpai pada daerah penelitian yaitu gores garis, lapisan yang terputus serta

39
kedudukan perlapisan batuan. Sehingga dilakukan pengukuran dengan pengambilan
data strike/dip, trend, plunge, rake dan bearing. Kemudian data yang didapat di analisis
studio berupa analisis kinematik dan dinamik untuk mendapatkan tegasan maksimum
yang membentuk struktur di daerah penelitian. Arah umum pola kelurusan struktur
daerah penelitian yaitu relatif berarah Baratlaut-Tenggara (N 3100E- N 3200E) yang
ditampikan dalam diagram roset sama dengan arah umum regional Sumatera (Gambar
4.30). Interpretasi antara pola kelurusan dan pengukuran data struktur di berdasarkan
hasil observasi lapangan, terdapat struktur geologi didaerah penelitian berupa sesar
yaitu di Sungai Marang batu, Sungai Pino dan Sungai Manna.

4.3.1 Sesar Mendatar Marang Batu


Sesar mendatar Marang Batu berada didesa Tanjung Sakti kecamatan Tanjung
Sakti PUMI. Pengamatan dilakukan di lokasi LP 49 pada kemenerusan perbukitan dan
pola sungai dengan perbukitan 800 mdpl dengan arah bidang sesar baratlaut-tenggara.
Kondisi litologi di lapangan memperlihatkan litologi granit, sebagian mengalami
pelapukan, putih keabu-abuan, holokristalin, serta mengikuti perkembangan pola
struktur perkembangan pola struktur di zaman Oligocene-Miocene. Penggeseran blok
sesar pada batuan mencapai panjang ± 5cm dan lebar ± 7cm .Sesar mendatar Marang
Batu ini diberi nama berdasarkan sungai daerah data lapangan ditemukan (Gambar
4.31).

Gambar 4. 31 (a) Kenampakan pergeseran dua blok batuan azimuth N 165˚ E


dan (b) Cermin sesar yang menunjukkan adanya pergeseran pada blok batuan pada
sungai Marang batu LP 49.
Pergerakan sesar mendatar pada daerah Marangbatu terjadi di Formasi Granit
litologi Granit (LP 49) Berdasarkan pengukuran di lapangan, data yang didapat yaitu

40
bidang sesar N 120˚ E/70˚, rake 68˚ dan plunge N 160˚ E/60˚. Penamaan sesar menurut
Fossen (2010) yaitu Dip Slip Fault dengan menggunakan data yang didapat di lapangan
berupa dip sesar dan rake. Model stereografis menunjukkan arah gaya penyebab
terbentuknya sesar mendatar Marang batu (Gambar 4.32).

Gambar 4. 32 Analisis stereografis Sesar Marang Batu berdasarkan klasifikasi Fossen


(2010) dan Rickard (1972).
4.3.2 Sesar Naik Pulau Timun
Sesar naik Pulau Timun ini berada didesa Kayu Ajaran kecamatan Tanjung Sakti
PUMI, sesar naik Pulau Timun ini merupakan sesar mayor didaerah penelitian terdapat
pada bagian barat barat daya dan memanjang hingga selatan barat daya. Sesar ini
terlihat pada Formasi Seblat, sesar ini dijumpai pada lokasi pengamatan, yaitu LP 34
(Gambar 4.33). Bidang sesar N130 o E / 52o, rake sebesar 72o, trend N 028o E, dan
plunge sebesar 35o.

Gambar 4. 8 Kenampakan pergeseran dua blok batuan yang tersingkap pada Sungai
Pino pada LP 34.
Berdasarkan data lapangan yang dituangkan kedalam model stereografis untuk
mendapatkan model sesar serta data tegasan berupa σ1, σ2, dan σ3. Sehingga dapat
diketahui bahwa Sesar Pulau Timun dibentuk oleh tegasan utama berarah timur laut-
barat daya (Gambar 4.34).

41
Gambar 4. 34 Analisis stereografis Sesar Pulau Timun berdasarkan klasifikasi Fossen
(2010) dan Rickard (1972)
4.3.3 Sesar Naik Pulau Timun
Sesar Naik Pulau Timun Sesar naik pulau timun ini berada didesa Pulau timun
kecamatan Tanjung Sakti PUMI, sesar naik pulau timun ini merupakan sesar mayor
didaerah penelitian pada bagian barat daya dan memanjang hingga selatan barat daya .
Sesar ini masih satu kemenerusan dengan sesar Pino. Sesar ini dijumpai pada lokasi
pengamatan, yaitu LP 1 dengan Bidang sesar N 110o E / 52o, rake sebesar 50o, trend N
146o E, dan plunge sebesar 37o.

Gambar 4. 35 Kenampakan pergeseran blok batuan yang tersingkap pada Sungai


Manna pada LP1
Berdasarkan data lapangan yang dituangkan kedalam model stereografis untuk
mendapatkan model sesar serta data tegasan berupa σ1, σ2, dan σ3. Sehingga dapat
diketahui bahwa Sesar Pulau Timun dibentuk oleh tegasan utama berarah timur laut-
barat daya (Gambar 4.36).

42
Gambar 4. 36 Analisis stereografis Sesar Pulau Timun berdasarkan klasifikasi Fossen
(2010) dan Rickard (1972)
Struktur fracture dengan orientasi bara laut-tenggara ditemui pada lokasi LP 6 di
Sungai Buluh dengan batuan penyusun andesit. Pada singkapan dilokasi ini, pengukuran
fracture dilakukan menggunakan metode scaneline. Kekar pada lokasi penelitian
termasuk jenis kekar gerus.

Gambar 4. 36 Analisis stereografis shear fracture pada lokasi penelitian 6 di sungai


Buluh.
4.3.4 Mekanisme Pembentukan Struktur Geologi
Berdasarkan analisis kinematik dan dinamik menggunakan proyeksi stereografis
dari aplikasi pengolah data struktur, rezim tektonik yang berlangsung pada fase
kompresi dengan strike gaya maksimum (σ1) relatif timur laut – barat daya. Struktur

43
yang terbentuk berupa Sesar Marang batu dengan orientasi relatif timurlaut - baratdaya.
Dan Sesar Pulau Timun dengan kemenerusan berarah barat laut - tenggara. Orientasi
struktur - struktur tersebut sesuai dengan konsep simple shear model menurut Harding
et al., (1974), sehingga gaya tegasan maksimum terbukti menyebabkan pensesaran pada
daerah penelitian (Gambar 4.37).

Gambar 4. 37 Simple shear model daerah penelitian (Harding et al., 1974).


Secara regional, pola yang berkembang pada daerah penelitian termasuk
kedalam pola Cekungan Bengkulu yang berarah timur laut – barat daya dan barat laut –
tenggara. Proses pembalikan struktur yang terjadi pada Pliosen Akhir-Plistosen
membentuk gaya kompresi yang cukup besar sehingga menyebabkan proses deformasi
terus berlangsung. Akibat terbentuk asosiasi antara kompresi, deformasi dan orogeny.
Sehingga struktur sesar dapat berkembang pada lokasi penelitian, yang mana sesar
memiliki arah baratlaut - tenggara dengan orientasi timur laut – barat daya.

Gambar 4. 38 Mekanisme perkembangan struktur Sesar naik di Sungai Pino daerah


penelitian (Tanpa skala).
Selanjutnya terjadi pelepasan gaya pada Plistosen-Resen. Pada fase ini gaya
kompresi yang terus bekerja sampai pada batas akhir sehingga mengalami pelepasan

44
gaya membentuk sesar mendatar kanan di bagian baratlaut - tenggara dengan orientasi
timur laut – barat daya daerah penelitian (Gambar 4.39).

Gambar 4. 39 Mekanisme perkembangan struktur Sesar mendatar di daerah penelitian


(Tanpa skala)

45
BAB V
SEJARAH GEOLOGI

Sejarah geologi merupakan gambaran umum dari pola penyebaran dari setiap
satuan batuan di daerah penelitian dan dihimpun bersamaan dengan adanya struktur
geologi, stratigrafi, dan geomorfologi serta data sekunder berupa penelitian terdahulu.
Gambaran umum tersebut diwujudkan dalam bentuk model geologi. Sejarah geologi
pada daerah penelitian berguna untuk menceritakan sejarah perkembangan dari geologi
daerah penelitian mulai dari terbentuknya batuan, struktur geologi serta proses-proses
yang terjadi sehingga membentuk bentukan lahan di daerah penelitian hingga sekarang.
Terdapat 4 tahapan kejadian yang menunjukkan pembentukan daerah penelitian dengan
proses dan waktu yang berbeda setiap kejadian daerah penelitian dimulai dari batuan
yang paling tua.
Berdasarkan data lapangan yang diperoleh, batuan tertua yang tersingkap
merupakan Formasi Hulusimpang dengan batuan penyusun andesit (Gambar 5.1).
Satuan ini diinterpretasikan terbentuk pada Oligosen – Miosen Awal dengan mekanisme
tensional tektonik. Seiring pembentukan tersebut, satuan batuan andesit Formasi
Hulusimpang mengalami erosi dan pelapukan. Proses tersebut berlanjut hingga secara
langsung mengubah kondisi morfologi satuan andesit Formasi Hulusimpang.

Gambar 5. 1 Formasi Hulusimpang pada Oligosen – Miosen Awal.

Pada Oligosen terjadi peristiwa vulkanisme yang menyebabkan terdapat litologi


yang terendapkan yaitu satuan litologi basal, lava terbreksikan dan piroklastik berupa
tuf kristal yang diinterpretasikan dari Gunung Rajamandara (Yulihanto dkk., 1995).
Satuan litologi tersebut termasuk dalam Formasi Hulusimpang yang terendapkan
sampai Miosen Awal dengan lingkungan pengendapan terestrial. Menurut Kusnama
dkk., (1992) Formasi Hulusimpang merupakan basemen Sub-cekungan Kedurang. Pada
akhirnya setelah terjadi pengendapan Formasi Hulusimpang, terjadi genang laut
(transgresi) hingga Miosen Tengah yang menyebabkan terendapkannya satuan litologi
serpih, batupasir dan batulempung yang termasuk dalam Formasi Seblat, litologi
Formasi Seblat berdasarkan observasi ditemukan berulang - ulang dengan tebal berkisar

46
±10 cm sehingga disebut dengan perselingan antara batupasir dengan batulanau dan
batulempung dengan sisipan tipis gamping. Formasi ini menindih Formasi Hulusimpang
secara tidak selaras. Formasi Seblat terendapkan dengan energi pengendapan yang tidak
stabil, diawali dengan energi kuat yang menyebabkan sedimentasi dengan litologi
berbutir kasar (batupasir) kemudian energinya berangsur berkurang dengan
terendapkannya litologi berbutir halus berbentuk serpih dan batulempung
Kemudian pada kala Miosen Awal – Miosen Tengah terjadi transgresi sehingga
menyebabkan terbentuknya pengendapan batupasir Formasi Seblat. Litologi daerah
penelitian yaitu batupasir sisipan serpih dan lanau . Formasi Seblat secara tektonik
terbentuk akibat adanya penurunan cekungan (basinal subsidence) dan terendapkan
pada shallow – deep marine. Formasi Seblat secara tidak selaras terendapkan diatas
satuan andesit Formasi Hulusimpang. Adanya fase transgresi pada daerah penelitian
ditandai dengan batuan yang bersifat karbonat pada formasi Seblat( Gambar 5.2)

Gambar 5. 2 Pengendapan Formasi Seblat pada Miosen Awal – Miosen


Tengah
Pada Miosen Tengah terjadi intrusi batuan granit yang menerobos satuan andesit
Formasi Hulusimpang Hal tersebut terjadi karena adanya zona lemah pada batuan
diakibatkan aktivitas tektonik pada Miosen Tengah membentuk struktur - struktur
berupa strike slip disertai dengan peningkatan laju aktivitas vulkanik akibat adanya gaya
kompresional yang terjadi. Kenampakan intrusi granit secara morfologi membentuk
perbukitan menerus pada daerah telitian. (Gambar 5.3).

47
Gambar 5. 3 Terbentuknya intrusi granit pada Miosen Tengah.
Secara regional intrusi granit memiliki bentuk seperti silinder yang memanjang
secara vertikal. Pada Pliosen hingga Plistosen tidak ada terjadinya pengendapan,
sehingga intrusi granit pun mengalami erosi dan pelapukan batuan. Adanya pengaruh
tektonik aktif yang terus berkembang di daerah penelitian sehingga terjadi deformasi
atau perubahan bentuk. Kala Pliosen Akhir hingga Plistosen merupakan fase
pembentukan struktur geologi. Dimana pada Pliosen Akhir proses penurunan cekungan
berhenti dan berganti menjadi proses pembalikan struktur (Yulihanto et al., 1995).
Struktur sesar berupa sesar naik berarah baratlaut – tenggara dengan orientasi timur laut
– barat daya pada Pliosen Akhir mulai terbentuk (Gambar 5.3).

Gambar 5. 4 Perkembangan struktur sesar pada Pliosen Akhir-Plistosen.


Kala Plistosen merupakan fase terakhir yaitu terjadi pelepasan gaya (stress
release). Gaya kompresi yang terus menerus bekerja, mengakibatkan pada suatu saat
stress tersebut akan melampaui kekuatan batuan sehingga terbentuklah sesar mendatar
menganan dengan orientasi timur laut – barat daya (Gambar 5.5).

48
Gambar 5. 5 Perkembangan struktur sesar pada Plistosen.
Proses geologi yang terjadi selanjutnya yang bekerja adalah proses denudasi
yang berupa pengikisan atau erosi yang menyebabkan perubahan bentuk morfologi serta
kondisi geologi daerah penelitian serta pada kala Holosen formasi Qhv terendapkan
secara tidak selaras diatas Formasi granit, sehingga keadaan seperti saat ini ditunjukkan
pada gambar 5.6.

Gambar 5. 6 Terbentuknya Formasi Qhv pada Holosen.


Dalam kurun waktu yang cukup lama proses sedimentasi terus berlangsung
dengan didukung adanya pengaruh aktivitas tektonik seperti pengangakatan (uplift)
Rangkaian proses geologi yang terjadi pada daerah telitian menyebabkan bentukan
morfologi seperti pada keadaan sekarang (Gambar 5.6).

49
Gambar 5. 7 Keadaan geologi daerah telitian pada keadaan sekarang.
Proses permukaan yang dapat mempengaruhi bentuk topografi suatu daerah
salah satunya oleh faktor iklim yaitu erosi dan denudasi. Sehingga keadaan bentuk lahan
mengalami perubahan dibuktikan dengan keadaan topografi daerah yang terus
mengalami penurunan akibat adanya erosi dan denudasi dalam waktu yang sangat lama
hingga membentuk topografi dengan elevasi seperti sekarang.

50
BAB VI
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil observasi lapangan dan analisis data dan informasi keadaan geologi
daerah penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1.Geomorfologi lokasi penelitian terbagi menjadi tiga jenis bentuk lahan (morfografi)
yaitu: perbukitan denudasional (PD), perbukitan tinggi denudasional (PTD),dan
Channel Irreguler Meander (CIM).
2. Stratigrafi daerah penelitian dari tua ke muda terbagi menjadi 4 Formasi, yaitu :
Formasi Hulusimpang, Formasi Seblat, Formasi Granit dan Qhv. Formasi Hulusimpang
terdiri dari batuan andesit yang berumur Oligosen-Miosen Awal, Formasi Seblat terdiri
dari satuan batupasir, batuserpih dan batulanau berumur Miosen Awal-Miosen Tengah
yang berada pada lingkungan neritik. Hubungan Formasi Hulusimpang dan Formasi
Seblat tidak selaras. Selanjutnya Formasi Granit yang mengintrusi Hulusimpang dan
pada holosen terbentuk formasi Qhv terdiri atas satuan breksi vulkanik dan tuff .
3. Struktur geologi yang dijumpai dilokasi penelitian yaitu Sesar Naik Pulau Timun
dibentuk oleh tegasan utama berarah timur laut-barat daya dan Sesar Mendatar Marang
Batu dibentuk oleh tegasan utama timur laut-barat daya.
4. Analisis petrografi dilakukan sebanyak 9 sampel meliputi batuan beku yaitu granit,
andesit, breksi gunungapi dan tuff, sampel batuan sedimen meliputi batupasir dan serpih.

5. Sejarah geologi di lokasi penelitian terdiri dari empat tahapan urutan pembentukan
batuan dimulai dari yang tua ke muda yaitu berdasarkan data lapangan yang diperoleh,
batuan tertua yang tersingkap merupakan batuan andesit Formasi Hulusimpang
terbentuk pada Oligosen – Miosen Awal dengan mekanisme tensional tektonik.
Kemudian pada kala Miosen Awal – Miosen Tengah terjadi transgresi sehingga
menyebabkan terbentuknya pengendapan batupasir perselingan batulanau dan
batuserpih Formasi Seblat. Pada Miosen Tengah terjadi intrusi batuan granit yang
menerobos andesit Formasi Hulusimpang dan Formasi Seblat. Pada Pliosen hingga
Pleistosen tidak ada terjadinya pengendapan, sehingga intrusi granit pun mengalami
erosi dan pelapukan batuan. Pada kala Holosen terendapkan formasi Qhv dengan satuan
tuff dan breksi gunung api.

51
DAFTAR PUSTAKA

Amin, T.C., Kusnama, Rustandi, E., dan Gafoer, S., 1993. Peta Geologi Lembar Manna
Dan Enggano Skala (1:250.000). Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi:
Bandung
Barber, A.J., 2000. The Origin of The Woyla Terranes In Sumatra And The Late
Mesozoic Evolution of The Sundaland Margin. Journal of Asian Earth Sciences
18, pp. 713-738.
Barker, R. Wright. 1960. Taxonomic Notes Society of Economic Paleontologists and
Mineralogist. Tulsa : Oklahoma University Press.
Blow, W.H. 1969. Late Middle Eocene to Recent planktonic foraminifera
biostratigraphy. v. 1, p.199-422. 1st Edition. Geneva : E.J. Brill.
Buffington, J.M., Montgomery, D.R., 2013, Geomorphic Classification of Rivers.In:
Shroder, J. (Editor in Chief), Wohl, E. (Ed), Trestise Geomorphology.
Academic Press, San Diego, CA, v.9 Fluvial Geomorphology, p.730 – 767.
Dunham, R. J. 1962. Classification of carbonate rocks according to depositional texture.
in Ham, W. E. Classification of Carbonate Rocks: AAPG Memoir 1, p.108–
121.
Fossen, H. 2010. Structural Geology. New York : Cambridge University Press.
Hamilton, W. 1989. Convergent-Plate Tectonics Viewed from the Indonesian
Region. Jakarta : Geol.Indon. v.12, n.1:35-88.
Hall, D.M., Buff, B.A., Courbe, M.C., Seurbert, B.W., Siahaan, M., dan Wirabudi,
A.D., 1993. The Southern Fore-Arc Zone of Sumatera: Cainozoinc Basin-
Forming Tectonism And Hidrocarbon Potensial. Proceedings 22nd Annual
Convention,IPA, pp.319-344.
Harding, T.P., 1974, Petroleum Trap Associated with Wrench Fault. Bulletin Am. Assn.
Petroleum Geology 58, 1290-1304pp.
Heryanto, R., 2007. Kemungkinan Keterdapatan Hidrokarbon di Cekungan Bengkulu.
Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2, pp. 119-131.
Howles, A.C.Jr., 1986. Structural And Stratigraphic Evolution of The Southwest
Sumatran Bengkulu Shelf. Proceedings 16th Annnual Convention, IPA, pp
215-220.
Huggett, R. J. 2017. Fundamental of Geomorphology. USA and Canada : 4 edition
Routage.
.

xi
Nichols, Gary. 2009. Sedimentology and Stratigraphy – 2 nd ed. United Kingdom
Pettijohn, F.J. 1975. Sedimentary Rocks. Harper and Row: New York, 3rd
edition
Pettijon, F.J., 1987, Sedimentary Rocks, Harper and Row Publisher Inc., New York
Pulonggono et al. 1992.Pra Tertiary and Tertiary Fault System as a Framework of The
South Sumatera Basin; Study Area of Sars- Map.Jakarta:Indonesian Petroleum
Assosiason (IPA).
Sandi Stratigrafi Indonesia (SSI). 1996. Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia. Ikatan Ahli
Geologi Indonesia (IAGI). Hal 10.
T.C. Amin, E. Rustandi, S. Gafoer, Kusnama. 1993., ” Geologi Lembar Manna dan
Enggano, Sumatera Skala 1:250.000” . Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi. Bandung.
Twidale, C. R. 2004. River Patterns and Their Meaning. Earth-Science Reviews 67,
p.159 – 218.
Wentworth, C. K., 1922, A Scale of Grade and Class Terms for Clastic Sediments. The
Journal of Geology, 30(5), 377–392. http://www.jstor.org/stable/30063207.
Widyatmanti, Wicaksono, Syam. 2016. Identification of topographic elements
composition based on landform boundaries from radar interferometry
segmentation (preliminary study on digital landform mapping). IOP
Conference Series: Earth and Environmental Science, 37.
Yulihanto, B., Situmorang, B., Nurdjajadi, A., and Sain, B., 1995. “Structural Analysis
of the onshore Bengkulu Forearc Basin and Its Implication for Future
Hydrocarbon Exploration Activity”. Proceedings, Indonesian Petroleum
Association Twenty Fourth Annual Convention, October 1995. Yulihanto, B.
& Sosrowidjojo, I.B. 1996. Constrains on the New Exploration Strategies in
The Future for The Bengkulu Forearc Basin Indonesia. Proceed 8 th Offshore
Sordmxst Asia ConJ: Singapore.

xii

Anda mungkin juga menyukai