B AB I I
GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI
Wilayah Kabupaten Konawe pada Tahun 2010 memiliki 30 Kecamatan, 354 desa dan
56 kelurahan. Berikut adalah Kecamatan-kecamatan yang masuk wilayah Kabupaten
Konawe.
Luas Wilayah
No. Kecamatan
(Km2)
1. Wawonii Selatan 91,89
2. Wawonii Barat 154,62
3. Wawonii Tengah 82,5
4. Wawonii Tenggara 91,83
5. Wawonii Timur 73,93
6. Wawonii Utara 204,56
7. Wawonii Timur Laut 73,92
8. Soropia 43,22
9. Lalonggasumeeto 43,16
10. Sampara 337,24
11. Bondoala 206,24
12. Besulutu 174,85
13. Kapoiala 206,11
14. Lambuya 253,09
15. Uepai 222,62
16. Puriaala 236,85
17. Onembute 253
18. Pondidaha 372,54
19. Wonggeduku 345,6
20. Amonggedo 172,85
21 Wawotobi 221,55
22. Meluhu 215,2
II - 1
Laporan Akhir (Final Report)
Luas Wilayah
No. Kecamatan
(Km2)
23. Konawe 185,6
24. Unaaha 113,2
25. Anggaberi 68,25
26. Abuki 482,66
27. Latoma 359,11
28. Tongauna 482,7
29. Asinua 403,28
30. Routa 620,28
Jumlah 6.792,45
Sumber : BPS Kabupaten Konawe, tahun 2011
Kondisi morfologi di sekitar rencana bendungan Pelosika dan besar debit sungai
Konaweha dapat dilihat pada foto dokumentasi berikut.
Secara umum total penggunaan tanah di Kabupaten Konawe tahun 2008 dari data
statistik seluas 666.652 Ha. Dari rincian penggunaan tanah tersebut yang terluas adalah
hutan negara seluas 337.213 Ha (50,58%) atau lebih dari separuh luas tanah di
Kabupaten Konawe, tanah sawah seluas 34.077 Ha (5,11%), tanah tegal/ kebun seluas
II - 2
Laporan Akhir (Final Report)
24.886 Ha (5,55%), lahan tanaman kayu-kayuan seluas 25.198 Ha (4,45%) dan yang
terendah peruntukan tambak, kolam, tebat dan empang seluas 5.891 Ha (1,55%),
untuk lebih jelasnya Tabel 2.2. telah merinci 12 jenis penggunaan tanah di Kabupaten
Konawe.
Pada bulan Nopember sampai dengan Maret, angin banyak mengandung uap air
yang berasal dari Benua Asia dan Samudera Pasifik, setelah sebelumnya melewati
beberapa lautan. Pada bulan-bulan tersebut terjadi musim penghujan.
Sekitar bulan April, arus angin selalu tidak menentu dengan curah hujan kadang-
kadang kurang dan kadangkadang lebih. Musim ini oleh para pelaut setempat
dikenal sebagai musim Pancaroba. Sedangkan pada bulan Mei sampai dengan
Agustus, angin bertiup dari arah Timur yang berasal dari Benua Australia kurang
mengandung uap air. Hal tersebut mengakibatkan minimnya curah hujan di daerah
ini.
Pada bulan Agustus sampai dengan Oktober terjadi musim Kemarau. Sebagai akibat
perubahan kondisi alam yang sering tidak menentu, keadaan musim juga sering
menyimpang dari kebiasaan.
II - 3
Laporan Akhir (Final Report)
2.4.3. Hidrologi
DTA Konaweha merupakan salah satu DTA yang berada pada Wilayah Sungai Lasolo
Sampara, selain DTA Konaweha masih ada DTA Lasolo dan DTA Lalindu. Dari studi
Perencanaan Pengelolaan SDA WS Lasolo Sampara tahun 2007, luas DTA Konaweha
diketahui 6.664 km2 dengan wilayah administrasi mencakup Kabupaten Konawe
Selatan, Kabupaten Konawe, dan Kabupaten Kolaka. Bagian hulu daerah aliran
Sungai Konaweha dibatasi oleh daerah perbukitan dengan ketinggian 2.000 m dpl.
Panjang Sungai Konaweha dari hulu sampai dengan hilir = 127 km dengan
kemiringan sungainya S = 0,009.
II - 4
Laporan Akhir (Final Report)
Lamonae
Lamonae
Landawe
Landawe
Landawe
Landawe
Landawe
Landawe
Wiwiramo
Wiwiramo 0 20
Lalindu-Lamonae
Lalindu-Lamonae
Lalindu-Lamonae
Lalindu-Lamonae
Lalindu-Lamonae
Lalindu-Lamonae kilometers
Lasolo-Asera
Lasolo-Asera
Lasolo-Asera
Lasolo-Asera
Lasolo-Asera
Lasolo-Asera
Andowia
Andowia
Andowia
Andowia
Andowia
Andowia
DAS
DAS KONAWEHA
KONAWEHA Asera
Asera
Tinobu
Tinobu
Abuki
Abuki
Lahumbuti
Lahumbuti
Lahumbuti --- Abuki
Abuki
Abuki
Mowewe
Mowewe
Konaweha-Pelosika
Konaweha-Pelosika
Konaweha-Pelosika
Konaweha-Pelosika
Konaweha-Pelosika
Konaweha-Pelosika
LEGENDA
LEGENDA
Sungai
Unaaha
Unaaha
Unaaha
Unaaha
Unaaha
Unaaha
Bendungan
Bendungan
Lahumbuti
Lahumbuti
Lahumbuti -Amesiu
Lahumbuti
Lahumbuti
Lahumbuti -Amesiu
-Amesiu
-Amesiu
-Amesiu
Lambuya
Lambuya
Pos
Pos Hujan
Hujan
S.
S.
S. Sabilambo
Sabilambo
Sabilambo ----- Meeto
Meeto
Meeto
S.
S.
S. Sabilambo
Sabilambo Meeto
Meeto
Pohara
Pohara
Pohara
Pohara
Pohara
Pohara
Pos
Pos Duga
Duga Air
Air
Konaweha-Wawalemo
Konaweha-Wawalemo
Konaweha-Wawalemo
Pos
Pos Klimatologi
Klimatologi Konaweha-Wawalemo
Konaweha-Wawalemo
Konaweha-Wawalemo
Wundulako
Wundulako
Wundulako
Wundulako
Wundulako
Wundulako
Mowila
Mowila
Mowila
Mowila
Mowila
Mowila
Motaha
Motaha
Andowengga
Andowengga
Andowengga
Andowengga
Andowengga
Andowengga
II - 5
Laporan Akhir (Final Report)
II - 6
Laporan Akhir (Final Report)
Suhu Udara dipengaruhi oleh berbagai faktor. Perbedaan ketinggian dari permukaan
laut mengakibatkan perbedaan suhu untuk masing-masing tempat dalam suatu
wilayah. Secara keseluruhan, Kabupaten Konawe merupakan daerah bersuhu tropis.
Secara keseluruhan, Kabupaten Konawe merupakan daerah bersuhu tropis. Menurut
data yang diperoleh dari Pangkalan Udara HaluoleoKendari, selama tahun 2010 suhu
udara maksimum 33,8C dan minimum 15,4C atau dengan rata-rata 32,8C dan
19,1C. Tekanan udara rata-rata 1.009,0 milibar dengan kelembaban udara rata-rata
87,2 persen. Kecepatan angin pada umumnya berjalan normal yaitu disekitar 3,58
m/detik.
II - 7
Laporan Akhir (Final Report)
Tabel 2.4 : Luas Potensial dan Fungsional Lahan Pertanian Kab. Konawe
Untuk irigasi pada saat tahun 2007 terdapat Daerah Irigasi seluas 16.724 hektar yang
dipasok dari Bendung Wawotobi. Sedangkan kebutuhan air irigasi keseluruhan 25,19
m3/detik (25.190 liter/detik). Jadi, kebutuhan air tiap hektarnya adalah 1,54 liter/detik/ha.
Daerah Irigasi Wawotobi Kiri ini direncanakan akan dikembangkan lebih lanjut dengan
Daerah Irigasi Wawotobi Kanan dan Daerah Irigasi lainnya disekitarnya yang dipasok
dari Sungai Konaweha.
II - 8
Laporan Akhir (Final Report)
Kabupaten 2006
Kab. Kolaka 144
Kab. Konawe 643
Kab. Konawe Selatan 151
Kendari 145
Sumber : Pemodelan DSS-Ribasim,
Perencanaan Pengelolaan SDA WS Lasolo-Sampara, 2007
Jadi dari uraian diatas disimpulkan bahwa untuk keseluruhan kebutuhan air rumah-
tangga, perkotaan dan industri dapat dipenuhi 100 persen.
2.6.1. Kependudukan
Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Kabupaten Konawe sebanyak
241.982 jiwa, atau diperkirakan mengalami kenaikan sebesar 6.057 jiwa selama periode
2000-2010. Kenaikan yang relatif sedikit ini disebabkan oleh pemekaran Kabupaten
Konawe Selatan tahun 2002 dan Kabupaten Konawe Utara tahun 2007.
Konsentrasi penduduk yang tidak merata masih merupakan ciri yang paling menonjol
dari penduduk Kabupaten Konawe. Hal ini ditandai dengan besarnya perbedaan
kepadatan antara kecamatan satu dengan yang lainnya. Kecamatan Unaaha,
Kecamatan Soropia, dan Kecamatan Lalonggasumeeto merupakan wilayah dengan
tingkat kepadatan jauh diatas rata-rata, masing-masing 200,5 jiwa, 179,4 jiwa, dan
106,9 jiwa per kilometer persegi. Sementara Kecamatan Routa, Asinua, dan Latoma
memiliki tingkat kepadatan masing-masing 3,1 jiwa, 6,1 jiwa per kilometer persegi dan
6,6 jiwa per kilometer persegi. Tabel berikut menyajikan penyebaran penduduk di
Kabupaten Konawe per Kecamatan.
II - 9
Laporan Akhir (Final Report)
II - 10
Laporan Akhir (Final Report)
Laju Pertumbuhan
No Tahun Jumlah Penduduk (jiwa)
2000 2010
1 2000 199.354 1,93 %
2 2010 241.982
Sumber: Kabupaten Konawe Dalam Angka 2011
II - 11
Laporan Akhir (Final Report)
Tabel 2.9. Jumlah Sekolah, Guru dan Murid Menurut Tingkat Pendidikan
Tingkat Guru per Murid per Murid per
No. Sekolah Guru Murid
Sekolah Sekolah Sekolah Guru
1. TK 151 581 ) 3,8 ) )
2. SD 337 3. 674 40. 300 10,9 119,6 11,0
3. SLTP 77 1. 348 15. 392 17,5 199,9 11,4
4. SLTA 38 740 8. 313 19,5 218,8 11,2
...) tidak ada data
Sumber: BPS Provinsi Sultra Tahun 2009
2) Fasilitas Kesehatan
Pembangunan kesehatan di Sulawesi Tenggara dititikberatkan pada peningkatan
mutu pelayanan kesehatan masyarakat. Untuk mencapai sasaran pembangunan
tersebut sejak tahun 1993 telah digiatkan pelaksanaan pembangunan sarana dan
prasarana pelayanan kesehatan. Tabel berikut menggambarkan jumlah fasilitas
kesehatan di Kabupaten Konawe pada tahun 2010.
II - 12
Laporan Akhir (Final Report)
II - 13
Laporan Akhir (Final Report)
3) Fasilitas Keagamaan
Sesuai falsafah negara "Pancasila", kehidupan beragama tidak sekedar dinilai
sebagai hak asasi setiap warga negara tetapi juga mendapat perhatian khusus
dari pemerintah. Pemerintah dan masyarakat telah berupaya membangun fasilitas
dan sarana keagamaan agar masyarakat dapat dengan mudah menjalankan
agama dan kepercayaannya. Pada tahun 2010, dari 241.982 jiwa penduduk
Kabupaten Konawe, 232.062 (95,90 persen) beragama Islam,4.079 (1,69 persen)
beragama Kristen Protestan, 770 (0,32 persen) beragama Kristen Katholik, 4.985
(2,06 persen) beragama Hindu dan sisanya beragama Budha. Sejalan dengan
perkembangan jumlah pemeluk agama tersebut, telah dibangun 416 buah mesjid,
167 buah mushalla, 3 buah langgar, 9 buah gereja katholik, 29 buah gereja
protestan, 32 pura dan 3 buah vihara. (lebih rinci disajikan pada tabel 2.10).
II - 14
Laporan Akhir (Final Report)
terjual setelah diproduksi atau dibangkitkan sendiri selama tahun 2010 tercatat
sebanyak 32.634.506 KwH dengan nilai penjualan 23.785,7 juta rupiah, lebih tinggi
jika dibandingkan dengan tahun 2009 yangdiproduksi atau dibangkitkan sebesar
27.034.243 KwH dengan nilai penjualansebesar 20.417,0 juta rupiah. Dengan
demikian ada kenaikan nilai penjualan sebesar 3.368,7 juta rupiah atau 16,49
persen. Selama tahun 2010 tercatat banyaknya pelanggan sebesar 24.169 unit,
dengan tenaga listrik yang terjua ldan nilai penjualan masing-masing sebesar
38.297.304 KwH dan 23.785,7 juta rupiah. Jenis penggunaan terbesar adalah rumah
tangga tercatat 22.744 pelanggan, dengan tenaga listrik yang terjual dan nilai
penjualan masing-masing sebesar 26.262.688 KwH dan 14.007,6 juta rupiah.
II - 15
Laporan Akhir (Final Report)
II - 16
Laporan Akhir (Final Report)
Luas Tanam
Jenis Tanaman
No. Produktif Belum Tidak Produksi
Perkebunan Rakyat
Produktif Produktif (Ton)
1 Kelapa dalam 569 6 140 547 7 256
2 Kelapa hibrida 16 217 38 271
3 Kopi 70 1 248 222 1 540
4 Cengkeh 230 575 72 877
5 Kakao 2 214 13 470 1 374 17 058
6 Jambu mete 760 10 407 1 309 12 476
7 Kapuk 3 165 39 207
8 Kapas - - - -
9 Kemiri 152 204 125 481
10 Lada 301 2 708 797 3 806
11 Pala 65 110 175
12 Jahe - - - -
13 Vanili 46 6 1 53
14 Pinang 13 191 13 217
15 Enau 11 39 12 62
16 Tembakau - - - -
17 Asam Jawa 5 7 12
18 Sagu 596 1 336 111 2 043
Sumber: Kabupaten Konawe Dalam Angka 2011
II - 17
Laporan Akhir (Final Report)
Sektor peternakan di Kabupaten Konawe meliputi lima jenis ternak yang dominan yaitu
usaha ternak sapi, kerbau, kuda, domba/kambing dan babi, usaha ternak ini
umumnya adalah usaha ternak rakyat. Pada tahun 2010 ternak sapi masih menduduki
peringkatpertama kemudian diikuti oleh ternak kambing, yang nilainya masing
masing 41.692 ekor dan 14.004 ekor. Hal ini didukung dengan padang rumput yang
masih luas.
Populasi unggas selama tahun 2010 sebanyak 607.372 ekor ayam buras, 11.000 ekor
ayam ras, 30.000 ekor ayam petelur dan 83.011 ekor itik manila. Ayam buras dan itik
dapat dijumpai di seluruh kecamatan di Kabupaten Konawe. Ayam ras hanya
dijumpai di di Kecamatan Uepai, Kecamatan Wonggeduku dan Kecamatan Unaaha,
sedangkan ayam petelur dijumpai di kecamatan Wonggeduku dan Kecamatan
Amonggedo. Jumlah produksi daging secara keseluruhanuntuk Kabupaten Konawe
berbanding lurudengan populasinya. Data populasi dan produksi ternak unggas tahun
2008 dapat dilihat pada Tabel 2.16.
II - 18
Laporan Akhir (Final Report)
Pada tabeldiatas menunjukan bahwa PDRB Kab. Konawe yang terbesar adalah dari
sector Pertanian menyumbang presentase sebesar 37.24 % pada tahun 2010, dan
diikuti oleh beberapa sector lainnya seperti Jasa sebesar 17.01 % , sub sector
Perdagagangan sebesar 13.56 % dan Pertambangan sebesar 4.02 %
Dengan demikian maka pengembangan sector pertanian sangat perlu dilakukan
dengan penyediaan sumber air untuk irigasi seperti halnya rencana pembangunan
bendungan Pelosika ini.
2.7.2. Morfologi
II - 19
Laporan Akhir (Final Report)
1) Satuan Pegunungan
Satuan ini menempati bagian tengah dan bagian barat dengan arah pegunungan
memanjang barat laut tenggara, seperti Peg. Mekongga, Peg. Tangkelemboke
dan Peg. Matarombeo. Daerah pegunungan yang batuan penyusunnya terdiri dari
batuan malihan dan batu gamping, umumnya bertonjolan kasar dan tajam,
berlereng curam dan sempit. Sedangkan daerah pegunungan yang batuan
penyusunnya berupa ultramafik umumnya bertonjolan halus dan berlereng tidak
begitu curam. Ketinggian puncaknya berkisar dari 750 m sampai 3.000 m di atas
permukaan laut, antara lain G.Tangkelemboke (1.972m), G. Watuwila (2.500 m), G.
Mekongga (1.790 m), G. Tinondo (1.800 m), G. Ranawuwu (851 m), G. Hialu (896 m),
G. Mantakasi (945 m), G. Andoluto (1.100 m) dan G. Tangkesawua (1.500 m). Pola
aliran sungai di daerah ini umumnya membentuk ranting dan setempat sejajar.
2) Satuan Perbukitan
Satuan perbukitan menempati bagian barat dan bagian timur sekitar kaki
pegunungan. Satuan ini juga terdapat di antara pegunungan yang berupa
perbukitan landai yang umumnya tersusun oleh konglomerat dari Molasa Sulawesi.
Daerah ini biasanya membentuk perbukitan bergelombang yang ditumbuhi semak
dan alang-alang, Ketinggiannya berkisar antara 75 m sampai 750 m di atas
permukaan laut. Puncak-puncak yang terdapat pada satuan morfologi ini
diantaranya G. Nipania (490 m), G. Meluhu (517 m), G. Tampakura (736 m) dan
beberapa puncak lainnya. Sungai di daerah ini mempunyai pola aliran membentuk
ranting.
3) Satuan Karst
Morfologi Karst terdapat di Peg, Matarombeo, dan di bagian hulu sungai
Woimenda, serta daerah perbukitan mulai dari Peg, Wawoombu sampai Peg.
Lalompa di timurnya. Daerah perbukitan Karst ditempati oleh batuan karbonat dari
Formasi Tokala, Matano dan Salodik. Satuan ini dicirikan oleh bentuk perbukitan
kasar serta terdapatnya sungai bawah tanah, dolina dan gua batu gamping.
Daerah ini memiliki ketinggian antara 400 m sampai 800 m di atas permukaan laut.
4) Satuan Dataran Rendah
Dataran rendah terdapat di daerah pantai dan sepanjang sungai besar sampai ke
muaranya, seperti S. Konaweha, S. Lahumbuti, S. Sampara dan S. Lasolo, Batuan
penyusunnya terdiri atas endapan sungai, pantai dan rawa. Ketinggian daerah ini
berkisar mulai dari beberapa meter sampai 75 m di atas permukaan laut.
Batuan-batuan yang tersingkap di wilayah ini secara regional mempunyai kisaran umur
yang cukup panjang yaitu mulai dari Paleozoikum sampai dengan Kuarter.
Berdasarkan himpunan batuan dan pencirinya, geologi Pra-Tersier di daerah ini dapat
dibedakan dalam 2 Lajur Geologi yaitu Lajur Tinondo di bagian barat daya dan
Lajur Hialu di bagian timur laut. Lajur Tinondo dicirikan oleh batuan endapan paparan
benua, dan Lajur Hialu dicirikan oleh endapan kerak samudra/ofiolit (Rusmana, dkk..
II - 20
Laporan Akhir (Final Report)
1985). Secara garis besar kedua mendala ini di batasi oleh Sesar Lasolo yang melintasi
jazirah. Sulawesi Tenggara dengan arah barat laut tenggara.
Batuan yang terdapat di Lajur Tinondo yang merupakan batuan alas yaitu Batuan
Malihan Paleozoikum (Pzm) dan diduga berumur Karbon; terdiri dari sekis kuarsa, sekis
klorit, sekis mika grafit, batu sabak dan genes. Pualam Paleozoikum (Pzmm) menjemari
dengan Batuan Malihan Paleozoikum terutama terdiri dari pualam dan batugamping
terdaurkan. Pada Permo-Trias di daerah ini diduga terjadi kegiatan magma yang
menghasilkan terobosan aplit kuarsa, latit kuarsa dan andesit (TRga), yang menerobos
Batuan Malihan Paleozoikum.
Formasi Meluhu (TRJm) yang berumur Trias-Tengah sampai Jura, secara tak selaras
menindih Batuan Malihan Paleozoikum. Formasi ini terdiri dari batu pasir kuarsa yang
termalihkan lemah dan kuarsit yang setempat bersisipan dengan serpih hitam dan batu
gamping yang mengandung Halobia sp., dan Daonella sp., serta batu sabak pada
bagian bawah.
Pada zaman yang sama terendapkan Formasi Tokala (TRJt), terdiri dari batugamping
berlapis dan serpih bersisipan batu pasir. Hubungannya dengan Formasi Meluhu
adalah menjemari. Pada Kala Eosen hingga Miosen Tengah (?), pada lajur ini terjadi
pengendapan Formasi Salodik (Tems); yang terdiri dari Kalkanerit dan setempat batu
gamping oolit.
Batuan yang terdapat di Lajur Hialu adalah batuan ofiolit (Ku) yang terdiri dari peridotit,
harsburgit, dunit dan serpentinit. Batuan ofiolit ini tertindih tak selaras oleh Formasi
Matano (Km) yang berumur Kapur Akhir, dan terdiri dari batu gamping berlapis
bersisipan rijang pada bagian bawahnya.
Batuan sedimen tipe molasa berumur Miosen Akhir Pliosen Awal membentuk Formasi
Pandua (Tmpp), terdiri dari konglomerat aneka bahan dan batu pasir bersisipan lanau.
Formasi ini menindih tak selaras semua formasi yang lebih tua, baik di Lajur Tinondo
maupun di Lajur Hialu. Pada Kala Plistosen Akhir terbentuk batugamping terumbu koral
(Ql) dan Formasi Alangga (Qpa) yang terdiri dari batu pasir dan konglomerat. Batuan
termuda di wilayah ini adalah Aluvium (Qa) yang terdiri dari endapan sungai, rawa
dan pantai.
II - 21
Laporan Akhir (Final Report)
2) Formasi Meluhu (TRJm) terdiri dari: batu pasir, kuarsit, serpih hitam, serpih merah, filit,
batu sabak, batu gamping dan batu lanau.
Batu pasir, kelabu sampai kelabu muda dan kekuningan, sangat kompak;
berbutir halus sampai sedang; menyudut tanggung; terpilah baik hingga
sedang; tersemen oleh silica; terkersikkan; sebagian termalihkan lemah; berlapis
baik dengan tebal lapisannya antara 10 60 cm, dan setempat mencapai 1 m
atau lebih.
Kuarsit, putih kekuningan dan kelabu muda; sangat kompak; terpilah baik;
berbutir halus, Pada batuan ini banyak dijumpai selingan batu sabak dan filit.
Serpih hitam, kecoklatan; kekuningan; umumnya kurang kompak hingga getas;
termalihkan lemah; setempat menyabak; berlapis baik dengan tebal
lapisannya antara 20 dan 60 cm. Di beberapa tempat mengandung mika dan
karbonat, Batuan ini umumnya terdapat di bagian atas.
Serpih merah, mengkilap (glossy) pada permukaannya, tebal lapisan beberapa
sentimeter, biasanya terdapat sebagai sisipan dalam batu pasir.
Filit, kelabu hingga merah kecoklatan, permukaan, tebal lapisannya mencapai
puluhan sentimeter, perdauran berkembang baik; umumnya berselingan
dengan batu pasir dan kuarsit.
Batu sabak, kelabu tua hingga kehitaman; permukaannya mengkilap, getas;
mudah pecah melalui bidang belahnya; terdapat sebagai sisipan di dalam
batu pasir dan kuarsit.
Batu gamping, umumnya berwarna kelabu sampai kehitaman; berbutir halus
hingga sangat halus; setempat terhablur ulang; banyak dijumpai urat kalsit
berukuran halus, pejal; tebal lapisannya berkisar dari beberapa sentimeter
sampai 60 cm, Setempat batu gamping ini mengandung fosil Halobia sp dan
Daonella sp.
Batu lanau, berwarna kelabu hingga kehitaman, keras dan kompak, Terdapat
sebagai sisipan di dalam batu pasir, dengan tebal lapisan beberapa
sentimeter.
Berdasarkan fosil Halobia sp., dan Daonella sp., yang di kandungnya Formasi ini
diduga berumur Trias-Tengah hingga Trias-Akhir, dan terbentuk dalam lingkungan
laut dangkal hingga laguna. Tebal seluruhnya diperkirakan mencapai 1,000 m
bahkan lebih.
Satuan ini menindih Batuan Malihan Mekongga dan Batuan Malihan Tamosi secara
tak selaras. Hubungannya dengan batuan ofiolit berupa sesar, Sebaran formasi ini
terdapat di bagian tenggara, yaitu di Peg. Abuki dan Maluhu, dan sedikit di bagian
timur laut, Lokasi tipenya terdapat di G. Meluhu, 30 km sebelah timur laut
Wawotobi, Kabupaten Kendari.
3) Formasi Tokala (TRJt) terdiri dari : kalsilulit, batu gamping, batu pasir, serpih, napal
dan batu sabak.
II - 22
Laporan Akhir (Final Report)
Kalsilulit, kelabu muda dan kelabu kemerahan, sangat kompak; berlapis baik;
kekarnya terisi oleh kalsit; terlipat kuat.
Batu gamping, berwarna hitam, kompak; berlapis baik dengan tebal lapisannya
dari beberapa sentimeter sampai lebih 1 meter; banyak mengandung
cangkang moluska dan sedikit koral. Batuan ini umumnya telah terhablur ulang
dan banyak dijumpai urat kalsit berukuran sangat tipis dan tak beraturan.
Batu pasir, kelabu kehijauan sampai kecoklatan; berbutir halus sampai kasar;
terekat oleh massa dasar oksida besi; lunak hingga keras; mengandung sedikit
kuarsa; umumnya berlapis baik.
Serpih, berwarna kelabu, berlapis baik dengan tebal dari 20 30 cm; kompak
dan keras, Struktur perarian berkembang baik dan terdapat bintal karbonat.
Batu sabak, hitam; kompak; belahan menyabak berkembang baik, Terdapat
sebagai sisipan di dalam batu gamping.
Napal, berwarna kelabu; padat; keras; berlapis dengan tebal mencapai 1,5 m.
Dalam formasi ini terdapat fosil Halobia sp., dan Amonit yang menunjukkan umur
Trias Akhir (Simandjuntak, dkk., 1981). Satuan ini terbentuk dalam lingkungan laut
dalam di sekitar lereng benua. Formasi ini tersingkap di bagian timur laut dan
tengah selanjutnya menerus ke arah utara.
Hubungannya dengan batuan ofiolit berupa sesar, dan tertindih tak selaras oleh
endapan Molasa, Tebalnya diperkirakan mencapai ratusan meter, mungkin lebih
dari 1,000 m. Penamaan formasi ini berdasarkan kelanjutan dari Formasi Tokala
yang terdapat di bagian timur laut daerah Bungku (Simandjuntak, dkk., 1981).
4) Batuan Malihan Paleozoikum (Pzm) terdiri dari sekis, genes, filit, kuarsit dan sedikit
pualam.
Sekis, berwarna kelabu kecoklatan dan kemerahan hingga kehijauan;
umumnya berbutir halus; umum dijumpai urat kuarsa; setempat terdapat
lipatan-lipatan kecil dan struktur pita kusut, serta crenulation, Jenis sekisnya
terdiri dari sekis mika, sekis mika-garnet, sekis klorit aktinolit, sekis lausonit dan
sekis glaukofan, Hadirnya mineral glaukofan dan lausonit dalam sekis di daerah
Pakue, menunjukkan bahwa faktor tekanan memegang peranan penting
dalam pembentukan batuan ini.
Genes, berwarna kelabu tua hingga merah kecoklatan; mineral penyusunnya
terdiri dari kuarsa, biotit, muskovit dan plagioklas.
Filit, berwarna kelabu muda hingga kelabu tua dan coklat kemerahan bila
lapuk; umumnya berbutir halus; perdauran berkembang baik; mengandung
sedikit serisit.
Kuarsit, berwarna putih hingga putih kelabu; berbutir halus; granoblastik; sangat
kompak; mengandung sedikit mika dan mineral hitam. Batuan ini biasanya
terdapat sebagai sisipan di dalam sekis dengan tebal beberapa sentimeter
sampai lebih dari 1 meter.
II - 23
Laporan Akhir (Final Report)
Batu sabak, berwarna kelabu tua sampai kehitaman; mengkilap pada bagian
permukaannya (glossy); setempat mengandung grafit; memperlihatkan
belahan baik; umumnya berbutir halus sampai sangat halus.
Urat-urat kuarsa sangat umum dijumpai dalam satuan ini, terutama pada sekis
sebagai hasil segregasi; tebalnya beberapa sentimeter, memotong atau sejajar
bidang perdauran.
Fosil tidak ditemukan dalam satuan ini, sehingga umurnya belum dapat dipastikan.
Satuan ini tertindih tak selaras oleh Formasi Meluhu yang berumur TriasTengah Trias
Akhir, maka umur Batuan Malihan Paleozoikum ini lebih tua dari Trias Tengah.
Apabila disebandingkan dengan batuan malihan di daerah Kep. Sula (Surono,
drr.,1985), maka umurnya adalah Karbon.
Satuan ini tersebar luas di bagian barat daya, yaitu meliputi Peg. Mekongga,
Satuan ini merupakan batuan alas di Lajur Tinondo. Hubungannya dengan batuan
ofiolit di pantai bagian barat berupa sesar. Tebalnya diperkirakan mencapai ribuan
meter, Singkapan terbaik terdapat di Peg. Mekongga (Mekonga), sebelah utara
Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara.
5) Batuan Pualam Paleozoikum (Pzmm) terdiri dari pualam dan batu gamping
terdaurkan,
Pualam, berwarna putih, kelabu tua hingga kehitaman dan putih kemerahan,
granoblastik; berbutir halus hingga sedang; hablur penuh; tersusun dari kalsit,
sedikit mika dan mineral hitam; setempat dolomitan.
Batu gamping terdaurkan, berwarna kelabu; berbutir sedang; sebagian
terhablurkan; setempat menyekis.
Satuan ini menjemari dengan Batuan Malihan Tamosi dan Paleozoikum, sehingga
umurnya diduga Karbon hingga Perm. Sebarannya terdapat di bagian barat, yaitu
di Peg. Tangkelemboke dan Peg. Mekongga.
6) Batuan Ofiolit (Ku) terdiri dari peridotit, harsburgit, dunit, gabro, basal dan
serpentinit.
Peridotit, berwarna hitam kehijauan, kecoklatan; berbutir sedang sampai kasar,
fanerik; hablur penuh; sebagian terserpentinkan; tersusun oleh piroksen, olivine,
dan sedikit plagioklas serta bijih.
Harsburgit, berwarna hijau kehitaman; berbutir menengah, fanerik,
hipidiomorfik; sebagian telah terserpentinkan.
Dunit, berwarna hijau tua; berbutir halus sampai sedang; granular dengan
bentuk kristal tidak sempurna (anhedral); terdiri dari olivine dengan sedikit
piroksen.
Basal, berwarna kelabu tua hingga kehitaman dan kehijauan; hablur penuh;
afanitik; terubah kuat.
II - 24
Laporan Akhir (Final Report)
Gabro, berwarna kelabu tua hingga kehitaman; hablur penuh; berbutir kasar
hingga pregmatit; fanerik; hipidiomorfik granular, hablur hampir sempurna;
terlihat adanya pengarahan karena pengaruh tekanan. Tersusun oleh mineral
plagioklas (labradorit), piroksen, olivine, klorit, dan sedikit serisit dan kuarsa.
Batuan ini tersingkap di daerah Pakue, dan sebelah barat laut.
Rijang, berwarna merah kecoklatan, berbutir sangat halus; pecahan konkodial;
terdapat sebagai lapisan tipis di antara batuan basal.
Sekis Horenblenda, berwarna kelabu kehitaman; nematoblastik; menyekis baik;
tersusun oleh mineral horenblenda dan sedikit felspar dan klorit, Batuan ini
diduga merupakan bagian atas dari ofiolit dan tersingkap disekitar
Sambamate, sebelah utara G. Hialu.
Pada umumnya batuan ultramafik di daerah ini telah mengalami pelapukan cukup
kuat yang menghasilkan lapisan laterit, mencapai ketebalan beberapa meter
sampai belasan meter. Mineral garnierite, magnesit dan oksida besi sering dijumpai
di daerah ini. Satuan ini adalah batuan asal kerak samudera yang merupakan
batuan dasar di Lajur Hialu, Batuan ofiolit ini tertindih tak selaras oleh Formasi
Matano yang berumur Kapur Akhir. Sehingga umur batuan di duga lebih tua dari
Kapur Akhir. Batuan ofiolit ini tersebar luas di bagian timur laut dan utara, serta
sedikit di pantai barat (Teluk Bone) yaitu di Tanjung Ladongi dan Tanjung Toli-Toli.
7) Formasi Pandua (Tmpp) terdiri dari: konglomerat, batu pasir dan batu lempung.
Konglomerat, berwarna kelabu, kelabu kehijauan, kecoklatan hingga coklat
kemerahan; tersusun oleh kepingan batuan mafik, ultramafik, batu gamping,
kuarsa dan batuan malihan; berukuran kerikil hingga kerakal dan setempat
bongkah; massa dasarnya terdiri dari kepingan yang sama dengan komponen,
terpilah sedang hingga buruk; kemas terbuka; membulat tanggung hingga
membulat; terekat oleh oksida besi dan setempat karbonat; berlapis buruk
dengan tebal lapisan mencapai beberapa meter; berstruktur perlapisan
bersusun. Konglomerat batu gamping terdapat di daerah Desa Lelewawo di
daerah sebelah barat laut.
Batu pasir, berwarna kelabu hingga kelabu kehijauan dan kecoklatan,
Umumnya jenis batu pasir kuarsa hingga arkosa. Tersusun oleh mineral kuarsa
(48 60%), felspar (25 - 30%) yang sebagian berubah menjadi karbonat, mineral
gelap dan muskovit; kepingan batuan (5 16%); dan sedikit klorit setempat
gampingan, berukuran sedang hingga kasar dan kerikilan, menyudut tanggung
hingga membulat tanggung, terpilah sedang hingga buruk, keras dan kompak.
Batu lempung, berwarna kelabu tua hingga kelabu muda kehijauan, pasiran
mengandung kuarsa (8%), piroksen (10%), dan mineral gelap (8%), setempat
berstruktur perarian, karbonatan, lunak hingga agak keras dan getas.
II - 25
Laporan Akhir (Final Report)
Fosil tidak dijumpai dalam satuan ini, Formasi ini dapat disebandingkan dengan
Formasi Langkowala (Simandjuntak, dkk., 1984), yang berumur Miosen Akhir-Pliosen
Awal, Lingkungan pengendapannya darat hingga laut dangkal antara litoral
hingga neritik pinggir. Tebalnya beberapa meter hingga puluhan meter, setempat
mencapai lebih dari 100 m, Satuan ini menindih tak selaras formasi yang lebih tua.
Sebarannya terdapat di bagian timur laut sampai utara, dan sebagian di Manui,
Lokasi tipenya terdapat di daerah Pandua, di bagian timur laut, Beberapa
singkapan yang cukup baik dan agak lengkap terdapat di sekitar Pandua, Sarasin
& Sarasin (1901) menamakannya Molasa Sulawesi, sedangkan Kartaadipoera
(1973) dan Simandjuntak (1984) menyebutnya Formasi Langkowala; untuk
singkapan yang serupa yang terdapat di Kolaka.
Tidak terdapat fosil dalam satuan ini, berdasarkan kesamaan litologinya dengan
Formasi yang sama di Kolaka (Simandjuntak, dkk., 1984), umumnya diduga Plistosen
Akhir, Lingkungan pengendapannya darat sampai payau. Tebalnya diperkirakan
mencapai puluhan meter, dan menindih tak selaras batuan yang lebih tua.
II - 26
Laporan Akhir (Final Report)
Holosen pada jalur sesar tersebut di tenggara Tinobu, Sesar tersebut diduga ada
kaitannya dengan sesar Sorong yang giat kembali pada Kala Oligosen (Simandjuntak,
dkk., 1983).
Sesar naik ditemukan di daerah Wawo, sebelah barat Tampakura dan di Tanjung
Labuandala di selatan Lasolo; yaitu beranjaknya batuan ofiolit ke atas batuan Malihan
Mekonga, Formasi Meluhu dan Formasi Matano, Jenis sesar lain yang dijumpai adalah
sesar bongkah, atau mungkin sesar listrik (listric fault).
Sesar Lasolo ke arah baratlaut-tenggara, membagi wilayah ini menjadi dua bagian,
Sebelah timur laut sesar disebut Lajur Hialu dan sebelah barat daya di sebut Lajur
Tinondo (Rusmana dan Sukarna, 1985). Lajur Hialu umumnya merupakan himpunan
batuan yang bercirikan asal Kerak Samudera dan Lajur Tinondo merupakan himpunan
batuan yang bercirikan asal Paparan Benua.
Ditafsirkan bahwa sebelum Oligosen Lajur Hialu dan Lajur Tinondo bersentuhan secara
pasif, kemudian sesar ini berkembang menjadi suatu transform fault dan menjadi
sesar Lasolo sejak Oligosen; yaitu pada saat mulai giatnya kembali sesar Sorong,
Daerah ini tampaknya telah mengalami lebih dari satu kali periukan; hal ini terlihat
pada batuan Mesozoikum yang sudah terlipat lebih dari satu kali.
Jenis lipatan pada batuan ini berupa lipatan tertutup, setempat dijumpai lipatan
rebah; lipatan pirau dan lipatan terbalik, Lipatan pada batuan Tersier termasuk jenis
lipatan terbuka, berupa lipatan yang landai dengan kemiringan lapisan berkisar antara
150 dan 300.
Kekar terdapat pada semua jenis batuan, Pada batu gamping kekar ini tampak
teratur yang membentuk kelurusan, seperti yang terlihat jelas pada foto udara, Kekar
pada batuan beku umumnya menunjukkan arah tak beraturan, Gejala pengangkatan
terdapat di pantai timur dan tenggara, yang ditunjukkan oleh undak-undak pantai dan
sungai; dan pertumbuhan koral.
Sejarah geologi daerah ini dimulai pada zaman sebelum Permo-Karbon, yaitu
terbentuknya batuan sedimen dan batu gamping yang terendapkan dalam
lingkungan laut neritik bagian dalam. Pada tahap berikutnya batuan tersebut
mengalami pengangkatan dan pemalihan pada Permo-Karbon, menjadi batuan
Malihan Mekonga dan Pualam Paleozoikum, Pada Perm-Trias batuan granitan
menerobos batuan malihan ini.
Formasi Meluhu dan Tokala terendapkan tak selaras di atas batuan malihan, terjadi
pada Trias Tengah hingga Trias Akhir; di lingkungan laut dangkal sampai neritik dalam.
Di bagian barat laut terdapat batu gamping Formasi Tokala; di lingkungan laut
dangkal; pengendapan ini berlangsung dari Trias Akhir sampai Jura, Kelompok batuan
II - 27
Laporan Akhir (Final Report)
yang bercirikan benua ini dalam perkembangan selanjutnya disebut sebagai Lajur
Tinondo, Sementara itu disisi lain terbentuk pengendapan batu gamping Formasi
Salodik yang berumur Eosen Miosen Tengah.
Di bagian lain yaitu kelompok di lingkungan laut dalam, di atas batuan ofiolit yang di
duga berumur Kapur, terendapkan tak selaras Formasi Matano yang berumur Kapur
Akhir, Kelompok batuan ini selanjutnya disebut Lajur Hialu, yang sebagian besar
merupakan bagian dari ofiolit Sulawesi Timur.
Sejak awal Jura, Anjungan Banggai-Sula beserta penggalan benua lainnya di bagian
timur Indonesia memisahkan diri dari pinggiran utara benua Australia melalui sesar
transform dan kemudian bergerak ke arah barat.
Pada Kala Miosen Tengah Lajur Hialu terdorong oleh benua kecil Banggai-Sula, yang
bergerak ke arah barat. Akibat dorongan tersebut menyebabkan tersesarkannya Lajur
Hialu ke atas Lajur Tinondo, kemudian diikuti oleh sesar bongkah di kedua Lajur
tersebut.
Pada kala Miosen Akhir sampai Pliosen pengangkatan kembali berlangsung, kemudian
disusul periukan pada kala Pliosen dan terbentuk Formasi Alangga; pada lingkungan
laut dangkal sampai darat, Batuan termuda yang terbentuk di daerah ini ialah alluvium
dan terumbu koral, yang hingga kini masih terus berlangsung.
II - 28
Laporan Akhir (Final Report)
II - 29