Anda di halaman 1dari 58

GEOLOGI DAERAH RANTAU PANJANG DAN

SEKITARNYA, KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI

Laporan ini sebagai bagian dari perkuliahan Pemetaan Geologi, dan


merupakan penelitian tahap pertama dari Tugas Akhir untuk
memperoleh gelar Sarjana Teknik (ST) Geologi
pada Program Studi Teknik Geologi

Oleh:
Muhammad Agam Duano
NIM.03071181621001

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2021
ii
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur atas ke hadirat Allah SWT. karena berkah, rahmat, hidayah dan
karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis. Selain itu, terima kasih kepada Bapak
Stevanus Nalendra Jati, S.T., M.T. selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan
memberikan masukan serta arahan sehingga laporan ini dapat diselesaikan sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan.
Dalam penulisan laporan ini, penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak, sehingga di kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ketua Program Studi Teknik Geologi Universitas Sriwijaya Dr. Ir. Endang Wiwik
Dyah Hastuti, M.Sc yang telah memfasilitasi dan memotivasi saya dalam
pelaksanaan pemetaan geologi.
2. Kedua Orang Tua tercinta yaitu Mus Mulyadi dan Bairut yang selalu memberi
dukungan baik secara moril maupun materi
3. Prof.Dr. Ir Edy Sutriyono, M.Sc. Ph., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
selalu memberikan motivasi dalam bidang akademik.
4. Staf Dosen Program Studi Teknik Geologi, yang telah membagi ilmu serta
pengalaman mulai dari semester pertama hingga saat ini.
5. Teman seperjuangan pemetaan Sri Hayani dan Ahmad Hady Viqran yang telah
berjuang bersama dalam suka maupun duka saat sebelum pemetaan hingga setelah
pemetaan.
6. Teman Kosan Bejo dan Bejowati yang telah berjuang bersama dan saling
mendukung dalam penyusunan laporan.
7. Seluruh teman dan rekan HMTG “SRIWIJAYA” yang selalu memberikan
semangat dan doa kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan proposal ini masih banyak terdapat
kekurangan dan kesalahan. Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari berbagai pihak.

Palembang, Januari 2021

Muhammad Agam Duano


NIM. 03071181621001

iii
PERNYATAAN ORISINALITAS PEMETAAN GEOLOGI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya di


dalam naskah pemetaan geologi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh
pihak lain untuk mendapatkan karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan
oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebut dalam
sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila ternyata di dalam naskah pemetaan geologi ini dapat dibuktikan terdapat
unsur-unsur jiplakan, saya bersedia laporan petaan geologi ini digugurkan dan tidak
diluluskan pada mata kuliah pemetaan geologi, serta di proses sesuai dengan peraturan
yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 25 Ayat 2 dan Pasal 70).

Palembang, Januari 2021

Muhammad Agam Duano


NIM. 03071181621001

iv
ABSTRAK

Lokasi penelitian terletak pada Desa Rantau Panjang, Kecamatan Batang Asai, Kabupaten
Sarolangun, Jambi. Secara tektonik terletak pada tepi cekungan Sumatera Selatan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi keadaan geologi permukaan mencakup aspek geomorfologi,
Stratigrafi, dan Struktur geologi. Tahapan yang dilakukan meliputi kajian pustaka, observasi
lapangan, analisa laboratorium, kerja studio, dan penyusunan laporan akhir. Berdasarkan hasil
korelasi pengamatan lapangan dan analisa data didapatkah bentukan bentang alam pada daerah
penelitian terbagi menjadi tiga yaitu Channel Irregular Meander (CIM), Perbukitan Agak Curam
Terdenudasi (PACT), dan Perbukitan Tinggi Curam (PTC). Urutan stratigrafi pada daerah
penelitian dari tua hingga muda yaitu Formasi Asai (Ja), Formasi Penata (Kjp), Formasi
Papanbetupang (Tomp). Daerah penelitian dikontrol oleh sesar naik Pekan Gedang dan Sekalo
dengan arah umum NE-SW dan sesar mendatar Sungai Salak Baru berarah NE-SW. sejarah geologi
daerah penelitian diawali fase kompresi akibat proses subduksi pada Jura hingga Kapur Akhir
membentuk Formasi Asai dan Formasi Peneta. Kemudian terjadi hiatus selama Paleosen dan
Eosen, lalu pada kala Oligosen Formasi Papanbetupang terbentuk dan pada Miosen Akhir
terbentuk struktur geologi sebagai produk dari subduksi yang terjadi. Lalu, pada periode Resen
daerah penelitian dikontrol oleh proses erosional dan geomorfik membentuk morfologi saat ini.

Kata Kunci: Rantau Panjang, Bentuk Lahan, Struktur Geologi, Stratigrafi.

ABSTRACT
Administratively, this research was conducted in Rantau Panjang Village, Batang Asai District,
Sarolangun Regency, Jambi. Tectonically it is on the edge of the South Sumatera basin. This
research was conducted with the aim of identifying surface geological conditions including aspects
of geomorphology, stratigraphy, and geological structures. The stages taken include literature
review, field observation, laboratory analysis, studio work, and preparation of the final report.
Based on the correlation results of field observations and data analysis, it is found that the
formation of the landscape in the study area is divided into three, namely Irregular Meander
Channel (CIM), Denuded Slightly Steep Hills (PACT), and High Steep Hills (PTC). The
stratigraphic sequence in the research area from old to young is the Asai Formation (Ja), the
Penata Formation (Kjp), the Papanbetupang Formation (Tomp). The study area was controlled by
the Pekan Gedang and Sekalo ascending faults in the NE-SW general direction and the Salak Baru
River horizontal fault with NE-SW direction. The geological history of the research area begins in
the Jura to the Late Cretaceous where a compression phase occurs due to the subduction process
to form the Asai Formation and the Peneta Formation. Then there was a hiatus during the
Paleocene and the Eocene, then during the Oligocene the Papanbetupang Formation was formed
and in the Late Miocene geological structures were formed as a product of the subduction that
occurred. Then, in the Resen period the research area was controlled by erosional and geomorphic
processes that form the current morphology.

Keywords:Rantau Panjang, Land Shape, Geological Structure, Stratigraphy.

v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................ii
UCAPAN TERIMA KASIH..............................................................................................iii
PERNYATAAN ORISINALITAS PEMETAAN GEOLOGI........................................iv
ABSTRAK..........................................................................................................................v
DAFTAR ISI......................................................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................................viii
DAFTAR TABEL..............................................................................................................x
DAFTAR LAMPIRAN x

i
BAB I.................................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang....................................................................................................1
1.2. Maksud Dan Tujuan............................................................................................1
1.3. Rumusan Masalah...............................................................................................2
1.4 Batasan Masalah.................................................................................................2
1.5 Lokasi Penelitian dan Aksesibilitas....................................................................2
BAB II...............................................................................................................................4
2.1. Tatanan Tektonik................................................................................................4
2.2. Stratigrafi Regional.............................................................................................5
2.3. Struktur Geologi..................................................................................................8
BAB III............................................................................................................................10
3.1. Survei Pendahuluan..........................................................................................10
3.2. Observasi Lapangan..........................................................................................11
3.2.1. Akuisisi Data Lapangan...........................................................................11
3.3. Pemercontoh.....................................................................................................12
3.4. Analisa Laboratorium dan Studio.....................................................................12
3.4.1. Analisa Satuan Geomorfologi............................................................12
3.4.2. Analisa Paleontologi..........................................................................14
3.4.3. Analisa Petrologi................................................................................16
3.4.4. Analisa Struktur..................................................................................17
3.5. Kerja Studio......................................................................................................20
vi
3.5.1. Pembuatan Peta..................................................................................20
3.5.2. Pembuatan Penampang......................................................................21
3.5.3. Pembuatan Model Sejarah Geologi....................................................21
3.6. Penyusunan Laporan.........................................................................................21
BAB IV............................................................................................................................22
4.1. Geomorfologi....................................................................................................22
4.1.1. Aspek Geomorfik...............................................................................22
4.1.1.1 Analisis Morfografi............................................................................22
4.1.1.2 Analisis Morfometri...........................................................................23
4.1.1.3 Analisis Proses...................................................................................24
4.1.2 Satuan Geomorfik..............................................................................26
4.1.2.1 Channel Irregular Meander (CIM)....................................................26
4.1.3 Perbukitan Agak Curam Terdenudasi (PACT)..................................26
4.1.4 Perbukitan Tinggi Curam (PTC)........................................................27
4.2. Stratigrafi..........................................................................................................27
4.2.1. Formasi Asai......................................................................................28
4.2.2. Formasi Peneta...................................................................................31
4.2.3 Formasi Papanbetupang.....................................................................33
4.3. Struktur Geologi................................................................................................35
4.1.3 Struktur Kekar....................................................................................35
4.3.2 Struktur Sesar.....................................................................................36
4.3. Mekanisme Struktur Geologi............................................................................40
BAB V.............................................................................................................................42
5.1. Jura - Kapur.......................................................................................................42
5.2 Paleosen – Miosen Akhir..................................................................................42
5.3 Resen.................................................................................................................43
BAB VI............................................................................................................................45
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................46

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta administrasi daerah penelitian........................................................ 3


Gambar 1.2 Peta ketersampaian daerah penelitian.................................................... 3
Gambar 2.1 Tatanan tektonik Daerah Penelitian....................................................... 4
Gambar 2.2 Peta tektonik dan sebaran struktur Cekungan Sumatera Selatan................... 5
Gambar 2.3 Kondisi Paleogeografi Sumatera bagian selatan selama pratersier ................ 6
Gambar 2.4 Kolom stratigrafi regional daerah penelitian............................................... 8
Gambar 2.5 Fase pembentukan struktur geologi daerah penelitian.................................. 9
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian.......................................................................... 10
Gambar 3.2 Klasifikasi pola aliran............................................................................ 13
Gambar 3.3 Klasifikasi batuan sedimen.................................................................... 15
Gambar 3.4 Klasifikasi zona hancuran...................................................................... 16
Gambar 3.5 Klasifikasi hubungan antar fracture....................................................... 19
Gambar 3.6 Klasifikasi sesar berdasarkan berdasarkan Principal stress Anderson
(1951)......................................................................................................................... 19
Gambar 3.7 Klasifikasi sesar Rickard (1972)............................................................ 19
Gambar 3.8 Klasifikasi sesar berdasarkan Fossen (2010)......................................... 20
Gambar 4.1 Peta elevasi daerah penelitian................................................................ 22
Gambar 4.2 Peta kemiringan lereng daerah penelitian.............................................. 23
Gambar 4.3 Kenampakan hasil proses permukaan berupa longsoan......................... 23
Gambar 4.4 Peta pola aliran daerah penelitian.......................................................... 24
Gambar 4.5.Kenampakkan morfologi channel irregural meander .......................... 25
Gambar 4.6 Kenampakkan morfologi perbukitan agak curam terdenudasi.............. 26
Gambar 4.7 Kenampakkan morfologi perbukitan tinggi curam................................ 26
Gambar 4.8 Kolom stratigrafi lokal daerah penelitian............................................... 27
Gambar 4.9 Singkapan Batusabak pada Lp 59 di Desa Pekan Gedang..................... 28
Gambar 4.10 Mekanisme pembentukan microfold ................................................... 29
Gambar 4.11 Kontak batusabak Asai dan metapasir Peneta...................................... 29
Gambar 4.12 Kenampakkan mikrografi Lp 59.......................................................... 30
Gambar 4.13 Singkapan metapasir pada Lp 68......................................................... 30
Gambar 4.14 Kenampakkan mikrografi Lp 68.......................................................... 31
Gambar 4.15 Singkapan batusabak pada Lp 69........................................................ 31
Gambar 4.16 Kenampakkan mikrografi Lp 37.......................................................... 32
Gambar 4.17 Kenampakkan litologi batupasir dan batulanau pada Lp 10................ 33
Gambar 4.18 Kenampakkan mikrografi Lp 01.......................................................... 34
Gambar 4.19 Proyeksi pengambilan data bidang sesar di Lp 30............................... 35
Gambar 4.20 Hasil analisa proyeksi streografi Sesar Sekalo pada Lp 30.................. 36
Gambar 4.21 Proyeksi pengambilan data bidang sesar di Lp 50............................... 37
Gambar 4.22 Hasil analisa proyeksi streografi Sesar Pekan Gedang pada Lp 50.... 37

viii
Gambar 4.23 Proyeksi pengambilan data bidang sesar di Lp 46............................... 38
Gambar 4.24 Hasil analisa proyeksi stereografi Sesar Sungai Salak Baru pada
Lp 46.......................................................................................................................... 39
Gambar 4.25 Model perkembangan struktur geologi pada Jura Awal – Kapur
Akhir.......................................................................................................................... 39
Gambar 4.26 Konsep Moody and Hill (1956) yang dibandingkan dengan indeks
peta daerah penelitian................................................................................................ 40
Gambar 5.1 Skematik pembentukan Formasi Asai dan Formasi Peneta, pada Jura
- Kapur....................................................................................................................... 41
Gambar 5.2 Skematik pembentukan Formasi Papanbetupang (Tomp) pada
Oligosen..................................................................................................................... 42
Gambar 5.3 Kenampakan daerah penelitian periode Resen...................................... 42

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Klasifikasi Kemiringan Lereng Widyatmanti …………………………..... 12


Tabel 3.2. Pola aliran bendasarkan karakteristiknya ……………………….……….. 14
Tabel 3.3. Klasifikasi kelompok mineral metamorf ………..……………………….. 15
Tabel 4.1. Data Struktur Geologi dan Lokasi Pengamatan....................…………. 34
Tabel 4.2. Data kekar pada daerah penelitian......................................................... 35

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Tabulasi dan Deskripsi Singkapan.


Lampiran B. Peta Lokasi dan Lintasan pengamatan.
Lampiran C. Peta Geomorfologi Daerah Penelitian.
Lampiran D. Lembar Deskripsi Petrografi.
Lampiran E. Lembar Analisa Paleontologi
Lampiran F. Lembar Analisa Struktur Geologi.
Lampiran G. Profil Stratigrafi.
Lampiran H. Peta Geologi Daerah Penelitian

xi
BAB I
PENDAHULUAN

Pada bab ini akan memuat latar belakang, maksud dan tujuan, rumusan masalah,
batasan masalah, lokasi dan aksesibilitas, serta luaran penelitian. Latar belakang
penelitian memberikan gambaran umum terhadap aspek-aspek geologi yang akan
diteliti secara regional melalui penelitian-penelitian terdahulu. Maksud dan tujuan
ditampilkan agar peneliti dapat berfokus pada hasil akhir dari penelitian ini. Rumusan
masalah merupakan serangkaian pertanyaan-pertanyaan mengenai daerah penelitian
yang harus dijawab peneliti untuk mendapatkan kesimpulan dari penelitian ini. Batasan
masalah mengacu pada aspek-aspek utama penelitian. Lokasi dan aksesibilitas
memberikan informasi daerah telitian berupa administratif dan akses menuju lokasi
penelitian.

1.1. Latar Belakang


Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan belakang busur yang
terbentuk akibat interaksi antara Woyla arc dan Sibumasu pada Cretaceous akhir (Hall,
2011). Barber (2005) menyatakan bahwa subduksi di sebelah barat Sundaland west
Sumatera block membentuk sesar mendatar dekstral pada pesisir barat Sundaland.
Sehingga menyebabkan terbentuknya cekungan-cekungan yang terisi material sedimen.
Secara regional daerah penelitian dikontrol oleh struktur dengan tegasan utama
Timur Laut- Barat Daya (NE-SW) dan Barat Laut – Tenggara (NW-SE) yang
berasosiasi dengan sistem graben Pra-Tersier (Suta dan Xiaoguang, 2005).
Purwaningsih (2006) menyatakan bahwa pada Kala Plio-Plistosen terjadi fase kompresi
akibat subduksi lempeng Eurasia dan lempeng Samudra Hindia yang menyebabkan
uplift di zona Pegunungan Barisan dan pengaktifan kembali struktur yang berkembang
pada daerah penelitian.
Daerah penelitian terletak pada Desa Batin Pengambang dan sekitarnya,
Kabupaten Sarolangun, Jambi. Secara geologi daerah penelitian termasuk ke dalam
zona sub- cekungan Jambi yang terdiri dari Formasi Asai (JA), Formasi Peneta (Kjp),
dan Formasi Papanbetupang (Tomp).

1.2. Maksud Dan Tujuan


Studi ditujukan untuk mengidentifikasi daerah penelitian dengan luasan 81 km2
dengan skala 1:25.000. Kegiatan survei pemetaan geologi meliputi observasi lapangan,
kemudian identifikasi meliputi aspek relief, klasifikasi bentang alam, dan batuan
penyusun, serta struktur geologi yang membentuk relief pada daerah penelitian.
Berdasarkan aspek permukaannya meliputi aspek geomorfologi, stratigrafi, dan
struktur geologi daerah penelitian. Adapun tujuan dari penelitian yaitu merekonstruksi
sejarah geologi daerah penelitian yang dicerminkan oleh struktur geologi pengontrol,

1
bentuk lahan, dan stratigrafi.

1.3. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang serta maksud dan tujuan yang telah diuraikan di atas
maka didapat rumusan masalah pemetaan geologi sebagai berikut:
1. Bagaimana pembagian bentuk lahan pada lokasi penelitian?
2. Bagaimana mekanisme pengendapan stratigrafi dan litologi penyusunya?
3. Bagaimana kondisi struktur geologi pada daerah penelitian?
4. Bagaimana pengaruh tektonik regional terhadap sejarah geologi pada
daerah penelitian?

1.4 Batasan Masalah


Kegiatan pemetaan dan penelitian ini difokuskan pada kondisi geologi daerah
batasan-batasan sebagai berikut:

1. Geomorfologi, berkaitan tentang satuan bentuk lahan dari aspek morfologi,


morfometri, dan morfogenesanya dengan observasi lapangan sebagai dasar
interpretasi.
2. Stratigrafi, mencakup urutan dan proses pengendapan batuan, satuan batuan, dan
keterkaitan antar formasi batuan.
3. Geologi struktur, meliputi observasi struktur langsung di lapangan dan hasil analisa
berdasarkan pengolahan data yang telah didapat.
4. Keadaan tektonik, meliputi hubungan tektonik regional terhadap struktur yang
terbentuk dan rekonstruksi proses geologi yang terjadi.

1.5 Lokasi Penelitian dan Aksesibilitas


Secara administratif berada pada Desa Batin Pengambang Kecamatan Batang
Asai Kabupaten Sarolangun (Gambar 1.1), Provinsi Jambi. Secara geografis berada di
S2o 31’ 56.0” - S2o 36’ 48.0” dan E102 o 11’ 23.6”- E102o 11’ 23.6” (Gambar 1.1)
daerah penelitian memiliki luasan sebesar 81 km2 dengan skala 1:25000 pada
pembuatan peta.
Untuk menuju daerah penelitian dari Universitas Sriwijaya dapat ditempuh
melalui jalur darat dengan menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat selama 5
jam menuju Kota Jambi. Kemudian perjalanan dilanjutkan selama 6 jam perjalanan
melalui jalur darat untuk menuju ke Kabupaten Sarolangun. Selanjutnya untuk
memasuki daerah penelitian, digunakan jalur utara, yang mana jalur ini menjadi satu-
satunya akses yang dapat ditempuh untuk menuju jalan raya (Gambar 1.2).

2
Daerah Penelitian

Gambar 1.1 Peta administrasi daerah penelitian (ATLAS Provinsi Jambi,


Bakosurtanal tahun 2008)

Gambar 1.2 Peta ketercapaian daerah penelitian (Peta dasar Indonesia)

3
BAB II
GEOLOGI REGIONAL

Bab ini akan membahas mengenai tatanan tektonik regional yang menjadi
kontrol atas stratigrafi dan struktur yang berkembang di daerah penelitian, lalu
stratigrafi regional yang akan membahas urutan pembentukan batuan dari daerah
penelitian dan struktur geologi yang akan membahas kondisi struktur serta
pengaruh kontrol tegasan utama terhadap kondisi daerah penelitian.

2.1. Tatanan Tektonik


Menurut Hall (2012) Sumatera termasuk ke dalam bagian East Malaya-
Indocina blok sekitar 160 juta tahun yang lalu. Kemudian fragmen-fragmen
benua yang kemudian diidentifikasi sebagai Sumatera merupakan kombinasi dari
tiga blok benua. Blok west Sumatera yang ter dislokasi dari fragmen Gondwana
pada Devon, blok Sino, Burma, Malaya, Sumatera (SIBUMASU) yang
merupakan fragmen dari Gondwana pada Paleozoikum Akhir, dan West Sumatera
yang terbentuk dari bagian Cathaysialand (Metcalfe, 2011).
Menurut Barber (2005) subduksi terjadi pada bagian barat Sundaland
pada periode Jura Akhir. Hal tersebut menyebabkan terbentuknya sesar mendatar
kiri pada blok West Sumatera, sehingga menyebabkan terbentuknya cekungan-
cekungan pada daerah pesisir barat Sundaland, seiring dengan aktifnya subduksi
yang meluas. Cekungan-cekungan tersebut meluas dan mulai terisi sehingga
membentuk Asai-Rawas-Penata Grup (Gambar 2.1) Pada zaman Kapur proses
pengisian cekungan mulai terhenti, dan pada Kapur Akhir subduksi Indo-
Australia menyebabkan oblique terhadap Sumatera sehingga menghasilkan
kondisi tektonik rift dan graben.

Gambar 2. 1 Tatanan tektonik daerah penelitian (Barber et al., 2005)

Kemudian perkembangan tektonik pada daerah penelitian terus berlanjut

4
saat zaman Tersier. Menurut Firmansyah (2007) terjadi tiga fase tektonik selama
Tersier di daerah penelitian. Pertama half graben pada. Paleogen-Miosen Awal
yang membentuk cekungan, lalu pembebanan akibat material sedimen selama
Oligosen-Pliosen Awal, dan terakhir fase inversi Plio-Pleistosen (Gambar 2.2)

Gambar 2. 2 Peta tektonik dan sebaran struktur Cekungan Sumatera Selatan


(Bishop, 2001)

2.2. Stratigrafi Regional


Stratigrafi daerah penelitian dapat dibagi berdasarkan beberapa kelompok.
Berdasarkan umur geologinya, stratigrafi regional dibagi menjadi dua yaitu
stratigrafi Pra-tersier dan Tersier. Kemudian berdasarkan litostratigrafinya
stratigrafi daerah penelitian merupakan peralihan dari batuan metamorf dan
metasedimen menjadi batuan sedimen yang dibatasi oleh hiatus selama Jura Awal
dan Paleosen (Kusnama et al., 1992) .
-Formasi Asai (Ja)
Merupakan batuan sedimen pada daerah penelitian yang berumur Jura
Akhir, dengan variasi litologi berupa batupasir malih, filit, batulanau
terkersikkan, graywacke, sisipan batugamping, setempat batupasir kuarsa, argilit,
sekis, gneiss, batutanduk, kuarsit (Suwarna, 1992) yang menunjukkan hubungan
kontak selaras dengan formasi yang berada . Barber (2005) menyimpulkan bahwa
formasi ini terendapkan pada forearc basin, yang dibuktikan dengan adanya
peralihan dari endapan klastik ke karbonat pada bagian atas formasi.
- Formasi Peneta (Kjp)

5
Formasi ini terdiri dari batusabak, batuserpih, batulanau, batupasir,
dengan sisipan batugamping mengandung fosil Clodocoropsis mirabilis. Formasi
ini juga memiliki satu anggota yaitu Formasi Peneta anggota Mersip yang terdiri
dari batugamping kristalin kelabu muda-tua (Suwarna, 1992) yang terendapkan
secara selaras dengan Formasi Asai yang berada di bawahnya. Formasi ini
terendapkan di lingkungan laut dangkal pada foreland dari Sundaland, Barber
(2005) menginterpretasikan kondisi paleogeografi dari Formasi Peneta
menunjukkan pengendapan transisi hingga laut dangkal dan menerus hingga
oceanic crust pada bagian selatan formasi (Gambar 2.3).

Gambar 2. 3 Kondisi paleogeografi Sumatera bagian selatan selama Pra-Tersier


(Barber, 2005)

Pada zaman Tersier proses pengendapan terjadi akibat gaya ekstensi.


menyebabkan penurunan dasar cekungan sehingga mengakhiri masa hiatus yang
terjadi pada zaman Kapur. Ditandai dengan pengendapan Formasi Papanbetupang
(Tomp) dan Formasi Kasiro (Tmk).

- Formasi Papanbetupang (Tomp)


Formasi Papanbetupang terdiri dari litologi konglomerat aneka bahan,
batupasir, batulempung, batulanau, breksi, sisipan batupasir dan batulempung
tuffan, batubara (Suwarna 1992). Formasi ini terbentuk selama Oligosen-Miosen
(Moos, 1996) lingkungan pengendapan diinterpretasikan sebagai daerah fluvial.
-Formasi Kasiro (Tmk)
Formasi Kasiro merupakan formasi termuda pada daerah penelitian.
terendapkan selama Miosen Awal, tersusun atas serpih, batulempung dan
batulanau, umumnya tuffan, setempat konglomeratan dan lignit yang terendapkan
pada rezim energi lemah (Suwarna 1992). Formasi ini mengandung droplets oil
dengan zona belum matang hingga matang awal (Hermianto, 2006).

6
-Formasi Air Benakat (Tma)
Formasi ini terdiri atas perselingan batupasir dan batulempung, sisipan
batugamping, batubara, batulanau dan napal (Suwarna 1992). Yang terendapkan
secara selaras dengan Formasi Muara Enim dan secara tidak selaras dengan
Formasi Peneta di bawahnya. Ketebalan formasi ini bervariasi mulai dari 1000-
1500 km dan didapati fosil Globorotalia mayeri dan Globigerinoides yang
menunjukkan rentang umur Miosen Tengah (Rudd et al., 2013).
-Formasi Muara Enim
Formasi ini terendapkan selama Miosen Akhir saat cekungan memasuki
fase kompresi mengakibatkan terjadinya pengangkatan sehingga kondisi yang
awalnya laut dangkal berubah menjadi delta, sehingga terjadi regresi akibat ruang
akomodasi sedimen berkurang. Formasi Muara Enim tersusun atas batupasir,
batulempung, dan lapisan batubara (Suwarna, 1992) terendapkan secara selaras
dengan Formasi Air Benakat di bawahnya dan tidak selaras dengan Formasi
Kasai .
-Formasi Kasai
Formasi Kasai terendapkan pada Plio-Plistosen bersamaan dengan fase
vulkanik yang aktif akibat inversi tektonik (Barber et al., 2005). Hal tersebut
tergambar dari tuf dengan sisipan batupasir tufaan dan batulempung tufan,
dengan kayu terkersikan setempat (Suwarna, 1992).
Stratigrafi regional daerah penelitian dimulai sejak zaman Jura dengan
Formasi Asai (Ja) dan Formasi Peneta (Kjp) sebagai batuan alas atau basement
kemudian terjadi hiatus, lalu proses pengendapan dimulai kembali pada masa
Tersier akibat gaya ekstensi yang ditandai dengan pengendapan Formasi
Papanbetupang (Tomp) selaras dengan Formasi Kasiro (Tmk) secara lokal.
Secara regional formasi Air Benakat (Tma) yang selaras terhadap Formasi Muara
Enim (Tmpm) kemudian dilanjutkan pengendapan Formasi Kasai (Tmk) selaras
dengan Formasi Muara Enim. Lalu secara tidak selaras terendapkan Aluvial (Qa)
di atas Formasi Kasai (Qtk) (Gambar 2.4) yang terdiri atas endapan sedimen
berupa pasir, lempung, dan lanau yang tidak terkonsolidasi secara sempurna.

7
Gambar 2. 4 Kolom stratigrafi regional daerah penelitian (Suwarna, 1992; Barber
et al., 2005; Firmanysah, 2007; Kusnama dan Mangga, 2007) dengan modifikasi.

2.3. Struktur Geologi


Struktur geologi pulau Sumatera sangat dipengaruhi oleh subduksi antara
lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia. Firmansyah (2007) menyimpulkan
bahwa pola struktur pulau Sumatera didominasi oleh tiga pola utama. Pola
Sumatera dengan arah NW-SE yang terbentuk Pada Jura Awal- Kapur akibat
subduksi Woyla arc dan Sibumasu, Pola Jambi dengan arah NE-SW yang
terbentuk akibat subduksi Indo-Australia dan Eurasia selama Mesozoikum, dan
pola Sunda berarah N-S Yang terbentuk pada Kapur Akhir –Tersier.
Purwaningsih (2006) membagi struktur geologi regional menjadi 3 fase
utama (Gambar 2.5). Fase pertama berarah NW-SE. Akibat Perubahan gaya
menjadi ekstensi menyebabkan terbentuknya graben secara intensif akibat depresi
dari proses subduksi pada bagian barat daya Sumatera yang menyebabkan
terbentuknya gaya tensional sehingga membentuk struktur dengan arah NW-SE
menjadikan batuan Pra Tersier sebagai batuan alas dari cekungan Sumatera
Selatan.
Fase kedua awal terjadi pada Eosen-Oligosen pada daerah Lematang,
akibat melambatnya proses ekstensional sehingga terjadi rotasi dari pulau
Sumatera yang berlawanan dengan arah jarum jam. Menyebabkan perubahan arah
utama struktur yang semula WNW-ESE bergerak menjadi NE-SW, Purwaningsih
(2006) menyebutkan Fase kedua akhir dari pembentukan struktur geologi
regional terjadi selama Eosen-Oligosen pada daerah Setiti Tembesi. Terjadi rotasi
akibat gaya ekstensional besar-besaran. Sehingga terjadi rotasi yang
menyebabkan arah utama menjadi WSW-ENE

8
Gambar 2.5 Fase perkembangan struktur geologi regional daerah penelitian,
(A) Fase pertama (B) Fase kedua awal (C) Fase kedua akhir (D) Fase ketiga
(Purwaningsih, 2006)
Zaman Plio-Plistosen, kecepatan subduksi lempeng Indo-Australia
terhadap Eurasia bertambah sehingga menyebabkan terjadi proses vulkanisme
yang intensif. Hal ini terlihat dari pola sebaran struktur yang mulai dominan pada
NW-SE di sebagian besar cekungan dengan arah utama yang semula NNE-SSW
menjadi NE-SW. Pada fase ketiga ini pula struktur pada fase-fase sebelumnya
kembali aktif dan menunjukkan ke nampakkan arah dominan yang berbeda-beda,
seperti pada Sub-Cekungan Jambi menunjukkan arah NW-SE (Purwaningsih,
2006).
Pada masa Kuarter, struktur-struktur yang terbentuk masih mengikuti
mekanisme selama Plio-Plistosen yang menunjukkan arah N-S (Purwaningsih,
2006). membentuk antiklinorium di sebagian besar cekungan yang menjadi
jebakan-jebakan hidrokarbon.

9
BAB III
METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan suatu urutan tersistematis yang diaplikasikan pada


daerah penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi aspek geomorfologi dan stratigrafi
serta merekonstruksi struktur geologi sehingga dapat dikorelasikan menjadi suatu urutan
sejarah geologi lokasi penelitian. Adapun tahapan dalam metode penelitian meliputi 5
tahapan yaitu survei pendahuluan, observasi lapangan, analisa laboratorium dan analisa
studio, dan pengerjaan laporan. Dirangkum dalam bentuk diagram berikut (Gambar 3.1)

Gambar 3.1. Diagram alir penelitian

3.1. Survei Pendahuluan


Survei awal dilaksanakan guna mengenali daerah penelitian dengan
melaksanakan pengamatan secara bird eye menggunakan Google Earth pada lokasi-
lokasi tertentu untuk menentukan jalan utama dan jalan setapak yang dapat digunakan
untuk mengakses singkapan. Pada tahap ini juga dilakukan perizinan kepada kepala
desa, selain itu survei awal ini juga digunakan untuk validasi nama desa dan kecamatan,
penentuan basecamp, penyiapan logistik dan mengetahui keberadaan singkapan.

3.2. Observasi Lapangan


Observasi lapangan dilakukan setelah survei pendahuluan. Tahapan ini berfokus
pada pengumpulan data-data permukaan melalui observasi secara langsung mengikuti

10
rute yang telah ditentukan sebelumnya.

3.2.1. Akuisisi Data Lapangan


Akuisisi data lapangan dilaksanakan melalui beberapa tahapan, meliputi akuisisi
data geomorfologi, data stratigrafi, dan data struktur. Adapun metode dan tahapan yang
dilaksanakan antara lain :

1. Penentuan lintasan dilakukan dengan metode transverse yaitu dengan menyusuri


sungai dan tebing yang berada di tepi jalan untuk mendapatkan data litologi
ataupun data struktur. Metode ini dipilih mengingat erosi yang terjadi di
sepanjang sungai membuat sungai menjadi media yang paling baik untuk
tersingkapnya batuan dan struktur. Penerapan metode ini juga dilakukan dengan
mengingat pola kelurusan, pola aliran, pola kerapatan kontur melalui data citra
daerah penelitian serta memotong keseragaman arah batuan sehingga didapatkan
lintasan yang paling efektif dalam melakukan akuisisi data lapangan.
2. Melakukan data geomorfologi melalui pengamatan aspek morfologi meliputi
aspek morfometri dan morfografi serta bentuk lahan, pengamatan dilakukan dari
beberapa titik ketinggian dan punggungan pada daerah yang ditemui di daerah
penelitian. Diikuti dengan identifikasi pola aliran berdasarkan ke nampakkan
pada daerah penelitian.
3. Lalu, melakukan pengumpulan data stratigrafi dengan pembuatan profil
stratigrafi dan Measuring Section (MS) bertujuan untuk mendapatkan gambaran
sikuen pengendapan batuan daerah penelitian yang dapat memberikan gambaran
hubungan antar lapisan batuan, urutan pengendapan, dan lingkungan
pengendapannya. Adapun perbedaan antara kedua metode tersebut yaitu MS
dilakukan pada pengukuran horizontal dengan cakupan wilayah yang lebih luas,
sedangkan pada profil stratigrafi pengukuran dilakukan secara vertikal dengan
cakupan lebih kecil. Data yang dihimpun berupa kedudukan lapisan, ukuran
butir, struktur sedimen, dan deskripsi setiap lapisan batuan.
4. Terakhir, data struktur geologi dihimpun dengan melakukan pengukuran
terhadap data garis dan bidang. Data struktur garis dapat berupa kekar baik
shear dan gash fracture, lalu data bidang mencakup kedudukan bidang sesar,
slicken side, breksiasi, dan offset. Lalu dilakukan pengukuran terhadap data
lipatan dengan mengukur kedudukan pada masing-masing sayapnya. Data yang
telah dihimpun kemudian digunakan untuk mengidentifikasi struktur yang
berkembang dan gaya utama yang membentuk struktur tersebut, serta
mengkorelasikannya dengan proses tektonik yang mempengaruhi daerah
penelitian.

3.3. Pemercontoh
Pemercontoh merupakan teknik pengambilan contoh batuan yang dilakukan
dalam analisa megaskopis dan mikroskopis. Analisa tersebut digunakan untuk
mengidentifikasi karakteristik daerah penelitian melalui data yang diperoleh. Adapun
faktor yang menjadi pertimbangan dalam pengambilan contoh batuan, adalah perbedaan

11
komposisi, ukuran pola penyebaran, dan lokasi pengambilan.
3.4. Analisa Laboratorium dan Studio
Setelah data lapangan telah diakuisisi maka analisis dapat dilakukan. Analisa
yang dilakukan berupa analisis laboratorium dan kerja studio, analisa laboratorium
mencakup analisa petrologi dan paleontologi sedangkan kerja studio meliputi analisa
data geomorfologi dan struktur geologi yang telah dihimpun. Selanjutnya seluruh hasil
analisis tersebut dikorelasikan kemudian direpresentasikan ke dalam beberapa model
berupa peta lintasan, peta geomorfologi, peta geologi sehingga dapat menggambarkan
rekonstruksi proses tektonik yang mempengaruhi sejarah geologi daerah penelitian.
3.4.1. Analisa Satuan Geomorfologi
Analisis geomorfologi dilakukan bertujuan untuk mengklasifikasikan bentuk
lahan pada daerah penelitian berdasarkan aspek morfografi dan morfometrinya. Analisis
geomorfologi diawali dengan melakukan analisis melalui citra DEMNas, topografi, dan
observasi langsung di lapangan. Kemudian dilakukan penentuan kelas lereng
berdasarkan klasifikasi Widyatmanti et al. (2016) (Tabel 3.1)
Tabel 3. 1 Klasifikasi elevasi dan kemiringan lereng menurut Widyatmanti (2016)

Class Elevation – relative height (m) Slope (%)

1 <50 : lowlands 0-2 : flat or almost flat

2 50-200 : low hills 3-7 : gently sloping

3 200-500 : hills 8-13 : sloping

4 500-1000 : high hills 14-20 : moderately steep

5 >1000 : mountains 21-55 : steep

6 56-140 : very steep

7 >140 : extremely steep

Identifikasi bentuk lahan juga dilakukan menggunakan klasifikasi Hugget


(2007) yang membagi satuan bentuk lahan menjadi 2 klasifikasi berdasarkan
karakteristiknya yaitu bentuk lahan pelapukan serta proses pembentukannya yang terdiri
dari bentuk lahan fluvial, glasial, periglasial, eolian, karst dan coastal dan bentuk lahan
struktural meliputi bentuk lahan pegunungan lipatan dan sesar.
Selanjutnya dilakukan identifikasi pola aliran menggunakan klasifikasi Twidale
(2004) yang membagi pola aliran menjadi 9 tipe berdasarkan resistensi batuan, ke
lerengan, topografi, serta struktur pengontrolnya, dan Radaideh (2016) menjelaskan
secara terperinci mengenai korelasi pola aliran dan karakteristik pengontrolnya seperti
gradien ke lerengan, dan litologi, serta faktor struktural yang berkembang (Tabel 3.2).
Twidale (2004) mengklasifikasikan pola aliran menjadi pola dendritik, paralel, trellis,

12
radial, centrifugal, distributary, rectangular, dan annular (Gambar 3.2). Pola aliran
dendritik secara umum dikontrol oleh batuan dengan resistensi yang homogen, dengan
elevasi relatif rendah, memiliki ke nampakkan seperti akar pohon dengan arah aliran
yang beragam. Kemudian pola aliran paralel merupakan pola aliran yang dikontrol oleh
batuan dengan resistensi cukup baik dengan lereng yang curam, pola ini juga berasosiasi
dengan struktur geologi yang berkembang pada suatu daerah seperti sesar, monoklin,
ataupun isoklin. Lalu pola trellis yang umumnya berasosiasi dengan struktur lipatan,
sesar, maupun metasedimen derajat rendah dengan tingkat pelapukan bervariasi. Pola
radial secara umum terbentuk pada daerah dengan topografi yang membentuk tinggian
seperti conical hills, domes, dan puncak gunung. Pola ini dicirikan dengan aliran yang
berasal dari satu titik kemudian menyebar ke seluruh arah. Pola centrifugal dikontrol
oleh satu titik ketinggian pada suatu daerah dengan elevasi relatif rendah seperti cabang
sungai pada sistem meander ataupun tidal yang mengalir ke arah yang lebih rendah.
Pola sentripental memiliki ciri aliran yang mengalir dari berbagai arah tinggian menuju
satu titik yang lebih rendah, seperti danau, craters, dolines, ataupun cekungan tektonik.
Pola distributary memiliki pola yang mengalir dari permukaan rendah menuju suatu
daerah yang lebih rendah, umumnya berada pada morfologi kipas aluvial dan delta. Pola
rectangular umumnya dikontrol oleh faktor sesar atau kekar yang berembang pada suatu
daerah. Pola annular umumnya dikontrol oleh bentukan morfologi dome yang tererosi.

Gambar 3.2 Klasifikasi pola aliran (Twidale, 2004)

Tabel 3.2. Pola aliran bendasarkan karakteristiknya Radaideh (2016)


Pola aliran Karakteristik dan faktor pengontrol

Dendritik Dikontrol oleh elevasi yang relatif rendah dengan


resistensi batuan yang relatif lemah, dengan faktor
struktural dan ke lerengan yang tidak terlalu
berpengaruh.

Paralel Dikontrol oleh faktor ke lerengan yang curam,


dengan struktur yang kurang pengaruh.

13
Trellis Didominasi oleh faktor struktural yang dicerminkan
oleh pola kelurusan.

Rectangular Dikontrol oleh struktur berupa sesar dan kekar dan


lereng yang cukup curam.

Dendritik dan Dipengaruhi oleh karakter litologi batuan dengan


Rectangular kedudukan relatif landau dan variasi dari pola
subsicence dan uplift.

Perkembangan morfologi disebabkan proses permukaan berupa erosi dan


longsor yang bersifat destruktif Salah satu proses permukaan yang berkembang di
daerah penelitian berupa longsor. Menurut Highland dan Johnshon (2004),
Parameter klasifikasi longsor dibedakan menjadi beberapa tipe berdasarkan jenis
material longsoran dan pergerakannya dengan mengombinasikan variabel
tambahan, seperti tingkat Gerakan massa batuan dan air, udara, maupun konten es
(Glasial). Jenis – jenis longsor dibedakan berdasarkan ukuran material yang
bergerak. Bila material halus yang bergerak disebut mud (lumpur), jika berupa
butiran (pasir dsb.) disebut debris, sedangkan bongkahan besar disebut rock.
Berdasarkan bidang dan kecepatan pergerakannya dibedakan menjadi fall (jatuh),
flow (mengalir) dan creep (merayap). Bila material bergerak dalam jumlah besar
disebut avalance. Berikut klasifikasi longsor menurut Highland dan Johnshon
(Gambar 3.9)

14
Gambar 2.6. Model Klasifikasi Longsor Menurut Highland dan Johnshon (2004).

3.4.2. Analisa Paleontologi


Analisa paleontologi merupakan teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi
umur relatif batuan melalui analisa fosil makro ataupun mikro yang terkandung pada
sampel batuan, umumnya berupa fosil foraminifera dan bentos. Sebelum dilakukan
analisis sampel batuan direparasi terlebih dahulu. Preparasi dilakukan dengan tujuan
agar fosil yang didapatkan bersih dari kontaminasi substrat sehingga lebih mudah untuk
diidentifikasi.
Preparasi sampel mikrofosil dimulai dengan menghancurkan dan menghaluskan
sampel batuan yang mengandung mikrofosil dengan palu karet agar fosil tidak hancur
hingga sampel menjadi butiran dengan ukuran pasir halus hingga medium. Setelah itu
dilanjutkan dengan perendaman ke dalam larutan hidrogen peroksida (H2O2) dan
akuades dengan perbandingan 3:1, proses ini dilakukan sekurang-kurangnya 24 jam.
Perendaman dilakukan dengan tujuan untuk membersihkan substrat yang menempel
pada fosil. Setelah24 jam sampel kemudian dibilas dengan air. Lalu sampel dijemur
hingga kering. Setelah itu sampel diayak dengan menggunakan mesin pengayak dengan
mesh 30, 40, 100, 200, dan pan.
Sampel yang telah direparasi selanjutnya dianalisis menggunakan mikroskop
dengan per besaran 40x. Setelah itu mikrofosil yang didapatkan di deskripsi dan

15
diklasifikasikan menurut penamaan Blow (1969)
3.4.3. Analisa Petrologi
Analisa petrologi dilakukan untuk mengklasifikasikan jenis dan penamaan
batuan melalui analisa sayatan tipis. Adapun contoh batuan kemudian dianalisis di
bawah mikroskop polarisasi. Contoh batuan yang akan dianalisis tersusun dari batuan
sedimen dan metamorf (Lampiran D)
Pettijohn (1987) mengklasifikasikan batuan sedimen berdasarkan keterdapatan
mineral kuarsa dan feldspar setra matriks pada sayatan batuan sedimen. Bila presentasi
matriks kurang dari 15% maka batuan tersebut termasuk ke dalam kelompok arenit,
sedangkan batuan dengan matriks 15-75% diklasifikasikan sebagai wacke dan bila
matriks lebih dari 75% maka dikelompokkan ke dalam mudrock. (Gambar 3.3)

Gambar 3.3. Klasifikasi batuan sedimen (Pettijhon, 1975)


Adapun identifikasi batuan metamorf merujuk pada klasifikasi Robertson (1999)
yang membagi batuan metamorf berdasarkan komposisi mineral utama penyusun batuan
seperti kuarsa, feldspar, dan mika (Tabel 3.3).
Tabel 3.3 Klasifikasi kelompok mineral metamorf menurut Roberson (1999)
Kelompok metamorf Mika (%) Kuarsa + Feldspar (%)

Psammite 0-20 80-100

Semipelite 20-40 60-80

Pelite >40 <60

Batuan dengan komposisi kuarsa lebih dari 80% dapat diklasifikasikan sebagai
kuarsit, sedangkan batuan dengan kandungan mika 20% dengan keterdapatan feldspar
dan kuarsa 80-100% termasuk ke dalam golongan psammite seperti gneiss, batuan
dengan komposisi mika 20-40% dengan kandungan kuarsa dan feldspar 60-80% dapat

16
digolongkan ke dalam kelompok semipelite seperti sekis, lalu batuan dengan komposisi
mika kuarsa dan feldspar cenderung seimbang dapat dikelompokkan ke dalam
klasifikasi pelite meliputi batusabak dan filit. Adapun ditinjau dari teksturnya batuan
metamorf terbagi menjadi 2 tipe yaitu foliasi dan nonfoliasi.
3.4.4. Analisa Struktur
Tahap analisa struktur dilakukan dengan menganalisis data struktur yang didapat
melalui observasi lapangan berupa orientasi lapisan batuan lalu dilakukan identifikasi
jenis dan dimensi dari struktur tersebut dengan mempertimbangkan keterbentukan
struktur secara luas melalui pemahaman tatanan tektonik yang berkembang pada daerah
penelitian dilihat dari ke nampakkan pola kelurusan pada DEMNas (Digital Elevation
Model Nasional) daerah penelitian. Kemudian data kelurusan di himpun dan di analisa
menggunakan diagram roset untuk mendapatkan tegasan maksimum (1), medium
(2), dan minimum (3) yang bekerja pada daerah penelitian. Selain itu dilakukan
analisa pada data kekar, bidang sesar, gores garis, offset, breksiasi menggunakan metode
stereografi serta aplikasi Dips dan Wintensor guna menentukan dinamika dan
kinematika dari struktur yang terbentuk.
Peacock et al, (2017) mengklasifikasikan zona hancuran secara terperinci
berdasarkan intensitas dan banyaknya variasi struktur kekar pada area tersebut.
klasifikasi ini mengacu pada beberapa parameter seperti peningkatan pergerakan sesar,
posisi kekar dan interaksi antar sesar. (Gambar 3.4). Berdasarkan aspek lokasi zona
hancuran dan sesar yang mempengaruhinya zona hancuran terbagi menjadi 4 yaitu tip
damage zone yang berada di ujung sesar terbentuk akibat efek gaya kompresi dari
bidang sesar. Kemudian wall damage zone terbentuk akibat peningkatan deformasi zona
sesar pada tubuh batuan yang dipengaruhi oleh sesar mendatar. Selanjutnya linking
damage yang terbentuk akibat interaksi antar sesar yang saling terhubung dan
mempengaruhi zona tersebut.

Gambar 3.4 Klasifikasi zona hancuran (Peacock et al, 2017)

Sedangkan zona hancuran dikelompokkan berdasarkan interaksi antar zona


terdiri dari intersection damage zone yang merupakan zona yang terbentuk saat 2 atau
lebih sesar dengan arah yang berbeda saling berinteraksi. Sedangkan approaching
damage zone terbentuk oleh 2 sesar yang tidak saling berinteraksi.
Kemudian dilakukan juga analisa jenis kekar berdasarkan Peacock et al. (2018)

17
yang mengklasifikasikan berdasarkan beberapa aspek, seperti tipe rekahan, geometri,
tipologi, umur, garis perpotongan, dan perpindahannya, serta gaya stres yang bekerja
pada kekar tersebut (Gambar 3.5).

Gambar 3.5 Klasifikasi hubungan antar fracture (Peacock et al, 2017)

Berdasarkan tipenya kekar dibagi menjadi beberapa jenis yaitu extention


fracture, shear fracture, contactional fracture dan combined fracture. Extention
fracture merupakan kekar yang terbentuk akibat gaya tension yang lebih dominan. Lalu
shear fracture terbentuk dari gaya kompresi pada batuan yang berada pada zona sesar.
Sama halnya dengan tipe contactional namun jenis kekar yang terbentuk berupa
stylolites. Selain itu kekar dengan tipe combined merupakan kekar dengan jenis shear
yang mengalami peregangan dan pada umumnya telah terisi oleh mineral kuarsa
ataupun kalsit pada sepanjang zona sesar. Kemudian pembagian hubungan secara
geometrinya terdiri dari kekar isolated, approaching, abutting, cutting, dan mutually
cutting.
Dalam proses analisa sesar pada daerah penelitian dilakukan korelasi data
lapangan berupa bidang sesar, slicken side, dan rekonstruksi data pada zona hancuran
meliputi shear fracture, gash fracture, dan breksiasi. Lalu dari hasil korelasi tersebut
dapat dilakukan penamaan dan identifikasi arah tegasan utama yang bentuk sesar
tersebut. Anderson (1951) mengklasifikasikan sesar berdasarkan principal stress.
principal stress adalah gaya yang bekerja pada suatu bidang utama. Pada suatu sesar
terdapat tiga arah utama yaitu 1, 2dan 3 yang mana 1 lebih besar dibanding 2
dan 3 merupakan gaya terkecil, gaya tersebut bekerja dari dua sumbu yaitu sumbu
vertikal (Sv) dan sumbu horizontal (Sh) dimana Sh terdiri dari dua sumbu yaitu sumbu
horizontal dengan maksimal (Sh max) dan sumbu horizontal dengan minimal (Sh min)
sedangkan Sv hanya memiliki satu sumbu saja. Dari interaksi antar sumbu inilah
Anderson (1951) mengklasifikasikan sesar menjadi tiga yaitu sesar turun apabila Sv
lebih besar dibanding Sh max dan Sh min merupakan gaya terkecil. Sesar naik apabila
Sh max menjadi gaya terbesar diikuti Sh min, dan Sv menjadi gaya terkecil. Sesar

18
mendatar apabila Shmax menjadi gaya terbesar diikuti Sv dan Sh min Sebagai gaya
terkecil (Gambar 3.6)

Gambar 3.6 Klasifikasi Sesar berdasarkan pincipal stress (Anderson ,1951)

Penamaan sesar Menggunakan klasifikasi Rickard (1972) yang membagi sesar


menjadi 22 tipe berdasarkan nilai dip dari bidang sesar dan pitch-nya (Gambar 3.7)
sehingga didapat tipe sesar dan arah pergerakan relatif sesar tersebut.

Gambar 3.7 klasifikasi Sesar (Rickard ,1972)

Kemudian dilakukan penamaan menggunakan klasifikasi Fossen (2010) yang


membagi sesar menjadi 5 tipe berdasarkan besaran dip dan pitch sebagai acuan yaitu,
strike-slip fault, oblique slip fault, dip-slip fault (normal and reverse), horizontal fault,
dan vertical fault (Gambar 3.8).

19
Gambar 3.8 klasifikasi sesar berdasarkan Fossen (2010)
Strike-slip fault merupakan sesar mendatar yang dicirikan dengan pergerakan
sesar cenderung mengikuti arah strike dengan besaran dip bidang sesar 15o-75o dan
pitch 0o-35o. lalu dip-slip fault yang dicirikan dengan pergerakan sesar mengikuti
kemiringan dip dengan pitch umumnya 60o-90o, dip-slip fault dapat dibagi menjadi dua
tipe yaitu normal fault dan reverse fault. Normal fault adalah sesar yang menunjukkan
pergerakan hanging wall menurun mengikuti arah dip dengan besaran dip umumnya
berkisar antara 45o-75o, sebaliknya reverse fault menunjukkan pergerakan hanging wall
yang bergerak naik mengikuti arah dip dengan besaran dip 15o-45, sedangkan oblique
fault adalah gabungan antara strike slip dan dip slip fault dengan bersasaran pitch
umumnya 45o. Pergerakan blok sesar juga dapat berbentuk vertical ataupun horizontal.
Pergerakan sesar vertical umumnya terbentuk pada dip >85o sedangkan sesar horizontal
dapat terbentuk pada dip <5o.
3.5. Kerja Studio
Pada tahapan ini dilakukan sintesis terhadap data-data lapangan telah dianalisis dengan
tujuan untuk membantu penulis dalam memahami proses geologi dari daerah penelitian, dan
presentasi data. Adapun tahapan-tahapannya mencakup pembuatan peta, pembuatan
penampang, dan pembuatan model sejarah geologi.
3.5.1. Pembuatan Peta
Peta merupakan model geologi yang dibangun untuk memberikan ilustrasi
terhadap daerah penelitian berdasarkan hasil analisis dan observasi lapangan. Produk
yang dihasilkan dari kerja studio ini berupa peta lintasan, peta geomorfologi, dan peta
geologi dengan skala pada masing-masing peta sebesar 1:50.000, menyesuaikan media
peta yang berukuran A3. Dalam pembuatan peta beberapa aplikasi digunakan seperti
Mapsource, Global Mapper, ArcMap, Arcscene, dan CorelDraw X7 dengan data dasar
berupa Citra DEMNas dengan resolusi 8 meter.
Peta lintasan merupakan peta yang dibentuk berdasarkan hasil observasi
lapangan. Peta ini memberikan gambaran mengenai data kedudukan lapisan, simbol
litologi, kontak antar litologi, dan struktur. Peta geomorfologi memberikan gambaran
mengenai bentuk lahan daerah penelitian. Bentukan lahan tersebut dapat memberikan

20
cerminan faktor pengontrol ke terbentuknya meliputi proses geologi yang bekerja
ataupun proses lainya seperti erosi dan pelapukan. Peta Geologi merupakan peta yang
representasikan data pada peta lintasan dan data struktur yang telah dihimpun saat
observasi lapangan. Dalam pembuatan peta ini memperhatikan kaidah kontrol struktur
(KS) dalam penentuan batas kontak antar litologi. Peta ini diharapkan dapat
memberikan ilustrasi terhadap sebaran dan umur batuan, urutan sedimentologi serta
struktur pembentuk daerah penelitian.

3.5.2. Pembuatan Penampang


Pembuatan penampang geologi ditujukan untuk merepresentasikan keadaan
bawah permukaan daerah penelitian berdasarkan keadaan geologi permukaan.
Pembuatan penampang dilakukan dengan menarik garis sayatan pada peta geologi
dengan mempertimbangkan daerah yang paling merepresentasikan kondisi lapangan.
Dalam rekonstruksi bawah permukaannya menggunakan kink method (Laboratorium
Geologi Dinamik, 2009)

3.5.3. Pembuatan Model Sejarah Geologi


Pembuatan model sejarah geologi bertujuan untuk menunjukkan kronologi
geologi dalam bentuk grafis sehingga mempermudah dalam memahami kondisi daerah
penelitian. Dalam pembautannya digunakan aplikasi CorelDraw dengan
mempertimbangkan hasil observasi lapangan yang dikorelasikan dengan kajian pustaka
terdahulu.

3.6. Penyusunan Laporan


Tahapan ini dilaksanakan apabila seluruh data telah selesai dianalisis dan di
interpretasikan. Penyusunan laporan ini merupakan sintesis dari seluruh data lapangan
ataupun data hasil analisa dan kerja studio. Dokumentasi data lapangan berupa foto,
azimut singkapan dan data kedudukan, serta data analisa dan kerja studio berupa
penamaan batuan, penentuan umur relatif, penentuan jenis struktur, penampang dan
model geologi beserta Peta-Peta (peta lintasan, geomorfologi, dan geologi). Kemudian
di korelasikan dengan kajian pustaka dan diinterpretasikan untuk membentuk
rekonstruksi sejarah geologi dan tatanan tektonik daerah penelitian. Seluruh data
tersebut kemudian disusun sesuai kaidah yang berlaku menjadi sebuah laporan akhir
pemetaan geologi menggunakan aplikasi Microsoft Word 2010 dan Corel Draw.

21
BAB IV
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi daerah penelitian merupakan gambaran dari kondisi aspek geologi pada
daerah penelitian meliputi geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi. Aspek-aspek
tersebut merupakan hasil observasi lapangan yang kemudian di analisa mengikuti
metode penelitian lalu dikorelasikan dengan studi pustaka.

4.1. Geomorfologi
Geomorfologi daerah penelitian adalah gambaran bentuk lahan yang diperoleh
melalui analisa aspek geomorfik yang berkembang. Menurut Hugget (2017) ada tiga
faktor yang mengendalikan perkembangan geomorfologi suatu daerah yaitu aspek
struktur, proses, dan tahapan. Aspek struktur geologi berkaitan erat dengan fase tektonik
sehingga menyebabkan pembentukan lahan di permukaan bumi baik berupa
pengangkatan, penurunan, ataupun pergeseran roman muka bumi, kemudian aspek
proses berupa aktivitas permukaan bumi yang dapat mengubah bentuk lahan, misalnya
erosi yang disebabkan aliran air tanah ataupun air sungai, glasial serta dapat juga
disebabkan pelapukan batuan dan longsor. Sedangkan aspek tahapan merupakan aspek
pengubahan dan perkembangan bentuk lahan yang terbagi menjadi stadia muda,
dewasa, dan tua.
4.1.1. Aspek Geomorfik
Menurut Hugget (2017) aspek geomorfik dikelompokkan menjadi dua yaitu
aspek fisik dan dinamik. Aspek fisik merupakan gambaran bentang alam yang terdiri
dari aspek morfometri dan morfogenesa sedangkan morfogenesa adalah suatu gambaran
dari proses pembentukan bentang alam tersebut. Analisa dilakukan dengan
menggunakan data DEM yang direpresentasikan dalam bentuk peta topografi, peta pola
aliran, dan peta kemiringan lereng, serta observasi lapangan sebagai acuan pembuat
klasifikasi satuan bentuk lahan yang kemudian dirangkai menjadi peta geomorfologi.
Adapun aspek yang menjadi dasar pembuatan peta ialah aspek fisik berupa bentuk
lembah, ke lerengan, pola aliran, dan relief, serta aspek dinamik mencakup
morfostruktur aktif, morfostruktur pasif, dan morfodinamik. Aspek-aspek tersebut
disusun berdasarkan klasifikasi Huggett (2017) dan Widyatmanti (2016) serta
Buffington (2014) lalu identifikasi pola aliran berdasarkan klasifikasi Twidale (2004)
dan Radaideh (2016).
4.1.1.1 Analisis Morfografi
Menurut Widyamanti (2016) Morfografi adalah aspek geomorfologi yang
memberikan deskripsi bentuk lahan yang bersifat kualitatif berdasarkan elevasi
topografi daerah penelitian mulai dari dataran rendah, perbukitan hingga pegunungan.
Berdasarkan analisis pengindraan jauh menggunakan data DEMnas daerah penelitian
menunjukkan elevasi mulai dari 150 mdpl hingga 900 mdpl (Gambar 4.1).

22
Gambar 4.1 Peta elevasi daerah penelitian (Widyatmanti, 2016).
. Berdasarkan Widyatmanti (2016) daerah penelitian dapat diklasifikasikan
menjadi tiga berdasarkan elevasinya yaitu perbukitan rendah dengan elevasi 150 mdpl
hingga 200 mdpl meliputi 10% dari daerah penelitian terdapat di sepanjang sungai
Batang Asai dan Batang Tangkui, perbukitan dengan elevasi 200 mdpl hingga 500 mdpl
meliputi 50% dari daerah penelitian tersebar luas pada desa Rantau Panjang, Pekan
Gedang, Sungai Salak dan Raden Anom, dan perbukitan tinggi dengan elevasi 500 mdpl
sampai dengan 900 mdpl menempati 40% tersebar memanjang dari di bagian timur dan
sebagian pada bagian barat daya dan barat laut daerah penelitian.

4.1.1.2 Analisis Morfometri


Menurut Huggettt (2007) analisis morfometri merupakan aspek kualitatif dalam
klasifikasi bentuk lahan. Berdasarkan klasifikasi Widyatmanti et al. (2016), ke
lerengannya daerah penelitian dapat diklasifikasikan menjadi 5 kelas yaitu datar (0-2%)
lereng sangat landai (3-7%), miring (8-13%), agak curam (14-20%), dan curam (21-
55%). Lereng datar-miring mendominasi daerah di sekitar sungai Batang Asai,
mencakup Desa Pekan Gedang dan Rantau Panjang, lalu lereng dengan kelas miring-
sangat curam tersebar merata di seluruh desa pada daerah penelitian. Morfometri daerah
penelitian dapat dimodelkan dengan peta kemiringan lereng (Gambar 4.2).

23
Gambar 4.2 Peta ke lerengan daerah penelitian. (Widyatmanti et al., 2016)

4.1.1.3 Analisis Proses


Menurut Huggett (2007) bentuk lahan geomorfologi dipengaruhi oleh dua proses
utama yaitu proses permukaan dan proses geologi. Proses geologi terjadi akibat
aktivitas tektonik sedangkan Proses permukaan disebabkan oleh kontrol atmosfer,
hidrosfer dan biosfer sehingga menyebabkan terjadinya degradasional tanah yang
dipengaruhi tingkat resistensi batuan yang kurang baik sehingga mudah mengalami
erosi, pelapukan, transportasi dan gerak massa batuan. Proses permukaan berperan besar
dalam perkembangan bentuk lahan daerah penelitian, hal ini dibuktikan dengan
dijumpai longsoran dan erosi (denudasi) yang disebabkan proses permukaan. Sehingga
menunjukkan material penyusun tanah ataupun batuan pada daerah penelitian telah
mengalami pelapukan secara kuat. Berikut bentukan longsoran yang terjadi di lokasi
penelitian (Gambar 4.3).

Gambar 4.3 (a ) Kenampakkan longsor berjenis rockfall pada LP 60 dan (b) longsor
berjenis earth flow LP 61di Desa Pekan Gedang (Highland dan Johnshon, 2004)

Analisis permukaan dapat dilakukan dengan memperhatikan pola aliran sungai.

24
Menurut Twidale (2004) pola aliran sungai yang berkembang dapat menunjukkan
variasi litologi dan kendali struktur tektonik serta mengindikasikan aspek geomorfik
yang telah berlangsung pada kurun waktu tertentu. Sungai di daerah penelitian
dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan tingkat kuantitas aliran air yaitu sungai utama
dan sungai musiman. Pada daerah penelitian terdapat dua sungai utama yaitu Sungai
Batang Asai dan Sungai Tangkui.
Pola aliran dapat digunakan untuk mengetahui seberapa resistans batuan terhadap aliran
air. Hal ini juga dikontrol oleh debit sungai, ke lerengan tebing sungai dan material
yang terbawa oleh aliran. Berdasarkan Twidale (2004) dan Radaideh (2016) daerah
penelitian terdapat pola aliran paralel dan trellis. Pola paralel mendominasi bagian barat
sedangkan pola trellis berkembang pada bagian timur. Pola aliran paralel dengan arah
utama relatif 181o - 200o didominasi oleh bentuk lereng yang curam dengan batuan yang
cukup resistans. pola aliran trellis yang berarah utama 221o - 230o dipengaruhi oleh pola
punggungan dengan lereng curam dan batuan yang cukup resistans. (Gambar 4.4).

Gambar 4.4. Peta pola aliran daerah penelitian.


Stadia sungai daerah penelitian termasuk ke dalam stadia muda – dewasa
dicirikan dengan arus sungai yang cepat dan gradien sungai bervariasi dan menunjukkan
ketidakteraturan yang umumnya berkembang pada di daerah yang telah mengalami
pengangkatan seperti gunung atau daerah tinggian. Berdasarkan data tersebut dapat
mengindikasikan dua proses pembentukan lahan yaitu proses geologi berupa arah gaya
tekanan tektonik cenderung berarah Timur Laut-Barat Daya yang kemudian dilanjutkan
dengan proses permukaan yang disebabkan erosi aliran sungai yang cenderung
berlangsung lebih intensif.

4.1.2 Satuan Geomorfik


Penentuan klasifikasi bentuk lahan pada daerah penelitian dilakukan melalui

25
analisis aspek morfologi dan analisis proses serta analisis pola aliran. Hasil analisis
tersebut kemudian dikorelasikan dengan klasifikasi yang sesuai. analisis morfologi
ditinjau dari tingkat elevasi, kemiringan lereng menggunakan klasifikasi Widyatmanti
dkk., (2016). Analisis Pola pengaliran sungai mengacu pada klasifikasi Twidale dkk.,
(2004) sedangkan analisis proses geomorfik berdasarkan klasifikasi Buffington (2014)
dan Huggett (2017). Aspek dari setiap klasifikasi dikorelasikan dengan data lapangan
sehingga didapatkan satuan bentuk lahan daerah penelitian terbagi menjadi tiga jenis,
yaitu channel irregular meander (CIM), Perbukitan Agak Curam Terdenudasi (PACT),
dan Perbukitan Tinggi

4.1.2.1 Channel Irregular Meander (CIM)


Channel irregular meander merupakan bentuk lahan di daerah penelitian yang
terbentang dari utara hingga selatan di sepanjang sungai Batang Asai dan Batang
Tangkui daerah penelitian. Daerah ini mendominasi 10% dari keseluruhan daerah
penelitian dan dikontrol oleh struktur geologi. Aliran sungai-sungai ini memotong jurus
pelapisan batuan atau dikenal dengan sebutan arus konsekuen dengan relief permukaan
relatif datar hingga miring (0-13%) berada pada elevasi 150-200 meter, berdasarkan
aspek ke lerengannya dikontrol oleh lereng dengan tebing landai hingga miring. Sungai
yang terbentuk pada satuan ini berstadia dewasa dengan lembah umumnya berbentuk U
dengan litologi penyusunnya didominasi batuan metamorf pada bagian utara dan batuan
sedimen pada bagian selatan. (Gambar 4.5)

Gambar 4.5. Ke nampakkan morfologi channel irregural meander di Desa Rantau


Panjang dengan azimuth N197oE

4.1.3 Perbukitan Agak Curam Terdenudasi (PACT)


Satuan bentuk lahan ini mendominasi 50% dari daerah penelitian, memiliki
elevasi berkisar 200-500 mdpl. Berdasarkan ke lerengannya, memiliki relief agak curam
dengan persentase ke lerengan 3-55% (Widyatmanti et al 2016) pola aliran yang
berkembang pada aliran ini berupa trellis pada bagian timur dan paralel pada bagian
barat Twidale (2004) dengan stadia sungai muda dan lembah sungai pada satuan ini
berbentuk V. Pada satuan geomorfik ini dapat ditemui hasil proses denudasi berupa

26
longsoran di beberapa titik (Gambar 4.6)

Gambar 4.6. Ke nampakkan morfologi perbukitan agak curam terdenudasi di desa


rantau panjang dengan azimuth N93oE

4.1.4 Perbukitan Tinggi Curam (PTC)


Satuan bentuk morfologi ini mendominasi 40% dari daerah penelitian. Memiliki
relief curam dengan kemiringan lereng 7-55% (Widyatmanti et al., 2016) pola aliran
yang berkembang berupa trellis pada bagian timur daerah penelitian dengan stadia
sungai muda dan bentukan lembah V yang dikontrol oleh tebing yang cenderung agak
curam hingga curam (Gambar 4.7).

Gambar 4.7. Ke nampakkan morfologi perbukitan tinggi curam di Desa Sungai Salak
dengan azimuth N129oE

4.2. Stratigrafi
Stratigrafi daerah penelitian memberikan gambaran mengenai urutan serta
proses pengendapan pada daerah tersebut yang merupakan hasil dari representasi
rangkaian observasi lapangan yang meliputi 76 lokasi pengamatan (Lampiran B). Data
tersebut kemudian disusun menjadi peta lintasan dan pengamatan yang kemudian
dikorelasikan dengan kondisi regional. Penentuan lingkungan pengendapan juga

27
dilakukan dengan mengkorelasikan profil stratigrafi dengan klasifikasi Nichols (2009)
(Lampiran E). Hal-hal tersebut menjadi dasar penentuan stratigrafi daerah penelitian.
Berdasarkan Suwarna et al. (1992), daerah penelitian tersusun oleh batuan Pra-
tersier dengan umur relatif Jura Akhir hingga Kapur dan batuan Tersier dengan umur
Miosen Awal. berdasarkan hasil analisa didapat bahwa, daerah penelitian tersusun atas
3 formasi yaitu Formasi Jura Asai (Ja), Formasi Peneta (Kjp), dan Formasi
Papanbetupang (Tomp). Hall (2014) menginterpretasikan bahwa hubungan antara
batuan berumur Pra-Tersier dan Tersier berupa kontak secara tektonik. Hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya sesar naik yang membatasi Formasi Peneta (Kjp) yang
berumur Kapur dan Formasi Papanbetupang (Tomp) yang berumur Tersier (Gambar
4.8).

Gambar 4.8. Kolom stratigrafi lokal daerah penelitian

4.2.1. Formasi Asai


Secara regional Formasi Asai tersusun atas beberapa satuan batuan metamorf
berupa batusabak, metapasir, dan filit (Suwarna et al., 1992). Formasi ini tersebar pada
bagian timur laut daerah penelitian.
Pada lokasi penelitian formasi ini memiliki sebaran paling sedikit dibanding
formasi lainnya pada daerah penelitian. didominasi oleh satuan batusabak pada bagian
timur laut daerah penelitian dengan orientasi sebaran Barat Laut-Tenggara, dengan
karakteristik warna lapuk kehitaman dan warna segar cream kecokelatan dengan
kekompakan sangat kompak, menunjukkan struktur foliasi berupa slaty cleavage. Selain
itu satuan batuan ini telah termineralisasi oleh mineral kuarsa dan pirit. hal tersebut
dapat dilihat pada urat kuarsa lokasi pengamatan 70 yang telah terdeformasi membentuk
microfold dengan orientasi NE-SW (Gambar 4.9). Berdasarkan klasifikasi Peacock
(2017) urat kuasa pada lokasi tersebut tergolong sebagai zona hancuran dengan tipe
linking damage zone yang terdeformasi akibat interaksi antara sesar sinistral dan sesar
dekstral.

28
Gambar 4.9 Singkapan Batusabak pada Lp 59 didesa Pekan Gedang, dengan azimuth
N274oE dan tipe zona hancuran daerah penelitian (pada kotak kuning) Peacock (2017)

Struktur microfold pada daerah penelitian dapat diklasifikasikan berada dalam


zona hancuran dengan tipe linking damage zone dengan kekar bertipe approaching
(Peacock, 2017;2018). Pembentukan struktur tersebut diawali dengan pergerakan sesar
sinistral berorientasi NE-SW yang mengontrol urat kuarsa, lalu di kontrol oleh sesar
dextral yang berasosiasi dengan local shearing yang terbentuk sebagai produk dari zona
hancuran di daerah tersebut (Gambar 4.10).

29
Gambar 4.10 Mekanisme pembentukan microfold pada linking damage zone di daerah
penelitian

Lalu pada lokasi penelitian 67 ditemukan kontak antara batusabak Formasi Asai
dan metapasir Formasi Peneta dengan kedudukan N137oE/30o (Gambar 4.11).
Berdasarkan analisa petrografi satuan batusabak ini menunjukkan ke nampakkan putih
hingga kecokelatan pada kondisi PPL dan hitam kecokelatan hingga putih keabuan pada
XPL. Dengan ukuran butir 10-200 µm dengan struktur berupa slaty cleavage dan tekstur
lepidoblastik. Batuan ini disusun oleh mineral Kuarsa 35%, lempung 40% dan muskovit
5%. Batuan ini tergolong sebagai batusabak berdasarkan klasifikasi Robertson (1999)
(Gambar 4.12)

Gambar 4.11 Kontak batusabak Asai dan metapasir Peneta dengan kedudukan
N137oE/30o (garis merah putus-putus), foto diambil dengan azimuth N197oE

30
Gambar 4.12 Ke nampakkan mikrografi lp 59 satuan Batusabak Formasi Ja

4.2.2. Formasi Peneta


Secara regional Formasi Peneta tersusun atas satuan batusabak, batuserpih,
batulanau dan batupasir dengan sisipan batugamping malih (Suwarna et al., 1992).
Namun pada daerah penelitian hanya ditemukan batuserpih dan batupasir yang tersebar
merata di tengah lokasi penelitian dengan orientasi NE-SW. Secara megaskopis satuan
batupasir formasi ini memiliki karakteristik warna lapuk cream kecokelatan dan warna
segar cream, sortasi baik, dan kompak, menunjukkan struktur non-foliasi yaitu
granoblastik. Satuan batuan ini juga telah termineralisasi oleh mineral kuarsa yang
mana ditunjukkan oleh urat kuarsa pada lokasi pengamatan 68 yang membentuk
extension fracture dengan orientasi NE-SW (Gambar 4.13). Berdasarkan klasifikasi
Peacock (2017) urat kuarsa pada lokasi tersebut tergolong sebagai distributed damage
zone yang terbentuk akibat penyebaran gaya pada massa batuan terjadi lebih intens
dibanding daerah lainnya.

Gambar 4.13. Singkapan batupasir pada Lp 68 didesa Pekan Gedang, foto diambil
dengan azimuth N253oE dan tipe zona hancuran daerah penelitian (pada kotak merah)
berdasarkan Peacock (2017)
Berdasarkan analisa petrografis satuan batupasir menunjukkan warna putih
kekuningan PPL dan warna abu-abu-hitam pada XPL Matriks berukuran dari > 0,1
mm – 0,3 mm , tertanam dalam massa dasar lempung, subangular - angular, suture
contact, well sorted, kemas tertutup (matriks supported fabrics) termasuk ke dalam
meta-Subarkose karena terlihat mulai terbentuk pensejajaran mineral dan terdapat
mineral muskovit (Lampiran F) batuan ini tergolong sebagai metapasir berdasarkan
klasifikasi Pettijhon (1975) (Gambar 4.14)

31
Gambar 4.14 Ke nampakkan mikrografi lp 68 satuan batupasir Formasi Kjp
Lalu pada lokasi pengamatan 69 ditemukan satuan batusabak dengan ke
nampakkan megaskopis, warna lapuk ke cokelatan, warna segar ke cokelatan, sortasi
baik, cukup kompak, menunjukkan struktur foliasi berupa slaty cleavage dengan
orientasi umum NE-SW (Gambar 4.15)

Gambar 4.15 Singkapan batusabak pada Lp 69 didesa Pekan Gedang, foto diambil
dengan azimuth N 267oE

Berdasarkan analisa petrografis satuan batusabak ini didapat Ke nampakkan


putih hingga kecokelatan pada PPL dan hijau kehitaman hingga kecokelatan pada XPL,
terlihat struktur foliasi slaty cleavage dengan bentuk S-C Fabric. Batuan ini disusun
oleh mineral kuarsa 62 %, muskovit 30 % dan illite 8% (Lampiran F) batuan ini
tergolong sebagai metapasir berdasarkan klasifikasi Robertson (1999) (Gambar 4.16).

32
Gambar 4.16 Ke nampakkan mikrografi Lp 37 satuan Batusabak Formasi Kjp

4.2.3 Formasi Papanbetupang


Secara regional Formasi Papanbetupang tersusun atas beberapa satuan batuan
seperti batupasir, batulanau, konglomerat, dan breksi, serta batulempung sisipan tuff
dan batubara. Namun pada daerah penelitian hanya ditemukan litologi batupasir, dan
batulanau.
Berdasarkan observasi di beberapa lokasi didapatkan, Satuan batulanau formasi
ini memiliki ciri berwarna segar coklat tua dan warna lapuk coklat kemerahan, agak
lapuk, sortasi sedang, cukup kompak, dengan ukuran butir silt (0.004-0.0625 mm)
berdasarkan skala Wentworth (1992). Kemudian satuan batupasir formasi ini memiliki
ciri segar cream dan warna lapuk cream kecokelatan dengan ukuran yang cukup variatif
mulai dari pasir kasar (0.5-1 mm) hingga pasir halus (0.125-0.25 mm), secara
megaskopis terlihat sortasi baik dan cukup kompak. Lalu pada lokasi 74 dapat diamati
singkapan batupasir yang menggerus batulanau sehingga membentuk struktur scouring
lalu pada batupasir tersebut terdapat struktur trough cross bedding, dengan gradasi
ukuran butir kasar (0.5-1 mm) hingga halus (0.125-0.25 mm) membentuk finning
upward succession (Gambar 4.17). Struktur scouring terbentuk akibat pasir yang
berukuran lebih besar menggerus batulanau dengan ukuran butir yang lebih kecil,
kemudian struktur graded bedding menunjukkan variasi ukuran butir kasar (0.5-1 mm)
hingga halus (0.125-0.25 mm) membentuk finning upward succession yang diakibatkan
oleh perubahan arus yang semakin lama semakin lemah, lalu fluktuasi arus yang terjadi
selama masa pengendapan mengakibatkan terbentuknya struktur trough cross bedding.
Berdasarkan data-data yang telah diperoleh dapat diinterpretasikan bahwa satuan batuan
ini terendapkan di lingkungan meander river system (Nichols, 2009) di Channel (Boggs,
2006).

33
Gambar 4.17 Kenampakkan litologi batupasir dan batulanau pada lp 10 pada Desa
Rantau panjang, foto diambil dengan azimuth N 356o E
Berdasarkan analisa petrografis batupasir formasi ini didapat Dominansi warna
felsik, matriks (grain), supported fabric (kemas tertutup), sortasi well sorted, bentuk
butiran subrounded subangular, hubungan antar butir long contact dengan keseluruhan
ukuran < 50 mikrometer. Komposisi terdiri atas butiran mineral kuarsa, opak, dan
Feldspar yang tertanam dalam masa dasar lempung (Gambar 4.18) (Lampiran F) dari
hasil analisa kemudian di korelasikan menggunakan klasifikasi Pettijohn (1987) maka
didapat bahwa batupasir formasi ini termasuk ke dalam Quartz Arenit.

Gambar 4.18 Ke nampakkan mikrografi lp 01 satuan batupasir Formasi Tomp.

34
4.3. Struktur Geologi
Struktur geologi yang ditemui saat melakukan observasi lapangan berupa gores
garis, offset, dan kekar-kekar yang merupakan produk dari deformasi tektonik yang
terjadi pada daerah penelitian. Adapun data-data yang dihimpun ditampilkan dalam
tabel 4.2.

Tabel 4.1. Data Struktur Geologi dan Lokasi Pengamatan.


Struktu Lokasi
r Pengamata Presentasi Data yang dihimpun
Geologi n (LP)

30 Gambar 4.19 dan Lampiran F

41 Gambar 4.21 dan Lampiran F Kedudukan bidang sesar dan


Sesar 42 Gambar 4.21 dan Lampiran F gores garis

46 Gambar 4.21 dan Lampiran F

51 Gambar 4.21 dan Lampiran F Data kekar

4.1.3 Struktur Kekar


Berdasarkan analisa yang telah dilakukan pada data kekar yang ditemui di
lapangan didapatkan kekar berupa shear fracture. Adapun data yang dihimpun Sebagai
berikut :

Tabel 4.2 Data kekar pada daerah penelitian.

Shear 1 Shear 2
Strike Dip Strike Dip Strike Dip Strike Dip
325 83 317 81 30 75 31 75
342 84 312 75 35 77 32 79
357 75 315 81 34 77 35 78
315 83 317 79 29 78 31 77
313 79 317 73 30 79 33 75
312 80 315 73 25 82 32 79
317 77 312 81 31 85 30 78
167 85 315 75 35 76 29 79

Setelah dilakukan analisa stereografi didapatkan hasil berupa (1)1o,N350 o E,


(2) 40o,N342 o E, (3) 14o,N262o E (Gambar 4.19). Sehingga dapat diinterpretasikan
bahwa kekar tersebut merupakan produk dari sesar mendatar di daerah penelitian. Hal
tersebut dibuktikan dengan gaya utama kekar yang berasal dari 3 yang sesuai dengan

35
konsep Anderson (1951).

Gambar 4.19 (A) Ke nampakkan kekar pada lp 51 (B) Hasil analisis kekar
melalui stereografi.

4.3.2 Struktur Sesar


Sesar pada daerah penelitian di identifikasi dengan melakukan analisa pada data
yang ditemui pada zona sesar berupa gores garis, shear dan gash fracture, serta
breksiasi. Kemudian dilakukan analisa menggunakan aplikasi Dips, Wintensor, dan
metode stereografi untuk memperoleh data kinematika dan dinamika serta arah tegasan
utama pembentuk struktur sesar pada daerah penelitian. Lalu klasifikasi sesar dilakukan
menggunakan data dip dan Pitch dari bidang sesar berdasarkan klasifikasi Fossen
(2010). Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan didapat bahwa daerah penelitian
dikontrol oleh sesar naik (dip-slip dominated fault) yaitu Sesar Sekalo, Sesar Pekan
Gedang dan sesar mendatar (strike-slip dominated fault) yaitu Sesar Rantau Panjang
(Lampiran F).
Sesar Sekalo merupakan sesar yang mengontrol bentuk morfologi pada bagian
tenggara daerah penelitian yang telah dilakukan pengamatan pada Sungai Sekalo
dengan orientasi NE-SW, kemudian Sesar Pekan Gedang terobservasi pada Sungai
Rutan dan Sungai Alai dengan orientasi NW-SE adalah sesar yang mengontrol bentukan
morfologi pada bagian barat daerah penelitian. Lalu Sesar Rantau Panjang yang
terobservasi pada Sungai Rutan dan Sungai Batang Asai dengan arah utama NE-SW
adalah sesar yang memotong Sesar Sekalo dan Sesar Pekan Gedang sehingga
mengontrol morfologi pada bagian selatan daerah penelitian.

4.3.1.1 Sesar Sekalo


Sesar Sekalo teridentifikasi dari singkapan batuan pada Sungai Sekalo kemudian
di analisa melalui rekonstruksi data gores-garis (Lampiran F). Lalu dilakukan penarikan
dengan dikorelasikan menggunakan data citra DEMNas dengan memperhatikan
kelurusannya (Gambar 4.20)

36
Gambar 4.20 Proyeksi pengambilan data bidang sesar di Lp 30 dikorelasikan dengan
citra DEMNas (garis putih putus-putus)

Kedudukan Bidang sesar pada lp 30 yaitu N 290oE/ 42 o dengan pitch 65o kemudian
di analisa dengan menggunakan Wintensor (Gambar 4.21) sehingga didapat hasil
tegasan maksimum (1) 05o/N216oE dan tegangan minimum (3) 74o/107oE.

Gambar 4.21 Hasil analisa proyeksi streografi Sesar Sekalo Pada Lp 30 menunjukkan
Dip-Slip Dominated Fault Fossen (2010) dan Left Thrust Slip Fault (Rickard 1972)

4.3.1.2 Sesar Rantau Panjang


Sesar Pekan Gedang merupakan sesar yang teridentifikasi dari beberapa segmen
yang tersingkap pada Lp 50 dan Lp 42 di Desa Pekan Gedang. Kemudian dilakukan
penarikan struktur dengan melakukan korelasi menggunakan citra DEMNas
memperhatikan kelurusan pada daerah penelitian (Gambar 4.22).

37
Gambar 4.22 Proyeksi pengambilan data bidang sesar di Lp 50 (a) yang tersingkap pada
Sungai Rutan dan Lp 42 (b) di Sungai Alai, dikorelasikan dengan citra DEMNas (garis
putih Putus-putus)

Kedudukan bidang sesar pada Lp 50 yaitu N 291oE/ 39 o dengan pitch 66o kemudian
dikorelasikan dengan bidang sesar pada Lp 42 yaitu N 289oE/ 44 o dengan pitch 62o yang
berdasarkan klasifikasi Fossen (2010) masuk ke dalam tipe Dip-Slip Dominated Fault
(Gambar 4.23) .

Gambar 4.23 Hasil analisa proyeksi stereografi Sesar Pekan Gedang pada Lp 50 (a) dan
Lp 42 (b) menunjukkan Dip-Slip Dominated Fault (Fossen 2010) dan Left Thrust Slip

38
Fault (Rickard 1972)

Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan, Sesar Pekan Gedang dengan
arah umum NE-SW dapat diinterpretasikan bahwa daerah penelitian telah mengalami
deformasi yang cukup kuat terhadap batuan yang secara umum bersifat brittle yaitu
batupasir dan batusabak. Hall (2014) menyebutkan bahwa hubungan antara batuan
Tersier dan Pra-tersier merupakan kontak tektonik. Sesar Sekalo dan Sesar Pekan
Gedang merupakan gambaran dari hal tersebut. sesar-sesar ini terbentuk pada fase
kompresional akibat subduksi dari lempeng Eurasia dan Indo-Australia sehingga
membentuk Struktur dengan arah utama NW-SE.

4.3.1.2 Sesar Sungai Salak Baru


Sesar Sungai salak Baru merupakan interpretasi dari Bidang sesar yang
tersingkap pada Lp 46 pada Desa Sungai Salak Baru disungai Rutan yang dikorelasi
dengan data kekar yang didapat dari observasi pada Lp 51 pada Sungai Batang Asai
yang kemudian dikorelasikan dengan citra DEMNas dengan memperhatikan
kelurusannya (Gambar 4.24).

Gambar 4.24 Proyeksi pengambilan data bidang sesar di Lp 46 yang tersingkap pada
Sungai Rutan dikorelasikan dengan citra DEMNas (garis putih putus-putus)

Kedudukan bidang sesar pada Lp 46 yaitu N 338 oE/ 63o dengan pitch 27o
sehingga sesar tersebut dapat diklasifikasikan sebagai strike-Slip Dominated Fault
(Fossen, 2010) dan Normal Right Slip Fault (Rickard, 1972) (Gambar 4.25).

39
Gambar 4.25 Hasil analisa proyeksi stereografi Sesar Sungai Salak Baru pada Lp 46
yang tersingkap pada Sungai Rutan menunjukkan Strike-Slip Dominated Fault (Fossen,
2010) dan Normal Right Slip Fault (Rickard, 1972)

Berdasarkan analisa yang telah dilakukan terhadap Sesar Sungai Salak Baru
dengan arah umum NNE-SSW. Dapat diinterpretasikan bahwa daerah penelitian telah
mengalami deformasi cukup kuat dengan litologi yang umumnya bersifat brittle yaitu
metapasir dan batusabak. Menurut Purwaningsih (2006), deformasi ini terbentuk pada
Eosen-Oligosen dengan arah utama NE-SW.

4.3. Mekanisme Struktur Geologi


Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan didapatkan bahwa struktur yang
berkembang di daerah penelitian berupa sesar naik dan sesar mendatar. Sesar naik
terbagi
menjadi 2 segmen yaitu Sesar Sungai Salak Baru dan Sesar Sekalo, dan sesar mendatar
yang diwakilkan oleh Sesar Rantau Panjang. Hasil tersebut didapat dari hasil analisa
bidang
sesar dan data kekar dengan mempertimbangkan pola kelurusan panggungan dan
kelokan
sungai berdasarkan citra DEMNas. Data tersebut kemudian di klasifikasikan
menggunakan
klasifikasi Fossen (2010) untuk mengidentifikasi tipe sesar yang terbentuk.
Firmansyah (2007) dan Hall (2010) menyatakan bahwa struktur geologi Sumatra
Selatan mulai terbentuk pada Jura Awal hingga Kapur Akhir dengan perkembangan
struktur memiliki Pola Sumatra dengan orientasi arah relatif NW-SE dan Pola Jambi
dengan Orientasi relatif NE-SW. pola tersebut merupakan produk dari daya
kompresional

40
Gambar 4.26 Model perkembangan struktur geologi pada Jura Awal - Kapur Akhir
daerah
penelitian merujuk Barber et al., (2005) dan dikorelasikan dengan hasil analisa data.

Kemudian pada Miosen Akhir berkembang fase kompresi inversi diakibatkan oleh
subduksi Lempeng Eurasia dan Indo-Australia sehingga terbentuk sesar mendatar
dengan
mengikuti Pola Jambi dengan arah NW-SE serta pengangkatan jalur Bukit Barisan dan
tepi
cekungan yang tersusun oleh batuan dasar (Suta dan Xiaoguang, 2005; Purwaningsih,
2006). Fase tersebut mengakibatkan terbentuknya sesar dengan arah NW-SE pada
daerah
penelitian yang direpresentasikan oleh Sesar Pekan Gedang (gambar 4.26)

Gambar 4.27 Model perkembangan struktur geologi pada Miosen Akhir daerah
penelitian

41
BAB V
SEJARAH GEOLOGI

Sejarah geologi adalah rekonstruksi terhadap kronologi geologi daerah


penelitian, baik berupa rekonstruksi pembentukan satuan batuan terkait dengan waktu
dan proses deformasi yang terjadi. Rekonstruksi dilakukan dengan mempertimbangkan
hasil analisa dan studi pustaka.

5.1. Jura - Kapur


Pada fase Jura terjadi pembentukan Formasi Asai (Ja) yang menjadi bagian dari
lempeng West Sumatera. Lalu pada Kapur terjadi subduksi antara lempeng West
Sumatera dan lempeng Woyla menyebabkan subduction dan terbentuknya Formasi
Peneta (Kjp). naik dengan arah relatif NE-SW pada daerah penelitian (Barber et al.,
2005) (Gambar 5.1).

Gambar 5.1. Skematis pembentukan Formasi Asai (Ja) dan Formasi Peneta (Kjp), pada
Jura-Kapur (dalam kotak merah) serta struktur sesar mendatar dan naik pada daerah
penelitian (Barber, 2005)

5.2 Paleosen – Miosen Akhir


Pada Paleosen – Eosen terjadi stagnan pada deformasi tektonik Pulau Sumatera
sehingga terjadi fase penurunan cekungan hingga terjadi pembentukan ruang akomodasi
untuk pengendapan material sedimen hasil erosi dari tinggian di sekitar daerah
penelitian (Suta dan Xiaoguang, 2005; Hall, 2012). Lalu pada Oligosen terendapkan
Formasi Papanbetupang secara tidak selaras di atas Formasi Peneta (Kjp) dengan
lingkungan pengendapan tresterial yaitu meander river system (Nichols, 2009) yang
tersusun oleh batupasir dan batulanau dan terjadi reaktivasi struktur yang telah
terbentuk sebelumnya (Purwaningsih 2006) (Gambar 5.2).

42
Gambar 5.2. Skematis pembentukan Formasi Papanbetupang (Tomp) pada Oligosen

Kemudian pada Miosen Akhir berkembang struktur sesar mendatar dengan arah NE-
SW
pada daerah penelitian. Purwaningsih (2006) menginterpretasikan bahwa struktur ini terbentuk
akibat kecepatan subduksi lempeng Indo-Australia terhadap Eurasia bertambah sehingga
terjadi reaktivasi terhadap struktur-struktur yang telah terbentuk pada fase-fase
sebelumnya
kembali aktif dan menunjukkan ke nampakkan arah dominan yang berbeda-beda,
seperti pada Sub-Cekungan Jambi menunjukkan arah NE-SW (Gambar 5.3).

Gambar 5.3. Skematis pembentukan struktur sesar NE-SW pada Miosen Akhir

5.3 Resen
Periode ini mencerminkan hasil dari deformasi yang telah terjadi sebelumnya
yang kemudian dikontrol oleh erosional dan geomorfik dari daerah penelitian. Seperti
Sungai Batang Asai di tengah daerah penelitian dan erosi lereng pada tinggian di
sekitarnya.

43
Gambar 5.4. Ke nampakkan daerah penelitian periode Resen.

44
BAB VI
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil observasi dan analisa data lapangan yang telah dilakukan
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Geomorfologi daerah penelitian dapat dibagi menjadi tiga bentuk lahan yaitu
Channel Irregular Meander (CIM), Perbukitan Agak Curam Terdenudasi (PACT),
dan Perbukitan Tinggi Curam (PTC).
2. Satuan batuan pada daerah penelitian terdiri dari satuan batusabak Formasi Asai
(JA), lalu satuan metapasir dan serpih Formasi Peneta (Kjp), serta batupasir
Formasi Papanbetupang (Tomp).
3. Struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian terdiri dari Sesar Pekan
Gedang, dan Sesar Sekalo serta Sesar Rantau Panjang dengan arah umum relatif
NE-SW.
4. Mekanisme sejarah geologi daerah penelitian terbagi menjadi tiga fase. Diawali
pada Kala Jura Awal – Kapur Akhir dengan pembentukan Formasi Asai (JA) dan
Formasi Peneta (Kjp) dengan rezim tektonik kompresional menghasilkan sesar
naik. Kemudian pada Paleosen – Eosen terjadi stagnan pada rezim tektonik
sehingga membuka ruang akomodasi sehingga Formasi Papanbetupang (Tomp)
terbentuk pada Oligosen dan saat Miosen Akhir terjadi fase kompresi reaktivasi
sehingga terbentuk sesar mendatar dengan arah umum NE-SW, dan diakhiri pada
periode Resen dengan dominasi proses geomorfik sehingga membentuk topografi
daerah penelitian.

45
DAFTAR PUSTAKA

Andeson, E. M., 1951, The Dybamics of Faulting and Dyke Formasion with
Applications to Brittan, EdinbUrgh, Oliver and Boyd. Standford University.

Barber, A.J., Crow, M.J., and Milsom, J.S., 2005, Sumatera: Geology, Resources and
Tectonic Evolution (A. J. Barber, M. J. Crow, & J. S. Milsom, Eds.): London, The
Geological Society London.

Blow, W.H., 1969, Late Middle Eocene to Recent planktonic foraminifera


biostratigraphy, In Bronnimann, P. and H.H. Renz (eds.) Proc. of the 1st Internat.
Conf. on Plank. Microfossil. Leiden: E.J. Brill, v. 1, p.199-422

Buffington, J.M., Montgomery, D.R., 2013, Geomorphic Classification of Rivers.In:


Shroder, J. (Editor in Chief), Wohl, E. (Ed), Trestise Geomorphology. Academic
Press, San Diego, CA, v.9 Fluvial Geomorphology, p.730 – 767.

Firmansyah, D. Arifai, A., Yudho, S., Kamal, A., Argakoesoemah, R. M. I. 2007


Exploring Shallow prospects in the Iliran High, South Sumatera Basin
Proceedings Indonesian Petroleum Association, Jakarta 2007 international
Geosciences Confrence and Exhibition

Fosen, H. 2010. Sructural Geology. New York: Cambridge University Press.

Hall, R. 2012. Late Jurasic-Chenozoic Reconstruction of Indonesia Region and Indian


Ocean. Tectonophysics 570-571, 1-41.

Huggettt, R. J. (2007). Fundamentals of Geomorphology. Advances in neonatalcare :


Official Journal of The National Association of Neonatal Nurses (Vol.11).
https://doi.org/10.1177/0192623310385829Kusnama ,

Mangga S. A., 2007. Perkembangan Geologi dan Tektonik Pratersier Pada Mintakat
Kuantan Pegunungan Dua Belas dan Mintakat Gumai-Garba, Sumatera Bagian
Selatan. Jurnal Geologi dan Sumber Daya Mineral vol. 17, No. 6, p.370-383.

Metcalfe, I. 2011. Paleozoic-Mesozoic history of SE Asia. The SE Asian Gateway:


History and Tectonics of the Australia-Asia Collision, 35, pp.7-35

Moody, J. D., dan Hill, M. J., 1956, Wrench Fault Tectonics. Bulletin of the Geological
Society of America vol.67 (1956), h.1207-1246.

Nichols, G., 2009, Sedimentology and Stratigraphy, second edition, Willey-Blackwell,


United Kingdom
Peacock, D. C. P., Dimmen, V., Rotevatn, A., Sanderson, D.J. (2017). A broader
classification of damage zones. Journal of Structural Geology. doi:
10.1016/j.jsg.2017.08.004

46
Peacock, D. C. P., Sanderson, D.J., Rotevatn, A. (2018). Relationships between
fractures. Journal of Structural Geology. 106, pp. 41-53. Peta Tematik Indonesia.
2005. Peta Administrasi Jambi, skala 1:650.000. Jambi.

Pettijohn, F. J., Potter, P. E., Siever, R. 1987. Sand and Sandstone. Springer-Verlag,
New York Purwaningsih, M. E, M., Mujihardi, B., Prasetya, I., Suseno, W. A.,
Sutadiwirya, Y. 2006. Stuctural Evaluation of the Jambi Sub-basin : A Rotated
Strike-Slip Mechanism. Proceedings Indonesian Petroleum Association, Jakarta
2006 international Geosciences Confrence and Exhibition.

Purwaningsih, M. E, M., Mujihardi, B., Prasetya, I., Suseno, W. A., Sutadiwirya, Y.


2006. Stuctural Evaluation of the Jambi Sub-basin : A Rotated Strike-Slip
Mechanism. Proceedings Indonesian Petroleum Association, Jakarta 2006
international Geosciences Confrence and Exhibition.

Radaideh, O. M. A., Grasemann, B., Melichar, R., Mosar, J. 2016. Detection and
analysis of morphotectonic features utilizing satellite remote sensing and GIS: An
example in SW Jordan. Elseveir: Geomorphology 275 (2016) 58-79

Robertson, S. (1999). Classification of metamorf rocks. Jakarta, 2006. British


Geological Survei Research Report, RR 99-02 Suwarna, N. S, Suminto, Andi
Mangga, S., Suyoko, Sutisna, K., Utoyo, H., Elhami, Y., Wahyono, H., Hartono,
H. T., Simandjuntak T. O. 2000. Mintakat AsaiGarba: Evolusi Tektonik Pratersier
Sumatera Bagian Selatan. Publikasi Khusus, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi Bandung: 15-28

Suwarna, N., Suharsono, Amin T.C., Kusnama, Hermanto, B 1992. Peta Geologi
Lembar Sarolangun, Sumatera. Pusat Pengembangan dan Penelitian Geologi.

Twidale, C. R. 2004 River Patterns and Their Meanings. Earth science review, 67 (3-
4), 159-218.

Wentworth, C. K. 1922. A Scale of Grade and Class Terms for Clastic Sediments. The
Journal of Geology, 30(5), 377–392. http://www.jstor.org/stable/30063207

Widyatmanti, W., Wicaksono, I., Syam P.D. R. 2016 Identification of Topographic


Elements Composition Based on Lanform Boundaries From Radar Interferometri
Segmentation (Preliminary Study of Digital Lanform Mapping). IOP Confrence
Series : Earth and Enviromental Science, 37(1).

47

Anda mungkin juga menyukai